Segi-Segi dan Standar Tinggi Taqwa

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin

Hadhrat  Mirza Masroor Ahmad

  Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Tanggal 3 Hijrah 1392 HS/Mei 2013

Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ * وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Hai orang yang beriman! takut kepada Allah, dan hendaknya setiap jiwa melihat apa yang ia siapkan untuk besok. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  Dan janganlah seperti orang yang lupa pada Allah, maka Dia membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka inilah orang-orang yang fasik.” (QS.59:19-20).

Allah Ta’ala telah menjadikan ketakwaan sebagai syarat mendasar bagi seorang mu’min (orang beriman). Tidak terhitung ayat Al-Quran memberikan berbagai perintah dalam berbagai bidang untuk menjalankan dan mempertahankannya. Al-Quran menyebut mereka yang mengikuti perintah tersebut sebagai muttaqi atau orang-orang yang berjalan di atas jalan halus taqwa dan telah memperingatkan mereka yang tidak mengamalkannya tentang akibat mereka.

Jika demikian, maka  apakah taqwa itu? Definisinya atau kata-kata ringkasnya sebagaimana dapat kita peroleh dari Al-Quranul Karim adalah membayar hak-hak Allah (memenuhi kewajiban terhadap-Nya) dan untuk mencari ridha-Nya, juga membayar hak-hak makhluk-Nya dengan mendahulukan ridha Allah atas segala sesuatu yang lain, dan meyakini Allah sebagai Satu dan tidak ada bandingannya dan Sumber semua kekuatan.

Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam menulis: “Pemeliharaan (penjagaan) terhadap amanat Allah Ta’ala, dan memenuhi semua janji keimanan sepenuh kemampuan, dengan menggunakan semua kekuatan dan anggota badan baik yang lahiriah dari kepala hingga kaki, seperti mata, telinga, tangan, kaki dan lain-lain yang sepertinya, dan yang batiniah, seperti pikiran serta kemampuan dan sifat lainnya, pada kesempatan yang tepat dan menahannya bertindak pada kesempatan yang tidak tepat, dan menjaga dari serangan halus setan dan menjaga hak-hak sesama makhluk hidup juga, adalah cara menyempurnakan seluruh keindahan rohaniah seseorang.”[2]

Pendek kata, ini adalah standar yang Hadhrat Masih Mau’ud a.s. jelaskan kepada kita dan ini juga harapan beliau terhadap kita. Beberapa Jumat lalu saya telah menarik perhatian kearah penunaian hak-hak [kewajiban-kewajiban terhadap] amanat dan perjanjian keimanan dengan mengacu kepada pengurus Jemaat. Hari ini masalah itu dijelaskan lebih lanjut.

Cara Meraih Kedekatan kepada Allah Swt dan

Pentingnya Mewaspadai Serangan Halus Setan

Di masa ini, para Ahmadi-lah yang beruntung dari antara orang-orang beriman; merekalah yang perhatiannya telah ditarik kepada detail (rincian) halus untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Ini adalah ihsan (jasa kebaikan) Hadhrat Masih Mau’ud a.s. kepada kita bahwa beliau telah berulang kali menunjukkan kita jalan menuju maqam-maqam tinggi yang dengannya seorang mu’min dapat meraih kedekatan kepada Allah.

Tentu saja, setiap orang memiliki tingkat kesalehan, tingkat firasat, tingkat pemahaman dan tingkat ilmu yang berbeda-beda, satu sama lain tidak sama. Karena itulah diperintahkan bahwa setiap orang harus berusaha sebaik kemampuan masing-masing dan semaksimal mungkin untuk memenuhi perjanjian dan amanat yang dibuatnya kepada Allah. Jika setiap mumin berusaha mencapai level puncak dalam hal ini, maka ia akan menjadi orang yang termasuk menjalankan ketakwaan. Penggunaan tangan, kaki, telinga dan mata secara tepat telah diperintahkan, dan menghindari apa pun yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala adalah wajib.

Penggunaan anggota badan atau kemampuan yang lahiriah tidak hanya harus dilakukan dengan memberikan hak-hak sesama makhluk atau bila tidak memberikan hak-hak tersebut maka akan ditanyakan (diminta pertanggungjawabannya), bahkan, ada banyak aspek perbuatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan sesama makhluk dan aspek perbuatan ini tidak menguntungkan atau merugikan. Jika hal ini kita renungkan lebih dalam, kita menyadari bahwa orang memberi manfaat atau merugikan dirinya sendiri melalui perbuatanperbuatan tertentu yang dilakukannya, namun  Allah telah memerintahkan atau melarangnya. Jadi, dengan melakukan hal yang dilarang, manusia keluar dari batas ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dan melanggarnya. Dengan tidak melakukan apa yang telah diperintahkan, manusia telah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Jadi, dengan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah atau tidak melakukan sesuatu seperti yang diperintahkan oleh-Nya, manusia melanggar batasan-batasan Allah dan menjadi jauh dari taqwa. Semakin jauh seseorang dari ketakwaan, semakin jauh dia jatuh di pangkuan setan. Inilah sebabnya mengapa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa seorang mukmim tidak hanya harus menghindari apa yang bertentangan dengan ridha Allah Ta’ala, tetapi juga harus selalu waspada terhadap serangan tersembunyi setan. Kewaspadaan terhadap hal ini menjaganya dari serangan tersembunyi setan.

 Setan menyerang dengan berbagai cara. Di zaman ini ada banyak penemuan modern yang merugikan manusia. Bukannya digunakan dari aspek tujuan baiknya, malahan itu kadang-kadang digunakan dalam cara yang menimbulkan bahaya serangan setan.

Kebebasan Pribadi yang Merugikan Kehidupannya di Dunia dan di Akhirat, dan Akhirnya Merugikan Sesamanya

 

 Hal-hal itu menjauhkan seseorang dari ibadah kepada Tuhan dan memiliki efek yang merugikan terhadap moral. Secara lahiriah orang berpikir, “Ini adalah masalah pribadi saya, apa hubungannya dengan orang lain jika seseorang berjudi, atau menonton film larut malam di internet atau TV atau beberapa hal lainnya yang kulakukan?”

Banyak hal tidak pantas yang orang lakukan dan mereka pikir bahwa mestinya tidak ada seorang pun yang keberatan (mempertanyakan) hal ini karena itu tidak merugikan siapa pun secara langsung. Namun perbuatan-perbuatan yang salah, yang tidak berkenan di mata Allah Ta’ala, hal-hal yang bertentangan dengan ridha-Nya; itu semua menjauhkan seseorang dari ibadah kepada Allah, menjauhkannya dari menunaikan hak-hak Allah serta juga menjauhkannya dari memenuhi hak-hak hamba-hamba-Nya.

Minuman keras, judi, internet, film-film laghaw (menyia-nyiakan waktu) dan kotor, pertemanan yang tidak benar di negara-negara ini menyebabkan keluarga-keluarga pecah. Itu juga membawa para muda-mudi ke jalan yang salah, bahkan menyesatkan mereka dari keyakinan adanya Tuhan dan mereka akhirnya menjadi bahaya bagi masyarakat.

Oleh karena itulah, Tuhan telah berfirman, “Setiap anggota tubuh kalian, setiap kemampuan dan setiap pikiran kalian harus digunakan sesuai dengan ridha-Ku dan pada kesempatan yang tepat, dan ini menumbuhkan ketakwaan kalian. Adapun apabila kalian bertindak bertentangan dengan hal itu, kalian menyerahkan diri kalian sendiri dalam jeratan setan, dan barangsiapa yang menjatuhkan diri dalam jeratan setan, maka ia termasuk ke dalam orang-orang yang membuat kerugian.”

Di ayat-ayat yang dibacakan di awal, yang terjemahannya juga telah diperdengarkan kepada Saudara-saudara, Allah Ta’ala berfirman, “Setelah kalian beriman, jalankanlah ketakwaan. Wahai orang-orang yang telah beriman, hiasilah diri kamu dengan taqwa. Dunia ini, warna-warninya, tarikan dan kenyamanannya hendaknya tidak menjadi segalanya bagi kamu. Sebaliknya, kalian harus melihat apa yang telah kalian lakukan untuk mencari ridha Allah? Sebab  ini adalah perbuatan yang akan bermanfaat dalam kehidupan berikutnya (akhirat), sementara tarikan, kenyamanan dan kesenangan di dunia ini akan tetap tinggal di sini (di dunia).

Kalian harus mencermati diri kalian sendiri; karena akar dosa ialah ketika manusia tidak peduli akan dirinya sendiri dan melupakan Tuhan. Jika kalian menginginkan untuk mewarisi karunia-karunia di kehidupan yang kekal di kehidupan selanjutnya, maka kalian harus mencari jalan-jalan ridha-Nya, sembari memiliki keimanan sempurna atas-Nya. Kalian harus mengetahui tujuan penciptaan kalian.”

Anak-anak yang Shaleh adalah “Masa Depan”

yang Baik bagi Orang Tuanya di Dunia dan Akhirat

Ayat pertama dari dua ayat yang telah saya bacakan di awal adalah termasuk dari antara ayat-ayat yang biasa dibaca saat pernikahan. Allah Ta’ala dalam ayat ini menarik perhatian supaya manusia memikirkan kehidupan sendiri di masa depan, tarbiyat bagi generasi berikutnya, dan juga meningkat dalam kesalehan.

Secara khas ini adalah salah satu ayat dari antara ayat-ayat yang biasa dibaca dalam pernikahan. Sebab  anak-anak yang saleh adalah anak-anak yang senantiasa berusaha meraih ridha Allah Ta’ala. Anak-anak saleh tidak hanya menghiasi akhirat mereka sendiri, amal yang mereka lakukan dan doa yang mereka panjatkan untuk orang tua mereka, menjadi penyebab terangkatnya derajat-derajat orangtua mereka di akhirat.

Pendeknya, Allah Ta’ala berfirman menyatakan di sini bahwa, pada saat pernikahan hendaknya kalian ingat bahwa tarikan, kenyamanan dan kenikmatan dunia ini adalah hal yang sementara. Pernikahan dan persatuan duniawi adalah kesenangan sementara. Kebahagiaan sejati adalah dalam tercapainya ridha Allah yang dapat diraih di dunia ini juga serta buahnya dapat dinikmati orang mu’min di kehidupan berikutnya.

Tuhan berulang kali memerintahkan orang mu’min dalam berbagai corak, “Janganlah melupakan Tuhan! Tegakkanlah ketakwaan! Lakukanlah amalan yang akan menghiasi kehidupan ini (dunia) dan kehidupan selanjutnya (akhirat)! Di dunia ini jadikanlah diri kalian sendiri sebagai orang-orang yang meraih ridha Allah Ta’ala, begitu pula jadikanlah diri kalian sebagai peraih ridha Allah Ta’ala di kehidupan selanjutnya,  dan ingatlah bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu yang kalian lakukan.

Setiap tindakan kecil dan sepele kita tidak terlewat dari pantauan-Nya. Setiap amal perbuatan diperhitungkan dalam kitab hisab (kitab perhitungan amal perbuatan). Oleh karena itulah, di dunia ini  insan harus melangkah dengan sangat hati-hati. Beriman dan menyatakan diri beriman tidaklah cukup, bahkan mencari jalan-jalan taqwa dan melangkah di atasnya adalah keharusan.”

Menempuh Kesulitan di Jalan Allah Membuahkan Surga dan Jangan Menetapkan Persyaratan

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda dalam sebuah pertemuan: “Dalam Islam, kehidupan sejati menghendaki kematian yang pedih, namun orang yang menerimanya adalah orang yang akhirnya memperoleh kehidupan. Hadits menyatakan bahwa manusia menganggap keinginan dan kesenangan duniawi sebagai surga, meskipun itu sebenarnya neraka. Orang shaleh menerima kesulitan di jalan Allah dan itulah surga.

 Tidak diragukan lagi bahwa dunia ini terbatas dan semua orang dilahirkan untuk mati. Akan datang waktunya ketika akhirnya terjadi perpisahan dengan semua teman-teman, rekan dan orang-orang tersayang. Semua kebahagiaan dan kesenangan yang tidak benar yang dianggapnya menyenangkan, mewujud menjadi kepahitan. Kesejahteraan dan kebahagiaan yang sebenarnya tidak dapat dicapai tanpa ketakwaan, dan menjalankan ketakwaan adalah seperti minum secangkir racun. (yakni  terlihat sangat sulit). Allah Ta’ala memberikan semua sarana kenyamanan bagi orang muttaqi (yakni  ketika manusia mengupayakan taqwa, Allah Ta’ala memberikan semua sarana kenyamanan baginya). Dia berfirman:

وَ  مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ  یَجۡعَلۡ لَّہٗ  مَخۡرَجًا ۙ﴿۲﴾ وَّ یَرۡزُقۡہُ  مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُ ؕ

“… Dan orang yang bertakwa kepada Allah – Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberikan rezeki dari tempat yang tidak ia sangka-sangka … ‘(Surah Ath-Thalaq [65]: 3-4).

Jadi, prinsip yang mendasari kebahagiaan adalah ketakwaan. Namun  untuk mencapai ketakwaan, kita hendaknya tidak membuat persyaratan. Setelah taqwa dijalankan, orang mendapatkan apa yang  ia pinta. Allah Ta’ala Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Jalankanlah ketakwaan, Dia akan memberikan apa yang kamu inginkan.”[3]

Yakni, hendaknya tidak meletakkan syarat demikian, bahwa, “bila kami diberikan hal-hal itu, tentu kami melakukan kebaikan.” Melainkan, hendaknya demikian, jalankanlah kebaikan, upayakanlah ketakwaan, upayakanlah kedekatan dengan Allah Ta’ala, niscaya Allah Ta’ala menciptakan perhubungan dengan-Nya sedemikian rupa sehingga apa pun yang diminta kepada-Nya  diberikan-Nya.

Takwa adalah  Tingkatan yang Sulit

Memang, dengan menjalankan ketakwaan, dapat menjadikan seseorang menerima segala macam karunia dari Allah, namun kita harus terus mengintrospeksi diri setiap waktu dan melihat apakah kita telah mematuhi janji mendahulukan keimanan atas hal-hal duniawi dan janji menempuh jalan ketakwaan dan menjaga perkataannya sesuai dengan perbuatannya.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. lebih lanjut bersabda: “Taqwa adalah tingkatan yang sangat sulit dan hanya orang yang benar-benar mengikuti kehendak Allah Ta’ala yang dapat menempuhnya. Ia melakukan apa-apa yang Dia (Allah) inginkan dan tidak mengutamakan dirinya sendiri. Tidak ada yang dapat diraih dengan kepura-puraan; karena itu yang dibutuhkan adalah karunia Allah. Hal ini dapat terjadi jika orang berdoa sambil berusaha. Allah Ta’ala telah memerintahkan keduanya, berdoa dan berupaya.”[4]

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga bersabda: “Tidak ada yang dapat menjadi suci kecuali jika Allah Ta’ala menyucikannya. Ketika jiwa seseorang jatuh (menjatuhkan diri) di pintu Allah dengan kerendahan hati dan kelemahlembutan, Allah Ta’ala akan mengabulkan doanya dan orang tersebut akan menjadi orang bertakwa serta akan menjadi orang yang mampu memahami agama Hadhrat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Yakni upayakanlah kerendahan hati dan kelembahlembutan. Hendaknya melakukan itu semata-mata untuk menginginkan karunia Allah. Niscaya akan mendapat karunia Ilahi. Tatkala karunia Ilahi didapatkan  taqwa pun diraih, dan tatkala taqwa diraih, saat itulah manusia dapat mengerti hakikat agama Hadhrat Rasulullah s.a.w. atau Islam.

 “Jika tidak, pernyataan apa pun tentang agama yang ia buat, amal ibadah dan lain-lain yang dilakukannya adalah adat kebiasaan dan pandangan yang dia ikuti semata-mata dengan meniru leluhurnya tanpa hakikat maupun kerohanian….” Yakni, dia mengikuti saja apa-apa kata-kata ayahnya dan kakeknya. Tidaklah ia menganggap diri Muslim kecuali karena ia lahir di rumah orang Muslim, dan dia menggolongkan diri sebagai Muslim Ahmadi karena lahir di rumah [atau keluarga] Ahmadi. Dia melakukan segala sesuatu karena taqlid (mengikut secara otomatis)  “…Padahal, sebenarnya hal yang mendasar adalah taqwa. Taqwa diraih dengan usaha, amal perbuatan, kerendahan hati, kesederhanaan dan doa.”[5]

Ketakwaan Diikuti Berbagai Berkat Ilahi dan Pentingnya Selalu Mengingat Allah Swt.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Raihlah ketakwaan karena ketakwaan diikuti oleh berkat-berkat Allah Ta’ala dan orang muttaqi diselamatkan dari bencana dunia.”[6]

Dengan karunia Allah, kita mengalami banyak berkat Allah dalam kedudukan kita sebagai Jemaat serta kita menyaksikan kemajuan Jemaat. Kita juga menyaksikan perlakuan istimewa Allah kepada Jema’at bahwa bagaimana Dia mengeluarkan kita dari jerat musuh pada saat yang sangat kritis (tanpa penolong).

Banyak anggota Jemaat yang sungguh-sungguh menjalankan ketakwaan dan mencari ridha Allah. Namun  setelah baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., kita semua harus selalu berusaha mencapai standar tinggi ketakwaan dan meraih kedekatan dengan Allah Ta’ala, sebagaimana seharusnya seorang Muslim sejati dan sebagaimana diinginkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. terhadap kita. Apakah itu? Yaitu, kita hendaknya selalu mengingat Tuhan.

Memang, Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kalian melupakan-Allah Ta’ala, kalian tidak merugikan Allah Ta’ala sedikit pun. Tiada masalah sedikit pun pada Allah Ta’ala. Ya, kelalaian kalian akan merugikan kalian sendiri.” Orang-orang yang melupakan Allah ialah mereka yang lemah dalam keimanannya, tidak beriman dengan sempurna, atau mengabaikan bahwa suatu hari mereka harus menghadap kepada-Nya, yang sebagai akibatnya amalan mereka sedemikian rupa sehingga kondisi moral dan kerohanian mereka mundur (jatuh), bagi mereka dunia lebih utama daripada agama. Perlakuan apa yang akan diberikan kepada mereka di akhirat, Allah saja yang tahu. Akan tetapi, apa yang kita saksikan mengenai itu ialah bahwa mereka juga kehilangan kedamaian batiniah, merusak ketenangan batiniah mereka dalam kehidupan dunia ini juga disebabkan oleh kegilaan mereka dalam keduniaan. Kita melihat bagaimana orang-orang semacam itu benar-benar sakit dan tidak sembuh-sembuh atas sedikit kerugian finansial atau duniawi.

Ringkasnya, Allah Ta’ala berfirman, “Dikarenakan kalian bahwa kalian mendakwakan memiliki iman, tetapi tidak berusaha untuk menjalankan ketakwaan. Bersamaan mendakwakan diri beriman namun tidak tertarik (tidak mengarahkan perhatian) untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk, maka jelas kalian tidak memiliki keimanan yang sempurna kepada Allah.

Ikrar Baiat  Sebagai Bukti “Syukur Nikmat”

Jika dalam situasi lemah dalam iman ini juga tidak ada upaya untuk ishlah (perbaikan) maka hidup kalian di dunia ini akan menjadi tidak tenang. Tidak hanya itu, orang tersebut akan dianggap fasiq (durhaka). Di sini, (QS.59:20), fasiq (durhaka) berarti seseorang yang berjanji untuk mematuhi perintah-perintah syariah tapi kemudian melanggar semua atau sebagian darinya.

Apabila kita melihat ayat-ayat Al-Quran lainnya maka kita akan mendapatkan makna demikian, bahwa orang yang tidak bersyukur atas berkat Tuhan  akan dikeluarkan dari orang-orang yang taat dan dianggap fasiq (durhaka) dan memiliki karakter buruk. Begitu ikrar baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. diucapkan, kita berjanji akan mengutamakan iman atas hal-hal duniawi, maka tidak peduli apapun kondisinya  perintah-perintah Allah tidak boleh diabaikan.

Hal kedua, bagi setiap orang Ahmadi, ini adalah karunia Allah atas mereka bahwa mereka telah diberi bagian dari ni’mat-ni’mat-Nya, yang diturunkan dalam corak diutusnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. oleh Allah Ta’ala, untuk menjalankan misi Rasulullah s.a.w. dan melakukan tajdid (pembaharuan) Islam. Memang, ni’mat nubuwwah (nikmat kenabian) adalah yang terbesar dari semua berkat Tuhan, yang mengenainya, kontradiksi aneh (dua perbuatan yang bertentangan) bisa ditemukan di kalangan umat Islam. Mereka berdoa untuk (nikmat kenabian) itu, tetapi pada saat yang sama mereka menolaknya. Hal ini merupakan kebaikan besar dari Allah Ta’ala kepada kita, bahwa kita beruntung telah diberi taufik untuk menerima nikmat ini, ni’mat yang didapat oleh orang yang menghambakan diri kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w., dan kita termasuk di antara mereka yang mengambil bagian dari nikmat ini.

 Ini akan terjadi dalam pengertian sesungguhnya, ketika kita menyesuaikan diri kita dengan perintah dan harapan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Untuk itu kita harus menjadi orang-orang yang senantiasa berusaha. Sebaliknya, jika tidak demikian, yakni kita lupa dan menjadi orang-orang yang tenggelam dalam kelalaian, maka akibatnya kita akan menimbulkan kemurkaan Allah. Kita harus selalu ingat, bahwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang dalam penghambaan kepada tuannya yang ditaati, Hadhrat Muhammad Rasulullah s.a.w. untuk menegakkan ke-Esa- an Tuhan dan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Keyakinan Sempurna akan Ke-Esa-an Tuhan (Tauhid Ilahi)

Ketakwaan sejati tegak ketika seseorang memiliki keyakinan yang sempurna tentang ke-Esa-an Tuhan, ridha-Nya adalah dambaan dan tujuan, dan fana (larut) dalam Tauhid Ilahi. Bila itu semua terjadi, maka tumbuhlah taqwa hakiki dalam diri insan.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menulis: “Tauhid bukan hanya mulut mengatakan “لا إله إلا الله” (laa ilaaha illallaah) sedangkan di dalam hatinya terkumpul ribuan berhala, yaitu bila seseorang menganggap pekerjaannya, rencananya, penipuannya dan daya-upayanya sangat penting dan agung, yang seharusnya ia menganggap sangat agung hanya terhadap Tuhan. Atau ia bertumpu sepenuhnya kepada seseorang manusia yang seharusnya ia harus bertumpu hanya kepada Tuhan, atau menganggap dirinya begitu agung yang harusnya ia menganggap demikian kepada Tuhan. Dalam semua posisinya seperti itu di sisi Tuhan, ia adalah penyembah berhala. Patung berhala bukan hanya yang terbuat dari mas, perak atau dari batu kemudian bertumpu kepada benda-benda itu, melainkan setiap sesuatu atau perkataan atau perbuatan yang diberikan pengutamaan sangat penting, atau dianggap sangat besar, yang merupakan hak Tuhan, dan dalam pandangan Tuhan hal itu semua adalah berhala.”[7]

Bersabda: “Ingatlah, Tauhid hakiki yang Allah Ta’ala kehendaki pernyataannya dari kita dan dengan pernyataan itu bergantung keselamatan kita ialah meyakini bahwa Tuhan dalam Zat-Nya suci bersih dari setiap syarik (sekutu, teman), baik yang berupa patung, yang berupa manusia, berupa matahari, yang berupa bulan atau ego seseorang atau tadbir (usaha) atau makar (rencananya) dan tipuan, dan juga tidak menganggap sesuatu lebih kuat dan lebih berkuasa dari Tuhan. Tidak menganggap sesuatu (seseorang) sebagai rāziq [pemberi rizki]. Tidak juga menganggap seseorang sebagai pemberi kehormatan atau kehinaan, melainkan hanya Allah Ta’ala yang memberi kehormatan dan kehinaan kepada seseorang.” Yakni tidak menganggap seseorang sebagai pemberi kehormatan atau pemberi kehinaan bahkan menganggap, bahwa Allah Ta’ala sajalah yang  memberikan kehormatan dan pemberi kehinaan.

Bersabda: “Tidak menetapkan seorang penolong dan seorang pendukung.”  — Tidak menetapkan seseorang (sesuatu) sebagai penolong dan pendukung selain Tuhan —  “Dan yang keduanya adalah kecintaannya khusus hanya ditujukan kepada-Nya, ibadahnya khusus kepada-Nya, merendahkan diri hanya di hadapan-Nya..” Sebagian orang menunjukkan perendahan dirinya di hadapan manusia lain, tetapi ini adalah tidak layak. Perendahan diri dan menghinakan diri adalah hanya layak kepada Allah Ta’ala saja. Selanjutnya beliau a.s. bersabda: “…harapan-harapannya hanya bertumpu kepada-Nya dan takut hanya kepada-Nya.”

Tiga Macam Keistimewaan Tauhid

Bersabda: “Jadi, tauhid tidak dapat mencapai kesempurnaan tanpa memiliki tiga macam keistimewaan ini. Pertama: Tauhid dari segi Dzaat, menganggap seluruh wujud (keberadaan, eksistensi) selain wujud-Nya seperti tidak ada.” Yakni segala yang maujud (ada/berwujud) di dunia ini tidak ada hakikat apa-apa —  “Menganggap segala sesuatu itu haalikatudz dzaat (dzat yang binasa, hancur, habis) dan baathilatul haqiiqah (hakikatnya batil, tidak memiliki hakikat apa-apa).”  Yakni semua benda, setiap sesuatu adalah rusak, hancur dan fana di dalam dirinya dan dalam hakikatnya tidak memiliki nilai apa-apa.)

“Kedua, Tauhid dari segi sifat-sifat, yakni tidak menetapkan Sifat Rabbubiyyat (Tuhan Pencipta Pemelihara) dan Sifat Uluhiyyat (Tuhan Yang Patut Disembah) kepada siapa pun atau sesuatu pun selain kepada Dzaat Tuhan, dan mereka yang secara lahiriahnya nampak sebagai rabbul anwaa’ atau pemberi berkat, kita meyakini ini sebagai satu bagian nizam-Nya.”

Yakni mereka yang nampaknya memberikan faedah duniawi atau yang dari mereka kita memperoleh manfaat. Allah Ta’ala telah menjadi manusia sebagai sarana untuk menyampaikan faedah bagi orang-orang lainnya, mereka menjadi alat pemeliharaan-Nya. Mengenai hal ini, mereka meyakini bahwa ini adalah bagian dari nizam Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menjadikan sesuatu sebagai sarana, namun mereka bukan pemilik kekuasaan untuk memberi, melainkan telah dijadikan sebagai sarana untuk memberikan faedah..

 “Ketiga, Tauhid dari segi mahabbat (kecintaan), shidq (ketulusan, keikhlasan) dan shafaa (kemurnian, kesucian) yakni tidak mempersekutukan (menduakan) Tuhan dengan sesuatu dalam segi mencintai dan dalam berbagai segi ‘ubudiyyat (pengabdian dan beribadah). Harus betul-betul terbenam dalam mencintai Tuhan.”[8]

Pendek kata, bila semua hal ini ada dalam diri seorang mu’min maka ia dapat disebut orang yang telah memenuhi kewajiban-kewajiban mengingat Tuhan dan telah menjalani ketakwaan (berjalan diatas jalan takwa). Mengenai kesempurnaan taqwa, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda di satu tempat: “Kesempurnaan taqwa adalah ketika manusia menghilangkan wujudnya tidak ada lagi dan pada dasarnya inilah Tauhid.”

[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Zhamimah Barahin-e-Ahmadiyyah Bagian V, Ruhani Khaza’in, vol. 21, hlm 209-210

[3] Malfuuzhaat, jilid som (III), hlm. 90, edisi 2003, terbitan Rabwah

[4] Malfuuzhaat, jilid som (III), hlm. 492, edisi 2003, terbitan Rabwah

[5] Malfuuzhaat, jilid som (III), hlm. 493, edisi 2003, terbitan Rabwah

[6] Malfuuzhaat, jilid som (III), hlm. 572, edisi 2003, terbitan Rabwah

[7] Siraj-ud-Din’. Isa’i Ke Char Sawalon ka Jawab, Ruhani Khaza’in, Vol. 12, hlm 349

[8] Siraj-ud-Din’ Isa’i Ke Char Sawalon ka Jawab, Ruhani Khaza’in, Vol 12, hlm 349-350 Essence of Islam, Vol I. Hal. 169 – 170

 

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.