Ahmadiyah meyakini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khataman Nabiyyin
Para Ahmadi dituduh tidak percaya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khataman Nabiyyin. Hal ini disebabkan karena salah memahami terhadap pandangan Ahmadiyah. Saya ingin menyampaikan hal berikut untuk menghilangkan kesalahpahaman ini.
Pertama saya ingin menyatakan dengan tegas bahwa para pengikut Ahmadiyah meyakini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khataman Nabiyyin – Stempel Para Nabi, sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Quran. Dan sungguh tuduhan yang sangat buruk terhadap Muslim Ahmadi yang menyatakan bahwa mereka tidak mempercayai doktrin Khataman Nubuwwah. Perbedaannya hanya pada penafsiran gelar tersebut, bukan pada gelar itu sendiri.
Almasih dan Mahdi yang Dijanjikan, Pendiri Islam Ahmadiyah (as) bersabda:
وبعزة الله وجلاله، إنى مؤمن مسلم، وأؤمن بالله وكتبه ورسله وملائكته والبعث بعد الموت، وبأن رسولنا محمد المصطفى صلى الله عليه و سلم أفضل الرسل وخاتم النبيينز
“Aku bersumpah demi kemuliaan dan keagungan Allah bahwa aku adalah mukmin, seorang muslim, dan aku beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan kepada kehidupan setelah mati. Dan aku meyakini bahwa Nabi kita Muhammad Mustafa shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Afdholu Rusul [Rasul paling mulia di antara para nabi] dan Khatamun Nabiyyin [stempel para nabi].” (Hamamatul Bushra, Ruhani Khazain hal. 184)
Beliau kembali bersabda:
“Tuduhan yang ditujukan kepadaku dan Jemaatku bahwa kami tidak mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khatamun Nabiyyin adalah suatu kebohongan yang besar. Keimanan, keyakinan, kepastian dan keteguhan yang menjadi ciri keimanan kami terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai khatamun nabiyyin, sama sekali tidak ada dalam keimanan orang-orang ini (mereka yang melontarkan tuduhan ini kepada kami).” (Al-Hakam, 19 Maret 1905)
Kebanyakan umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi yang akan datang setelah beliau. Pertama-tama saya akan menerangkan dan mengkaji dalil-dalil yang diberikan untuk mendukung keyakinan ini, kemudian saya akan menunjukkan bahwa hal ini memang dibenarkan dalam arti tertentu.
Al-Qur’an menyatakan bahwa:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Muhammad bukan bapak salah seorang laki-laki di antaramu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyin, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]:41)
Arti sebenarnya dari Khatam adalah Stempel atau segel (lihat Tajul Arus, Lisanul Arab, dan Qamus), dan kalimat tersebut harus ditafsirkan berdasarkan makna ini.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa keliru jika kita menafsirkan kata Khatam dalam ayat ini sebagai akhir atau penutup (lihat Muqaddimah Vol II, hal. 54, Paris). Beliau berpendapat bahwa kata Khatam artinya penyempurnaan dan penyelesaian sesuatu, yang selanjutnya ia jelaskan dengan kata, keaslian (otentisitas), kesempurnaan dan keabsahan [validitas]. Ketika surat dibubuhkan stempel, maka surat itu menjadi asli dan lengkap. Stempel itu dapat ditempelkan di akhir atau di awal. Oleh karena itu, menurut beliau, Khataman Nabiyyin berarti nabi yang paling benar dan paling sempurna dan bukan yang terakhir dari sisi waktu. Khataman Nabiyyin mengacu pada status dan kedudukan di antara para nabi dan bukan pada waktu kedatangannya.
Penggunaan kata Khatam
Dalam salah satu sabdanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil paman beliau, yakni Abbas (ra) dengan Khatamul Muhajirin (lihat Kanzul Umal, Vol. VI, hal. 178). Namun hal ini tidak berarti bahwa Abbas adalah muhajir (pengungsi) terakhir dalam umat Islam.
Demikian pula, Ali (ra) disebut sebagai Khatamul Auliya’ (lihat Tafsir Safi di bawah ayat Al-Qur’an 33:41). Ibnu Khaldun mengatakan kalimat ini diartikan bahwa Ali adalah wali yang sempurna dan bukan yang terakhir (lihat Muqaddimah, Vol. II hal. 165-167).
Seorang penyair Arab, Hasan bin Wahab, menyebut Abu Tamam (penggubah Himasa) sebagai Khatamusy-Syu’ara (lihat Wafiyatul A’ayan Li Ibn Khallikan, Vol. I, hal. 123, Kairo). Jelas sekali Abu Tamam bukanlah penyair terakhir. Kata Khatam yang digunakan dalam kalimat tersebut artinya yang terbaik dan bukan yang terakhir.
Konteks sebuah ayat merupakan faktor terpenting dalam menentukan makna sebenarnya. Jika kita melihat konteks kata-katanya, kita yakin akan arti yang sama. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut: “Muhammad bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antaramu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin.”
Jelas sekali bahwa Allah membantah suatu tuduhan, yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mempunyai keturunan laki-laki. Di tempat lain kita membaca dalam Al-Quran: “Sesungguhnya musuh engkau lah dan bukannya engkau yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai keturunan.” (QS Al-Kausar [108]:4)
Kata-kata ini diturunkan ketika Al-Aas Ibnu Wayel memanggil Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebutan Abtar (tidak mempunyai anak atau keturunan) atas kewafatan putra beliau Al-Qasim (lihat Tafsir Jalaluddin di bawah ayat 108:4). Sebagai jawaban atas ejekan musuh, Allah menyatakan dalam ayat yang sedang dibahas bahwa garis keturunan laki-laki secara fisik tidak diragukan lagi terputus karena kematian putra-putra beliau, tetapi dikarenakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Utusan Tuhan, beliau memiliki pengikut setia yang akan membentuk garis keturunan rohani yang berkesinambungan dan panjang untuk menjaga ingatan, nama, dan ajaran beliau tetap hidup selama-lamanya.
Para pengikut seorang nabi seringkali digambarkan sebagai anak-anak rohaninya. Arti kata Khataman Nabiyyin harus sesuai dengan konteks ini. Mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi terakhir dan tidak akan ada nabi setelah beliau tidak berarti apa-apa bagi beliau. Musuh-musuh beliau bisa saja menambahkan penghinaan dengan mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga gagal menghasilkan keturunan dalam arti rohani dan dengan demikian membuktikan dirinya (naudzubillah min dzalik) mandul dan abtar dalam segala hal.
Oleh karena itu, sesuai dengan konteksnya, Khatamun Nabiyyin harus diartikan bahwa keturunan rohani Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan berada dalam kedudukan yang rendah. Menurut firman Allah mereka akan mencapai keistimewaan rohani yang tinggi sehingga dengan mengikuti jejak beliau, beberapa di antara mereka bahkan akan menjadi nabi.
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebut di sini sebagai Sahibul-Khatm [pemilik stempel] yang tidak hanya mengesahkan dan mengotentikasi kedudukan nabi-nabi sebelumnya, tetapi juga memberikan tanda kenabian yang khas bagi mereka yang menjadikan diri mereka layak menerimanya. (Haqiqatul Wahi oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 56). Kita membaca di dalam Alkitab: “Tuhan akan menjadikan engkau kepala dan bukan ekor; engkau hanya akan berada di atas dan tidak berada di bawah.” (Ulangan 28:13)
Oleh karena itu, menjadi ujung dari sebuah barisan bukanlah suatu penghargaan atau keistimewaan. Sekalipun kita mengartikan kalimat Khataman Nabiyyin sebagai nabi terakhir; kita harus menafsirkannya dengan makna bahwa beliau adalah yang terakhir dalam arti beliau telah mencapai tingkat kesempurnaan yang tidak mungkin dilampaui oleh siapa pun. Beliau telah mencapai semua tingkat kesempurnaan dan tidak ada seorangpun dapat melampaui atau atau menggantikannya. Beliau adalah Kepala para nabi dan bukan ekornya.
Tidak Syariat Baru
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling agung bukan karena beliau muncul terakhir, namun karena beliau telah membawa syariat terakhir yang sempurna dan tidak akan pernah tergantikan ataupun terlampaui. Ibnu Khaldun juga menyebutkan makna ini dalam Muqaddimah-nya (Vol. II, p. 165, Paris).
Ali Bin Muhammad Sultan Al-Qari (Mulla Ali Qari) menafsirkan kalimat ini dalam pengertian yang sama. Ia mengatakan bahwa kalimat ini berarti tidak akan datang seorang nabi setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dapat membatalkan hukumnya dan yang bukan merupakan pengikutnya. (Mauzuat Kabir, hal.69).
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi mengatakan bahwa kenabian yang membawa syariat telah berakhir dengan kedatangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Fususul Hikam, hal. 140)
Shah Waliullah Muhaddas dari Delhi menulis bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan nabi terakhir dalam arti bahwa tidak akan ada seorang pun setelah beliau yang mengumumkan syariat yang baru bagi umat. (Tafhiimat Ilahiya, 53)
Sayid Abdul Qadir Jailani menjelaskan: “Syariat kenabian telah berakhir dan lengkap pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau disebut Khataman Nabiyyin. (Al-Insanul Kamil, Bab 36)
Maulana Abdul Haye dari Lukhnow mengatakan: “Bukan tidak mungkin bahwa seorang nabi baru akan muncul pada masa atau setelah zaman Muhammad, namun membawa syariat baru adalah suatu kemustahilan mutlak.” (Dafi’ul Wasawis fi asr ibn Abbas, hal. 12)
Keterangan Hadits
Sekarang saya akan membahas Hadis mengenai hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali Bin Abi Thalib (ra):
أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
“Engkau di sisi aku seperti Harun di sisi Musa, kecuali (bedanya) sesudah aku tidak ada nabi.” (Abu Dawud, Tirmidzi, Misykat)
Kalimat terakhir diterjemahkan sebagai ‘tidak ada nabi setelahnya’. Berdasarkan kata-kata ini dikemukakan bahwa jika memang ada kemungkinan bagi seseorang untuk menjadi seorang nabi, maka tidak ada seorang pun yang lebih layak selain Hazrat Ali (ra), yang bukan saja merupakan kerabat dekat namun juga penerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khalifah ke-4.
Kata-kata tersebut diucapkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Tabuk dan menunjuk Ali (ra) sebagai Amir di Madinah menggantikan beliau. Ali (ra) berkeinginan untuk ikut dalam pertempuran dan tidak ingin ketinggalan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan Hazrat Ali (ra) akan pentingnya tugas beliau dengan merujuk pada Harun (as) yang ditunjuk sebagai Amir Israel ketika Musa (As) pergi ke Gunung Sinai.
Harun (as) adalah saudara laki-laki Musa (as) dan merupakan seorang nabi Allah. Ali (ra) adalah sepupu beliau namun bukanlah seorang nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa berterus terang, tetapi jangan sampai ada yang salah paham tentang ini, maka beliau menambahkan bahwa beliau tidak meninggalkan seorang nabi di belakang beliau. Kata Ba’ad artinya di belakang. (lihat Leksikon Lane I, hal. 225)
Kontek hadits ini adalah untuk memberitahu Ali (ra) bahwa dia ditinggalkan seperti Harun (as) tetapi dia bukanlah seorang nabi. Kata-kata tersebut tidak dapat diartikan untuk masa depan yang jauh. Kalimat ini digunakan dan dimaksudkan untuk peristiwa khusus itu. Kata Ba’ad sering digunakan dalam pengertian ini. Dalam Al-Quran surah 7 ayat 149, kata ini diterjemahkan oleh Pickhall sebagai `setelah aku meninggalkanmu’. Kata Ba’ad juga digunakan dalam arti Ma’a, yaitu dengan. (Leksikon Lane I, hal. 225) Dalam pengertian ini, kalimat Laa Nabiya Ba’di berarti tidak ada nabi bersama beliau.
Menarik untuk dicatat bahwa dalam tradisi Syiah kata-kata yang digunakan adalah Laisa Ma’a Nabiyun, yaitu tidak ada nabi bersamaku (Amalii).
Dalam hadits-hadits lain, kata-kata yang diriwayatkan cukup jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan “hanya saja engkau bukan seorang nabi”. (Tabaqati Kabir, Vol. V., hal. 15)
Ada hadis lain yang sangat jelas: “Tidakkah engkau ingin menjadi seperti Harun bagi Musa, hanya saja engkau bukanlah seorang nabi”. (Biharul Anwar, Kitabul Manaqib, Vol. 9, Iran)
Dengan mengartikan kata Ba’ad setelahnya, kita dapat menafsirkan kalimat tersebut dengan cara lain. Jika kita mendalami bahasa idiom kita menemukan bahwa kata-kata tersebut tidak dapat dipahami dalam arti harfiahnya.
Ada hadis lain dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ, وَاِذَ هَلَكَ قَيْصَرَ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ
“Ketika Kisra wafat, tidak akan ada lagi Kisra setelahnya, dan ketika Kaisar meninggal tidak akan ada lagi Kaisar setelahnya.” (Bukhari, Vol. IV, p. 91, Mesir)
Hal ini dijelaskan dalam Fathul Bari, Vol. VI sebagai berikut:
“Tidak ada Kisra yang akan mengurus urusan Negara sebaik yang telah dilakukan Kisra ini.”
Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa tidak akan ada lagi raja setelah Kisra ataupun Kaisar.
Muhyiddin Ibnu Arabi menafsirkan La Nabiyya Ba’di dengan mengatakan bahwa tidak akan ada nabi yang akan membatalkan atau bertentangan dengan syariat Islam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (Futuhat Makiyah Vol. I, hal. 569; Vol. II, hal. 3, 64, 417)
Imam Muhammad Tahir Gujrati juga mengatakan hal serupa. (Takmala Majmaul Bihar, hal. 85) Imam Sya’arani juga menafsirkan kata-kata tersebut dengan cara yang sama. (Al-Yawaqit Wal Jawahir, Vol. II, hal. 22). Nawab Siddique Hasan Khan menyatakan hal serupa. (Iqtarabus Sa’ah, hal. 162)
Aisyah (ra), yang kedudukannya masyhur mengatakan:
قُولُوا إِنَّهُ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ وَلَا تَقُولُوا الَّا نَبِيَّ بَعْدَهُ
“Katakanlah olehmu bahwa beliau adalah Kataman Nabiyin, tetapi jangan katakan bahwa tidak ada lagi nabi setelah beliau”. (Takmilah Majma’ul Bihar, hal. 88). Imam Suyuthi menulis bahwa Mughira juga mengutarakan pendapat yang sama. (Duri Mansur)
Hadits lain yang dikemukakan adalah:
لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيُّ لَكَانَ عُمَرُ
“Jika sekiranya ada nabi sesudahku, niscaya Umar-lah orangnya.” (Misykat Al-Mashabih Jilid ke 2, 3, 4, Kitabul Manaqib nomor 6047 (13) hal. 419).
Kata Ba’d seperti disebutkan sebelumnya juga berarti `dengan’, dan di sini kita tidak dapat membatasi maknanya dengan ‘setelah’. Oleh karena itu, hadis tersebut harus diterjemahkan sebagai: “Seandainya ada seorang nabi bersamaku, pastilah Umar.”
Dalam hadist lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya aku tidak dibangkitkan, maka pastilah engkau, wahai Umar.” (Mirqat, Vol. V, p. 539). Kalimat lainnya adalah, “Seandainya aku tidak dibangkitkan, niscaya Umar akan dibangkitkan di antara kamu.” (, hal. 103)
Hadits-hadits ini hanya menunjukkan bahwa Umar (ra) mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang nabi, selayaknya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawa syariat Islam. Jadi hadis yang dimaksud artinya jika ada seorang nabi yang membawa syariat baru, bisa jadi dia adalah Umar (ra). Hal ini tidak berarti bahwa tidak akan ada lagi nabi setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas menyiratkan hal yang sebaliknya.
لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى رسُولُ اللهِ صلعم وَقَالَ إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقَا نَبِيًّا
“Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah saw wafat, beliau menyolatkan jenazahnya. Kemudian beliua bersabda: “Sesungguhnya di surga ia ada yang menyusukannya. Seandainya saja usianya panjang, ia pasti akan menjadi nabi yang benar.” (Ibnu Majah, Jilid I, hal.237)
Beliau tidak dapat mengatakan hal ini jika benar-benar mustahil bagi siapa pun untuk menjadi seorang nabi. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki pemikiran tentang masih berlangsungnya kenabian setelah beliau.
Hadis lain menunjukkan pengaruh yang sama dimana beliau bersabda:
أَبُو بَكْرٍ أَفْضَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَبِيٌّ
“Abu Bakar ra adalah orang yang terbaik dari umat ini, kecuali kalau ada nabi.” (Kanzul Umal)
Hadits selanjutnya yang dikemukakan adalah:
وَأَنَا الْعَاقِبُ الَّذِى لَيْسَ بَعْدَهُ أَحَدٌ
“Aku adalah Aqib yang tidak ada kenabian setelahnya (Tirmidzi). Keaslian Hadis ini sangat dipertanyakan. Mulla Ali Qari, seorang kritikus hadits yang diakui, dengan tegas menyatakan bahwa bagian terakhir dari hadis ini palsu. Katanya, sepertinya itu adalah penafsiran kata Aqib yang diberikan oleh beberapa perawi. (Mirqat, Vol.V, hal.367)
Hadits berikutnya yang mendukung keyakinan ini adalah:
أَنَا آخِرُ الأَنْبِيَاءِ وَأَنْتُمْ آخِرُ الأُمَمِ
“Saya adalah nabi terakhir dan kamu adalah umat terakhir.” (Muslim)
Arti dari hadits ini dijelaskan oleh Hadits lain yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِنِّي آخِرُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّهُ آخِرُ الْمَسَاجِدِ
“dan masjid saya adalah masjid terakhir.” (Muslim, Kitabul Haj Fadhlis Shalat, hal. 531)
Jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bermaksud bahwa tidak ada nabi setelah beliau, jika tidak, maka kita harus menyimpulkan bahwa beliau tidak ingin umat Islam membangun satupun masjid lain. Jelas yang dimaksud beliau adalah agama yang beliau bawa sempurna dan tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan atau mengubahnya setelah beliau.
Penggunaan kata ‘Akhir’ (terakhir) dalam pengertian ini cukup umum dalam bahasa Arab. Imam Suyuthi menyebut Ibnu Taimiyah sebagai mujtahidin yang terakhir (Akhirul Mujtahidin). (Al-Intibah Wan Nazir, Vol. III, p. 310, Hyderbad). Seorang penyair Arab menggunakan kata Akhir (terakhir) dalam arti sempurna dan istimewa, dalam Himasa, Babul Adab.
Jadi jelas dari pemaparan di atas bahwa bukan hanya Ahmadiyah yang menafsirkan kalimat Khataman Nabiyyin dengan cara yang memungkinkan munculnya seorang nabi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak membawa syariat baru dan tidak mencapai derajat kenabian secara mandiri, melainkan melalui ketaatan penuh kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan para wali yang diakui dari berbagai negara, masa, dan aliran, bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, telah memahami kalimat tersebut dengan cara yang sama.
Keyakinan Ahmadiyah, tanpa keraguan sedikitpun adalah paling unggul bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Khataman Nabiyyin, yakni Stempel para Nabi. Dalam diri beliau mutu kenabian telah mencapai kesempurnaannya dan karena itu, pintu untuk menerima kenabian secara mandiri (indipenden) telah tertutup sejak pengangkatan beliau pada kedudukan ini. Sejak saat itu, segala jenis Keberkatan hanya dapat diraih melalui pengkhidmatan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan demikian, kedatangan beliau tidak menutup aliran Keberkatan Ilahi, tetapi alirannya telah disalurkan melalui pribadi beliau yang sekarang. Selanjutnya nabi yang akan muncul harus melalui ketaatan kepada beliau, dengan menerima cahaya dari cahaya beliau dan sebagai bayangan dan refleksi beliau, dan bukan yang lain.
Oleh karena itu, “semua kenabian kecuali kenabian Muhammadi telah berakhir. Tidak ada nabi pembawa syariat yang dapat datang, dan nabi tanpa syariat dapat datang, namun hanya nabi yang merupakan pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku adalah seorang pengikut sekaligus seorang Nabi.” (Tajaliyat Ilahiyah oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 24-25)
Sumber: Alislam.org
Penerjemah: Wa Ode Ifulia