Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 160, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr (ra) ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 26)
- Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadhrat Abu Bakr (ra) ibn Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Berbagai kelompok pasukan di masa penuh berkat Nabi Muhammad (saw) dalam menghadapi kaum Murtadin yang melakukan pemberontakan.
- Uraian rinci mengenai kemenangan-kemenangan pasukan Muslim dalam berbagai tugas peperangan di masa Khilafat Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) yang telah menugaskan 11 (sebelas) Amir (Komandan) perang beserta ekspedisi perjalanan menuju wilayah tugas yang tengah bergejolak penentangan, pemberontakan dan kemurtadan.
- Pembahasan berdasarkan rujukan Kitab-Kitab Sejarah di kalangan umat Islam seperti Tarikh ath-Thabari. Pembahasan ekspedisi ke-11 (sebelas) di Kindah dan Hadhramaut (sekarang wilayah Yaman) dibawah kepemimpinan Hadhrat Muhajir bin Abi Umayyah (ra) dan kerjasamanya dengan komandan ekspedisi lain seperti Hadhrat Ikrimah bin Abu Jahl (ra) atau pejabat lain seperti Hadhrat Ziyad bin Labid (ra).
- Surat-menyurat antara Khalifah dengan para pejabat Muslim yang ditugaskan di Yaman sejak zaman Nabi Muhammad (saw) seperti Hadhrat Mu’adz bin Jabal dan kepulangan beliau ke Madinah dari Yaman. Problem penarikan zakat antara Hadhrat Ziyad bin Labid (ra) sebagai pejabat utusan dari Madinah dengan warga Muslim di Kindah dan Hadhramaut.
- Kerjasama antara Hadhrat Ziyad bin Labid (ra), Hadhrat Muhajir bin Abi Umayyah (ra) dan Hadhrat Ikrimah bin Abu Jahl (ra) dalam menumpas pemberontakan dan menguasai benteng pemberontak di Nujair, dekat Hadhramaut. Dialog antara Khalifah dengan Asy’ats bin Qais al-Kindi, salah seorang tokoh pemberontak yang menyerah dan ditawan serta dibawa ke Madinah. Asy’ats di waktu sebelumnya telah menikah dengan Ummu Farwah yang merupakan saudari Khalifah namun belum tinggal bersama.
- Pembahasan mengenai tindakan-tindakan pemerintah Khalifah Abu Bakr (ra) menghadapi kaum murtadin pemberontak dan perang terakhir yang setelah itu berhenti pemberontakan di tanah Arab. Surat dari Khalifah Abu Bakr (ra) kepada para Amir di semua daerah agar tidak melibatkan orang-orang yang pernah murtad dan memberontak ke dalam pemerintahan.
- Maulana Maududi, seorang Ulama terkenal dari Pakistan menulis bahwa para Sahabat Nabi (saw) senantiasa memerangi siapa pun yang menyatakan diri sebagai Nabi. Hal ini bertentangan dengan perkataan para Sahabat sendiri. Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) terkait hal ini bahwa para Sahabat memerangi para pemberontak pelaku kekerasan terhadap pemerintahan Islami bukan karena pendakwaan palsu mereka.
- Pemikiran mengenai bagaimana menghadapi ancaman luar yaitu dari kekaisaran Romawi dan kekaisaran Iran (Persia). Peranan Hadhrat Mutsanna bin Haritsah (ra). Khalifah Abu Bakr (ra) mengadakan rapat konsultasi dengan mengundang tokoh-tokoh militer untuk menyerap pendapat mereka dan memutuskan bagaimana mengantisipasi kekuatan luar, khususnya Persia.
- Kebijakan Khalifah Abu Bakr (ra) mengenai perlakuan terhadap bangsa Arab yang berada di Irak yang mana saat itu berada di bawah kekuasaan dan penindasan bangsa Iran nantinya mempermudah kemenangan-kemenangan menghadapi bangsa Iran.
- Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr (ra) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
- “Berdasarkan penerangan Al-Qur’an yang mulia, amal perbuatan Rasulullah (saw) yang penuh berkat dan Hadits-Hadits telah sebelumnya saya jelaskan bahwa Rasulullah (saw) tidak menindak seseorang karena semata-mata orang itu membuat suatu pendakwaan kenabian [hanya karena mengaku Nabi]. Tidak pula upaya peperangan yang ditempuh Hadhrat Abu Bakr (ra) ini hanya didasarkan atas upaya menghabisi para pendakwa kenabian palsu, tetapi dasar yang utama adalah sikap mereka yang mengobarkan pemberontakan.”
- “Siapa saja yang menyajikan sejarah Islam dengan memutarbalikkannya [bukan fakta atau kebenaran], sebenarnya ia tidak sedang mengkhidmati Islam. Jika ia memiliki tujuan mengkhidmati Islam, hendaklah ia memberi kedudukan tertinggi pada kebenaran dan menjauhkan diri sepenuhnya dari kedustaan dan memutarbalikkan kenyataan.”
- “Perencanaan dan kecepatan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam menanggulangi fitnah yang menyebar ke seluruh negeri merupakan cermin dari tingginya kemampuan beliau, dan jelas terlihat bagaimana beliau mendapatkan dukungan dan pertolongan Tuhan di setiap langkah beliau. Penanggulangan fitnah kemurtadan dan pemberontakan dalam waktu yang bahkan kurang dari 1 tahun dan menegakkan kembali pemerintahan Islam di tanah Arab merupakan satu jasa beliau yang luar biasa.”
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 15 Juli 2022 (Wafa 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Dzulhijjah 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Saat ini sedang dibahas berkenaan dengan tindakan umat Islam terhadap orang-orang murtad yang melakukan pemberontakan. Kaitannya dengan hal ini, dijelaskan lebih lanjut mengenai tindakan yang dilakukan oleh Hadhrat Muhajir (ra) dan Hadhrat Ikrimah (ra) dalam menghadapi orang-orang murtad di Kindah dan Hadhramaut bahwa ketika Hadhrat Muhajir berhenti di Sana’a, beliau mengabarkan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) melalui surat mengenai semua tindakan yang beliau lakukan dan menunggu balasan suratnya.
Pada saat yang sama, Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) dan para gubernur lain dari Yaman yang telah pergi sejak zaman Rasulullah (saw) mengirim surat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan meminta izin untuk kembali ke Madinah. Hadhrat Abu Bakr (ra) memberikan opsi kepada Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) dan para gubernur lainnya untuk tinggal di Yaman jika mereka mau dan kembali ke Madinah jika mereka mau, tetapi hendaknya menunjuk seseorang untuk menggantikan mereka. Setelah mendapatkan opsi tersebut, semuanya kembali ke Madinah dan Hadhrat Muhajir (ra) mendapatkan perintah untuk pergi menemui Hadhrat Ikrimah (ra), kemudian keduanya harus pergi ke Hadhramaut bersama-sama dan membantu Ziyad bin Labid (ra). Seraya menetapkan mereka untuk tetap pada jabatan mereka, Hadhrat Abu Bakr (ra) memerintahkan, “Mereka yang telah berjihad antara Makkah dan Yaman bersama anda, berilah izin untuk kembali. Jika mereka ingin kembali, silahkan kembali kecuali orang-orang itu sendiri mengatakan bahwa mereka ingin ikut serta dalam Jihad, tetapi utamakanlah untuk ikut serta dalam Jihad atas keinginan sendiri.” [1]
Hadhrat Ikrimah (ra) menerima surat Hadhrat Abu Bakr (ra) yang berisi perintah untuk bergabung dengan Muhajir bin Abu Umayah (ra) yang datang dari Shana’a dan berdua bersama-sama pergi kepada Kabilah Kindah. Setelah menerima surat ini, Hadhrat Ikrimah (ra) pergi dari Mahrah dan menetap di Abyan sambil menunggu Hadhrat Muhajir bin Umayah (ra). Abyan juga adalah nama suatu permukiman di Yaman.[2]
Berkenaan dengan tindakan menghadapi orang-orang murtad dari Kabilah Kindah, tertulis dalam Tarikh Thabari bahwa sebelum terjadi kemurtadan, ketika seluruh wilayah Kindah dan Hadhramaut memeluk Islam, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda mengenai pengumpulan zakat dari mereka bahwa zakat sebagian penduduk Hadhramaut hendaknya dikumpulkan [untuk mereka yang berada] di Kindah dan zakat sebagian penduduk Kindah harus dikumpulkan di Hadhramaut, yakni hendaknya dikirim ke sana dan saling membelanjakan satu sama lain. Kemudian zakat sebagian penduduk Hadhramaut hendaknya dikumpulkan di Sakun dan zakat sebagian penduduk Sakun hendaknya dikumpulkan di Hadhramaut.
Atas hal itu, beberapa orang Kindah mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا لَسْنَا بِأَصْحَابِ إِبِلٍ، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ يَبْعَثُوا إِلَيْنَا بِذَلِكَ عَلَى ظَهْرٍ! “Ya Rasulullah (saw)! Kami tidak memiliki unta. Jika Anda (saw) menganggap hal ini patut, hendaknya mereka mengantarkan harta zakat kepada kami dengan tunggangan mereka.”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada orang-orang Hadhramaut, “Jika kalian bisa melakukan seperti itu, lakukanlah.”
Mereka mengatakan, “Kami akan melihat. Jika mereka tidak memiliki hewan tunggangan, kami akan melakukan seperti demikian.”
Kemudian ketika Rasulullah (saw) wafat dan tiba waktunya pengumpulan zakat, Ziyad memanggil orang-orang untuk datang kepada beliau. Mereka hadir ke hadapan beliau dan Banu Wali’ah (بَنُو وَلِيعَةَ) yaitu penduduk Kindah berkata [kepada orang-orang Hadhramaut], “Sebagaimana yang telah kalian janjikan kepada Rasulullah (saw), antarkanlah harta zakat kepada kami.” Mereka berkata, “Kalian memiliki hewan pengangkut beban. Bawalah hewan kalian dan ambillah sendiri harta zakat untuk kalian.” Mereka menolak untuk mengantarkan harta zakat dan orang-orang Kindah bersikeras pada tuntutannya. Kemudian orang-orang itu kembali ke rumah masing-masing. Mereka menjadi bimbang. Mereka maju selangkah lalu mundur lagi selangkah. [3]
Sambil menunggu Hadhrat Muhajir (ra), Hadhrat Ziyad (ra) menahan diri untuk tidak mengambil tindakan apapun terhadap mereka. Maksudnya, beliau tidak melakukan tindakan apapun terhadap para pengingkar zakat hingga Hadhrat Muhajir (ra) datang.
Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) mengirimkan surat kepada Hadhrat Muhajir (ra) dan Hadhrat Ikrimah (ra) yang berisi, أَنْ يَسِيرَا حَتَّى يَقْدَمَا حَضْرَمَوْتَ، واقر زيادا على عمله، واذن لمن معك مِنْ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْيَمَنِ فِي الْقَفْلِ، إِلا ان يؤثر قوم الجهاد وامده بعبيده ابن سَعْدٍ “Kalian berdua pergilah ke Hadhramaut dan pertahankanlah Hadhrat Ziyad (ra) untuk tetap pada tanggung jawab beliau. Berilah izin pulang kepada orang-orang yang berjihad bersama kalian yaitu yang berasal dari wilayah antara Makkah dan Yaman, kecuali bagi mereka yang ingin ikut serta dalam jihad atas kehendaknya sendiri dan kirimlah Ubaidah bin Sa’d untuk membantu Hadhrat Ziyad (ra).”[4] Hadhrat Muhajir (ra) pun melaksanakan perintah tersebut. Beliau berangkat dari Sana’a menuju ke Hadhramaut, sedangkan Hadhrat Ikrimah (ra) berangkat dari Abyan menuju ke Hadhramaut dan keduanya bertemu di Ma’arib. Keduanya melintasi Gurun Suhaid hingga mereka mencapai Hadhramaut. Ketika orang-orang Kindah marah kepada Hadhrat Ziyad (ra) dan kembali, Hadhrat Ziyad (ra) mengambil inisiatif untuk mengumpulkan Zakat dari Banu ‘Amru.
Seorang pemuda dari Kindah secara keliru memberikan unta saudaranya kepada Hadhrat Ziyad (ra) sebagai zakat. Hadhrat Ziyad (ra) menandainya dengan api sebagai harta Zakat. Beliau mencapnya untuk menyatakan bahwa ini milik Baitul Mal dan merupakan harta zakat. Ketika pemuda tadi memohon untuk menukar unta tersebut karena telah terjadi kekeliruan, Hadhrat Ziyad (ra) beranggapan bahwa pemuda itu sedang membuat-buat alasan, oleh karena itu beliau tidak setuju.
Atas hal itu, orang yang memberikan unta tersebut memanggil orang-orang dari kabilahnya dan Abu Samith (أبو السميط حارثة بن سراقة بن معد يكرب) untuk membantu. Ketika Abu Samith meminta penukaran unta kepada Hadhrat Ziyad (ra), maka Hadhrat Ziyad (ra) bersikeras pada pendiriannya. Abu Samith menjadi marah, dia membuka ikatan unta itu secara paksa, kemudian kawan-kawan Hadhrat Ziyad (ra) menawan Abu Samith beserta kawan-kawannya dan juga mengambil unta tersebut. Orang-orang itu saling memanggil bantuan sehingga Banu Muawiyah datang membantu Abu Samith. Banu Muawiyah adalah orang-orang yang merupakan cabang Banu Harits bin Muawiyah dan Banu ‘‘Amruu bin Muawiyah dari Kabilah Kindah. Mereka menuntut pembebasan rekan-rekan mereka kepada Hadhrat Ziyad (ra), namun Hadhrat Ziyad (ra) menolak untuk membebaskan para tahanan sampai mereka bubar. Beliau berkata, “Tidak seperti itu caranya, pergilah kalian, kemudian saya akan memeriksa lagi.” Ketika orang-orang ini tidak bubar, Hadhrat Ziyad (ra) menyerang mereka dan membunuh banyak dari mereka dan beberapa orang melarikan diri dari sana.
Hadhrat Ziyad (ra) pulang dan membebaskan para tahanan beliau. Tetapi setelah pulang, orang-orang ini lalu mulai melakukan persiapan perang. Banu ‘Amru bin Harits dan Asy’ats bin Qais serta Samit bin Aswad pergi ke benteng masing-masing dan mereka menolak untuk membayar zakat dan memilih murtad, yang mana menanggapi hal itu Hadhrat Ziyad (ra) menghimpun pasukan dan menyerang Banu ‘Amru dan banyak orang-orang mereka yang terbunuh dan mereka yang dapat melarikan diri pun melarikan diri.
Sejumlah besar dari mereka ditawan oleh Hadhrat Ziyad (ra) dan dikirim ke Madinah. Dalam perjalanan, orang-orang Asy’ats dan Banu Harits menyerang dan menyelamatkan tawanan mereka dari kaum Muslimin. Setelah kejadian ini, banyak suku tetangga juga bergabung dengan orang-orang ini dan mereka juga menyatakan kemurtadan.
Atas hal itu, Hadhrat Ziyad (ra) menulis surat kepada Hadhrat Muhajir (ra) untuk meminta bantuan. Hadhrat Muhajir (ra) menjadikan Hadhrat Ikrimah (ra) sebagai wakilnya dan menyerang Kindah bersama kawan-kawan beliau. Orang-orang Kindah melarikan diri dan terkurung di salah satu benteng mereka yang disebut Nujair. Ini juga merupakan sebuah benteng di Yaman, dekat Hadhramaut. Ada tiga jalan menuju benteng ini. Di satu rute, Hadhrat Ziyad (ra) turun, di sisi lain, Hadhrat Muhajir (ra) berkemah, dan rute ketiga tetap dalam penguasaan Kindah hingga Hadhrat Ikrima (ra) tiba dan menduduki rute tersebut. Pasukan Hadhrat Ziyad (ra) dan Hadhrat Muhajir (ra) terdiri dari lima ribu sahabat Muhajirin dan Anshor serta kabilah-kabilah lainnya. Ketika orang-orang yang berlindung di benteng Nuwair melihat bahwa kaum Muslimin mendapatkan bala bantuan yang berimbang, mereka menjadi sangat ketakutan.
Dikarenakan hal tersebut, pemimpin mereka, Asy’ats segera datang kepada Hadhrat Ikrimah (ra) dan memohon jaminan keamanan. Hadhrat Ikrimah (ra) membawa Asy’ats kepada Hadhrat Muhajir (ra). Asy’ats meminta jaminan keamanan bagi dirinya sendiri dan sembilan orang bersamanya dengan syarat bahwa mereka akan membuka gerbang benteng untuk kaum Muslimin. Hadhrat Muhajir (ra) menerima persyaratan ini. Ketika Asy’ats menulis nama sembilan orang tersebut, ia lupa menulis namanya sendiri karena tergesa-gesa dan ketakutan yang sangat. Lalu ia membawa tulisan itu kepada Hadhrat Muhajir (ra) yang kemudian mencapnya. Kemudian Asy’ats kembali. Ketika ia membuka gerbang benteng, kaum Muslimin memasukinya. Tujuh ratus orang Kindah tewas dalam pertempuran antara kedua belah pihak. Orang-orang di dalam benteng juga melakukan perlawanan dan bertempur dari depan. Bagaimanapun, para pria mereka tewas terbunuh dan 1000 wanita ditawan.
Setelah itu, Hadhrat Muhajir (ra) meminta surat jaminan keamanan dan memaafkan semua orang yang tercantum di dalamnya, namun nama Asy’ats tidak tercantum di dalamnya. Atas hal itu, Hadhrat Muhajir (ra) memutuskan untuk membunuhnya, namun atas permintaan Hadhrat Ikrimah (ra), beliau mengirimnya bersama tahanan lainnya kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) supaya Hadhrat Abu Bakr (ra) memberikan keputusan berkenaan dengannya.
Ketika kaum Muslimin datang ke hadapan Hadhrat Abu Bakr (ra) dengan membawa kabar kemenangan dan para tawanan, maka beliau menanyai Asy’ats dan berkata, “Kamu telah ditipu [disesatkan] oleh Banu Wali’ah dan mereka tidak sedemikian rupa sehingga kamu dapat menipu mereka,dan mereka juga tidak menganggapmu memenuhi syarat untuk tugas ini. Mereka menghancurkan diri sendiri dan menghancurkanmu juga. Apakah kamu tidak takut bahwa sebagian dari doa buruk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai kepadamu?” Sebenarnya, Nabi Muhammad (saw) mengutuk empat kepala suku Kindah yang telah menerima Islam bersama Asy’ats kemudian belakangan mereka murtad.
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, “Menurutmu apa yang akan saya lakukan denganmu?”
Asy’ats mengatakan, “Saya tidak tahu pendapat Anda.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata bahwa, “Menurut saya, kamu harus dibunuh.”
Ia berkata, “Saya yang telah memutuskan pengampunan nyawa sepuluh orang dari kaum saya. Bagaimana pembunuhan atas saya bisa dibenarkan?”
Beliau berkata, “Apakah kaum Muslimin mempercayakan masalah ini kepada anda?”
Ia menjawab, “Ya.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, “Ketika mereka mempercayakan masalah ini kepadamu dan kemudian kamu datang kepada mereka, apakah mereka mencapnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau berkata bahwa, “Setelah surat itu dicap, rekonsiliasi wajib dilaksanakan sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Sebelum ini kamu hanya berbicara tentang rekonsiliasi.”
Ketika Ash’ats takut ia akan dibunuh, ia berkata, “Jika Anda mengharapkan suatu kebaikan dari saya, bebaskan para tahanan ini dan maafkan kesalahan saya dan terimalah keislaman saya. Perlakukan saya seperti Anda biasa memperlakukan orang lain yang seperti saya dan kembalikan istri saya kepada saya.” Tertulis bahwa sebelum peristiwa ini, suatu kali Asy’ats pernah datang ke hadapan Rasulullah (saw). Dia menyampaikan niat untuk menikahi saudara perempuan Hadhrat Abu Bakr (ra), Ummu Farwah binti Abu Quhafah. Hadhrat Abu Quhafah (ra) memberikan putrinya untuk dinikahkan dengannya dan acara perpisahan akan dilakukan pada kedatangan Asy’ats yang kedua kalinya. Artinya, ketika ia datang lagi, maka akan dilangsungkan acara perpisahan. Seorang penulis juga menyatakan Ummu Farwah sebagai putri Hadhrat Abu Bakr (ra). Namun, kemudian Rasulullah (saw) wafat dan Asy’ats menjadi murtad dan memberontak sehingga ia takut istrinya tidak akan diserahkan kepadanya. Asyats berkata kepada Hadhrat Abu Bakr (ra): “Anda akan mendapati saya diantara orang-orang yang terbaik di daerah saya untuk agama Allah.”
Atas hal ini, Hadhrat Abu Bakr (ra) mengampuni dirinya dan menerima keislamannya serta menyerahkan keluarganya kepadanya. Hadhrat Abu Bakr (ra) lalu bersabda, “Pergilah dan sampaikanlah kepada saya hanya kabar baik dari Anda.” Demikianlah Hadhrat Abu Bakr (ra) pun memerdekakan seluruh tawanan lalu mereka pun pulang ke daerahnya masing-masing.[5]
Menurut satu riwayat, Asy’ats tidak sanggup memberanikan diri pulang ke kabilahnya akibat pelanggaran janji (pengkhianatan) yang ia lakukan [terhadap kabilahnya sendiri]. Setelah ia bebas dari tawanan, ia lantas tinggal di Madinah bersama Ummu Farwa.
Pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar, ketika terjadi berbagai peperangan di Iraq dan Syam, ia pun pergi bersama pasukan muslim untuk berperang menghadapi laskar Iran dan Romawi. Karena hal ini, kedudukan beliau pun menjadi tinggi di pandangan segenap orang, dan beliau meraih kembali kehormatannya yang dulu telah hilang.
Alhasil, selama keamanan dan perdamaian belum tegak seutuhnya dan pondasi pemerintahan Islam belum tertanam secara mapan, selama itu pula Hadhrat Muhajir dan Hadhrat Ikrimah terus tinggal di Hadhramaut dan Kindah. Ini adalah pertempuran terakhir melawan kaum murtad dan pemberontak. Setelah ini, pemberontakan di Arab pun sepenuhnya berakhir, dan segenap kabilah tunduk di bawah pemerintahan Islamiyah.
Dalam menegakkan keamanan dan kedamaian, serta menghentikan sepenuhnya pemberontakan di wilayah ini, Hadhrat Muhajir menempuh upaya tegas seperti yang telah ia lakukan sebelumnya di Yaman.[6] Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) menulis kepada Hadhrat Muhajir untuk memilih salah satu wilayah antara Yaman dan Hadhramaut, Hadhrat Muhajir lalu memilih Yaman. Dengan demikian, telah ada dua Amir yang diangkat untuk wilayah Yaman.
Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam surat kepada segenap Muslim yang berjasa menghadapi kaum murtad dan pemberontak, bersabda: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنْ أَحَبَّ مَنْ أَدْخَلْتُمْ فِي أُمُورِكُمْ إِلَيَّ مَنْ لَمْ يَرْتَدَّ وَمَنْ كَانَ مِمَّنْ لَمْ يَرْتَدَّ، فَأَجْمِعُوا عَلَى ذَلِكَ، فَاتَّخِذُوا مِنْهَا صَنَائِعَ، وَائْذَنُوا لِمَنْ شَاءَ فِي الانْصِرَافِ، وَلا تَسْتَعِينُوا بِمُرْتَدٍّ فِي جِهَادِ عَدُوٍّ Pertama, menurut saya hal yang lebih dikehendaki adalah: Untuk berada di pemerintahan, Anda hanya memilih orang-orang yang bersih dari noda kemurtadan dan pemberontakan. Memang mereka telah kembali, tetapi apakah mereka termasuk diantara orang-orang yang sebelumnya telah murtad atau telah memberontak?” lalu bersabda, “Amalkanlah hal ini oleh Anda semua dan tetaplah teguh dalam hal ini. Jika ada diantara prajurit yang hendak pulang, berilah izin pulang kepada mereka. Janganlah sama sekali menerima bantuan dari kaum murtad dan pemberontak dalam berjihad melawan musuh.”[7]
Kebanyakan penulis, terutama penulis sejarah di masa kini, terkait peperangan di masa Hadhrat Abu Bakr (ra), mereka cenderung menjelaskan semua upaya yang ditempuh untuk menghadapi para pengaku kenabian palsu adalah memerangi mereka semua dan mereka dihabisi dengan kekuatan pedang karena inilah hukuman syariat bagi mereka. Tetapi, mereka yang menelaah sejarah dan sirah (buku biografi) secara seksama, sama sekali tidak mendukung hal ini.
Berdasarkan penerangan Al-Qur’an yang mulia, amal perbuatan Rasulullah (saw) yang penuh berkat dan Hadits-Hadits telah sebelumnya saya jelaskan bahwa Rasulullah (saw) tidak menindak seseorang karena semata-mata orang itu membuat suatu pendakwaan kenabian [hanya karena mengaku Nabi]. Tidak pula upaya peperangan yang ditempuh Hadhrat Abu Bakr (ra) ini hanya didasarkan atas upaya menghabisi para pendakwa kenabian palsu, tetapi dasar yang utama adalah sikap mereka yang mengobarkan pemberontakan.
Dalam menjelaskan hal ini, yaitu mengapa para sahabat memerangi para pendakwa kenabian [palsu], Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Tulisan Maulana Maududi Sahib bahwa para sahabat memerangi siapa saja orang yang mendakwakan kenabian setelah Rasulullah (saw), hal ini bertentangan dengan berbagai peryataan sahabat. Hendaknya Maulana Maududi Sahib ingat bahwa para sahabat memperjuangkan hidup mereka pada saat itu, karena semua orang yang mendakwakan kenabian tersebut telah mengobarkan pemberontakan dan mengumumkan perang melawan pemerintah Islam sehingga para sahabat memerangi mereka.”
Hudhur (ra) bersabda: “Maulana mengakui dirinya telah sangat banyak menelaah literatur Islam. Seandainya saja ia menelaah sejarah Islam sebelum menyampaikan pendapatnya tentang hal ini, maka ia akan mengetahui bahwa Musailamah Al-Kadzdzaab, Aswad Ansi, Sajah Binti Haris, dan Tulaihah bin Khuwailid Asadi, mereka semua adalah orang-orang yang telah menolak menaati pemerintahan Madinah, dan mereka mengumumkan pemerintahan mereka di daerah mereka masing-masing.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Jika kita menelaah Tarikh Ibnu Khaldun dengan seksama, maka menjadi jelas bahwa pandangan Maulana Sahib tersebut adalah salah. Di dalam Kitab itu tertera: ‘Kabar kemurtadan seluruh Arab baik para petinggi maupun awam telah sampai ke Madinah. Hanya dua kabilah yakni Quraisy dan Tsaqif lah yang terhindar dari kemurtadan itu. Pengaruh Musailamah telah menjadi sangat kuat. Kabilah Thayy dan Asad telah berikrar taat kepada Tulaihah bin Khuwailid. Kabilah Gatfan telah memilih kemurtadan. Kabilah Hawazin telah menahan zakat dan para petinggi Banu Sulaim pun telah murtad. Para pemimpin yang telah ditunjuk oleh Rasulullah (saw) di Yaman, Yamamah, Banu Asad, dan wilayah serta kota lainnya telah datang kembali. Mereka berkata, “Orang-orang Arab baik yang tua maupun muda, mereka semua telah menolak untuk taat.”
Hadhrat Abu Bakr (ra) menunggu bahwa tatkala Usamah kembali, maka kaum muslim akan bergerak memerangi mereka. Akan tetapi kabilah Abs dan Dzubyan, mereka telah tergesa-gesa dan berkemah di tempat bernama Abraq di dekat Madinah. Beberapa orang yang lain datang ke Dzul Qissah dan berkemah di sana. Bersama mereka ada Banu Asad yang telah melakukan perjanjian dengan mereka dan juga beberapa orang dari Banu Kinanah. Mereka semua mengirim utusan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Mereka meminta bahwa mereka akan patuh jika hanya sebatas melakukan shalat. Mereka telah berkumpul di sekitar Madinah dan menyampaikan bahwa mereka siap untuk patuh jika hanya sebatas melaksanakan shalat, dan mereka tidak siap jika harus membayar zakat. Hadhrat Abu Bakr (ra) menolak pernyataan mereka itu.’”[8]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Dari rujukan ini jelas bahwa orang-orang yang diperangi oleh para sahabat adalah mereka yang merupakan pemberontak terhadap pemerintah. Mereka menolak untuk membayar pajak dan mereka telah melakukan penyerangan ke Madinah. Saat itu mereka telah berkumpul di sekitar Madinah. Mereka berpikir bahwa jika permintaan mereka tidak diterima maka mereka akan menyerang.
Adapun Musailamah, di zaman Rasulullah (saw) pun ia telah menulis kepada beliau (saw) yaitu: “Aku telah diperintahkan agar membagi Arab setengahnya untuk saya, dan setengahnya untuk Quraisy.”[9]
Setelah kewafatan Rasulullah (saw), Musailamah mengusir Wali [pemimpin daerah atau semacam Amir atau Gubernur Jenderal] yang telah ditunjuk untuk Hajar dan Yamamah yaitu Tsumamah bin Utsal dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Wali di daerah tersebut.[10] Ia kemudian menyerang orang-orang Muslim. Demikian pula, ia telah menawan dua tokoh sahabat Madinah yaitu Habib bin Zaid dan Abdullah bin Wahab, dan ia hendak memaksa keduanya untuk menerima kenabiannya.” Sebagaimana telah saya sampaikan juga sebelumnya, “Abdullah bin Wahab karena takut menerima perkataannya (Musailamah), tetapi Habib bin Zaid menolak menerima pernyataan Musailamah. Musailamah lalu memotong bagian-bagian tubuhnya dan membakarnya.”[11] Demikian pula, ia (Musailamah) telah menawan sebagian Officer (petinggi atau petugas) di Yaman yang telah diangkat oleh Rasul yang mulia (saw) dan memberi siksaan keras kepada sebagian lainnya.’
Di dalam ath-Thabari tertera: Ansi pun telah mengibarkan bendera pemberontakan. Ia menganiaya para petinggi yang telah diangkat oleh Rasul yang mulia (saw) dan memerintahkan agar merampas zakat dari mereka.[12] Kemudian Ansi menyerang Syahar bin Bazan, pemimpin yang telah diangkat oleh Rasulullah (saw) untuk San’a. Ia telah banyak membunuh, merampas, dan menganiaya kaum muslim. Ia membunuh Gubernur di sana. Setelah membunuhnya, ia lantas menikahi istrinya yang muslim secara paksa.[13]
Banu Najran pun melakukan pemberontakan dan mereka bersekutu dengan Aswad Ansi. Mereka pun telah mengusir dua sahabat yakni ‘Amru bin Hazm dan Khalid bin Sa’id dari wilayah mereka.[14]
Dari peristiwa-peristiwa itu jelas bahwa perlawanan terhadap para pendakwa kenabian bukanlah didasarkan karena mereka telah mendakwakan diri sebagai nabi bagi umat Rasul yang mulia (saw), dan mereka memiliki tujuan menyebarkan agama Rasulullah (saw). Tetapi, para Sahabat saat itu memerangi mereka karena mereka telah menolak syariat Islamiyah dan mereka telah menjalankan hukum mereka sendiri, dan telah mengaku sebagai penguasa untuk wilayah mereka. Mereka tidak hanya telah mengaku sebagai penguasa di wilayah mereka, tetapi mereka pun telah membunuh para sahabat. Mereka telah mengobarkan peperangan terhadap negeri-negeri Islam. Mereka memberontak melawan pemerintah yang telah berdiri dan mereka telah mengumumkan kemerdekaan mereka sendiri.” Hudhur II (ra) bersabda, “Dari adanya peristiwa-peristiwa tersebut, maka ungkapan Maulana Maududi Sahib bahwa seluruh sahabat Rasul yang mulia (saw) memerangi para pendakwa kenabian tidak lain melainkan kedustaan. Jika ada yang mengatakan bahwa para Sahabat saat itu telah membenarkan membunuh manusia maka apakah hal ini benar hanya karena Musailamah Al-Kadzdzaab adalah seorang manusia dan Aswad Ansi pun adalah seorang manusia?”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Siapa saja yang menyajikan sejarah Islam dengan memutarbalikkannya, sebenarnya ia tidak sedang mengkhidmati Islam. Jika ia memiliki tujuan mengkhidmati Islam, hendaklah ia memberi kedudukan tertinggi pada kebenaran dan menjauhkan diri sepenuhnya dari kedustaan dan memutarbalikkan kenyataan.”[15]
Pendek kata, dengan berakhirnya mereka semua di tanah Arab, berakhir pulalah segenap pemberontakan. Seorang sejarawan menulis, “Kini, seluruh pemberontakan di Arab telah berakhir dan semua orang-orang yang murtad telah diatasi. Perencanaan dan kecepatan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam menanggulangi fitnah yang menyebar ke seluruh negeri merupakan cermin dari tingginya kemampuan beliau, dan jelas terlihat bagaimana beliau mendapatkan dukungan dan pertolongan Tuhan di setiap langkah beliau. Penanggulangan fitnah kemurtadan dan pemberontakan dalam waktu yang bahkan kurang dari 1 tahun dan menegakkan kembali pemerintahan Islam di tanah Arab merupakan satu jasa yang luar biasa.
Hadhrat Abu Bakr (ra) Ash-Shiddiiq (ra) sangat gembira dengan kemenangan yang diraih Islam, namun tidak ada sedikitpun tinggi hati dan ketakaburan dalam kegembiraan ini, karena beliau mengetahui bahwa apapun yang diraih hanyalah bersumber dari karunia dan kasih sayang Allah semata. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan mengalahkan laskar murtad di seluruh Arabia melalui segelintir kaum muslimin dan meninggikan kembali bendera Islam dengan penuh kemuliaan.
Hal yang kini menjadi perhatian Hadhrat Abu Bakr (ra) Ash-Shiddiiq adalah apa saja langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh untuk memperteguh persatuan Islam dan membawa Islam ke puncaknya. Fokus politik Hadhrat Abu Bakr (ra) Ash-Shiddiiq hanyalah meninggikan kewibawaan Islam dan keinginan ini selalu ada di hati dan pikiran beliau.”[16]
Meskipun setelah beliau menanggulangi kemurtadan dan pemberontakan, semua orang yakin sekarang tidak akan ada lagi penghasut yang bisa berdiri di depan khalifatur rasul (saw), tetapi Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak termakan rasa puas diri seperti halnya orang biasa. Beliau mengetahui bahwa kekuatan dari luar dapat membangunkan kembali gejolak kemurtadan dan pemberontakan yang telah teredam, dan dapat menjadi faktor merebaknya kekisruhan. Jangan sampai fitnah ini mereda untuk sementara saja. Kekuatan eksternal yang menghadang adalah pemerintahan-pemerintahan besar yang ada di perbatasan-perbatasan Arab yang dapat menimbulkan ketidakamanan sehingga beliau tidak jatuh dalam sikap puas diri.
Untuk mengantisipasi akan adanya peluang pemberontakan dari suku-suku Arab ini, dianggap tepat mengalihkan perhatian suku-suku Arab ke Iran dan Suriah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan melakukan kerusuhan terhadap pemerintah dan dengan demikian akan memberikan ketenangan kepada umat Islam sehingga mereka bisa mengikuti hukum agama dengan sepenuh hati.[17]
Oleh karena itu, untuk mempertahankan perbatasan Arab dan untuk menjaga negara Islam aman dari musuh yang kuat, menjadi perlu untuk menyampaikan pesan Islam kepada negara-negara kuat sehingga negara-negara ini juga akan mendapatkan kedamaian dengan menerima atau memahami pesan universal dan menjalani kehidupan dengan damai dan orang lain pun dapat terhindar dari dominasi mereka sehingga mereka dapat menjalankan agama mereka sendiri secara bebas dengan damai dan aman dan terbebas dari kezaliman mereka. Alhasil, tertulis dalam buku-buku sejarah tentang metode dan strategi yang diambil oleh Hadhrat Abu Bakr (ra).
Setelah berakhirnya perang dan ekspedisi untuk menghadapi para murtadin pemberontak, Hadhrat Abu Bakr (ra) Ash-Shiddiiq terlibat dalam memikirkan langkah-langkah masa depan yang harus diambil agar terlindung secara permanen dari kerajaan Iran dan Romawi, yakni musuh lama orang Arab dan Islam. Karena pada masa kehidupan suci Rasulullah (saw) pun, kedua kekuatan ini ingin memposisikan orang-orang Arab di bawah kendali mereka, dan ketika Rasulullah meninggal, dan api kemurtadan dan pemberontakan di banyak daerah dan suku telah meliputi Madinah, di beberapa tempat, kekuatan yang sama juga memiliki andil di belakangnya, dan untuk memanfaatkan kesempatan ini, pasukan Heraklius (Raja Romawi) mulai berkumpul di Suriah dan pasukan Iran di Irak. Oleh karena itu, Hadhrat Abu Bakr (ra), yang telah mengirim pasukan pertama melawan Romawi di bawah kepemimpinan Hadhrat Usamah, sesuai dengan sabda Nabi Suci (saw), tidak mungkin tidak khawatir dan tidak peduli dengan kekuasaan yang merebut dan menindas ini.
Tapi sebelum beliau menyampaikan strategi di depan semua orang, beliau menerima berita bahwa Hadhrat Mutsanna bin Haritsah, yang telah membantu memadamkan pemberontakan para murtaddin pemberontak di Bahrain, telah membawa teman-temannya bersamanya dan meninggalkan Teluk maju ke utara di sepanjang pantai Persia menuju Irak. Akhirnya, mereka mencapai suku-suku Arab yang mendiami daerah delta sungai Tigris dan Efrat.
Hadhrat Mutsanna bin Haritsah berasal dari satu kabilah di Bahrain, Bakr bin Wail. Wilayah Bahrain terletak antara Yamamah dan Teluk Persia dan termasuk pulau Qatar dan Emirat Bahrain dengan Darin sebagai ibukotanya. Alhasil, Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah bersama Hadhrat Alaa bin Hazrami juga telah berperang melawan pemberontak. Hadhrat Mutsanna adalah komandan bagi orang-orang di Bahrain dan sekitarnya yang teguh dalam Islam dan yang berpartisipasi dalam memerangi pemberontak bersama tentara Islam.
Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah datang di Medina dan memberitahu Hadhrat Abu Bakr (ra) tentang situasi di Irak, bahwa suku-suku Arab yang tinggal di daerah delta Tigris dan Efrat, mereka berada dalam kesulitan di tangan penduduk setempat dan diganggu. Orang-orang Arab di sana sebagian besar bertani dan ketika panen ranum, penduduk setempat menjarahnya. Untuk itu, Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah meminta agar tentara Islam dikirim untuk menyelamatkan orang-orang ini dari penderitaan.
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkonsultasi dengan para Sahabat di Madinah dan mengajukan usulan Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah. Karena penduduk Madinah tidak mengetahui situasi di Irak, mereka menyarankan agar Hadhrat Khalid bin Walid dipanggil dan seluruh masalah harus disampaikan kepadanya dan dimintai saran. Hadhrat Khalid bin Walid pada saat itu tengah berada di Yamamah, untuk itu Hadhrat Abu Bakr (ra) mengundangnya ke Medina.
Ketika Hadhrat Khalid bin Walid tiba di Madinah, Hadhrat Abu Bakr (ra) menyampaikan padanya usulan Hadhrat Mutsanna untuk menyerang Irak. Hadhrat Khalid bin Walid juga berpendapat bahwa Hadhrat Mutsanna telah memulai operasi melawan Iran di perbatasan Irak. Jika gagal, naudzubillah dan tentara Hadhrat Mutsanna harus mundur ke Arab maka otoritas Iran akan menjadi lebih berani. Mereka tidak akan puas hanya dengan mengusir tentara Hadhrat Mutsanna keluar dari perbatasan Irak, tetapi juga akan berusaha untuk membangun kembali pengaruh dan kontrol atas Bahrain dan daerah sekitarnya, dan dalam situasi seperti itu, pemerintah Islam akan terancam. Oleh karena itu, ia juga mengatakan bahwa untuk menghindari bahaya ini, bantuan nyata harus diberikan. Hadhrat Mutsanna harus dikirim bantuan tentara dan Iran harus dipaksa mundur lebih jauh daripada mendapatkan pengaruh di perbatasan Arab sehingga tidak akan pernah ada ancaman terhadap Arab dari pihak mereka.
Ketika Hadhrat Khalid bin Walid menyampaikan pendapatnya, setelah mendengar pendapatnya, para sahabat lainnya juga menerima saran Hadhrat Mutsanna dan Hadhrat Abu Bakr (ra) menunjuk Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah sebagai pemimpin orang-orang yang dia bawa bersamanya ke perbatasan Irak dan memerintahkan untuk sementara suku-suku Arab di sana harus diseru untuk bersatu dan menerima Islam dan pada saat yang sama mengatakan bahwa segera akan dikirim dari Madinah sejumlah pasukan juga untuk membantu mereka. Dengan bantuan tersebut, mereka akan dapat melanjutkan agresi lebih lanjut.
Beberapa sejarawan percaya bahwa Mutsanna tidak pergi ke Madinah untuk meminta bantuan, tidak juga bertemu Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi dia bergerak jauh ke daerah delta dengan pasukannya dan pergi untuk menghadapi pasukan komandan Iran, Hormuz. Hurmuz pada saat itu menjabat sebagai komandan pasukan perbatasan. Dalam pandangan Kisra, pangkat tertinggi yang bisa dicapai seseorang, Hormuz termasuk di antaranya.
Masih saja berlangsung peperangan antara Hurmuz dan Mutsanna, Hadhrat Abu Bakr (ra) mendapatkan kabar peristiwa tersebut. Hadhrat Abu Bakr (ra) saat itu sama sekali tidak mengenal nama Mutsanna. Setelah menerima laporan tersebut, ketika beliau menyelidiki, diketahui bahwa Mutsanna telah melakukan banyak sepak terjang penting di Bahrain selama perang menghadapi kemurtadan dan pemberontakan. Hadhrat Abu Bakr (ra) memerintahkan Khalid Bin Walid untuk pergi ke Irak dengan tentara untuk membantu Hadhrat Mutsanna dan bergerak menuju Hira setelah menaklukkan Hormuz. Hira juga merupakan kota berjarak tiga mil dari Kufah.
Ringkasnya, pada saat yang sama, ia memerintahkan Hadhrat ‘Iyaadh bin Ghanam untuk pergi ke Duma al-Jandal. Dumah al-Jandal adalah benteng dan pemukiman antara Suriah dan Madinah, yang berjarak lima belas hingga enam belas hari dari Madinah menurut metode perjalanan waktu itu, dan setelah menaklukkan penduduk pemberontak dan murtad di sana, mereka mencapai Hirah.
Hadhrat ‘Iyaadh bin Ghanam adalah sahabat Nabi Suci saw. Beliau menerima Islam sebelum Perjanjian Hudaibiyah dan termasuk juga didalamnya. Hadhrat Abu Ubaidah mengangkatnya sebagai penggantinya di Suriah pada saat menjelang kewafatannya. Hadhrat Umar tetap mendudukan beliau dalam posisi tersebut dan bersabda bahwa saya tidak akan mengganti Amir yang telah ditunjuk oleh Hadhrat Abu Ubaidah sebagai Amir.
Alhasil, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda bahwa di antara Hadhrat Khalid bin Walid dan Hadhrat ‘Iyaadh bin Ghanam, orang yang mencapai Hirah lebih dulu akan mendapatkan komando tentara untuk melakukan operasi perang di daerah ini.[18]
Menurut satu riwayat, ketika Hadhrat Khalid bin Walid selesai di Yamamah, Hadhrat Abu Bakr (ra) menulis kepadanya, “Anda harus mulai dari Faj-ul-Hind, yaitu Ubullah, dan bergeraklah menuju Irak dari dataran tinggi Irak dan kumpulkan orang-orang denganmu lalu serulah mereka kejalan Allah. Jika mereka menerimanya, maka baiklah; jika tidak, kumpulkan jizyah dari mereka, dan jika mereka menolak membayar jizyah, maka perangilah mereka.” Beliau mengintruksikan, “Jangan meminta bantuan kepada siapa pun! Janganlah meminta bantuan kepada orang yang telah murtad, sekalipun jika dia telah kembali lagi ke Islam! Ajaklah bergabung Muslim mana pun yang Anda lewati.” Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) mulai mempersiapkan pasukan untuk membantu Hadhrat Khalid.[19]
Hadhrat Khalid bin Walid, ketika berangkat dari Yamamah ke Irak, membagi pasukannya menjadi tiga bagian dan tidak mengirim mereka semua dengan rute yang sama, tetapi mengirim Hadhrat Mutsanna dua hari sebelum keberangkatannya. Setelah itu, beliau mengirim Adi bin Hatim dan Asim bin ‘Amru dengan selisih jarak satu hari. Hadhrat Khalid bin Walid berangkat setelah semuanya pergi. Beliau berjanji kepada mereka semua untuk berkumpul di Hafir untuk menyerang musuh mereka sekaligus. Hafir adalah tempat pemberhentian pertama dalam perjalanan dari Basra ke Makkah. Dan tertulis bahwa perbatasan ini adalah perbatasan terbesar dan terkuat di antara semua perbatasan Persia dan penguasanya adalah Hormuz. Jenderal tentara di sini dulu berperang melawan orang Arab di satu sisi di darat dan di sisi lain melawan orang Hind (India) di laut.[20]
Bagaimanapun, jumlah tentara Hadhrat Khalid sangat kecil karena, pertama, sebagian besar telah digunakan dalam Pertempuran Yamama, kedua, Hadhrat Abu Bakr (ra) telah menginstruksikan bahwa jika seseorang tidak ingin pergi ke Irak, ia tidak boleh dipaksakan. Pada saat yang sama, instruksi yang sangat penting juga diberikan bahwa selain itu, setiap mantan murtad yang telah kembali ke Islam tidak boleh dimasukkan ke dalam tentara Islam sebelum izin khusus diperoleh dari Khalifah.
Hadhrat Khalid menulis untuk mengirim lebih banyak bala bantuan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), dan beliau hanya mengirim satu orang, Qaqaa bin ‘Amru, untuk membantunya. Orang-orang sangat terkejut dan bertanya, tuan hanya mengirim satu orang untuk membantu Khalid padahal sebagian besar tentara sekarang terpisah darinya. Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab bahwa laskar yang didalamnya terdapat orang seperti Qaqaa tidak akan pernah bisa dikalahkan.
Namun demikian, beliau mengirim surat kepada Khalid di tangan Qaqa’a, di mana beliau menulis bahwa dia harus mendorong – orang-orang yang tetap teguh dalam Islam sepeninggal Rasulullah (saw) dan yang telah berperang melawan orang-orang murtad – untuk bergabung dengan pasukannya. Saat menerima surat ini, Hadhrat Khalid mulai mengorganisir pasukannya.[21]
Berkenaan dengan para petani Iraq, petunjuk dan strategi yang ditulis oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) tentang itu bahwa orang-orang Arab dulu bekerja sebagai petani di tanah Irak. Ketika panen sudah siap, mereka menerima sebagian kecil hasil sementara sebagian besar didapatkan oleh para pemilik tanah Iran. Tuan tanah ini sangat kejam terhadap orang Arab yang miskin dan memperlakukan mereka lebih buruk daripada budak. Hadhrat Abu Bakr (ra) memerintahkan para komandannya di Irak agar selama perang, para petani Arab ini tidak boleh dilukai, juga tidak boleh dibunuh dan tidak boleh ditawan, singkatnya mereka tidak boleh dianiaya dengan cara apa pun, karena mereka juga seperti orang Arab lainnya yang sedang mengalami penganiayaan orang-orang Iran. Mereka harus disadarkan bahwa dengan berdirinya pemerintahan Arab di sini, masa masa kezaliman yang mereka hadapi akan berakhir dan sekarang mereka akan dapat menikmati keadilan sejati dan kebebasan dan kesetaraan yang sah berkat rekan sebangsa mereka.
Strategi Hadhrat Abu Bakr (ra) ini sangat menguntungkan umat Islam. Jalan menuju kemenangan semakin dimudahkan, dan mereka tidak takut jangan sampai mereka akan diserang dari belakang dan diblokir ketika agresi.[22]
Ketika Hadhrat Khalid bin Walid berkemah di Nibaaj (نِبَاجْ), Hadhrat Mutsanna Bin Haritsah berada di Khafan (خَفَّانْ) dengan pasukannya saat itu. Nibaaj adalah tempat antara Basra dan Yamama. Khafan adalah sebuah tempat di dekat Kufah. Hadhrat Khalid menulis surat kepada Hadhrat Mutsanna memintanya untuk datang kepadanya dan mengirimkan bersamanya surat Hadhrat Abu Bakr (ra) di mana Hadhrat Abu Bakr (ra) memerintahkan Hadhrat Mutsanna bin Haritha untuk mematuhi Hadhrat Khalid.[23] Semua ini diambil dari Tarikh Ath-Thabari.
Sebelum itu, Khalid telah diutus oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) sendiri. Pendek kata, perang-perang telah terjadi. Bagaimanapun, perang apa saja yang terjadi, apa nama peperangannya dan juga mengenai kemenangan akan dijelaskan pada masa yang akan datang, insya Allah. Peperangan yang dialami oleh umat Islam pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam menghadapi orang-orang Iran di wilayah Irak dan kemenangan yang diraih akan saya jelaskan kemudian. Insya Allah.[24]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Doktor ‘Ali Muhammad Muhammad ash-Shalabi (عَلي محمد محمد الصَّلاَّبي) dalam karyanya Al-Insyirahu wa Raf’udh Dhayyiq fi Sirati Abi Bakr ash-Shiddiq syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu (نام کتاب : الانشراحُ وَرَفعُ الضِّيق في سِيرة أبي بَكْر الصِّديق شخصيته وَعَصره نویسنده : الصلابي، علي محمد), penerbit Darut Tauzi’ wa Nasyr, Kairo-Mesir (دار التوزيع والنشر الإسلامية، القاهرة – مصر), tahun 1423 Hijriyyah atau 2002 (عام النشر: 1423 هـ – 2002 م) atau versi terjemahan Urdunya ialah Syedna Abu Bakr (ra) Siddiq Shakhsiyyat Wa Kaarname, Dr Ali Muhammad al-Sallabi [translation], pp. 305, Maktabat-ul-Furqan, Muzaffargarh, Pakistan (سیدنا ابوبکر صدیقؓ شخصیت اور کارنامے از ڈاکٹرعلی محمدصلابی صفحہ 305 الفرقان ٹرسٹ خان گڑھ).
[2] Syedna Abu Bakr (ra) Siddiq Shakhsiyyat Wa Kaarname, Dr Ali Muhammad al-Sallabi [translation], pp. 305, Maktabat-ul-Furqan, Muzaffargarh, Pakistan (سیدنا ابوبکر صدیقؓ شخصیت اور کارنامے از ڈاکٹرعلی محمدصلابی صفحہ 305 الفرقان ٹرسٹ خان گڑھ).
[3] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) juz ke-3, bahasan kemurtadan di Hadhramaut (ذكر خبر حضرموت في ردتهم).
[4] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) juz ke-3, bahasan kemurtadan di Hadhramaut (ذكر خبر حضرموت في ردتهم).
[5] Tarikh ath-Thabari, Vol. 2, p. 257, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Lebanon, 2012 (ماخوذ از تاریخ الطبری جلد2 صفحہ300تا 304 دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء); Hazrat Syeduna Abu Bakr Siddiq (ra), Muhammad Husain Haikal, p. 240-241, Book Corner Show Room, Book Street, Jhelum, Pakistan (حضرت سیدنا ابوبکرصدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 240-241بک کارنر شو روم جہلم); Jamharatu Ansabil ‘Arab, p. 425, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 2007 (جمھرۃ انساب العرب صفحہ425 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2007ء); Syedna Abu Bakr (ra) Siddiq Shakhsiyyat Wa Kaarname, Dr Ali Muhammad al-Sallabi [translation], pp. 537-538, Maktabat-ul-Furqan, Muzaffargarh, Pakistan (سیدنا ابو بکر الصدیق از ڈاکٹر علی محمد صلابی صفحہ 537-538الفرقان ٹرسٹ خان گڑھ); Mu’jamul Buldaan, Vol. 1, p. 109 (معجم البلدان جلد1 صفحہ109); Mu’jamul Buldaan, Vol. 5, p. 315 (معجم البلدان جلد 5 صفحہ315); Musnad Ahmad ibnu Hanbal, Musnad ‘‘Amruu ibnu ‘Abasah, jilid 6, halaman 575-576, riwayat 19675, ‘Alamul Kutub, 1998 (مسند احمد بن حنبل ،مسند عمرو بن عبسہ جلد 6 صفحہ575-576 روایت نمبر19675۔ عالم الکتب 1998ء); ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, halaman 8-9, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Lebanon, 1990 (الطبقات الکبریٰ لابن سعد جلد5 صفحہ8-9دار الکتب العلمیۃ بیروت 1990ء).
[6] Hazrat Syeduna Abu Bakr Siddiq (ra), Muhammad Husain Haikal, p. 241, Book Corner Show Room, Book Street, Jhelum, Pakistan (حضرت سیدنا ابوبکرصدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 241بک کارنر شو روم جہلم).
[7] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) juz ke-3, bahasan kemurtadan di Hadhramaut (ذكر خبر حضرموت في ردتهم), Vol. 2, p. 305, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Lebanon, 2012 (جلد2 صفحہ305مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[8] Tarikh Ibnu Khaldun (تاريخ ابن خلدون – ابن خلدون – ج ٢ق٢ – الصفحة ٦٥): وقد جاء الخبر بارتداد العرب عامة وخاصة الا قريشا وثقيفا واستغلظ أمر مسيلمة واجتمع على طليحة عوام طيئ وأسد وارتدت غطفان وتوقفت هوازن فأمسكوا الصدقة وارتد خواص من بنى سليم وكذا سائر الناس بكل مكان وقدمت رسل النبي صلى الله عليه وسلم من اليمن واليمامة وبنى أسد ومن الأمراء من كل مكان بانتقاض العرب عامة أو خاصة وحاربهم بالكتب والرسل وانتظر بمصادمتهم قدوم أسامة فعاجلته عبس وذبيان ونزلوا في الأبرق ونزل آخرون بذي القصة ومعهم حبال من بنى أسد ومن انتسب إليهم من بنى كنانة وبعثوا وفدا إلى أبي بكر نزلوا على وجوه من الناس يطلبون الاقتصار على الصلاة دون الزكاة فأبى أبو بكر من ذلك .
[9] Tarikh ath-Thabari.
[10] Tarikh al-Khamis.
[11] Tarikh al-Khamis
[12] Tarikh ath-Thabari.
[13] Tarikh ath-Thabari.
[14] Ibnu al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 201 (الکامل فی التاریخ لابن اثیرجلد2صفحہ201 ذکر اخبار الأسود العنسی بالیمن دارلکتب العلمیۃ بیروت2006ء).
[15] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) dalam karyanya “Jawaban terhadap Risalah Tn. Maududi mengenai masalah Qadiani”, Anwarul ‘Uluum (مولانا مودودی صاحب کے رسالہ ’’قادیانی مسئلہ‘‘ کا جواب ، انوارالعلوم جلد 24صفحہ 11تا 14) halaman 11-14. https://www.alislam.org/urdu/au/AU24.pdf
[16] Hazrat Syeduna Abu Bakr Siddiq (ra), Muhammad Husain Haikal, p. 241, Book Corner Show Room, Book Street, Jhelum, Pakistan (حضرت سیدنا ابوبکرصدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 243-244مترجم انجم سلطان شہباز، بک کارنر شوروم جہلم).
[17] Sayyiduna Shiddiq Akbar karya Hakim Ghulam Nabi, halaman 178 (سیدنا صدیق اکبر از حکیم غلام نبی ایم اے صفحہ 178).
[18] Hazrat Abu Bakr (ra), Siddiq Akbar, karya Muhammad Husain Haikal, terjemahan Urdu, p. 266, terbitan 2004 (ماخوذ از حضرت ابو بکرؓ، صدیق اکبر از محمد حسین ہیکل مترجم ،صفحہ 261تا 266،اشاعت 2004ء); Athlas Siratun Nabi, halaman 68 (اٹلس سیرت النبیﷺ صفحہ 68); Mu’jamul Buldaan jilid 2 halaman 376, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد2 صفحہ 376 دارالکتب العلمیۃ ، بیروت); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 123 (فرہنگ سیرت صفحہ123); ‘Ali ibnu al-Atsir, Usdul Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008], p. 315 (اسدالغابہ جلد4 صفحہ315 دار الکتب العلمیۃ)
[19] al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Hajr, 2001], pp. 338 (البدایۃ والنہایۃ لابن اثیر، جلد 3، جزء 6 صفحہ 338 ، بعث خالد بن الولید الی العراق، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001ء).
[20] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 309 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 309 ، دار الکتب العلمیۃ،بیروت، 2012ء); Mu’jamul Buldaan jilid 2 halaman 319, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد2 صفحہ319); Ibnu al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 239 (الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ239 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2003ء).
[21] Hazrat Abu Bakr (ra), Siddiq Akbar, karya Muhammad Husain Haikal, terjemahan Urdu, p. 268, terbitan 2004 (حضرت ابو بکرؓ، صدیق اکبر از محمد حسین ہیکل مترجم ،صفحہ 268،اشاعت 2004ء).
[22] Hazrat Abu Bakr (ra), Siddiq Akbar, karya Muhammad Husain Haikal, terjemahan Urdu, p. 267-268, terbitan 2004 (حضرت ابو بکرؓ، صدیق اکبر از محمد حسین ہیکل مترجم ،صفحہ 267-268،اشاعت 2004ء).
[23] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 308 (تاریخ الطبری جلد 2صفحہ 308دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 296 (فرہنگ سیرت صفحہ296); Mu’jamul Buldaan jilid 2 halaman 434, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد 2 صفحہ 434دارالکتب العلمیۃ بیروت).
[24] Sumber referensi: https://www.alfazl.com/2022/07/31/51809/; www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.