Khotbah Jumat: Fatah Makkah – Seri 3

Khotbah Fatah Mekkah

Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Fatah Makkah


Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 18 Juli 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ۝٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ۝٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۝٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۝٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ۝٧

Hari ini juga saya akan menyampaikan rincian lebih lanjut tentang peristiwa-peristiwa Fatah Makkah. Mengenai lama tinggal Rasulullah saw. di Makkah, rinciannya dijelaskan sebagai berikut:

Rasulullah saw. setelah datang ke Makkah dan setelah Fatah Makkah tinggal di Makkah selama beberapa hari, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai lamanya masa tinggal tersebut. Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī diriwayatkan dari Hazrat Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. tinggal di Makkah selama 19 hari. Beliau saw. mengerjakan salat sebanyak dua rakaat yaitu melakukan qasar; dalam beberapa riwayat juga disebutkan 18 atau 17 dan 15 hari. Allamah Ibnu Hajar mengedepankan riwayat yang menyebutkan 19 hari karena dalam kebanyakan riwayat disebutkan 19 hari dan riwayat-riwayat lainnya disimpulkan dengan cara bahwa riwayat 19 hari tersebut termasuk hari masuk dan hari berangkat ke Makkah, sedangkan mereka yang menyebutkan 17 hari tidak memasukkan kedua hari kedatangan dan kepergian. Para perawi yang meriwayatkan 18 hari telah menghitung salah satu dari kedua hari tersebut, sedangkan perawi riwayat 15 hari, dengan mempertimbangkan riwayat 17 hari telah menulis bahwa (riwayat 17 hari) ini adalah asalnya, kemudian dari situ mengeluarkan hari masuk dan hari berangkat sehingga menyebutkan 15 hari.

Beberapa orientalis juga telah menulis dalam buku-buku mereka tentang Fatah Makkah yang dialami oleh Rasulullah saw.. William Muir adalah seorang orientalis yang sangat terkenal. Ia berasal dari Skotlandia. Dalam menyebutkan Fatah Makkah, ia dalam bukunya The Life of Muhammad sembari menyebutkan teladan suci Rasulullah saw. menulis: “Pengampunan Muhammad saw. terhadap semua kesalahan lama masa lalu yaitu mengampuni semua kesalahan orang-orang dan melupakan semua penderitaan mereka dahulu, baik kecil maupun besar sebenarnya adalah untuk faedah beliau saw. sendiri.” Tetapi setelah menulis hal ini ia terpaksa mengakui kenyataan juga; ia berkata, “Tetapi untuk hal ini diperlukan hati yang lapang dan lembut. Manfaatnya memang sampai kepada beliau saw. bahwa semua orang di kota kelahiran beliau saw. menjadi terikat dengan beliau saw. dan menerima ajaran beliau saw. dengan penuh ketulusan hati dan keyakinan yang nyata, dan setelah beberapa minggu kita melihat bahwa 2000 orang dari antara mereka berdiri di sisi beliau saw. dengan penuh kesetiaan.”

Demikian juga seorang orientalis Skotlandia yang telah meninggal dunia yang telah mengatakan hal-hal yang sangat keras terhadap Islam dan Rasulullah saw. dalam buku-bukunya, ia menulis sebuah buku yang berjudul Muhammad at Madina, di dalamnya ia menulis: “Para pemimpin Makkah tidak dipaksa untuk masuk Islam. (Dia mengakui hal ini). Para pemimpin Makkah ini dan banyak yang lainnya tetap dalam kekafiran mereka. Yang paling menonjol adalah kemampuan beliau saw. memimpin dan menangani persatuan yang ada di bawah kepemimpinannya dan membuat hampir semua orang merasakan bahwa mereka diperlakukan dengan adil; hal ini telah menonjolkan perasaan keharmonisan, ketenangan, dan semangat dalam masyarakat Islam yang mana ini bertolak belakang dengan kegelisahan yang ada di tempat lain. Hal ini pasti telah menjadi jelas bagi banyak orang dan telah menarik mereka kepada Muhammad saw.. Dalam semua ini, satu hal yang pasti mengesankan bagi mereka adalah keyakinan Muhammad saw. terhadap tujuan, wawasan, dan hikmah beliau saw. yang jauh ke depan. Ketika jemaat beliau saw. masih kecil, dan beliau saw. menggunakan seluruh sarana yang beliau saw. miliki hanya untuk menyelamatkan diri dari musuh-musuh, namun beliau saw. telah melahirkan gagasan Arab yang bersatu yang akan berkembang ke arah luar dan di mana orang-orang Makkah akan memainkan peran baru yang penting daripada peran lama mereka di bidang perdagangan, dan sekarang hampir semua orang bahkan yang terbesar pun telah tunduk di hadapannya. Meskipun menghadapi kesulitan-kesulitan yang cukup besar, sering kali dalam keadaan yang sulit, tetapi hampir selalu dengan kepercayaan penuh, beliau saw. terus bergerak menuju tujuannya. Jika kita tidak yakin akan kebenaran peristiwa-peristiwa sejarah ini, jarang ada yang akan percaya bahwa seorang nabi Makkah yang dianggap hina dapat kembali ke kotanya sebagai penakluk.”

Kemudian ada seorang orientalis Arthur Gilman yang juga seorang orientalis terkenal. Ia berasal dari Amerika. Ketika menyebutkan penaklukan Makkah, dalam bukunya The Saracens, ia menulis tentang pengampunan umum Rasulullah saw., uswah hasanah, dan toleransi sebagai sifat yang patut dicontoh, yakni ketika Muhammad saw. duduk di atas unta yang sama, yang dengan penuh kesetiaan telah membawa beliau saw. dari satu tempat ke tempat lain dalam berbagai kesempatan, dan beliau saw. memasuki kota dengan menungganginya, hati beliau saw. dipenuhi dengan perasaan syukur karena beliau saw. melihat jalan-jalan yang lengang dan mengetahui bahwa beliau saw. akan disambut dengan damai. Hal ini sangat patut dipuji karena pada kesempatan ketika kenangan akan kezaliman penduduk Makkah di masa lalu dapat mendorong beliau saw. untuk membalas dendam, beliau saw. melarang prajurit beliau saw. dari segala bentuk pertumpahan darah dan menunjukkan setiap sikap kerendahan hati yang mampu diperlihatkan dan rasa syukur kepada Allah Taala. Hal ini benar, bahwa di satu tempat Khalid r.a. menghadapi kekuatan dengan kekuatan, tetapi Muhammad saw. sangat tidak menyukainya. Di sini, hal pertama yang dilakukan Rasulullah saw. adalah membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala, dan setelah itu beliau saw. memerintahkan muazin beliau saw. untuk mengumandangkan seruan salat dari atas Ka’bah dan mengirim seorang penyeru agar setiap orang menghancurkan berhala-berhala yang ada di dekatnya. Ada 10 atau 12 orang, yang sebelumnya telah menunjukkan perilaku yang sangat biadab dalam berbagai kesempatan, diperintahkan untuk dihukum dan di antara mereka empat orang diberi hukuman mati; tetapi perilaku ini harus saya nyatakan sebagai jauh lebih penuh kemanusiaan dibandingkan dengan perilaku para penakluk lainnya. Dibandingkan dengan kekejaman kaum Salib yang pada tahun 1099 M membunuh 70.000 pria, wanita, dan anak-anak muslim tak berdaya, ketika Yerusalem jatuh ke tangan mereka, atau dibandingkan dengan kekasaran tentara Inggris yang juga berperang di bawah naungan salib, yang pada tahun 1874 yang bersejarah, tatkala perang membakar sebuah ibu kota di Gold Coast Afrika—ini adalah nama lama Ghana, maka penaklukan Muhammad saw. sesungguhnya adalah penaklukan agama, bukan politik. Beliau saw. menolak segala bentuk penghormatan pribadi dan menghindari semua cara kekuasaan raja-raja, [yakni] ketika semua pemimpin sombong Makkah dibawa ke hadapan beliau saw., beliau saw.. bertanya kepada mereka: “Apa yang kalian harapkan dari tanganku hari ini?” Mereka berkata: ‘Wahai saudara kami yang murah hati, [kami mengharap] belas kasih.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Maka jadilah demikian. Pergilah, kalian semua bebas.’”

Kemudian ada seorang orientalis, Ruth Cranston yang juga berasal dari Amerika. Dalam menyebutkan Fatah Makkah, wanita ini menulis dalam bukunya, World Faith, bahwa:

Pada awal tahun 630 M, pada suatu hari, seorang yang hanya sepuluh tahun sebelumnya telah diusir dari kota ini dengan lemparan batu dan dijadikan bahan ejekan, kini memasuki kota Makkah bersama 10.000 prajurit berpengalamannya. Muhammad saw. telah memerintahkan agar tidak ada yang dibunuh. Penduduk kota harus diperlakukan dengan baik; namun meskipun sudah ada segala janji dan jaminan dari penduduk Makkah, pasukan mereka justru diserang dan Rasulullah saw. mengalami kesulitan untuk menahan panglima perangnya yakni Khalid r.a. yang kini menjadi komandan pasukannya dari tindakan balasan [orang-orang Makkah] yang keras.” Bagaimanapun juga ia [penulis] telah berlebihan dalam hal ini. Tidak ada jaminan-jaminan apapun. “Saat itu serangan pertama kali justru dilakukan oleh penduduk Makkah. Bagaimanapun juga, prasangka yang ada pasti akan tampak di suatu tempat.” Kemudian ia menulis, “Ada 2 orang Muslim dan 28 orang Makkah terbunuh. Pada saat dan kesempatan seperti itu, jika ada penakluk lain yang memegang komando, bayangkanlah betapa banyak pembunuhan dan penghancuran yang akan terjadi.”

Kemudian di sini penulis kembali terpaksa menyatakan kebenaran, “Ketika pasukan Muslim telah menguasai kota, Muhammad saw. mengganti pakaiannya dan mengenakan ihram putih. Beliau saw. melaksanakan manasik haji yang telah ditetapkan. Beliau melakukan tawaf Ka’bah sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau saw. memanggil para sahabat beliau saw. yang masih ada, yakni para sahabat yang telah berulang kali mempertaruhkan nyawa mereka dan memberikan pengorbanan demi tujuan beliau saw., dan mereka berdiri bersama beliau saw. pada hari yang agung ini dan pada kesempatan paling penting dalam kehidupan beliau saw.. Satu per satu, 360 berhala batu, termasuk Hubal, dikeluarkan dari Ka’bah dan dihancurkan berkeping-keping. Sambil menghancurkan setiap berhala, Muhammad saw. bersabda dengan suara lantang: “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah sirna.”

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam seri 79)

Karen Armstrong yang adalah seorang orientalis yang baik, dan umumnya menulis dengan sangat adil, ia lahir pada tahun 1944. Ia adalah seorang ilmuwan dan penulis terkenal Inggris yang juga memiliki nama yang masyhur karena tulisan-tulisannya tentang perbandingan agama. Dalam bukunya, Muhammad, A Biography of Prophet, ia menulis mengenai Fatah Makkah:

“Beliau saw.. tidak memiliki keinginan untuk melakukan balas dendam berdarah. Tidak seorang pun dipaksa untuk memeluk Islam dan tidak tampak bahwa ada tekanan yang diberikan kepada siapa pun. Muhammad saw. tidak ingin memaksa orang-orang, melainkan ingin menegakkan perdamaian dan rekonsiliasi di antara mereka. Rasulullah saw. tidak datang ke Makkah untuk menjadikan suku Quraisy sebagai sasaran kezaliman dan penindasan, melainkan datang untuk mengakhiri agama yang telah terbukti gagal bagi mereka. Melalui Penaklukan Makkah, Muhammad saw. telah membuktikan kebenaran pendakwaan kenabian beliau saw.. Kemenangan ini diperoleh tanpa pertumpahan darah jenis apa pun, dan kebijakan Muhammad saw. yang penuh perdamaian berhasil. Hanya dalam beberapa tahun, penyembahan berhala di Makkah berakhir dan musuh-musuh terberat seperti Ikrimah dan Suhail menjadi Muslim yang tulus dan bergelora.”

Jadi bagaimanapun juga, di antara mereka ada beberapa orientalis yang meskipun sangat menentang, mereka telah menyatakan kebenaran ini, dan mereka yang malang ini terpaksa melakukannya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ada beberapa peristiwa lagi berkaitan dengan Fatah Makkah.

Ada peristiwa tentang tobatnya Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh. Ditulis bahwa ia sebelumnya telah memeluk Islam dan juga menjadi penulis wahyu. Kemudian ia murtad dan kembali pergi. Disebutkan bahwa ia juga telah ditetapkan hukuman mati. Ketika Makkah ditaklukkan, ia bersembunyi di rumah Hazrat Usman bin Affan ra. Ia adalah saudara sepersusuan Hazrat Usman r.a.. Hazrat Usman ra membawanya ke hadapan Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, terimalah baiat Abdullah.” Beliau saw. diam untuk waktu yang lama dan kemudian menerima baiatnya. Ketika Abdullah bin Abi Sarh kembali pergi, para penulis di sini menulis bahwa perawi berkata bahwa beliau saw. bersabda kepada para sahabat, “Aku diam untuk beberapa waktu agar salah seorang dari kalian bangkit dan cepat-cepat membunuhnya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami?” Atas hal ini, beliau saw. bersabda bahwa seorang nabi tidak akan memberi isyarat untuk membunuh. Dalam beberapa riwayat terdapat kata-kata, “Tidak dibenarkan bagi seorang nabi untuk melakukan khianat mata”. Bagaimanapun juga, karena riwayat ini dan riwayat-riwayat serupa yang mirip dengannya terdapat dalam beberapa kitab sejarah, maka saya juga menyebutkannya, tetapi semua ini adalah meragukan karena teladan Rasulullah saw. yang ada serta kesabaran yang beliau saw. miliki membuktikan bahwa semua ini adalah riwayat-riwayat yang dibuat-buat oleh sebagian orang.

Kemudian, dalam sebuah kitab hadis Sunan Nasa’i terdapat riwayat seperti ini juga: Pada saat Fatah Makkah, Abdullah bin Sa’d bersembunyi di rumah Hazrat Usman r.a.. Kemudian ketika pengumuman baiat umum dilakukan, Hazrat Usman r.a. membawa Abdullah dan memohon agar baiat Abdullah diterima. Beliau saw.. mengangkat kepala beberkat beliau saw. dan melihat ke arahnya dan melakukan hal ini hingga tiga kali dan menolaknya, dan setelah melakukan hal ini tiga kali, beliau saw. menerima baiatnya dan setelah itu menghadap kepada para sahabat dan bersabda: “Tidakkah ada orang bijak di antara kalian yang ketika melihat aku tidak menerima baiat, lantas bangkit dan menghukumnya mati?.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah saw., bagaimana kami bisa tahu apa yang ada di hati engkau? Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan mata engkau.” Beliau saw.. bersabda, “Tidak pantas bagi seorang nabi bahwa matanya berkhianat”. Ini adalah riwayat Nasa’i, tetapi dalam hal ini juga tidak perlu diyakini bahwa ini sebagai riwayat yang sahih.

Riwayat ini juga terdapat dalam Sunan Abu Dawud, namun dalam Sunan Abu Dawud terdapat juga riwayat dengan nada berbeda di mana dalam riwayat tersebut tidak disebutkan tentang membunuh dan hal lainnya. Di dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Hazrat Ibn Abbas r.a. menunturkan: Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh adalah juru tulis Rasulullah saw.. Setan telah menjadikannya sesat. Ia bergabung dengan orang-orang kafir. Pada hari Fatah Makkah, Rasulullah saw. memerintahkan untuk menghukumnya mati. Hazrat Usman bin Affan r.a. meminta perlindungan untuknya, maka Rasulullah saw. memberikan perlindungan kepadanya.

Di sini, mengenai riwayat-riwayat semacam ini tentang Abdullah bin Sa’d, harus dipahami dengan jelas sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya bahwa riwayat ini, yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, sanadnya telah dikritik bahwa riwayat ini lemah dari segi sanadnya.

Adapun tentang beliau saw. mengatakan mengapa tidak memberi isyarat, [sesungguhnya] Rasulullah saw. telah bersabda, “Saya terus diam”. Beliau saw. saat itu adalah sebagai raja yang sanggup mengatakan apa pun dengan jelas.

Bagaimanapun, hal penting kedua yang patut diperhatikan adalah bahwa dalam Islam tidak ada hukuman untuk murtad. Oleh karena itu, mengatakan tentang Abdullah bin Sa’d bahwa ia telah menjadi murtad sehingga ia dijatuhi hukuman mati, hal ini pun tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, hal ini juga patut diperhatikan bahwa rincian peristiwa yang telah disebutkan tampak bertentangan dengan martabat Rasulullah saw. sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya. Rasulullah saw.. pada hari itu tampak sebagai penampakan sempurna dari sifat-sifat Allah Taala yaitu Ghaffār, Sattār dan Rahīm serta Karīm. Tidak ada seorang pun yang meminta maaf lalu beliau saw. tidak mengampuninya meskipun perintah untuk membunuhnya telah dikeluarkan.

Selain itu, hadis ini pun tidak terdapat dalam Bukhari dan Muslim. Terlebih lagi, riwayat ini tampak bertentangan dengan dirayah juga karena Rasulullah saw. saat itu juga berkedudukan sebagai seorang pemimpin yang telah meraih kemenangan. Jika hukuman mati untuk seseorang memang diperlukan, maka untuk apa beliau perlu takut kepada siapa pun? Untuk apa perlu isyarat atau kiasan?

Ketika Hazrat Usman r.a. membawa Abdullah, beliau saw.. seharusnya secara langsung mengatakan dengan tegas bahwa tidak, kejahatan-kejahatannya adalah sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat diampuni.

Pada hari-hari itu juga, ada kasus pencurian seorang wanita dari Banu Makhzum yang juga telah diajukan kepada beliau saw.. Upaya-upaya pertimbangan yang sangat besar juga telah diupayakan untuknya. Hazrat Ummu Salamah r.a. dan Hazrat Usamah bin Zaid r.a. telah memberi pertimbangan untuknya, tetapi lihatlah bagaimana beliau saw. tetap menolak semua pertimbangan tersebut dan mempertahankan hukuman potong tangan.

Jadi, jika kejahatan Hazrat Abdullah bin Sa’d r.a. memang begitu serius, maka seharusnya dinyatakan dengan jelas bahwa tidak ada pertanyaan lagi tentang pengampunannya; tetapi sebaliknya, menisbahkan sikap seperti itu kepada Rasulullah saw.., yang mana hal ini pun bahkan bertentangan dengan adab akhlak dan tradisi umum, adalah tidak dapat diterima.

Yaitu, ketika ia datang untuk berbaiat, lalu na’ūżubillāh Rasulullah saw. diam saja agar dalam kesempatan itu seseorang dengan cepat membunuhnya, dan ketika para sahabat tidak melakukan hal itu, beliau saw. seolah-olah mempertanyakan mereka mengapa tidak membunuh, dan ketika para sahabat berkata bahwa beliau saw. seharusnya memberi isyarat dengan mata, maka beliau saw. bersabda bahwa mata seorang nabi tidak berkhianat dan oleh karena itu tidak memberi isyarat dengan mata, na’ūżubillāh, dan di dalam hati beliau saw. memang ada keinginan seperti itu.

Mereka ingin membuktikan bahwa di dalam hati Rasulullah saw. memang ada keinginan seperti itu bahwa andai saja ada yang membunuhnya, tetapi tidak memberi isyarat. Kejanggalan riwayat ini sendirilah yang menolak peristiwa tersebut.

Martabat Rasulullah saw. sangatlah tinggi, luhur dan agung sehingga tidak pantas hal seperti itu dinisbahkan kepada beliau saw… Beliau saw. adalah kokoh seperti halnya batu karang dalam menegakkan hudud (batasan-batasan) dan tidak pernah membeda-bedakan orang. Sementara itu saat pengampunan dan rahmat, beliau saw. adalah lembut dan halus seperti halnya sutra. Beliau saw. tidak pernah merasakan kegelisahan dan keresahan apa pun. Oleh karena itu riwayat-riwayat seperti ini, mengenai baiat Abdullah bin Sa’d adalah patut dipertanyakan dan beberapa sejarawan serta penulis sejarah nabi juga menolak untuk menerimanya. Hazrat Muslih Mau’ud r.a. ketika menafsirkan ayat ke-15 dari Surah al-Mu’minun, menyebutkan peristiwa ini dengan penjelasan sebagai berikut:

“Ayat ini juga terkait dengan sebuah peristiwa sejarah yang tampaknya perlu dijelaskan di sini.” Beliau r.a. menulis: “Rasulullah saw. memiliki seorang pencatat wahyu yang bernama Abdullah bin Abi Sarh. Ketika wahyu turun kepada beliau saw., maka beliau saw. memanggil dan mendiktekannya kepadanya. Suatu hari, beliau saw. sedang mendiktekan ayat-ayat ini kepadanya. Ketika beliau saw.. sampai pada lafaz

Terkait:   Ramadhan Dan Al-Qur'an

ثُمَّ اَنْشَئْنَاہُ خَلْقًا آخَر

lalu secara spontan dari mulutnya terucap:

فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Inilah wahyu itu, tulislah”. Orang yang malang ini tidak menyadari bahwa sebagai hasil dari ayat-ayat sebelumnya lah maka ayat ini secara alami terbentuk dengan sendirinya. Namun ia menyimpulkan bahwa sebagaimana ayat ini keluar dari mulutnya dan Rasulullah saw. menyatakannya sebagai wahyu, maka demikian jugalah beliau saw., na’ūżubillāh, sedang membuat seluruh Al-Qur’an sendiri, sehingga pada akhirnya ia menjadi murtad dan pergi ke Makkah.

Pada saat Fatah Makkah, di antara orang-orang yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk dihukum mati adalah Abdullah bin Abi Sarh, namun Hazrat Usman r.a. memberikan perlindungan kepadanya dan ia bersembunyi di rumah beliau selama tiga hari. Suatu hari ketika Rasulullah saw. sedang menerima baiat dari para penduduk Makkah, Hazrat Usman r.a. membawa Abdullah bin Abi Sarh juga ke hadapan beliau saw. dan memohon agar baiatnya diterima. Rasulullah saw. awalnya merenungkan sejenak, tetapi kemudian beliau saw. menerima baiatnya. Dengan demikian, ia kembali memeluk Islam.

Mengenai Abdullah bin Abi Sarh disebutkan bahwa ia kemudian termasuk di antara para sahabat yang lantas melakukan pengkhidmatan Islam secara menonjol. Ia juga menjadi gubernur Mesir. Ia adalah sosok yang menaklukkan suatu wilayah di Afrika. Setelah syahidnya Hazrat Usman r.a., ia menyendiri dari berbagai fitnah meskipun ia adalah saudara sepersusuan Hazrat Usman r.a., dan disebutkan bahwa ia pernah berdoa agar amalan terakhirnya adalah salat. Maka suatu hari ia berdiri untuk salat subuh dan ketika menyelesaikan salat, ia mengucapkan salam ke kanan lalu ia wafat saat hendak mengucapkan salam ke kiri. Kewafatannya terjadi pada tahun 36 atau 37 Hijriah.

Kemudian terdapat riwayat tentang masuk Islamnya Ikrimah bin Abi Jahl. Ikrimah bin Abu Jahl termasuk di antara orang-orang yang sebelumnya telah diperintahkan untuk dihukum mati oleh Rasulullah saw.. pada saat Fatah Makkah. Ikrimah dan ayahnya kerap menganiaya Rasulullah saw. dan ia sangat keras terhadap kaum Muslimin. Ketika ia mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk menumpahkan darahnya, maka ia melarikan diri ke arah Yaman. Meskipun dalam permusuhan terhadap Islam ia telah melampaui ayahnya yakni Abu Jahal, dan mungkin saja perintah untuk membunuhnya telah diberikan, namun hal ini juga masuk akal bahwa para pemimpin dan kepala suku Makkah yang selalu berada di garis depan dalam menentang Islam dan setiap hari membuat rencana melawan Islam dan Nabi Muhammad saw., setelah Fatah Makkah mereka sendiri berpikir bahwa perbuatan mereka telah sedemikian rupa [aniaya] sehingga pengampunan mereka tidak mungkin terjadi dalam keadaan apa pun dan kemungkinan besar mereka akan dihukum mati, maka dengan pemikiran ini mereka melarikan diri dari sana, dan sebenarnya mereka sama sekali tidak mengharapkan sikap rahmat, pengampunan, dan pemaafan Rasulullah saw. yang sangat besar, dan memang mereka juga tidak memiliki gambaran tentang hal itu, oleh karena itu mereka menganggap lebih baik untuk menyelamatkan nyawa dan melarikan diri.

Akan tetapi, seiring mereka semakin mengetahui tentang pengampunan dan pemaafan Rasulullah saw. yang tanpa batas, maka mereka tertarik kembali ke Makkah kepada Rasulullah saw. dan mereka menghadap ke hadapan beliau saw.. Bagaimanapun, Ikrimah adalah salah satu dari para pemimpin penentang yang bahkan pada saat Fatah Makkah melakukan perlawanan penuh terhadap pasukan Islam. Ia mengumpulkan sebuah kelompok bersamanya yang terdiri dari pemuda-pemuda pemberani Makkah, di antaranya termasuk Suhail bin Amr, Shafwan bin Umayyah, dan mereka menghunus pedang dengan berkata bahwa mereka tidak akan membiarkan kaum Muslimin masuk ke Makkah, dan mereka melakukan perlawanan keras terhadap pasukan Hazrat Khalid bin Walid r.a.; tetapi setelah lebih dari 20 pemuda mereka terbunuh, semua orang ini melarikan diri dari sana, dan Suhail, Shafwan, serta Ikrimah ketiganya melarikan diri dari Makkah.

Menurut riwayat sejarah, Ikrimah memutuskan untuk pergi ke Yaman melalui jalur laut. Istrinya, Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam, yang merupakan putri seorang pemimpin Quraisy, telah melakukan baiat bersama-sama dengan Hindun binti Utbah dan wanita-wanita terhormat Makkah lainnya pada saat Fatah Makkah. Ketika ia mengetahui bahwa suaminya, Ikrimah, melarikan diri ke arah Yaman karena takut dibunuh, ia menghadap Rasulullah saw. dengan mengatakan, “Ikrimah khawatir bahwa engkau akan memerintahkan untuk membunuhnya, jadi mohon berikanlah ia jaminan keamanan”. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Ia ada dalam jaminan keamanan”.

Kemudian ia berangkat ke arah Jeddah bersama hamba sahayanya dan menemukan Ikrimah di tepi pantai. Ketika Ikrimah bermaksud naik ke atas kapal, (Menurut pendapat lain, ia menemukan Ikrimah ketika sudah naik ke dalam kapal), ia lalu menahan Ikrimah dengan berkata, “Wahai putra pamanku, aku datang kepadamu dari orang yang paling banyak menjalin hubungan di antara manusia, yang paling baik di antara manusia, dan yang paling pengasih di antara manusia. Janganlah engkau menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan karena aku telah meminta jaminan keamanan untukmu”. Maka Ikrimah datang bersama istrinya dan ia memeluk Islam dan keislamannya sangatlah indah. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Ikrimah menghadap Rasulullah saw., ia berkata, “Wahai Muhammad saw., istriku telah memberitahuku bahwa engkau telah memberiku jaminan keamanan (yaitu memberiku izin untuk tinggal di Makkah dalam keadaan kafir, dan bukan berarti aku harus menjadi Muslim)”. Beliau saw. bersabda, “Engkau benar. Sesungguhnya engkau ada dalam keamanan”. Maka Ikrimah berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada yang layak disembah selain Allah, Dia Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan engkau adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ia lalu menundukkan kepalanya karena malu. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Ikrimah, hari ini apapun yang engkau minta dariku, jika aku memiliki kemampuan untuk itu, pasti akan kuberikan kepadamu”. Ikrimah berkata, “Mohonkanlah ampunan untukku atas setiap permusuhan yang telah kuperbuat terhadap engkau.” Maka Rasulullah saw.. berdoa, “Ya Allah, ampunilah Ikrimah atas setiap permusuhan yang telah diperbuatnya terhadapku atau setiap hal buruk yang telah dilakukannya.” Kemudian Rasulullah saw. dengan penuh kegembiraan mengenakan kainnya pada Ikrimah dan bersabda, “Selamat datang bagi orang yang datang kepada kami dalam keadaan beriman dan dalam keadaan berhijrah.”

Disebutkan juga tentang terpenuhinya sebuah nubuatan dengan masuk Islamnya Ikrimah, yang telah dijelaskan oleh Hazrat Muslih Mau’ud r.a. sebagai berikut:

Masuk Islamnya Ikrimah memenuhi nubuatan yang telah disampaikan oleh Muhammad Rasulullah saw.. kepada para sahabatnya bertahun-tahun sebelumnya, yaitu: “Aku telah melihat dalam mimpi seolah-olah aku berada di surga. Di sana aku melihat setangkai anggur dan aku bertanya kepada orang-orang, ‘Ini untuk siapa?’ Maka seseorang yang menjawab berkata, ‘Untuk Abu Jahal.’ Hal ini tampak aneh bagiku dan aku berkata, ‘Tidak ada yang masuk ke dalam surga kecuali orang beriman, lalu bagaimana mungkin anggur disediakan untuk Abu Jahal di surga?’ Ketika Ikrimah beriman, beliau saw.. bersabda, “Tangkai anggur itu adalah milik Ikrimah. Allah menampakkan nama ayah sebagai pengganti anak sebagaimana sering terjadi dalam mimpi-mimpi.”

Kemudian mengenai pelarian Habbar bin Aswad dan masuknya ia ke dalam Islam, tertulis:

Pada masa jahiliah, ia adalah orang yang sangat fasih lidahnya dan biasa mempersatukan orang-orang untuk melawan Rasulullah saw. serta ia adalah orang yang sangat buruk akhlaknya. Ketika putri Rasulullah saw., Hazrat Zainab r.a., berhijrah menuju Madinah, pada saat itu beliau sedang hamil. Habbar bin Aswad menyerang unta Hazrat Zainab r.a. sehingga beliau terjatuh dari unta, dan akibatnya kandungan beliau gugur dan karena itulah beliau sakit hingga akhir hayatnya. 

Rasulullah saw.. telah memerintahkan untuk menghukum mati Habbar bin Aswad. Di mana pun ia terlihat, ia harus dihukum mati. Pada saat Fatah Makkah, karena ketakutan inilah ia melarikan diri dari Makkah dan terus bersembunyi di hutan-hutan. Setelah Fatah Makkah, ketika Rasulullah saw. kembali ke Madinah, ia datang menghadap Rasulullah saw.. Ketika ia menghadap Rasulullah saw., para sahabat melihatnya dan mulai menyampaikan kepada Rasulullah saw.. bahwa Habbar datang. Beliau saw. bersabda, “Ya, aku telah melihatnya. Jangan katakan apa-apa kepadanya.” Habbar mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, semoga keselamatan atas engkau. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasul Allah. Aku telah melarikan diri dari engkau dan berkeliling di seluruh wilayah dan aku juga ingin bertemu dengan orang-orang asing. Kemudian aku mengingat keberkatan dan kemurahan hati engkau serta kebaikan dan pemaafan yang engkau berikan kepada orang-orang yang melakukan kezaliman. Wahai Rasulullah, kami adalah orang-orang musyrik, Allah telah memberikan kepada kami petunjuk melalui engkau dan menyelamatkan kami dari kebinasaan. Maafkanlah kezaliman-kezalimanku dan kesulitan-kesulitan yang terus aku timpakan kepada engkau. Aku mengakui perilaku burukku dan dosa-dosaku.” Perawi berkata, “Pada saat itu aku terus memandang Rasulullah saw.. Beliau saw. menundukkan kepala karena rasa malu atas permintaan maaf Habbar dan bersabda, “Aku telah memaafkan engkau. Aku memaafkan kesalahan-kesalahan engkau sebelum masuk Islam.”

Terkait:   Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Berbagai Pertempuran Semasa Hidup Rasulullah

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menulis peristiwa sebagai berikut:

Di antara orang-orang yang diperintahkan untuk dihukum mati adalah orang yang menjadi penyebab kewafatan putri Rasulullah saw.., Hazrat Zainab r.a.. Orang ini bernama Habbar. Ia telah memotong tali pengikat pelana unta Hazrat Zainab r.a. yang lebar, sehingga Hazrat Zainab r.a. terjatuh dari unta. Akibatnya, kandungan beliau gugur dan setelah beberapa waktu beliau wafat. Selain kejahatan-kejahatan lainnya, kejahatan ini juga membuatnya layak untuk dihukum mati. Orang ini juga kemudian menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah melarikan diri darimu menuju Iran, kemudian aku berpikir bahwa Allah Taala telah menghilangkan pemikiran-pemikiran syirik kami melalui Nabi-Nya dan menyelamatkan kami dari kebinasaan rohani. Mengapa aku tidak mendatanginya daripada pergi kepada orang-orang asing, dan mengakui dosa-dosaku serta meminta maaf kepadanya.” Rasulullah saw. bersabda, “Habbar, ketika Allah telah menanamkan kecintaan Islam dalam hatimu, mengapa aku tidak memaafkan kesalahan-kesalahanmu? Pergilah, aku telah mengampunimu; Islam telah menghapus semua kesalahan-kesalahanmu yang terdahulu.”

Alhasil, orang ini telah diampuni, tetapi mengenai Abdullah dikatakan bahwa ia tidak diampuni. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw. bahwa mengapa beliau saw. tidak memberi isyarat. Rasulullah saw. tidak bermaksud untuk itu.

Bagaimanapun, ada seorang lainnya juga yang bernama Ka’b bin Zuhair bin Abi Sulami. Pada tahun ketujuh Hijriah, Ka’b dan saudaranya yakni Bujair, keduanya datang ke Abrak yang merupakan sebuah sumur Bani Asad di jalan dari Basrah menuju Madinah. Bujair dari sini pergi ke Madinah dan di sana ia memeluk Islam. Hal ini membuat Ka’b sangat marah dan menulis syair-syair ejekan. Meskipun dari riwayat-riwayat umum dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk membunuh Ka’b karena syair-syair caci makian tersebut, namun dari beberapa petunjuk dapat diketahui bahwa sebenarnya permasalahannya tidak hanya sebatas itu saja, melainkan Ka’b dan Bujair telah merencanakan suatu rencana keji untuk menganiaya atau membunuh Rasulullah saw., dan dengan tujuan tersebut Ka’b tetap tinggal jauh dari Madinah dan mengirim saudaranya ke Madinah, tetapi Bujair justru memeluk Islam. Ketika Ka’b mendapat kabar bahwa saudaranya telah masuk Islam, ia sangat marah. Setelah itu, ketika Rasulullah saw. sedang kembali dari Thaif, Bujair menulis surat kepada saudaranya, Ka’b bin Zuhair, agar ia juga bertobat dan menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon ampun atas kesalahannya karena beliau saw. mengampuni setiap orang yang datang kepada beliau saw. dengan bertobat. Akhirnya Ka’b tidak punya pilihan lain selain menghadap kepada Rasulullah saw… Maka Ka’b menulis sebuah kasidah. Bait pertama kasidah ini adalah:

بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِي الْيَوْمَ مَتْبُولُ

Su’ad telah berpisah dariku dan hatiku hancur berkeping-keping karena hebatnya kesedihan.

Setelah itu Ka’b bin Zuhair berangkat dan sampai di Madinah lalu menginap di rumah seorang kenalannya. Keesokan harinya orang itu membawa Ka’b menghadap Rasulullah saw.. Ketika Rasulullah saw. selesai dari salat subuh, orang itu menunjuk ke arah Rasulullah saw. dan berkata kepada Ka’b, “Inilah Rasulullah saw.. Berdirilah dan mintalah perlindungan kepada beliau. saw.”. Ka’b berdiri, lalu duduk di hadapan beliau saw., kemudian meletakkan tangannya di tangan Rasulullah saw.. Rasulullah saw. dan para sahabat yang hadir tidak ada yang mengenali Ka’b bin Zuhair. Ka’b berkata, “Wahai Rasulullah, Ka’b bin Zuhair ingin datang kepada engkau untuk memperoleh jaminan keselamatan jiwanya dan bertobat serta masuk Islam. Jika aku membawanya kepada engkau, apakah engkau akan menerima tobatnya?” Rasulullah saw. bersabda, “Ya.” Kemudian Ka’b berkata, “Aku adalah Ka’b bin Zuhair.” Mendengar hal ini, seorang Muslim Ansar berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., serahkanlah musuh Allah ini kepadaku agar aku dapat memenggal lehernya.” Namun Rasulullah saw. bersabda, “Biarkanlah ia. Orang ini datang untuk bertobat dan menunjukkan penyesalannya.” Ketika Ka’b membacakan kasidah Bānat Su’ād dan sampai pada syair ini:

إِنَّ الرَّسُولَ لَنُورٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ
 مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ مَسْلُولُ

Sesungguhnya Rasulullah saw.. adalah nur yang dengannya diperoleh cahaya kebenaran dan merupakan pedang India yang terhunus dari pedang-pedang Allah.

maka beliau saw. meletakkan kain selendangnya yang saat itu berada di tubuh beberkat beliau saw. ke atas Ka’b. Karena kain inilah kasidah ini menjadi terkenal dengan nama Qaṣīdah Burdah, yaitu ‘kasidah kain selendang’. Burdah artinya ‘kain selendang’. Kasidah ini disebut juga Qaṣīdah Bānat Su’ād dan juga Qaṣīdah Burdah. Kemudian Hazrat Amir Mu’awiyah berusaha membeli selendang ini dari Hazrat Ka’b r.a. dengan sejumlah besar uang, namun beliau menolak dengan mengatakan, “Aku tidak akan berpisah dengan kain Rasulullah saw. yang diberkati ini”. Namun ketika Hazrat Ka’b r.a. wafat, Hazrat Amir Mu’awiyah r.a. membeli kain selendang tersebut dari ahli warisnya. Setelah itu, kain selendang ini terus diwariskan kepada para penguasa Bani Umayyah dan hilang pada saat keruntuhan pemerintahan mereka.

Di kalangan masyarakat umum, ada kasidah lain yang lebih terkenal yang disebut juga Qasidah Burdah. Qasidah ini ditulis oleh Imam Syarfuddin al-Busiri. Qasidah ini juga disebut Qaṣīdah Burdah karena ketika beliau menulis kasidah ini untuk memuji sanjung Rasulullah saw., beliau bermimpi bahwa Rasulullah saw.. menyelimuti dirinya dengan kain selendang beberkat beliau saw.., yang kemudian masih ada di bahunya ketika beliau terbangun. Dikatakan bahwa Imam Busiri menderita kelumpuhan dan sembuh berkat keberkahan kain selendang tersebut. Alhasil, ini adalah sebuah kisah yang diceritakan dan kisah-kisah seperti ini memang ada.

Kemudian ada juga riwayat tentang penerimaan Islam oleh beberapa penentang Islam yang keras lainnya dan bagaimana mereka memperoleh pengampunan. Hal itu juga akan saya sampaikan selanjutnya.

Mulai Jumat depan, insya Allah Taala, Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Inggris juga akan dimulai. Untuk itu juga berdoalah. Semoga Allah Taala dengan karunia-Nya menjadikan Jalsah ini penuh berkah dan senantiasa melimpahkan karunia-Nya pada setiap program yang ada. Semoga Allah Taala melindungi dari kejahatan setiap orang jahat dan yang bermaksud merugikan atau siapa pun yang berniat merugikan. Para tamu yang datang dari dalam negeri atau dari luar negeri, semoga Allah Taala membawa mereka dengan selamat dan menjaga mereka dalam perlindungan-Nya dalam segala hal di sini. Tamu-tamu pribadi yang datang untuk Jalsah atau yang pengaturannya akan dilakukan di bawah departemen penyambutan tamu dalam pengaturan Jemaat, semoga Allah Taala memberikan taufik kepada setiap tuan rumah untuk menunaikan hak penyambutan tamu mereka.

Para panitia yang mengajukan diri mereka dengan antusias dan semangat yang besar untuk tugas-tugas Jalsah, semoga Allah Taala memberikan taufik kepada mereka semua untuk berkhidmat dengan ikhlas di bidangnya masing-masing dan mereka melayani para tamu dengan penuh penghormatan dan penghargaan serta kelembutan dan keramahan. Terkadang karena banyaknya pekerjaan dan kurangnya tidur, keramahan beberapa panitia menjadi terpengaruh, tetapi setiap panitia yang bertugas di bidang apa pun harus menjalani hari-hari ini dengan merenungkan bahwa Allah Taala telah memberikan taufik kepada mereka untuk melayani para tamu Hazrat Masih Mau’ud a.s.; Allah Taala telah memberikan kesempatan ini kepada mereka. Oleh karena itu, untuk hal ini mereka akan mempertahankan semangat pengkhidmatan mereka dengan melakukan setiap pengorbanan dan tidak akan menunjukkan sikap buruk apa pun, dan senyuman akan selalu tampak di wajah mereka. Baik para pemudi atau wanita atau para pemuda atau laki-laki yang sudah berusia lanjut; baik para atasan atau para panitia secara umum; baik panitia yang memasak dan mengatur langgar atau yang menyajikan makanan; baik panitia keamanan atau parkir; baik pekerja kebersihan atau yang bertugas memasang tanda petunjuk di dalam maupun di luar, atau orang-orang yang ditugaskan di pintu masuk gerbang, para perempuan yang bertugas di tenda anak-anak, atau perempuan dan laki-laki serta pria dan wanita yang bertugas di Jalsah Gah utama, semuanya harus selalu menjalankan tugas mereka dengan senyuman di wajah mereka. Semoga Allah Taala memberikan taufik untuk hal ini.

Namun bersamaan dengan itu, pengawasan yang ketat juga harus dilakukan terhadap setiap orang agar tidak ada seorang pun yang berani melakukan kejahatan. Semoga Allah Taala memberikan taufik kepada semua panitia untuk berkhidmat dengan cara yang terbaik dan mereka menjadi orang-orang yang memperoleh karunia Allah Taala.[1]

Khotbah II:

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.