“Kesucian dan kesempurnaan ajaran Kitab Suci Al-Quran memberi kehidupan bagi setiap sendi masyarakat manusia. Al-Quran tidak ada menekankan penanganan satu sisi saja. Terkadang Al-Quran menyuruh kepada kesabaran dan pengampunan dalam hal-hal tertentu, tetapi juga bisa menentukan hukuman bagi para pelanggar jika dianggap perlu. Sesungguhnya Al-Quran itu merupakan gambaran dari hukum alam Ilahi yang ada di sekeliling kita. Kitab ini sepenuhnya masuk akal dimana firman Tuhan dan hasil kinerja Tuhan adalah bersesuaian satu dengan lainnya. Sebagaimana hasil karya Tuhan itu nampak di alam, maka Kitab Allah Yang sempurna ini juga sejalan dengan hasil kinerja tersebut. Kita sendiri ada melihat dalam kinerja Tuhan bahwa tidak selamanya selalu harus ada pengampunan dan kesabaran semata karena nyatanya Dia juga menghukum para pendosa dengan berbagai bentuk bala. Hukuman demikian ada juga termaktub dalam Kitab-kitab sebelumnya.”
“Tuhan kita tidak saja Maha Pengasih tetapi juga Maha Bijaksana dan siksaan-Nya sungguh berat. Kitab yang hakiki adalah yang sejalan dengan kaidah hukum alam ini, sedangkan firman-Nya yang hakiki adalah yang selalu konsisten dengan kinerja-Nya. Kita sendiri melihat bahwa Tuhan tidak selalu memperlakukan mahluk-Nya dengan kesabaran dan pengampunan saja, karena sekali-kali bila dianggap perlu Dia akan menurunkan hukuman juga. Bahkan sekarang ini pun Allah Yang Maha Kuasa telah menyampaikan nubuat kepadaku bahwa untuk menghukum mereka para pendosa Dia akan menzahirkan gempa bumi dahsyat yang akan menghancurkan mereka.” (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 346-347, London, 1984).
***
“KAMI TELAH MENGEMUKAKAN kekurangan-kekurangan Kitab Injil karena kitab ini tidak ada memberikan bimbingan petunjuk bagi pengembangan kemampuan dan sifat manusia, dimana bagian yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak yang ada pun hanya merupakan salinan dari Kitab Taurat. Mengenai hal ini beberapa orang Kristen menjawab bahwa:
“Kitab-kitab Samawi hanya berkaitan dengan akhlak saja, sedangkan mengenai penghukuman tidak patut diatur oleh Kitab Samawi karena pelanggaran seharusnya dihukum sejalan dengan kaidah hukum yang berlaku mengikuti perubahan masa. Karena perubahan bersifat tidak terbatas maka tidak tepat adanya ketentuan penghukuman yang bersifat baku. Setiap bentuk hukuman harus sejalan dengan masanya dan berlaku sebagai peringatan dan penegahan bagi para pelanggar, karena itu ketentuan yang baku dianggap tidak bermanfaat bagi perbaikan manusia. Begitu pula dengan hukum pidana, perdata dan perpajakan seharusnya tidak bersifat baku dan kaku karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan jika ada perubahan suasana. Misalnya, akan merugikan kondisi perdagangan yang ada sekarang atau adanya hukum pidana tidak akan berguna ketika para pelanggar sudah menjadi terbiasa dengan suatu jenis hukuman.”
“Menurut hematku, jalan pikiran seperti itu berawal dari pandangan mereka yang belum pernah mempelajari Kitab Suci Al-Quran secara baik. Petunjuk yang diberikan Al-Quran mengenai kaidah-kaidah pidana, perdata dan perpajakan ada dua macam. Pertama adalah ditetapkannya rincian prosedur atau penghukuman, sedangkan yang lainnya hanya memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tanpa memberikan petunjuk spesifik. Tujuan dari yang disebutkan terakhir itu adalah untuk mengakomodasi perubahanperubahan yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh, di suatu tempat Kitab Suci Al-Quran menetapkan peraturan tentang penggantian gigi sepadan dengan gigi dan mata sepadan dengan mata (QS. 5 Al-Maidah:46), dimana hal seperti ini merupakan kaidah yang terinci. Adapun di tempat lain ditetapkan prinsip seperti:
وَجَزاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثلُها ۖ
‘Pembalasan terhadap suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan itu’ (QS.42 Asy-Syura:41).
“Jika direnungkan maka prinsip ini telah meletakkan dasar untuk memperluas jangkauan aplikasi hukum dalam hal suatu hukum spesifik tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, kalau seorang yang sudah ompong giginya lalu mematahkan gigi orang lain maka ia tidak akan bisa dikenakan pembalasan setimpal berupa pematahan gigi karena ia sudah tidak memilikinya lagi. Begitu juga seorang yang buta yang kemudian mengakibatkan butanya orang lain, tidak bisa lagi dihukum setimpal dengan cara mengambil matanya. “
“Kitab Suci Al-Quran telah meletakkan dasar-dasar umum untuk menghadapi keadaan seperti itu dan dengan cara demikian akan merangsang manusia untuk berpikir mencari ketentuan hukum yang sepadan dengan setiap keadaan. Sayang sekali jika Kitab Taurat tidak menganut metode seperti itu dan Kitab Injil malah sama sekali tidak ada memberikan pedoman yang tegas dan bisa diikuti. Kitab Injil hanya memberikan beberapa ajakan kepada akhlak yang baik, namun ajakan tersebut tidak merupakan bagian dari suatu kaidah atau sistem hukum. Pernyataan umat Kristen bahwa Kitab Injil menyerahkan masalah hukum kepada intelegensia manusia bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan, malah sepantasnya disesali, karena apa pun yang tidak diatur menurut prinsip dan ketentuannya akan cenderung menyimpang dan disalahgunakan, betapa pun baik tujuannya.” (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; Ruhani Khazain, vol. 13, hal. 87-88,London, 1984).
***
“Allah Yang Maha Agung yang mengetahui segala rahasia di dalam hati, menjadi saksi bahwa barangsiapa yang mampu menunjukkan adanya kelemahan dalam ajaran yang dibawah Al-Quran bahkan sampai seperseribu besarnya zarah debu atau bisa mengemukakan keunggulan kitabnya sendiri yang berbeda dengan Al-Quran serta menunjukkan bahwa kitabnya itu lebih unggul, maka kami bersedia dihukum mati sekali pun.” (Barahin Ahmadiyah, Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 298, London, 1984).
[box icon=”info”]Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 379-382, ISBN 185372-765-2[/box]