Jazib Mehmood, Mahasiswa Jamiah Ahmadiyah Internasional Ghana
Hari ini, pada tanggal 8 April 2024, Amerika Utara akan mengalami gerhana matahari total, yang juga akan terlihat di beberapa bagian Eropa. Bulan akan menutupi permukaan matahari, menciptakan bayangan ke atas sebagian permukaan bumi. Pada bagian permukaan bumi tersebut, dunia akan berubah gelap bagaikan malam. Saat gerhana mencapai fase puncaknya, udara akan menjali lebih sejuk, langit semakin kelam dan bayangan tampak lebih tajam. (“A Total Solar Eclipse Is Coming April 8. Here’s What to Know”, www.nytimes.com)
Apa yang terjadi pada alam saat gerhana?
Tumbuhan dan hewan bereaksi secara signifikan selama gerhana matahari. Menurut penelitian, lebah berhenti berdengung tepat pada detik terjadinya gerhana total di lokasi mereka. (“The Moon Eclipsed the Sun. Then the Bees Stopped Buzzing.”, www.nytimes.com)
Burung-burung juga berhenti berkicau, sementara jangkrik mulai bersuara. Tumbuhan mengalami penurunan laju fotosintesis dan kehilanan air, mirip seperti yang terjadi pada malam hari, meskipun tidak pada tingkat yang sama. (“Hydraulic and photosynthetic responses of big sagebrush to the 2017 total solar eclipse”, www.nature.com)
Keagungan gerhana
Begitu banyak hal terjadi pada alam, tetapi apa yang terjadi pada manusia saat gerhana? Nah, salah satunya adalah semua orang seolah terhenti sejenak. Meskipun kita biasanya menganggap kekuatan dan pentingnya matahari sebagai sesuatu yang biasa, ketika matahari tertutup oleh bulan bahkan hanya selama beberapa menit, hal itu membangkitkan rasa takut dan takjub dalam diri kita, sekaligus mengingatkan kita akan kefanaan hidup.
Selama gerhana matahari ada 14 Oktober 2023, Dr. Kate Russo, seorang penulis dan psikolog, memimpin studi pertama yang berusaha menangkap reaksi fisik terhadap gerhana dengan mengukur respons fisiologis manusia selama peristiwa tersebut.
Di antara temuan lainnya, satu penemuan tak terduga adalah munculnya rasa takjub pada berbagai tahap gerhana. Menurut makalah mereka, segera setelah gerhana, introspeksi yang meningkat ditunjukkan melalui gelombang otak dengan amplitudo tinggi dan frekuensi rendah, yang biasanya juga terlihat pada pengalaman-pengalaman mendalam atau yang merangsang perenungan. (“Deeper Insights into the Solar Eclipse Experience”, baas.aas.org)
National Geographic berbincang dengan Dr. Russo mengenai temuan uniknya. Laporan mereka menyebutkan:
“Rasa takjub mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian. Kita berbagi momen-momen takjub terbesar kita dengan orang lain dalam ‘kegembiraan kolektif’ (collective effervescense)”, ujar Russo. “Seperti kawanan burung jalak di langit yang bergerak seirama, selama gerhana total, kerumunan orang juga berperilaku seolah menjadi satu kesatuan.”
Russo menambahkan, “Sorakan penonton saat pertandingan olahraga atau nyanyian bersama saat konser musik adalah contoh lain dari energi kolektif ini, ‘Kerumunan menjadi satu; kamu menjadi bagian dari momen itu’.”
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa “mereka yang berada di mana terjadinya gerhana total, yaitu bulan sepenuhnya menutupi matahari, secara teratur melaporkan adanya ledakan emosi yang kuat dan rasa takjub yang bertahan lama. Keadaan emosional yang meningkat ini memiliki kekuatan lebih dari sekadar membukakan keajaiban alam semesta kepada kita – para ilmuwan berkata bahwa hal ini juga dapat membuat kita merasa lebih ingin tahu dan lebih terhubung dengan orang lain di dalamnya.”
Menginat gerhana para tanggal 8 April menarik banyak perhatian, khususnya tentang cara terbaik untuk menyaksikannya, mungkin relevan untuk bertanya: apa pandangan Islam tentang gerhana? Apa yang seharusnya seorang muslim lakukan saat menghadapi peristiwa unik ini?
Islam dan gerhana
Sebagai seorang Muslim, sangatlah menakjubkan mengetahui bahwa apa yang Dr. Russo buktikan mengenai “rasa takjub” pada gerhana Oktober 2023 sebenarnya telah disampaikan oleh Rasulullah (saw) lebih dari seribu tahun yang lalu hanya dalam satu kalimat:
“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah, dan keduanya tidaklah mengalami gerhana karena kematian seseorang, tetapi Allah menimbulkan rasa takjub kepada hamba-hamba-Nya melalui keduanya.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Kusuf, Bab qawli an-nabiyy (saw) yukhawwifullahu ‘ibadahu bil-kusuf, Hadis 1048)
Tidak itu saja, pernyataan Dr. Russo bahwa “kerumunan menjadi satu” juga selaras dengan ajaran Islam yang menganjurkan pelaksanaan salat gerhana secara berjamaah dalam kesatuan. Perasaan takjub ini bukanlah tanpa makna; Islam memerintahkan kita untuk beribadah saat gerhana terjadi karena peristiwa ini menjadi sarana untuk mengingatkan orang-orang mukmin mengenai apa yang akan hilang dari mereka jika cahaya matahari itu padam.
Seorang sahabat Rasulullah (saw) meriwayatkan bahwa ketika terjadi gerhana matahari, Rasulullah (saw) merasa takut bahwa Hari Kiamat sudah dekat. Beliau segera pergi ke masjid dan memimpin salat berjamaah dengan berdiri (qiyam), rukuk, dan sujud yang paling panjang pernah sahabat tersebut lihat selama mendampingi beliau. (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Kusuf, Bab az-zikri fil-kusuf, Hadis 1059)
Setelah salat, Rasulullah (saw) juga menyampaikan khotbah kepada para sahabatnya, bersabda:
“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah; keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka, apabila kalian melihat gerhana, ingatlah Allah, agungkanlah kebesaran-Nya, laksanakan salat, dan bersedekahlah.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Kusuf, Bab as-sadaqati fil-kusufi, Hadis 1044)
Mengapa timbul rasa takjub dan takut?
Sebagian orang mungkin bertanya-tanya mengapa kita harus melakukan semua ini, padahal kita tahu bahwa — selama mengambil tindakan pencegahan yang tepat, seperti tidak melihat gerhana secara langsung — tidak ada yang perlu ditakutkan dari peristiwa ini, yang dapat diprediksi dan sepenuhnya dapat dijelaskan secara ilmiah?
Ada beberapa alasan mengapa umat Islam tetap merasakan rasa takut dan takjub terhadap fenomena langit semacam ini, beberapa di antaranya dijelaskan berikut:
Tentu saja, hanya karena sains dapat menjelaskan suatu peristiwa alam bukan berarti peristiwa itu tidak menimbulkan ketakutan. Misalnya, asteroid yang menyebabkan kepunahan dinosaurus jutaan tahun lalu disebut sebagai “hari terburuk dalam sejarah kehidupan di bumi” — meskipun kejadian itu sepenuhnya dibuktikan oleh sains. (“The Worst Day in Earth’s History Contains a Warning”, www.theatlantic.com)
Andai saja peristiwa seperti itu terjadi di zaman modern, tentu hal tersebut telah diprediksi jauh-jauh hari. Demikian pula fenomena alam lainnya seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi juga bisa diprediksi melalui sains, tetapi tetap saja merugikan bagi umat manusia. Bahkan peristiwa sehari-hari seperti hujan deras, angin kencang, atau petir bisa berpotensi membahayakan dalam kondisi tertentu. Dan meskipun dampak gerhana mungkin dianggap kecil, tidak diragukan lagi bahwa gerhana adalah peristiwa unik yang mengingatkan kita akan keterbatasan kendali kita terhadap nasib kita sendiri.
Sekali lagi, sangat mungkin bahwa gerhana memiliki dampak-dampak tertentu yang masih belum jelas bagi kita. Penting untuk memperhatikan pernyataan Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra), Khalifatul Masih II, yang menulis:
“Meskipun siang dan malam merupakan akibat dari pergerakan benda-benda langit, ada pula pengaruh lain dari bulan, matahari, dan bintang-bintang. […] Selain itu, ada banyak pengaruh lain yang terus ditemukan oleh sains setiap harinya dan banyak pula yang mungkin tidak akan pernah dapat ditemukan sama sekali.” (Tafsir-e-Kabir [2023], Jilid 6, hlm. 32)
Yang terpenting, hakikat rasa takut terhadap fenomena langit dalam Islam tidak muncul dari rasa takut mati atau mengalami kerugian fisik. Seorang mukmin memahami bahwa kematiannya telah ditakdirkan oleh Allah dan ia tidak takut pada kematian itu sendiri. Sebaliknya, seorang mukmin selalu memelihara rasa takjub dan cinta kepada Allah, sembari waspada terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini, dengan menganggapnya mungkin sebagai tanda ketidaksenangan Allah atau pertanda awal datangnya azab-Nya.
Pola pikir ini serupa dengan reaksi Rasulullah (saw) ketika mendengar suara petir dan guruh, di mana beliau memanjatkan doa:
اللَّهُمَّ لاَ تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ وَلاَ تُهْلِكْنَا بِعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِكَ
“Ya Allah, janganlah Engkau mematikan kami karena kemurkaan-Mu, dan janganlah Engkau membinasakan kami dengan azab-Mu, serta berilah kami ampunan sebelum itu.” (Jami’ at-Tirmidhi, Kitab ad-Da’wat, Hadis 3450)
Doa ini mencerminkan rasa takjub dan takut yang mendalam terhadap murka dan azab Allah, bukan terhadap fenomena alam itu sendiri. Doa ini menjadi pengingat agar tetap waspada dan beramal saleh, sembari menganggap peristiwa tersebut sebagai kesempatan untuk merenungkan hubungannya dengan sang Khalik dan alam semesta.
Salat gerhana dan khotbah di Masjid Fazl tahun 2015
Pada 20 Maret 2015, terjadi gerhana matahari total di Kutub Utara dan sebagian wilayah Eropa. Di London, gerhana tampak sekitar 87% sebagai gerhana parsial. Mengikuti sunah Rasulullah (saw), Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V (atba) memimpin Salat Kusuf, dan setelah itu menyampaikan khotbah singkat. (Sumber: “Solar Eclipse 2015: Address delivered by Hazrat Mirza Masroor Ahmad”, www.youtube.com; “Head of Ahmadiyya Muslim Community leads Special Prayers during Solar Eclipse”, www.pressahmadiyya.com)
Dalam khotbahnya, Huzur (atba) menjelaskan bahwa pada tahun 1907, di zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau’ud (as), juga pernah terjadi gerhana matahari. Saat itu, Hazrat Hakim Maulvi Nuruddin, Khalifatul Masih I (ra) memimpin salat berjamaah dan menyampaikan khotbah.
Dalam satu bagian khotbah tersebut, Huzur (atba) mengutip sabda Hazrat Khalifatul Masih I (ra):
“Ketika Rasulullah (saw) melihat bahwa matahari tertutup oleh bulan — yakni ketika kondisi terjadi sedemikian rupa sehingga manusia di bumi tidak dapat mengambil manfaat dari cahaya matahari — hati beliau sangat gelisah bahwa mungkin saja rintangan samawi semacam itu juga bisa menghalangi sampainya pesan beliau ke seluruh dunia.
“Inilah sebabnya Rasulullah (saw) tidak berhenti bersedekah, berdoa, dan memohon ampunan hingga cahaya matahari kembali menyinari bumi. Setiap mukmin, melalui kekuatan ketaatan kepada Rasulullah (saw), juga memperoleh cahaya, bagaikan seorang ayah dan anak yang saling memengaruhi. Maka Allah berfirman:
مَا کَانَ مُحَمَّدٌ اَبَاۤ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِکُمۡ وَلٰکِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰہِ وَخَاتَمَ النَّبِیّٖنَ
Muhammad bukan bapak salah seorang laki-laki di antaramu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khamatan Nabiyyin, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab, 33: 41)
“Artinya, Rasulullah (saw) tidak memiliki anak laki-laki secara jasmani, tetapi beliau memiliki tak terhitung banyaknya anak rohani. Inilah sebabnya setiap mukmin merasa takut terhadap peristiwa ini, dan seharusnya takut bahwa jangan sampai kejadian demikian akan menghalangi cahayanya sampai kepada orang lain. Karena itu, untuk menghilangkan penderitaan, ia menggunakan metode-metode demikian, seperti dengan bersedekah, memohon ampunan, dan berdiri untuk salat, sebagaimana Rasulullah (saw) berdiri untuk salat pada masa-masa sulit.
“Kemudian, sungguh berlimpahnya lautan rahmat Allah Taala, dan persis sebagaimana rintangan tersebut dihilangkan melalui gerakan dan upaya yang membuat cahaya matahari mencapai bumi, begitu pula rintangan yang menghalangi cahaya seorang mukmin untuk sampai kepada orang lain akan dihilangkan melalui doa dan istigfar.
“Mencoret-coret kaca dengan tinta atau membahayakan mata dengan melihat gerhana secara langsung demi hiburan adalah perbuatan yang jauh dari martabat seorang mukmin. Kalian adalah anak-anak dari Siraj-e-Munir [Lampu yang Bersinar Terang, yakni Rasulullah (saw)], maka gunakanlah segala cara yang tepat untuk menyebarkan cahaya kalian kepada orang lain.”
Panduan bagi seorang Muslim Ahmadi
Seraya menjelaskan sabda terakhir dari Hazrat Khalifatul Masih I (ra), Hazrat Khalifatul Masih V (atba) bersabda:
“Karena pada masa itu belum ada kacamata khusus untuk melihat gerhana, orang-orang melihatnya dengan mengoleskan tinta pada kaca. Beliau [yakni, Hazrat Khalifatul Masih I (ra)] menyatakan bahwa hal-hal semacam ini hanyalah hiburan semata; dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin untuk melakukannya.”
Namun, bentuk hiburan ini mengalami makna baru di zaman modern. Menurut laporan majalah Time, untuk gerhana matahari 8 April tahun ini, beberapa maskapai penerbangan menawarkan paket penerbangan khusus yang memberikan pemandangan gerhana terbaik dari udara. Delta Airlines secara khusus memasarkan penerbangannya bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu selama mungkin di daerah terjadinya gerhana total, dengan harga tiket lebih dari seribu dolar dan semuanya sudah terjual habis. (“Why These Passengers Are Flying up to 30 Hours to See Four Minutes of the Eclipse”, www.time.com)
Bukan hanya itu, di seluruh Amerika, musisi dan seniman juga mengadakan konser khusus; festival-festival juga diselenggarakan; bahkan ada tempat-tempat yang mengadakan rangkaian acara sepanjang akhir pekan hanya karena fenomena gerhana. (“A list of solar eclipse events across the nation from Texas to Maine”, www.usatoday.com)
Merujuk pada gerhana matahari tahun 2015, Hazrat Khalifatul Masih V (atba) bersabda:
“Ada laporan bahwa gerhana akan paling baik terlihat di beberapa daerah di Skotlandia, maka banyak orang yang pergi ke sana dan semua hotel penuh dipesan. Jadi, bagi orang-orang duniawi, gerhana hanyalah hiburan. Tetapi, bagi seorang mukmin, gerhana justru menjadi sarana doa dan istigfar. Oleh karena itu, seorang Ahmadi harus selalu memperhatikannya.”
“Maka, pada hari ini, 8 April, ketika banyak orang melakukan perjalanan jauh dan menghabiskan begitu banyak harta hanya untuk menyaksikan gerhana dan bersenang-senang karenanya, seorang Muslim sejati justru seharusnya menyibukkan diri dalam ibadah dan mengingat Allah Taala.”
Sumber: https://www.alhakam.org/the-awe-of-an-eclipse-an-islamic-perspective/
Penerjemah: (Mln. Hafizurrahman)