Berlomba-lomba dalam Kebaikan

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad,

Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz)

Jumat, 27 Oktober 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.

Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa mempedomani ayat فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ  “berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan-kebaikan” (Surah al-Baqarah, 2:149) dan mengkategorikan mereka yang berusaha dalam kebaikan-kebaikan sebagai sebaik-baik makhluk Allah dan berfirman, إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh ialah sebaik-baik makhluk.” (Surah al-Bayyinah, 98:8)

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan ayat ini secara lugas dan terang bahwa manusia harus menunaikan kewajibannya dan maju dalam amal-amal saleh.

Dengan demikian, kemajuan dalam hal amal-amal saleh dan usaha-usaha kebaikan menjadikan seorang Muslim sebagai seorang beriman yang hakiki. Maka dari itu, kita harus berusaha selalu guna mencapai tujuan ini. Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan hal tersebut sesuai dengan al-Quran dan Hadits dengan sangat terperinci sebagai pedoman kita.

Misalnya, beliau as menguraikan apa itu kebajikan (kebaikan)? Bagaimana cara meraih kebajikan sejati? Mengapa dalam pengupayaan kebaikan hakiki suatu keharusan bagi seseorang untuk percaya kepada Tuhan? Apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keimanan seseorang? Bagaimana cara meningkatkan derajat keimanan? Apa sarana untuk melakukan amal saleh? Apa saja macam-macam aspek kebajikan tersebut dan apa jenis-jenisnya? Bagaimanakah Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang beramal saleh? Beliau as pun menguraikan bahwa pengupayaan amal-amal yang dibolehkan dalam batas I’tidaal (kewajaran, keseimbangan) merupakan kebaikan.

Ringkasnya, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan apa itu falsafah kebajikan dan ruhnya (sifat-sifat) yang hakiki dari berbagai segi keistimewaan. Hari ini saya akan menyampaikan beberapa kutipan dari sabda-sabda beliau as. Beliau as menjelaskan apa itu falsafah kebajikan dan apakah sebuah perbuatan baik yang tampaknya kecil bisa membuat seseorang layak mendapatkan karunia Allah Ta’ala, “Kebajikan merupakan tangga untuk menuju Islam dan Tuhan.” (Artinya, kebaikan merupakan wasilah yang lebih utama bagi yang ingin mengetahui hakikat Islam dan memperoleh ridha Allah dan mendekati-Nya.) Namun, wajib diketahui apa itu neiki (hasanah, kebaikan)? Setan menyesatkan manusia dalam segala hal (membuntutinya di tiap pemberhentian) dan menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

Sebagai contoh, terkadang di rumah seorang kaya dimasak makanan yang melebihi batas keperluan. Makanan tersebut ada yang lebih (tersisa) dan orang kaya tadi tidak memakan makanan sisa itu di hari selanjutnya. Lalu terjadi bahwa dihidangkan makanan segar dan lezat menggiurkan di hadapannya. Sebelum menyantapnya, terdengar suara ketukan pintu yang setelah dibuka oleh pembantunya ternyata itu pengemis yang meminta sekerat roti. Lalu, orang kaya itu menyuruh seseorang agar memberikan makanan yang kemarin padahal ia memiliki makanan yang segar (yang utuh) di hadapanya. Apakah hal ini tergolong kebaikan?

Sering terjadi bahwa orang-orang kaya tidak memakan makanan sisa dan pasti akan membuang dan melemparkannya. Allah Ta’ala berfirman, وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا  ‘Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.’ (Surah ad-Dahr/Al-Insan, 9) Namun, perlu diketahui bahwa sesuatu disebut makanan ialah yang makanan yang benar-benar disukai atau makanan yang lezat dan diinginkan bukan yang telah basi dan buruk. (Dalam bahasa Arab, makanan yang telah lama tidak disebut tha’am atau makanan) Ringkasnya, bila seseorang memberikan makanan yang berada di piring di depannya kepada peminta-minta yang mana makanan tersebut ialah segar dan lezat serta diinginkannya, barulah itu disebut berbuat kebaikan.”

Jika makanannya segar dan enak di tangan Anda dan Anda belum mulai memakannya lalu datang kepada Anda seorang miskin dan meminta makanan, jika Anda memberinya makanan segar ini, ini suatu kebaikan. Bukan termasuk kebaikan untuk memakan makanan enak dan lezat lalu Anda mengatakan kepada orang-orang di rumah Anda bahwa mereka seharusnya memberi pengemis itu makanan yang buruk. Jika seseorang memperdalam setiap masalah dengan cara ini maka barulah dia bisa meraih kebaikan hakiki. Untuk meraih sebuah amal kebajikan hakiki dituntut dari kita adanya usaha keras dan refleksi. Bagaimana cara kita dapat meraihnya?

Perlu diketahui bahwa kebajikan sejati tidak dapat diperoleh tanpa adanya keimanan yang seutuhnya kepada Allah Ta’ala. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda mengenai hal ini di suatu tempat: “Kebajikan sejati diperoleh ketika seseorang membangun keimanan dengan Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Para pemerintah duniawi tidak mengamati apa yang dilakukan setiap warganya di rumah-rumah mereka sehingga tidak tahu apa yang mereka lakukan saat tersembunyi. Sebab, tidak mungkin mereka tahu apa yang ada di hati manusia. Namun, Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Para pengurus di tiap ruang lingkupnya yang resmi dan para pemerintahan tidak mengetahui apa yang tersembunyi di hati manusia. Namun, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Seseorang wajib meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan Dia mengetahui yang tak tampak.)

Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan: “Seseorang mungkin mengakui kebaikan di lidahnya, tapi dia tidak takut hukuman Tuhan untuk apa yang ada di dalam hatinya. Tidak ada pemerintahan duniawi yang sedemikian rupa ditakuti sampai begitu dominannya hingga ke tingkat orang-orang [merasa ketakutan] di siang hari, malam hari, ketika berada dalam kegelapan dan di siang bolong; ketika dalam privasi dan di publik; dalam penghancuran dan pembangunan; di rumah dan di pasar.”

Terkadang seseorang melakukan pekerjaan tersembunyi dari mata orang-orang di tempat yang terpencil, dan dalam situasi yang berbeda, dan dia tahu tidak ada yang melihatnya, maka dia tidak takut. Dan karena dia tidak takut, dia akan melakukan tindakan yang mengerikan, tapi Tuhan tahu segalanya. Jika Anda ingin memiliki kebaikan yang sebenarnya, Anda harus percaya kepada Tuhan dengan iman yang benar.

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan lebih lanjut: “Reformasi moralitas menuntut seseorang mempunyai iman kepada Dzat Yang senantiasa memonitor tindakannya di setiap waktu dan dalam setiap situasi serta Dia tahu apa perbuatan yang tengah ia lakukan, tindakan dan rahasia yang ada di hatinya.” (Dzat ini adalah Tuhan sendiri. Jika iman begitu mencapai tingkatan ini dan seseorang ingat Tuhan di tiap waktu dan tempat maka dengan begitu sajalah ia bisa mendapatkan kebaikan yang sesungguhnya)

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan apa itu kebaikan hakiki, “Taqwa berarti menahan diri dari keburukan bahkan hingga ke aspek terkecilnya sekalipun. Namun, ketahuilah, bukanlah makna ketakwaan untuk mengatakan, ‘Saya orang bertakwa. Sebab, saya menahan diri dari keburukan atau kejahatan. Saya tidak pernah mengambil harta orang lain. Saya tidak pernah merampok di rumah orang lain. Saya tidak pernah mencuri. Saya tidak pernah berpandangan birahi. Saya tidak pernah berzina.’

Jenis kebaikan seperti ini akan menjadi bahan tertawaan orang-orang arif (yang berpemahaman mendalam). Sebab, jika keburukan dan kejahatan seperti itu dilakukan, yaitu mencuri, merampok dan lain-lain; tentu seseorang akan mendapatkan hukuman [dari pengadilan atau masyarakat]. Kebaikan seperti ini dalam pandangan orang-orang arif tidak diberi penghargaan istimewa melainkan kebaikan hakiki ialah seseorang mempersembahkan kegembiraan dan memperlihatkan kebenaran dan kesetiaan sempurna di jalan Allah; dan ia siap sedia memberikan pengorbanan jiwa di jalan-Nya. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan berbuat kebaikan.’ Ini artinya, Dia bersama orang-orang yang menjauhi keburukan dan melaksanakan kebaikan juga.’”

Selanjutnya, beliau as bersabda, “Ingatlah baik-baik! Hanya menjauhi keburukan-keburukan bukanlah perkara yang patut dipuji selama ia tidak menyertainya dengan kebaikan-kebaikan.

Terdapat banyak orang yang tidak pernah berzina, tidak pernah menumpahkan darah orang lain, tidak pernah mencuri dan tidak pernah merampok namun mereka tidak menampakkan teladan kebenaran dan kesetiaan di jalan Allah dan tidak mengkhidmati sesama manusia.” (Artinya, ia tidak berusaha berbuat kebaikan demi meraih ridha Allah dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya dan tidak pernah mempersembahkan pengorbanan di jalan-Nya meskipun mereka selalu menjauhi keburukan-keburukan yang banyak. Jika seseorang tidak pernah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak para hamba-Nya serta tidak pernah mengkhidmati sesama manusia maka itu bukan kebaikan yang patut dipuji.)

“Termasuk orang yang tuna ilmu bila ia menyajikan contoh hal-hal tersebut dan menganggap para pelakunya sebagai golongan orang-orang saleh sebab hal-hal ini serupa dengan jalan-jalan yang tidak baik dan tidak menyebabkan para pelakunya sebagai golongan Wali Allah.”

Hadhrat Masih Mau’ud lebih lanjut bersabda: “Bukan untuk bersukacita dengan bangga bahwa seseorang tidak pernah melakukan perzinaan atau tidak menumpahkan darah atau tidak mencuri. Apakah suatu keutamaan bila seseorang membanggakan diri dengan menghindari melakukan kejahatan- kejahatan? Karena dia tahu jika dia merampok, dia akan dipotong tangannya atau dimasukkannya ke dalam penjara sesuai hukum yang berlaku.” (Menghindari tindakan pencurian bukanlah keutamaan yang perlu dibanggakan, apalagi menghindari karena takut hukum.)

Dalam pandangan Allah Ta’ala, Islam bukanlah artinya seseorang menjauhkan diri dari keburukan saja. Sebab, seseorang tidak akan dapat hidup di alam keruhanian selama orang tersebut tidak meninggalkan keburukan-keburukan dan sekaligus melakukan kebaikan-kebaikan. Kebajikan-kebajikan itu laksana makanan. Sama halnya seseorang tidak akan bisa hidup tanpa makanan, demikian pula ia tidak akan bisa hidup tanpa melakukan kebajikan.”

Keadaan tersebut hanya bisa diperoleh dengan meningkatkan derajat keimanan. Namun, seseorang akan tidak mungkin meraih tingkat tinggi keimanan selama keadaan lahiriah dan batiniahnya belum satu (sama). Ia tidak boleh merasa cukup dengan keimanan secara lahiriah saja. Bahkan, sebagaimana seseorang tegas yakin bahwa racun ialah benda berbahaya yang menjadi mungkin mati bila menelannya; sama halnya ketika seseorang yakin jika ia meletakan tangannya ke dalam lubang ular, maka ular tersebut akan menggigitnya, begitupun seseorang harus yakin dengan Allah Ta’ala bahwa jika ia melakukan keburukan, maka Allah akan senantiasa melihatnya dan akan menghukumnya. Adapun kebaikan-kebaikan, Allah pun berfirman bahwa Dia akan memberi pahala bagi manusia  yang mengerjakannya. Setiap amal perbuatannya menegaskan dalil akan eksistensi Allah. Ia senantiasa menyadari kenyataan bahwa Tuhan memperhatikan setiap perbuatannya.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Sesungguhnya orang yang saleh adalah ia yang keadaan lahiriah dan batiniahnya sama saja (ia tampakkan apa yang ada di hatinya) Ia berjalan di muka bumi seperti seorang malaikat.” (keadaan jiwa dan lahiriahnya satu dan mencapai martabat kesalehan yang membuatnya seolah-olah ialah malaikat.)

Seorang mulhid (tidak beragama) bukan seseorang yang berada di bawah pemerintahan yang memungkinkannya melakukan akhlak-akhlak baik.” (Seorang Mulhid jika mempunyai akhlak tidak mampu mencapai tingkatan tersebut. Di sebagian keadaan pasti muncul pemikiran yang bertentangan dengan akhlak. Mungkin ia dapat mencegah diri dari keburukan-keburukan dan menampakkan akhlak mendasar namun ia akan selamanya lemah dalam melazimkan diri berbuat kebaikan-kebaikan.)

Kemudian beliau as bersabda: “Segala buah kebaikan berasal dari keimanan. Oleh karenanya, tidak ada seorang pun yang akan memasukan jari jemarinya ke dalam lubang ular yang sudah diketahui ada ular di dalamnya. Ketika kita mengetahui dan meyakini bahwa meminum sejumlah tertentu racun mematikan bisa membunuh kita, maka bentuk dari keyakinan tersebut adalah kita tidak akan menuangkan racun itu kedalam mulut kita, bahkan sebaliknya kita akan menyelamatkan diri kita dari kematian seperti itu.”

Kemudian dalam menjelaskan bagaimana cara memperkuat keimanan, Hadhrat Masih Mau’ud as lebih lanjut bersabda, “Ketahuilah dengan yakin bahwa akar segala kesucian dan kebajikan adalah beriman kepada Tuhan. Sejauh mana iman seseorang kepada Tuhan itu lemah, maka semakin lemah dan malas pula seseorang dalam melakukan amal saleh (kebajikan). Tapi, ketika keimanan itu kuat dan ada keyakinan penuh kepada Tuhan dan semua sifat-sifat-Nya, maka akan ada banyak jenis perubahan luarbiasa dalam amal perbuatan seseorang. Maka, seorang beriman kepada Allah tidak mungkin terbit perbuatan dosa. (tidak mungkin seorang yang beriman kepada Allah dan pada waktu yang sama ia melakukan dosa.)

Sebab, iman ini memotong kekuatan egoisme (keakuan) dan cabang-cabang dosa. Perhatikanlah! Bila mata-mata seseorang dikeluarkan maka bagaimana mungkin ia mampu memandang dengan pandangan buruk? Bagaimana mungkin dari matanya keluar perbuatan buruk? Demikian pula, jika kekuatan tangan seseorang lumpuh dan kekuatan syahwatnya dipotong maka bagaimana ia mampu melakukan perbuatan dosa yang dilakukan anggota-anggota tubuh ini. Itulah permisalan penuh tatkala seseorang memperolah nafsu muthmainnah. Nafsu tersebut membuatnya buta dari melakukan dosa dan tidak tersisa dari matanya kekuatan untuk melakukan dosa.

Ia melihat dan ia tidak melihat. Sebab, ia merampas dari matanya kekuatan untuk melakukan dosa. (artinya, ketika ia melihat sesuatu maka ia tidak memandang dengan pandangan buruk melainkan ia telah merampas darinya pandangan mengingini, pandangan buruk (birahi), pandangan hawa nafsu yang tidak jaiz) Demikian pula, pada kedua telinganya. Ia tidak mendengar dengan kedua telinganya karena ia tidak mendengar hal-hal yang terhitung dosa.

Permisalannya seperti memotong seluruh kekuatan nafsu dan syahwatnya serta anggota-anggota internalnya. Kematian datang atas segala kemampuannya yang dengan itu mungkin untuk berbuat dosa, dan ia menjadi seperti orang mati. Ia mengikuti kehendak Allah Ta’ala sepenuhnya. Bahkan, ia tidak mampu untuk melangkahkan kakinya tanpa hal tersebut. Keadaan yang demikian datang tatkala seseorang memiliki keimanan sejati kepada Allah Ta’ala. Sebagai natijahnya, ia dianugerahi ketenangan sempurna. Inilah kedudukan yang harus menjadi tujuan sebenarnya bagi seorang manusia.” (Artinya, inilah yang harus menjadi target kita dan ambisi kita. Kita harus selalu ingat bahwa kita harus melenyapkan segala macam kotoran dari pikiran kita dan melindungi mata dan telinga kita dari hal-hal itu.)

Lalu beliau as bersabda: “Jemaat kita memerlukan hal tersebut dan untuk meraih ketentraman yang seutuhnya, pertama-tama kita harus memiliki keimanan yang sempurna. Tugas pertama dari anggota Jemaat kita adalah memiliki keimanan yang sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.”

Inilah target (sasaran) yang diberikan oleh beliau as kepada kita supaya kita meraih keimanan hakiki yang menjadi sebab amal-amal saleh dan saat itulah kita terhitung dalam golongan orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan-kebaikan dan menjadi sebaik-baik makhluk.

Berkenaan dengan berbagai macam aspek kebajikan, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Ada dua hal yang sangat penting bagi manusia yaitu menyelamatkan diri dari keburukan dan berusaha keras untuk melakukan amal kebajikan. Dan ada dua aspek kebajikan, pertama menghindari keburukan dan kedua melakukan lebih banyak kebaikan. Menghindari diri dari keburukan merupakan aspek pertama dari kebajikan, namun aspek keduanya benar-benar melakukan kebaikan. Keimanan akan sempurna ketika kita melakukan amal kebajikan dan bermanfaat bagi orang lain.”

Beliau as selanjutnya bersabda: “Dengan melakukan hal tersebut, kita akan mengetahui perubahan kita, dan standar seperti itu baru bisa dicapai ketika kita memiliki keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala dan memahami akan sifat-sifat tersebut. Kita tidak dapat menjauhi keburukan tanpa hal tersebut. Kita harus senantiasa giat mempelajari al-Quran dan mengingat perintah-perintah yang tercantum di dalamnya agar bisa memahami sifat-sifat Allah Ta’ala.”

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Membuat kebaikan sampai bagi orang lain ialah suatu hal yang agung. Namun, sebagaimana manusia memuja para Raja dan takut – pada batas tertentu – menentang undang-undang hukuman India misalnya, sehingga banyak dari mereka yang tidak melanggar hukum (aturannya) duniawi; maka bagaimana bisa mereka tidak mematuhi (melanggar) perintah-perintah Tuhan yang Maha mengatur semuanya dengan kegagahan-Nya?

Adakah sebab lain untuk hal tersebut selain ketiadaan keimanan mereka kepada Tuhan?” (Tidak diragukan lagi, terdapat kelemahan-kelemahan dalam keimanan mereka. Jika tidak, mengapa mereka takut pada hukum-hukum duniawi dan tidak melakukan kejahatan-kejahatan.) “Inilah sebab satu-satunya perbuatan-perbuatan buruk dan ketiadaan usaha manusia dalam kebaikan-kebaikan.” (Maka dari itu, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kekeliruan-kekeliruan tersebut muncul ketika keimanan lemah. Tak diragukan lagi, seseorang mengakui dari segi kepercayaan bahwa Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui segala-galanya, dan Dia mengetahui segala hal yang tidak tampak dari keimanannya, tetapi, ia bertentangan dalam hal itu melalui tindakan-tindakannya. Hal itulah yang kemudian menuntun seseorang untuk melakukan banyak sekali perbuatan-perbuatan buruk dan orang yang semacam itu tidak akan bisa melakukan kebaikan disebabkan lemahnya keimanan yang dimilikinya.)

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan keharusan melindungi diri kita dari keburukan-keburukan badaniah setelah keimanan yang sempurna kepada Allah, lalu beliau bersabda: “Tidak mungkin melewati tahap meninggalkan keburukan kecuali setelah adanya keyakinan yang kuat akan Tuhan. Seyogyanya, tahap kedua adalah mencari-cari jalan-jalan yang dilalui oleh para Saleh di kalangan hamba-hamba Tuhan. (Pertama-tama, beriman kepada Tuhan, lalu mencari dan menerapkan segala jenis kebajikan dan amal-amal saleh yang sama dengan yang dilakukan hamba-hamba Tuhan nan saleh, para Nabi dan para suci.)

“Itulah jalan satu-satunya yang ditempuh semua orang benar dan saleh di dunia ini, dan mereka sangat menyerap manfaat dari aliran-aliran karunia Tuhan. Mungkin saja kita mengenali jalan ini melalui eksplorasi (mencari-cari tahu) perlakuan Tuhan terhadap mereka. Tahap pertama, yaitu meninggalkan keburukan-keburukan dilalui melalui tajalli (manifestasi) Jalaali (kegagahan, keagungan) dari sifat-sifat Tuhan karena Dia adalah musuh bagi orang-orang yang jahat. Dia-lah yang menghapuskan para musuh dari orang-orang yang dekat kepada-Nya. Tahap kedua dicapai melalui tajalli (manifestasi) Jamaali (keindahan) sifat-sifat Tuhan.

Tahap yang terakhir ini tidak akan dapat diraih tanpa kekuatan dan kemampuan yang diperoleh dari Allah Ta’ala yang menurut istilah Islami hal itu disebut روح القدس Ruh-ul-Qudus (ruh suci). Inilah kekuatan yang dianugerahkan dari Tuhan dan setiap qalbu yang menerimanya akan mendapatkan kedamaian dengan segara, dan perangai mereka penuh dengan kecintaan akan kebajikan dan kebaikan.”

Ketika tajalli (manifestasi) Jamaali (keindahan) Allah Ta’ala turun, pertama, seseorang akan menaruh perhatian pada mengupayakan setiap kebaikan dan menghapus pemikiran mengenai keburukan lalu timbul kedamaian dalam hati. Inilah dia suluuk (jalan-jalan) orang-orang baik dan para Saleh. Inilah pula teladan bagi kita dan Hadhrat Masih Mau’ud as mengarahkan kita untuk melihat ke dalamnya, yaitu, untuk berfokus pada teladan para nabi dan jalan kehidupan mereka.

“Hal itu ialah mengusahakan dengan setiap kelezatan dan kebahagiaan untuk mengusahakan setiap kebaikan yang orang-orang menganggapnya sulit dan memberatkan mereka.”

(Artinya, sebagaimana seorang anak makan sesuatu yang lezat dengan amat lahap dan bersemangat, demikian pula saat tercipta bagi seseorang – yang Allah Ta’ala cintai – sebuah jalinan dengan Allah Ta’ala maka ruh-Nya nan Kudus hinggap pada diri mereka. Dalam keadaan yang demikian, amal-amal kebaikannya akan menjadi sama lezatnya seperti minuman lezat nan harum. Mereka mulai mengenali keelokan yang sebelumnya tersembunyi dalam amal kebajikan tersebut dan berlari ke arahnya. Ketika terbesit dalam benak mereka untuk melakukan keburukan maka ruh mereka akan berguncang dengan dahsyatnya. Hal-hal semacam ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat, karena ini adalah keadaan keajaiban hati. Hati merasakan kesenangan yang tak terkatakan dalam untaian kata-kata. Inilah keadaan-keadaan hati yang tidak dirasakan oleh selain hati manusia. Dengan begini, manusia menyadari kemegahan kebahagiaan ini, dan kemudian mendapat cahaya-cahaya yang terbarukan.)

Hadhrat Masih Mau’ud as lebih lanjut bersabda: “Seseorang yang terkadang menangis dalam shalat, hati terharu dan meratap pilu tidak seharusnya menganggap itu sebagai sebuah keutamaan (prestasi atau kebanggaan). Bukanlah suatu prestasi seseorang yang menangis dalam shalatnya, atau yang penuh gairat dalam shalatnya, atau yang khusyu dalam shalatnya. Ia seharusnya tidak menganggap merasa cukup sampai batas derajat ini karena khusyu’ ini menjadikannya berurai air mata.

(Biasanya seseorang tatkala membaca sebuah buku atau cerita dan sampai ke bagian yang berkesan secara mengharukan lalu ia tidak mampu menguasai diri dan mulai menangis.) Banyak orang yang membaca sebuah kisah lalu mereka menangis. Sebagian mereka membaca riwayat beberapa peristiwa dan kisah yang menimbulkan tangisan dalam diri mereka. (Itu dikenal sebagai kisah khayali atau cerita fiksi atau bikinan). Meski demikian, mereka biasa membacanya. Jika timbulnya tangisan, keharuan dan keheningan dianggap sebagai dasar kebahagiaan hakiki dan kelezatan sejati, tentu telah ada satu orang dari warga Eropa yang terbanyak dalam hal memperoleh kenikmatan ruhani.” (Sebab, orang-orang di sini amat terbawa perasaan atas hal-hal terkecil dan mulai menangis.) Ribuan novel diterbitkan. Jutaan orang menangis kala membacanya.”

Mereka menangis trenyuh karena pengaruh membaca kisah-kisah dan riwayat-riwayat serta menyaksikan teater dan drama mini seri. Perasaan mereka terbawa haru saat dijelaskan kisah-kisah kemanusiaan. Hal ini bukanlah tanda bahwa mereka maju dalam hal keruhanian. Melainkan, kemajuan ruhani yang sejati adalah ketika seseorang benar-benar menjauhkan diri dari segala keburukan dan melakukan amal kebajikan semata-mata demi meraih ridha Allah Ta’ala.

Kemudian, beliau as menjelaskan segi-segi kebaikan. Sebelumnya, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menyebutkan ada dua aspek, pertama menjauhkan diri dari sifat buruk, dan kedua melaksanakan amal kebajikan. “Kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang terbagi menjadi dua bagian yaitu amal kebajikan yang sifatnya fardhu (diwajibkan) dan yang sifatnya nawafil (tambahan, sukarela). Fardhu-fardhu ialah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana melunasi hutang atau membalas kebaikan dengan kebaikan (semua ini wajib)

Selain yang fardhu-fardhu, terdapat nawafil pada setiap kebajikan, (ialah kebaikan yang dianggap tambahan atas yang fardhu) artinya, itu kebaikan yang melebihi dari yang diwajibkan seperti membalas kebaikan orang lain dengan melakukan kebaikan yang lebih besar dari pada perbuatan orang tersebut. (Jika seseorang berbuat baik kepadanya maka ia membalas kebaikan itu dengan yang lebih banyak. Inilah amal kebajikan yang disebut nafilah). Nawafil memenuhi dan menyempurnakan fardhu-fardhu.”

Kemudian, beliau as menyebutkan sebuah Hadits, “Tercantum dalam Hadits bahwa fardhu-fardhu (kewajiban-kewajiban) keagamaan para Wali Allah disempurnakan dengan nawaafil. Misalnya disamping membayar Zakat, mereka pun memberikan sedekah-sedekah sebagai tambahan bagi Zakat. Allah Ta’ala menjadi Wali (sahabat) bagi orang-orang semacam itu. Persahabatan tersebut begitu kuatnya sehingga seakan-akan Allah Ta’ala menjadi kaki dan tangan mereka dan bahkan menjadi lidah mereka yang dengannya mereka berbicara.”

Ketika meningkat keimanan dan keyakinan seseorang kepada Tuhan, maka ia melakukan amal kebajikan semata-mata demi ridha Allah Ta’ala. Sebagai balasannya, Allah Ta’ala menganugerahkan orang tersebut kesempatan untuk melakukan amal-amal saleh dan kebajikan yang lebih lagi dan Dia menganugerahi karunia yang lebih banyak lagi. Maka dari itu, berkenaan dengan hal tersebut Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Merupakan sunnah Allah kepada Islam bahwa seseorang yang beramal satu kebajikan maka itu akan melahirkan amal kebaikan lainnya.”

Hadhrat Masih Mau’ud as lebih lanjut bersabda: “Saya pernah membaca dalam Tadzkiratul Aulia (Kitab yang berisi biografi tentang orang-orang suci zaman dulu) bahwa pada zaman dulu ada seorang yang sudah tua berusia 90 tahun yang menyembah api (Majusi). Tidak biasanya hujan turun terus-menerus dalam beberapa hari. Orang tua itu memanjat atap rumahnya dan melemparkan biji-bijian di atap rumahnya itu untuk memberi makan kepada burung-burung. Seorang Wali (orang saleh) dari kalangan umat Muslim melihat kelakuannya. (Ia tetangga orang tersebut) Orang Muslim itu berkata: ‘Pak tua! Apa yang Anda lakukan?’ Orang beragama Majusi itu menjawab: ‘Saudaraku, hujan terus turun selama enam hingga tujuh hari. Saya melemparkan biji-biji ini kepada burung-burung tersebut agar mereka memakannya.’

Orang saleh Muslim itu berkata: “Perbuatan Anda itu tidak ada gunanya dan sia-sia karena Anda ini kafir. Apa pahala yang akan Anda dapatkan atas perbuatan itu? Anda tidak akan mendapatkan ganjaran apapun selama Anda Kafir.’ Orang tua itu menjawab: ‘Saya yakin pasti akan diberikan ganjaran atas hal ini.” (Ia yakin akan keberadaan Tuhan atau ia memiliki sifat kebaikan, dan itu adalah suara hatinya yang meyakinkannya akan menerima ganjaran atas perbuatannya tersebut.)

Tetangganya yang Islam itu berkata: “Ketika saya melaksanakan Ibadah haji, saya melihat orang tua tersebut sedang melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. (orang tua penyembah api yang biasa memberi makan biji-bijian kepada burung-burun itu tengah bertawaf di Ka’bah. Ia berhajji) Saya heran melihatnya. Saya pun menghampirinya. Sebelum saya sempat berkata sesuatu, ia langsung membuka percakapan, ‘Apakah perbuatan saya melemparkan biji-bijian kepada burung-burung adalah tindakan sia-sia? Atau apakah saya tidak menerima ganjaran untuk perbuatanku tersebut?’ Artinya, sekarang saya orang Islam, dan saya melaksanakan ibadah Haji. Ini semua ganjaran yang Allah Ta’ala limpahkan kepada saya karena saya memberi makan burung-burung tersebut. Demikianlah, Allah memberi karunia kepada manusia.”

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Kita harus merenungkan fakta tersebut bahwa Allah Ta’ala tidak akan membiarkan sia-sia perbuatan baik seorang yang kafir, lalu bagaimana mungkin Dia akan membiarkan perbuatan baik seorang Muslim menjadi sia-sia?. Saya ingat peristiwa berkenaan dengan seorang sahabat Rasulullah saw saat ia berkata: ‘Ya Rasul Allah! Ketika saya masih kafir dahulu saya banyak sekali melakukan derma (sedekah). Apakah saya akan menerima ganjaran atas amalanku tersebut? (Artinya, saya biasa banyak berderma saat saya masih kafir dan saya berusaha melakukan kebaikan-kebaikan. Apakah bagi saya ada pahala atasnya?) Rasulullah saw menjawab: ‘Sedekah-sedekah itulah yang menyebabkan Anda masuk Islam.’”

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda mengenai keharusan I’tidaal hingga termasuk juga pada hal-hal yang diperbolehkan karena hal itu ialah kebaikan itu sendiri: “Pokok kebajikan ialah seseorang hendaknya tidak melampaui (berlebihan) dalam hal memuaskan keinginan duniawi yang syar’i (dibolehkan Syariat) melebihi batas I’tidaal (kewajaran, keseimbangan). Allah Ta’ala tidak melarang makan dan minum, namun apabila seseorang menjadikan mengkonsumsi makanan dan minuman siang dan malam sebagai hobi/kegemarannya maka ia lebih memprioritaskan hobinya daripada imannya. Jika tidak demikian maka tujuan menikmati kelezatan dunia ialah supaya kuda jiwa yang berjalan di jalan dunia tidak pincang kelelahan.”

(Sesungguhnya meletakkan kelezatan dalam memakan makanan dan menimum minuman. Selain itu, Dia menciptakan itu untuk menguatkan manusia dengannya dan menunaikan kewajiban-kewajiban Allah sebaik yang sepatutnya dan tidak melemahkan kesehatannya. Seseorang hendaknya mempedomani hal ini ketika ia makan dan minum.)

Permisalannya sama seperti kusir kereta kuda saat menempuh perjalanan jauh, setelah kira-kira beberapa mil jauhnya ia menyaksikan kudanya kelelahan, maka ia pun menghentikan kudanya membiarkannya untuk bernafas dan beristirahat sebentar lalu memberikannya makanan dan minuman agar lelahnya hilang.

Jadi, demikianlah permisalan dengan para Nabi yang juga mengambil bagian dari kelezatan dunia ini.” (Mereka makan dan minum. Kepuasan dan kedamaian mereka terima dari pemanfaatan benda-benda duniawi tersebut seperti menikah dan juga punya anak-anak nan terkemuka. Demikianlah mereka menggunakan benda-benda duniawi. Hal demikian adalah alami)

“Hal demikian karena mereka dibebani (diberi tanggungjawab) tugas yang berat yaitu memperbaiki dunia ini. Jika saja mereka tidak mengambil bagian dari karunia Allah, tentu mereka telah binasa.”

Sebagaimana pengemudi kereta kuda memberi makan-minum terhadap kudanya guna menjaga keaktifan dan ketahanan si kuda, demikian pula bila para Nabi makan, minum dan menggunakan benda-benda yang baik di dunia maka itu demi mengarah (menuju) pada ishlaah (perbaikan) dunia dengan lebih giat dan aktif.

Satu ketika, seseorang menghadap Hadhrat Khalifatul Masih I (ra) sembari melontarkan tuduhan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud (as), “Saya mendengar bahwa Tn. Mirza Ghulam Ahmad memakan Plao (sajian nasi tradisional India).” Hadhrat Khalifatul Masih I menjawab, “Saya belum pernah membaca dalam al-Quran atau dalam Hadits yang mengatakan para Nabi dilarang untuk memakan makanan yang baik. Apakah salah jika beliau memakan hidangan Plao itu?”

Demikianlah, sebagian orang melakukan kritikan karena menyangka bahwa kesalehan dan kezuhudan mempunyai pengertian memakan makanan yang tidak enak padahal sangkaan ini ialah salah. Bahkan, hendaknya kita mengikuti sunnah yang mana ditampilkan oleh Nabi Muhammad saw kepada kita. Nabi saw pernah berbicara kepada seorang sahabat: “Saya makan makanan yang baik, saya mengenakan baju yang bagus, saya menikah dan memiliki anak, saya tidur dan juga beribadah. Inilah sunnah saya. Oleh karena itu, Anda pun hendaknya mengikutinya.”

Ringkasnya, beliau as bersabda, “Bukan termasuk dustuur (pedoman kebiasaan) para Nabi untuk bersungguh-sungguh bertekun dalam kelezatan duniawi. Keterlibatan yang demikian ialah sebuah racun. Manusia yang pola hidupnya buruk melakukan apa saja yang ia sukai dan memakan apa saja yang ia sukai. Namun, andai seorang saleh melakukan itu, jalan-jalan Allah tidak akan juga dibuka.” (Orang yang jahat makan, minum dan melakukan perbuatan demi dunia tapi orang saleh tidak melakukan hal itu karena bila melakukannya maka takkan terbuka jalan-jalan Allah.) Orang yang berjalan di jalan Allah, pasti Allah akan menaruh perhatian khas kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman, اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ ‘Bersikap adillah karena hal itu lebih dekat pada ketakwaan.’ (Surah al-Maaidah, 5:9) I’tidaal (keseimbangan, kesederhanaan, tidak berlebih-lebihan) dalam hal menikmati kelezatan, makan dan minum juga nama lain dari ketakwaan. Yang namanya kebaikan bukan hanya menjauhi zina dan mencuri saja melainkan juga tidak melewati batas keseimbangan dalam hal-hal yang dibolehkan.”

Artinya, termasuk dalam kategori ketakwaan ialah seseorang melazimkan diri dalam batas i’tidaal (keseimbangan, kesederhanaan, tidak berlebih-lebihan) di semua hal yang diperbolehkan juga karena itu merupakan corak kebajikan dan amal saleh.

Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan aspek ajaran beliau as yang berhubungan dengan amal kebajikan dalam hal berurusan terhadap orang-orang yang memegang wewenang (pemerintahan dan sebagainya), mu’amalah hasanah (perlakuan baik) dalam perhubungan yang umum, dengan para kerabat dan lain sebagainya: “Ajaran saya ialah kita harus memperlakukan setiap orang dengan perlakuan yang baik. Dengan ketaatan nan tulus, taatlah kepada mereka yang memegang wewenang karena mereka yang melindungi kita.”

Tidak diragukan lagi untuk taat kepada pemerintah. Apalagi (khususnya) yang menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap warga negaranya dengan sebaik-baiknya.

“Kehidupan (jiwa) dan kesejahteraan (harta) kita terlindungi dikarenakan keberadaan mereka (pemerintahan). Kita juga harus memperlakukan anggota keluarga kita dengan belas kasih, karena mereka pun memiliki hak-hak tertentu. Adapun mereka yang tidak bertakwa, terlibat dalam berbagai bid’ah-bid’ah, berbuat syirik dan yang menentang kita maka kita tidak boleh shalat bermakmum di belakang mereka. Namun, suatu keharusan untuk memperlakukan mereka dengan baik.” (Namun, pengertian berbuat baik bukanlah shalat bermakmum di belakang para penentang yang menerbitkan banyak fatwa menentang kita dan terlibat dalam bid’ah-bid’ah melainkan janganlah shalat bermakmum di belakan mereka. Tidak diragukan lagi kita bersikap baik kepada mereka meski betapa pun keras penentangan mereka.)

Hadhrat Masih Mau’ud as lebih jauh bersabda: “Hal yang mendasar adalah kita harus memperlakukan setiap orang dengan baik. Seseorang yang tidak mampu memperlakukan baik orang-orang yang ada di dunia ini, apakah akan mendapatkan ganjaran di akhirat nanti? Seseorang harus memikirkan kebaikan bagi semua. Namun, hendaknya ia waspada dalam urusan keagamaan. Sebagaimana seorang dokter memeriksa setiap pasien tanpa memandang apakah si pasien seorang Hindu atau seorang Masihi (Kristiani) dan mengobati mereka demikian pula pokok-pokok umum dalam berbuat baik kepada orang-orang lain.”

Jika seseorang mengatakan, ‘Orang-orang kafir dibunuh pada masa Rasulullah saw’, maka jawabannya adalah, ‘Mereka yang demikian itu ialah para penjahat yang bersalah atas kejahatan mereka dan pembunuhan terhadap orang-orang Islam tanpa alasan.’ (mereka telah membunuh umat Islam dan melakukan kekejaman kepada mereka. Oleh karena itu, mereka dihukum karena kejahatan mereka dan bukan karena mereka menolak masuk Islam atau menolak Nabi Muhammad saw.) Jika seseorang menolak sesuatu dan tidak ada unsur kejahatan atau kekejaman di dalamnya, maka hal tersebut tidak menjadi dasar untuk menjatuhkan hukuman di dunia ini.”

Berkenaan dengan seberapa banyakkah seseorang harus memperluas cakupan amal kebaikannya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: ‘Ingatlah, ruang lingkup simpati (belas kasih) dalam pandangan saya sangatlah luas. Anda sekalian tidak boleh membatasi di tingkat satu negara saja atau satu bangsa saja atau sesiapa pun darinya. Saya tidak berkata seperti orang-orang tuna ilmu di zaman sekarang yang mengatakan, ‘Kalian harus membatasi rasa simpati, belas kasih dan solidaritas hanya kepada umat Muslim.’ Melainkan saya berkata, ‘Anda sekalian harus bersikap simpati kepada semua makhluk Allah tanpa memandang apakah ia seorang Hindu atau Muslim atau selainnya. Secara mutlak saya tidak menerima perkataan orang-orang yang ingin membatasi rasa simpati (atau solidaritas)nya hanya pada anggota bangsanya saja.’

Dari kalangan mereka terdapat pemikiran kebolehan menipu orang-orang (bangsa) selain mereka sampai-sampai membersihkan biji-biji wijen di tangan setelah mencelupkan tangan itu ke dalam toples yang penuh biji wijen.” (Ini adalah gagasan beberapa orang non-Ahmadi yang berpandangan jika mereka mengambil sebuah toples penuh tetesan atau madu lalu mencelupkan tangannya ke dalamnya dan kemudian merendamkan tangannya ke dalam tumpukan kecil biji wijen, mereka membolehkan menipu orang lain sampai-sampai mencelupkan tangan itu ke dalam toples yang penuh biji wijen. Mereka merampas hak-hak orang lain sampai-sampai melakukan hal ini.) “Ini adalah dosa besar dan tidak diperbolehkan.

Permisalan pemikiran nan rusak dan buruk ini saya sodorkan keadaan umat Muslim yang begitu berbahayanya. Pimikiran inilah yang membuat keadaan mereka mendekati seperti makhluk buas nan kejam. (inilah kondisi mereka) Namun, saya menasehati kalian berkali-kali bahwa janganlah mempersempit ruang lingkup rasa belas kasih kalian bahkan amalkanlah mengenai belas kasih dengan ajaran yang telah Allah Ta’ala wahyukan, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil, ihsaan dan memberi kepada kerabat.’ (Surah An-Nahl, 16:91) Itu artinya: Tahap pertama berbuat kebajikan adalah melaksanakan keadilan, yaitu ketika seseorang melakukan kebaikan terhadap kalian, maka kalian pun harus membalas kebaikan tersebut.

Tahap kedua adalah yaitu saat seseorang berbuat baik kepada kalian, maka kalian membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar. Ini disebut ihsan. Meskipun tahap Ihsan ini lebih tinggi dari pada tahap Adil tapi ada kemungkinan orang yang berbuat Ihsan tersebut akan menagih (mengungkit-ungkit) kebaikan yang telah ia berikan kepada orang tersebut.

Oleh karena itu ada tahap paling besar (tinggi) dari dua tahap itu dan itu adalah kebaikan yang lahir dari rasa belas kasih pribadinya (kecintaan pribadi) terhadap orang lain, dan bukan karena niat untuk memberikan bantuan melainkan niat untuk berbelas kasih seperti kasih seorang ibu saat mengasuh anaknya. Seorang ibu tidak mencari imbalan atau hadiah apapun dalam membesarkan anaknya, tapi hal tersebut merupakan dorongan alami yang karenanya ia siap mengorbankan dirinya, kenyamanan dan kebahagiaannya untuk mengasuh anaknya tersebut sampai-sampai jika ada seorang raja memerintahkan sang ibu untuk menghentikan susu bagi anaknya yang berakibat kematian sang anak dan ia tidak akan dihukum atas hal itu; namun apakah ibu tersebut akan senang mendengar perintah tersebut dan mengikutinya? Tentu tidak!

Bahkan, ia akan marah terhadap sang raja. Jadi, seseorang harus berbuat baik kepada orang lain dengan cara yang sama dan harus mencapai tahap amal perbuatan tersebut menjadi sebuah amal perbuatan yang alamiah, karena ketika sebuah amalan tertentu berkembang secara bertahap menjadi fenomena alamiah maka ia akan meraih tahap kesempurnaan.”

Dengan demikian, setiap saat harus muncul dalam benak kita bagaimana melakukan perbuatan-perbuatan baik (amal saleh). Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Belas kasih terhadap umat manusia muncul akibat dorongan alami dikenal sebagai إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ Iytaa-i dzil Qurba (memberi seperti kepada kerabat) Dengan menyebutkan urutan ini, Tuhan Yang Maha Kuasa menginginkan agar kalian meningkatkan standar amal saleh kalian ke tahap إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ, yaitu derajat hal itu menjadi dorongan alami. Jika suatu amalan tidak mencapai tahap di mana ia menjadi dorongan alami, maka amalan tersebut tidak akan dapat meraih keadaan yang sempurna.”

Hadhrat Masih Mau’ud as lebih jauh bersabda: “Ingatlah bahwa Allah Ta’ala amat senang dengan kebaikan dan Dia menghendaki agar kita senantiasa memperlihatkan belas kasih kita kepada makhluk ciptaan-Nya. Jika Dia menghendaki amal keburukan maka Dia akan mendesak kita melakukannya, tapi Allah Ta’ala jauh lebih luhur dari yang seperti itu. Dialah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Agung. (subhaanahu wa ta’ala)”

Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk melakukan amal kebajikan guna meraih ridha-Nya, dan semoga kita meraih target فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ berlomba-lombalah dalam hal kebaikan” yang telah Dia tetapkan bagi kita.

Setelah shalat Jumat, saya akan mengimami shalat Jenazah gaib untuk beberapa almarhum. Pertama adalah Mukarram (yang terhormat) Hamid Maqshud Atif, seorang Murabbi silsilah putra Profesor Masud Ahmad Atif yang terhormat. Dia meninggal karena gagal ginjal pada 22 Oktober di Rumah Sakit Penyakit Jantung Tahir di Rabwah pada usia 48 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون Kita milik Tuhan dan kepada-Nya kita kembali.

Almarhum ialah cucu seorang Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as, Hadhrat Abdul Rahim Dard dari garis ibu. Ayah Almarhum, Profesor Masud Ahmad Atif, telah mengajar fisika di Sekolah Tinggi Pendidikan Islam (Ta’leemul Islam College), Rabwah dari tahun 1955 sampai 1986. Almarhum Hamid Maqshud menerima pendidikan dasar di Rabwah. Setelah SMA dia ingin bekerja di tentara, kemudian meninggalkan perguruan tinggi berdasarkan sebuah kasyaf dan mewakafkan hidupnya dan terdaftar di Jamiah Ahmadiyah dan lulus dengan sertifikat “Syahid” pada tahun 1991 dan mulai mengkhidmati Jemaat tersebut sebagai seorang Muballigh. Almarhum meninggalkan istri, anak-anak perempuan dan anak-anaknya, dan semua anak-anaknya belajar dengan karunia Allah. Putranya Wasif Hamid – yang termuda – menghafal Alquran di Institut Menghafal Alquran (Madrasatul Hifzh) di Rabwah.

Tn. Maqshud Atif lulus dari Jamiah pada 1991. Setelah lulus, pertama kali ditugaskan di berbagai kota di Pakistan. Setelah itu, dia belajar bahasa Prancis di Universitas Namel di Islamabad. Setelah menyelesaikan studi bahasa Prancisnya, dia dikirim ke Pantai Gading pada bulan Mei 1997 sebagai seorang Muballigh, mendapat taufik mengkhidmati Jemaat hingga tahun 2002. Dia kemudian dikirim ke Burkina Faso dan mengkhidmati Jemaat di sana sampai tahun 2016 dan kembali ke Pakistan setelah menderita penyakit ginjal.

Istrinya mengatakan: “Ketika saya hendak ikut pergi ke Pantai Gading, saya diajarinya bahasa Prancis dengan usaha keras untuk memfasilitasi kemudahan berkomunikasi dengan orang dalam kehidupan sehari-hari dan saya dapat dengan mudah menyelesaikan urusan sehari-hari, dan menjadi pertolongan dalam meningkatkan Tarbiyat Lajnah Imaillah.

Sebagian besar dari mereka yang menyampaikan surat simpati menulis, “Almarhum seorang yang periang. Ia tidak suka menyusahkan dan cerdas. Ia ramah. Pada saat yang sama dia juga menghormati orang yang lebih tua dan kolega. Dia selalu menyenangkan dan responsif. Ia seorang yang taat, berjiwa patuh yang banyak dan tidak egois.”

Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat-derajatnya dan mengaruniai kesabaran dan harapan tinggi kepada anak keturunannya. Serta Dia teruskan taufik kebaikan Almarhum di kalangan anak keturunannya tersebut.

Jenazah kedua ialah yang terhormat Bapak Ali Said Musa, Amir Jemaat Tanzania, meninggal pada 30 September di usia 67 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون Beliau lahir pada tahun 1950 di Chitandi, Tanzania.

Ia belajar di Universitas Dar es Salaam pada tahun 1980 dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dan kemudian ia memperoleh gelar di bidang Ekonomi Pertanian. Dia memegang beberapa jabatan pemerintah. Khalifah Keempat memerintahkannya untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Yao, namun ketika ditunda karena pekerjaan pemerintahannya dan kesibukan lainnya. Hadhrat Khalifatul Masih IV mengatakan kepadanya, “Perlu sampai setidaknya 30 tahun baru selesai terjemahan jika kecepatan penerjemahan seperti demikian.” Beliau mengungkapkan keprihatinannya tentang hal ini. Ketika mendengarnya, Ali Saidi sangat emosional, dan berjanji akan menyelesaikan pekerjaan ini segera. Ia meninggalkan semua pekerjaannya dan meletakkan setiap fokus pada terjemahan Alquran dan menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu lima tahun.

Pada tahun 2006, dia ditunjuk sebagai Amir Jemaat Tanzania. Sementara itu, Jemaat di Burundi, Mozambik dan Malawi juga dibawah supervisi beliau. Dalam masa keamirannya, Jemaat tersebut juga membuka sekolah menengah atas, dan juga membeli sebidang tanah luas. Almarhum adalah orang yang setia, tulus dan sangat pendamai. Beliau memiliki hubungan dekat dengan Khilafat. Beliau meninggalkan seorang janda, tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Semoga Allah Ta’ala mengaruniai taufik meneruskan jejak langkah kebaikan Almarhum di kalangan anak keturunannya tersebut.

Jenazah ketiga ialah yang terhormat Nushrat Begum Shadiqah, asal Gharmul, termasuk Rabwah. Beliau meninggal pada malam antara 16-17 Oktober di Rumah Sakit Taher karena penyakit jantung. إنا لله وإنا إليه راجعون Kita milik Tuhan dan kepada-Nya kita kembali. Almarhum adalah Ibu Tn. Abdul Mumin Tahir, kepala Biro Arab. Diantara kualitas Almarhumah adalah kecintaan agungnya pada Tauhid dan kebenciannya yang kuat terhadap syirik dan bid’ah, ketawakkalan, perhatian terhadap orang miskin dan penyembunyian kebaikannya, karena dia sangat rendah hati.

Kakeknya, Mian Ataullah, seorang Sahabat agung Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau percaya atas undangan dari Sahabat Agung Maulana Burhanuddin untuk mencapai Qadian. Dia sangat suka mengajarkan Al-Quran. Ketika Khalifah ketiga kita, semoga Allah merahmati beliau, mendesak kaum ibu yang sudah dewasa untuk belajar Alquran, kaum ibu Ahmadi banyak yang belajar dari beliau, termasuk yang berumur tujuh puluh tahun, dan beberapa dari mereka juga belajar terjemahannya. Demikian pula, kaum wanita non-Ahmadi, baik yang sudah ibu-ibu maupun yang bukan belajar Alquran dari Almarhumah. Banyak anak perempuan Ahmadi belajar membaca dan menulis dari Almarhumah melalu membaca buku-buku yang disarankan dalam kurikulum Lajnah Imaillah.

Almarhum sibuk menelaah buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud as. Banyak Nazhm telah dihapalnya. Kalam-e-Mahmud (karya Khalifatul Masih II ra), Durr-e-Adan (karya Nawab Mubarakah ra), Durr-e-Tsamin dan banyak syair yang dihapalnya.

Putra Almarhum menulis, “Almarhum biasanya menggemakan Nazm ‘Mahmud ki Amin’ yang merupakan sebagian dari nazm Hadhrat Masih Mau’ud as dengan penuh keperihan dan air mata yang mengalir. Tradisi bid’ah telah berkali-kali merajalela di desanya. Kaum ibu yang lemah dalam iman, yang telah memilih untuk melakukan syirik dan memelihara jimat. Almarhumah telah menyelamatkan mereka dari hal-hal itu dan menyarankan mereka untuk mencapai iman yang benar. Almarhumah shalat dengan khusyu’ dan dawam membaca Alquran. Beliau seorang Mushiah. Beliau memiliki enam putra, dan empat di antaranya ialah waqafin zindegi, diantaranya Profesor Abdul Mumin. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat-derajatnya dan mengaruniai taufik meneruskan jejak langkah kebaikan Almarhum di kalangan anak keturunannya tersebut.

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.