Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 4 April 2014 di Masjid Baitul Futuh, UK.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه، وأشهد أن محمّدًا عبده ورسوله. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرّجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ،
Hadhrat Masih Mau’ud ’alaihish shalaatu was salaam dalam memberi nasihat secara mendasar terhadap orang-orang yang baru baiat. Beliau as bersabda: “Setelah baiat hendaknya setiap orang mengadakan perobahan suci dalam diri pribadi, menjalin hubungan erat dengan Tuhan mereka dan berusaha untuk meningkatkan mutu akhlak.”
Dalam Khutbah hari ini, akan saya kemukakan kutipan dari beberapa tulisan-tulisan dan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengenai kecintaan sejati kepada Allah Ta’ala Dalam tulisan-tulisan itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan kecintaan sejati beliau terhadap Allah Ta’ala, hakikatnya, rahasia untuk meraihnya dan keistimewaannya serta philosophynya. Beliau juga menjelaskan bagaimana standar kecintaan terhadap Allah Ta’ala yang harus dimiliki oleh kita orang-orang yang telah beriman kepada beliau dan masuk kedalam Jema’at beliau, dan setakat mana yang diharapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s dari kita semua. Dari segi ini, setiap tulisan tentang itu patut direnungkan sebagai panduan bagi kita, oleh sebab itu perlu sekali diperhatikan agar kita faham intisari dari kecintaan Ilahi supaya kita dapat meningkatkan serta memperbaiki kecintaan kita sendiri terhadap Allah Ta’ala.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Mahabbat (kecintaan) bukanlah suatu perkara yang di-buat2 atau berpura-pura. Melainkan satu faktor kekuatan dari antara faktor kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam diri manusia. Yang hakikatnya adalah apabila hati manusia menyukai sesuatu kemudian ia tertarik kepadanya. Sebagaimana nilai khas setiap benda dapat dirasakan dengan jelas apabila ia telah sampai kepada puncak keistimewaannya. Itulah kedudukan mohabbat (kecintaan). Intisarinya juga nampak secara terbuka apabila ia sudah sampai kepada peringkat kesempurnaannya yang tertinggi. Seperti Allah Ta’ala berfirman: أُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ ‘usyribuu fii quluubihimul ‘ijla.’ Yakni; Kecintaan mereka begitu dalam kepada anak lembu, seolah-olah diminumkan seperti minuman ‘syarbat’ ke dalam hati mereka. (Al Baqarah:94). Hakikatnya, orang yang mempunyai kecintaan sempurna terhadap seseorang seolah-olah ia meminumnya atau menyantapnya. Ia mencelupkan dirinya kedalam warna akhlaq dan perangainya. Semakin dalam kecintaan terhadapnya, secara alami semakin tertarik terhadap sifat-sifat orang yang dicintainya itu sehingga ia menjadi gambaran ruh kekasihnya itu. Itulah juga rahasia orang yang mencintai Tuhan, dia memperoleh nur Tuhan sebagai bayangan-Nya sesuai dengan nilai kekuatan rohaniahnya. Sedangkan orang yang mencintai setan ia memperoleh kegelapan yang terdapat pada wujud setan.[2]
Jadi, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan bahwa itulah rahasia mahabbat yaitu menerapkan sifat-sifat Allah Ta’ala pada diri kita. Sebagaimana telah dijelaskan mengenai ma’rifat di dalam Khutbah-khutbah yang lalu, selama manusia tidak mengetahui semua sifat-sifat Allah Ta’ala, pengertian ilmu atau ma’rifat Ilahi tidak dapat dia hasilkan. Setelah manusia memperoleh ma’rifat barulah ia memperoleh kecintaan. Kecintaan akan menjadi sempurna apabila manusia memperoleh sifat-sifat Allah Ta’ala dan menerapkan sifat-sifat-Nya itu pada dirinya, sehingga ia diwarnai oleh sifat-sifat-Nya dan memperoleh nur-Nya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Hakikat mahabbat menuntut agar manusia dengan hati yang tulus mencintai semua sifat kekasihnya, akhlak dan budi pekertinya, dan berusaha dengan sepenuh hati dan jiwanya untuk menyerahkan diri dan fana dalam diri kekasihnya hingga dapat menjalani kehidupan yang diraih oleh kesayangannya itu. Sang pecinta sejati terbenam dalam kecintaan terhadap kekasihnya. Sang pecinta sejati menyerahkan diri sepenuhnya kepada kekasihnya dan penampakan dari air muka kekasihnya meninggalkan kesan berupa gambar di dalam lubuk hatinya, seolah-olah kekasihnya telah menembus kalbunya. Dan dikatakan bahwa dia telah menyerap warna kekasihnya dan menzahirkan kepada manusia bahwa sesungguhnya dia telah menghilang didalam wujud kekasihnya.”[3]
Dalam menjawab kritikan seorang Padri (pendeta), Fateh Masih, berkenaan dengan standar mahabbat (kecintaan) Ilahi di dalam Islam, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan dalam jawabannya: ”Kemudian, anda mengkritik bahwa, orang-orang Islam tidak menyintai Allah dengan kecintaan yang kosong dari kepentingan dan pamrih, dan mereka tidah tahu bahwa Allah seharusnya dicintai atas keindahan-Nya secara Dzaat (pribadi).
Maka jawabannya adalah, sesungguhnya kritikan itu tidak kena-mengena dengan ajaran Al-Qur’anul Karim melainkan berkenaan dengan Injil. Sebab sekali-kali tidak terdapat di dalam ajaran Injil agar manusia secara pribadi harus mencintai Tuhan dan harus beribadah kepada-Nya dengan kecintaan pribadinya itu. Tetapi, sebaliknya, Al Qur’an penuh dengan ajaran itu. Al Qur’an dengan jelas menerangkan bahwa: فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا Yakni; Ingatlah kepada Allah sebagaimana kalian mengingat bapak-bapak kalian, bahkan lebih banyak dari itu (Al-Baqarah:201). Kemudian berfirman lagi: وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ Yakni; Kelebihan orang-orang mu’min adalah mereka mencintai Allah lebih dari mencintai yang lain. (Al Baqarah: 166). Yakni kecintaan mereka kepada bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara mereka bahkan kepada jiwa mereka sendiri pun tidak melebihi kecintaan terhadap Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala berfirman lagi, حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ Yakni: Sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan telah menampakkannya indah di dalam hatimu. (Al Hujurat:8). Dan Dia berfirman lagi: إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى Yakni: Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat (An Nahl: 91) Ayat ini mengandung perintah untuk menegakkan حق الله hak Allah Ta’ala dan حق العباد hak sesama manusia dan keistimewaan ayat ini adalah di dalamnya Allah Ta’ala telah menjelaskan kedua aspek itu.[4]
Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan dengan gamblang dalam buku ‘Nuurul Qur’aan’ yang dari buku itu kutipan-kutipannya saya bacakan dan beliau menyebutkan mengenai حقوق العباد huquuqul ‘ibaad. Tentang huquuqul ‘ibaad ini beliau a.s. menguraikan bahwa yang dimaksud dengannya ialah orang Mu’min harus bersikap kasih sayang kepada orang-orang kafir juga. Lebih jauh lagi, orang-orang Mu’min perlu menaruh simpati kepada mereka dan merasa prihatin terhadap penyakit rohaniah dan penyakit jasmaniah yang dialami oleh mereka. Inilah yang dimaksud dengan penunaian huquuqul ‘ibaad. Yakni sekalipun orang kafir, apabila ia mendapat gangguan penyakit jasmaniah maupun rohaniah orang Mu’min hendaknya menjadi penghibur baginya. Itulah huquuqul ‘ibaad.
Dalam hal ini terjawab juga pertanyaan mengenai bagaimana mungkin menyayangi orang kafir? Sebagian orang mengkritik kita dengan mengatakan, “Para Ahmadi mengatakan, love for all hatred for none (Cinta Kasih Bagi Semua, Tiada Kebencian Bagi Siapa pun), bagaimana mungkin mereka dapat mengamalkannya?”
Beliau as bersabda bahwa yang dimaksud dengan bersimpati dengan mereka ialah dengan bersikap ishlah (baik dan bersifat perbaikan) kepada mereka dan memenuhi keperluan-keperluan mereka. Bersimpati kepada mereka bukan berarti menyokong kepercayaan-kepercayaan syirik mereka atau tertarik oleh perkataan-perkataan mereka yang bersifat menentang atau masuk kedalam golongan mereka.
Kecintaan terhadap seorang Mu’min, jika ia seorang Mu’min sejati, kecintaan terhadapnya adalah meniru cara hidupnya yang baik dan kebaikan-kebaikan yang ada padanya. Jika ia mempunyai keburukan-keburukan, ia harus dinasihati dengan nasihat ajaran Agama.
Adapun simpati secara umum adalah mencintai setiap orang dan kecintaan ini bukan berarti bahwa karena sangat mencintainya, manusia juga harus meniru keburukan-keburukan atau adat kebiasaan buruk orang lain.
Kemudian beliau a.s. juga menyebutkan tentang huquuqul ‘ibaad yang diantaranya ialah dengan memberi makan kepada orang yang lapar, membebaskan para sahaya, membantu membayar hutang orang yang banyak hutang, atau meringankan beban orang yang menanggung banyak beban. Adil عدل juga termasuk huquuqul ‘ibaad. Setingkat lebih dari adil ialah berlaku ihsaan احسان dan berlaku ihsaan adalah berbuat baik tanpa membeda-bedakan agama atau golongan. Itu juga huquuqul ‘ibaad yaitu orang Mu’min wajib untuk mencintai umat manusia secara umum, akan tetapi tujuannya hanyalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala semata. Terutama disebabkan gelora kecintaan terhadap Allah Ta’ala.[5]
Khusus dari segi hak Allah حق الله, makna dari ayat berikut ini: إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil” adalah menaati Allah Ta’ala secara adil. Sebabnya, “Dia Yang telah menciptakan kamu, memelihara dan menumbuhkan kamu di setiap waktu dan tempat adalah hak-Nya bahwa kamu menaati-Nya. Jika kamu memiliki bashiirah (pengertian yang lebih mendalam), maka engkau tidak menaati-Nya hanya karena hak-Nya untuk ditaati melainkan engkau menaati-Nya karena ihsaan. Sebab Dia adalah Muhsin yakni pelaku banyak sekali ihsaan. Perlakuan ihsaan-Nya demikian banyak hingga tidak dapat dihitung.” Jelas dan gamblang, bahwa dalam melakukan ketaatan derajat ihsaan lebih tinggi dari derajat ‘adl. Dan disebabkan setiap tempat dan waktu selalu merenungkan dan terpatri dalam jiwanya pengertian ihsaan sehingga natijahnya membuat perangai dan bentuk airmukanya seperti perangai Muhsin (Maha Berbuat Ihsaan). Oleh sebab itulah dalam pengertian ihsaan termasuk dalam perkara berikut ini; Beribadah-lah kepada-Nya seolah-olah kamu sedang melihat wujud-Nya.
Apabila rupa Muhsin terpampang dalam ingatan, maka akan ingat juga kepada perlakuan احسان-Nya. Dan apabila ingat kepada احسان-Nya dan rupa Muhsin terpampang dalam ingatan-nya maka dibawah احسان-Nya itu ada lagi tambahan احسان.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:” احسان Allah Ta’ala adalah: Beribadah-lah kepada-Nya seolah-olah kamu sedang melihat wujud-Nya. Sesungguhnya orang yang patuh-ta’at kepada Allah Ta’ala terbagi kepada tiga macam. Pertama, mereka yang disebabkan Tuhan tidak Nampak sedangkan barang-barang zahiriah lainnya nampak, tidak memeriksa dengan sebaik-baiknya ni’mat-ni’mat Allah Ta’ala. Yakni Allah Ta’ala di balik tabir, tidak nampak kepada manusia. Sedangkan barang-barang duniawi jelas nampak dan tahu juga keadaannya bahkan manusia dapat merasakannya juga. Maka apabila barang-barang duniawi nampak di hadapan mata, maka manusia tidak merasa adanya wujud pencipta barang-barang itu, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu manusia mulai mencintai barang-barang duniawi itu.
Kemudian beliau as bersabda, “Manusia yang menaati Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga macam. Pertama, orang-orang yang tidak melihat dan tidak merenungkan kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya. Sebabnya adalah, Allah Ta’ala tersembunyi di balik tabir, sedangkan barang-barang lainnya nampak di hadapan mata mereka. Dan tidak ada gejolak yang bisa timbul karena merenungkan keagungan احسان Allah Ta’ala dan tidak ada pula kecintaan tergerak di dalam hati mereka yang bisa timbul karena membayangkan anugerah sangat besar dari Muhsin Tuhan Yang Maha Pengasih. Melainkan hanya mengakui Allah Ta’ala sebagai Pencipta bukan sebagai Muhsin Yang Maha Pengasih. Walhasil, mereka secara keseluruhan menyatakan diri sebagai Muslim, namun sebagai makhluk mereka hanya mengakui hak-hak Allah Ta’ala sebagai Pencipta mereka. Penyelidikan penuh perhatian terhadap احسان Ilahi bisa membawa Muhsin Hakiki kehadapan pandangan matanya, namun sekali-kali mereka tidak dapat menyaksikannya.
Kabut cinta kebendaan tidak memberi mereka kemampuan untuk menyaksikan secara sempurna keindahan Muhsin Hakiki. Sebab secara zahir mereka tidak mempunyai pandangan jelas yang sungguh diperlukan untuk menyaksikan keindahan Tuhan sebagai Pemberi Anugerah.
Telah diketahui bahwa Muhsin Hakiki ialah Allah yang telah memberikan kepada manusia segala sesuatu, namun mereka tidak melihat kebaikan-Nya.
“Keaiban (kekurangan atau kecacatan) ma’rifat (pengetahuan mendalam) mereka tentang Ilahi telah dicemari oleh barang-barang dunia dan disebabkan oleh hal itu mereka tidak dapat menyaksikan perlakuan ihsan Allah Ta’ala. Mereka sendiri tidak menaruh perhatian terhadap hal itu yang seharusnya mereka lakukan di waktu merenungkan kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala, yang karenanya wajah Muhsin Hakiki harus nampak di hadapan mata mereka. Bahkan pengertian dan ma’rifat Ilahi mereka telah buram dan kabur. Sebabnya adalah, sebagian karena mereka terlalu percaya kepada kemampuan dan kekuatan diri sendiri dan sebagian lagi karena percaya kepada sifat Allah Ta’ala sebagai Khaliq (pencipta) dan Razzaq (pemberi rizki) namun hanya sebagai pengertian belaka. Karena Allah Ta’ala tidak memberi suatu beban pengertian kepada manusia diluar kemampuan pemahaman-nya, oleh sebab itu selama manusia berada di dalam kemampuannya itu, dia menghendaki agar dia mensyukuri hak-hak-Nya dan di dalam ayat : ِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِYakni: Sesungguhnya Allah menyuruh manusia berlaku adil. Adil di sini maksudnya ita’at dan jujur, yakni menaati Allah dengan jujur.”
Karena mereka tidak mampu mengetahui secara sempurna tentang Khaliqiyyat (pencipta) Allah Ta’ala dan Razziqiyyat-Nya (sifat-Nya sebagai pemberi rizki), seandainya mereka menyatakan secara lisan tentangnya, maka sedemikian itu pula Allah Ta’ala berlaku kepadanya sesuai dengan keadaannya dan sesuai dengan kadar kesyukuran mereka. Hal ini karena sesuai dengan tuntutan keadilan-Nya untuk memberi mereka sesuai dengan kadar tersebut dan karena mereka juga menganggap kadar nilai sikap perlakuan-Nya tersebut sudah cukup bagi mereka.
[Kedua], “Tetapi, ada lagi derajat yang lebih agung dari pengetahuan dan ma’rifat Allah Ta’ala yang dimiliki manusia. Yakni, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika pandangan manusia sama sekali sudah bersih dan suci dari sarana barang-barang duniawi maka ia dapat menyaksikan tangan karunia dan ihsan Allah Ta’ala. Dalam kedudukan rohaniah seperti ini manusia keluar dari tabir kegelapan barang-barang duniawi dan perkataan seperti ini, ‘Tanaman saya berhasil dipanen karena saya sendiri telah mengairinya, dan saya telah berhasil karena kekuatan usaha saya sendiri.’ Atau, ‘Karena kebaikan Zaid semua urusan sudah berhasil dan karena perlindungan Bakar saya sudah selamat dari mara bahaya.’ Perkataan-perkataan tersebut nampak batil semuanya. Jika nampak hanya satu Wujud, satu Kekuatan, satu Muhsin dan satu Tangan, barulah manusia dengan pandangan bersih dapat melihat ni’mat Tuhan dengan sangat jelas, tanpa disertai suatu kabut kegelapan. Manifestasi ini begitu jelas dan pasti bahwa manusia tidak menganggap Tuhan Maha Pemurah tidak hadir di waktu ibadah sedang dilakukan kepada-Nya, bahkan yakin sekali bahwa ia menganggap Tuhan hadir di waktu sedang dilakukan ibadah kepada-Nya. Dan ibadah seperti itu di dalam Al-Qur’anul Karim disebut احسان. Dalam Kitab Hadis Shahihain (Dua Shahih, yaitu Bukhari dan Muslim) juga Hadhrat Rasulullah saw telah menjelaskan ibadah seperti itu adalah احسان ihsaan.
[Ketiga], “Setelah meraih derajat ini masih ada lagi derajat lain yang disebut; “إيتاء ذي القربى” Yakni; memberi kepada kaum kerabat (An-Nahl: 91). Tafsirnya adalah: Apabila manusia menghargai ni’mat Allah Ta’ala sampai waktu tertentu, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala tanpa disertai pandangan barang-barang duniawi lain, sambil menganggap-Nya Muhsin Hakiki terus-menerus beribadah kepada-Nya, maka natijah dari padanya timbul kecintaan pribadi terhadap Allah Ta’ala. Sebab akhir dari pada merenungkan kebaikan-kebaikan secara dawam menciptakan perasaan syukur dan lambat laun kalbu-nya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan yang ihsan-Nya tidak terbatas itu menimbulkan kesan kepadanya. Dalam keadaan demikian dia tidak beribadah tanpa perasaan احسان dan kecintaan khas terhadap Tuhan tertanam di dalam kalbunya, seperti seorang kanak-kanak mempunyai kecintaan khas kepada ibunya. Sekarang bukan saja ia melihat Tuhan di waktu beribadah tetapi ia merasakan juga lazatnya beribadah. Dan semua keinginan nafsunya hilang sirna dialih tempat oleh kecintaan khasnya kepada Tuhan. Dan itulah martabah yang Allah Ta’ala sendiri menta’birkan dengan firman-Nya: “إيتاء ذي القربى” memberi kepada kaum kerabat (An Nahal: 91). Dan kepada ayat berikut inilah Allah Ta’ala mengisyarahkan yakni: Yakni: فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا Ingatlah kepada Allah sebagaimana kalian mengingat bapak-bapak kalian, bahkan lebih banyak dari itu (Al Baqarah:201).Pendeknya, seolah-olah ayat tersebut sebagai tafsir dari ayat berikut ini: Yakni: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat (An Nahl: 91) Dan di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala telah menjelaskan ke tiga martabah ilmu dan ma’rifat manusia terhadap Allah Ta’ala. Martabat ketiga disebut cinta pribadi. Martabat inilah yang membakar hangus semua keinginan nafsu pribadi atau sifat mementingkan diri pribadi. Kalbu manusia penuh dengan kecintaan seperti penuhnya sebuah botol kaca dengan minyak wangi. Dan martabah ini mengisyaratkan kepada ayat berikut: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya. (Al Baqarah:208) Kemudian berfirman lagi: بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ Orang-orang yang mendapat keselamatan adalah mereka yang menyerahkan diri mereka kepada Allah dan sambil mengingat ni’mat-ni’amat-Nya mereka beribadah sedemikian rupa seolah-olah mereka sedang melihat-Nya. Dan mereka itulah yang akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka. Dan tak ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al Baqarah:113).
Yakni seruan mereka hanyalah kepada Tuhan, dan kecintaan Tuhan menjadi tujuan keinginan mereka dan ni’mat-ni’mat Tuhan sebagai ganjaran bagi mereka. Kemudian di tempat lain Allah Ta’ala berfirman: يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا Orang-orang mu’min adalah karena cinta kepada Allah memberi makan kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim dan kepada orang-orang tahanan (di penjara). Dan mereka berkata: Dengan memberi makan kepada kamu kami tidak mengharapkan balasan apapun dan tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari kamu dan tidak pula kami mengharapkan sesuatu. Tujuan dari semua pengkhidmatan ini hanyalah demi meraih keridhaan Allah. (Ad Dahr: 9-10). Sekarang perlu direnungkan betapa jelas maksud dari semua ayat tersebut diatas bahwa Al Qur’anul Karim telah menetapkan bahwa ibadah Ilahi yang tinggi martabahnya dan amal saleh, dilakukan dengan hati yang jujur dan tulus demi mengharapkan kecintaan dan ridha Ilahi. Allah Ta’ala memberi nama Agama ini Islam dengan maksud agar manusia beribadah kepada Allah Ta’ala karena semangat keinginan fitrati bukan karena semangat keinginan nafsani. Sebab Islam berarti membuang semua keinginan nafsani dan menyerahkan diri dengan tulus hati kepada keinginan Allah Ta’ala. Selain Islam tidak ada agama lain yang mempunyai maksud dan tujuan seperti itu. Tidak ragu lagi, sebagai tanda karunia-Nya, Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada orang-orang mu’min semua jenis karunia. Akan tetapi, orang-orang mu’min yang memiliki keinginan untuk meraih martabah yang tinggi telah mengajarkan kepada mereka agar beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan pribadi terhadap-Nya.”[6]
Mengenai tanda kecintaan yang sejati, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Mahabbah (kecintaan) adalah suatu hal yang sangat ajaib. Api kecintaan itu membakar api dosa, dan membakar hangus api kedurhakaan. Jika seseorang telah memperoleh kecintaan sejati dan kamil tidak mungkin azab menimpanya.
Salah satu dari tanda kecintaan sejati adalah, sudah tertanam di dalam fitratnya bahwa ia merasa takut sekali putus hubungan dengan kekasihnya. Dan karena kesalahan kecil saja menganggapnya suatu kebinasaan bagi dirinya. Dan melawan kekasihnya dianggap racun baginya. Dan lagi sangat rindu sekali untuk menjumpai kekasihnya, merasa sangat sedih sekali disebabkan berpisah dan jauh dari padanya, seakan-akan jiwanya melayang. Oleh sebab itu tidak hanya menganggap dosa terhadap perkara yang dianggap biasa oleh manusia, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan berzina, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, bahkan terhadap kelalaian yang sangat kecil sekalipun, yang meninggalkan Tuhan kemudian berpaling kepada yang lain dianggap sebuah dosa yang sangat besar sekali. Oleh sebab itu ia memohon ampun dengan melakukan istighfar secara dawam kepada Kekasihnya Yang Abadi. Oleh karena fitratnya tidak ridha menjauh dari Tuhan-nya, maka jika sedikit saja terjadi kelalaian maka ia menganggapnya sebuah dosa besar laksana sebuah gunung. Itulah rahasianya hubungan suci dan kamil, selalu membuat sibuk melakukan istighfar. Sebab sudah menjadi tuntutan kecintaan bahwa seseorang selalu ingat kepada Kekasih Sejati-nya, jangan-jangan Dia marah kepadanya. Dan oleh karena di dalam hatinya penuh dengan rasa dahaga untuk membuat Dia ridha sepenuhnya, karena itu jika Tuhan memberitahunya bahwa Dia ridha kepadanya, maka seperti seorang pemabuk tidak cukup dengan hanya minum satu kali, dia akan minta minum lagi, demikian juga apabila mata air kecintaan Ilahi memancar dari dalam hati manusia, maka secara fitrati ia ingin meraih keridhaan Allah Ta’ala sebanyak-banyaknya.”
Artinya, sekalipun Allah Ta’ala berfirman kepada manusia, “Aku telah ridha kepadamu”, sama sekali membuatnya terdorong untuk puas dan duduk-duduk saja dengan tenang, melainkan pengabaran dari Allah Ta’ala tentang keridhaan-Nya mendorong manusia untuk memperbanyak beristighfar dan membuatnya terus bertekun dalam beribadah.
“Semakin kuat kecintaan bergejolak, maka semakin banyak manusia beristighfar kepada Allah Ta’ala. Pendeknya, disebabkan semakin banyak kecintaan kepada Allah Ta’ala, maka semakin banyak manusia melakukan istighfar. Inilah sebabnya kecintaan secara sempurna kepada Allah Ta’ala membuat setiap denyut nafas manusia penuh dengan istighfar. Dan tanda paling besar bagi orang yang ma’shum (terjaga atau suci dari dosa) ialah selalu sibuk dalam istighfar.
Makna hakiki istighfar adalah berdoa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar terlepas dari setiap keburukan dan kesalahan yang berlaku disebabkan kelemahan manusiawi, dan agar dengan karunia Allah Ta’ala, kelemahan itu jangan sampai nampak ke permukaan, bahkan tetap tersembunyi. Kemudian, arti Istighfar untuk manusia umumnya diperluas lagi, dan masalah ini juga termasuk di dalam istighfar; orang yang telah terlanjur berbuat keburukan dan kesalahan, Allah Ta’ala melindungi akibat buruk dan pengaruh racun kejahatannya di dunia ini dan akhirat juga. Maka, sumber hakikat najat (keselamatan) adalah kecintaan pribadi terhadap Allah Ta’ala. Yang, sebaliknya menarik kecintaan Allah Ta’ala melalui perangai lemah lembut manusia, penyerahan diri dan istighfar secara dawam. Dan apabila kecintaan manusia telah sampai ke puncak martabah yang sempurna dan api kecintaan membakar nafsu insaniatnya, maka api kecintaan Tuhan itu, yang Dia lakukan terhadap hamba-Nya, akan jatuh masuk kedalam kalbunya dan akan membersihkan semua karat dan noda kotor yang terdapat di dalam kalbu-nya. Dan Kesucian Tuhan, Yang Hayyu Qayyum masuk kedalam jiwanya, bahkan ia memperoleh bagian bayangan dari semua Sifat-sifat Ilahiyah, maka barulah dia menjadi penampakan dari Tajali Ilahiyah. Dan semua yang tersembunyi di balik Khazana Tuhan yang kekal akan dibukakan kepada dunia melalui dia. Sebab, Tuhan Yang telah menciptakan dunia ini tidak kikir, bahkan berkat-berkat-Nya kekal abadi. Dan nama serta sifat-sifat-Nya tidak akan terkendala.”[7]
Menjelaskan tentang menjauhkan diri dari dosa-dosa dan bagaimana penumbuhan amal saleh mustahil dilakukan tanpa ditumbuhkannya kecintaan kepada Allah, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Hakikatnya, dosa adalah sebuah racun yang lahir ketika manusia tidak menaati Allah Ta’ala dan tidak mencintai-Nya dengan sesungguhnya dan tidak mengingat-Nya dengan penuh kecintaan. Sebagaimana sebatang pohon yang sudah tumbang di atas tanah dan akar-akarnya tidak bisa lagi menghisap air maka dari hari ke hari pohon itu semakin kering dan hancurlah semua kesuburannya. Seperti itulah juga keadaan manusia yang hatinya sudah jauh dari kecintaan Allah Ta’ala. Maka dosa-pun membinasakan manusia seperti kekeringan mematikan sebatang pohon.
Untuk mengobati kekeringan itu undang-undang Ilahi telah menetapkan tiga cara. Pertama, mahabbat (cinta), kedua, istighfar, artinya keinginan menekan dan menutupi dosa jangan sampai nampak. Sebab Selama akar sebatang pohon tetap tertanam di dalam tanah, selama itu pula ia mempunyai harapan untuk menghijau; dan ketiga, taubah. Yakni menghisap air kehidupan, meraih qurub kepada Tuhan sambil merendahkan diri dan menjalin ingatan terhadap-Nya dan membebaskan diri dari kegelapan dosa melalui amal-amal saleh.”
Yakni untuk menyingkirkan tabir yang menutupi dosa diperlukan amal-amal saleh. Amal saleh untuk menyingkirkan tabir dosa itu, seperti pernah dijelaskan di dalam Khotbah-khotbah lalu, diperlukan kekuatan tekad, terciptanya ilmu dan kekuatan amal. Jika mendapat taufiq untuk melakukan amal saleh maka manusia terlepas dari pada dosa.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Hendaklah jelas, bahwa taubat hanya di mulut saja tidak cukup. Taubat yang sempurna harus disertai amal saleh yang dapat membawa manusia dekat kepada Tuhan. Semua amal kebaikan fungsinya untuk menyempurnakan taubat karena tujuan dari taubat itu manusia bisa dekat kepada Allah Ta’ala. Do’a juga adalah taubat. Sebab dengan do’a, manusia meraih qurb kepada Allah Ta’ala. Itulah sebabnya ketika Allah Ta’ala menciptakan jiwa manusia diberinya nama روح Ruh, sebab kegembiraan dan kesenangannya [bahasa Arabnya راح raaha] yang hakiki terletak pada pengakuan terhadap Allah Ta’ala, kecintaan dan ketaaatan kepada-Nya. Dia juga telah menyebutnya نفس Nafs (jiwa) sebab ia menciptakan persatuan dengan Allah Ta’ala.”
Dikatakan Ruh, sebab ia memperoleh kesenangan. Dikatakan Nafs sebab ia mempunyai sifat persatuan. Demikianlah point-point yang telah beliau a.s. jelaskan.
“Orang yang mencintai Tuhan adalah seperti sebatang pohon yang tumbuh dengan akar kuat di dalam taman. Itulah puncak kebahagiaan manusia. Laksana sebuah pohon yang menghisap dan menyerap air dari dalam bumi dan melaluinya membuang keluar benda-benda yang membahayakan. Demikianlah pula hati manusia dengan menghisap air kecintaan Ilahi, memperoleh kekuatan untuk mengeluarkan semua benda-benda beracun atau dosa. Dan dengan sangat mudah sekali mengelurkan benda-benda itu. Dengan membenamkan diri dalam kecintaan Allah Ta’ala akan memperoleh pertumbuhan ruhani yang suci. Tumbuh dengan subur dan luas, nampak segar menghijau dan mendatangkan buah yang sangat baik. Akan tetapi orang yang tidak mempunyai akar hubungan dengan Allah Ta’ala, ia tidak dapat menghisap air yang mengayomi pertumbuhan. Ia menjadi kering bersamaan dengan berlalunya waktu, akhirnya daun-daunnya juga berjatuhan dan yang tinggal hanya dahan-dahan yang kering-kerontang. Karena kekeringan dosa timbul akibat dari tiadanya hubungan, maka obat yang ampuh untuk mencegah kekeringan itu tiada lain adalah menciptakan hubungan yang erat dan kuat.”
Ciptakanlah hubungan yang kuat dan erat dengan Allah Ta’ala. Jika tidak, manusia akan menjadi seperti pohon kering, maka kehidupan ruhaninya akan hilang total. Sebagaimana peraturan alam menjadi saksi, kearah itulah Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي
”Hai jiwa yang mendapat ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada Tuhan engkau, Yang ridha kepada engkau dan engkau ridha kepada-Nya. Maka masuklah engkau kedalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah kedalam Surga-Ku.” (Al Fajr : 28-31).
Pendeknya, pengobatan untuk menjauhkan dosa hanyalah kecintaan dan isyq (keasyikan) terhadap Allah Ta’ala. Oleh sebab itu semua amal saleh natijah dari kecintaan, dapat memadamkan api dosa. Sebab manusia yang berbuat baik karena Allah, maka Dia memberi kesaksian terhadap cinta kepada-Nya. Percaya kepada Allah seperti itu, mendahulukan-Nya atas segala sesuatu sampai atas jiwanya juga, maka itulah martabah pertama kecintaan, seperti sebatang pohon yang ditanam diatas tanah. Martabah kedua, istighfar yang artinya, jika memisahkan diri dari Allah Ta’ala, takut jangan-jangan tersingkap pardah wujud kemanusiaannya yang lemah. Dan martabah ini serupa dengan keadaan pohon yang telah tumbuh akarnya dengan kuat di dalam tanah. Dan martabah ketiga : taubah yang keadaannya serupa dengan pohon yang akar-akarnya dekat dengan air, menghisapnya seperti seorang anak. Pendeknya filosofi dosa ialah, berpisah dengan Allah Ta’ala. Oleh sebab itu untuk menjauhkannya, sangat berkaitan dengan menjalin hubungan erat dengan Allah Ta’ala. Maka alangkah bodoh manusia yang menganggap bunuh diri adalah pengobatan untuk dosa mereka.”[8]
Mengenai sarana untuk meraih qurb Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Al-Qur’anul Karim menampilkan ajaran ini dan dengan mengamalkannya di dunia ini juga manusia dapat bertemu dengan Allah Ta’ala. Firman-Nya, فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا: (AlKahf:111) Yakni: Barangsiapa yang ingin bertemu di dunia ini juga dengan Tuhan-nya, Tuhan Pencinta hakiki, hendaklah ia beramal saleh. Amal salehnya harus bersih dari penipuan, kesombongan, kebanggaan dan dari takabbur, dan harus bersih dari pada noda, dari kelemahan dan jangan bertentangan dengan kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala serta harus penuh dengan ketaatan dan ketaqwaan kepada-Nya. Janganlah ia menyekutukan Tuhan-nya dengan siapapun, jangan menyekutukan-Nya dengan matahari, dengan bulan atau bintang di langit, dan jangan pula dengan angin, dengan api, dengan air atau dengan benda apapun yang terdapat di atas bumi. Dan jangan pula dia menaruh tumpuan sepenuhnya kepada barang-barang dunia apapun seolah-olah ia adalah Tuhan. Dan jangan terlalu banyak bertumpu kepada kekuatan diri pribadi, sebab hal itu juga salah satu bagian dari syirik. Jangan merasa sombong dengan ilmu yang dimiliki, jangan pula merasa bangga karena telah melakukan suatu pekerjaan dengan baik, melainkan anggaplah diri sendiri bodoh dan dungu. Ruhnya harus selalu tunduk di hadapan singgasana Tuhan Maha Kuasa, dan mohonlah selalu karunia-Nya melalui do’a-do’a. Dan jadilah seperti manusia dahaga yang mendapatkan sumber mata air bersih dan sejuk kemudian meminumnya sehingga ia tidak mau beranjak dari tempat itu sebelum ia merasa kenyang.”[9]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan standar keluhuran kecintaan Ilahi yang beliau as harapkan dari diri kita untuk meraihnya: ”Carilah kecintaan yang sungguh-sungguh seperti seorang pecinta yang sejati dan setia, yang berbaring di atas tempat tidurnya mengenang kekasih sambil menahan lapar dan dahaga dan tidak ingat makan dan minum serta tidak menghiraukan keadaan dirinya. Maka kalian juga harus tergila-gila seperti itu dalam mencintai Allah Ta’ala. Seakan-akan wujud kalian sudah hilang ditelan ingatan dengan asyik kepada-Nya. Maka alangkah baik nasibnya (alangkah beruntungnya) jika manusia mati dalam keadaan demikian. Kita berkepentingan dengan kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala, bukan dengan kasyaf atau dengan ilham.”
Ada yang hendak saya (Hudhur V atba) sampaikan di sini, bahwa sebagian orang mengeluhkan dirinya yang tiada mendapat kemuliaan berupa ilham dan kasyaf dari Allah Ta’ala, padahal Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan bahwa kecintaan secara pribadi kepada Allah Ta’ala adalah hal yang asasi, bukan berapa banyak kasyaf yang dilihatnya atau ilham yang turun kepadanya.
“Perhatikanlah peminum arak yang sedang menikmati minuman kerasnya. Seorang peminum demikian menikmati minum arak satu demi satu dari gelas araknya. Seperti itulah kalian juga, minumlah sebanyak-banyaknya cawan kecintaan pribadi Zat Allah Ta’ala. Sebagaimana peminum tidak pernah merasa kenyang, jadilah kalian juga orang seperti itu yang tidak pernah merasa kenyang dalam mencintai Allah Ta’ala. Manusia jangan mundur sebelum merasakan bahwa kecintaannya telah sampai kepuncak martabah yang demikian tinggi hingga ia patut disebut asyiq atau pencinta sejati. Harus melangkah maju terus ke depan dan jangan melepaskan cawan dari bibir-mu, jadikanlah diri-mu gelisah dan selalu rindu kepada-Nya. Jika kalian belum sampai ke puncak martabah ini, maka wujud kalian tidak ada gunanya. Kecintaan kepada Tuhan harus demikian tingginya sehingga sebagai tandingannya tidak perlu menaruh perhatian kepada suatu benda lain. Jangan tunduk kepada suatu godaan dan jangan merasa takut kepada sesuatu yang dianggap menakutkan.”[10]
Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Apabila manusia sudah betul-betul ridha secara sempurna dengan Allah Ta’ala dan tidak mempunyai suatu keluhan apapun terhadap dirinya, pada waktu itu-lah timbul kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala. Selama belum timbul kecintaan pribadi kepada Allah Ta’ala, iman dalam keadaan bahaya. Tetapi, apabila kecintaan pribadi telah timbul maka manusia aman dari serangan-serangan Syaitan. Dzaati mahabbat (kecintaan pribadi) itu harus dihasilkan melalui do’a. Selama kecintaan pribadi ini belum timbul maka manusia berada dibawah pengaruh Nafsu Ammarah (jiwa yang selalu mengajak kepada kejahatan) dan manusia dikuasai oleh cengkeraman tangannya. Orang-orang yang berada di bawah cengkeraman Nafsu Ammarah itu, mereka berkata (Punjabi), ‘Ei jahan mitha, agla din ditha.’ – ‘Dunia ini manis rasanya, dunia berikutnya belum pasti apakah kita akan melihatnya atau tidak!’
Orang-orang ini dalam keadaan sangat berbahaya. Sedangkan orang-orang yang berada di bawah pengaruh Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesal) pada satu waktu mereka menjadi wali (sahabat) Allah Ta’ala dan di waktu lain mereka menjadi Syaitan. Keadaannya berubah-ubah, kadang ada di atas kadang ada di bawah. Keadaan-nya tidak tetap satu macam. Sebab peperangannya mulai dengan melawan Nafsu. Kadang-kadang menang kadang-kadang kalah. Namun, orang-orang ini masih berada di tempat yang baik sebab mereka melakukan kebaikan dan di dalam hati mereka tertanam perasaan takut kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan orang-orang yang berada di bawah Nafs Muthma’innah adalah orang-orang yang sudah memperoleh kemenangan dan bebas dari semua bahaya dan perasaan takut akhirnya sampai ke tempat yang aman. Mereka tinggal di Darul Aman (tempat yang aman). Setan tidak bisa sampai kesana.”[11]
Mengenai ketinggian ’isyq seorang mu’min terhadap Tuhannya (terbenam dalam kecintaan kepada Allah), Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Sifat seorang Mu’min adalah seperti sifat seorang pencinta sejati dan dia benar di dalam kecintaan sejatinya. Dan dia sangat tulus dan kamil ikhlas serta kecintaannya yang bergelora siap mengurbankan jiwanya karena Allah Ta’ala. Dia berdiri di hadapan singgasana Tuhan sambil merendahkan diri dan dengan sikap sangat lemah lembut. Tidak ada kelezatan dunia yang lezat baginya. Ruhnya berlindung di bawah naungan kecintaan sejati Allah Ta’ala. Dia tidak kehilangan semangat atau mundur sekalipun jika Kekasihnya diam tidak ada perhatian kepadanya. Bahkan ia terus maju tanpa ragu dan kecintaan di dalam hatinya terus-menerus ditingkatkan. Penting sekali manusia memiliki kedua aspek ini. Yakni mu’min sejati terus tenggelam dalam kecintaan yang sempurna terhadap Allah Ta’ala dan kecintaannya itu hingga mencapai puncak martabah yang setinggi-tingginya. Kecintaan sejatinya itu demikian sempurna sehingga tidak dapat digoyahkan, apabila suatu waktu tidak ada jawaban atau tidak ada perhatian dari Tuhan yang dia cintai.
Harus selalu ada dua macam gejolak perasaan. Pertama gejolak perasaan cinta kepada Allah Ta’ala. Kedua, gejolak perasaan perih di dalam hati melihat orang lain terkena musibah, timbul rasa simpati dan belas kasih terhadapnya dan merasa gelisah ingin menolongnya. Keikhlasan dan keperihan hati itu demi kecintaan Allah Ta’ala yang disertai dengan ketetapan hati, membawa manusia kebawah naungan Ilahi. Manusia dalam keadaan bahaya selama kecintaannya kepada Tuhan belum mencapai puncak martabat yang bebas dari pengaruh kecintaan terhadap benda atau makhluk selain Allah. Sulit sekali bagi manusia untuk mengatasi bahaya itu tanpa memutuskan semua hubungan dengan benda dunia atau makhluk selain Allah kemudian menjadi milik-Nya. Dan tidak mungkin bisa masuk kawasan keridhaan-Nya juga. Dan miliki-lah perasaan cinta terhadap sesama makhluk seperti seorang ibu yang penyayang, hatinya sangat bergelora dalam mencintai seorang anak tunggal kesayangannya.[12]
Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Hubungan yang kuat dan kecintaan yang murni dengan Allah Ta’ala akan terjalin erat apabila manusia mempunyai ma’rifat akan Dzat-Nya. Manusia di dunia banyak yang sudah rusak penuh dengan keraguan. Banyak sekali orang yang secara terbuka menjadi ‘atheists’ (tidak bertuhan) sedangkan yang lainnya sekalipun bukan atheist namun keadaan mereka sudah cemar menyerupai atheist. Karena itulah mereka sudah malas beragama. Solusi untuk mengobati mereka adalah, mereka harus banyak-banyak berdo’a kepada Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa supaya ilmu atau ma’rifat tentang Allah Ta’ala semakin bertambah. Mereka harus bergaul dengan orang-orang benar supaya mereka dapat selalu menyaksikan kudrat Allah Ta’ala berupa Tanda-tanda yang baru dan segar. Dia akan menambah ilmu dan ma’rifat dengan cara dan jalan bagaimana sesuai dengan kehendak-Nya, dan Dia akan meningkatkan ilmu ruhani serta kesejukan kalbu mereka. Sungguh benar sekali bahwa semakin kuat iman terhadap Zat Allah Ta’ala dan keagungan-Nya, semakin kuat pula rasa takut dan cinta kepada-Nya. Jika tidak, manusia menjadi sangat berani melakukan dosa pada waktu kelalaian merajalela. Kecintaan kepada Allah Ta’ala, rasa takut kepada keagungan dan kegagahan-Nya adalah dua perasaan yang dapat membakar dosa. Merupakan suatu ketentuan alami, bahwa manusia menjauhkan diri dari benda-benda yang ia takuti. Misalnya manusia tahu api sifatnya membakar. Dia tidak akan meletakkan tangannya kedalam api itu. Misalnya lagi, manusia tahu di satu tempat ada seekor ular berbisa. Maka dia tidak akan lewat ketempat itu. Begitu juga jika dia tahu bahwa racun dosa akan membinasakannya, dan takut kepada keagungan Allah Ta’ala dan jika dia yakin Tuhan tidak menyukai dosa dan menjatuhkan hukuman keras terhadap dosa, maka ia tidak akan berani berbuat dosa. Ia akan berjalan di dunia seperti orang yang sudah mati. Ruhnya sudah tinggal bersama Tuhan di setiap waktunya.”[13]
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda lagi: ”Apabila manusia telah menjatuhkan diri kedalam api kecintaan Allah Ta’ala dan menghanguskan dirinya sendiri, maka itulah kematian karena cinta yang memberi kehidupan baru kepadanya. Tidakkah kalian mengerti bahwa kecintaan adalah sebuah nyala api dan dosa juga adalah seperti nyala api. Maka api yang merupakan api kecintaan Ilahi, ia menghanguskan api dosa. Itulah akar dari pada najat (keselamatan).[14]
Selanjutnya beliau a.s. menulis: ”Allah Ta’ala menyelamatkan orang muttaqi yang kamil dari musibah, bukan dengan cara biasa tetapi dengan pertolongan mu’jizat. Setiap penipu dan pemberontak menyatakan diri sebagai orang muttaqi. Namun orang muttaqi adalah yang dapat dibuktikan melalui Tanda Ilahi. Setiap orang boleh bicara, ‘Saya mencintai Allah Ta’ala.’ Akan tetapi orang mencintai Allah Ta’ala adalah yang kecintaannya dapat dibuktikan dengan Tanda Samawi. Setiap orang berkata, ‘Agama saya adalah benar.’ Tetapi, agama yang benar adalah agama yang menerima nur dari Allah Ta’ala di dunia ini juga, dan setiap orang berkata, ‘Saya akan mendapat najat (keselamatan),’ Tetapi, yang benar perkataannya mengenai hal itu adalah dia yang melihat nur keselamatan di dunia ini juga. Maka, berusahalah kalian untuk menjadi orang yang dikasihi Tuhan, agar kalian diselamatkan dari setiap musibah.”[15]
Kemudian, saya ingin sampaikan di hadapan saudara-saudara bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberi nasehat kepada kita supaya timbul kecintaan dalam hati kita kepada Allah Ta’ala: “Surga kita adalah Tuhan kita. Pada Zat-Nya terletak segala kelezatan yang selezat-lezatnya; sebab, kami melihatnya dan segala keindah-permaian terdapat pada Wujud-Nya. Harta ini patut dimiliki walaupun harus dengan mempertaruhkan jiwa dahulu. Ratna mutu manikam ini patut dibeli sekalipun harus meniadakan segala wujud kita. Wahai, orang-orang yang mahrum! Bergegaslah lari menuju sumber mata air ini agar dilepaskan-Nya dahagamu. Inilah sumber mata air kehidupan yang bakal menyelamatkan kamu. Apakah gerangan yang harus kuperbuat dan bagaimanakah harus kusampaikan berita ini kepada setiap kalbu manusia? Dengan genderang bagaimana coraknya harus kucanangkan di lorong-lorong supaya orang-orang dapat mendengar bahwa Tuhan itu ada? Dengan obat apakah harus kusembuhkan telinga-telinga orang supaya terbuka untuk mendengarnya?
Jika kamu benar-benar kepunyaan Tuhan maka yakinlah bahwa Tuhan itu kepunyaan-mu. Dikala kamu sedang tidur Dia akan berjaga-jaga tengah kamu lengah dari musuhmu Dia akan mengamat-amati musuhmu dan mematahkan siasat rencananya. Kamu sampai sekarang tidak mengetahui kodrat-kodrat apakah yang Tuhan-mu miliki. Sekiranya kamu mengetahui, tentulah tidak ada hari akan tiba kepadamu sa’at kamu bersedih hati memikirkan urusan-urusan keduniaan. Seorang yang memiliki sejumlah kekayaan, maukah dia menangis dan meratap-ratap hanya karena uangnya satu sen telah hilang? Kalau kamu memaklumi bahwa Tuhan akan mencukupi setiap keinginan mengapakah kamu demikian tenggelamnya dalam urusan duniawi?
Tuhan adalah satu khazanah kesayangan maka hargailah Dia, sebab Dia Penolong-mu dalam setiap gerak tindak-mu. Tanpa Dia kamu tidak berarti sedikitpun; begitupun segala upaya dan rencanamu tiada artinya. Janganlah kamu mengekor kepada kebiasaan kaum lain yang menggantungkan upaya sepenuh-penuhnya kepada sarana-sarana duniawi. Sebagaimana seekor ular memakan tanah, mereka bergantung pada upaya madiah atau sarana duniawi yang rendah sifatnya. Bagai seekor burung elang dan anjing memakan bangkai, mereka membenamkan rahang mereka kedalam bangkai yang busuk. Mereka jauh melantur dari Tuhan, menyembah manusia-manusia, memakan daging babi, dan meminum minuman keras laksana minum air. Karena mereka terlampau mengandalkan pada sarana-sarana materi dan tidak meminta kekuatan dari Tuhan, ruhani mereka jadi mati; dan jiwa ruhaniyat telah lepas dari mereka laksana seekor burung dara terbang meninggalkan sarangnya. Hatinya ditulari oleh kusta, penyakit memuja-muja urusan duniawi yang telah menggerogoti anggota-anggota tubuh bathiniah mereka. Oleh karena itu, takutilah penyakit semacam itu.”[16]
Hadhrat Masih Ma’ud a.s. bersabda lagi: ”Kalian harus berusaha keras untuk mengenal Tuhan, Yang ditangan-Nya terletak keselamatan hakiki dan karena dengan berjumpa dengan-Nya kebebasan diraih. Tuhan itu nampak kepada orang yang mencari-Nya dengan hati yang tulus dan penuh kecintaan dan menzahirkan diri-Nya kepada orang yang telah menjadi milik-Nya. Hati yang suci bersih adalah tempat Dia bersemayam. Dan lidah yang suci dari dusta dan caci-maki adalah tempat wahyu-Nya turun. Dan setiap orang yang terbenam di dalam kecintaan-Nya dia menjadi tempat manifestasi kekuatan mu’jizat-Nya.”[17]
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita untuk meraih semua standar yang dikehendaki oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dari kita. Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada kita semua, dengan ikhlas menjadi orang-orang tunduk kepada-Nya dan menjadi para pencinta-Nya yang sejati. Dan dapat meraih kecintaan-Nya sehingga kita diizinkan memasuki Taman keridhaan-Nya. [Amin] Alihbahasa Hasan Basri
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Nur ul Haq, Part II, p. 430, Ruhani Khaza’in Vol. 9
[3] Nur ul Haq,bag II Hal. 431, Ruhani Khaza’in Jld. 9
[4] Nurul Qur’aan, Ruhani Khazain jilid 9, halaman 430.
[5] Chasyma-e-Masih
[6] Nur ul Qur’aan, Part II, pp. 436- 441, Ruhani Khaza’in Vol. 9
[7] Chashma e Masihi, Fountain of Christianity, pp. 57-59
[8] Four Questions By A Christian And Their Answers’, pp. 2-5
[9] (Lecture Lahore, p10-11)
[10] Malfuzat, Vol. 3, p. 134
[11] (Malfuzat, Vol. 3, p. 508, new edition)
[12] (Malfuzat,Jld.4/32)
[13] (Malfuzat, Vol. 4, p. 404)
[14] Qadian kay Ariya Aur Hum, p. 448, Ruhani Khaza’in Vol. 20
[15] Kishti Nuh, p. 82, Ruhani Khaza’in, Vol. 19
[16] Kisyti Nuh (Bahtera Nuh)
[17] Kashful Ghita, hal.188, Ruhani Khaza’in, Jld 14