Hakikat Memaafkan (Pengampunan)

Hakikat Memaafkan (Pengampunan)

Ringkasan Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis–ayyadahul-Laahu Ta’aalaa binashrihil-‘Aziiz pada 22Januari 2016 di Baitul Futuh Morden, London

“Assalaamu‘alaikum wa rahmatul-Laah”

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ
أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ
الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ
نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ
آمين

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ  | الشورى : 41

“Dan pembalasan terhadap suatu pencederaan (melukai) adalah pencederaan yang setimpal dengannya, tetapi barang siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang aniaya.” [Asy-Syura, 42:41]

Ajaran Islam sehubungan dengan pelaku pelanggaran adalah perlakuan yang di dalamnya terdapat perbaikan, baik itu pelanggaran besar maupun kecil, baik itu berdampak merugikan orang lain dengan cara yang sepele ataupun yang berlebihan; baik itu dari kalangan yang memusuhi/lawan atau bukan. Pada ayat yang baru saja saya bacakan tadi terdapat perintah yang di dalamnya ada dimungkinkan untuk pemberian hukuman terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan, namun juga bersamaan dengan itu terdapat dorongan untuk ishlaah (perbaikan).

Dengan menjadikan timbulnya ishlaah (perbaikan) sebagai tujuan utama, maka sebelum memutuskan untuk menjatuhi hukuman, hendaknya perlu dipertimbangkan apakah hal demikian akan menghasilkan perbaikan di dalam dirinya atau tidak. Apabila dipikir bahwa pemberian maaf akan mengakibatkan timbulnya perbaikan, maka hendaknya hal tersebut menjadi pilihan daripada diputuskan untuk dijatuhi hukuman. Pemberian maaf tersebut membuat yang memaafkan menjadi penerima ganjaran dari Allah Ta’ala. Dan ayat yang telah disebutkan diatas pada bagian akhirnya menjelaskan إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ ‘innaHu laa yuhibbuzh zhaalimiin.’ – ‘Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang zhalim.’ Artinya, jika hukuman/pembalasan kalian jatuhkan secara berlebihan, maka hal tersebut akan menjadikan kalian sebagai orang zhalim (aniaya, tidak adil dan kejam).

Pendeknya, inilah qanun asasi (hukum pokok, ketentuan mendasar) yang disebutkan oleh Al-Qur’anul Karim perihal pemberian maaf dan hukuman ini. Ketentuan ini mencakup segala urusan kita dalam kehidupan sehari-hari dalam hal individu (perseorangan), bahkan menjadi asas (pondasi) dalam penegakan dan perbaikan masyarakat, baik tingkat kelompok terkecil maupun internasional. Tujuan utama pemberian hukuman yaitu ishlaah dan perbaikan akhlak. Islam mengajarkan agar senantiasa memperhatikan bahwa yang ditekankan tidak hanya terhadap pemberian hukumannya saja, namun hal tersebut dimaksudkan agar timbulnya perbaikan. Hukuman apapun yang diberikan hendaknya sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan jika dijatuhi hukuman tidak secara proporsional, maka akan menimbulkan kemurkaan Allah Ta’ala.

Di dalam Islam tidak terdapat إفراط وتفريط ifraath wa tafriith (sikap berlebihan dalam satu dan lain segi yang berbeda) sebagaimana terdapat pada agama-agama sebelumnya. Kita dapati teladan paling sempurna dalam mengamalkan ajaran Islam ini ada dalam kehidupan penuh berkat Baginda Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam berbagai perkara tatkala beliau saw merasa telah terjadi perbaikan maka beliau senantiasa memberikan maaf bahkan kepada musuh yang paling keras dan kejam sekalipun. Ketika seseorang yang bersalah tersebut menunjukan rasa penyesalan mendalam, Hadhrat Rasulullah saw memberikan maaf kepada mereka yang telah melakukan kekejaman yang memilukan terhadap diri, keluarga dan para sahabat beliau saw.

Lihatlah sebuah contoh, [seorang penentang Nabi saw bernama] هبار بن الأسود Habar bin Al-Aswad yang telah menyerang putri beliau saw Hadhrat Zainab radhiyAllahu ta’ala ‘anha dengan tombak pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah, yang mengakibatkan kandungannya mengalami keguguran, dan pada akhirnya luka inilah yang mengakibatkan beliau wafat. Atas kesalahannya itu Rasulullah saw memutuskan untuk membunuhnya. Pada saat penaklukan kota Mekkah oleh kaum Muslimin, dia (Habar bin Al-Aswad) lari lalu bersembunyi entah dimana, tetapi
tatkala Rasulullah saw kembali ke Madinah maka Habar hadir di hadapan Rasulullah saw dan sambil memohon belas kasih berkata, “Sebelumnya saya telah lari karena takut, tetapi pikiran akan sifat pemaaf Tuanlah yang membawa saya kembali (datang) ke sini. Hai Nabi Allah, kami tadinya berada dalam kejahilan dan kemusyrikan kemudian dengan perantaraan Tuan Allah telah memberikan petunjuk kepada kami dan menghindarkan kami dari kehancuran. Saya mengakui akan pelanggaran-pelanggaran saya, maka maafkanlah kejahilan saya”. Maka dari itu Rasulullah saw. memaafkan pembunuh anak perempuan beliau itu dan beliau bersabda, “Hai Habar, pergilah, saya telah memaafkan
engkau. Ini merupakan kebaikan Allah bahwa Allah telah menganugerahkan taufik [kepada engkau] untuk masuk Islam”[1]

Kaab bin Zuhair merupakan seorang penyair ternama, yang sambil menyerang kehormatan perempuan-perempuan Islam dia suka menggubah syair-syair yang kotor, maka faktor itulah Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuhnya. Saudara Kaab menulis surat kepadanya bahwa kini kota Mekkah telah ditaklukkan karena itu datanglah dan mintalah maaf kepada Rasulullah saw.. Maka dia datang ke Madinah lalu menginap di rumah salah seorang yang dikenalnya dan shalat subuh dia lakukan bersama Nabi saw. di Mesjid Nabawi. Tanpa memperkenalkan
dirinya di hadapan Rasulullah saw. dia berkata: “Ya Rasulullah saw., Kaab bin Zuhair datang dalam keadaan taubah dan datang untuk memohon maaf. Jika diizinkan maka dia dibawa di hadapan Tuan.”

Beliau bersabda, “Ya”. Maka dia melanjutkan bahwa “Saya-lah Kaab bin Zuhair”. Begitu mendengar ini – sebab ada perintah untuk membunuhnya – maka seorang sahabah berdiri untuk membunuhnya tapi Rasulullah saw bersabda, “Lepaskanlah dia sebab dia ini datang untuk memohon ampun”. Kemudian dia mengemukakan (memperdengarkan) sebuah syair di hadapan Rasulullah saw.. Dan sebagai hadiah untuk menyatakan kegembiraannya beliau saw menyelimutkan selimut beliau kepadanya. Dengan demikian musuh inipun sambil permohonan maaf dikabulkan dia kembali dengan membawa hadiahnya.[2]

Sungguh terdapat banyak peristiwa di zaman beberkat Hadhrat Rasulullah saw dimana beliau saw memberikan maaf kepada musuh pribadi beliau, kepada musuh para kerabat dekat beliau dan kepada musuh Islam yang telah mengadakan perbaikan di dalam diri mereka. Namun demikian, beliau memberikan hukuman ketika beliau menganggap pemberian hukuman memang diperlukan. Hakikat dari perintah tersebut di dalam Islam adalah timbulnya perbaikan dan bukan balas dendam.

Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu wa sallam telah menguraikan ayat 41 dari surah Asy-syura di berbagai tempat dalam berbagai buku dan sabda beliau as. Kita lihat beliau as membahas tema itu di 21 atau 22 tempat pada 13 buku beliau as atau lebih dari itu; begitu juga pada keterangan-keterangan beliau as dalam berbagai pertemuan. Beliau as bersabda di dalam buku “Filsafat Ajaran Islam”:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ | الشورى: 41

‘Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang aniaya.’ [Asy-Syura, 42:41]

Dari ayat ini jelas bahwa bukanlah ajaran Quran Syarif untuk – tanpa sebab dan dalam setiap kasus — tidak memerangi kejahatan serta tidak menghukum para penjahat dan orang-orang aniaya. Melainkan ajarannya adalah hendaklah dilihat apakah kondisi dan kesempatan itu merupakan tempat untuk pemberian maaf atau tempat pemberian hukuman. Jadi, yang benar-benar terbaik bagi si pelaku kejahatan dan juga bagi khalayak umum, itulah yang hendaknya diterapkan. Kadangkala dengan diberi maaf seorang pelaku kejahatan akan bertaubat, dan adakalanya dengan diberi maaf seorang pelaku kejahatan akan bertambah berani. Ringkasnya, Allah Ta’ala berfirman bahwa hendaknya kita tidak membiasakan diri untuk memberi maaf secara membuta, melainkan pertimbangkanlah dengan seksama. Dimana terletak kebaikan yang sejati: apakah dalam sikap memaafkan, atau dalam sikap memberi hukuman. Jadi, ambillah tindakan yang tepat menurut keadaan dan tempatnya.

Dengan memperhatikan kehidupan umat manusia, nampak jelas bahwa sebagian orang sangat berhasrat membalas dendam, sampai-sampai mereka tetap mempertahankan dendam-dendam yang berasal dari nenek-moyang mereka. Demikian pula sebagian orang mempunyai kebiasaan memaafkan serta merelakan yang sangat berlebihan. Dan kadang-kadang kebiasaan ini begitu keterlaluan sehingga menimbulkan dayyuts. Sikap lunak, memaafkan, dan merelakan yang memalukan itu benar-benar bertentangan dengan martabat, harga diri, dan kesucian farji, bahkan menodai norma-norma baik. Dan dampak sikap memaafkan serta merelakan seperti ini membuat semua orang membencinya. Dengan memperhatikan keburukan-keburukan semacam inilah Quran Syarif telah menetapkan syarat ketepatan tempat dan keadaan bagi setiap akhlak. Dan Quran Syarif tidak menyetujui akhlak yang dilakukan pada tempat dan keadaan yang salah. [3]

Inilah perkara mendasar yang umum dalam hal pemberian hukuman yang Islami dan dalam hal falsafahnya, yaitu wajib untuk mengetahui apa yang baik lalu mempertimbangkannya, dan mengambil jalan ishlaah. Pengampunan terkadang membawa kebaikan lalu mengarah pada perbaikan, dan kadangkala mengarah pada keburukan karena pelaku pelanggaran dan kesalahan menjadi bertambah berani dalam kesalahan dan kejahatannya. Demikian pula, penghukuman terkadang menjadikan sebagian orang beralih pada kebaikan, karena orang terhukum selama menjalani hukuman itu mengarahkannya ke kebaikan. Sebabnya [penghukuman] itu menjadi sarana penghalang baginya dari berbuat keburukan sehingga itu menyelamatkan kehidupan mendatangnya dari kehancuran dengan cara menjauhi keburukan-keburukan.

Orang-orang yang diberi ampunan oleh Hadhrat Rasulullah saw jelas telah mengalami perubahan besar. Saya telah menyebutkan dua contoh pengampunan oleh beliau saw. Kita lihat terjadi perubahan besar pada keduanya. Sekali mengalami perbaikan, para penentang Islam dan yang telah melakukan perbuatan aniaya itu serta pekerjaan terlaran itu menjadi orang-orang yang menjalankan kebajikan dan mengkhidmati agama Islam. Islam adalah diin syaamil wa kaamil (agama yang mencakup semua perkara dan sempurna) dan meyakini pentingnya perintah ini adalah bagi segala zaman. Maka, seharusnyalah kalian menegakkan pertimbangan apa kiranya kepentingan yang terbaik bagi pelaku kejahatan tersebut.

Hari ini, mereka yang menggolongkan diri sebagai penjunjung tinggi bendera Hak Asasi Manusia yang atas nama hak-hak asasi manusia, mereka memberikan perlindungan kepada para pelaku kejahatan sampai ke tingkat mana membuat para penjahat itu kehilangan rasa bersalah padahal kejahatan yang mereka lakukan sangat serius/mengerikan. Terdapat para penjahat, diantaranya merupakan pembunuh, bahkan pembunuh bayaran atau mereka bersikap sombong dan bangga dengan tidak memiliki rasa hormat atas kehidupan atau nyawa orang lain. Mereka hendaknya dijatuhi hukuman mati, Ya Allah, kecuali dalam kondisi pihak keluarga korban memberikan maaf. Namun demikian, di mayoritas dunia Barat telah menghapuskan hukuman mati atas nama hak asasi manusia. Mereka telah mengubah hukum tersebut dan menganggapnya hukuman yang berlebihan. Tetapi, selama tidak terjadi perbaikan pada para penjahat itu, berikutnya, kejahatan pun akan terus meningkat!

Atau, sebaliknya dari hal tadi, kita melihat hal berbeda di negara-negara Muslim. Para warga di sebagian negara Muslim menyerang aparat pemerintah dan memberhentikan para kepala negara mereka, lalu bukannya mengambil jalur yang sah untuk mengadili mereka di pengadilan resmi atau mahkamah dan menghukum mereka dengan keputusan hakim dengan hukuman yang tepat, masyarakat membunuh mereka (para pemimpin itu) secara kejam tanpa belas kasih. Ketika masyarakat bersikap dengan cara seperti ini, tidak ragu lagi bahwa di belakang mereka ada sebagian kekuatan pihak lain yang mendorong mereka melakukan itu, dan berdasarkan itu mereka berdiri melakukan perbuatan-perbuatan ini.

Islam melarang إفراط وتفريط ifraath wa tafriith dengan segala jenisnya. Dan, jika Allah telah memberikan ajaran, sesungguhnya itu mengarahkan untuk saling memperlakukan dengan sangat baik dan terhormat antara orang kaya dan orang miskin. Allah telah berfirman perihal hukuman untuk pelaku kejahatan ialah supaya sesuai dengan nilai kejahatannya, dan tidak ragu lagi untuk menjalankan kaidah-kaidah penghukuman. Atas hal itu, maka kita lihat Nabi saw ketika telah menegakkan pemerintahan dan hukum di Madinah, beliau saw telah menjalankannya, dan setelah beliau saw para Khalifah juga mengamalkannya. Mereka memperlihatkan bagaimana memungkinkan dijatuhkannya keputusan penghukuman kepada sebagian manusia dan apa yang hendaknya menjadi tujuan penghukuman.

Dan, hal ini (إفراط وتفريط ifraath wa tafriith) membuat berani dan mendorong para penjahat dalam kejahatan mereka. Demikian pula, para pemuka masyarakat mulai menakut-nakuti dan mengancam masyarakat dengan corak umum berupa teror dan mulailah muncul pemikiran guna melakukan usaha-usaha pribadi guna menghapus teror tersebut. Lalu, sebagian besar dari masyarakat mengambil langkah-langkah pencegahan di masa kacau tersebut. Jika ada kekacauan dan ketidakamanan, mulailah orang-orang cenderng mengambil hukum di tangan mereka (main hakim sendiri). Dan sayangnya, sebagian besar yang kita lihat dalam hal ini terjadi di negara-negara Islam berpa kekosongan ajaran yang indah seperti itu. Mereka telah mempermainkan sistem yang tidak adil untuk menghukum dan mengampuni selama masa yang lama dalam rangka menyelamatkan penjahat dan karena itu mulailah orang lain yang menegakkan ajaran itu dengan perbuatan.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda selanjutnya, “Hendaklah jangan selamanya mempertimbangkan apakah yang baik bagi pelaku kesalahan (kejahatan) tersebut, tetapi terkadang tidak perlu mencemaskan nasib penjahat tersebut. Kita menjadikan hal terpenting dan terutama ialah kebaikan bagi masyarakat secara umum, dan kadangkala pengorbanan itu perlu (demi kebaikan masyarakat), hal inilah yang hendaknya kita tempatkan di pemikiran kita, saat menjatuhkan putusan hukuman, apakah yang menjadi akibat di masyarakat secara umum. Dalam sebagian situasi pengampunan berakibat secara langsung di kalangan masyarakat berupa anggapan dari orang-orang bertabiat jahat, ‘Penjahat besar seperti itu demikian rupa telah selamat meski kejahatan yang telah dilakukannya maka kita jika melakukan kejahatan-kejahatan lalu minta pengampunan tentu akan diampuni.’ Inilah hal-hal yang membuat berani dan menguatkan para pelaku kejahatan dengan kelakuan-kelakuan jahat mereka.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,

“Berkaitan dengan hukuman dan pemaafan tidak ragu lagi agar memperhatikan perkara penting ini bahwa apa dampak hukuman dan pemaafan bagi masyarakat, jika pemaafan membuat penjahat atau pelaku kejahatan bertambah berani dalam melakukan kejahatannya maka akan sangat penting untuk mendorong penghukuman dan bukan pemaafan/pengampunan.”

Hadhrat Masih Mau’ud as menulis perihal ini dengan membandingkan ajaran Al-Qur’an nan indah dengan ajaran Taurat dan Injil: “Tertulis di dalam Injil untuk tidak melawan keburukan. Ajaran Injil cenderung kepada kemurahan hati yang berlebihan dan tidak dapat diamalkan kecuali dalam kondisi tertentu. Sebaliknya, bila kita melihat ajaran Taurat dari suatu segi itu cenderung ke arah sebaliknya secara berlebihan. Ajaran ini hanya menekankan pada satu aspek, yakni [pembalasan] satu mata dengan satu mata, satu telinga dengan satu telinga dan satu mulut dengan satu mulut. Bahkan, tidak ditemukan dalam ajaran ini pemberian maaf dan ampunan. Pada kenyataannya adalah bahwa Kitab-Kitab ini dimaksudkan untuk masa dan kaum tertentu.

Adapun Al-Quran telah menunjukan kepada kita suatu jalan yang bersih yang terbebas dari dua cara yang berlebihan di atas dan sesuai dengan fitrat manusia. Sebagai contoh, Al-Quran menyatakan: جَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ ‘Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang aniaya.’ [Asy-Syura, 42:41] Yakni, pembalasan atas suatu keburukan yang dilakukan hendaknya semisalnya, tetapi jika dimaafkan maka hendaknya pemberian ampunan tersebut didasarkan pada aspek perbaikan yang timbul. Dan pemberian maaf hendaknya tidak bertentangan dengan waktu dan tempat dan pula hendaknya tepat. Seseorang yang memberikan maaf dengan cara seperti ini akan diberikan ganjaran oleh Allah Ta’ala.

Demikianlah ajaran yang bersih tersebut, tidak berlebihan! Pembalasan tersebut diperbolehkan namun dorongan untuk memberikan maaf juga sesuai dengan kondisi perbaikan… Penting bagi seorang yang berakal untuk membandingkan dan menilai ajaran mana yang sesuai dengan fitrat bersih manusia dan mana yang sedemikian rupa ditolak oleh akal sehat manusia.” [4]

Hanya ajaran Islam-lah yang mempersembahkan berbagai persoalan dunia di tiap zaman baik itu yang berkaitan dengan penghukuman maupun keputusan lainnya, Islam mengajarkan, “Sekali kalian memberikan maaf kepada seseorang, hendaknya tidak menaruh dendam dan kebencian sedikit pun kepadanya.” Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Sebagian manusia dari berbagai bangsa demikian rupa memendam benci dan dendam kesumat di dalam hati mereka sampai-sampai suka sekali untuk menyebut-nyebut perkara-perkara perselisihan yang terjadi pada masa kakek-moyang dan para bapak mereka.” Beliau as juga bersabda, “Tidak pantas bagi seorang beriman untuk menyimpan dendam di dalam hati mereka.”

Apakah teladan Nabi saw yang beliau perlihatkan dalam hal keistimewaan ini? Pada saat perang Uhud, istri Abu Sofyan yakni Hindun melakukan kekejaman yang berlebihan. Ia merusak wajah paman nabi saw yakni Hadhrat Hamzah ra dengan memotong telinga dan hidung beliau dan juga memotong anggota tubuhnya yang lain lalu mengeluarkan hati beliau dari jenazahnya kemudian Hindun memakannya. Sebaliknya, setelah Fatah Mekah, Hind menghadiri majelis Hadhrat Rasulullah saw dengan wajah yang ditutupi. Ia mengambil baiat dan menjadi Muslim. Hadhrat Rasulullah saw mengenali suaranya lalu bertanya apakah ia adalah istri dari Abu Sofyan.

Ia membenarkannya namun ia telah menerima Islam dengan hati yang tulus kemudian bertanya balik bahwa apakah ia dapat dimaafkan atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Hadhrat Rasulullah saw mengampuninya. Kehidupan Hindun menjadi berubah. Ia mengirimkan dua ekor kambing panggang dengan pesan bahwa hewan gembalaannya tidak begitu banyak saat ini sehingga ia hanya bisa mengirimkan sedikit. Hadhrat Rasulullah saw mendoakannya, “بارك الله لكم في غنمكم، وأكثر ولادتها.” ‘Semoga Allah memberkati hewan gembalaan kalian dan menambahkan anak-anak mereka.” Selanjutnya, hewan gembalaan Hindun menjadi bertambah secara luar biasa.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Ada sebagian manusia yang tidak mengenal kata maaf.” Sebagaimana juga telah disampaikan bahwa mereka demikian rupa memendam benci dan dendam kesumat di dalam hati mereka sampai-sampai suka sekali untuk menyebut-nyebut perkara-perkara perselisihan yang terjadi pada masa kakek-moyang dan para bapak mereka.

Beliau as juga bersabda, “Pada sisi lain, ada orang-orang yang mempunyai sedikit rasa malu (kehormatan) dan menjadi dayyuts sampai-sampai begitu berlaku baik hati terhadap penodaan (penghinaan), mereka memperlihatkan kurangnya rasa malu atas nama pengampunan.” Maka, hendaknya tidak menjadi berkurangnya rasa malu sebagaimana juga tidak hendaknya menjadi orang aniaya/kejam, jika ada orang yang menyerang tampilan putri seseorang lainnya atau saudari seseorang lainnya dan merusak kehormatannya maka wajib diambil tindakan melawannya berdasarkan proses hukum pada lembaga hukum yang berlaku, tidak ada maaf dalam hal itu, maka hendaknya mengenali perbedaan antara memaafkan dan ketiadaan rasa malu, tetapi dalam keadaan apa saja tidak boleh untuk mengambil hukum diatas tangan sendiri (main hakim sendiri).”

Sebagaimana telah saya katakan, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan bahasan ini di sejumlah tempat dan kesempatan, maka saya hendak sajikan beberapa kutipan lain juga. Dengan menyimak kutipan-kutipan rujukan ini bahasan memang berulang-ulang tapi pada hakekatnya tiap kali beliau as menyebutkan tema ini, beliau menjelaskannya dengan gaya dan cara yang berbeda dan mengandung nasehat yang lain pula.

Hadhrat Masih Mau’ud as menulis: “Pembalasan atas kejahatan hendaknya setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Akan tetapi jika seseorang memberikan maaf dan mengampuni dosa tersebut, dan ampunan tersebut akhirnya menghasilkan perbaikan, bukan sesuatu yang buruk, maka hal demikian akan membuat Allah Ta’ala ridha dan Dia pun senantiasa memberikan ganjaran atas sikap tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan ajaran Al-Quran, tidaklah setiap situasi menuntut pemberian hukuman dan tidak pula pemberian maaf pun dalam segala situasi merupakan sesuatu hal yang patut dipuji. Namun, pertimbangan waktu dan tempat yang tepat hendaknya perlu diperhatikan. Pemberian hukuman atau ampunan hendaknya diterapkan sesuai dengan waktu dan tempat, bukan secara leluasa. Inilah yang Al-Quran maksudkan.”[5]

Beliau as bersabda,

“Allah meridhai mereka yang berniat baik, dan yang tujuan perbuatan dan sikapnya ialah untuk ishlaah. Maka dari itu, Allah tidak meridhai mereka yang memaafkan seperti seorang dayyuts, dan juga yang senantiasa hendak membalas dendam. Hendaknya kedua perkara ini (memaafkan atau menghukum) pada tempatnya, janganlah senantiasa memusatkan diri pada kelemahlembutan dan pemaafan saja hingga disebut dayyuts (tidak bermalu, tidak punya kehormatan), dan juga janganlah senantiasa memusatkan diri pada pembalasan saja. Kejahatan dalam membalas dendam juga menarik murka Ilahi. Maka dari itu, tempatkanlah kedua hal ini pada tempatnya ketika memutuskan untuk memaafkan atau menghukum/membalas.”

Para pengurus Jemaat dan Nizam Jemaat hendaknya senantiasa memperhatikan hal-hal ini. Benar bahwa mereka pada masa sebelumnya biasa memperhatikannya. Tiap kali didatangkan kepada saya perkara penghukuman (sanksi) atas seorang anggota Jemaat saya tidak mengatakan bahwa itu karena pembalasan dendam pribadi atau kebencian pribadi tetapi saya katakan bahwa saya perhatikan para pengurus Jemaat condong ke perangai keras. Sebagaimana sebagian orang cenderung kepada kelemahlembutan dan pemaafan lebih banyak dari yang semestinya, yang mana itu mengarah pada kerusakan dan kelemahan. Penghukuman tidak selamanya itu kejam dan pemaafan dalam setiap hal tidak selamanya itu patut dipuji.

Hal yang pokok ialah upaya untuk meraih ridha Allah dan menjadikan tujuan dari itu semua ialah ishlaah. Departemen terkait hendaknya berupaya ke arah ini. Yaitu, para pengurus di Nazharat Umur Amah dan Darul Qadha membuat rekomendasi pemaafan dan mengambil keputusan sanksi/penghukuman setelah memikirkannya matang-matang dan mempelajarinya secara mendalam supaya kita dapat memperkokoh Nizham Hakiki (Nizham yang benar) di dalam diri kita dan juga di dalam Jemaat yang pada akhirnya menghasilkan ridha Allah Ta’ala. Guna meraih tujuan itu hendaknya mendesakkan diri untuk mencari pertolongan dari Allah Ta’ala melalui doa juga. Adalah wajib untuk berdoa terlebih dahulu sebelum membuat keputusan yang diikuti dengan menyampaikan rekomendasi
(permohonan) kepada Khalifa-e-Waqt.

Hal itu supaya pihak pengadu (yang menyarankan/pengusul) penghukuman dan Nizam Jemaat juga tetap terlindungi dari segala jenis pengaruh dan akibat buruk. Dan juga supaya keputusan jenis apapun tidak menimbulkan kebingungan dan kecemasan di kalangan Jemaat.

Hadhrat Masih Mau’ud as menulis dengan mencontohkan hal itu di tempat lain dalam buku Nasim-e-Da’wat ketika menjelaskan tema keharusan memberikan pengertian perihal ajaran indah yang dimiliki Islam kepada orang-orang non-Muslim yang mengkritik Islam. Beliau menjelaskan dengan rinci bahwa ajaran yang cemerlang ini tidak didapati pada agama selain Islam: “Jika seseorang menyakiti kalian, seperti mematahkan gigi kalian atau mencongkel mata kalian, maka hukumannya adalah setimpal dengan keburukan apa yang dia lakukan. Namun, jika kalian memberikan maaf atas dosa tersebut dengan pandangan akan menimbulkan dampak baik dan perbaikan, seperti si pelaku akan berhenti melakukan perbuatan tersebut di masa mendatang, maka memberikan maaf di sini adalah lebih baik dan ganjarannya ada pada Allah Ta’ala.

Sekarang, perhatikanlah bahwa ayat tersebut menyampaikan dua aspek ini dan telah menghubungkan pemberian hukuman dan pemaafan secara bijak sesuai tuntutan ketepatan waktu dan tempat. Pemaafan dan pemberian hukuman sesuai tuntutan ketepatan waktu dan tempat adalah kebijaksanaan itu sendiri. Hal ini merupakan prinsip bijak yang padanya sistem dunia ini berjalan.

“Sungguh bijaksana untuk menggunakan panas dan dingin sesuai dengan tempat dan waktunya yang tepat. Sebagaimana dapat Anda perhatikan bahwa kita senantiasa tidak mengkonsumsi makanan yang sama melainkan silih berganti sesuai dengan musimnya, baik itu di musim dingin dan musim panas seperti halnya kita mengenakan pakaian yang pantas untuk musim gugur dan pakaian lainnya untuk musim panas.”

Secara tersirat, saya hendak katakan perihal pakaian bahwa pada musim panas, pakaian di sini [di Barat] para wanita khususnya menjadi berkurang sementara di musim dingin mereka mengenakan jaket dan syal. Ketika wanita Muslim mengenakan jenis syal yang sama untuk menutupi kepala mereka di musim panas, lalu dikatakan bahwa mereka sedang tertindas. Sekarang pemerintah telah mulai ikut campur dalam hal ini dan tujuannya bukan perbaikan melainkan kecurangan dan ketidakadilan. Akhir-akhir ini, Perdana Menteri di sini (David Cameron, Inggris) berkata bahwa mereka sedang mempertimbangkan sikap yang akan diambil terhadap para wanita yang berkerudung di tempat-tempat umum dan tempat-tempat kerja. Hukum dunia sedang dibawa ke salah satu sisi secara berlebihan yang menciptakan kekacauan dan kegelisahan. Islam berbicara bertentangan dengan keputusan yang menciptakan kekacauan dan kegelisahan tersebut kemudian menyatakan bahwa keputusan hendaknya diambil didasarkan agar terciptanya perbaikan di dalam diri individu.

“Demikian pula, kondisi akhlaki kita juga memerlukan perubahan sesuai dengan tempat dan waktu. Ada sebagian masa ketika seseorang harus memperlihatkan kekuatan diri. Memberikan kemurahan hati dan ampunan menjadikan permasalahan semakin buruk pada situasi demikian [situasi yang mana perlu memperlihatkan kekuatan]. Dan pada masa yang lain, seseorang perlu bersikap tenang dan murah hati bahkan menunjukan kekuasaannya dalam kondisi demikian dianggap sebagai pertimbangan yang keliru. Pendek kata, setiap hal ada masa dan tempatnya. Dengan demikian, seseorang yang tidak berjalan diatas kepantasan tempat dan waktu merupakan seorang hewan buas, bukan manusia, kejam dan tidak beradab.”[6]

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa Al-Quran tidak menganggap pemberian ampunan dan maaf yang tidak berarti sebagai jaminan karena hal tersebut menyebabkan penurunan akhlak manusia dan membawa pada kekacauan. Namun, pemberian maaf diperbolehkan dimana hal tersebut membawa kepada perbaikan.[7]

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda menjelaskan ayat جَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا “Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya” : “Pembalasan terhadap kejahatan adalah semisal dengan apa yang dilakukan; tetapi, jika ada pemberian maaf dan hal tersebut sesuai dengan kondisi tempat dan waktu dengan tujuan perbaikan, maka ganjarannya ada pada Allah Ta’ala. Sebagai contoh, jika seorang pencuri dibebaskan, ia akan menjadi berani untuk terus melakukan pencurian. Dengan demikan, adalah pantas untuk memberikan hukuman kepadanya. Jika ada dua karyawan, salah seorang dari keduanya dipermalukan dengan teguran, raut muka ketidaksukaan dan ketidakpuasan
oleh majikannya; dan hal tersebut membuatnya memperbaiki dirinya, maka tidaklah benar untuk menjatuhi hukuman dengan keras kepadanya. Tetapi salah satu karyawan lainnya yang melakukan kesalahan dengan sengaja
jika diberi ampunan akan menjadi semakin buruk maka akan lebih tepat dengan menjatuhinya hukuman.

Sekarang katakanlah perintah yang mana yang tepat dan lebih utama? Yang Al-Quran sebutkan atau yang ada di dalam Injil? Apakah yang dituntut oleh hukum alami? Seseorang dituntut untuk bertindak sesuai perintah yang tepat. Ajaran yang didasarkan pada pemberian maaf dalam pandangan akan timbulnya perbaikan merupakan ajaran yang tak ada taranya dan pada akhirnya akan dijalankan oleh orang-orang yang beradab. Inilah ajaran yang menambahkan kekuatan ijtihad, usaha dan firasat pada diri manusia.

Seolah-olah dinyatakan [oleh ajaran itu], ‘Pertimbangkanlah dengan matang perkara itu dari segala segi fakta, bukti dan kesaksian serta dengan melewati firasat.’ (sebagian orang di zaman ini mengatakan Islam menerapkan pembatasan dan melarang berpikir, tetapi Hadhrat Masih Mau’ud as di sini mengatakan agar mencermati baik-baik perkara itu sehingga kalau telah dipelajari satu perintah maka di dalamnya pasti terdapat anjuran untuk menambahkan kekuatan firasat dan ijtihad atau pemikiran yang sungguh-sungguh)

Maafkanlah jika pemberian ampunan tersebut bermanfaat namun jika pelaku tersebut jahat dan licik, maka ikutilah: جَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ‘Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya’. Demikian pulalah keadaan ajaran Islam nan suci dan jelas lainnya pada setiap zaman, sejelas terangnya siang hari.”[8]

Maka dari itu, kita harus tetap seterusnya menaruh perhatian hal-hal ini dalam melakukan perbaikan atas kita dan mencegah keburukan-keburukan, dan kita menciptakan ruang kedamaian dan keamanan di masyarakat, dan diatas itu semua, kita harus membuat Allah ridha atas kita karena Dia tidak menyukai orang-orang aniaya. Kita berdoa semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik supaya memahami hukum-hukum Al-Qur’anul karim dan mengamalkannya.

Shalat jenazah ghaib diumumkan. Bilal Mahmud Sahib disyahidkan di Rabwah pada tanggal 11 Januari oleh 2 penyerang yang tidak dikenal. Dari atas motor, mereka menembaknya ketika beliau sedang berjalan pulang pada malam tersebut. Bilal Sahib dilahirkan pada tahun 1989 dan merupakan seorang Waqfe Nou. Ia sekarang ini bekerja di departemen Wasiyat. Ia menikah pada bulan April 2015 dan istrinya sedang hamil. Bilal Sahib meninggalkan seorang janda, ibu dan seorang saudara laki-laki. Semoga Allah Ta’ala mengangkat derajatnya dan menganugerahkan kesabaran kepada keluarganya.

Penerjemah: Hafizurrahman; editor: Dildaar Ahmad


[1] As-Siratul Halabiyyah, jilid 3, hlm. 106, Cetakan Beirut.
[2] As-Siratul Halabiyyah, jilid 3, hlm. 214-215, Cetakan Beirut.
[3] [Filsafat Ajaran Islam, hal 62-63]
[4] [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, vol 4 hal 111-112]
(الحكم، مجلد12، رقم41، عدد14/7/1908م، ص6-7)
[5] [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, vol 4 hal 105]
[6] Nasim-e-Da’wat [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, vol 4 hal 105-106]
[7] [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, vol 4 hal 108]
[8] [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, vol 4 hal 109]

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.