3. Puasa Bulan Ramadhan
Puasa adalah suatu ibadah yang di dalamnya tarbiyat untuk menjaga diri, introspeksi diri serta kekuatan untuk bersabar diperhatikan. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalām bersabda:
“Agama yang di dalamnya tidak ada usaha keras yang lebih (mujahadah), menurut kami agama itu bukanlah apa-apa”. (Fatawa Ahmadiyah, halaman 183)
Arti shaum (puasa) secara bahasa adalah berhenti dan tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam istilah syariat, berhenti makan, minum dan berhubungan badan mulai dari terbit fajar (subuh shadiq) sampai terbenam matahari dengan niat ibadah disebut shaum atau puasa. Allah Taala berfirman dalam Al-Qur’an Karim:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Makan dan minumlah kalian pada waktu malam, sehingga mulai nampak kepada kalian benang putih terpisah dari benang hitam, yakni terbit fajar. Setelah itu, sempurnakanlah puasa sepanjang hari sampai malam tiba”. (Al-Baqarah [2]: 188)
Perintah untuk berhenti makan, minum dan menghindari keinginan untuk berhubungan badan demi Tuhan dan keridhaan-Nya supaya terhindar dari segala macam keburukan adalah sebagai tanda. Sebagaimana Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām telah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ اْلعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِىْ اَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ
Yakni, barangsiapa tidak mau meninggalkan berbohong, bahkan mengamalkannya pada waktu puasa, lalu apa perlunya meninggalkan makan dan minum demi Allah Taala. (Bukhari, Kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)
Ketika tidak ada gejolak untuk meraih tujuan yang sebenarnya, lalu apa gunanya berpuasa? Demikian pula, pada satu kesempatan lain disabdakan:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلاَكْلِ وَ الشُّرْبِ وَ اِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ فَاِنْ سَابَّكَ اَحَدٌ اَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ اِنِّىْ صَائِمٌ اِنِّىْ صَائِمٌ فَكَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلاَّ اْلجُوْعُ وَ اْلعَطَشُ وَ كَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قَيَامٍ اِلاَّ السَّهَرُ
Yakni, puasa bukanlah nama berhenti makan dan minum saja, mafhumnya juga termasuk berhenti melakukan segala macam perkara yang tidak berguna dan perbuatan keji. Jadi, wahai orang yang berpuasa! Seandainya seseorang mencacimu atau membuatmu marah, maka katakanlah kepadanya bahwa aku sedang berpuasa. Barangsiapa yang mencaci, meskipun berpuasa, maka puasanya hanya untuk lapar dan haus saja, yang karenanya dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya. (Darimi merujuk pada Misykat, jilid 1, halaman 177)
Puasa Dalam Agama-Agama Terdahulu
Puasa adalah suatu ibadah yang keberadaannya juga terdapat dalam agama-agama terdahulu. Sebagaimana isyarah firman Allah Taala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang Islam! Telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, seperti halnya diwajibkan kepada orang-orang terdahulu sebelum kalian dan tujuannya adalah meraih ketakwaan dan menjaga diri”. (Al-Baqarah [2]: 184)
Meskipun terdapat perbedaan antara bentuk puasa agama Islam dengan puasa agama-agama terdahulu, akan tetapi terdapat persamaan dalam semua unsur yang utama. Sabda Yang Mulia ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ اَهْلِ اْلكِتَابِ اَكَلَةُ السَّحَرِ
“Salah satu perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur”. (Musnad Darimi, bab Fadhl al-Sahur, halaman 154, catatan kaki, al-Muntaqi Min Akhbaril Mushtafa, cetakan Rahmani Delhi, tahun 1337 Hijriah)
Orang-orang Islam berpuasa setelah makan sahur, sedangkan ahli kitab tidak makan sahur. Demikian pula, selama berpuasa orang-orang Hindu memakan beberapa makanan, namun puasa mereka tetap berjalan. Seolah-olah menurut mereka hanya menghindar dari beberapa makanan tertentu disebut puasa. Puasa orang-orang Kristen seperti itu pula, sebagaimana mereka tidak makan daging atau selama puasa tidak makan roti yang pakai ragi. Dalam beberapa agama, ada juga puasa siangdan malam tanpa makan sahur. Mereka hanya berbuka puasa pada waktu sore hari. Dalam satu agama, ada perintah untuk berpuasa selama 4 hari berturut-turut. Dalam beberapa agama didapatkan juga puasa-puasa yang di dalamnya hanya dilarang makan makanan yang keras dan diizinkan untuk mengkonsumsi makanan ringan, susu, buah dan lain-lain.
Tujuan Puasa
Puasa adalah sarana untuk memperbaiki diri. Karena dimana manusia meninggalkan kelezatan-kelezatan demi Tuhan, maka disana pun ia mendapatkan pelajaran untuk menegakkan dirinya pada kebaikan yang lebih dan berusaha untuk menghindarkan dirinya dari segala macam barang yang haram dan najis.
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II ra. bersabda:
“Tujuan puasa tidak membuat seseorang mati kelaparan atau kehausan. Seandainya surga dapat diraih dengan mati kelaparan, maka saya menganggap bahwa orang-orang yang paling kafir dan munafik juga siap untuk melakukannya, karena mati kelaparan dan kehausan bukanlah perkara yang sulit.
Pada hakikatnya, perkara yang sulit adalah perubahan akhlak dan rohani. Ketika orang-orang lapar, maka mereka pun siap untuk melakukan perkara-perkara yang sederhana. Ketika mereka masuk ke dalam penjara, maka mereka mulai mati kelaparan. Alasan yang masyhur yang masih digunakan oleh orang-orang Brahma adalah ketika orang-orang tidak mempercayai perkataan mereka, maka mereka meninggalkan makan. Jadi, menahan lapar bukanlah perkara yang agung dan ini bukanlah tujuan Ramadhan.
Tujuan Ramadhan yang sebenarnya adalah dalam bulan itu seseorang siap untuk meninggalkan segala sesuatu demi Allah Taala. Laparnya merupakan tanda dan lambang bahwa dia siap untuk meninggalkan segala haknya demi Tuhan. Makan minum adalah hak seseorang. Hubungan suami istri adalah haknya juga. Oleh karena itu, barangsiapa meninggalkan hal-hal ini, maka ia memberitahukan bahwa saya siap untuk meninggalkan hak saya demi Allah Taala. Meninggalkan yang bukan hak memang perkara yang sangat rendah dan tidak dapat diharapkan dari seorang mukmin supaya dia merampas hak seseorang. Yang dapat diharapkan dari seorang mukmin adalah dia meninggalkan haknya demi keridhaan Allah Taala. Akan tetapi, seandainya Ramadhan tiba dan berlalu begitu saja serta kita senantiasa mengatakan bahwa bagaimana kita meninggalkan hak kita, maka maksudnya adalah kita tidak meraih apa-apa dari Ramadhan. Karena Ramadhan tiba untuk menjelaskan bahwa kita hendaknya meninggalkan hak-hak kita demi keridhaan Allah Taala”. (Al-Fadhl, 30 Maret 1926, halaman 5-6)
Hadhrat Khalifatul Masih I ra. bersabda:
“Orang-orang yang meninggalkan barang-barang untuk mengkonsumsinya, dia tidak melanggar hukum dan akhlak, maka dia akan terbiasa tidak menggunakan barang-barang orang lain dengan cara yang tidak semestinya dan berpaling ke arah itu. Manakala dia meninggalkan barang-barang yang diperbolehkan demi Tuhan, maka pandangannya tidak dapat tertuju pada barang-barang yang tidak semestinya”. (Al-Fadhl, 17 Desember 1966, halaman 8)
Ringkasnya, dimana terdapat pensucian diri dan kesucian kalbu dengan puasa, maka puasa seperti itulah yang bisa mendatangkan faedah-faedah jasmani, akhlak dan lingkungan sosial. Dengannya kekuatan kasyaf bertambah dan terus bertambah maju. Seperti halnya tubuh mendapatkan kekuatan dengan hidangan jasmani, demikian pula hidangan rohani (yakni dalam keadaan puasa) menguatkan ruh dan dengannya juga kekuatan rohani menjadi semakin tajam. Oleh karena itu, difirmankan:
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ
Yakni, seandainya kalian senantiasa berpuasa, maka di dalamnya terdapat kebaikan yang besar bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
Di dalam Al-Qur’an Karim dijelaskan bahwa puasa merupakan satu resep mujarab untuk menjadi orang yang bertakwa. Yakni, seandainya kalian mengamalkan resep ini, maka kalian akan menjadi orang yang bertakwa. Difirmankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepada kalian berpuasa seperti halnya telah diwajibkan kepada orang-orang terdahulu sebelum kalian supaya kalian terhindar dari kelemahan-kelemahan rohani dan akhlak”. (Al-Baqarah [2]: 184)
“Seberapa banyak keburukan yang muncul, sumbernya ada 4 hal. Yang lain adalah furu’ (cabang). Keempat sumber itu adalah: pertama, makanan; kedua, minuman; ketiga, syahwat; keempat, ada keinginan untuk menghindar dari hal-hal yang tidak semestinya.
Semua aib berhubungan dengan 4 hal ini. Untuk menghindarkan diri dari keempat sumber keburukan tersebut, diperintahkan untuk berpuasa. Misalnya, seseorang berkhianat karena ingin terhindar dari kerja keras, yakni dia ingin makan tapi tidak mau kerja keras, malahan memakan harta orang lain. Akan tetapi, orang yang berpuasa harus bangun pada sebagian besar malam untuk beribadah. Dia bangun untuk sahur. Dia menutup mulut sepanjang hari. Dia mengurangi tidur. Sampai sebulan orang yang berpuasa harus menanggung kesusahan yang menyebabkan tubuhnya menjadi terbiasa dan menyingkirkan kebiasaan lalai. Jadi, makan, minum dan syahwat menimbulkan keburukan-keburukan. Untuk itu pun dilakukan puasa. Manusia meninggalkan makan, minum dan keperluan-keperluan hidup. Jadi, keperluan-keperluan yang menyebabkan manusia terjerumus dalam dosa, itu dihindari untuk sementara waktu”. (Al-Fadhl, 17 Desember 1966)
Puasa bermanfaat juga secara jasmani dan itu adalah bahwa tubuh manusia menjadi terbiasa untuk menanggung penderitaan-penderitaan dan kesusahan-kesusahan serta dengan faktor inilah muncul daya tahan dan sabar di dalamnya. Selain itu, pentingnya menahan lapar diakui secara kedokteran dalam menata kesehatan. Seandainya keseimbangan diperhatikan, maka dalam kesehatan terdapat perbedaan yang mencolok. Seolah-olah puasa merupakan jaminan kesehatan tubuh dan dari segi rohani, merupakan sumber dan pokok ketakwaan. Karenanya mendapatkan taufik untuk berakhlak baik, menjaga kesucian, jujur, berkarakter baik dan mensucikan diri, memunculkan kekuatan-kekuatan sabar dan keberanian, merasakan kesusahan-kesusahan orang-orang miskin dan meningkatkan semangant untuk menolong. Demikianlah perhatian terhadap keseimbangan ekonomi dan martabat meningkatkan kemajuan status ekonomi dan sosial dan bersamaan dengan itu juga kesehatan menjadi tertata.
Derajat Orang Yang Berpuasa
Hadits Kudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ اٰدَمَ لَهُ اِلاَّ الصِّيَامُ فَاِنَّهُ لِىْ وَ اَنَا اَجْزِىْ بِهِ وَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ
Yakni, semua amal manusia adalah untuk dirinya sendiri, akan tetapi puasa adalah untuk-Ku. Oleh karena itu, Aku sendiri yang akan menjadi ganjarannya. (karena dia meninggalkan semua keinginannya, makan dan minum demi Aku). (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)
Selanjutnya disabdakan:
وَ الَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمُ الصَّآئِمِ اَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ
“Sumpah demi zat yang dalam genggaman kudrat-Nya terdapat jiwa Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām Bau mulut orang yang berpuasa, di hadapan Allah Taala, lebih suci dan harum daripada kesturi”. (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)
Demikian pula disabdakan:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَّ اِحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa bangun pada waktu malam dan mengerjakan shalat serta berpuasa sesuai tuntutan keimanan dan dengan niat untuk mendapatkan pahala, semua dosanya yang dahulu diampuni”. (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 260)
Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah subḥānahu wa ta’āla dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah subḥānahu wa ta’āla sehingga ia memperoleh tabattul (Q.S. Al-Muzammil, 73:9) [1]) dan inqithaa’ [2]). Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah subḥānahu wa ta’āla, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah subḥānahu wa ta’āla yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
“Puasa dan shalat, kedua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu ia lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang-kadang dapat dialami oleh para yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). “Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
[1]) Penulisan nomor ayat Al-Qur’an dalam brosur ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām riwayat sahabat, Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa setiap basmalah pada tiap awal surat adalah ayat pertama surat itu
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحمْـاـنِ الرَّحِيْمِ
“Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām tidak mengetahui pemisahan antara surat itu sehingga bismillaahir-raḥmaanir-raḥīm turun kepadanya.” (HR Abu Daud, “Kitab Shalat”; dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”)
[2]) Tabattul atau inqithaa’ artinya: Meninggalkan urusan duniawi untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. subḥānahu wa ta’āla