Cara Islami Merayakan Tahun Baru

Cara Islami Merayakan Tahun Baru

[fac_button icon=”file-pdf-o” text=”Download” link=”https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FSS20161230-ID.pdf” target=”_self” background=”#dd3333″]

Khotbah Jumat oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad

30 Desember  2016 di Masjid Baitul Futuh, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ *

صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)

Tahun Baru Insya Allah akan mulai dua hari lagi. Kita umat Islam memulai Tahun Baru lewat kalender dengan perhitungan bulan (Qamariyah, Lunar) dan juga perhitungan matahari (Syamsyiyah, Solar). Tahun dengan perhitungan bulan tidak hanya diikuti oleh umat Islam saja tetapi di zaman dahulu itu digunakan oleh banyak bangsa lainnya seperti bangsa Cina, bangsa Hindu dan berbagai bangsa dan pemeluk agama lainnya yang memulai tahun baru mereka dengan perhitungan bulan. Sebelum Islam, orang-orang Arab menggunakan kalender dengan perhitungan bulan untuk menghitung jumlah hari. Di dunia, kalender Gregorian (Masehi)lah yang digunakan secara luas dan amat dikenal. Oleh karena itu setiap bangsa dan setiap negara telah memilih kalender Gregorian (Masehi ini) untuk perhitungan hari-hari dan bulan-bulan mereka. Demikian juga, berdasarkan kalender tersebut, tanggal 31 Desember adalah hari terakhir dari tahun sebelumnya dan tanggal 1 Januari dirayakan sebagai awal Tahun Baru.

Begitulah, tahun-tahun datang, dua belas bulan berlalu, baik itu tahun dengan perhitungan bulan atau tahun yang berlaku, maksud saya Gregorian (Masehi), tetapi para individu duniawi – baik mereka dari Muslim atau non-Muslim – menghabiskan hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun mereka dalam urusan, kesia-siaan, permainan, hiruk-pikuk dan slogan-slogan duniawi. Ketika awal Tahun Baru pada 1 Januari apa saja yang tidak orang-orang duniawi lakukan. Yaitu merayakan dengan antusiasme penuh pada malam antara 31 Desember dan 1 Januari. Di negara-negara Barat khususnya dan Negara-negara lain umumnya, malam Tahun Baru dirayakan dengan banyak kegiatan. Orang-orang tetap terjaga setengah dari malam bahkan sepanjang malam dan menghabiskan waktu mereka berpesta dan mengkonsumsi alkohol. Dengan demikian, tahun lalu diakhiri dan Tahun Baru dimulai dengan kegiatan duniawi yang laghaw (kesia-siaan) dan hura-hura tersebut. Sebagian besar orang di dunia tidak memiliki kepedulian agama karena itu mereka tidak bisa menjangkau kedalaman pandangan yang dapat dicapai atau seharusnya dicapai oleh seorang mu-min (beriman).

Keagungan seorang mu-min tidak hanya menjauhi dan berlepas diri dari kegiatan-kegiatan yang laghaw (kesia-siaan) dan hura-hura [menyambut tahun baru] tersebut, tetapi juga untuk melakukan audit atau pemeriksaan terhadap diri sendiri dan mengevaluasi tahun yang telah berlalu. Apa yang sudah kita peroleh, dan apa yang hilang dari kita tahun ini? Apa kerugian kita dan apa yang telah kita raih? Akankah mukmin sejati mengevaluasi tahun semata-mata melalui lensa kacamata duniawi soal kerugian dan manfaat yang diperoleh? Ataukah perbaikan keadaannya dalam corak duniawi? Atau akankah ia mengevaluasi tahun yang berlalu melalui perspektif agama dan keruhanian? Dan jika harus pada skala keruhanian, maka perlu untuk melihat ke dalam tolok ukur keruhanian tersebut sehingga benar-benar dapat terungkap apa yang telah hilang dan apa yang telah diperoleh?

Kita para Ahmadi sangat beruntung karena Allah Ta’ala telah memberi kita perintah untuk mengimani Masih Mau’ud dan Imam Mahdi as yang menyajikan kepada kita ruh dan ringkasan dari ajaran-ajaran Allah dan Nabi-Nya saw, dan juga menunjukkan kita tolok ukur untuk mengevaluasi perbuatan dan keruhanian kita. Beliau as bersabda,

“Jika tolok ukur ini kalian jadikan pedoman di depan mata kalian, tentu kalian akan tahu apakah kalian telah menyempurnakan tujuan hidup kalian atau usaha kalian untuk itu ataukah belum/tidak? Jika tolok ukur ini kalian pertahankan dalam penilaian kalian terhadap perbuatan dan keruhanian kalian, maka kalian pasti bisa mencapai tolok ukur sebagai seorang mukmin sejati. Ini adalah persyaratan-persyaratan yang jika kalian pegang dengan teguh tentu kalian akan benar pula dalam menilai kebenaran iman kalian.”

Setiap Ahmadi melakukan baiat (janji setia) dan dalam janji tersebut Hadhrat Masih Mau’ud as memberi kita syarat-syarat baiat dan petunjuk praktis untuk kita ikuti dan dengan demikian juga mengharapkan dari setiap Ahmadi supaya mengevaluasi diri sendiri setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun. Jadi, jika kita menghabiskan malam terakhir dari tahun sebelumnya dan hari baru Tahun Baru untuk merenungkan kondisi ruhani kita dan dengan menghabiskan waktu memohon kepada Allah, maka kita akan menjadi orang-orang yang bekerja menuju kehidupan akhirat yang baik. Dan jika kita juga memanjakan diri dalam keinginan dan urusan duniawi, maka kita akan kehilangan banyak dan tidak mendapatkan apa-apa atau mendapatkan hal yang sedikit sekali.

Jika kelemahan-kelemahan kita masih tertinggal pada diri kita dan mengevaluasi diri tidak memberi kita kedamaian, maka kita harus berdoa kepada Allah agar tahun mendatang tidak menjadi tahun yang akan menunjukkan kepada kita penurunan dalam kemajuan keruhanian. Sebaliknya, setiap langkah kita menjadi mendapatkan ridha Allah dan kita sehari-hari mencerminkan contoh yang baik dari Rasulullah saw. Hari-hari dan malam-malam kita harus dihabiskan dengan cara yang membantu kita memenuhi janji kita dalam baiat kita kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Janji ini mempertanyakan apakah kita telah memenuhi untuk tidak melakukan dosa ‘syirk‘ (menyekutukan terhadap Allah)? Syirk dalam hal ini bukan penyembahan berhala, menyembah bulan dan matahari tapi menurut sabda Baginda Nabi Muhammad saw, yang dimaksud ialah syirkriya dalam amal (memamerkan perbuatan-perbuatan baik).[1]

Syirk di sini adalah menyimpan dan mengalirkan kemauan atau kehendak yang tersembunyi di balik amal perbuatan yang dilakukan. Kita harus bertanya: apakah Shalat kita, puasa kita, pengorbanan harta kita, pekerjaan kita demi kemanusiaan dan pengorbanan waktu kita untuk mengkhidmati Jemaat adalah benar-benar demi Allah, atau untuk pamer ke orang-orang? Apakah ada keinginan-keinginan tersembunyi di dalam hati kita yang berdiri berlawanan dengan Allah? Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberikan penjelasan mengenai hal itu dengan bersabda:

”Tauhid bukan hanya dengan mulut berkata “ لا إله إِلاَّ اللَّهُ laa ilaaha illallah sedangkan di dalam hati terkumpul ribuan patung berhala. Melainkan orang yang menganggap pekerjaannya atau rencananya, penipuan atau upayanya setara pentingnya dengan keagungan Allah Ta’ala atau menaruh tumpuan sepenuhnya kepada seseorang manusia, yang seharusnya ia bertumpu hanya kepada Allah Ta’ala, atau menganggap dirinya perkasa yang seharusnya menganggap kepada Allah Ta’ala, maka dalam bentuk semua itu dalam pandangan Allah Ta’ala adalah setara dengan penyembahan berhala.”[2] Kita harus menginstrospeksi diri berdasarkan hal ini.

Kemudian setelah ini, kita perlu merenungkan tentang fakta: Sudahkah di tahun sebelumnya kita habiskan untuk menjaga diri dari kebohongan dan melangkah pada jalan kebenaran dan kejujuran? Apakah ketika kita mengalami situasi yang mana jika memberitakan kebenaran akan menempatkan kita dalam kerugian pribadi, tapi meskipun begitu kita tidak berbohong?

Hadhrat Masih Mau’ud as telah menetapkan tolok ukurnya dengan mengatakan bahwa sampai saat ketika seseorang tidak dapat dianggap sebagai orang yang benar dan jujur dalam makna yang sebenarnya hingga berbagai kondisi psikis pribadinya tidak menghentikan orang tersebut dari berbicara jujur (kebenaran). Beliau as mengatakan bahwa berbicara kebenaran memiliki harga yang sangat tinggi dan kesaksian yang tepat adalah ketika hidup, kekayaan atau kehormatan seseorang berada dalam bahaya.

Lantas ada pertanyaan: Apakah kita telah menjaga diri kita untuk menjauhi peristiwa-peristiwa yang mengarah pada pikiran-pikiran buruk? Misalnya, di dunia ini pada masa modern iniada televisi dan internet yang memiliki program-program yang mengarah pada pengembangan pikiran buruk dan tidak menyenangkan, apakah Anda telah menyelamatkan diri dari itu semua? Jika kita menonton film dan program yang tidak senonoh maka kita mengalihkan diri dari janji yang telah kita buat dan kondisi kita layak dikhawatirkan. Hal-hal ini mengarahkan seseorang pada ‘Zina’.

Kemudian ada pertanyaan lain yaitu apakah kita telah menyelamatkan diri dari tatapan tidak suci (bad nazhari) dan apakah kita masih tetap melindungi diri kita sendiri? Sejauh mengenai tatapan penuh nafsu, itu adalah perintah yang sama, baik untuk kaum pria maupun kaum wanita, yaitu mereka diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kesopanan mereka.

Lantas ada lagi pertanyaan: apakah kita telah mencoba untuk melindungi diri dari setiap jenis kefasikan dan fujuur (perselisihan dan kerusakan) dalam masyarakat? Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa menggunakan kata-kata kasar terhadap orang Muslim adalah kefasikan.[3] Selama masa perkelahian atau amarah, dua pihaknya cenderung untuk melakukan kata-kata keras dan hinaan. Tetapi ketika dua orang mukmin sejati melakukannya, maka itu disebut kefasikan. Demikian pula, bila dilakukan terhadap orang non Muslim.

Selanjutnya, Hadhrat Rasulullah saw bersabda, إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ “Para pedagang adalah pendosa.” Para sahabat mengatakan: “Perdagangan itu halal untuk dilakukan.” Hadhrat Rasulullah saw bersabda, بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ “Memang benar. Namun, ketika mereka melakukan perdagangan, mereka sering berbohong dan menaikkan harga dengan bersumpah dengan sumpah bohong.”[4]

Hadhrat Rasulullah saw juga menyatakan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih (bersyukur) dan tidak bersabar sebagai orang ‘Faasiq’. Jadi inilah makna menjauhi diri dari kefasikan.

Selanjutnya, kita perlu mempertanyakan diri kita: apakah kita telah mencegah diri kita sendiri dari melakukan setiap bentuk penganiayaan? Rasulullah saw bersabda,

ذِرَاعٌ مِنْ الْأَرْضِ يَنْتَقِصُهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلَيْسَتْ حَصَاةٌ مِنْ الْأَرْضِ أَخَذَهَا إِلَّا طُوِّقَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى قَعْرِ الْأَرْضِ وَلَا يَعْلَمُ قَعْرَهَا إِلَّا الَّذِي خَلَقَهَا

Kezaliman yang paling besar dosanya adalah apabila seseorang merampas tanah milik orang lain. Jika sebuah batu kerikil pun dirampas secara paksa dari tanah itu, maka seluruh tanah dibawah kerikil itu akan dijadikan belenggu kemudian dikalungkan pada lehernya pada hari Kiamat.”[5]

Jadi ini adalah tolok ukur yang mana kita perlu menilai diri kita sendiri.

Pertanyaan lain yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri adalah: apakah kita telah melindungi diri dari tindakan khianat? Hadhrat Rasulullah saw bersabda,

“لا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ”

‘Laa takhun man khaanaka’

“Jangan kamu berkhianat (mencurangi, tidak setia) sekalipun terhadap orang yang telah mengkhianati kalian.”[6] Jadi, itulah standar atau tolok ukur yang harus kita pegang.

Lalu, apakah kita sudah melindungi diri dari setiap jenis fasaad (pengrusakan, rusuh)? Rasulullah saw bersabda bahwa orang-orang yang sangat buruk ialah yang hidup dengan mendatangkan kerusakan.[7] Mereka menyebarkan kerusakan dengan ghibat (menyebarkan aib, rahasia orang lain) dan fitnah (gosip-gosip buruk). Mereka menyampaikan kata-kata orang lain kepada orang lainnya secara sembunyi-sembunyi dan dengan niat merusak. [mengembangkan kesalahpahaman diantara orang-orang yang memiliki hubungan baik]. Orang-orang yang mencoba untuk melibatkan orang-orang yang taat – mereka yang menaati Nizham Jemaat dalam berbagai segi – supaya terlibat dalam perbuatan buruk dan dosa, memanglah mereka itu mufsiduun (para perusak). Demikianlah tolok ukur-tolok ukur yang patut untuk kita renungkan. Inilah makna fasaad dan menjauhinya.

Ada pertanyaan lain: apakah kita telah menjaga diri terhadap segala bentuk gangguan (huru-hara) dan pemberontakan? Apakah kita terbawa oleh nafsu-nafsu pribadi ketika ia memuncak? Dalam dunia sekarang ini ketika ada kelancangan di mana-mana, maka menjaga diri terlindungi dari hal hal demikian juga merupakan bentuk dari ‘Jihad’.

Maka kita perlu mengevaluasi diri kita sendiri: apakah kita sudah melaksanakan shalat secara teratur lima kali sehari selama tahun lalu ataukah tidak? Apakah kita dengan teratur sepanjang tahun shalat lima waktu atau tidak? Allah telah sering sekali menekankan kepada kita untuk melakukan shalat secara teratur di dalam Al-Qur’an, bahkan memerintahkan dengan tegas. Rasulullah saw bersabda bahwa jika seseorang meninggalkan shalat, maka hal tersebut mengarahkannya terhadap penyembahan berhala dan kekafiran.[8]

Maka kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita telah melaksanakan shalat Tahajud? Baginda Nabi Muhammad saw telah bersabda,

«عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ»

‘Alaikum bi qiyaamil laili fa-innahu da-bush shaalihiina qablakum wa inna qiyaamal laili qurbatun ilaLlahi wa manhaatun ‘anil itsmi wa takfiirun lis sayyi-aati wa mathradatun lid daa-i ‘anil jasadi.’

“Kalian harus berusaha mengerjakan Qiyamul Lail (bangun di malam hari untuk ibadah, Shalat Tahajjud) juga. Sebab hal itu merupakan cara yang dilakukan oleh orang-orang saleh di masa lampau. Qiyamul Lail adalah sarana untuk meraih qurb Ilahi, dapat mencegah manusia dari dosa-dosa, menghapuskan keburukan-keburukan dan menyelamatkan manusia dari penyakit-penyakit jasmani juga.”[9]

Juga kita perlu mempertanyakan diri kita sendiri: apakah kita telah berusaha untuk secara teratur mengirim Shalawat kepada Hadhrat Rasulullah saw – karena hal ini merupakan salah satu perintah utama dari Allah dan merupakan sarana agar doa-doa orang beriman dikabulkan. Rasulullah saw bersabda:

كل دعاء محجوب دون السماء ، فإذا جاءت الصلاة علي صعد الدعاء

“Tanpa shalawat, setiap doa akan berhenti/terhalang mencapai langit dan jika engkau bershalawat kepadaku dalam berdoa tersebut maka barulah dinaikanlah doa tersebut. Tanpa bershalawat, doa tersebut akan tetap tergantung diantara langit dan bumi. Ia terhalang karena tidak dilakukan sesuai dengan cara-cara yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala.”[10]

Oleh karena itulah, doa-doa kita tidak akan mencapai Arsy Ilahi jika tidak dilengkapi dengan Durood (sholawat).

Kita juga harus bertanya pada diri sendiri apakah kita telah meminta pengampunan dari Allah (beristighfar) dengan sedalam-dalamnya. Di dalam sebuah riwayat Hadhrat Rasulullah saw bersabda:

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang selalu membiasakan diri beristighfar sebanyak-banyaknya, Allah Ta’ala memberi jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya. Dan Allah Ta’ala melapangkan jalan baginya dari setiap kesempitan yang dihadapinya. Dan Allah Ta’ala membukakan jalan kemajuan yang lapang kepadanya kemudian Dia melimpahkan rizki kepadanya di luar dugaannya.”[11]

Juga kita perlu merenungi diri kita sendiri apakah kita telah menaruh perhatian pada kesenangan dalam memuji Allah. Nabi saw bersabda,

كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ أَقْطَعُ

‘Kullu amrin dzii baalin laa yubda-u bil hamdi aqthu’u.’

“Setiap pekerjaan penting yang dimulai tanpa memuji Allah Ta’ala, maka akan selalu menjadi tidak lengkap.” (Sunan ibni Majah, Abwab an-Nikah, bab khutbah nikah, 1894)

Ia akan kehilangan berkat dan pengaruh atau kesan baik.

Kita juga harus bertanya apakah kita tetap berhati-hati untuk tidak menyakiti orang lain terlepas apakah mereka itu terkait dengan kita atau tidak. Apakah tangan dan lidah kita sudah ditahan dari menyakiti dan merugikan orang lain? Apakah kita sudah memperlakukan orang lain dengan pengampunan dan memaafkan selama tahun lalu?

Apakah kerendahan hati dan kesederhanaan menjadi bagian utama dari karakteristik dan sifat-sifat kita? Apakah kita tetap berdedikasi dan setia kepada Allah di setiap saat kebahagiaan, kesedihan, kemakmuran atau kemiskinan dan bukannya kecewa hati? Dan, kita tidak pernah mempertanyakan Allah dengan mengatakan, “Mengapa Engkau tidak menjawab doa-doa kami? Mengapa Engkau menguji kami dengan musibah ini?” Jika demikian, maka orang yang seperti itu tidak bisa menjadi mukmin sejati.

Apakah kita telah menjaga diri dari semua taqlid (adat kebiasaan buruk) dan bid’ah-bid’ah serta hawa nafsu? Hadhrat Rasulullah saw bersabda yang maknanya ialah agar kalian menghindari diri dari bid’ah-bid’ah karena ia akan mengarahkan kalian pada kesesatan. Apakah kita telah secara mendalam mencoba untuk mengikuti perintah-perintah Al-Qur’an dan perintah-perintah Rasulullah saw dan ajaran-ajaran beliau saw?

Apakah kita benar-benar telah meninggalkan atau bahkan mencoba untuk menjauhkan diri kita sendiri dari kesombongan dan kecongkakan? Musibah terbesar setelah Syirk (pemujaan pada berhala), ialah kesombongan dan keangkuhan diri. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga. [لا يَدْخُل الجَنَّةَ مَنْ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ‘Laa yadkhulul jannata man kaana fii qalbihi mitsqaala dzarratim min kibrin.’ – “Barang siapa yang di dalam hatinya terdapat takabbur walau sebesar dzarrah, Allah Ta’ala tidak akan membiarkannya masuk ke dalam surga.”] Arogansi adalah ketika seseorang menafikan kebenaran, menganggap orang lain rendah dan memperlakukan mereka dengan buruk. “[12]

Juga, apakah kita telah mencoba untuk mencapai tolok ukur yang tinggi dalam akhlak terbaik?

Sudahkah kita mencoba untuk beradaptasi dengan hilm (kesantunan) dan maskanah (kesederhanaan)? Orang-orang yang penuh kelemahlembutan dan sederhana kedudukannya sangat penting di sisi Nabi Muhammad saw yang mana dapat diambil dari fakta bahwa beliau saw biasa berdoa:

“‏ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ ‏”‏

Allohumma ahyiinii miskiinan wa amitnii miskiinan wahsyurnii fii zumrotil masaakiin.’ –

“Ya Allah jagalah hidup hamba dalam keadaan miskiin (sederhana dan rendah hati), berikanlah hamba kewafatan dalam keadaan miskiin, dan masukanlah hamba diantara golongan orang orang yang sederhana di hari penghakiman.” (Ibnu Majah, Kitab az-Zuhd bab majaalisah al-fuqoro)

Apakah hari-hari kita dihabiskan untuk berusaha membuat kita lebih relijius? Dan merasukkan ke dalam hati kita untuk menghormati dan memuliakan keluhuran agama kita? Bisakah setiap hari dari hari-hari yang kita habiskan bersaksi bahwa kita mengutamakan keimanan kita diatas urusan duniawi, sebagaimana yang telah kita janjikan? Apakah kita telah berusaha untuk maju dalam kecintaan kita untuk Islam sedemikian rupa sehingga Islam diberikan prioritas utama diatas kekayaan dan kehormatan kita, dan lebih kita cintai dari anak-anak kita?

[Tertera dalam sebuah hadis, Muawiyah bin Hayadah Qusyairi ra menceritakan tentang masuk Islamnya beliau,

“Aku tiba di dekat Rasulullah saw Aku bertanya, بم بعثك ربنا إلينا ‘Bima ba’atsaka Rabbunaa ilainaa?’ ‘Amanat apakah yang diberikan Tuhan kita kepada Anda dengan mengutus Anda, dan agama apa yang Anda bawa?’] Hadhrat Rasulullah saw bersabda, بدين الإسلام ‘bi diinil Islaam’ ‘Allah telah mengutusku dengan agama Islam.’ Aku bertanya, ما دين الإسلام ‘Maa diinul Islaam?’ ‘Apakah agama Islam itu?’ Beliau saw menjawab, أَنْ تَقُولَ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَخَلَّيْتُ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ “Islam adalah engkau menyerahkan seluruh diri engkau kepada Allah dan putuskan hubungan dengan sembahan-sembahan lain, mendirikan shalat serta menunaikan zakat.”[13]

Lalu kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kita telah berusaha sungguh-sungguh mengedepankan simpati terhadap sesama makhluk? Apakah kita telah berupaya untuk berkembang dalam kasih sayang dan kebaikan terhadap sesama makhluk Allah? Hadhrat Rasulullah saw bersabda,

” الْخَلْقُ كُلُّهُمْ عِيَالُ اللَّهِ ، فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللَّهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ “

‘al-khalqu kulluhum ‘iyaaluLlahi fa ahabbul khalqi ilaLlaahi man ahsana ila ‘iyaalihi.’

“Segenap makhluk adalah keluarga (ciptaan) Allah. Maka yang paling Allah cintai dari antara makhluk-Nya ialah yang memperlakukan dengan baik terhadap keluarga-Nya (makhluk-makhluk-Nya) dan memperhatikan keperluan-keperluannya.”[14]

Pertanyaan selanjutnya ialah “Apakah kita menasehati anak-anak kita untuk taat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan juga untuk menjadi teladan dan maju dalam ketaatan ini?” Lalu kita perlu bertanya pada diri sendiri: Sudahkah kita mencapai tolok ukur ketaatan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as yang berderajat tertinggi sehingga semua hubungan duniawi lainnya menjadi nomor dua (sekunder)? Apakah kita telah kontinyu (terus-menerus) berdoa supaya Allah Ta’ala mengaruniai kita untuk tetap teguh, setia dan terus mengedepankan ketaatan kepada Khilafat Ahmadiyah? Apakah di sepanjang tahun semua orang tua mengingatkan anak-anak mereka tentang pentingnya menjalin hubungan kecintaan dan kesetiaan serta ketulusan dengan Khalifah dan apakah kalian berdoa agar Allah menanamkan fokus pemikiran ini di kepala mereka? Lantas, ada pertanyaan lainnya yaitu “Apakah kita sudah berdoa secara teratur untuk Khalifah dan Jemaat?”

Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah positif (iya), maka meskipun ada beberapa kelemahan, namun kita telah mendapatkan banyak hal selama setahun terakhir ini. Tetapi, jika sebagian besar pertanyaan telah dijawab secara negatif (tidak), maka itu adalah situasi mengkhawatirkan dan kita perlu merenungkan diri kita sendiri. Dan karena itu berdoalah selama malam-malam terakhir ini dan buatlah janji untuk diri sendiri dan berdoalah selama awal tahun baru semoga Allah mengampuni kita atas dosa-dosa yang telah kita lakukan, membantu kita membasmi kelemahan kita dan membantu kita mencapai yang maksimal dalam tahun mendatang dan semoga kita termasuk diantara golongan orang beriman yang hanya untuk mendapatkan ridha Allah siap mengorbankan segala yang mereka miliki.

Saya hendak menyajikan kepada Anda sekalian petikan-petikan dari sabda Hadhrat Masih Mau’ud as yang di dalamnya terdapat nasehat bagi anggota Jemaat beliau as dan beliau as terbitkan dalam bentuk pengumuman. Beliau as bersabda:

“Seluruh Jemaat saya yang hadir di sini atau yang tinggal di rumah-rumah mereka untuk mendengarkan nasihat ini dengan penuh perhatian. Tujuan mereka masuk Jemaat ini dan berbaiat kepadaku untuk setia dan taat ialah untuk mencapai tolok ukur tertinggi dalam akhlak hasanah, kebahagiaan dan ketakwaan. Mereka harus tidak dekat dengan kerusakan atau tindakan buruk yang bisa datang mendekati mereka. Juga akhlak dan perilaku buruk. Mereka harus menjadi orang-orang yang menunaikan Shalat fardhu lima kali sehari secara berjamaah, mereka menjauhkan diri dari ketidakjujuran, mereka tidak pernah menyakiti siapa pun dengan lidah mereka.”

Dan Hadhrat Masih Mau’ud juga bersabda,

“Mereka harus menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala semata, berhati bersih, tidak membuat bahaya apapun dan yang rendah hati. Mereka tidak mengizinkan benih pemikiran buruk apapun tumbuh dalam jiwa mereka. Haruslah merupakan tujuan utama mereka untuk bersifat simpati terhadap umat manusia (seorang beriman tidak boleh bersifat simpati hanya sesama orang beriman saja tetapi juga menjadi prinsip pokok mereka untuk berbelas kasih kepada sesama manusia). Mereka haruslah takut kepada Allah Azza wa Jalla. Mereka harus melindungi tangan dan lidah mereka dan pemikiran mereka dari setiap jenis amoral, jalan-jalan merusak dan pembangkangan semuanya dan juga pengkhianatan. Mereka harus melaksanakan shalat lima kali sehari dengan penuh keteraturan dan mereka harus menjauhi diri dari penganiayaan, kekerasan (agresifitas), penipuan, suap, perampasan harta orang lain, mengambil hak orang lain dan prasangka yang berat sebelah.

Mereka tidak boleh duduk-duduk dengan teman-teman pergaulan yang buruk, merusak dan jahat. Dan karena itu, engkau diminta untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan orang yang terbukti jelas tidak memenuhi perintah-perintah Allah atau tidak bersikap tulus dan tepercaya terhadap pemerintah yang baik, atau yang tidak peduli tentang pemenuhan hak-hak orang lain, atau yang suka menganiaya, atau yang menyakiti, atau yang karakter atau sifatnya rusak, atau yang ingin menipu hamba-hamba Allah secara terus-menerus, atau dia yang berbicara kasar, buruk, fitnah dan mengada-ada menentang orang yang kalian telah berbaiat dan taat padanya (Hadhrat Masih Mau’ud as). Maka dari itu, merupakan kewajiban kalian untuk memisahkan diri kalian dari keburukan itu dan orang berbahaya yang menimbulkan kerugian itu.”

(hal ini berarti, jauhilah setiap kumpulan orang yang berbicara menentang terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as. Hati-hatilah dalam menjalin persahabatan atau hubungan dengan orang yang demikian karena itu berbahaya sekali. Namun ini bukan berarti mencegah diri untuk bertabligh [tidak berdakwah]. Suatu keharusan yang menyampaikan risalah (pesan tabligh) kepada mereka karena orang yang berfitrat baik dan berotak adil akan mendengarkan baik-baik sebuah perkataan. Makna dari mewaspadai mereka ialah lindungilah diri kalian dari orang-orang yang bertabiat bermuka dua (munafik) atau mencaci Hadhrat Masih Mau’ud as dan bersikeras selain mengasosiasikan kata-kata yang buruk kepada beliau as atau berbicara yang menentang Nizham Jemaat)

Hadhrat Masih Mau’ud as kemudian bersabda:

“Jangan pernah berniat untuk menyakiti siapa pun dari agama manapun atau bangsa atau kelompok manapun. Jadilah orang yang nashih (berniat baik) dan mukhlish (tulus) bagi semua orang. Jangan biarkan orang yang jahat dan bersikap buruk di pertemuan denganmu atau memasuki rumahmu karena jika mereka tinggal dekat dengan engkau, engkau juga suatu waktu akan menderita dari kejahatan dan sikap buruk mereka.” (artinya, jika teman duduk kalian itu banyak sifat buruknya maka kalian juga akan menderita juga)

“Ini adalah persyaratan-persyaratan yang telah saya sebutkan berulang-ulang sejak awal. Setiap anggota Jemaat saya diwajibkan untuk mengikuti anjuranku semuanya. Pertemuan-pertemuan yang kalian laksanakan seharusnya tidak memiliki ketidaksucian atau olokan atau ejekan. Berjalanlah di bumi dengan hati yang murni, tabiat bersih dan pikiran yang bertakwa.

Ingatlah! Tidaklah setiap kejahatan layak untuk ditanggapi. Untuk itu, cobalah kalian membiasakan diri belajar memaafkan dan bersabar di berbagai situasi. Ambillah jalan kesabaran dan kesantunan! (Tidak membalas di setiap hal. Biasakanlah memaafkan. Berlakulah sabar dan santun!) Jangan pernah melakukan serangan terhadap siapa pun tanpa hak. Dan cobalah untuk mengendalikan emosi pribadi engkau. Jika engkau ikut dalam argumen atau diskusi agama, lakukanlah dengan cara yang sangat sopan dan beradab. Jika seseorang menganiaya engkau atau berbuat kasar di majelis pertemuan tersebut, katakanlah salam dan tinggalkanlah pertemuan itu. Jika kekasaran atau perilaku buruk ditimpakan kepada kalian, ketahuilah, janganlah kalian membalas perbuatan bodoh dengan kebodohan yang sama – atau jika tidak demikian, maka tidak akan ada perbedaan antara kalian dengan mereka.

Allah ingin membuat kalian semua Jemaat yang menjadi teladan kebenaran dan kebajikan bagi semua orang di dunia. Karena itu, keluarkanlah dari lingkaran pergaulan kalian yaitu mereka yang menjadi model dalam kerusakan, perilaku buruk, penghasutan dan perbuatan yang salah. Orang-orang dalam Jemaat kita yang tidak dapat hidup dengan kerendahanhati, kebajikan, ketakwaan, kesantunan, kelemahlembutan dalam berbicara dan karakter yang saleh, akan dengan segera [memisahkan diri] tidak menjadi bagian dari kami. Sebab, Tuhan kita tidak ingin orang yang demikian untuk hidup diantara kita. Dan orang tersebut pasti tidak akan memiliki akhirat yang baik karena ia tidak mengikuti jalan kesalehan.

Jadi, kalian harus menyadari hal ini! Milikilah hati yang suci-murni, bersifat rendah hati dan bertakwa dengan sebenar-benarnya. Kalian akan dikenali dari keteraturan kalian melaksanakan shalat dan akhlak kalian. Siapa pun memiliki benih perbuatan buruk tertanam di hatinya tidak akan dapat berpegang pada nasehat ini. Maka, hati kalian harus murni dari penipuan, tangan kalian harus terlindungi dari perlakuan buruk apapun dan mata kalian aman dari kenajisan apapun. Dalam diri harus ada tidak ada yang lain selain kebenaran dan empati terhadap sesama makhluk Allah.

Saya harapkan dari semua sahabat saya yang tinggal dengan saya di Qadian bahwa mereka hendaknya menjadi panutan dalam semua urusan kemanusiaan mereka. Saya tidak ingin siapapun yang menjadi bagian dari Jemaat suci ini orang yang karakternya bisa dipertanyakan, atau yang mungkin dapat ditunjuk padanya kritikan jenis apa saja pada kelakuannya. ia memiliki ketidaksucian jenis lainnya. Jadi, menjadi kewajiban dan keharusan bagi saja jika kami mendapatkan keluhan tentang siapa pun [diantara anggota Jemaat] yang mana ia sengaja membuang kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, atau ia merupakan bagian dari kelompok orang yang tidak senonoh dan suka mengejek (yaitu majelis para penentang yang biasa mencaci-maki dan mengecam atau majelis pertemuan yang buruk dalam kategori umumnya) atau memiliki beberapa jenis lain karakteristik yang buruk, maka dia akan saya keluarkan dari Jemaat dengan segera.

Fakta bahwa lahan garapan yang dipersiapkan dengan kerja keras dan penuh kesulitan, ditemukan juga beberapa gulma yang tumbuh di lahan tersebut yang mana harus dihancurkan dan dibakar. Seperti demikianlah sunnah Allah (proses alami) telah berlaku senantiasa dan Jemaat saya tidak dikeluarkan dari hal itu. Saya tahu bahwa orang-orang yang benar-benar merupakan bagian dari Jemaat saya hati mereka telah dibentuk oleh Allah sehingga benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan yang salah. Mereka cinta kebenaran dan ketakwaan. Dan saya berharap bahwa kehidupan mereka akan memberikan teladan yang sangat baik untuk orang lain.”

Semoga Allah membantu kita untuk membentuk hidup kita sesuai dengan nasehat-nasehat dari Hadhrat Masih Mau’ud as ini. Aamiin. Semoga Allah membantu kita untuk memenuhi janji baiat yang telah kita buat dan semoga kita dapat menghabiskan hidup kita untuk mendapatkan kecintaan dan ridha Allah, semoga kita dapat hidup sesuai dengan harapan Hadhrat Masih Mau’ud as dan menjadi panutan bagi orang lain, Aamiin.

Semoga Allah memuliakan kita dan mencurahi kita dengan karunia yang tak terhitung jumlahnya. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita keberhasilan-keberhasilan yang telah ditakdirkan untuk Jemaat Hadhrat Masih Mau’ud as. Semoga tahun yang akan datang akan penuh berkah (Aamiin) dan semoga rencana musuh yang dirancang guna memusuhi Jemaat tidak berhasil (Aamiin). Orang-orang Pakistan tidak dapat pergi ke Jalsah Salanah Qadian di tahun ini dan mereka sangat bersedih karena itu. Semoga Allah memenuhi keinginan mereka di masa depan. Semoga Allah membantu dan menghibur para Ahmadi di Aljazair yang sedang menghadapi kasus tuntutan di pengadilan terhadap mereka dan mereka yang berada di tahanan polisi. Semoga Allah memudahkan kesulitan mereka dan mereka segera dibebaskan (Aamiin). Ketika musuh meningkat dalam penyerangan dan tindakan kekejaman mereka maka kita juga perlu menjadikan hidup kita sesuai dengan ridha Allah dan berdoa lebih sering lagi kepada Allah. Semoga Allah memberikan kita taufik (kekuatan dan keberanian) untuk melakukannya (Aamiin).

Penerjemah                         : Dildaar AD

sumber referensi           : www.IslamAhmadiyya.net (bahasa Arab) dan Ratu Gumelar dengan sumber referensi : www.alislam.org (bahasa Inggris)


[1] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abu Musa Al’Asy’ari jilid 6, hal 614-615, hadits no 19835, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut edisi th 1998 “…Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: ‘Wahai sekalian manusia, takutlah pada syirik ini, karena ia lebih halus daripada rayapan kaki semut hitam.’ Kemudian orang yang dikehendaki Allah bertanya kepada beliau: ‘Bagaimana kami bisa menghindarinya, sedangkan ia lebih halus dari rayapan semut, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Ucapkanlah: «اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ، وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ» “Allaahumma inna na’uudzibaka min an nusyrika bika syai-aan na’lamhu wa nastaghfiruka lima laa na’lamu – “Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari mempersekutukan Engkau dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon perlindungan (penjagaan) kepada Engkau dari apa saja [melakukan hal-hal syirk] yang kami tidak ketahui.” (at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no. 3503) (at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath)

[2] Sirajuddin Isai ke Car suwalon ka jawab, Ruhani Khazain jilid 12, h. 349.

[3] Sunan Ibni Majah, bab ijtinaab al-bida’i wal jadal, no. 46.

Pada suatu ketika Hadhrat Rasulullah saw bersabda, أَلاَ إِنَّ قِتَالَ الْمُؤْمِنِ كُفْرٌ وَسِبَابُهُ فُسُوقٌ ‘Alaa inna qitaalal mu-mini kufrun wa sibaabuhu fusuuqun.’ – “Ketahuilah, membunuh orang beriman itu kekafiran, sementara mencaci-makinya adalah perbuatan fasiq.”

[4] Ahmad 3/428, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/43

[5] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abdullah ibn Mas’ud, 3579.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الظُّلْمِ أَعْظَمُ قَالَ ذِرَاعٌ مِنْ الْأَرْضِ يَنْتَقِصُهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلَيْسَتْ حَصَاةٌ مِنْ الْأَرْضِ أَخَذَهَا إِلَّا طُوِّقَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى قَعْرِ الْأَرْضِ وَلَا يَعْلَمُ قَعْرَهَا إِلَّا الَّذِي خَلَقَهَا‏.‏

[6] Jami’ at Tirmidzi, Kitab tentang Jual-Beli, no. 3534

[7] Adabul Mufrad Kitab at namam, no. 323, karya Imam al-Bukhari. Asma ‘binti Yazid melaporkan bahwa Nabi, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, bersabda, أَلا أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ “Apakah aku akan memberitahu Anda siapa yang terbaik dari Anda sekalian?” “Ya,,” jawab mereka. Beliau mengatakan, ” خِيَارُكُمُ الَّذِينَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللَّهُ “Yaitu mereka yang membuat Anda teringat tentang Allah ketika Anda melihat mereka.” Beliau melanjutkan dengan mengatakan, ” أَلا أُخْبِرُكُمْ بِشِرَارِكُمْ “Haruskah aku memberitahu Anda mereka yang terburuk?” “Ya,” jawab mereka. Beliau mengatakan, ” شِرَارُكُمُ الْمَشَّاءُونَ بِالنَّمِيمَةِ ، الْمُفْسِدُونَ بَيْنَ الأَحِبَّةِ ، الْبَاغُونَ الْبُرَاءُ الْعَنَتَ ” “Mereka yang pergi dengan membawa fitnah adu domba bagi orang-orang, menyebabkan kerusakan hubungan yang memisahkan mereka, dan menginginkan untuk mengarahkan orang-orang tidak bersalah kedalam tindakan yang salah.”

[8] Shahih Muslim, Kitab tentang Iman, Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, ‏ “‏ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ‏” “Seseorang berada diantara Syirk dan kekafiran dengan meninggalkan shalat.” ‏

[9] Sunan at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’waat (doa-doa), bab 115, 3895.

[10] Asy-Syifa fi Huquqil Mushthafa karya Qadhi Iyadh.

Sunan at-Tirmidzi, Kitab tentang keutamaan Shalawat atas Nabi saw, bab-bab tentang Witr, hadits 486. Hadhrat Umar ra bersabda, إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ‘innad du’aa-a mauquufun bainas samaa-i wal ardhi laa yash’udu minhu syai-un hatta tushalli ‘alaa Nabiyyika shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.’ – “Suatu doa akan ditangguhkan diantara Bumi dan Langit [tidak ada bagian dari doa yang akan sampai kepada Allah], hingga kalian bershalawat atas Nabi kalian shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.”

[11] Sunan Abu Daud, Kitab tentang Witr, bab istighfar, 1518.

[12] Sahih Muslim kitabul iman bab tahrimul kibri wa bayanahu, 147

Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah! Manusia ingin berpakaian bagus, bersepatu bagus dan cantik.” Beliau saw bersabda, “‏ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ ‏” ‘InnAllaha Jamiilun yuhibbul jamaala, al-kibru batharal haqqa wa ghamthun naas.’ – “Itu bukan takabbur. Allah Maha Indah, dan menyukai keindahan. Takabbur adalah manusia menolak kebenaran, menganggap orang lain rendah, memandang mereka dengan pandangan hina, dan memperlakukan mereka dengan buruk.”

[13] Al-Isti’aab fi ma’rifatil ash-haab, karya Imam Ibni Abdil Barr

[14] Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir dan Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi dalam Syi’bil Iman dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. Tertera sebuah riwayat yang bersumber dari Hadhrat ibn Abbas. Riwayat lain, Abdullah ibn Masud dan Abu Hurairah menyebutkan, ” الخلق كلهم عيال الله ، فأحب خلقه إليه ، أنفعهم لعياله “ Mirqatul Mafaatih syarh Misykat, karya Mulla Ali al-Qari menyebutkan الخلق كلهم عيال الله

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.