2015-09-04 Ketakwaan, Keimanan Terhadap Allah Ta’ala dan Dzikrullah

Tim Ahmadiyah.Id bertanggung jawab penuh atas kesalahan atau miskomunikasi dalam sinopsis Khotbah Jumat ini.

Ringkasan Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz pada 4 September 2015 di Baitul Futuh, London

“Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah”

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ، آمين

Jika dikatakan kepada seorang duniawi bahwa ia akan memperoleh segala kenikmatan dunia ini ketika di dalam dirinya tertanam ketakwaan, maka tentu ia akan menganggap hal ini hanyalah omong kosong belaka lalu berkata bahwa mereka mengatakan hal demikian atas nama agama supaya orang-orang berada di sekitarnya. Memang benar bahwa pada masa ini beberapa orang melakukannya atas nama agama akan tetapi terdapat suatu motif tersembunyi di baliknya. Tidaklah mereka maupun para pengikutnya memiliki ketakwaan. Sebaliknya, para Nabiullah serta jemaat mereka senantiasa memiliki pengetahuan dan pandangan mengenai ketakwaan yang hakiki. Meskipun mereka juga menjalani urusan-urusan duniawi seperti mencari nafkah dan sebagainya tetapi juga senantiasa mencari ketakwaan dan berjalan di atasnya.

Ratusan surat sampai kepada saya (Hadhrat Khalifatul Masih V) yang di dalamnya berisi tentang suatu keinginan semoga Allah Ta’ala menciptakan ketakwaan di dalam diri mereka dan di dalam diri anak-anak keturunan mereka. Hal ini terjadi setelah menerima kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud as dan setelah mengambil baiat. Rasa takut terhadap Allah Ta’ala membuat mereka tidak peduli terhadap urusan duniawi namun mereka juga tidak luput dari segala nikmat duniawi. Allah Ta’ala juga senantiasa mengaruniakan segala nikmat duniawi kepada para Nabi-Nya dan kepada orang-orang beriman. Mereka terkadang menghadapi berbagai kesulitan yang bersifat sementara namun dengan karunia-Nya, seiring dengan berjalannya waktu, kondisi pun berubah menjadi lebih baik. Orang-orang muttaki senantiasa qana’ah di dalam hati mereka dan menanggung segala kesulitan tersebut secara positif. Mereka senantiasa bersyukur terhadap apapun yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka meskipun hanya sedikit. Sikap syukur ini senantiasa menarik karunia Allah Ta’ala yang lebih besar lagi dan dengan merasakan karunia Allah Ta’ala, orang-orang mukmin senantiasa antusias memberikan berbagai macam pengorbanan dan sungguh mereka benar-benar melakukannya. Di masa ini, yang memiliki pengetahuan sejati mengenai hal ini adalah para Muslim Ahmadi yang di hadapan mereka tampak zaman Hadhrat Rasulullah saw serta zaman pecinta sejati beliau saw yakni Hadhrat Masih Mau’ud as.

Dalam menjelaskan hal ini, Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa Allah Ta’ala mengambil segalanya dari Hadhrat Rasulullah saw serta dari para sahabat beliau saw. Namun demi Allah Ta’ala, mereka sama sekali tidak peduli akan hal ini. Pada akhirnya Allah Ta’ala menganugerahkan segala sesuatunya kepada mereka. Demikian pula Hadhrat Masih Mau’ud as juga meninggalkan segalanya demi Allah Ta’ala. Beliau as membagikan sama rata harta warisan yang ditinggalkan Ayahanda beliau as dengan saudara laki-laki beliau. Akan tetapi kakak ipar beliau, yang kelak menerima Ahmadiyah, menganggap beliau as hanya sebagai benalu. Beliau as menanggung kesulitan namun kemudian Allah Ta’ala secara luar biasa menganugerahkan segalanya kepada beliau as. Dalam salah satu kutipan syairnya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa ada suatu masa ketika beliau as hidup dari potongan roti orang lain namun Allah Ta’ala telah memberikan taufik kepada beliau as sehingga ribuan orang makan dari meja makan beliau as. Keimanan para Ahmadi akan senantiasa meningkat dengan merenungkan bagaimana kondisi awal yang dialami oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dengan apa yang telah terjadi sekarang ini.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa orang tua Hadhrat Masih Mau’ud as merasa senang atas kelahiran beliau as. Akan tetapi ketika beliau as tumbuh dengan sikap yang tidak peduli terhadap urusan duniawi, Ayahanda beliau as pun menjadi sangat sedih. Sebagaimana diriwayatkan sebelumnya, seorang Sikh menceritakan bahwa Ayahanda Hadhat Masih Mau’ud as memintanya untuk memberikan nasehat kepada anaknya. Seorang sikh tersebut pergi memberikan nasehat dan berkata kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa Ayahanda beliau as begitu khawatir bahwa putranya kelak akan harus hidup melalui pemberian saudaranya. Adalah harapan sang Ayah bahwa beliau as memperoleh pekerjaan selama Ayahanda beliau as masih hidup karena beliau merasa bahwa setelah wafat nanti, maka segala sumber pencaharian akan tertutup. Ayahanda Hadhrat Masih Mau’ud as telah merencanakan pekerjaan bagi beliau as sebagai pegawai pendidikan di Kapurthala dan telah ditawarkan suatu jabatan bagi beliau as. Ketika orang Sikh tersebut mengatakan hal ini semua kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, beliau as menjawab bahwa tidak ada alasan bagi Ayahanda beliau as untuk merasa sedih dan khawatir tentang masa depan beliau as. Beliau as kemudian menambahkan bahwa beliau as telah siap untuk bekerja kepada Dzat Yang akan mempekerjakan beliau.

Ini adalah kondisi awal kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud as, yang puncaknya adalah ketika beliau as wafat, terdapat ribuan orang yang siap untuk mengorbankan diri mereka demi beliau as. Kondisi awal tersebut hanyalah suatu skala kecil namun titik tertinggi yang beliau raih adalah sedemikian rupa sehingga, selain dari banyak orang yang mengkhidmati beliau as, terdapat lebih dari 200 orang makan di Langar Khana beliau setiap hari.

Memang beliau as, bersama saudaranya, memiliki hak terhadap kekayaan sang Ayah. Akan tetapi, sesuai tradisi yang ada pada masa itu bahwa siapapun yang tidak bekerja tidak akan memperoleh bagiannya. Pada masa awal tersebut, ketika beliau as kedatangan seorang tamu, beliau as meminta kakak iparnya untuk menghidangkan makanan bagi tamu beliau as. Namun demikian, yang beliau terima adalah ucapan negatif serta bernada mengejek bahwa hendaknya beliau as menyajikan makanan beliau sendiri bagi tamu beliau as. Pada akhirnya, beliau tidak memiliki makanan lagi atau bahkan hanya memakan sisa dari potongan makanan tersebut. Namun demikian, kakak ipar beliau ini pulalah yang kelak menjadi seorang Ahmadi di tangan Hadhrat Muslih Mau’ud ra.

Misi samawi dimulai dari skala kecil namun ketika misi tersebut mencapai puncaknya, dunia akan merasa takjub. Hari ini, Langgar Khana tidak hanya beroperasi di Qadian saja namun juga di seluruh dunia. Langgar-langgar Khana ini telah memiliki mesin produksi roti dan ratusan ribu roti pun dimasak di Qadian, Rabwah dan London. Sebagaimana diceritakan sebelumnya ketika para wartawan datang ke Jalsah UK yang memiliki pengaturan yang luar biasa, dengan karunia Allah Ta’ala, mereka merasa sangat terkesan dengan roti-roti tersebut. Salah seorang diantara mereka mengungkapkan keinginnannya untuk mencicipinya lagi dan lagi. Para Ahmadi yang menerima para wartawan ini berkata bahwa mereka dapat mencicipinya sebanyak yang mereka mau karena ini adalah Langgar Khana Hadhrat Masih Mau’ud as dimana tidak ada makanan yang kurang.

Tentu ada masa ketika Hadhrat Masih Mau’ud as harus memberikan bagian makanan beliau sendiri kepada tamu beliau dan menanggung rasa lapar. Namun hari ini, ribuan orang makan dari Langgar Khana beliau. Tentu ini belumlah suatu puncak titik tertinggi. Langgar Khana tersebut akan tersebar lebih jauh lagi dan jutaan orang akan makan darinya sebagaimana jutaan orang juga akan meningkat dalam hal ketakwaan mereka setelah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as. Dejarat pengorbanan para Ahmadi saat ini juga akan meningkat ke derajat yang tinggi. Perbandingan antara kondisi sekarang dan di kemudian hari merupakan salah satu tanda kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud as dan merupakan suatu sarana bagi peningkatan keimanan kita. Ruh pengorbanan dibangkitkan untuk menjalankan semua aspek misi tersebut dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan berjalan di atas ketakwaan yang pada gilirannya terjadi karena adanya hubungan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as.

Seraya menjelaskan bagaimana cara Hadhrat Masih Mau’ud as makan, Hadhrat Muslih Mau’ud ra menulis: “Cara Hadhrat Masih Mau’ud as mengambil makanan sangat menakjubkan. Saya belum pernah melihat seorang pun yang makan dengan cara seperti itu. Pertama, beliau merobek sebagian kecil Phulka (roti tak beragi yang ringan dan kecil) lalu merobeknya lagi menjadi potongan-potongan kecil dengan jari beliau as seraya mengucapkan Subhanallah Subhanallah. Beliau as kemudian mengambil bagian kecil Phulka, menyentuhkannya dengan kare (kuah) lalu memakannya. Ini merupakan suatu kebiasaan beliau yang begitu mengakar sehingga akan membuat heran orang-orang yang melihatnya. Beberapa orang berfikir bahwa mungkin beliau mencari bagian roti yang halal untuk dimakan. Namun, alasannya sebenarnya adalah beliau as merasa bahwa di sini kita sedang menikmati makanan sementara Agama Ilahi sedang mengalami masalah. Setiap potongan roti tersebut akan tersangkut di leher beliau dan seolah-olah dengan mengucapkan Subhanallah Subhanallah, beliau as meminta ampunan Allah Ta’ala bahwa Dia telah menjadikan makanan sebagai suatu kebutuhan namun sebaliknya makanan merupakan sesuatu yang tidak jaiz bagi kita selama agama sedang dirundung beragam masalah. Oleh sebab itu, memakan makanan menjadi sebuah perjuangan bagi beliau as yakni pertarungan antara gejolak yang mendalam untuk membela Islam dan keimanan dengan suatu tuntutan hukum alam yang telah Allah Ta’ala ciptakan. Artinya, Hadhrat Masih Mau’ud as memakan makanan hanya karena suatu kebutuhan.”

Teladan beberkat Hadhrat Masih Mau’ud as ini menarik perhatian kita bahwa ketika merasakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala, hendaknya kita mengungkapkan rasa syukur kita dan bertasbih kepada-Nya seraya merasakan rasa sakit demi keimanan dan agama dan berupaya untuk ikut serta dalam menyebarkan agama.

Cara Hadhrat Masih Mau’ud as mengambil makanan tersebut lebih lanjut menjelaskan perihal bertasbih kepada Allah Ta’ala sebagaimana Hadhrat Muslih Mau’ud ra menyampaikan suatu poin dari Al-Quran bahwa: يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ “Segala yang ada di seluruh langit dan segala yang ada di bumi senantiasa menyanjung Allah Ta’ala” [Al-Jumu’ah, 62:2]

Beliau ra meriwayatkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as hampir tidak menghabiskan satu Phulka. Dan ketika selesai makan, beliau menyisakan banyak remah-remah roti. Beliau merobek phulka menjadi bagian kecil, memakan beberapa potongnya lalu meninggalkan sisanya di meja makan beliau as. Tidak diketahui kenapa beliau as melakukan hal ini meskipun banyak orang berkata bahwa beliau as mencari potongan-potongan yang akan bertasbih kepada Allah Ta’ala. Hadhrat Muslih Mau’ud ra tidak ingat apakah Hadhrat Masih Mau’ud as pernah mengatakan hal ini namun inilah yang dipahami oleh para sahabat yang ada di sekitar beliau as.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman: يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ “Segala yang ada di seluruh langit dan segala yang ada di bumi senantiasa menyanjung Allah Ta’ala” artinya bahwa langit dan bumi sedang bertasbih kepada Allah Ta’ala. Mengapa Allah Ta’ala menyatakan hal demikian sementara kita tidak dapat mendengarkan tasbih mereka ini? Tidak pula ada di suatu tempat tertulis bahwa seseorang sedang duduk di surga selama ribuan tahun karena menceritakan hal demikian tidaklah memberikan faedah apapun bagi kita! Oleh karena itu, ketika Allah Ta’ala berfirman: يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ Maka kalimat “Segala yang ada di seluruh langit dan segala yang ada di bumi senantiasa menyanjung Allah Ta’ala” hanya dapat berarti bahwa “Hai orang-orang, dengarlah tasbih ini.” Jika dikatakan bahwa bulan telah muncul, maka yang dimaksud ialah lihatlah bulan tersebut. Jika dikatakan bahwa seseorang sedang bernyanyi, maka yang dimaksud ialah dengarkanlah nyanyiannya. Begitu pula, ketika Allah Ta’ala berfirman: يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ “Segala yang ada di seluruh langit dan segala yang ada di bumi senantiasa menyanjung Allah Ta’ala” berarti bahwa dengarkanlah tasbih ini dan pada gilirannya kalimat ini juga mengatakan kepada kita bahwa sungguh kita dapat mendengarkannya! Inilah mengapa orang-orang mukmin sejati diminta untuk mengucapkan Bismillah sebelum makan dan Alhamdulillah ketika selesai makan. Ketika hendak mengenakan pakaian, ketika melihat suatu pemandangan atau ketika sedang merasakan sesuatu yang baik maka bertasbihlah kepada Allah Ta’ala dengan cara demikian. Dengan demikian, tasbih yang dilakukan oleh seorang mukmin sejati pada dasarnya merupakan membenarkan tasbih yang berasal dari setiap benda-benda tersebut seperti makanan, pakaian dan sebagainya!

Bagaimanapun juga, ada berapa banyak orang yang mengamalkan hal ini? Mereka senantiasa makan dan minum siang dan malam dan melihat keajaiban alam namun apakah hal tersebut berimbas terhadap hati mereka? Apakah hal ini membangkitkan hasrat mereka untuk bertasbih kepada Allah Ta’ala? Jika tidak, berarti mereka tidak mendengarkan tasbih dari benda-benda tersebut! Seseorang dapat berkata bahwa tidak ada suara demikian. Akan tetapi ada beberapa suara yang tidak dapat didengar dengan telinga melainkan dengan batin.

Suara-suara ini kemudian diungkapkan dalam kata-kata. Cara bertasbih kepada Allah Ta’ala seperti ini hendaknya diamalkan, bahkan ketakwaan senantiasa mendorongnya untuk senantiasa melakukannya secara rutin.

Suatu kali, seorang Kristen datang mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as dan berkata bahwa: “Tuan selalu berkata bahwa bahasa Al-Quran merupakan ibu dari segala bahasa. Padahal Max Muller (Ahli Ketimuran) serta yang lainnya telah menulis bahwa ibu dari segala bahasa sebenarnya singkat dan kemudian secara bertahap dikembangkan oleh manusia.” Hadhrat Masih Mau’ud as menjawab bahwa kami tidak dapat menerima rumusan Max Muller tersebut. Namun demikian kami akan menerimanya sebagai suatu pendapat dan lihatlah apakah bahasa Arab sesuai dengan pendapatnya atau tidak. Orang tersebut juga telah menganggap bahasa Inggris lebih unggul di atas bahasa Arab.

Hadhrat Masih Mau’ud as tidak mengenal bahasa Inggris. Beliau as memintanya untuk menyebutkan kata ‘air saya’ dalam bahasa Inggris. Orang tersebut menjawab ‘my water’. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa dalam bahasa Arab, untuk mengungkapkan kata ‘air saya’ hanya dengan menyebutkan ‘mai’. Jadi, katakanlah mana yang lebih ringkas dalam menyebutkan kata ‘air saya’ apakah dengan ‘my water’ atau dengan ‘mai’! Meskipun beliau as tidak mengenal bahasa Inggris, akan tetapi Allah Ta’ala menggerakan beliau as untuk mengatakan kata-kata tersebut yang membuat orang tersebut menjadi bingung dan malu. Orang tersebut akhirnya mengakui bahwa bahasa Arab lebih ringkas.

Begitu pula bahwa Allah Ta’ala telah berjanji kepada Hadhrat Rasulullah saw bahwa Dia akan senantiasa melindungi beliau saw dari serangan para penentang. Dia akan selalu menciptakan orang-orang yang akan memiliki pemahaman dan kecintaan yang mendalam terhadap Al-Quran, kemudian menjelaskannya serta senantiasa menjawab dan bahkan membuat diam semua kritikan. Sungguh semua jawaban terdapat di dalam Al-Quran.

Hadhrat Masih Mau’ud as berjuang menghadapi para penentang selama suatu masa sehingga pada saat kewafatan beliau as, para penentang merasa bahwa tidak ada seorang ulama Muslim lainnya yang telah membela Islam begitu gagah perkasanya seperti beliau as. Ini merupakan manifestasi dari: وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ “… dan Allah  Ta’ala akan melindungi engkau dari manusia…” [Al-Maidah, 5:68]

Ini merupakan janji Allah Ta’ala kepada Hadhrat Rasulullah saw bahwa beliau saw akan diselamatkan dalam segala hal. Ketika pada penentang menyerang beliau as dengan pedang, maka pedangnya akan menjadi tumpul. Ketika diserang dengan merujuk kepada sejarah, maka Allah Ta’ala akan membangkitkan umat Islam yang akan membantah segala tuduhan tersebut dengan merujuk kepada buku-buku sejarah dan mengutip dari buku-buku para penentang untuk membuktikan bahwa tuduhan apapun yang mereka lancarkan terhadap Islam juga akan berbalik kepada agama mereka. Hadhrat Masih Mau’ud as telah membersihkan segala tuduhan yang berkaitan dengan Al-Quran dan Hadits. Inilah pengetahuan yang dipaparkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as yang dapat membungkam para penentang tersebut.

Seraya memberikan komentar terhadap kurangnya pengetahuan dan proses berfikir yang salah, Hadhrat Muslih Mau’ud ra meriwayatkan mengenai seseorang di masa Hadhrat Masih Mau’ud as yang kelak menjadi seorang Ahmadi. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa bahasa Arab merupakan ibu dari segala bahasa, orang tersebut kemudian mulai menelitinya meskipun wawasannya berkenaan hal tersebut sangat dangkal. Sementara itu, Hadhrat Masih Mau’ud mengetahui lughat, sharaf nahwu bahasa Arab serta mengambil kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang beliau as miliki.

Ketika beliau as bersabda bahwa segala ilmu pengetahuan terdapat di dalam Al-Quran bukan berarti bahwa di dalamnya juga menyebutkan bagaimana cara bertani. Yang beliau as maksudkan adalah bahwa Al-Quran tersebut memiliki segala kebutuhan bagi agama. Akan tetapi, orang tersebut mulai mengatakan bahwa Al-Quran memiliki segalanya. Ada seseorang yang merasa keberatan lalu berkata kepadanya bahwa Al-Quran tidak menyebutkan kentang dan cabe. Menjawab hal ini, orang tersebut tidak dapat mengendalikan dirinya lalu berkata bahwa Al-Quran menyebutkan dalam surat Al-Rahman ayat 23: اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ yakni ‘mutiara dan batu marjan’ yang merujuk kepada kentang dan cabe.

Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa pada satu sisi sebagian orang berlebihan dengan beranggapan bahwa perkataan para ahli fiqih juga abadi seperti halnya Firman Allah Ta’ala. Sebaliknya, di segi lainnya beberapa orang mengadakan perubahan dan menciptakan kekacauan. Hendaknya manusia siap menerima perubahan akan tetapi perubahan tersebut ada di tangan Allah Ta’ala dan Dia menjadikan perubahan ketika Dia sangat ridha dan tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan-Nya. Suatu kekacauan terjadi di Pakistan tahun 1974. Seorang Maulwi sedang menjelaskan salah satu ayat Al-Quran: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Katakanlah, “Dia Allah, Yang Maha Esa” [Al-Ikhlas, 112:2] Dalam tafsirannya, ia berkata bahwa maksud ayat ini adalah bahwa para Ahmadi itu merupakan orang-orang kafir!

Seseorang datang ke Qadian pada masa Hadhrat Masih Mau’ud as dan berkata bahwa jika Mirza Sahib diseru dengan nama Ibrahim, Nuh, Isa dan Musa maka ia sendiri juga diseru oleh Allah Ta’ala dengan nama Muhammad. Ia berkata bahwa ia mendengar suara Allah Ta’ala yang mengatakan demikian kepadanya. Orang-orang berusaha membuatnya mengerti namun tidak berhasil. Mereka memutuskan untuk membawanya kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Ia mengulang-ulang pendakwaannya ketika dihadapkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan berkata bahwa Allah Ta’ala telah berkata demikian kepadanya sepanjang waktu. Hadhrat Masih Mau’ud as berkata bahwa Allah Ta’ala tidak menyeru beliau as dengan nama Ibrahim, Isa ataupun Musa sepanjang waktu, namun ketika Allah Ta’ala memanggil beliau dengan nama Isa, Dia menganugerahkan kepada beliau kualitas Hadhrat Isa dan ketika Allah Ta’ala memanggil beliau dengan nama Musa, Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau tanda-tanda seperti yang ada di zaman Hadhrat Musa. Beliau as bertanya jika Allah Ta’ala memanggil orang tersebut dengan nama Muhammad sepanjang waktu, apakah Allah Ta’ala juga telah menganugerahkan kepadanya segala makrifat dan ilmu pengetahuan mengenai Al-Quran? Orang tersebut menjawab bahwa ia tidak memperolehnya. Inilah perbedaan antara seorang yang benar dan yang dusta.

Jika seseorang menerima kedatangan seorang tamu, maka ia akan menghidangkan makanan di hadapan tamunya. Akan tetapi, seseorang yang hanya menipu, akan mengundang tamu namun menghidangkan piring kosong di hadapannya lalu berkata bahwa makanannya sangat lezat. Allah Ta’ala tidak menipu melainkan syaithan-lah yang menipu. Dikatakan kepadanya bahwa jika ia diseru dengan nama Muhammad namun sedikit pun tidak memperoleh makrifat Al-Quran, berarti seruan tersebut adalah dari syaithan. Ketika Allah Ta’ala menganugerahkan sesuatu, Dia senantiasa juga akan menganugerahkan hal tambahan lainnya sesuai dengan itu. Oleh sebab itu, jika ia tidak dianugerahi hal tambahan lainnya maka dipastikan bahwa ia diseru dengan nama Muhammad oleh syaithan, bukan oleh Allah Ta’ala.

Hakikatnya adalah hanya Allah Ta’ala yang menciptakan perubahan. Terkadang, setelah mendapatkan mimpi-mimpi yang benar kemudian timbul suatu kesalahpahaman dan mereka pun membuat suatu pendakwaan yang besar. Mereka sebenarnya sedang berada di bawah pengaruh syaithan. Ketika Allah Ta’ala menganugerahkan sesuatu kepada seseorang, Dia juga senantiasa menganugerahkan cahaya-Nya yang cemerlang dan berkilau serta segala tanda-Nya yang menyertai orang tersebut yang dapat dilihat seperti yang ada pada Hadhrat Masih Mau’ud as dan juga pada Khilafat Ahmadiyah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa meningkatkan keimanan dan kerohanian para Ahmadi. Amin.

Shalat jenazah ghaib diumumkan bagi Sahibzadi Amatul Bari Begum Sahiba yang meninggal dunia pada malam hari antara tanggal 31 Agustus dan 1 September 2015 di usia beliau yang ke 87 tahun. Beliau merupakan cucu Hadhrat Masih Mau’ud as, putri Hadhrat Mirza Sharif Ahmad Sahib, cucu Hadhrat Muhammad Ali Khan dan menantu dari Sayeda Amatul Hafiz Begum Sahiba serta Nawab Ahmad Abdullah Khan. Beliau juga merupakan bibi saya (Hadhrat Khalifatul Masih).

Beliau lahir di Qadian pada tahun 1928. Beliau menikah pada tahun 1944 dan Hadhrat Khalifatul Masih II ra berbicara panjang lebar mengenai pernikahan tersebut. Beliau ra bersabda bahwa lebih dari setengah abad sebelum Hadhrat Masih Mau’ud as menerbitkan salah satu wahyu beliau yakni: تَرَى نَسْلاً بَعِيْدًا“… dan engkau akan hidup cukup panjang untuk menyaksikan keturunanmu yang jauh” [Tadhkirah, hal 9]

Beliau kemudian bersabda: “Kita sedang menyaksikan penggenapan dari wahyu ini. Seiring berlalunya waktu, ada suatu tanda yang kehilangan keagungannya namun juga ada seiring berjalannya waktu keagungan serta kebesaran suatu wahyu semakin meningkat. Pada saat wahyu ini diterima oleh Hadhrat Masih Mau’ud as, beliau as hanya memiliki 2 orang putra. Kemudian, beliau memiliki lebih banyak anak lagi dan Allah Ta’ala memperluas keluarga beliau as dan sekarang keturunan beliau sedang menikah. Memang dapat muncul keberatan bahwa apa istimewanya dari hal tersebut dimana orang-orang lain pun memiliki keturunan yang banyak! Namun demikian, pertanyaannya adalah berapa banyak dari keluarga-keluarga tersebut yang dinisbatkan kepada nenek moyangnya serta merasakan suatu kebanggaan atas hal tersebut! Wahyu ini mengatakan kepada kita bahwa keturunan Hadhrat Masih Mau’ud as akan terus dinisbatkan kepada beliau as dan orang-orang akan berkata bahwa ini merupakan suatu tanda kebenaran beliau as. Wahyu tersebut tidak hanya berarti bahwa beliau as akan memiliki keluarga yang besar namun juga berarti bahwa kebesaran dan keagungan Hadhrat Masih Mau’ud as begitu tinggi sehingga bahkan keluarga beliau as tidak akan ingin untuk tidak dinisbatkan dengan beliau as meskipun hanya sebentar dan pujian mereka akan terus meningkat dengan adanya hubungan ini. Tidak peduli betapapun tingginya derajat keluarga tersebut, bahkan jika diberikan kekuasaan sekalipun, namun akan tetap merasakan suatu kehormatan jika dinisbahkan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as. Wahyu ini berarti bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa keluarga beliau as tidak akan pernah hilang dan tidak akan melupakan beliau as.

Dalam menjelaskan wahyu ini, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Satu kesedihan dan empat kebahagiaan”. Hal ini berarti bahwa tidak diragukan lagi bahwa orang-orang di keluarga beliau akan meninggal namun jika seorang yang meninggal maka akan terlahir 4 orang. Keluarga Hadhrat Masih Mau’ud as akan menjadi tanda keagungan beliau as dan akan merasa bangga untuk menegaskan ketinggian beliau as serta dunia pun akan mengakui hal ini.

Hadhrat Khalifatul Masih II ra telah menyampaikan ceramah ini begitu detail karena suatu tanggung jawab yang besar berada di atas keluarga Hadhrat Masih Mau’ud as yang hendaknya mereka hormati dan senantiasa ingat sabda Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa: “Janganlah bawa kami dalam keburukan jika sudah berhubungan dengan kami.” Beliau ra bersabda bahwa tidak ada suatu keagungan yang diperoleh hanya dengan menjadi bagian keluarga beliau as. Merupakan tanggung jawab setiap orang untuk menjalankan ajarannya dan menjunjung tinggi derajat luhur beliau as.

Sahibzadi Amatul Bari Begum Sahiba mendapatkan kehormatan untuk berpergian ke Pakistan dari India pada saat pemisahan kedua negara tersebut di atas kendaraan yang sama dengan Hadhrat Amman Jan. Di Pakistan, beliau tinggal di Rattan Bagh, Lahore dan kemudian menetap di Lahore. Beliau sangat senang memberikan bantuan kepada yang miskin dan bersikap sangat ramah. Seringkali rumah beliau penuh dengan para tamu baik dari keluarga beliau atau bukan, dari orang-orang miskin dan sebagainya. Keramahan beliau dalam menerima tahu sangat luar biasa. Lingkaran sosial beliau sangat luas dan beliau senantiasa menjaga hubungan baik dengan keluarga non Ahmadi dari Malekotla. Beliau akan kedatangan para siswa yang belajar di Lahore baik dari keluarga maupun sebagai tamu rutin. Beliau akan selalu siap untuk menjadi tuan rumah bagi siapapun yang datang. Beliau mengetahui banyak riwayat dari kehidupan Hadhrat Muslih Mau’ud ra yang beliau ceritakan kepada keluarga beliau dan riwayat-riwayat ini telah disimpan. Allah Ta’ala menjadikan beliau sejahtera dan senantiasa membelanjakan uang beliau kepada yang tidak mampu. Beliau membiayai banyak siswa dan juga memberikan bantuan biaya pernikahan. Setelah suami beliau meninggal, beliau memprakarsai sebuah beasiswa atas nama suami beliau.

Beliau terjatuh dan mengalami beberapa operasi. Beliau sangat kesakitan namun beliau menanggungnya dengan penuh kesabaran. Beliau meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung. Beliau sangat luar biasa dalam membayar candah dan berkhidmat di Lajna dalam berbagai bidang dari 1958-1994.
Tahun ini, saya (Hadhrat Khalifatul Masih) mengenakan jas yang berbeda pada saat bai’at internasional. Jas tersebut adalah milik Hadhrat Masih Mau’ud as. Jas tersebut diberikan kepada Hadhrat Mirza Sharif Ahmad Sahib dan kemudian kepada Sahibzadi Amatul Bari Sahiba yang telah mengirimkannya kepada saya. Beliau memiliki hubungan yang erat dengan Khilafat dan biasa berkomunikasi via telepon. Beliau mengungkapkan perhatiannya terhadap anak-anaknya semoga diberikan taufik untuk dapat beramal shaleh dan hidup dalam keharmonisan. Semoga Allah Ta’ala senantiasa mengabulkannya! Semoga Allah Ta’ala mengangkat derajat beliau dan menganugerahkan ampunan-Nya kepada beliau. Amin

Penerjemah: Hafizurrahman

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.