Daya Kekuatan Shalat, Do’a dan Hubungan dengan Allah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin

Hadhrat Khalifatul Masih Vatba [1]

Tanggal 20 1390 HS/Mei 2011

Di Mesjid Baitul Futuh, London.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

Allah Ta’ala telah berkenan mengutus seorang ‘asyiq shadiq (pecinta sejati) dan ghulam shadiq (pelayan sejati) Hadhrat (Muhammad Rasulullah) saw, imamuz zamaan (imam zaman) dan Almasih dan Almahdi sebagaimana dikabargaibkan sebelumnya (dinubuatkan) oleh Hadhrat Nabi saw, sesudah zaman kegelapan yang panjang yang dengan demikian Dia telah berbuat ihsan kepada kita. Manakala kita merenungkan karunia Allah Ta’ala yang demikian besar itu, maka sesungguhnya rasa syukur apapun yang kita ungkapkan, tetap tak memadai. Oleh karena itu, cara yang paling baik dalam berupaya untuk mensyukuri nikmat Ilahi Rabbi ini ialah dengan membaca berbagai sabda, nasehat dan tulisan utusan-Nya tersebut; merenungkannya, lalu mempraktekkannya sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Allah Ta’ala menyatakan di dalam Alqur’anul Karim كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ‘kuunuu ma ash-shadiqiin’ yakni, “…dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang shadiq (benar, lurus, jujur). Ambillah faidh (keberkatan) dalam pergaulan dengan orang-orang shadiq” (Q.S. At-Taubah, 9 : 119). Pemandangan paling indah [ayat] ini, dapat kita ketahui pada waktu tatkala para sahabat ridhwanullah ‘alaihim[2] mengambil keberkatan dari wujud Hadhrat (Muhammad Rasulullah) saw dengan mengambil faedah sepenuhnya dari kesempatan majlis irfan (pertemuan yang mencerahkan kerohanian baik dengan tanya-jawab maupun tidak), pergaulan dan persahabatan bersama beliau saw lalu mereka (para sahabat) menyampaikan petunjuk-petunjuk Hadhrat Nabi saw kepada kita. Mereka memperdengarkan majelis-majelis pertemuan dengan beliau saw; menyampaikan nasehat-nasehat Hadhrat Nabi saw hingga dengan turun-temurun sampai kepada kita. Kemudian, datanglah zaman selanjutnya ketika datangnya seorang hamba dan pecinta sejati beliau saw [Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi dan Masih Mau’ud as]. Beliau as menghasilkan karya-karya tulis tak terhitung [sangat banyak] menjelaskan tentang keelokan ajaran Islam dan dengan terperinci mengenai Alquranul Karim. Sehingga terbukti keunggulan dan kebaikan agama Islam yang tiada banding diatas berbagai agama lainnya. Namun demikian, beliau as juga sedemikian rupa mengalami banyak pertemuan bersama para sahabat beliau. Sebagian dalam jumlah yang kecil, sebagian dalam jumlah besar dan sebagian dalam bentuk pidato di berbagai Jalsah, yang [sebagian dari] topik pembahasannya belum ada dalam buku-buku beliau; yang dari itu semua para sahabat mendapatkan karunia-karunia dari pergaulan tersebut yang keberkatan wujud orang benar pada zaman ini dan hamba sejati tersebut. Pertemuan-pertemuan tersebut dimuat dan didokumentasikan dengan baik dalam beberapa surat kabar terbitan Jemaat masa itu. Alangkah bahagianya orang-orang yang mendapatkan kesempatan memperoleh karunia dari pertemuan-pertemuan dengan Imam Zaman sebagai pengamalan perintah Alquran berupa pergaulan dengan orang-orang shadiq. Kita pun patut bersyukur kepada mereka yang berkesempatan hadir dalam berbagai majlis itu, bertanya-jawab, lalu mendokumentasikan pembahasan yang sangat berharga ini, yang dengan perantaraan itu kita pun kini setelah lebih dari satu abad yang lalu, tetap dapat membacanya, bahkan setelah mendengarkan kisah-kisah tersebut atau membacanya membayangkannya seolah-olah kita ini ikut serta duduk di dalam majlis irfan hamba dan pecinta Hadhrat Rasulullah saw itu (Hadhrat Masih Mau’ud as).

Oleh karena itu, pada hari ini saya akan menyampaikan berbagai sabda dan nasehat yang berasal dari beberapa majlis irfan Hadhrat Masih Mau’ud as tersebut, mengenai perkara Shalat, Do’a dan Ta’alluq Billah (Hubungan dengan Allah).

            Dalam Pidato Jalsah yang panjang pada tahun 1907 beliau as menerangkan perihal perhatian penuh terhadap do’a, bersabda, “Ingatlah, Allah Ta’ala telah memulai Quran Majid dengan do’a dan Dia juga telah mengakhirinya dengan do’a. Artinya adalah manusia begitu lemahnya, sehingga dia tidak dapat menjadi suci tanpa karunia dari Allah. Dan selama tidak mendapat pertolongan serta bantuan dari Allah Ta’ala maka selama itu pula manusia tidak dapat maju dalam kebaikan. Di dalam sebuah hadits dikatakan,  bahwa semua [manusia] adalah mayat kecuali yang dihidupkan oleh Allah; semua adalah sesat  kecuali yang diberi petunjuk oleh Allah; dan semua adalah buta kecuali yang diberi penglihatan oleh Allah. Ringkasnya, memang benar bahwa selama karunia Allah belum diraih, maka selama itu pula belenggu kecintaan terhadap dunia tetap melekat di leher.” [3]

            Walhasil, sebelum adanya karunia Ilahi, jeratan nafsu mengejar duniawi tetap menguasai leher manusia. Hanya mereka yang telah diselamatkan dari semua itulah yang mendapat karunia Ilahi. Namun hendaknya diingat, bahwa rahmat dan karunia Ilahi datang jika ada permohonan do’a.

            Menekankan mengenai menghindari diri dari rasa was-was tatkala melaksanakan shalat beliau as bersabda,

“Do’a apakah ini? Dari mulut terus saja mengucapkan “Ihdinash shiraathal mustaqim–tunjukilah kami jalan yang lurus”  (Al­-Fatihah, 6), tetapi yang terpikir dalam kalbu adalah, ‘Dagangan harus dilakukan begini dan begitu. Ada barang-barang yang  tertinggal. Pekerjaan ini harus dilakukan demikian. Jika terjadi ini, maka begitu yang harus dilakukan.’ Semua itu hanyalah membuang-­buang umur saja. Selama manusia tidak mendahulukan Kitabullaah dan tidak melakukan amal-perbuatan sesuai itu, maka selama itu pula shalatshalatnya hanya akan merupakan bentuk penyia­-nyiaan waktu saja.” Untuk itu beliau menyampaikan agar berdo’alah.

            Hadhrat Muslih Mau’ud ra menerangkan satu peristiwa, “Arkian, ada seorang buzurg (waliyullah) datang ke sebuah mesjid [untuk shalat berjamaah]. Imam shalat berjamaah di situ kendati pun sedang memimpin shalat namun pikirannya berputar soal perdagangan, ‘Saya akan mendapatkan suatu barang dagangan ini dan itu di Amritsar, lalu membawanya ke Delhi [untuk dijual] sehingga mendapatkan keuntungan lumayan. Dari sana terus membawanya ke Kalkutta untuk mendapatkan keuntungan pula, lalu kembali lagi ke rumah.’ Maka, waliulah ini pun yang sedang shalat di belakangnya segera saja membatalkan shalat berjamaahnya kemudian mendirikan shalatnya seorang diri. Sebab, Allah Ta’ala telah memberitahu kondisi hati sang imam tersebut lewat kasyaf (pemandangan rohani). Setelah selesai, jamaah pun mengadukan perbuatan waliullah ini kepada sang imam, ‘Orang ini tiba-tiba membatalkan shalatnya ketika sedang bermakmum di belakang tuan, lalu mendirikan shalatnya sendiri!’ Dengan sangat berang, ia pun menanyakannya, ‘Sampaikanlah, apa sebabnya anda menghentikan shalat? Anda tentunya mengetahui seberapa besar dosanya.’ Dia menjawab, ‘Tuan Maulwi, saya ini orang tua dan lemah. Ketika saya berdiri di belakang tuan yang mulai mengimami shalat, seketika itu juga pikiran tuan berkelana ke Amritsar,  lalu ke Delhi, kemudian ke Kalkutta, dan sekarang pun sudah sampai ke Bukhara. Saya tak sanggup mengikuti tuan dengan jarak sejauh itu. [Maka aku putuskan untuk shalat sendiri saja!]’” Begitulah gambaran sebagian orang yang mengimami shalat.

            Pada suatu ceramah di tahun 1906, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,

“Apakah shalat itu? Ia adalah suatu permohonan Do’a yang dipanjatkan kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh kepedihan sedemikian rupa dan dengan hati membara yang sempurna. Oleh karena itulah namanya ‘shalatkarena yang dituntut dari membara, pergerakan dan kepedihan ialah Allah Ta’ala menghilangkan segala pikiran dan niat buruk yang ada didalam diri dan menciptakan kecintaan yang suci di tempat itu berdasarkan karunia-Nya yang umum.” Bersabda, “Dari kata ‘shalat’ saja sudah menunjukkan perkara ini bahwa ucapan dan do’a tidaklah cukup, melainkan juga harus disertai dengan satu rasa penat dan jiwa yang terbakar oleh panas yang membara dan kepedihan. Allah Ta’ala tidak mengabulkan suatu do’a sehingga si pendo’a menjadikan dirinya tengah mengalami maut. Mengajukan permohonan do’a adalah satu perkara sulit. Manusia pun tidak memahami hakekatnya. Banyak orang yang menulis surat kepada saya mengatakan, ‘Kami telah berdo’a untuk si fulan dalam rangka suatu urusan namun ternyata tidak ada pengaruhnya.’ Sehingga mereka pun berburuk sangka kepada Allah lalu merasa kecewa (putus asa) sehingga binasa. Mereka tidak mengetahui bahwa selama persyaratan berdo’a tidak dipenuhi, maka do’a-do’anya pun tidak mencapai manfaat (berfaedah). Diantara persyaratan do’a tersebut adalah harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga kalbu (hati) dijadikan lunak dan ruh laksana air mengalir ke arah istana Hadhrat Ahadiyat (Tuhan Yang Esa) dan menciptakan perasaan penuh kesakitan dan kecemasan yang bersamaan dengan itu manusia tidak tergesa-gesa dan tidak merasa tidak sabar melainkan terus menerus berdo’a dengan penuh kesabaran dan istiqamah. Dengan cara itulah dapat diharapkan do’a-do’a dikabulkan.” Beliau as bersabda, “Shalat adalah do’a yang berderajat sangat tinggi. Walaupun demikian, sayangnya orang-orang tidak mengindahkannya. Pada zaman sekarang ini, kebanyakan kaum Muslimin hanya mengikuti suatu cara jalan pintas tertentu saja. [Tidak memahami hakekat gerakan sikap tubuh ketika shalat; ketika ia qiyam, ruku, sujud, dan lain sebagainya]. Yang bagi seorang pemohon sejati, tak ada cara yang sungguh-sungguh makbul selain dari mendirikan shalat.” Beliau as bersabda, “…hendaknya diingat oleh kita dan siapa saja yang mencari kebenaran bahwa shalat menjadi demikian lezat sehingga tidak memerlukan bid’ah walau sekecil apa pun. Ketika Rasulullah saw tengah menghadapi saat-saat yang sulit dan cobaan beliau pun segera berdiri untuk mengerjakan shalat, dan memanjatkan segala permohonan beliau itu dalam shalat. Pengalaman kami dan orang-orang tulus yang telah lalu pun telah menguji dan membuktikan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat mengantarkan seseorang sampai kepada Tuhan selain daripada shalat. Ketika seseorang dalam posisi qiyam (berdiri) maka orang itu mengupayakan suatu adab (sopan-santun) sedemikian rupa. Seorang pelayan berdiri penuh takzim di hadapan tuan atau rajanya. Kemudian ruku‘ pun suatu adab [penyerahan diri] yang melebihi posisi qiyam dan puncak dari kedudukan adab [penyerahan dirinya tersebut] dalam bentuk sujud. Ketika seseorang dalam keadaan fana waktu itu pula ia menjatuhkan diri untuk bersujud. Namun sungguh disesalkan, orang yang tidak memahaminya dan merupakan pemuja duniawi menginginkan perubahan (merevisi gerakan) shalat dan berkeberatan bersujud dan ruku’…selama seseorang tidak mendapat bagian [tidak masuk kedalam] alam rohani yang dicapai dengan shalatnya selama itu pula ia tidak memiliki apa-apa di tangannya. Namun, bagi orang yang tidak yakin kepada Tuhan, bagaimana mungkin ia yakin terhadap shalat?” [4]

            Kemudian beliau as bersabda, “Jadi, saya ingin mengatakan bahwa hendaknya mengajukan permohonan do’a kepada Tuhan Yang Maha Tinggi sedemikian rupa sehingga sebagaimana ia mendapat anugerah [dari Allah Ta’ala] merasakan begitu lezatnya buah-buahan dan sesuatu lainnya demikian pula dengan anugerah kelezatan dalam shalat dan ibadah. Manusia senantiasa mengingat kelezatan sesuatu makanan yang telah dimakannya. Lihatlah! manusia senang menyaksikan sesuatu yang indah dan selalu mengingatnya. Dan kalau ia menyaksikan sesuatu yang buruk dan pemandangan yang tidak nyaman maka  seluruh keadaannya bertentangan dengan gambaran yang sebelumnya [ia merasa muak dan tidak mau mengingatnya]. Ya, demikianlah. Bila tidak ada hubungan tentu tidak akan ada kenangan. Demikian pula, shalat bagi orang yang tidak shalat [atau meninggalkan shalat] adalah [seperti] hukuman [denda] sehingga mereka merasa menderita untuk bangun saat subuh, berwudhu dalam suasana dingin, istirahatnya ditinggalkan dan beberapa macam kemudahan yang harus ditinggalkan karena terpaksa mengerjakan shalat. Hal yang mendasar adalah ketidaksadaran [ketidaktahuan]. Mereka tidak dapat mengetahui. Kelezatannya ada pada tidurnya dan ia tidak mencapai rasa lezat dalam shalatnya sehingga merasa tidak perlu meninggalkan tidur untuk shalat. Lalu bagaimana mungkin mereka itu dapat memperoleh kelezatan dalam shalat ?”[5]

Pada suatu pertemuan di tahun 1906, beliau as memberi nasehat dengan bersabda, “Mengenai perkara do’a Hadhrat Isa as menjelaskan sebuah perumpamaan indah. Beliau mengisahkan, ‘Ada seorang hakim yang dikenal enggan memberi keadilan dan siang-malam dilewatkannya dalam kesenangan hidup. Seorang wanita terus menerus setiap waktu berdiri di muka pintu rumahnya memohon keadilan. Hingga akhirnya sang hakim itu pun merasa terusik, maka ia pun memberi keputusan atas pengaduannya dan memberikan keadilan bagi wanita itu.’” Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Perhatikanlah! Apakah Tuhan tidak jauh lebih baik dibandingkan hakim itu bahwa Dia tentunya mengabulkan do’a-do’a tuan dan menganugerahkan keperluan tuan-tuan? Jadi, sibukkanlah senantiasa dalam memanjatkan do’a dengan penuh kesabaran dan istiqamah sedemikian rupa. Pasti akan datang waktu pengabulan dari do’a-do’a tersebut. Sikap istiqamah adalah persyaratan untuk terkabulnya do’a-do’a.” [6]

            Di suatu tempat dalam sebuah pertemuan beliau as bersabda, “Perhatikanlah, shalat jika hanya sebatas berupa adat kebiasaan dan ritual-ragawi belaka adalah tidak berguna bahkan mengenai orang-orang yang shalat semacam itu Allah Ta’ala mengirim laknat dan ‘wail’ (kecelakaan) kepada mereka maka bagaimana mungkin do’a-do’a mereka itu makbul? Tuhan sendiri berfirman, فويل للمصلين ‘fawailul lil mushalliin’ “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat…” (Surah Al-Maa-un 107 : 5) Itulah mereka yang tidak menyadari hakekat shalat dan tujuannya. Para sahabat ra sendiri adalah penutur bahasa Arab dan pastinya paham akan hakikatnya oleh karenanya adalah keharusan bagi kita untuk memahami arti dan makna berbagai do’a yang diucapkan ketika mengerjakan shalat dan menciptakan kelezatan sedemikian rupa dalam shalat. Walaupun demikian, seperti kita ketahui dari kalangan orang-orang itu (orang-orang pada jaman nabi saw) muncul orang yang mengaku nabi dan menghapuskan perintah shalat” (Walaupun mereka mengenal shalat itu apa tersisa hanya sebagai bentuk ragawi dan mereka membuat tatacara shalat lain yang diperintahkan oleh nabi baru mereka, Musailamah dan kawan-kawannya) Bersabda, “Perhatikanlah! Hal tersebut sama sekali bukan untuk manfaat bagi Allah Ta’ala, melainkan justru untuk faedah manusia itu sendiri, yang telah diberi kesempatan dan kehormatan untuk memohon kepada Khaliknya yang dengan itu mereka mendapatkan keselamatan dari berbagai macam kesulitan. Aku sangat heran melihat ada orang yang melewatkan hidupnya setiap kali melewati siang dan melewati malam namun tidak mengetahui bahwa mereka itu memiliki Tuhan. Ingatlah! Orang semacam itu telah binasa pula baik hari ini maupun besok.” Bersabda, “Saya menasehatkan satu hal penting, yang hendaknya dicamkan dalam hati. Perhatikanlah! Umur selalu bertambah [kehidupan terus berjalan dan umur kita yang bertambah menandakan berkurangnya kesempatan kita hidup di dunia. Kehidupan ini tak lebih dari suatu persinggahan belaka.] Jauhilah ghaflat (kemalasan, kelalaian) dan berupayalah menempuh sikap tadharru’ (kerendahan hati). Senantiasalah berdo’a memohon kepada Tuhan dalam kesendirian supaya Dia berkenan untuk senantiasa menyelamatkan keimanan dan Dia ridha dan senang kepada kalian.’[7]

            Disebutkan dalam suatu pertemuan bulan Maret tahun 1907 bahwa telah terjadi saling membenci antara dua orang Jemaat sehingga keduanya saling bermusuhan. Beliau as mengetahui perihal ini lalu mengenainya memberikan berbagai macam nasehat pada majelis itu, beliau bersabda, “Sebelum dada menjadi suci murni, do’a-do’a pun tidak makbul. Bahkan meskipun dalam urusan duniawi tertentu anda memiliki rasa benci kepada seseorang, do’a anda tetap tidak diterima.” Bersabda, “Siapa saja yang saling marah dikarenakan satu dengan yang lain berkelahi (bertengkar), dendam dan keakuan yang batil hendaknya segera meninggalkannya dan mengeluarkan kebencian tersebut dari dalam hatinya. Sebabnya, bila kebencian dan dendam tersimpan dalam hati maka dikatakan do’a tidak bisa dikabulkan.” Bersabda, “Maka hendaknya perihal ini sungguh-sungguh dipahami! Janganlah membenci orang lain meskipun dalam urusan duniawi. Apalah arti dunia dan segala urusan didalamnya? Demikian berartikah sehingga tuan-tuan harus saling membenci (bermusuhan)?”[8]

            Beliau as memiliki kebiasaan [keluar rumah] untuk berjalan-jalan di pagi hari. Sebagian para sahabat pun ikut menyertai. Sedikit banyak mereka berbincang-bincang mengenai tema-tema tertentu. Dikisahkan pada tahun 1908 ketika jalan-jalan di pagi hari, dalam suatu percakapan panjang yang saya (Hudhur) kutip sebagian beliau as bersabda, “Sebagian orang ada yang mendengar dari satu telinga lalu dari satu telinga lagi mereka keluarkan, hal-hal itu tidak mereka tanamkan dalam kalbu. Berapa banyakpun nasihat yang kalian beri tidak ada pengaruhnya bagi mereka. Ingatlah, Allah Ta’ala itu sangat tidak peduli. Selama do’a tidak dilakukan bertubi-tubi dan berkali-kali dengan kegelisahan yang memuncak maka Dia tidak akan peduli. Lihatlah, jika istri atau anak seseorang jatuh sakit, atau seseorang menghadapi suatu perkara pengadilan yang berat, maka betapa mereka mengalami kegelisahan yang memuncak untuk hal itu. Jadi, dalam hal do’a pun demikian, selama belum timbul rintihan sejati dan kegelisahan yang memuncak di dalamnya, maka selama itu pula do’a itu tidak berdampak sama-sekali dan merupakan pekerjaan yang sia-sia. Bagi terkabulnya suatu do’a terdapat syarat kegelisahan yang memuncak. Sebagaimana difirmankan,                أمَّنْ يُجيبُ المضطرَّ إذا دعاه ويكشف السوء ‘am may yujiibul- mudhtharra idzaa da‘aahu wa yaksyifus suu-a’ terjemahannya “Atau siapakah yang mengabulkan do’a orang yang sengsara apabila dia berdo’a kepada-Nya, dan melenyapkan keburukan?” (Surah An-Naml, 27 :   63) Selanjutnya bersabda, “Hanya Allah Ta’ala-lah yang mendengar do’a-do’a.” [9]

            Dalam suatu majlis irfan di Lahore yang juga dihadiri kalangan non Ahmadi, Hadhrat Masih Mau’ud as menyampaikan ceramah [panjang] mengenai do’a, “Maksud dan tujuan dari Islam yang sesungguhnya adalah manusia menjadikan keridhaannya sesuai keridhaan Allah Ta’ala.” Bersabda, “Namun memang benar maqam ini tidak dapat diraih oleh manusia dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Ya, didalamnya bukan hanya kata-kata.” (Tidak ada keraguan didalamnya) “bahwa merupakan kewajiban manusia agar melakukan mujahadah (upaya gigih). Namun sarana mendasar dan sarana yang sebenarnya untuk meraih maqam (martabat) ini adalah do’a. Manusia itu lemah. Selama dia belum memperoleh kekuatan dan dukungan melalui do’a, dia tidak akan dapat menempuh maqam (martabat) yang sangat sulit itu. Allah Ta’ala sendiri telah menyatakan tentang kelemahan dan ketidakberdayaan manusia, وخُلق الإنسان ضعيفا ‘wa khuliqal insaanu dha’iifa’ yakni, “Manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.” (Surah an-Nisa, 4 : 29) Dengan adanya kelemahan demikian lalu menyatakan diri dapat meraih derajat mulia serta maqam (martabat) jenjang tinggi tersebut melalui kekuatan sendiri adalah suatu khayalan kosong belaka. Untuk hal itu sangat diperlukan do’a. Do’a adalah suatu kekuatan besar yang melaluinya kesulitan­-kesulitan besar dapat dipecahkan, dan manusia dapat menempuh jenjang-jenjang yang sulit dengan sangat mudah. Sebab do’a merupakan suatu sungai yang menyerap faidh (karunia, keberkatan) dan kekuatan yang datang dari Allah Ta’ala. Seseorang yang senantiasa banyak memanjatkan do’a akhimya dia menarik faidh tersebut dan dengan memperoleh dukungan dari Allah Ta’ala dia mencapai maksud tujuannya. Ya, sekedar do’a saja, bukanlah yang dimaksud oleh Allah Ta’ala, melainkan pertama-tama gunakanlah segenap upaya gigih serta mujahadah (sepenuh usaha), dan bersamaan dengan itu gunakanlah do’a, gunakan sarana-sarana. Sebab tidak menggunakan sarana-sarana dan hanya mengandalkan do’a saja berarti tidak mengenal adab (tata-cara) berdo’a. Dan itu menguji Allah Ta’ala. Sedangkan sikap yang hanya bertumpu pada sarana-sarana saja, dan menganggap do’a sebagai sesuatu yang tidak berarti adalah dahriyat (atheisme, ketidakbertuhanan). Pahamlah dengan seyakin-yakinnya bahwa do’a adalah harta yang besar. Seseorang yang tidak meninggalkan do’a maka tidak akan ada petaka yang menimpa urusan rohani dan duniawinya. Dia akan berada dalam suatu benteng yang sekelilingnya senantiasa setiap waktu dijaga oleh pasukan bersenjata. Namun seseorang yang tidak peduli terhadap do’a, dia seperti orang yang tidak memiliki senjata, yang lemah, dan berada di tengah hutan belantara yang dipenuhi binatang-binatang buas. Dia tidak mengerti bahwa sama-sekali tidak ada kebaikan bagi dirinya. Dalam satu detik saja dia akan menjadi buruan binatang-binatang yang ganas, sehingga tulang belulang serta daging tubuhnya tidak akan terlihat lagi. Oleh karena itu ingatlah oleh kalian, bahwa kebahagiaan besar bagi manusia dan sarana pokok bagi penjagaannya (keselamatannya) adalah do’a. Do’a inilah yang menjadi tempat perlindungan baginya, jika dia setiap saat terus memanjatkannya.” [10]

            Pada suatu pertemuan di Lahore, beliau as bersabda, “Setelah memperbaiki keadaan akhlak, hal kedua ialah hendaknya berusaha untuk memperoleh kecintaan Ilahi melalui do’a. (Benahilah akhlak masing-masing. Setelah itu, berupayalah mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala melalui do’a) “Jauhilah segala macam perbuatan dosa dan keburukan, hingga dapat menjadi setetes air yang suci murni. Seiring dengan do’a, suatu perencanaan yang baik pun perlu dibuat untuk mencapai tujuannya itu. Allah Ta’ala menyukai adanya perencanaan dan pelaksanaan yang baik, sebagaimana dinyatakannya di dalam Qur’an Karim ini: yakni, فالمدبِّرات أمرا ‘fal mudabbiraati amra’ terjemahannya, “Dan demi mereka yang membuat perencanaan dan melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya.” (Surah an-Naazi’at, 79 : 6). Dia bersumpah demikian dalam Alquran Syarif. Saat seseorang untuk mencapai marhalah (tingkat) ini dia akan berdo’a dan menggunakan perencanaan sehingga pertemuan, pertemanan dan perhubungan yang menyulitkan [kerohanian] ditinggalkannya dan sibuk membiasakan diri dalam do’a-do’a sehingga satu hari ia menyaksikan saat pengabulan do’a-do’anya. Kesalahan orang-orang adalah setelah dalam beberapa waktu berdo’a lalu berhenti dan mengeluh, ‘Kami sedemikian rupa telah berdo’a namun tidak dikabulkan.’ Padahal orang-orang ini belum memenuhi hak berdo’a lalu bagaimana akan dikabulkan? Bila seseorang menderita kelaparan atau haus yang sangat lalu setelah hanya mendapatkan sebiji bijian untuk dimakan atau setetes air untuk diminum lalu mengeluh, ‘Saya tidak merasa kenyang [atau puas minum]’ Apakah keluhannya itu tepat? Tentu tidak!’ Selama ia tidak makan dan minum dalam ukuran penuh dengan semestinya selama itu pula ia tidak mendapatkan faedah. Begini pulalah perihal do’a. Apabila manusia melakukan sesuatu yang sepatutnya dengan penuh adab lagi tepat, ia menyediakan waktunya [untuk itu] maka ia layak berharap bahwa suatu hari apa-apa yang diinginkannya tercapai. Namun demikian, sejumlah besar manusia telah meninggal dalam keadaan meninggalkan jalan ini dan manusia dalam jumlah besar pula sedang dan akan bersiap-siap meninggal.” [Apabila meninggalkan jalan itu berarti meninggal dalam keadaan tersesat]. Beliau as bersabda, “Demikian pula orang yang dari kepala hingga kakinya terbakar dalam [kebiasaan] amalan-amalan buruk maka bagaimana mungkin do’anya yang hanya dilakukan dalam beberapa hari saja dapat memperlihatkan pengaruhnya. ‘Ujub (bangga diri), mementingkan diri sendiri, takabbur (sombong), riya dan penyakit-penyakit [akhlak] lainnya membuat amalan menjadi sia-sia. Perumpamaan suatu amalan shalihan (amalan yang baik) adalah seperti seekor burung. Bila dijaga di dalam suatu sangkar shidq (kejujuran, dapat dipercaya) dan keikhlasan, maka ia pun akan tetap terpelihara di dalamnya dalam keadaan hidup. Jika tidak, dia akan terbang jauh. Dan [menjaga] hal itu tidak akan berhasil jika tidak ada karunia Ilahi. Sebagaimana firman-Nya: فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ‘faman kaana yarjuu liqaa’a rabbihi fal-ya’mal amalaan shalihaw-walaa yusyrik bi’ibaadati rabbihii ahadaa’  yakni, “Maka barangsiapa yang mengharap bertemu dengan rabb (Tuhan)nya, hendaklah ia beramal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.” (Surah Al-Kahfi, 18 : 111). Jadi, amalan shalihan di sini maksudnya adalah yang sama sekali tidak tercampur didalamnya dengan sedikit saja keburukan melainkan hanya menunjukkan murni kebaikan. Tidak ada sikap ‘ujub, kibr (membesar-besarkan diri), kebanggaan diri, takabbur, ataupun riya (yaitu mengharap pujian dari orang lain karena perbuatannya). Sedemikian murninya, sehingga tak mengharapkan ganjaran surga, maupun takut neraka, semata-mata beramal karena kecintaannya kepada Tuhan. Selama kepentingan seseorang atau sesuatu yang lain masuk kedalam amalan tersebut maka selama itu pula ia akan tersandung dan itu namanya syirik. Sebab, bagaimana mungkin sebuah persahabatan dan kecintaan dapat bermanfaat bila didasari hanya dengan secangkir cae (teh jahe-susu) atau kecintaan kosong lainnya. Ada masanya bagi manusia semacam itu mengalami suatu keadaan yang membuatnya dengan mudah segera memutuskan hubungan. Barangsiapa yang menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala karena menginginkan harta-benda, mendapatkan anak-keturunan dan berhasil dalam urusan ini dan itu maka jalinan hubungan semacam itu hanya akan sementara sedangkan iman orang itu dalam kerusakan. Bila pada suatu hari seseorang mengalami kesedihan dalam maksud-maksudnya (maksudnya ada kekurangan) dalam mencapai keinginan-keinginannya) maka pada hari itu pula dapat dikenali keimanannya. Oleh karena itulah, seorang mu’min yang matang adalah dia yang beribadah kepada Allah tanpa mempunyai kepentingan [motif-motif] tertentu.” [Beribadah kepada Tuhan dilakukan dengan tidak mengatakan, “Bila akan terjadi begini dan begitu tentu saya akan beribadah.”] [11]

Pada bulan Agustus 1904 dalam suatu pertemuan di Lahore, beliau as bersabda, “Banyak orang yang mengatakan bahwa mereka percaya kepada keberadaan Allah Ta’ala. Tetapi manakala diperhatikan secara total, ternyata dalam diri mereka itu terdapat dahriyat (kufur, atheis) belaka karena ketika mereka sibuk dalam urusan duniawi, mereka pun benar-benar melupakan kekuasaan dan keagungan-Nya. Inilah mengapa sebabnya sangat penting saudara-saudara memohon makrifat [ilmu rohani yang hakiki] dari Allah Ta’ala melalui do’a-do’a. Tanpanya (do’a), keyakinan seseorang tidak akan pernah menjadi sempurna. Akan ada waktu untuk memahaminya bahwa di dalam pemutusan hubungan dengan Allah Ta’ala terdapat suatu kematian. Manakala berdo’a ingin menjauhi segala perbuatan dosa, maka hendaknya jangan meninggalkan upaya-upaya (berdo’alah untuk dapat menjauhi dosa-dosa dan lakukanlah juga usaha-usaha untuk itu). Jauhilah segala macam bentuk pertemuan ataupun kumpulan orang yang menggerakkan kepada perbuatan dosa. (Kaidah ini sangat penting, khususnya lagi bagi para pemuda dan pemudi untuk menghindari segala macam bentuk pertemuan ataupun kumpulan serta laghwiyat duniawi [acara-acara yang melalaikan kesadaran iman] yang menggerakkan kepada perbuatan dosa). Banyak-banyaklah berdo’a bersamaan dengan [upaya] itu. Ketahuilah oleh dirimu sendiri bahwa bencana-bencana itu yang datang dari sebab qadha dan qadar yang muncul menimpa manusia takkan berlalu selama pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa tidak ada. Ada isyarat (indikasi) demikian dalam pelaksanaan shalat lima waktu bahwa selama seseorang tidak menjaga dirinya dari semangat dan pikiran-pikiran penuh nafsu selama itu pula shalatnya tidak benar. Makna shalat benar-benar bukan yang melaksanakannya dengan mematuk-matukkan [tubuh], karena kebiasaan dan formalitas belaka [menjadi dianggap hal yang harus dan umum dilakukan dalam suatu masyarakat atau kumpulan orang]. Shalat itu hendaknya keadaannya demikian bahwa ia dikerjakan dengan sepenuh hati yang sensitif [penuh keharuan] dan setelah ruh dilunakkan lalu dengan penuh rasa takut menjatuhkan diri di istana Uluhiyyah (Ketuhanan). Selama ada kemampuan maka berusahalah sekuat mungkin untuk menciptakan kekhusyu’an. Dan senantiasalah memohon dalam do’a dengan penuh tadharru’ (kerendahan diri) agar dosa-dosa yang ada dalam diri dijauhkan. Shalat yang seperti itulah yang penuh keberkatan. Dan apabila ia berupaya dalam hal itu dengan penuh istiqamah (keteguhan) maka dia akan menyaksikan bahwa pada suatu malam atau suatu siang hari sebuah nur jatuh ke dalam hatinya dan kegemarannya menurutkan hawa nafsu ammarah akan jauh berkurang. Sebagaimana di dalam ular naga ada racun yang mematikan demikian pula ada racun serupa dalam nafsu ammarah. Dia yang menciptakannya (nafsu ammarah), Dia pula yang memiliki obat bagi racun tersebut.“ (Sebagaimana Allah Ta’ala menciptakan manusia maka hendaknya manusia juga memohon kepada Allah agar memberikan obat bagi segala dosa yang dilakukannya dan hal merugikan lainnya sembari melakukan upaya.) [12]

            Pada tahun 1904 dalam suatu majlis yang juga dihadiri oleh para mubayyi’in baru, beliau as memberi nasehat sebagai berikut,                                                                            “Dalam berdo’a, hendaknya periksalah kalbu (hati): Apakah cenderung kepada hal-hal duniawi, ataukah sungguh-sungguh demi agama? Apakah do’a-do’a yang dipanjatkan itu sebagian besar untuk kesenangan duniawi ataukah demi untuk mengkhidmati agama? [Hal ini patut untuk dicatat. Lihatlah hal ini! Kemanakah kecenderungan anda sekalian? Kearah dunia atau kearah agama? Dan bagaimana membuat ukuran kecenderungan tersebut. Disabdakan, ‘Tatkala anda berdo’a, do’a dalam hal apa yang lebih banyak anda panjatkan? Apakah untuk kepentingan duniawi anda, kemudahan kehidupan anda di dunia ataukah untuk agama atau pengkhidmatan bagi agama?] Jadi apabila diketahui bahwa dalam keadaan duduk, bangun dan berbaring pemikirannya ternyata untuk kepentingan duniawi dan bukan untuk tujuan agama maka ia layak menangisi keadaan dirinya. (Jadi apabila sepanjang hari pemikirannya termasuk do’a-do’anya untuk kepentingan duniawi saja dan tidak untuk tujuan agama maka sabda beliau as, “Ia hendaknya menangisi keadaan dirinya!”) Seringkali ditemukan, ada setengah orang yang siap-sedia sedemikian rupa berusaha keras dan begitu gigih untuk mengurus perkara duniawinya. Do’a pun rajin dimohonkan. Sebagai akibatnya, sampai-sampai ia pun jatuh sakit bahkan ada yang sampai menderita sakit jiwa. Padahal, bila pun mereka curahkan segala daya upaya dan do’a mereka itu untuk agama, tentu Allah Ta’ala pun tak akan menyia-nyiakan keperluan mereka. Perkataan dan perbuatan diumpamakan seperti biji benih. Jika seseorang diberikan sebiji benih dan ia meletakkannya, tidak mempedulikannya dan tidak memanfaatkannya akhirnya biji itu benar-benar hancur. Demikian pula dengan ucapan yang tidak diamalkan. Perlahan-lahan perkataan itu pun tak tersisa. Oleh karena itu utamakanlah pada sisi pengamalan.” (yakni, ‘Berusahalah maju dalam hal amalan. Satu benih yang ditanam tentunya akan tumbuh bertunas sedangkan bila hanya diletakkan saja di suatu tempat tak bertanah tentunya menjadi hancur.’) [13]

            Pada bulan Januari 1908, dalam sebuah percakapan mengenai apakah itu do’a hakiki, beliau as bersabda, “Do’a itu ada dua  macam:  Pertama, yang dilakukan secara biasa-biasa saja. Kedua, adalah do’a yang dilakukan dengan segenap curahan hati yang mencapai puncaknya. Jadi, do’a inilah yang dalam makna hakiki disebut sebagai do’a. Manusia hendaknya tetap memanjatkan do’a walau tanpa dilanda suatu kesulitan tertentu, sebab manusia tidak tahu apa yang menjadi rencana Allah Ta’ala, dan apa yang bakal terjadi esok. Jadi, sejak sebelumnya teruslah berdo’a, supaya kalian diselamatkan. Kadang-kadang bencana itu datang dengan cara sedemikian rupa, sehingga manusia tidak punya kesempatan lagi untuk berdo’a. Jadi, jika sejak sebelumnya memang sudah selalu berdo’a, maka hal itu akan berguna pada saat genting.” [14] (Inilah pentingnya do’a)

            Kemudian dalam satu ceramah, beliau bersabda, “Raga dan anggota tubuh manusia, dua tangan, dua kaki terbentuk sedemikian rupa sehingga mereka saling membantu. Tatkala  pemandangan ini terdapat dalam diri manusia itu sendiri maka sungguh mengherankan bila manusia mengalami kesulitan dalam memahami perihal ini, تَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ‘taaawanuu alal birri wat-taqwaa’, yakni, “…tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan…” (Surah Al-Maidah, 5 : 3). (Anggota tubuh manusia seperti tangan, kaki bahkan setiap anggota tubuhnya saling membantu satu dengan yang lain). Maka sabdanya, “Maka [mengherankan] melihat kesulitan dalam memahami ayat ‘taaawanuu alal birri wat-taqwaa’. Ya, saya berkata bahwa carilah sarana-sarana berdo’a!” (perlengkapan atau persiapan duniawi dan mencarinya itu juga sarana do’a. Do’a dan sarana saling menolong). Saya tidak melihat pengingkaran dari anda sekalian saat saya memperlihatkan kepada anda sekalian mengenai sistem sempurna dan sebuah mata rantai yang tegak (sistem metabolisme tubuh dll) dalam tubuh jasmani anda sekalian yang diciptakan oleh Allah Ta’ala yang mengisyaratkan (mengindikasikan perihal tolong-menolong) itu. Allah Ta’ala menegakkan rangkaian para nabi di dunia guna membukakan hal ini kepada dunia agar lebih jelas dan tegas lagi. Sebagaimana dahulu Allah Ta’ala Mahakuasa dalam hal itu demikian pula sekarang pun Dia Mahakuasa bahwa jika Dia berkehendak, maka Dia pun dapat membuat para rasul-Nya alaihis salaam, tidak memerlukan segala bentuk pertolongan. Namun, kemudian ada juga waktunya datang ketika mereka harus berkata مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللهِ  ‘man anshaarii ilallah’ – “Siapakah yang mau menolongku demi Allah?” Apakah seruan pengumuman mereka ini serupa dengan faqir yang sedang mengemis? Tidak! Saat menyeru ‘man anshaarii ilallah’ terdapat keagungan begitu rupa. Mereka ingin mengajarkan kepada dunia mengenai sarana dan prasarana yang merupakan satu bagian dari do’a. Bila tidak demikian, mereka itu memiliki iman yang sempurna kepada Allah Ta’ala dan sangat meyakini janji-janji-Nya. Mereka mengetahui janji Allah Ta’ala ini, إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آَمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Sesungguhnya, tentu Kami akan menolong para rasul Kami dan orang-orang yang beriman, di dalam kehidupan di dunia ini….” (Surah Al-Mumin, 40 : 52). Sebuah janji yang pasti dan meyakinkan. Saya berkata bila Tuhan tidak memasukkan ke dalam hati manusia pemikiran mengenai pertolongan maka kepada siapa seseorang akan memberikan pertolongan. Sebenarnya Penolong dan Penyelamat hakiki adalah Dzat Suci yang keagungannya disebutkan, نِعْمَ المولى ونِعْمَ الوكيل، ونِعْمَ النصير ‘ni’mal maula wa ni’mal wakiil wa ni’man nashiir’ “Sebaik-baik Teman, sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” Dunia dan pertolongan duniawi bagi mereka kal mayyit (seperti mayat) di pandangan orang-orang ini dan tidak punya nilai apa-apa sama dengan seekor kutu yang sudah mati. Namun demikian, mereka mengupayakan cara ini untuk mengajarkan kepada dunia satu cara garis besar do’a. Pada hakekatnya mereka menganggap bahwa pengurus sejati bagi segala urusan mereka adalah Tuhan dan sesungguhnya hal tersebut adalah hal yang benar bahwa وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ  ‘wa huwa yatawallash shaalihiin’ – “… dan Dia melindungi orang-orang shaleh.” (Surah Al-A’raf, 7 : 197) Allah Ta’ala memerintahkan mereka supaya menampakkan keadaan (urusan) mereka melalui orang-orang lain. Rasulullah saw kita pernah memberi nasehat untuk pertolongan dalam berbagai tempat [dalam berbagai urusan]. Hal demikian karena waktu itu adalah saat pertolongan Ilahi, carilah itu! Siapa yang akan ikut serta dalam kondisi itu.                                                                                 Ini adalah satu hal penting yang harus dipahami benar-benar bahwa sebenarnya adalah para ma-mur minallah (orang-orang yang mendapat mandat atau tugas atau risalah dari Allah Ta’ala, para nabi dan rasul) tidak meminta pertolongan kepada manusia namun ketika menyeru, ‘man anshaarii ilallah yakni “…siapakah yang menjadi para penolongku di jalan Allah?” (Surah Ali Imran, 3: 53) mereka sedang siap menerima dengan baik nushrat ilahiyah (pertolongan Ilahiyah) dan merupakan suatu ekses (akibat) dari curahan yang sangat memelas dengan gelisah mencari (pertolongan Ilahi, bukan pertolongan makhluk). Orang yang bodoh dan berpikiran pendek beranggapan, ‘Orang-orang semacam itu toh meminta bantuan kepada orang-orang lainnya.’ Namun kendati demikian, mereka (para nabi) dengan cara dan kedudukan seperti ini menjadi sarana keberkatan dan rahmat untuk hati seseorang yang menjadi sebab pertolongan. Jadi, inilah rahasia yang sebenarnya mengenai para ma-mur minallah yang memohon pertolongan [kepada Allah] yang akan berlangsung hingga hari kiamat. Akan tetapi mengapakah dalam menyebarluaskan agama, para ma-mur minallah menginginkan ada pertolongan dari orang lain? Ialah dalam rangka menunaikan kewajiban mereka supaya kehebatan Tuhan tegak dalam hati [orang-orang]. Lepas dari hal ini [menegakkan keagungan Tuhan dalam hati], adalah mendekati kekufuran bila selain Allah dijadikan sebagai pelindung. Dan bagi jiwa-jiwa yang kudus itu kemungkinan seperti ini adalah hal yang mustahil.” [15]

Kemudian beliau as bersabda, “Permisalan tentang do’a adalah seperti sebuah mata air bening, dan orang mu’min duduk di tepinya, kapan  saja dia mau, orang mu’min itu dapat minum sepuasnya. Seperti seekor ikan yang tidak dapat hidup tanpa air, demikianlah bahwa air bagi orang mu’min (orang beriman) itu adalah do’a, yang tanpanya dia tidak dapat hidup. Mahaal (tempat, saat, keadaan) yang paling tepat bagi do’a adalah shalat. Disitulah orang mu’min memperoleh ketenangan dan kenikmatan. Berlawanan dengan itu, kenikmatan sempurna yang dapat diraih seorang bejat dalam suatu perbuatan buruk tidak ada artinya. Hal utama yang dapat diraih dalam do’a adalah qurub (kedekatan) Ilahi. Melalui do’alah manusia dapat menjadi dekat dengan Allah Ta’ala, dan Dia menarik manusia itu ke arah-Nya. Tatkala di dalam do’a orang mu’min tercipta keikhlasan sempurna dan inqitha’ (pemutusan hubungan dengan wujud-wujud selain Allah) maka Allah Ta’ala pun merasa kasihan terhadapnya, dan Allah Ta’ala menjadi Pelindung baginya. Jika manusia menyimak hidupnya, tanpa perlindungan Ilahi maka kehidupan manusia benar-benar jadi pahit penuh kesedihan. Lihatlah, ketika manusia mencapai batas kedewasaan, dan dia mulai mengerti baik-buruk bagi dirinya, maka mulailah berlangsung suatu rangkaian panjang kegagalan, ketidak­berhasilan dan berbagai macam bala musibah. Untuk menyelamatkan diri dari semua itu dia melakukan berbagai macam upaya. Dia mencari jalan keluar melalui harta, melalui hubungannya dengan pemerintah, melalui berbagai tipu-muslihat, dan sebagainya. [Tatkala musibah-musibah di dunia mulai terjadi demikianlah yang dilakukannya. Bagi yang mempunyai harta-benda tentunya akan menggunakannya untuk menghindari musibah tersebut. Apabila ia memiliki banyak koneksi dengan petugas pemerintah, ia memanfaatkan hubungan itu atau berbagai macam trik dan penyalahgunaan atau lewat pemalsuan. Sedikit banyak ada yang menggunakan jalan itu.]  Itu adalah jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari masalahnya namun sulit baginya untuk berhasil disitu. Kadang-kadang kepahitan-kepahitan yang dialaminya berujung pada langkah bunuh diri. Nah, jika kesedihan, kedukaan dan penderitaan-penderitan orang dunia ini dibandingkan dengan musibah yang dialami para ahlullah atau para nabi, maka penderitaan-penderitaan orang dunia itu tidak ada artinya sama-sekali. Kendati pun demikian, musibah-musibah dan kesulitan­-kesulitan tersebut tidak mampu membuat golongan suci itu menjadi sedih dan berduka. Kebahagiaan dan kegembiraan mereka tidak terganggu sedikit pun sebab melalui do’a-do’a mereka itu hidup dalam perlindungan Allah Ta’ala. Lihat, jika seseorang memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah, misalnya pejabat tersebut memberi jaminan ketenteraman kepadanya bahwa pada saat dia mengalami bala musibah dia dapat meminta bantuan  dari pejabat tersebut, maka orang yang seperti itu tidaklah begitu sedih dan berduka dibandingkan orang-orang umum lainnya pada saat terjadi kesusahan yang pemecahannya ada di tangan pejabat tersebut. Nah, seorang mu’min yang memiliki hubungan semacam itu — bahkan memiliki hubungan lebih kuat dari itu dengan Sang Penguasa sekalian penguasa — kapan pula dia akan menjadi risau di saat-saat terjadi bala bencana? Musibah-musibah yang menimpa para nabi ‘alaihimus salaam, jika sepersepuluhnya pun menimpa orang-orang lain, maka kemampuan untuk hidup benar-­benar tidak akan tersisa lagi dalam diri orang-orang itu. Ketika para nabi ini datang ke dunia dengan tujuan ishlah (perbaikan) maka seluruh dunia menjadi musuh mereka. Ratusan ribu orang jadi bernafsu untuk membunuh mereka. Namun para musuh yang sangat berbahaya itu tidak mampu mengganggu ketenteraman mereka. Jika seseorang mempunyai musuh maka satu detik pun orang itu tidak bisa hidup dengan aman dari ancaman membahayakan musuhnya. Namun sekali pun seluruh negeri menjadi musuh para nabi ini, mereka tetap saja hidup dalam keadaan aman. Segenap kepahitan itu mereka tanggung dengan hati yang sejuk. Sikap menanggung kepahitan-kepahitan itu sendiri sudah merupakan mukjizat dan karamah. Keteguhan Rasul Akram (Sangat Mulia) saw merupakan suatu mukjizat yang nilainya lebih tinggi dari ratusan ribu mukjizat lainnya. Seluruh warga kaum beliau menyatu di satu sisi, lalu mereka menawarkan kepada beliau harta, kerajaan, kemuliaan duniawi, istri-istri cantik, dengan syarat asalkan beliau mau berhenti mengumandangkan kalimatullaahLaa ilaha illallaah — tiada Tuhan selain Allah.’ Namun terhadap semua itu Rasulullah saw mengatakan, “Jika hal ini aku lakukan dari diriku sendiri, maka semua tawaran ini tentu akan aku terima. Justru aku melakukan semua ini dibawah perintah Allah.” Kemudian di sisi lain, bagaimana Rasulullah saw menanggung segenap penderitaan, betapa itu merupakan suatu mukjizat yang luar biasa. Semua kekuatan dan kemampuan beliau menanggung hal tersebut beliau raih melalui perantaraan do’a yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada orang mu’min. Do’a penuh keperihan yang dipanjatkan orang-orang ini, kadang-kadang meluluh-lantakkan serangan bengis para pembunuh. Tentu anda sekalian telah mendengar bagaimana Hadhrat Umar ra mendatangi Rasulullah saw untuk membunuh beliau. Abu Jahal telah menyebarkan semacam selebaran (sayembara) di tengah­-tengah kaum mereka, yakni siapa saja yang dapat membunuh Janab Risalat Ma-ab (Yang Mulia Pengemban Risalah, yaitu Rasulullah) saw maka dia akan berhak memperoleh banyak sekali hadiah. Hadhrat Umar ra — sebelum masuk Islam — telah mengadakan kesepakatan dengan Abu Jahal, dan Hadhrat Umar sungguh-sungguh telah bermaksud membunuh beliau saw. Setelah mencari informasi maka Hadhrat Umar mengetahui bahwa Rasulullah saw biasanya di tengah malam datang ke Ka’bah untuk shalat. Dengan memperhitungkan bahwa itu adalah waktu yang sangat bagus, maka Hadhrat Umar ra pada malam hari bersembunyi di Ka’bah. Di tengah malam maka dari keheningan belantara itu mulai terdengar suara “Laa ilaha illallaah — tiada Tuhan selain Allah.” Hadhrat Umar ra bermaksud, ketika mendapatkan Rasulullah saw dalam keadaan sujud maka Umar akan langsung membunuh beliau. Ternyata Rasulullah saw sedang memanjatkan do’a-do’a dengan penuh keperihan, dan dalam keadaan bersujud itu beliau memanjatkan puji-­sanjung terhadap Allah sedemikian rupa, sehingga kalbu Hadhrat Umar ra pun menjadi luluh. Seluruh keberaniannya menjadi hilang, dan tangannya yang ingin membunuh itu jadi lemas. Ketika Rasulullah saw selesai mengerjakan shalat dan ingin pulang ke rumah, maka Hadhrat Umar ra mengikuti beliau dari belakang. Mendengar suara di belakang maka Rasulullah saw bertanya. Dan ketika diketahui bahwa itu adalah Umar, maka Rasulullah saw bersabda, “Wahai Umar, apakah engkau tetap tidak akan berhenti mengejarku?” Karena takut akan do’a buruk, Hadhrat Umar langsung mengatakan, “Hadhrat (Yang Mulia)! Saya telah meninggalkan niat untuk membunuh engkau. Mohon jangan lakukan do’a buruk terhadap diriku.” Demikianlah Hadhrat Umar ra selalu mengatakan, “Itulah malam pertama ketika di dalam diri saya timbul kecintaan terhadap Islam.” [16]

            Dalam suatu pertemuan soal-jawab, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Pihak musuh menilai buruk (dusyman bad andesy) hanya disebabkan kebencian mereka saja sehingga mengajukan protes terhadap setiap perkataan dan perbuatan kita, hal mana membuat hati mereka menjadi rusak. Barangsiapa yang hatinya telah rusak maka ia hanya melihat kegelapan ada di keempat arah. Kedegilan mereka itu sampai-sampai menuduh bahwa saya ini hanya duduk-duduk saja, tidak melakukan suatu apa pun. Mereka tidak menyadari, bahwa mengenai Al Masih Al Mahdi dimanapun tidak tertulis bahwa ia akan mengangkat pedang dan juga tidak tertulis bahwa ia akan berperang melainkan, justru telah dinyatakan bahwa melalui ‘hembusan nafas’ Almasih [yang dijanjikan Nabi saw]lah kaum kafir akan mengalami maut. Yakni, ia akan melaksanakan seluruh tugasnya dengan perantaraan do’a. Seandainya saya tahu, bahwa setiap saya keluar dan mengelilingi kota-kota ada sedikit faedah, tentulah saya pun tak akan pernah duduk diam di sini meskipun barang sejenak. Namun saya mengetahui bahwa selain menguatkan kaki, berjalan-jalan mengelilingi kota tidak ada faedah lainnya dan semua maksud dan tujuan kita yang ingin kita capai hanya akan berhasil dicapai berkat do’a. Karena do’a memiliki suatu daya kekuatan yang besar.” Beliau as bersabda, “Suatu kali seorang raja keluar untuk memerangi beberapa negeri. Di perjalanan ada seorang faqir yang sedang menunggangi kudanya yang dipegangnya erat menghadang sambil berkata, ‘Jangan maju ke depan! Jika tidak, niscaya aku akan memerangimu!’ Raja pun menyaksikannya dengan keheranan lalu bertanya, ‘Anda adalah seorang faqir yang tidak memiliki sumber daya apa-apa, bagaimana caranya anda memerangiku?’ Si faqir menjawab, ‘Saya akan menjadikan do’a-do’a dalam shalat subuh saya sebagai senjata untuk berperang melawan anda!’ Sang raja berkata, ‘Saya tidak mungkin mampu melawannya.’ Setelah berkata seperti itu, raja pun pulang. Tuhan meletakkan kekuatan besar dalam do’a. Hal inilah yang Allah Ta’ala telah mengabari saya berulangkali melalui ilham-ilham-Nya, ‘Sesuatu apa pun yang akan terjadi hanyalah lewat do’a akan terjadi.’ Do’a adalah satu-satunya senjata yang kita miliki dan selainnya kita tidak memiliki apa-apa sebagai senjata. Yakni, apapun yang saya panjatkan dengan diam dalam sepi, Allah Ta’ala membuatnya terlaksana dan diketahui secara terbuka. Pada zaman nabi-nabi terdahulu sebagian penentang dihukum melalui tangan nabi-nabi kendati pun demikian, Tuhan mengetahui [mereka berkata], ‘Kami dha’if dan lemah tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Oleh karena itu, kami meminta pertolongan-Nya dengan perantaraan Dia-lah semua pekerjaan kami diambil alih oleh-Nya.’ Hanya jalan yang satu inilah sekarang jalan Islam yang para ulama lahiriyah dan para filosof berpikiran sempit tidak memahaminya. Seandainya melalui peperangan diperintahkan kepada saya, tentulah Allah Ta’ala pun akan menyediakan berbagai sarana dan prasarananya untuk itu. Tatkala satu noktah dari do’a kita sampai dalam pengabulan tentu para pendusta akan menderita kehancuran. Berkata musuh nan bodoh, ‘Selain makan-minum dan tidur, tak ada lagi yang dikerjakannya.’ Pada kami ada do’a yang lebih berharga dan tak ada yang lebih bernilai selainnya. Beberkatlah orang yang memahami bagaimana cara Allah Ta’ala akan mengunggulkan agama ini.” [17]

            Saya sekarang ini telah memaparkan kepada saudara-saudara beberapa pokok bahasan mengenai do’a. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk dapat memahami pokok bahasan do’a, lalu menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan kita. Semoga kita menjadikan tekad paling besar dalam pandangan hidup kita ialah kedekatan dengan Allah dan senantiasa mengutamakan keridhaan Allah Ta’ala. Semoga kita termasuk orang-orang yang dalam keadaan kemudahan dan kesulitan, senantiasa menghadap kehadirat Allah Ta’ala dan menganggap penting menyampaikan permohonan do’a kepada-Nya. Semoga kita menjadi orang-orang yang memahami ruh itu bahwa setelah setelah menyatakan diri bergabung berbaiat dalam ikatan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as, diatas kita terpikul tanggungjawab yang besar. Yakni, sungguh suatu tanggung jawab yang sangat besar agar ucapan kita dan perbuatan kita harus senantiasa hanya untuk dapat menarik ridha Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk itu agar menjadi orang-orang yang mendahulukan agama diatas dunia dan menjadi orang-orang yang selalu berdo’a untuk mencapainya.

            Pada hari-hari ini ketika usaha penyerangan keras dari penentang Jemaat sedang terjadi, hendaklah banyak-banyak berdo’a untuk perlindungan Jemaat. Semoga Allah Ta’ala membuat semua siasat buruk mereka berbalik menerjang diri mereka sendiri. Sebaliknya, Allah Ta’ala melindungi Jemaat setiap saat.

          . اللهم إنا نجعلك في نحورهم ونعوذ بك من شرورهم.

‘Allahumma inna naj’aluka fii nuhuurihim wa na’udzubika min syuruurihim’, yakni, “Ya Allah! Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai tameng dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung kepada Engkau dari segala kejahatan mereka.”

            رب إني مظلوم فانتصر.

‘Rabbi inni maghluuban fantashir’, yakni, “Ya Rabbku (Tuhanku), sesungguhnya hamba dianiaya, hanya Engkaulah yang dapat menolongku.”

رب كل شيء خادمك ربّ فاحفظني وانصرني وارحمني.

‘Rabbi kullu syaiin khaadimuka rabbi fahfazhni wanshurni warhamni’, yakni, ‘Wahai Rabb (Tuhan) hamba, segala sesuatu adalah hamba Engkau, maka lindungilah hamba, tolonglah hamba, dan kasihilah hamba.’

Satu do’a istimewa Hadhrat Masih Mau’ud as ialah berikut ini:

رب توفني مسلمًا وألحقني بالصالحين.

Rabbi tawaffani Musliman wa alhiqnii minash-shalihiin’, yakni, ‘Wahai Rabbku (Tuhanku), wafatkanlah hamba dalam keadaan Muslim, dan masukkanlah hamba kedalam golongan orang-orang yang shalih.’

Semoga kita senantiasa termasuk dalam golongan orang-orang saleh. Semoga Allah Ta’ala mengabulkan do’a-do’a kita. Semoga [Allah Ta’ala] menganugerahkan taufik kepada kita untuk berjalan diatas jalan yang Hadhrat Masih Mau’ud as inginkan kita menjalaninya. [aamiin]

Alihbahasa          :Mahmud Ahmad Surahman, LA-USA

                                                 Redaksi Khotbah Jum’at

 

 

[1]Ayyadahulloohu ta’ala binashrihil ‘aziiz (semoga Allah yang Mahaluhur menolongnya dengan kekuatan yang agung)

[2] Selanjutnya disingkat ra. Radhiyallahu ta’ala ‘anhu, radhiyallahu ta’ala ‘anha, radhiyallahu ta’ala ‘anhuma, radhiyallahu ta’ala ‘anhum, ridhwanullahi ‘alaihim atau tanpa kata ‘ta’ala’ sekali pun semuanya berarti do’a kita agar keridaan Allah Ta’ala senantiasa melingkupi para sahabat Nabi saw.

[3] Malfuzhaat jilid 10 halaman 62 cetakan London edisi 1984

[4] Malfuzhaat jilid 9 halaman 109-111 cetakan London edisi 1984

[5] Malfuzhaat jilid 9 halaman 7-9 cetakan London edisi 1984

[6] Malfuzhaat jilid 9 halaman 41 cetakan London edisi 1984

[7] Malfuzhaat jilid 10 halaman 412-413 cetakan London edisi 1984

[8] Malfuzhaat jilid 9 halaman 217-218 cetakan London edisi 1984

[9] Malfuzhaat jilid 10 halaman 137 cetakan London edisi 1984

[10] Malfuzhaat jilid 7 halaman 192-193 cetakan London edisi 1984

[11] Malfuzhaat jilid 7 halaman 131-132 cetakan London edisi 1984

[12] Malfuzhaat jilid 7 halaman 123 cetakan London edisi 1984

[13] Malfuzhaat jilid 7 halaman 117 cetakan London edisi 1984

[14] Malfuzhaat jilid 10 halaman 122-123 cetakan London edisi 1984.

[15] Malfuzhaat jilid 9 halaman 12-14 cetakan London edisi 1984

[16] Malfuzhaat jilid 7 halaman 59-61 cetakan London edisi 1984

[17] Malfuzhaat jilid 9 halaman 27-28 cetakan London edisi 1984

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.