Ketaatan, Ketulusan dan Kesetiaan Para Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam

Khotbah Jum’at

Sayyidina Amirul Mu’minin

Hadhrat Mirza Masroor Ahmad

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullahu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Disampaikan tanggal 25 Hijrah 1391 HS/Mei 2012

Bertempat di Masjid Baitus Sabuh, Jerman.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)

 Hadhrat Masih Mau’ud (Masih Mau’ud as) as di satu tempat bersabda, ”Saya sangat bersyukur kepada Allah Ta’ala bahwa Dia telah menganugerahkan kepada saya sebuah Jemaat yang sangat setia dan mukhlis. Bila saja saya memanggil mereka untuk suatu maksud atau suatu pekerjaan mereka menyambut dengan semangat dan keberanian sesuai dengan kemampuan mereka dan maju ke depan saling berlomba satu sama lain. Saya menyaksikan dalam pribadi mereka tertanam sifat shidq (kebenaran, kejujuran) dan khulus (keikhlasan) yang mendalam. Apabila menerima suatu perintah dari saya untuk suatu pekerjaan mereka selalu siap untuk melaksanakannya.”

Bersabda, “Sesungguhnya suatu bangsa atau Jemaat tidak dapat siap sedia selama untuk ketaatan dan ittiba’ (mengikut) kepada Imam mereka di dalam diri mereka tidak terdapat semangat, keikhlasan dan kesetiaan. Musibah dan kesulitan yang dihadapi oleh Hadhrat Masih Nashiri diantara sebab-sebabnya adalah karena kelemahan para anggota Jemaat dan hilangnya semangat. Sebaliknya para sahabat Hadhrat Rasulullah saw radhiyallahu ‘anhum menunjukkan ketulusan dan kesetiaan yang demikian tingginya sehingga tidak ada tandingannya dalam sejarah dunia. Mereka menganggap mudah menghadapi setiap penderitaan demi beliau saw sekalipun harus meninggalkan Tanah Air tercinta. Meninggalkan semua hak milik dan berpisah jauh dari semua anggota keluarga. Akhirnya demi beliau saw mereka sedikitpun tidak merasa ragu atau mengeluh untuk mengorbankan jiwa mereka. Ketulusan dan kesetiaan itulah yang telah menjadi mahkota kejayaan mereka. Demikian juga saya menyaksikan Allah Ta’ala telah menanamkan semangat dalam jiwa Jemaat saya dalam menghadapi setiap keadaan dan kesempatan. Mereka menjadi contoh ketulusan dan kesetiaan.” [2]

Didalam buku bernama Haqiqatul Wahyi Hadhrat Masih Mau’ud as telah menulis sebagai berikut, ”Dalam buku Barahin Ahmadiyyah terdapat nubuatan Allah Ta’ala mengenai diri saya dengan firman-Nya, “ألقيتُ عليك محبة مني، ولتُصنَع على عيني” ’Alqaytu ‘alaika mahabbatan minnii wa litushna’a ‘ala ‘aini’ – “Akan Aku tanamkan kecintaan terhadap engkau didalam hati manusia dan Aku akan pelihara engkau di hadapan mata-Ku.” Wahyu ini turun ketika seorang pun belum ada yang mempunyai hubungan dengan saya. Setelah beberapa lama kemudian ilham ini telah sempurna. Allah Ta’ala telah menciptakan beribu-ribu manusia mukhlis dan berserah diri kepada saya sebab Allah Ta’ala telah menanamkan kecintaan saya didalam hati mereka. Mereka betul-betul menyerahkan jiwa raga mereka demi saya. Hati mereka rela demi saya sekalipun harta mereka diahancurkan dan mereka diusir dari rumah-rumah mereka demi saya bahkan mereka dipukuli serta dianiaya kemudian dihadang dengan berbagai macam rintangan. Walaupun dalam keadaan demikian mereka selalu mendahulukan kepentingan saya diatas beribu-ribu hajat dan kepentingan mereka sendiri. Bahkan dengan rela mereka menyerahkan harta kesayangan mereka di hadapan saya.” [3]

(Di sini Hadhrat Masih Mau’ud as menceritakan keikhlasan seorang Sahabat beliau yang sangat mukhlis bernama Sayyid Mir Nasir Syah Shahib seorang Overseer [pengawas, mandor] yang telah menulis surat kepada beliau as) ”Saya mempunyai keinginan yang sangat keras bahwa di hari kiamat nanti saya termasuk dalam Jemaat yang beberkat ini dibawah naungan Hudhur seperti sekarang ini. Aamiin. Yang Mulia Hudhur! Allah Ta’ala lebih mengetahui bahwa sifat kecintaan saya [kepada Hudhur] hingga ke tingkat saya bersedia mengorbankan semua harta kekayaan dan jiwa raga saya dan saya korbankan seribu jiwa raga saya kepada Hudhur. Saya korbankan saudara-saudara dan kedua ibu bapak saya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan akhir hayat saya dalam kecintaan dan ketaatan sepenuhnya kepada Hudhur. Aamiin.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, ”Apabila saya menjumpai ketulusan dan kesetiaan demikian didalam kebanyakan anggota Jemaat maka serempak terucap di bibir saya kepada Tuhan, ‘Hai Tuhanku! Sesungguhnya Engkaulah Yang telah menarik mereka kearahku di zaman kegelapan yang pekat ini dan Engkau telah menanamkan istiqamat di dalam hati mereka. Itulah tanda qudrat Engkau yang sangat agung.’” [4]

Sekarang saya akan menyampaikan riwayat para mukhlisin sahabat yang penuh ghairah, kecintaan, ketaatan dan tekad yang luhur. Banyak perkara-perkara yang nampaknya kecil dan banyak orang bercakap apalah ketaatan itu. Ketaatan itu perkara kecil saja. Padahal didalam setiap peristiwa penampilan ketaatan terdapat pelajaran yang sangat dalam. Disebabkan kecintaan dan kesetiaan sempurna kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dengan senang hati para Sahabat tampil dengan ketaatan yang kamil. Semua kisah itu merupakan teladan bagi kita semua. Sungguh itulah patuh taat yang sejati dan hubungan erat yang menjadi mahkota bagi kemajuan taqwa dan juga menjadi sarana kemajuan bagi pribadi anggota Jemaat.

 [1] Hadhrat Fadhal Ilahi Shahib radhiyallahu ‘anhu pensiunan karyawan Pos menceritakan kisah beliau, “Ketika kenaikan pangkat sudah ditentukan oleh Pemerintah maka saya ceritakan kepada Hadhrat Shahib, ‘Hudhur! Kenaikan pangkat saya sudah diputuskan oleh Pemerintah dan saya harus pindah dari sini ke tempat lain.’ Hudhur as bersabda, ‘Fadhal Ilahi perhatikanlah! Orang-orang datang ke sini (Qadian) dengan membelanjakan uang beribu-ribu Rupees. Engkau akan pergi dari sini demi kenaikan pangkat? Tetaplah engkau tinggal di sini, berapapun keperluan engkau akan kami penuhi.’ Karena Hudhur telah bersabda demikian saya menolak untuk pergi dari sini (Qadian) dan kenaikan gaji setiap bulan saya korbankan.” [5]

[2] Hadhrat Mufti Fadhlur Rahman ra menjelaskan, “Hudhur a.s. selalu datang ke Gurdaspur pada hari-hari yang telah ditetapkan untuk menghadiri sidang pengadilan. Hudhur senantiasa meminta saya untuk menjalankan Yakkah (Kereta Kuda) mengantar beliau. Pada zaman itu hanyalah Yakkah (Kereta Kuda) kendaraan yang tersedia. Di waktu pagi apabila akan pergi beliau datang dan selalu bertanya, ‘Mian Fadhlur Rahman ada dimana?’ Setiap pagi saya selalu menjalankan Kereta Kuda untuk Hudhur. Didalam Yakkah hanya Hudhur seorang diri duduk tidak ada penumpang lain lagi. Pada hari-hari sidang itu anak saya yang kedua jatuh sakit karena disentri. Hudhur sering datang menengok anak saya yang sakit itu. Satu hari sebelum tanggal sidang ditetapkan oleh Pengadilan isteri saya berkata, ‘Tulislah surat kepada Hudhur untuk doa.’ Saya jawab, ‘Jika Hudhur setiap hari datang untuk menengok apa perlunya menulis surat kepada beliau?’ Namun oleh karena isteri saya tetap menyuruh untuk menulis surat, maka sayapun menulis surat kepada Hudhur untuk memohon doa bagi kesembuhan anak itu. Dalam menjawab surat saya itu Hadhrat Shahib as menulis, ‘Doa akan saya panjatkan. Namun jika sudah menjadi takdir mubram maka hal itu tidak dapat dihindari lagi.’ Dengan membaca tulisan beliau itu tiba-tiba air mata saya menetes. Isteri saya bertanya, ‘Mengapa menangis?’ Saya menjawab, ‘Sekarang anak kita ini tidak akan lama lagi tinggal bersama kita. Jika ia akan mendapat kesembuhan tentu beliau as tidak akan menulis surat seperti itu.’ Pagi hari berikutnya tibalah waktunya untuk pergi ke Gurdaspur. Semua orang berdiri di perempatan jalan sedang menunggu kedatangan Hadhrat Shahib as. Ketika Hudhur as sudah tiba beliau tidak bercakap-cakap dengan siapapun dan langsung datang ke rumah saya. Beliau menengok anak saya sambil membaca doa kemudian beliau bersabda, ‘Hari ini anda tinggallah di rumah! Besok saya akan datang lagi.’ Keadaan kesehatan anak sudah kritis saya pun tinggal di rumah. Itulah hari pertama kali saya tidak dapat pergi menemani Hudhur as.” [6]

Keadaan kesehatan anak yang memprihatinkan memang benar, namun dengan tidak bisa ikut pergi bersama Hudhur as ke Gurdaspur hati saya sedih sekali.

 

[3] Hadhrat Hafizh Abdul ‘Aliyy Shahib putra Maulwi Nizamuddin Shahib mengatakan, “Saya mendengar dari Mir Muhammad Ismail Shahib mahasiswa Fakultas Kedokteran di kota Lahore bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda kepada beliau, ‘Anda janganlah tinggal sendirian di sebuah rumah di kota Lahore. Anda harus mencari seorang teman untuk tinggal bersama-sama.’ Sesuai dengan nasihat Hudhur as Mir Muhammad Ismael Shahib di kota manapun tinggal tidak pernah beliau tinggal sendirian. Pada waktu itu tidak ada yang tinggal di Boarding Medical Colledge. Mir Shahib mengambil sebuah rumah sewaan dan tinggal di sana. Beliau sangat mematuhi nasihat Hudhur as di manapun beliau tinggal selalu membawa teman tinggal bersama-sama dengan beliau.” [7]

 

[4] Hadhrat Malik Shadi Khan Shahib menulis, ”Pada suatu kali saya bersama Mian Jamalud Din Shahib marhum datang di Qadian dan ketika kami sampai di Masjid Mubarak waktu shalat Zuhur-pun sudah tiba. Hadhrat Shahib datang untuk menunaikan shalat dan sayapun berjabat tangan dengan beliau. Waktu itu saya memakai anting-anting pada kuping saya. Ketika Hadhrat Shahib melihat anting-anting itu beliau bertanya kepada saya, ‘Mengapa anda memakai anting-anting? Lelaki Muslim tidak ada yang memakai anting.’ Mian Jamaluddin Shahib berkata, ‘Hudhur! Ini kebiasaan orang kampung suka memakai anting sebab mereka tidak tahu peraturan tentang ini.’ Hudhur as bersabda lagi, ‘Bukalah anting-anting itu dari kuping anda!’ Pada waktu itu juga saya membukanya. Ketika saya datang lagi untuk menunaikan shalat Asar, Hudhur as bersabda kepada saya, ‘Nah, sekarang anda nampak sebagai seorang Muslim.’ Maka pada waktu itu juga sayapun baiat di tangan beliau.” [8]

Pada zaman sekarang juga banyak anak-anak muda memakai kalung pada leher mereka sebagai fashion, atau kebanyakan memakai kalung berupa rantai terbuat dari emas. Semua benda itu dilarang bagi laki-laki. Saya lihat didalam lingkungan masyarakat di sini terdapat anak-anak Ahmadi juga yang berbuat demikian sebagai fashion.

 

[5] Yang terhormat Walidah (ibunda dari) Bashir Ahmad Bhatti Shahib ra bin Abdur Rahim Bhatti menceritakan, “Pada suatu hari Hadhrat Aqdas as memasak sedikit nasi (yaitu nasi plao). Atas perintah beliau as, Hadhrat Ummul Mu’minin membagikannya ke rumah-rumah para Ahmadi yang waktu itu masih sedikit diantara rumah-rumah lainnya di Qadian ini. Nasi itu disebut nasi berkat dan Hudhur as memerintahkan agar berapa pun banyak orang yang ada di rumah semuanya harus diberi makan nasi plao itu. Tuan Qadhi (suami perawi) mengirim beberapa butir nasi plao itu [via pos] dalam sebuah kertas amplop kepada putra tertua beliau Bashir Ahmad Shahib yang bekerja di Jammu. Pemenuhan perintah agar semua anggota keluarga harus diberi makan nasi plao itu sebagai berkat dilaksanakan demikian rupa sehingga oleh karena ia putra saya dan sedang tidak ada di rumah maka nasi itu dimasukkan ke dalam kertas amplop dan dikirim kepadanya. Di amplop itu disisipkan secarik kertas dengan tulisan, ‘Berapa butirpun nasi yang terdapat didalam sudut amplop ini makanlah untuk mendapat berkat.’”[9]Itulah salah satu tanda kecintaan dan ketaatan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as.

 

[6] Hadhrat Mian Abdul Ghaffar Shahib Jarraah ra telah menulis, ”Ketika untuk akhir kali Hudhur as datang ke Lahore, beliau as menulis surat kepada ayah saya meminta agar ayah saya datang ke Lahore. Ketika ayah saya sampai ke Lahore Khawaja Kamaluddin Shahib berkata kepada beliau, ‘Mian Ghulam Rasul! Mau apa engkau datang ke sini?’ Beliau menjawab sambil menunjukkan sehelai surat dari Hudhur as, ‘Tanyalah kepada orang yang telah memanggil saya ke sini untuk apa beliau memanggil saya.’ Maka pergilah beliau mulaqat (berjumpa) dengan Hudhur as kemudian mulai memotong rambut dan jenggot beliau dan membasuhnya dengan mehendi. [10] Kemudian menceritakan perkataan Khawaja Kamaluddin Shahib kepada beliau as. Kemudian Hadhrat Shahib menulis diatas secarik kertas dan diberikan kepada ayah saya lalu beliau perlihatkan kepada orang-orang sehingga mereka terdiam semuanya. Demikianlah Hudhur as menunjukkan kecintaan kepada ayah saya dan Hudhur as pun memberi hadiah 5 rupees kepada ayah saya sambil bersabda, ‘Saya yang memanggil engkau datang ke sini, jangan menghiraukan perkataan orang lain.’” [11]

Yakni betapa besarnya kecintaan Hadhrat Masih Mau’ud as kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

 

[7] Hadhrat Sheikh Zainul Abidin Shahib ra menulis, “Apabila Hafiz Hamid Ali Shahib datang ke Qadian beliau banyak sekali menghisap huqqah (sebuah alat penghisap tembakau khas ala India-Pakistan,) dan beliau sembunyi-sembunyi datang di rumah Mian Nizamuddin untuk sekedar menghisap huqqah itu. Mian Nizamuddin Shahib adalah masih keluarga dekat Hadhrat Masih Mau’ud as namun dia sangat keras menentang Jemaat. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud as telah mengetahui adat kebiasaannya itu maka Hudhur as bersabda kepada beliau, ‘Mian Hamid Ali! Ambillah uang ini dari saya dan belilah sebuah Huqqah dari Pasar dan kapan saja perlu hisaplah sendiri huqqah itu, jangan pergi lagi ke rumah orang itu sebab orang-orang di situ sudah ingkar terhadap Islam.’ Maka Hafiz Ali Shahib membeli huqqah itu dari pasar dan menghisapnya dimana ia perlu. Dari antara tamu-tamu yang datang juga ada yang menghisap huqqah itu. Enam tujuh bulan kemudian Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, ‘Mian Hamid Ali! Alangkah baiknya jika engkau tinggalkan huqqah ini.’ Maka Hafiz Ali Shahib berkata, ‘Baiklah Hudhur, sekarang saya tinggalkan.’ Maka Hafiz Ali Shahibpun segera meninggalkannya. [12]

Perhatikanlah bagaimana Hudhur as dengan perlahan-lahan telah melarang orang menghisap huqqah. Mula-mula beliau menyuruh Hafiz Ali Shahib membeli huqqah dari Pasar. Kemudian ketika beberapa waktu sudah berlalu maka beliau as bersabda, “Oleh karena menghisap huqqah itu berbahaya bagi kesehatan maka lebih baik ditinggalkan.” Karena Hudhur as menyuruh Hafiz Ali Shahib membeli huqqah itu dari pasar maka sekali-kali jangan diambil kesimpulan bahwa menghisap huqqah atau merokok itu diizinkan. Menghisap huqqah atau menghisap rokok pada umumnya sangat jelek akibatnya dan lebih baik ditinggalkan. Bahkan, Hadhrat Masih Mau’ud as di satu tempat pernah bersabda bahwa seandainya huqqah itu terdapat di zaman Hadhrat Rasulullah saw pasti beliau saw telah melarangnya.

[8] Hadhrat Malik Ghulam Husain Mohajir Shahib ra menceritakan, “Ketika Sheikh Shahib seorang saudagar kaya-raya datang ke Qadian Hadhrat Aqdas as memanggil saya, ‘Mian Ghulam Husein! Untuk Sheikh Shahib itu saya sudah menyediakan makanan. Oleh karena beliau ini orang sangat sederhana maka perhatikanlah baik-baik keadaan beliau dan juga awasi orang-orang yang melayani tamu itu. Belilah sayur-mayur dari pasar dan serahkan kepada juru masak. Oleh karena beliau juga suka menghisap huqqah bilamana beliau perlu siapkan juga untuk beliau.’ Hudhur Aqdas menyuruh saya melayani tamu itu dan mengawasi kedua pelayan tamu juga. Dan lagi, Hudhur Aqdas bersabda, ‘Perhatikanlah baik-baik keadaan tamu ini. Beliau ini sangat terhormat dan telah datang dari jauh ke sini dengan susah-payah.’ Sheikh Shahib sering memanggil saya, ‘Mian Ghulam Husain! Saya perlu air sejuk.’ Sambil berlari saya ambil air yang masih segar dari Masjid dan diserahkan kepada beliau. Makanan juga dimasak kemudian disajikan untuk beliau. Beliau tinggal di Qadian satu sampai satu setengah bulan lamanya. Hudhur Aqdas as juga dari waktu ke waktu bertanya kepada saya tentang keadaan beliau itu, ‘Apakah Sheikh Shahib tidak merasa susah di sini?’ Pada suatu hari di Masjid Hudhur Aqdas as sambil senyum bertanya kepada Sheikh Shahib, ‘Sheikh Shahib, apakah ada kesusahan di sini?’ Sheikh Shahib menjawab, ‘Hudhur, tidak ada kesusahan apa-apa. Mian Ghulam Husain selalu membawakan air untuk saya dari Masjid.’”[13]

Demikianlah perhatian Hadhrat Masih Mau’ud as dalam hal ikraamudh dhaif (menghormati tetamu). Memang sesuai Hadis Rasulullah, para tamu harus dilayani sebaik mungkin. Akan tetapi selain dari menunaikan kewajiban itu disini ada dua segi yang lebih luhur, pertama khidmat demi meraih ganjaran dari Allah Ta’ala yang kedua untuk menzahirkan kecintaan dan ketaatan.

 

[9] Hadhrat Maulwi Aziz Din Shahib ra menerangkan, “Pada suatu ketika Hadhrat Mufti Muhammad Sadiq Shahib ra yang pada waktu itu sedang bekerja di kota Lahore, pagi-pagi meminta izin kepada Hadhrat Aqdas as untuk pergi. Hadhrat Aqdas as bersabda, ‘Hari ini jangan pergi tinggallah anda di sini.’ Maka pada siang hari Hadhrat Mufti Sadiq Shahib berkata lagi kepada Hadhrat Aqdas as, ‘Hudhur, hari ini hari kerja. Saya harus pergi tadi pagi, sekarang waktunya sudah berlalu.’ Hudhur as bersabda, ‘Tidak usah risau memikirkan waktu, anda sekarang juga boleh pergi insya Allah pasti sampai ke sana.’ Mufti Shahib pun berangkat ke Stasiun Batala dan saya juga pergi bersama beliau. Waktu sudah menunjukkan pukul empat petang. Sedangkan jadwal Kereta Api berangkat ke Lahore pukul 2.00. Timbul perasaan putus asa tidak akan bisa pergi ke Lahore. Namun ketika sampai di Stasiun ternyata Kereta Api sudah terlambat dua jam. Maka ketika Kereta Api itu sudah datang Mufti Shahib bersama saya berangkat dengan Kereta itu ke Lahore. Berkat ketaatan kepada beliau as Allah Ta’ala telah mengatur perjalanan Mufti Shahib ra.” [14]

 

[10] Hadhrat Mian Abdul Aziz Shahib ra menceritakan, “Mian Chiragh Din Shahib bercerita, ‘Pada suatu ketika di hari Minggu saya meminta izin kepada Hadhrat Shahib as, “Hudhur saya harus hadir di kantor!” Biasanya Hadhrat Shahib selalu memberi izin namun pada hari itu beliau tidak memberi izin. Hari Senin pagi-pagi baru diizinkan. Dari sini Kereta Api berangkat pukul sebelas dan pukul tiga baru sampai di Lahore. Dari Stasiun saya langsung pergi ke Kantor dan sampailah di kantor pukul tiga setengah lebih.’ (Perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala menolong beliau secara mu’jizah berkat mematuhi perintah Hadhrat Masih Mau’ud as.) Begitu beliau duduk di kursi seorang klerk (pegawai kantor) datang menanyakan, “Kertas kerja yang telah diberikan pada jam dua belas apakah sudah dikerjakan atau belum?” Padahal Chiragh Din Shahib datang di kantor pukul 3.30 petang. Datanglah pula seorang Officer (pimpinan bagian di kantor). Ia berkata, “Chiragh Din Shahib, surat yang telah anda berikan tadi jam sebelas itu, inilah jawabannya.’ (Perhatikanlah pada waktu itu Allah Ta’ala yang telah mengatur semuanya, dikira Chiragh Din telah memberikan surat itu kepada si Officer, padahal pada waktu itu Chiragh Din Shahib belum sampai di kantor bahkan beliau masih berada di Qadian. Sebenarnya malaikat Allah yang mengerjakan semuanya.) Pada waktu itu semua kerabat kerja di kantor mengira bahwa saya sepanjang waktu berada di kantor. Maka pada pukul empat petang saya pulang ke rumah.” [15]

Ini juga satu contoh ketaatan dan kesetiaan serta perlakuan Allah Ta’ala terhadap sahabat Hadhrat Aqdas as.

 

[11] Hadhrat Mir Mahdi Husain Shahib ra menceritakan, “Hudhur as memanggil saya dan memberi perintah, ‘Di Langgar Khana kayu bakar sudah habis ambillah dari kampung dan petang hari ini juga harus sudah sampai di sini sebab untuk hari esok kayu bakar sudah habis.’ Hudhur as memberi uang untuk itu empat Rupees. Setelah menerima uang itu saya langsung naik keatas atap Masjid Mubarak dan berdoa, ‘Ya Ilahi, Masih Engkau telah menyuruh saya untuk mengerjakan satu pekerjaan dan saya betu-betul tidak tahu-menahu pekerjaan ini. Berilah bimbingan kepada saya agar kayu bakar itu dapat saya bawa dari kampung petang hari ini juga.’ Tiba-tiba terdengar suara dari atas Menara, ‘Ada registan!’ Saya kira oleh karena terdapat luka di kaki saya Allah Ta’ala telah menahan saya pergi. Lalu saya memohon lagi, ‘Ya Ilahi, Al-Masih Engkau telah menyuruh saya pergi, walaupun sambil berjalan pincang saya harus pergi agar sampai sore hari ini tugas dapat dipenuhi.’ Kemudian terdengar jawaban lagi, ‘Kayu bakar akan datang di sini tidak perlu pergi kemana-mana.’ Saya segera sujud syukur dan berkata jika pekerjaan Al Masih demikian keadaannya maka dunia akan mudah dimenangkan. Saya tetap duduk di tempat sambil berdoa terus-menerus, ‘Ya Ilahi jangan-jangan sampai waktu petang saya mendapat malu di hadapan Masih Engkau.’ Dan saya berpikir didalam hati, ‘Saya ini bukan Nabi. Saya juga bukan seorang wali yang ilham-ilhamnya cepat-cepat sempurna. Saya harus pergi dari sini.’ Namun timbul lagi pikiran, jika ada seseorang mengundang untuk makan petang hari di rumahnya maka saya tidak akan menolaknya. Saya harus yakin betul terhadap janji Allah Ta’ala, pasti Dia akan mengirim kayu bakar ke sini. Setelah hati saya tenang saya duduk kembali diatas atap Masjid Mubarak. Waktu Zuhur sudah hampir tiba maka saya turun kebawah dan seorang amah (pembantu perempuan) yang menyampaikan uang 4 rupees dari Hudhur untuk membeli kayu bakar itu telah melihat saya dan berkata, ‘Sampai sekarang kamu belum pergi juga untuk mengambil kayu bakar?’ Saya berpikir, ‘Hudhur menerima banyak sekali ilham dan menjadi sempurna juga.’ Saya menjawab kepadanya, ‘Tidak apa-apa. Allah Ta’ala telah menurunkan ilham kepada saya bahwa kayu bakar akan datang di sini.’ Sambil marah ia berkata, ‘Engkau telah berkata selama saya masih bisa bernafas saya akan pergi. Ingatlah saya akan beritahu Hudhur engkau masih duduk-duduk di sini.’ Sekalipun saya mencegah agar tidak menyampaikan kepada Hudhur, namun dia sampaikan juga.” Katanya, “Selama saya tidak menerima perintah ilham saya tidak akan pergi kemana-mana. Timbullah rasa takut dalam hati saya jangan-jangan Hudhur akan memanggil saya, tentu saya akan terpaksa menerangkan ilham saya. Bagaimana seorang fakir miskin dapat berkata di hadapan seorang kaya-raya, ‘Saya seorang kaya raya?’ Yakni Hadhrat Masih Mau’ud menerima banyak sekali ilham, bagaimana mungkin saya dapat berkata bahwa sayapun menerima ilham. Oleh sebab itu saya keluar melalui pintu dan lari ke arah Batala, kemudian saya perhatikan ke belakang jangan-jangan ada orang yang memanggil saya. Sampai di luar saya pikir untuk mencari kayu bakar ke kedai orang Sikh sambil minta tolong kepada Maulwi Imamuddin dan Maulwi Khairuddin untuk memenuhi pekerjaan ini. Namun ingat lagi kepada ilham Allah Ta’ala bahwa kayu bakar itu akan datang kesini. Jika saya pergi keluar, uang juga ada pada saya, lalu bagaimana pekerjaan ini akan berjalan? Oleh sebab itu disertai perasaan gelisah saya kembali naik keatas atap Masjid dan duduk di sana sambil berdoa terus-menerus semoga Allah Ta’ala memenuhi janji-Nya. Tiba-tiba seorang pembantu laki-laki Hudhur memberi tahu saya, ‘Gerobak pengangkut kayu bakar sudah tiba, turunlah segera untuk membeli kayu bakar itu.’ Saya segera bersujud syukur, setelah itu saya melihat ke bawah ada gerobak berhenti dengan muatan kayu bakar. Saya turun untuk membeli kayu bakar itu dan berkata, ‘Ya Ilahi, tanpa karunia Engkau semua ini tidak dapat diperoleh.’ Ketika kayu bakar sudah sampai dibawa ke Langgar Khana saya beri tahu Hudhur as bahwa perintah Hudhur as telah saya laksanakan. Namun kemudian saya berpikir tentu Allah Ta’ala sendiri telah memberi tahu beliau as melalui ilham, tidak perlu saya memberi tahu Hudhur as. Esok hari Hadhrat Aqdas pergi untuk jalan-jalan pagi. Ketika kembali beliau as secara senda gurau telah bersabda, ‘Di sini ada cerita tentang seorang nabi akan saya perdengarkan. Ketika kami telah menyuruh nabi itu untuk mencari kayu bakar ia berkata, “Selama tidak menerima ilham dari Allah Ta’ala saya tidak akan melaksanakan perintah itu.”’ Mendengar cerita itu semua orang paham dan serempak tertawa.” [16]

Dari kisah ini dapat diketahui bagaimana perlakuan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya dan bagaimana Allah Ta’ala telah mengabulkan doa hamba-Nya dan berkat pertolongan-Nya semua pekerjaan itu dapat diselesaikan.

 

[12] Hadhrat Maulana Ghulam Rasul Rajiki Shahib ra menceritakan, “Pada suatu kali saat saya berada di Qadian Darul Aman. Peristiwa ini sekitar tahun 1905 ketika itu Abdul Hamid Khan Shahib yang adalah putra sulung Mian Muhammad Khan Shahib. Mian Muhammad Khan Shahib ialah yang Hadhrat Masih Mau’ud as menyebut-nyebutnya secara khusus dalam buku ‘Izalah Auham’ dengan pujian. Khan Shahib Abdul Hamid berkata kepada saya, ‘Pergilah ke Kapurthala dan tinggallah di sana untuk memberi daras dan juga tabligh.’ Saya jawab, ‘Saya sudah memutuskan untuk tinggal di Qadian Darul Aman, tidak akan pergi kemana-mana lagi. Jika harus pergi dari sini saya akan pergi ke kampung asal saya.’ Mendengar jawaban itu kemudian Abdul Hamid Shahib berkata lagi, ‘Jika saya sampaikan surat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as menyebut nama anda tentang perintah ini apakah anda tidak akan pergi juga?’ Lalu saya menjawab, ‘Jika demikian tentu saya harus pergi.’ Maka beliau menulis surat permohonan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, ‘Hudhur, atas nama tuan perintahkanlah kepada Maulana Ghulam Rajiki Shahib supaya pergi bersama saya ke Kapurthala untuk pekerjaan daras dan tabligh. Selama beberapa hari harus tinggal di sana.’ Dalam jawaban secara lisan Hudhur bersabda, ‘Ya, beliau boleh pergi, saya izinkan.’ Kemudian saya pergi ke Kapurthala dan tinggal di sana hampir enam bulan lamanya untuk memberikan daras-daras dan melakukan pekerjakan tabligh terus-menerus. Itulah kesempatan pertama bagi saya mendapat izin dan perintah untuk melaksanakan perjalanan semata-mata demi agama Islam.” [17]

 

[13] Hadhrat Mian Khairud Din Shahib ra menceritakan, “Di waktu sidang pengadilan tentang Karam Din di Gurdaspur saya sedang berada di sana. Waktu itu Maghrib. Hudhur as bersabda, ‘Fairuzzud Din Shahib Daskawi belum datang.’ (sebabnya, ia harus bersaksi pada sidang pengadilan pagi itu. Dia bukan seorang Ahmadi namun dia seorang yang ikhlas (tulus, jujur).) Kemudian Hudhur as bersabda kepada Maulwi [Hakim Nuruddin] Shahib, ‘Panggillah siapa saja orang yang kenal dengan Maulwi Nur Ahmad orang Ludhi Nanggal itu.’ Saya [Mian Khairud Din] menghadap kepada Hudhur dan berkata, ‘Hudhur, saya mengenalnya.’ Bersabda, ‘Pergilah sekarang juga dan besok pagi sebelum pukul 9.00 pagi sudah bersamanya di sini.’ Saya segera pergi dan di waktu malam hari saya sampai di tepi sebuah sungai kecil (untuk pengairan tanah-tanah sawah) saya istirahat sebentar di situ. Pagi-pagi sekali sampailah saya ke kampungnya. Maulwi Nur Ahmad Shahib sedang mengajar para pelajar setelah shalat Subuh. Setelah melihat saya dari jauh beliau menanyakan kabar saya dan mengapa pagi-pagi sudah datang di sana. Saya menjawab, ‘Saya datang dari Gurdaspur, Hudhur memanggil tuan.’ Maulwi Shahib pun segera menutup kitab beliau sambil membaca ayat iniيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ “Hai orang-orang beriman dengarlah panggilan Allah dan Rasul-Nya apabila Dia memanggil kamu sekalian untuk menghidupkan kalian.” (Al Anfal ayat 25) tanpa pergi ke rumah dahulu beliau langsung berangkat berjalan bersama saya dan hampir pukul 0.9.00 pagi sampailah kami ke Gurdaspur.” [18]

 

[14] Hadhrat Khalifah Nuruddin Shahib ra berasal dari Jammu berkata, “Pada waktu saya bekerja di kota, ke mana pun saya pergi orang-orang bertanya mengenai kubur (Hadhrat Isa as) dan menanyakan keadaannya. Kadangkala masalah ini dikemukakan kepada Hadhrat Khalifatul Masih I juga. Pada suatu kali saya berjalan melewati Mahallah Khanyar (dimana terletak kubur Nabi Isa as) dan saya melihat seorang laki-laki dan perempuan tua duduk di samping sebuah kubur. Saya bertanya kepada mereka, ‘Kuburan siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini kuburan Nabi Shahib, terkenal sebagai Kuburan Yus Asif, Utusan Tuhan.’ Saya bertanya lagi, ‘Nabi dari mana datang ke sini?’ Mereka berkata, ‘Nabi ini datang dari jauh dan beratus tahun yang lalu datang ke sini.’ Selanjutnya mereka berkata, ‘Letak kuburan ini ada di bawah dahulu terdapat sebuah lubang dan dari lubang itu tercium bau harum. Akan tetapi setelah datang banjir melanda kubur ini bau harum itu sudah berhenti.’ Semua ini saya ceritakan kepada Hadhrat Khalifatul Masih Awwal. Lama setelah itu saya berhenti bekerja dari Kashmir dan pergi ke Qadian. Pada suatu hari di suatu Majlis dimana Hadhrat Maulana Nuruddin dari Kashmir juga hadir, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, ‘Saya memahami bahwa ayat وآويناهما إلى ربوة ذاتِ قرارٍ ومَعينٍ “Kami melindungi keduanya di suatu tempat yang tinggi, layak dihuni dimana terdapat sumber mata air yang mengalir.” (Al-Muminun, 23:51) nampaknya setelah peristiwa penyaliban Hadhrat Isa as dan ibunda beliau pergi ke suatu kawasan seperti Kashmir.’ Maulana Nuruddin Shahib telah menceritakan sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Khalifah Shahib. Hadhrat Masih Mau’ud as memanggil Khalifah Shahib dan meminta beliau untuk melanjutkan penelitian lebih jauh terhadap perkara ‘Kuburan Nabi’ itu. Maka beliau berkata, “Saya mengadakan penelitian lebih jauh berjalan seputar Kashmir dan bertemu dengan 560 orang ulama yang mendukung bahwa kuburan itu adalah kuburan seorang Nabi dan saya mengambil tandatangan mereka semua lalu saya serahkan kepada Hudhur as dan beliau as menerimanya dengan gembira.” [19]

 

[15] Hadhrat Sayyid Taj Husain Bukhari Shahib ra menulis, “Ketika Hadhrat Aqdas as mengunjungi rumah Mir Hamid Syah Shahib di Sialkot, saya dengan kakek saya Hadhrat Sayyid Amir Ali Shah Shahib pergi berjumpa dengan beliau as. Hudhur setelah mengambil baiat kami bersabda, ‘Datanglah engkau ke Qadian dan belajarlah di sana maka engkau akan menjadi taaj walayat (mahkota kewalian).’ Maka pada tahun 1906 saya masuk di Ta’limul Islam High School Qadian dan sering mendapat kesempatan mulaqat dengan Hudhur as dan sering ikut berjalan pagi dengan beliau as.” [20]

 

[16] Hadhrat Mian Sonay Khan Shahib ra menceritakan, “Pada tahun 1899 ketika saya bekerja di negara bagian Pathiala yaitu di departemen permukiman di bagian survey pertanahan. Sheikh Hashim Ali Sanauri adalah inspektur pemerintah. Ia datang untuk melakukan pekerjaan inspeksi pengukuran ulang dan setelah menyaksikan pekerjaan kami ia pun merasa puas. Ia bertanya, ‘Berapa jauhnya Qadian dari tempat tinggal engkau?’ Saya menjawab, ‘30 Kos.’ [21] Sheikh Shahib berkata, ‘Saya adalah khadim Hadhrat Masih Mau’ud as.’ Saya menjawab (waktu itu belum menjadi Ahmadi yang bisa dilihat dari kata-katanya), Ada seorang Tuan Mirza yang menjadi pemimpin orang-orang rendahan. Telah menjadikan diri Isa (na’udzu billah!) dan mengumpulkan banyak harta kekayaan.’ Beberapa hari kemudian berlalu. Di sebuah desa bernama ‘Hat’ terdapat kuburan seorang waliyullah yang bernama Fatah Ali Syah. Saya bermimpi melihat Janab Masih Mau’ud as datang ke kuburan itu. Saya menggelarkan tikar kepada Masih Mau’ud. Hadhrat Masih Mau’ud pun duduk diatasnya. Saya hadir dengan penuh hormat kepada beliau. Saya sedang mengkhidmati beliau. Kemudian berlalulah satu bulan setelah itu. Setelah itu saya bermimpi didatangi orang yang dikubur di tempat itu seorang wali Syah Fatah Ali Shahib dan beliau berkata kepada saya, ‘Imam-e-Waqt (Imam Zaman) sudah lahir di Qadian.’ Saya bertanya, ‘Mirza Ghulam Ahmad?’ Orang suci itu menjawab, ‘Yang mulia Mirza Ghulam Ahmad!’ Saya mendiamkan saja mimpi-mimpi itu karena menganggapnya mimpi bunga tidur. Beberapa hari kemudian orang suci yang di dalam mimpi itu datang lagi dan bertanya kepada saya, ‘Mengapa engkau tidak pergi ke Qadian dan mengapa tidak baiat? Pergilah segera dan baiatlah kepada beliau!’ Saya berkeinginan baiat dan setelah mendapatkan kelonggaran saya datang ke rumah. Namun, saya melambat-lambatkan hal itu karena berbagai urusan keluarga hingga kemudian saya berjumpa lagi dengan sang wali itu di dalam mimpi. Beliau berkata, ‘Kami tidak mengatakan agar kamu diam saja duduk-duduk di rumah. Segeralah kamu pergi ke Qadian dan berbaiat!’ Segera saja hari itu juga setelah bangun tidur saya pergi keluar dari rumah. Saya bermalam di desa ‘Rasgho’ di tempat kerabat. Mereka berkata, ‘Kami akan pergi nanti bulan Desember.’ Saya menerima dengan senang perkataan mereka. Di malam hari saya bermimpi berjumpa lagi dengan sang wali Syah Fatah Ali Shahib yang berkata kepada saya, ‘Engkau telah menempuh 15 Kos dan tinggal menempuh perjalanan 17 Kos lagi. Kami bersama engkau. Siapakah yang engkau takuti?’ Pendek kata pagi hari telah tiba. Saya mencapai Qadian. Saya melihat Hadhrat Masih Mau’ud as sedang berjalan-jalan dari arah selatan diiringi orang-orang ramai sekali. Saya bertanya kepada orang-orang, ‘Kenapa orang-orang berkumpul di hutan?’ mereka menjawab, ‘Tuan Mirza sedang berjalan-jalan dan orang-orang menyertai beliau.’ Sayapun ikut bersama mereka dan ketika bertemu beliau saya mengucapkan Assalaamu ‘alaikum dan berjabat tangan dengan beliau as. Lalu beliau as bertanya, ‘Datang dari mana?’ Saya menjawab, ‘Saya datang dari kampung Mathiana Distrik Hosyiarpur!’ Bertanya lagi, ‘Nama engkau siapa?’ Saya menjawab, ‘Sonay Khan.’ Bersabda lagi, ‘Engkau Sonay Khan yang itu; yang sering bermimpi?’ (Hudhur menjelaskan, Allah Ta’ala pasti yang memberitahukan Hadhrat Masih Mau’ud as mengenai Sonay Khan Shahib itu) Saya menjawab, ‘Saya adalah Sonay Khan yang menjadi khadim Hudhur itu!’ Beliau as bersabda, ‘Tinggallah di Qadian selama 3 hari. Setelah tiga hari saya akan ambil baiat anda!’ Setelah tiga hari saya pun baiat dan beliau bersabda kepada saya, ‘Dahulu kala, orang-orang yang mula-mula baiat kepada Masih Nashiri (Nabi Isa as) juga orang-orang miskin. (Beliau pernah berkata bahwa banyak sekali orang miskin dan orang-orang yang dianggap rendah yang berbaiat setelah menjadi Masih. Karena boleh jadi kabar diatas sampai kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan dalam rangka menjawab hal ini beliau as bersabda bahwa dahulu yang mula-mula baiat kepada Hadhrat Masih Nashiri adalah juga orang-orang miskin.) Orang-orang yang baiat kepada saya juga mula-mula orang-orang miskin. Ketahuilah bahwa saya adalah benar. (salah satu nasihat yang beliau as sampaikan, ‘keyakinan sempurna akan kebenaran saya,) kedua; tunaikan shalat lima waktu sehari semalam dan ketiga; jangan sekali-kali berkata dusta.’ Setelah bersabda demikian, beliau as mengizinkan saya pergi.” [22]

Setiap orang Ahmadi harus tetap mengingat tiga buah nasihat Hadhrat Masih Mau’ud as ini.

 

[17] Hadhrat Fadhl Ilahi Shahib ra putra dari Muhammad Bakhsy Shahib menceritakan, “Pada suatu hari Hadhrat Masih Mau’ud as bersama Hadhrat Amma Jan datang berjalan-jalan ke kampung kami. Ketika hendak kembali ke Qadian Hadhrat Amma Jan merasa haus dan meminta air untuk minum. (di dalam peristiwa ini terdapat ketaatan dalam hal kecil) Ibu saya menuangkan air ke dalam gelas dan berkata kepada saya, ‘Bawalah air ini!’ Dengan cepat saya membawa air itu dan Amma Jan serta Hadhrat Shahib sedang berdiri di tepi jalan. Saya memberikan air itu kepada Ama Jan. Beliau memegang gelas berisi air dan mulai meminumnya. Baru satu teguk beliau minum air Hadhrat Shahib as bersabda kepada beliau, ‘Minumlah air sambil duduk!’ Beliau pun duduk lalu minum air selebihnya.” [23]

 

[18] Hadhrat Nizamud Din Shahib ra mengatakan, “Pada masa itu biasanya para tamu terlebih dahulu berkumpul sambil duduk di sebuah ruangan yang disebut Gol Kamra (Ruangan Bundar) kemudian diberitahukan kepada Hadhrat Aqdas as bahwa orang-orang sudah ramai berkumpul. Pada suatu hari Hadhrat Aqdas as masuk ke kamar itu lebih dulu dan Hadhrat Khalifah Awwal Hadhrat Maulwi Nurud Din Shahib ra belum datang. Hudhur bersabda kepada pelayan ini (saya), ‘Pergilah dan panggillah Maulwi Shahib!’ Sambil berlari saya pun pergi menuju tempat klinik pengobatan beliau dan menyampaikan perintah Hadhrat Aqdas. Hadhrat Khalifah Awwal ra berkata, ‘Hadhrat Shahib sudah hadir?’ Bandah (hamba, saya) menjawab, ‘Iya benar dan beliau memanggil tuan.’ Atas hal itu Hadhrat Khalifah Awwal ra keluar dari klinik sambil berlari dan tidak lama kemudian sampailah beliau di Gol Kamra. Kebiasaan Hadhrat Maulwi Shahib di majlis pertemuan ialah beliau duduk sambil menundukkan kepala dengan penuh adab di samping Hadhrat Aqdas as dan beliau tidak pernah berbicara sebelum Hadhrat Aqdas memulai bersabda sesuatu kepada beliau.” [24]

 

[19] Hadhrat Hafiz Jamal Ahmad Shahib ra meriwayatkan, “Beliau mendengar dari Maulwi Ghulam Muhammad Shahib bahwa pada suatu malam pukul 11 atau 12 Hadhrat Masih Mau’ud as menyuruh saya untuk meminta susu dari rumah Hadhrat Maulwi Nurud Din Shahib. Namun di rumah beliau tidak ada susu. Maka beliau menyuruh saya sambil berkata, ‘Pergilah segera dan carilah susu sampai dapat, berapapun harganya!’ Saya tidak mau orang pesuruh Hadhrat Shahib kembali kepada beliau dengan tangan kosong. Boleh jadi ada tamu datang oleh sebab itu beliau as menyuruh mengambil susu. Maka saya pergi berlari ke rumah yang mempunyai kerbau betina dan membangunkan yang punya rumah, kemudian dia berusaha memerah susu dari kerbau betinanya dan susu itupun keluar. Padahal biasanya pada malam hari susu tidak mau keluar dari perut kerbau. Dengan karunia Allah Ta’ala susu dapat diperah dan keluar di waktu malam kelam itu. Betul-betul Allah Ta’ala telah menolong dan susu telah tersedia. Melihat keadaan demikian Hadhrat Maulwi Shahib sangat gembira.” [25]

 

[20] Hadhrat Hafiz Jamal Ahmad Shahib ra menceritakan bahwa Maulwi Ghulam Muhammad Shahib Marhum meriwayatkan, “Pada suatu hari seseorang (saya lupa namanya) dari Batala telah memohon ijin kepada Hadhrat Masih Mau’ud as supaya Hadhrat Khalifah Awwal (Maulana Hakim Nurud Din Shahib) datang ke Batala untuk memeriksa seorang sakit. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, ‘Maulwi Shahib! Tuan harus kembali petang hari itu juga.’ Maulwi Shahib berkata, ‘Iya, Hudhur. Saya akan pulang.’ Sesampainya di Batala turun hujan sangat lebat sehingga terjadi banjir dimana-mana. Dalam keadaan demikian pun Maulana Shahib sampai di Qadian. Beliau berjalan dalam keadaan air sampai setinggi lutut beliau, duri-duri tajam juga telah menusuk kaki beliau. Mendengar keadaan demikian Hadhrat Masih Mau’ud as menyatakan rasa kasihan dan bersabda, ‘Maulwi Shahib, bukan keinginan saya tuan berbuat demikian, mengapa menyusahkan diri sendiri?’” [26]

 

[21] Hadhrat Maulwi Mian Abdul Aziz Shahib ra menceritakan kisah beliau, “Pada suatu hari Hadhrat Maulana Nurud Din Shahib sedang duduk di dalam klinik beliau. Kira-kira pukul 12.00 siang di musim panas Hadhrat Ummul Mu’minin mengirim seorang khadim untuk menyampaikan kepada beliau, ‘Hadhrat Umul Mu’minin meminta Maulwi Shahib datang untuk melakukan phlebotomy (membuka saluran darah).’ Maulana Shahib mengirim pesan balik kepada beliau, ‘Menurut ketentuan medis didalam kondisi beliau sekarang ini melakukan phlebotomy sangat dilarang.’ Mendengar pesan itu Hadhrat Umul Mu’minin mengirim pesan lagi yang kedua kali untuk melakukan phlebotomy itu terhadap beliau. Namun dijawab lagi oleh beliau dengan pesan yang sama kepada Hadhrat Umul Mu’minin. Tidak lama kemudian datanglah Mian Bashiruddin Mahmud Ahmad Shahib. Hadhrat Maulana Shahib langsung merangkul dan mendudukkannya diatas pangkuan beliau sambil bertanya, ‘Ada apa Mian datang kemari?’ Dijawabnya, ‘Ayah saya memanggil Maulana Shahib datang untuk melakukan phlebotomy.’ Mendengar pesan ini Maulwi Shahib segera bangkit dan berangkat untuk melakukan phlebotomy itu. Ketika beliau kembali ke Klinik ada orang bertanya kepada beliau, ‘Maulana Shahib sebelumnya mengatakan bahwa melakukan phlebotomy dilarang keras.’ Maulana Shahib menjawab, ‘Kini bukan lagi masalah pengobatan tetapi perintah yang harus ditaati.’” [27]

 

[22] Hadhrat Mian Sharafat Ahmad Shahib ra meriwayatkan tentang keadaan ayah beliau Hadhrat Maulwi Jalalud Din Shahib marhum, “Ayah saya banyak sekali menyusahkan Hadhrat Maulana Nurud Din Shahib apabila datang ke Qadian. Dan ketika berjumpa Hudhur dengan kasih sayang beliau acapkali bersabda, ‘Ibunda Hadhrat Maulwi Shahib berasal dari kaum yang sama dengan Hadhrat Maulwi Jalalud Din Shahib, karena itulah Hadhrat Maulana Nurud Din Shahib sangat mencintai beliau itu.’ Hadhrat Maulana Nurud Din Shahib menegaskan kepada Maulana Jalalud Din Shahib, ‘Apabila datang ke Qadian harus bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud as dahulu dan duduk bersama yang lain dalam Majlis beliau as sesudah itu baru bertemu dan duduk bersama saya jangan pergi kemana-mana. Jika mau pergi juga ke tempat lain harus meminta izin dahulu dari Hadhrat Aqdas as.’ Ayah saya mengatakan setelah menerima nasihat itu beliau selalu mengamalkannya.” [28]

 

[23] Hadhrat Muhammad Zafrullah Khan Shahib ra putra Chaudhri Nashrullah Khan Shahib ra meriwayatkan, “Pada hari itu di samping menjalankan pengobatan Hadhrat Khalifatul Masih al-Awwal juga memberi daras (pelajaran) tentang buku ‘Matsnawi’ karya Maulana Jalaluddin Rumi di ruangan klinik beliau yang sekarang adalah tempat praktek tabib Qutbuddin. Saya bersama ayah saya sering mendapat kesempatan berjumpa dengan beliau. Saya ingat betul di waktu sedang memberi daras datang seseorang memberitahu bahwa Hadhrat Aqdas as sudah keluar. Maka Hadhrat Khalifatul Masih al-Awwal segera menutup daras, berdiri, memakai sorban sembari berjalan dan berusaha mengikat sepatu yang seringkali beliau terpeleset karenanya. Sesampai di Majlis Hadhrat Masih Mau’ud as, beliau tidak memandang wajah mubarak Hudhur as selama beliau as tidak bertanya sesuatu kepada beliau.” [29]

 

[24] Hadhrat Sufi Ghulam Ahmad Shahib ra meriwayatkan (setelah wafat Hadhrat Masih Mau’ud as), “Semua orang baiat di tangan Hadhrat Maulwi Nurud Din Shahib. Hadhrat Maulwi Shahib bersabda, ‘Kemarin saya adalah saudara kalian semua. Kini saya telah menjadi bapak kalian semua maka kalian semua harus menaati saya. Amatul Hafiz adalah putri Hudhur as yang paling kecil. Andai ia dibaiat maka saya akan menaatinya seperti saya menaati Hadhrat Masih Mau’ud as.’” [30]

Semoga Allah Ta’ala terus-menerus meninggikan derajat semua sahabat radhiyallahu ‘anhum itu dan sebagaimana keinginan beliau-beliau bahwa di Hari Kemudian juga berada bersama-sama dengan Hadhrat Masih Mau’ud as; semoga Allah Ta’ala menyempurnakan keinginan beliau-beliau itu. Semoga Allah Ta’ala menjadikan anak keturunan beliau-beliau juga sebagai orang-orang yang teguh di jalan ketaatan dan kesetiaan. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk menjadi orang-orang yang mempunyai hubungan erat dengan Imam Zaman ini disertai ketaatan sempurna. Beliau as telah memanjatkan doa-doa bagi para mukhlisin beliau semoga kita juga menjadi pewaris doa-doa beliau as. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua orang-orang yang mencintai, mematuhi dan menjunjung tinggi ketaatan yang kamil terhadap Qudrat Tsaniah (Khilafat) yang berdiri setelah beliau as. Sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih Awal ra bersabda, “Kalian semua harus taat secara sempurna…dan setelah menjalin hubungan dengan Khilafat jadilah bagian dari pada Jemaat yang berhak menerima rahmat dan karunia Tuhan.” Untuk itu semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita semua.

Saat ini setelah shalat Jum’at dan shalat Ashar (dijamak) saya akan memimpin dua shalat jenazah ghaib. Pertama adalah Tariq Ahmad Shahib putra dari Mubarak Ahmad Shahib. Beliau lahir di suatu kampung di Layyah. Dua bulan sebelum lahir, ayahanda dari Tariq Shahib ini telah wafat. Mukarram Tariq Shahib berumur 41 tahun. telah disyahidkan di Layyah, Pakistan pada tanggal 17 Mei 2012. Pagi hari itu beliau pergi ke pasar untuk membeli sayur-mayur. Keluarga beliau menunggu sampai petang tidak kunjung kembali ke rumah. Ditelepon berkali-kali namun tidak ada kontak sama-sekali. Akhirnya dapat diketahui bahwa dalam perjalanan pulang beliau telah diculik oleh orang-orang tidak dikenal. Beliau telah dipukuli secara biadab dan akhirnya ditembak di kepala hingga syahid. إنا لله وإنا إليه راجعون Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kedua tangan dan kedua kaki beliau diikat, kedua lutut dan tubuh beliau bengkak-bengkak penuh dengan luka-luka bekas pukulan benda tajam yang keras. Lalu jasad beliau dimasukkan kedalam sebuah drum kemudian dilemparkan oleh mereka ke sebuah sungai di Rajan Shah. Kebetulan sekali saat itu saluran air sedang tidak deras airnya yang kalau tidak demikian tentu mayat beliau akan tidak bisa diketahui kemana perginya. Hari berikutnya mayat beliau diketemukan oleh polisi dan keluarga beliau tidak dapat mengenali muka beliau lagi disebabkan banyak luka-luka dan bengkak yang sangat mengerikan. Baru dapat dikenal dari pakaian yang dipakai oleh beliau dan tanda-tanda lainnya. Menurut laporan dari Amir Jemaat setempat kasus ini tidak ada kaitannya dengan permusuhan terhadap Jemaat. Namun sebetulnya saya dapat mengatakan pasti ada hubungannya dengan Jemaat sebab beliau seorang Ahmadi yang sangat baik dan dikenal tidak mempunyai musuh dan sebelumnya juga salah seorang dari keluarga beliau telah luka-luka ditembak. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat-derajat beliau dan semoga Allah Ta’ala memberikan pelajaran terhadap musuh-musuh itu dan semoga Allah Ta’ala segera menampakkan tanda-tanda yang terang bagi Jemaat dalam waktu dekat. Harus selalu diingat bahwa dalam keadaan demikian jika tidak ada perhatian yang istimewa dari Jemaat untuk memanjatkan doa-doa dan tidak meminta tanda-tanda dari Allah Ta’ala maka kita tidak akan menyaksikan keberhasilan-keberhasilan yang telah dijanjikan oleh Allah Ta’ala kepada Jemaat ini. Pada umumnya kemenangan-kemenangan yang diperoleh setelah menyaksikan tanda-tanda dari Allah Ta’ala itulah kemenangan yang terang dan nampak jelas kepada musuh-musuh juga sehingga akhirnya musuh-musuh pun mengakui kebenaran. Sebuah kemenangan yang luar biasa dapat kita peroleh segera setelah menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh memanjatkan doa-doa dan bersujud sambil merendahkan diri di hadhirat Allah Ta’ala dan sungguh-sungguh memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hamba-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita semua untuk itu. Seorang saudara syahid marhum, murabbi Jemaat bernama tuan Arif Ahmad menulis surat kepada saya dan menjelaskan keistimewaan-keistimewaan almarhum yang juga adalah seorang yang penyayang. Almarhum selain meninggalkan seorang istri juga 6 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Anak tertua berusia 18 tahun dan yang bungsu berumur 2 tahun. Anak-anak yang lain berusia diantara itu. Semoga Allah Ta’ala menempatkan mereka dalam penjagaan-Nya.

Jenazah kedua adalah Amatul Qoyyum Shahiba yang tinggal di Rabwah dan istri dari Syaikh Abdus Salam. Wafat pada tanggal 3 Mei 2012. Beliau merupakan salah seorang dari keluarga pemukim awal di Rabwah. Beliau seorang musi. Beliau meninggalkan 5 laki-laki dan 3 anak perempuan. Salah satu putra beliau tuan Abdul Hafizh tinggal di sini; yang lain tinggal di Belanda dan juga di Rabwah. Dua orang cucu beliau mengajar di Jamiah Ahmadiyah Britania. Semoga Allah Ta’ala meningkatkan derajat-derajat almarhumah.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

“Segala puji bagi Allah Ta’ala. Kami memuji-Nya dan meminta pertolongan pada-Nya dan kami memohon ampun kepada-Nya dan kami beriman kepada-Nya dan kami bertawakal kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah Ta’ala dari kejahatan-kejahatan nafsu-nafsu kami dan dari amalan kami yang jahat. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang dinyatakan sesat oleh-Nya, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Dan kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Ta’ala dan kami bersaksi bahwa Muhammadsaw. itu adalah hamba dan utusan-Nya. Wahai hamba-hamba Allah Ta’ala! Semoga Allah Ta’ala mengasihi kalian. Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh supaya kalian berlaku adil dan ihsan (berbuat baik kepada manusia) dan îtâ-i dzil qurbâ (memenuhi hak kerabat dekat). Dan Dia melarang kalian berbuat fahsyâ (kejahatan yang berhubungan dengan dirimu) dan munkar (kejahatan yang berhubungan dengan masyarakat) dan dari baghyi (pemberontakan terhadap pemerintah). Dia memberi nasehat supaya kalian mengingat-Nya. Ingatlah Allah Ta’ala, maka Dia akan mengingat kalian. Berdoalah kepada-Nya, maka Dia akan mengabulkan doa kalian dan mengingat Allah Ta’ala (dzikir) itu lebih besar (pahalanya).”

[1]Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Malfuuzhaat jilid awwal halaman 223-224, edisi 2003, cetakan Rabwah

[3] Haqiqatul Wahyi, Ruhani Khazain, jilid 22, halaman 239-240

[4] Ibid. (sda.)

[5] Rejister riwaayaat shahabah ghair mathbu’ah, jilid 6 halaman 315, riwayat Hadhrat Fadhl Ilahi Shahib ra

[6] Rejister riwayaat., j. 7 h. 446-447, Hadhrat Mufti Fadhlur Rahman Shahib ra

[7] Rejister riwayaat., j. 7 h. 217, Hadhrat Hafizh Abdul ‘Aliyy Shahib ra

[8] Rejister riwayaat., j. 7 h. 217, Hadhrat Hafizh Abdul ‘Aliyy Shahib ra

[9] Rejister riwayaat., j. 7 h. 350, Janab Walidah Basyir Ahmad Shahib Bhatti ra

[10] Pewarna terbuat dari dedaunan. Bahasa Sunda:”daun pacar”

[11] Rejister.., j. 11 h. 41-42, Hadhrat Mian Abdul Ghaffar Shahib Jarrah ra

[12] Rejister riwayaat., j. 11 h. 72-73, Hadhrat Sheikh Zainul Abidin saudara Hafizh Hamid Ali Shahib ra

[13]Rejister riwayaat., j. 11 h. 89-90, Malik Ghulam Husain Muhajir Shahib ra

[14] Rejister riwayaat., j. 11 h. 215-216, Maulwi Aziz Din Shahib ra

[15] Rejister riwayaat., j. 11 h. 234, Mian Abdul Aziz Shahib of Lahore ra

[16] Rejister riwayaat., j. 11 h. 282-287, Mir Mahdi Husain Shahib ra Khadimul Masih

[17] Rejister riwayaat., j. 10 h. 18-19, Hadhrat Maulana Ghulam Rasul Rajiki Shahib ra

[18] Rejister riwayaat., j. 12 h. 23, Hadhrat Mian Khairud Din Shahib ra putra Jhanda Khan

[19]Rejister riwayaat., j. 12 h. 70-71, Hadhrat Khalifah Nuruddin Shahib, warga Jammu

[20] Rejister riwayaat., j. 12 h. 126, Hadhrat Sayyid Taj Husain Shahib Bukhari, BA, BT

[21] 1 kos lebih jauh dari 1 Mil

[22] Rejister riwayaat., j. 12 h. 193-195, Mian Sonay Khan Shahib ra penduduk Methianah

[23] Rejister riwayaat., j. 7 h. 353, Hadhrat Fadhl Ilahi Shahib ra

[24] Rejister riwayaat., j. 3 h. 106, tatimah riwayat Nizhamud Din Shahib ra

[25] Rejister riwayaat., j. 7 h. 385, Hadhrat Hafiz Jamal Ahmad Shahib ra

[26] Rejister riwayaat., j. 7 h. 386, Hadhrat Hafiz Jamal Ahmad Shahib ra

[27] Rejister riwayaat., j. 9 h. 45-46, Mian Abdul Aziz Shahib ra

[28] Rejister riwayaat., j. 12 h. 277, Maulwi Jalaluddin Shahib Marhum ra

[29] Rejister riwayaat., j. 6 h. 248-249, Sir Muhammad Zhafrullah Khan Shahib ra

[30] Rejister riwayaat., j. 7 h. 283, Hadhrat Sufi Ghulam Muhammad Shahib ra

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.