Menikmati Keberkatan Ramadhan

Menikmati Keberkatan Ramadhan

Ringkasan Khotbah Jumat

oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad

19 Juni 2015 di Masjid Baitul Futuh, London

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ *

صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)

Sekarang adalah hari Jumat dan merupakan hari pertama bulan Ramadhan yang beberkat. Dengan demikian, hal ini menjadikan hari ini penuh dengan keberkatan-keberkatan. Baginda Nabi Muhammad saw bersabda, ‏ “‏ إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ ‏”‏ ‏ ‏ bahwa ada saat-saat di hari Jumat ketika apapun yang dipanjatkan oleh seorang mukmin sejati akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Dan beliau saw mengatakan kepada kita tentang Ramadhan, “إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ” selama bulan ini pintu-pintu surga akan terbuka sementara pintu-pintu neraka akan tertutup.

Oleh karena itu, karunia dan rahmat Allah Ta’ala turun atas para mu-min pada bulan Ramadhan ini laksana hujan lebat. Tetapi, dari segi itu, Hadhrat Rasulullah saw menjelaskan beberapa syarat untuk menarik manfaat dari karunia Allah Ta’ala. Diantara syarat-syaratnya adalah لا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ seseorang menghindari bermalas-malasan, menghindari perkara-perkara rafats/yang tidak sopan/menjurus ke syahwat/hawa nafsu dan keributan, menjauhkan diri dari menggunakan bahasa-bahasa kasar serta terlibat dalam pertengkaran dan hendaklah menjawab segala keburukan tersebut dengan berkata: إِنِّي صَائِمٌ “Saya sedang berpuasa dan saya sedang menjauhkan diri dari segala keburukan demi Allah Ta’ala.”[1] Hal ini menjadikan seseorang berpuasa dengan semangat sejati.

Allah Ta’ala telah menyebutkan pentingnya bulan Ramadhan ini, kewajiban puasa dan sifat-sifat/mutu bulan itu, pembatasan-pembatasan yang wajib dilakukan oleh seseorang pada bulan itu, lalu mengaitkannya/ayat itu diikuti dengan bahasan pengabulan doa sesuai dengan ayat berikut: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, katakanlah “Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku supaya mereka mendapat petunjuk. [Al-Baqarah, 2:187]

Dengan demikian, hari-hari Jumat yang ada di bulan Ramadhan berlipat ganda makna pentingnya, namun Allah Ta’ala berfirman, “Kalian tidak tahu saat-saat tertentu yang mana di hari Jumat itu yang ketika itu doa-doa memperoleh pengabulannya, karena itu kalian harus senantiasa memanjatkan doa-doa siang dan malam.” Oleh karena itu, kita harus berusaha bekerja keras guna mencari manfaat dari hari-hari ini sebanyak yang kita bisa.

Secara umum di bulan Ramadhan Allah Ta’ala membelenggu syaithan, membuka pintu-pintu surga dan datang mendekati hamba-Nya. Hendaklah kita mengambil manfaat sebanyak-banyaknya di hari-hari Jumat selama bulan Ramadhan. Doa yang utama pada hari-hari ini yang hendaknya dipanjatkan oleh seorang mukmin sejati dengan penuh kerendahan hati dan penuh keikhlasan ialah “Ya Allah, masukanlah hamba ke dalam golongan orang-orang yang tidak hanya di bulan Ramadhan ini saja bahkan juga pada hari-hari biasa pun senantiasa memperoleh pengabulan atas doa-doa yang dipanjatkannya siang dan malam. Dengan demikian Ramadhan menciptakan suatu revolusi di dalam kesucian dan membawa kepada ketakwaan sehingga hamba termasuk ke dalam orang-orang yang mendapat hidayat secara abadi.”

Pada ayat sebelum ayat yang saya tilawatkan yakni surah Al-Baqarah ayat 186 menyebutkan bahwa orang-orang terdahulu juga berpuasa namun ini bukanlah berarti, “Berpuasalah kalian karena orang-orang dari umat terdahulu pun berpuasa.” Malainkan, dorongan untuk berpuasa adalah لعلكم تتقون ‘la’allakum tattaquun’ supaya kalian bertakwa dan terhindar dari kelemahan-kelemahan rohani dan akhlaki. Ayat yang saya tilawatkan menyatakan: لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “…agar mereka memperoleh petunjuk”. Makna dari kata الرشد ar-rusyd adalah الصراط المستقيم ash-shiraath al-mustaqiim (jalan yang lurus), العمل السليم al-‘amal as-saliim (amal perbuatan yang tepat), طريق الهداية thariq al-hidayaah (jalan petunjuk), الأخلاق الفاضلة al-Akhlaq al-fadhilah, العقل والذكاء القويم al-aql wa adz-dzakaa-ul qawiim (akal dan pemikiran yang kokoh, matang dan dewasa), menggunakan akal dan kecerdasan secara tepat dan benar serta keberlanjutan seseorang dalam keadaan itu.

Pendek kata, di bulan Ramadhan terdapat keberkahan yang banyak sekali namun segala keberkatan ini diperoleh mereka yang menjalankan perintah Allah Ta’ala dan senantiasa meningkatkan keimanannya. Jika seseorang hanya melaksanakan shalat Jumat selama bulan Ramadhan saja kemudian setelah itu tidak melakukannya lagi, maka ia berarti tidak melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan terdapat kelemahan iman di dalam dirinya. Maka bagaimana ia dapat terus-menerus mengeluh bahwa doa-doanya tidak dikabulkan! Seorang hamba hakiki yang tetap dalam keadaan gelisah datang mencari perlindungan Allah Ta’ala perlu menghabiskan waktunya untuk mendirikan shalat dengan kerendahan hati yang sempurna dan kekhusyukan yang luar biasa seraya mengakui segala kekurangan dan kesalahannya. Ia harus tidak hanya sementara saja hadir untuk shalat Jumat dan shalat-shalat lainnya dan hanya di bulan Ramadhan saja.

Beberapa orang beranggapan bahwa karena Allah Ta’ala datang mendekati para hamba-Nya selama bulan ini maka cukuplah shalat dan beribadah selama Ramadhan ini saja. Tetapi, hal yang sebenarnya dengan melakukan itu berarti mereka sedang menipu diri sendiri. Hendaknya menghindari perbuatan tersebut. Hendaknya kita mencari kedekatan kepada Allah Ta’ala dengan kerendahan hati yang sempurna untuk menjadi hamba Allah dan memperoleh kedekatan-Nya. Memang, Allah Maha Dekat. Dia tidak jauh, bahkan, Dia berada di tiap tempat dan tiap saat, namun Dia tidak ber-tajalli (memperlihatkan) kedekatan pada seorang hamba hanya selama ia ruku’ (tunduk dengan merendah) di hadapan/kepada Allah secara hanif (tulus dan murni) dan ia meninggalkan selain Allah. Ketika kita telah melakukannya dan telah dalam keadaan seperti itu, maka doa-doa kita akan dikabulkan dan kita memperoleh semua yang kita cari dari Allah atau apa-apa yang bermanfaat dari sisi Allah bagi kita. Hendaknya dipahami dengan baik bahwa selamanya tujuan tersebut hanya dapat diperoleh dengan berpegang teguh pada kebaikan, ketakwaan dan kesalehan yang mengantarkan kita untuk dapat menikmati buah kesuksesan yang telah Allah Ta’ala takdirkan baik secara pribadi maupun berkelompok. إن شاء الله Insya Allah.

Sebagaimana telah saya sampaikan, jika kita memperlihatkan kerendahan hati, kebersahajaan, kesederhanaan dan kita mengakui kesalahan-kesalahan kita lalu kita berjuang secara bersungguh-sungguh dalam Allah, maka kita akan memetik buah dan hasil perjuangan kita dengan karunia Allah. Jika di dalam diri seseorang terdapat kesalahan serta ia pendosa dan penjahat namun selama ia memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala di dalam hatinya, mengakui kesalahan-kesalahannya dan hatinya memiliki ketakwaan, maka Allah Ta’ala akan senantiasa menutupi segala dosa dan kesalahannya dan pada akhirnya Dia memberinya kesempatan dan kemungkinan untuk bertaubat. Hendaknya kita banyak-banyak berdoa selama bulan Ramadhan ini bagi diri kita, bagi orang-orang terdekat dan yang kita cintai serta bagi anggota Jemaat semoga setiap orang dari kita dapat meraih ketakwaan dan memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala. Jika kita saling mendoakan satu sama lain dengan kasih sayang maka para malaikat pun akan ikut dalam doa kita, dan kita menjadi orang-orang yang menyaksikan pemandangan hakiki dan abadi dari keberkatan-keberkatan Ramadhan.

Apakah ketakwaan itu? Ketakwaan adalah خشية الله وخوفه khasy-yatuLlahi wa khaufuh (takut dan gentar kepada Allah Ta’ala). Selama kita memiliki ketakwaan, Allah Ta’ala akan menutupi segala kekurangan dan dosa kita serta menempatkan kita dalam perlindungan-Nya. Jika kita tidak memiliki ketakwaan, maka kita akan menjadi begitu berani sehingga tidak lagi merasa takut kepada Allah Ta’ala saat berbuat dosa! Na’udzu biLlaah, semoga Allah tidak memungkinkan kita demikian. Tetapi, jika seseorang dari antara kita yang karena kelemahannya lalu berbuat dosa namun diikuti oleh rasa takut pada Allah Ta’ala, maka Dia akan mengampuni kita. Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun. خشيةُ الله تعني حبَّ الله Rasa takut pada-Nya juga berarti kecintaan kepada-Nya. Selama di hati kita memiliki, menampilkan dan menguatkan kecintaan ini kepada-Nya, kita akan selamat/terlindungi dari kehancuran dengan syarat yakni kecintaan tersebut merupakan kecintaan yang sejati dan bukan mengelabui/menipu. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengetahui apa yang ada di dalam hati dan tidak ada satupun orang yang dapat mengelabui-Nya. Jika kecintaan kepada Allah Ta’ala terdapat di dalam hati, maka pasti itu akan nampak dalam kesempatan apa saja, dan takut pada Allah akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan tertentu [yaitu yang buruk], karena adanya kecintaan tersebut. Dengan demikian, kita akan bangkit kembali serta mengikuti segala perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Ta’ala Yang tetap menghargai kecintaan kita kepada-Nya tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya, bahkan member taufik pada kita (memungkinkan kita/memberi kita kesempatan) untuk bertaubat. Namun, jika seseorang mencampakan inti ketakwaan dan kemudian menolaknya, maka barulah ia akan mendapat hukuman.

Merupakan suatu karunia (keberuntungan) dari Allah atas kita, Yang telah memberi kita taufik  untuk menerima Hadhrat Masih Mau’ud as yang mana beliau as berulang-ulang kali mewasiyatkan kepada Jemaat dan para anggotanya agar berjalan di atas ketakwaan. Setelah kewafatannya, Allah Ta’ala telah memberikan kita suatu Nizham Rohaniah (yaitu Khilafat) yang senantiasa mengingatkan kita berkali-kali tentang menjaga ketakwaan. Lalu, Allah Ta’ala juga menjadikan bulan Ramadhan datang setiap tahun bagi kita guna membantu memelihara serta mempertahankan intisari ketakwaan ini. Setiap orang hendaknya berupaya untuk meraih manfaat dari kebaikan bulan suci ini dan menjadi hamba Allah Ta’ala. Jika karena kelemahan dan kekurangan kita Allah Ta’ala menunda pengabulan doa kita, maka hal itu tak ubahnya seperti seorang ibu yang menunjukan rasa tidak senangnya untuk memperbaiki kesalahan anaknya. Namun ketika sang anak menyadari kesalahannya lalu mendatangi ibunya, maka sang ibu akan memeluknya. Sungguh kecintaan Allah Ta’ala pun lebih besar daripada kecintaan seorang ibu kepada anaknya. Dia senantiasa menanti manusia agar bertaubat sehingga Dia bisa mengampuninya.

Hadhrat Rasulullah saw bersabda ‏ وَاللَّهِ لَلَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلاَةِ ‏ bahwa pertaubatan seseorang membuat Allah Ta’ala senang lebih dari orang yang telah menemukan untanya yang hilang di tengah padang yang luas.[2] Inilah juga yang merupakan tujuan bulan Ramadhan, yaitu jika seorang hamba, dengan niat untuk bertaubat, berpaling kepada Allah Ta’ala dan menghadap kepada-Nya dengan segenap kekurangannya dan dosa-dosanya yang ia lakukan sepanjang tahun, maka Allah Ta’ala akan berlari kepada orang tersebut dan menyambutnya. Hadhrat Rasulullah saw telah bersabda, “‏ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حَيْثُ يَذْكُرُنِي وَاللَّهِ لَلَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلاَةِ وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِذَا أَقْبَلَ إِلَىَّ يَمْشِي أَقْبَلْتُ إِلَيْهِ أُهَرْوِلُ ‏” bahwa Allah Ta’ala berfirman “Jika seseorang datang kepada mendekati-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Jika seseorang datang mendekati-Ku satu hasta maka Aku akan mendekatinya dua hasta. Dan jika seseorang datang mendekati-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendekatinya dengan berlari.” Maka dari itu, kasih sayang Allah Ta’ala itu jauh lebih banyak disbanding kasih sayang seorang ibu yang paling lembut sekalipun. Dia telah menyediakan begitu banyak cara dan sarana guna menerima taubat seorang hamba dan membuatnya bahagia. Dengan demikian, jika seseorang hamba tidak berupaya untuk memperoleh manfaat dari Tuhan Yang Maha Pengasih ini maka ia tidak ragu lagi adanya kekerasan dan kebekuan pada hatinya. Tak pelak lagi bahwa permisalan-permisalan ini berusaha menggambarkan kasih sayang Allah pada hamba-hamba-Nya, namun, sebenarnya kecintaan Allah Ta’ala pada para hamba-Nya jauh lebih luhur dari penggambaran yang seharusnya, dan kita tidak mampu membayangkan atau menjelaskan sebuah pandangan kecintaan Allah Ta’ala yang Dia miliki kepada para hamba-Nya. Memang, Hadits-Hadits yang saya sebutkan tadi memberikan sebuah konsep/pandangan yang sangat bermutu tinggi perihal kecintaan Allah Ta’ala, padahal Hadits-Hadits itu sendiri menjelaskan bahwa kecintaan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya jauh lebih luhur dan lebih tinggi daripada penggambaran secara tamsilan-tamsilan duniawi, maka dari itu, menjangkau batasan kecintaan tersebut adalah hal yang musykil. Manusia begitu lemah dan pengetahuan kita pun terbatas; sementara Allah Ta’ala itu Maha Tinggi dan Maha Agung. Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di dalam hati orang-orang/manusia lainnya. Kita bisa berpendapat mengenai mereka berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka yang terlihat, tetapi merupakan hal yang sangat sukar untuk mengetahui yang bergetar dan bergejolak dalam hati seseorang sebagai dampak dari perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikirannya.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra menjelaskan hal ini dengan cara yang cemerlang dan indah, tingkat kemampuan manusia dalam memahami kecintaan Allah Ta’ala bahwa kita bahkan tidak dapat memahami perbuatan Allah Ta’ala, lalu bagaimana bisa kita memahami mutu kecintaan-Nya! (Artinya, kita tidak mampu memahami sepenuhnya hal-hal nyata hasil ciptaan Allah Ta’ala, maka bagaimana kita bisa memahami kecintaan-Nya, sedangkan itu bukah sesuatu yang bersifat material/fisik). Walau bagaimanapun, sebagaimana telah saya katakan, jangkauan kecintaan Allah tidak bisa kita ukur, namun kita bisa mendekati hakikatnya agar lebih paham dengan mengutarakan permisalan-permisalan. Nabi saw pun mencoba menjelaskan kepada kita perihal mutu/kualitas kecintaan Allah Ta’ala dengan cara memberikan berbagai contoh dan analogi. Ketika para musuh (dari Quraisy Makkah) benar-benar dikalahkan dalam peperangan Badr dan orang-orang kafir yang terkemuka dan pemberani sedang mencambuk kuda mereka seraya mundur dari garis depan, namun ada seorang wanita yang tidak gentar maju ke medan pertempuran. Ia akan menarik anak-anak yang ia lihat di dalam pertempuran tersebut kemudian melepaskannya kembali. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa wanita ini telah kehilangan anaknya. Seorang ibu begitu mencintai anaknya sehingga ia tidak lagi merasa takut untuk berada di tengah-tengah medan pertempuran yang menghancurkan tersebut. Ia memeluk setiap anak yang ia lihat namun kemudian pergi setelah mengetahui bahwa itu bukan anaknya. Pada akhirnya, wanita tersebut menemukan anaknya. Ia memeluknya dan duduk bersamanya dengan tidak menghiraukan bahaya dan meskipun terdapat mayat-mayat di sekitarnya dan bahkan di saat pertempuran tersebut belum berhenti.

Nabi saw bersabda, “Kalian lihat wanita itu duduk dengan penuh kepuasan dan ketentraman ketika ia telah menemukan anaknya yang sebelumnya ia sangat khawatirkan.” Selanjutnya, Nabi saw pun bersabda bahwa begitu pulalah permisalan kecintaan Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Bahkan, kecintaan-Nya jauh lebih besar dibanding kecintaan para orang tua terhadap anak-anaknya. Jika seorang anak manusia menjadi tersesat, hilang karena dosa dan kesalahannya, Allah Ta’ala pun bersedih melihatnya, sebagaimana seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya. Dan ketika orang yang tersesat tersebut bertaubat dan kembali kepada-Nya, maka Dia akan menjadi lebih bahagia dari pada wanita yang telah menemukan anaknya yang hilang tersebut.

Tuhan kita senantiasa siap setiap saat memberikan ampunan pada kita asalkan kita juga menjadikan diri kita siap sedia keluar untuk mencari pemaafan dan ampunan-Nya. Dia senantiasa mengamati kita, bilakah kita datang menghadap-Nya. Jika terdapat penundaan/keterlambatan dari kita, Dia tetap Ada Dekat kita. Segala kelalaian ada di dalam diri kita. Ampunan dan Penutupan dari Allah Ta’ala menyelimuti setiap orang yang berpaling kepada-Nya, kembali kepada-Nya dalam keadaan bertaubat serta mencari ampunan-Nya atas dosa-dosanya.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra telah menyebutkan suatu pokok pikiran yang penting khusus mengenai hal ini bahwa مغفرة الله تعالى maghfirah Allah (ampunan Allah Ta’ala) tidak hanya menutupi dosa-dosa dan kesalahan manusia saja, namun juga melupakannya dan bahkan Dia membuat orang-orang lain juga melupakannya sehingga tidak menyebutkannya. Inilah mengapa salah satu sifat Allah Ta’ala disebut as-Sattaar (Yang Maha/Sangat Banyak Menutupi Kesalahan) bukan “الساتر” as-Saatir (sekedar menutupi), melainkan ” الستّار “ as-Sattaar. Sifat Ilahi ini berarti suatu kualitas صفة الستر  sifat menutup dan تكثر yang sangat berlimpah-limpah (yang luar biasa), yaitu Dia Yang Maha Menutupi Kesalahan dan Aib secara berlimpah-limpah. Orang-orang di dunia ini dapat menutupi kesalahan dan dosa orang lain namun mereka tidak dapat membuat orang-orang selain mereka melupakannya sementara Allah Ta’ala dapat menghapuskan dalam diri seseorang ingatan perbuatan dosa yang dilakukan seseorang lainnya.

Jika Allah Ta’ala tidak bersifat as-Sattaar, maka manusia yang berdosa bahkan tidak pernah memperoleh kedamaian di surga. Sebab, orang lain di surga akan mengungkit-ungkit kesalahannya. Tuhan kita tidak hanya menutupi segala kesalahan namun Dia juga memaafkan segala dosa kita dan mengembalikan rasa hormat kita di kalangan manusia. Jika Allah berkehendak untuk menganugerahi seseorang dengan Sattariyat-Nya, maka Dia akan buat orang-orang untuk tidak menyebut-nyebut kesalahan-kesalahan-Nya, bahkan Dia menguatkannya dengan kesucian dan kebaikan. Tuhan kita itu ستار العيوب  Sattaarul ‘Uyuub (Maha Menutupi segala aib, kelemahan dan kesalahan) dan Dia juga غفار الذنوب ‘Ghaffarudz dzunuub’ (Maha memaafkan segala dosa) kita. Dia bukan hanya memaafkan segala dosa kita, tetapi juga mengembalikan kehormatan kita yang hilang di kalangan manusia, bahkan meneguhkan kita di dunia. Jika Tuhan kita Tersayang memiliki sifat-sifat yang demikian, maka seberapa besar pengorbanan yang hendaknya harus dan cepat kita berikan untuk datang ke hadirat Tuhan seperti ini, untuk menjadi hamba-Nya dan untuk berlari kepada-Nya! Merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi kita untuk  berusaha mendekat kepada Tuhan yang seperti ini, Yang ستار العيوب  Sattaarul ‘Uyuub (Maha Menutupi segala aib, kelemahan dan kesalahan) dan Dia juga غفار الذنوب ‘Ghaffarudz dzunuub’ (Maha memaafkan segala dosa), di bulan yang penuh berkah ini; dan ada juga kebutuhan mendesak guna berupaya secara intensif merendahkan diri di hadapan-Nya.

Syaithan senantiasa berupaya untuk menghadang di setiap penjuru namun kita harus memukul mundurnya, mengelakkan serangannya dan menggagalkan rencananya dengan datang ke bawah perlindungan Ilahi dan menjadikan diri kita seorang hamba sejati Allah. Setelah itu baru kita akan benar-benar merasakan manfaat keberkatan bulan Ramadhan. Hal ini akan memberikan kita manfaat, baik secara pribadi maupun berkelompok. Perbaikan, kebaikan, ketakwaan anggota Jemaat secara individu akan mempengaruhi, sebagai dampaknya, kepada kemajuan dan perkembangan Jemaat. Sejauh mana kita meraih kedekatan Ilahi sebanyak itu pula kita menikmati karunia-karunia-Nya dan selanjutnya kita memainkan peranan dalam kemajuan bagi Jemaat juga.

Kita tahu bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Kemajuan-kemajuan dan kemenangan-kemenangan saya tidak akan tercapai kecuali melalui jalan doa-doa.” Dengan demikian, hendaknya kita berpaling kepada Allah Ta’ala dengan penuh ketundukan dan kerendahan, meminta kemajuan bagi Jemaat. Hendaknya memanjatkan banyak-banyak doa dengan khusyuk selama hari-hari ini (bulan Ramadhan) yang merupakan أيام الدعوات ayyamud da’waat (hari-hari berdoa). Hendaknya kita tidak membatasi doa-doa kita bagi diri kita saja dan orang-orang yang terdekat dan yang kita cintai saja. Namun kita perlu secara intensif memperluas jangkauan doa-doa kita, maka barulah kita akan memenuhi kewajiban menjadi bagian dari Jemaat Hadhrat Masih Mau’ud as dan kita hendaknya memenuhi hak bersyukur atas pertolongan Allah Ta’ala dengan menjadikan kita bagian dari Jemaat ini. Tugas kita tidak berakhir setelah bergabung masuk kedalam Jemaat ini, dan tidak cukup dengan berbaiat dan bergabung dengan Jemaat Muslim Ahmadiyah, melainkan, terdapat tanggung jawab besar yang Allah Ta’ala telah letakan di atas pundak kita sebagai Ahmadi, yang mana Hadhrat Masih Mau’ud as telah menarik perhatian Jemaatnya agar senantiasa berdoa untuk dapat menjalankan/menunaikan tanggung jawab tersebut. Kita sungguh lemah dan hina serta kita mengakui memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Kita akui tidak adanya kemampuan kita. Namun demikian, bagaimana pun juga, kita adalah orang-orang yang telah Allah Ta’ala berikan tanggung jawab untuk meraih tujuan agung yang tidak mungkin diraih tanpa karunia-Nya. Maka dari itu, mau tak mau kita harus memfokuskan diri dalam doa-doa.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra menguraikan hal ini atau memberi kita pemahaman dengan cara yang cemerlang bahwa pada kenyataannya diri kita ini lemah sedangkan tugas yang dibebankan kepada kita sangat penting dan sangat berat maka pertanyaan yang muncul ialah bagaimana kita dapat menyelesaikannya sendiri? Tugas ini membutuhkan banyak kekuatan agar dapat dipenuhi sementara diri kita sendiri lemah dan rapuh. Mau tak mau kita harus mengakui salah satu dari dua hal; pertama, sekalipun jika benar diri kita ini tidak lemah atau tugas yang dibebankan ini tidaklah sesulit yang dikatakan ataupun kedua, jika pun sebaliknya diri kita ini lemah dan tugas tersebut sangat berat, namun demikian haruslah kita mengakui bahwa Allah Ta’ala, telah memberikan segala sarana lainnya supaya tugas tersebut dapat dipenuhi, disamping kita juga berusaha. Adalah kalam dan janji-Nya bahwa Dia yang akan menyelesaikan pekerjaan sebagaimana janji-Nya kepada kita dan memenuhi tujuan pengutusan Hadhrat Masih Mau’ud as dan Islam Ahmadiyah akan menang dengan suatu cara yang tidak ada keraguan mengenainya. Insya Allah. Dan untuk mencapainya, Allah Ta’ala telah mengajarkan kita sarana berdoa dengan mengatakan, “Tuhan kami, tugas ini tidak akan selesai melalui usaha kami semata meskipun kami senantiasa siap untuk berkorban dalam ketaatan terhadap kehendak Engkau. Kami berharap semoga Engkau memperlihatkan kepada kami sarana-sarana yang masih tersembunyi yang telah Engkau tentukan guna menyelesaikan tujuan itu dan kirimkanlah itu semua untuk membantu kami supaya pekerjaan yang mustahil ini terselesaikan.”

Kenyataannya adalah Allah Ta’ala telah menciptakan sarana-sarana dalam bentuk lahiriah bagi kita sedangkan sarana yang memberikan kemenangan di dunia adalah sesuatu yang lain. Bagaimanapun juga, kita hendaknya memiliki hasrat yang kuat di dalam hati bagi kemenangan-kemenangan; dan hendaknya hasrat kuat itu lahir dalam bentuk doa-doa. Hadhrat Muslih Mau’ud ra menjelaskan sebuah analogi (permisalan) dari situasi kita ini yang dapat digambarkan bahwa saat [menjelang berkecamuknya] perang Badr, Nabi saw melemparkan segenggam kerikil ke arah musuh, dan Allah Ta’ala berfirman مَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى ‘maa ramaita idz ramaita walaakinnAllaha rama’ – “Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar.” (Surah al-Anfal: 18) “Jika engkau [hai Muhammad] yang melempar batu-batu kerikil itu, maka dalam jarak yang tidak jauh, batu-batu itu akan terjatuh ke tanah. Bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah yang melempar.” Apa yang terjadi kemudian bukanlah karena segenggam kerikil yang dilemparkan beliau saw tersebut namun adalah perbuatan Allah Ta’ala yang menjadikan angin kencang menghembuskan jutaan kerikil dari tanah ke mata para orang kafir. Yakni, di balik segenggam kerikil yang dilemparkan Hadhrat Rasulullah saw terdapat kekuasaan Allah Ta’ala. Kita juga seperti kerikil pada perang Badr tersebut yang angin kencang hembuskan kepada orang-orang kafir. Kita harus mengakui bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan rencanya sendiri untuk menciptakan kemenangan Islam dan rencana tersebut adalah doa-doa para hamba Allah Ta’ala yang menarik karunia-Nya dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa sungguh ini merupakan hal yang padanya bergantung kesuksesan kita. Kita hendaknya banyak memanjatkan doa secara khusus pada hari-hari bulan Ramadhan bagi kemenangan Islam. Semoga kita menjadi segenggam kerikil pada perang Badr.

Kita berdoa semoga Allah Ta’ala menghapus kelemahan-kelemahan kita dan menutup mata (mengabaikan) atas kesalahan dan kekurangan kita dan dengan karunia-Nya, Dia membuat sarana-sanara yang meneguhkan kita sehingga kita dapat mencapai tujuan kita. Semoga kelemahan dan rasa keengganan (berat) kita tidak menyebabkan kegagahan Allah tersembunyi alih-alih menampak, dan semoga kekurangan kita tidak menjadi sumber kesempatan bagi kesenangan pihak lain; melainkan kita berdoa agar Dia menciptakan karunia dari-Nya guna memperkuat tangan lemah kita untuk melakukan pekerjaan yang perlu diselesaikan dalam rangka memperlihatkan kegagahan dan keagungan-Nya. Hendaknya doa-doa dipanjatkan pada hari-hari ini; bagi diri sendiri, bagi orang lain, bagi kemajuan Jemaat, bagi kegagalan dan kekalahan para penentang serta bagi penampakan keagungan dan kemuliaan Allah Ta’ala. Penduduk dunia ini cepat menyangkal keberadaan Allah Ta’ala setahap demi setahap dan semoga mereka ini segera mengenal-Nya. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalahan dan kekurangan kita dan menanamkan suatu kekuatan di dalam diri kita yang memberikan sarana agar kita dapat memenangkan/mengunggulkan Islam di atas agama-agama lain di dunia. Semoga setiap orang di antara kita menjadi khadim Islam yang shaleh dan benar. Semoga cita-cita dan tekad terkuat dan terbesar kita bukan dalam hal ambisi dan pencapaian segala keinginan duniawi dan materi; dan bahwa hati kita dipenuhi dengan tekad bahwa kita akan mempergunakan semua bakat dan kemampuan kita untuk menegakkan agama. Semoga hati kita senantiasa penuh tekad berusaha untuk menegakan keimanan dan untuk menggunakan segala kemampuan kita demi tujuan ini. Semoga Allah Ta’ala menciptakan kekuatan dan kemampuan dalam tindakan dan kapasitas kita sehingga membuat kekuatan dan kemampuan para penentang tanpa daya dan tanpa hasil dalam menghadapinya! Semoga Allah Ta’ala tidak hanya mengampuni kesalahan kita namun juga menanamkan kebencian terhadap dosa di dalam hati kita dan semoga selamanya kita tidak melanggar perintah-Nya dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menjawab seruan-Nya, menaati perintah-perintah-Nya dan mengimani-Nya! Semoga Dia menciptakan di dalam hati kita kecintaan terhadap keshalehan dan kebaikan dan semoga ketakwaan tertanam kokoh di dalam diri kita! Semoga kecintaan dan kasih sayang Allah Ta’ala menjadi makanan kita. Semoga Dia jadikan setiap kata dan amal kita sesuai dengan ridha-Nya dan semoga Dia ridha kepada kita ketika kita hadir di hadapan-Nya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita benar-benar memperoleh semua hal ini di bulan Ramadhan. [Aamiin.]

Penerjemah: Hafizurrahman & Dildaar Ahmad

Referensi        : terjemahan dari website resmi Jemaat, www.alislam.org (bahasa Inggris) dan www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab)

[1][1] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang puasa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا “Puasa adalah perisai. Maka janganlah dia berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang lain yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia katakan, ‘Aku sedang puasa’ (dua kali). Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ta’ala daripada bau minyak kasturi. Dia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

[2] Shahih Muslim, Kitab tentang Taubat. Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Al Anshori, pembatu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِى أَرْضِ فَلاَةٍSesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas.” (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal di hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR. Muslim no. 2747).

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.