Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 7 Fatah 1391 HS/Desember 2012
Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Sejak beberapa waktu yang lalu, secara berkala saya telah memulai menceritakan riwayat-riwayat para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Awalnya saya akan mengambil keseluruhan riwayat itu dari permulaan. Kemudian terpikirlah untuk menceritakan riwayat-riwayat itu berdasarkan tema-tema yang berbeda. Karena itu rangkaian kisah ini sudah berlangsung semenjak lebih dari beberapa bulan, bahkan satu tahun yang lalu.
Berdasarkan hal itu, hari ini pun saya akan menceritakan riwayat-riwayat para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkaitan dengan rukya dan kasyaf mereka. Tujuan menceritakan riwayat ini sebenarnya adalah untuk membuktikan kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud a.s., atau untuk meningkatkan keimanan serta keyakinan, dan agar di dalam diri kita juga tercipta keimanan dan keyakinan, tercipta ta’alluq billaah (hubungan dengan Allah) dan agar kita juga menjadi orang-orang yang menjalin hubungan sejati dengan Allah Ta’ala, yang untuk itulah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang di tengah-tengah kita.ejak beberapa waktu yang lalu, secara berkala saya telah memulai menceritakan riwayat-riwayat para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Awalnya saya akan mengambil keseluruhan riwayat itu dari permulaan. Kemudian terpikirlah untuk menceritakan riwayat-riwayat itu berdasarkan tema-tema yang berbeda. Karena itu rangkaian kisah ini sudah berlangsung semenjak lebih dari beberapa bulan, bahkan satu tahun yang lalu.
Karena riwayat-riwayat ini sedang diceritakan dalam berbagai corak, dan kadang-kadang telah diceritakan di tempat yang berbeda, maka secara umum saya berupaya agar tidak menceritakannya dua kali. Pengecekan sudah dilakukan, tetapi bisa juga beberapa cerita terulang kembali.
Hadhrat Sardar Karam Dard Khan Sahib r.a.
Yang pertama adalah riwayat Hadhrat Sardar Karam Dard Khan Sahib r.a. yang baiat pada tahun 1902 dan pada tahun itu juga beliau berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau menceritakan, “Sebelum baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., saya melihat di dalam mimpi ada sebuah jalan, yang di jalan itu Hadhrat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sedang berjalan mendatangi saya. Saya datang dari arah depan…” –
yakni, beliau mengatakan bahwa — “Saya datang dari depan [berpapasan dengan] Hadhrat Rasulullah s.a.w. dan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Hadhrat Muhammad Rasulullah s.a.w. memberi isyarat [menunjuk] dengan jari kearah beliau (Hadhrat Masih Mau’ud a.s. – Red.) dan bersabda, ‘Orang ini adalah dari Tuhan, orang ini adalah dari Tuhan.’ Hudhur s.a.w. mengatakan hal ini tiga kali.”
Selanjutnya beliau menceritakan, “Ketika pada tahun 1902 saya baiat di Qadian Darul Aman, ketika mesjid Mubarak masih kecil…” — yakni ketika mesjid mubarak masih mesjid yang kecil – “maka dengan ciri-ciri itulah saya berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s..”[2]
Hadhrat Karimuddin Sahib r.a.
Kemudian Hadhrat Karimuddin Sahib r.a.. Beliau baiat pada tahun 1896, pada tahun itu juga beliau bisa berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau menceritakan, “Sekitar pertengahan tahun 1896, hamba…” — yakni kira-kira bulan Mei atau Juni tahun itu beliau – “Suatu kali bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di dalam mimpi. Hudhur sedang menunggangi unta.”
Yakni beliau melihat di dalam mimpi bahwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang dengan menunggangi unta.
Beliau selanjutnya menceritakan, “Pertemuan saya dengan Hudhur terjadi dalam kondisi ketika saya seorang diri sedang lewat di sebuah ladang yang baru dibajak dan ditaburi benih. Dalam keadaan itu Hudhur datang menghampiri saya. Dengan penuh kasih dan kecintaan Hudhur menjabat tangan saya. Dalam keadaan itu saya merasa bahagia.
Dalam mimpi itu juga sebelumnya saya bertemu dengan seorang piir (ulama) Naqshabandi. Saya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Piir (ulama) itu menyingkirkan tangan saya dan berkata, ‘Pergi kau! Orang tak beragama!..’” — Padahal bersalaman adalah perintah Islam. Tapi orang itu menyebut orang yang mengajak salam sebagai tidak beragama dan dan ia tidak bersalaman – Beliau mengatakan, “Setelah itu barulah terjadi pertemuan dengan Hudhur, dan dengan penuh kasih sayang Hudhur menemui saya.”[3]
Hadhrat Karimuddin Sahib ra. menceritakan lagi, “Dalam sebuah mimpi saya melihat bahwa Chowdry Nabi Bakhs Sahib, Sersan Polisi, yang mendapat kehormatan untuk baiat kepada Hudhur, mendapat Ilham….” — Sersan Polisi yang kepadanya turun Ilham ini bukanlah seperti polisi India dan Pakistan saat ini, yang tidak datang kepada mereka selain uang suap dan ketidakjujuran. Ia adalah orang pada masa itu, yang memiliki perhubungan dengan Allah Ta’ala. Karena itu beliau mengatakan, “Saya melihat, ia mendapat ilham.”.
Beliau mengatakan, “Saya menceritakan mimpi ini kepada seorang teman saya bernama Sayyid Muhammad Ali Sahib. Sayyid Muhammad Ali Sahib berkata, ‘Jangan khawatir.’ Tetapi ketika saya pulang setelah shalat shubuh, di saat matahari sedang terbit, maka Sayyid Maulwi Muhammad Ali Sahib Marhum dan Chowdry Nabi Bakhs Sahib sedang menyusun kata-kata yang pada malam harinya ditulis di atas selembar kertas oleh Chowdry Sahib secara tidak beraturan dan tak tersusun….”
Yakni Sayyid Muhammad Ali Sahib mengatakan kepada beliau (Karimuddin Sahib r.a.) bahwa beliau tidak perlu khawatir, seolah-olah tidak ada ilham turun kepada Chowdry Sahib. Tetapi beliau menceritakan bahwa ketika beliau sedang pulang setelah shalat, Chowdry Nabi Bakhs Sahib dan Sayyid Muhammad Ali Sahib sedang duduk, dan keduanya sedang menyusun kertas-kertas. Karena itu beliau mengatakan, beliau menjadi berpikir bahwa yang disusun itu adalah ilham-ilham yang turun semalam.
“Maka saya mengatakan kepada Sayyid Muhammad Ali Sahib: ‘Ketika saya menceritakan hal ini sebelumnya, Anda mengatakan bahwa saya tidak perlu khawatir. Sekarang katakanlah apa yang terjadi?’ Sayyid Muhammad Ali Sahib menjawab, ‘Karena orang-orang menertawakan dan memperolok-olok, maka saya tidak menceritakan [tentang ilham yang turun kepada Nabi Bakhs Sahib].’”
Beliau selanjutnya mengatakan, “Sejak waktu itu saya berpikir bahwa jika kepada murid Hudhur pun turun ilham, maka pastilah Hadhrat Masih Mau’ud itu benar. Usia saya pada waktu itu mungkin sekitar 16 atau 17 tahun. Saya tidak pernah membaca buku-buku Hudhur, tidak pula ada kemampuan untuk mengkajinya, karena waktu itu saya masih anak-anak dan saya juga tidak mendapatkan pendidikan keagamaan. Saya hanya membaca Al-Quran tanpa terjemahan dan pendidikan saya pada waktu itu hanyalah lulus sekolah dasar.” — Saya pikir maksud beliau adalah lulus kelas 8 – “…dan saya adalah pembantu guru di Qal’ah Shubah Sing.”
Beliau mengatakan, “Kemudian dalam sebuah mimpi saya melihat bahwa saya akan meninggal pada bulan Kaa tak…” — menurut pendapat saya bulan September atau Oktober. — “…Saya terus menunggu-nunggu. Sekarang maut (kematian) saya sudah dekat. Saya akan meninggal pada bulan Kaatak (nama bulan dalam bahasa Punjabi).
Karena mimpi-mimpi saya sebelumnya telah menjadi sempurna, saya berkeyakinan bahwa jika mimpi-mimpi saya sebelumnya telah sempurna, maka mimpi ini pun akan menjadi sempurna. Dan paling lama saya akan hidup hanya sampai bulan September atau Oktober. Tetapi bulan Kaa tak telah berlalu.”
Beliau mengatakan, “Saya mengemukakan kepada Muhammad Ali Sahib Marhum bahwa beliau akan terus membaca buku-buku tetapi kapan beliau akan mendapat kepuasan..” — Yakni Muhammad Ali Sahib memiliki hubungan dengan Chowdry Nabi Bakhs Sahib, mengetahui juga ilham-ilhamnya. Tetapi mungkin saat itu Muhammad Ali Sahib belum bai’at namun terkesan kepada Hadhrat Masih Mau’ud dan terbiasa membaca buku-buku beliau a.s., karena itu beliau (Karimuddin Sahib) mengatakan –
“Saya mengatakan kepadanya: ‘Anda terus-menerus membaca buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud dan tidak tahu kapan Anda akan merasa puas. Tetapi saya akan datang untuk baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebelum Anda.’”
Selanjutnya beliau menceritakan, “Saya berjalan kaki dari sana dan sampai di Qadian. Ketika saya tiba, maka selama beberapa hari saya berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Suatu hari saya mengatakan kepada Hakim Fazl Din Bherwi bahwa saya ingin baiat. Maka Hakim Sahib menjawab, ‘Saya paham, kenapa anak muda ini berjalan mondar-mandir kesana kemari.’
Hakim Sahib Marhum menyampaikan keinginan saya untuk baiat ke hadapan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. setuju, dan mengambil tangan saya ke tangan beliau lalu membaiat saya, saya waktu itu hanya seorang diri.
Ketika saya benar-benar datang [ke Qadian] maka saya mendapati Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tepat seperti apa yang saya lihat dalam mimpi-mimpi. Ini merupakan anugerah besar dari Allah Ta’ala yang diberikan kepada saya. Jika tidak, maka tidak diketahui bagaimana keadaan saya jadinya. Nama saya tertulis dalam daftar Ashab-e-Badr (sahabat-sahabat Badr) yang ditulis dalam Zamimah Anjaam-e-Atham urutan ke-68 atau 69.”[4]
Jadi, nama beliau ditulis dalam Zamimah Anjaam-e-Atham urutan ke-69.
Hadhrat Mian Allah Dita Sahib r.a.
Kemudian Hadhrat Mia’ Allah Dita Sahib r.a.. Beliau baiat tahun 1900 dan pada tahun 1905 beliau mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau menceritakan, “Saya tinggal di Mahal Puur, distrik Hosyar Puur. Pada saat terjadi gerhana matahari dan bulan (1894), usia saya kira-kira 10 sampai 12 tahun. Saat itu saya sedang membaca Al-Quran dan mengerjakan shalat nafal juga bersama dengan guru saya.
Tahun 1897 atau 1898 perbincangan tentang Hadhrat Masih Mau’ud sampai ke kampung saya, bahwa di Qadian, distrik Gurdaspur telah datang Hadhrat Mahdi a.s.. Perbincangan tentang ini sampai kepada Syekh Syihabuddin Sahib. Dua sampai tiga tahun saya terus melakukan tukar pendapat.
Mendekati tahun 1900, dalam mimpi, saya yang lemah ini melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di Qadian. Padahal saya sendiri belum pernah datang ke Qadian. Karena mimpi itu saya mendapatkan kepuasan.”
Yakni beliau belum pernah pergi ke Qadian sebelumnya, tetapi melihat Qadian di dalam mimpi, dan mimpi itu memberi kepuasan. “Saya berpikir bahwa saya akan baiat sesegera mungkin secepat yang saya bisa.”
Beliau menceritakan, “Saya mengambil uang dan pergi kepada Qazi Syah Din Sahib lalu mengatakan bahwa saya telah bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan itu membuat saya puas. Karena itu tulislah surat baiat saya dan berilah cap jempol. Qazi Syah Din Sahib berkata, ‘Sekarang tunggulah. Saya akan membuat daftar orang-orang yang akan baiat dan mengirimkannya beberapa hari lagi.’”
Beliau mengatakan, “Sejauh yang saya ketahui, ada sekitar 40 orang yang telah dicantumkan di daftar, dan di dalamnya ada nama saya juga.”[5]
Hadhrat Din Muhammad Sahib ra.
Hadhrat Din Muhammad Sahib r.a., beliau baiat pada tahun 1902 dan bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada tahun 1904. Beliau menceritakan, “Pada tahun 1902 saya terserang sakit disentri dan demam. Hari-hari itu ayahanda saya pergi ke Kalkuta untuk menjadi buruh yang bekerja keras. Dalam mimpi, saya datang ke Qadian. Sebelumnya saya tidak pernah terpikir untuk pergi ke Qadian. Apa yang saya lihat [dalam mimpi]? Ada sebuah kamar berukuran kecil. Di dalamnya tarhampar karpet dari kanvas. Di keempat sisi [kamar]nya terdapat empat buah ceruk kecil…” — dibuat ceruk kecil, tempat menaruh suatu benda dalam dinding — “di setiap ceruk kecil itu ada tempat tinta.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berjalan-jalan di sana dan sedang menulis suatu karangan. Ke arah ceruk kecil yang mana beliau berjalan, maka beliau memenuhi penanya dengan tinta dari ceruk itu. Saya pergi menghampiri pintu dan mengucapkan السلام عليكم ‘assalaamu ’alaikum.’ Hudhur menjawab, وعليكم السلام ‘wa ‘alaikumus salaam’. Kemarilah engkau nak.’ Saya mengatakan, ‘Hudhur, saya datang.’ Bersabda, ‘Lusa engkau akan baik.’ — beliau (Hadhrat Din Muhammad Sahib r.a.) sedang menceritakan mimpinya — ‘Bapak engkau memiliki pengaruh/kekuatan atas banyak orang. Ia akan mengirimkan uang kepada engkau.’
Ketika bangun pagi hari, saya menceritakan mimpi ini kepada guru saya yang terhormat Hadhrat Sayyid Bhawal Syah Sahib. Keesokan harinya, atas permintaan saya beliau menuliskan surat baiat. Jawaban dari surat itu masih ada dan terjaga.” — yakni ketika beliau menceritakan ini, saat itu jawaban suratnya masih ada pada beliau — “Dalam mimpi di hari berikutnya saya sudah hadir di Qadian, di hadapan Hudhur.
Persis seperti pada mimpi sebelumnya Hudhur mengatakan, “Kemarilah, engkau sudah datang.” Saya mengatakan, “Hudhur saya datang”. Hudhur berkata, “Engkau akan mempunyai seorang anak laki-laki. Ia akan menjadi seorang anak yang tidak pernah ada sebelumya dalam keluarga engkau. Di salah satu pahanya akan ada tanda hitam.”
Saya kemudian menceritakan mimpi ini kepada Hadhrat Syah Sahib. Pendek kata, ketika telah berlalu tiga hari dari mimpi yang pertama, maka saya telah menjadi sehat kembali. Seolah-olah sebelumnya tidak sakit. Setelah beberapa hari, ayah mengirimkan uang sejumlah 3 rupee. Saya diliputi perasaan cinta kapankah tiba waktu untuk bertemu dengan Hadhrat Sahib. Secara diam-diam ayah saya menentang.
Tahun 1904 saya pergi ke Lahore dan baiat di tangan Hudhur yang beberkat. Saya tinggal bersama Hudhur sekitar 5 hari. Hudhur tinggal di kediaman seorang hakim (tabib) yang terkenal sebagai pembuat ‘marham (salep) Isa’. Ada seorang maulwi yang biasa memanjat pohon taali (pohon wijen), lalu di atas pohon banyak berbicara omong kosong dan ia menjadi masyhur dengan nama ‘sang maulwi pohon wijen’.”[6]
Hadhrat Hafizh Ibrahim Sahib r.a.
Hadhrat Hafizh Ibrahim Sahib r.a.. Beliau baiat [melalui surat] tahun 1899 dan pada tahun 1900 beliau baiat dengan tangan (secara langsung). Beliau menceritakan, “Saya baiat dengan perantaraan surat pada tahun 1899, 3 atau 4 tahun sebelumnya pun ayahanda telah mengirim saya untuk baiat. Tetapi karena beberapa sebab saya kembali ke rumah. Setelah itu Sayid Bhawal Syah —yang merupakan teman dekat dan guru kami— baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
Beliau mulai memperdengarkan buku-buku Hudhur kepada saya. Seberapa banyak buku yang telah Hudhur tulis waktu itu, kira-kira sebanyak itu pula beliau (sayyid Bhawal Syah) memperdengarkan kepada saya. Pada hari-hari itu saya melihat di dalam mimpi kedatangan Hadhrat Rasulullah s.a.w..
Saya bertanya kepada Hadhrat s.a.w.. “Hudhur! Mirza Sahib yang saat ini mendakwakan diri sebagai Masih dan Mahdi, apakah dia benar dalam pendakwaannya? Hudhur s.a.w. bersabda, “Ya! Beliau benar.” Saya mengatakan kepada Hudhur [saw.], “Katakanlah dengan bersumpah.” Beliau bersabda, “ليس لي أي حاجة إلى القسم، فأنا أمين في الأرض والسماوات” “Tidak perlu bersumpah. Saya adalah orang yang jujur di langit dan di bumi.”
Setelah itu, pagi harinya saya menulis surat baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan di dalamnya juga menuliskan ucapan ‘assalamu’alaikum’ Hadhrat S.a.w..Kemudian saya pergi ke Qadian pada tahun 1900 dan baiat di tangan Hudhur.”[7]
Hadhrat Munsyi Barkat Ali Khan Sahib ra.
Hadhrat Munsyi Barkat Ali Khan Sahib r.a. menceritakan sebuah mimpinya yang beberkat. Beliau baiat tahun 1901. Pada tahun itu juga beliau bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau menceritakan, “Pada awal 1901, ketika sedang diadakan cacah jiwa [sensus oleh pemerintah jajahan Inggris], Hudhur a.s. menerbitkan sebuah selebaran yang di dalamnya tertulis bahwa barangsiapa yang beriman kepada saya (Hadhrat Masih Mau’ud) di dalam hatinya, walaupun secara lahiriah tidak baiat, maka ia boleh mencatatkan dirinya sebagai seorang Ahmadi.
Saat itu, saya sedemikian rupa berprasangka baik, yakni sedikit banyak saya juga sudah membayar candah. Meskipun saya belum baiat, dalam cacah jiwa itu saya akan menuliskan diri saya sebagai seorang Ahmadi.
Dalam sebuah mimpi saya bertemu dengan Hudhur pada suatu hari. Pagi-pagi, sekitar jam 4. Saya mengetahui bahwa Hudhur datang ke kamar saudara-saudara Ahmadi. Oleh karena itu, saya juga pergi ke kamar itu untuk mendapatkan kehormatan bertemu dengan Hudhur. Saya pergi dan mengucapkan, السلام عليكم ‘assalaamu ’alaikum.’ Hudhur menjawab, وعليكم السلام ‘wa ‘alaikumus salaam’ dan mengatakan, ‘Barkat Ali! Kapan engkau akan datang kepada saya?’ Saya menjawab, ‘Hudhur, saya akan datang [dalam waktu dekat].’
Hudhur pada waktu itu [dalam mimpi itu] sedang duduk di atas carpai, bertelanjang dada, rambut kepala tidak tertutup dan perutnya juga kelihatan. Beberapa hari setelah itu saya baiat secara tertulis. Sampai sekarang pemandangan itu masih saya ingat seolah-olah itu terjadi dalam keadaan saya terjaga.
Setelah itu pada saat Jalsah Salanah saya datang ke Darul Aman (Qadian) dan baiat secara langsung. Saat itu saya melihat gambaran Hudhur benar-benar persis seperti yang saya lihat di dalam mimpi. Beberapa saat setelah itu, secara kebetulan bertepatan saya turun ke tempat tamu yang di sana saat sekarang Hadhrat Sahibzada Mirza Basyir Ahmad tinggal..”. — rumah ini dekat dengan mesjid Aqsa — “Saya duduk di atas sebuah carpai dari beranda depan pada tempat yang agak sedikit tinggi, Hudhur datang, beliau kembali dari mandi. Rambut beliau terbuka, bertelanjang dada. Secara khas saya mengetahui bahwa gambaran ini adalah yang telah saya lihat dalam mimpi. Saya semakin yakin bahwa Allah Ta’ala telah memperlihatkan mimpi ini untuk memberi hidayah kepada saya.”[8]
Kasyaf Hadhrat Khairuddin Sahib r.a. dan
Cahaya Hadhrat Khalifatul Masih Tsani r.a.
Hadhrat Khairuddin Sahib r.a., putra dari Mustaqim Sahib meriwayatkan. Beliau baiat pada tahun 1906 dan bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga pada tahun 1906: “Suatu hari, dalam keadaan mengantuk saya mendengar sebuah suara dari langit, ‘Di antara para malaikat, nama Nuruddin adalah Abdul Basith.’ Saya juga menceritakan peristiwa ini kepada Hadhrat Khalifatul Masih” –. mimpi ini tentang Hadhrat Khalifah Awal – “Sambil tersenyum beliau r.a. berkata, ‘Saya juga tahu, bahwa nama saya Abdul Basith.’”[9]
Masih riwayat Hadhrat Khairuddin Sahib r.a. yang di dalamnya menyebutkan tentang Hadhrat Khalifatul Masih tsani r.a., sebelumnya saya sudah katakan bahwa beliau baiat pada tahun 1906. Beliau menceritakan, “Ketika beliau (Hadhrat Khalifat Tsani) memakai jubah khilafat, dan memulai pidato pertamanya di mesjid Mubarak, saat itu saya duduk di anak tangga di dalam mesjid. Mesjid penuh dengan orang. Saat itu keadaan saya tidak mengantuk, bahkan saya duduk dalam keadaan sadar benar-benar sadar.
Apa yang saya lihat? [Saya melihat] cahaya matahari berubah dan muncul cahaya lain. Cahaya itu memberikan kelezatan dan kebahagiaan sedemikian rupa, sehingga keadaan itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saya tidak bisa mengukur kelezatan itu. Tiba-tiba wujud mesjid pun menghilang dan majlis pun lenyap. Di depan mata ini hanya nampak Hadhrat Khalifatul Masih Tsani seperti sebuah bintang, yang sedang berjalan ke dalam cahaya itu.
Saya melihat kondisi ini sangat lama, tetapi saya tidak dalam kondisi mengantuk, bahkan sedang duduk dengan baik dalam majlis. Saya melihat pemandangan ini secara rohaniah. Tidak lama setelah itu, keadaan ini terjadi lagi. Begitulah, mulai nampak mesjid, orang-orang, begitu juga mulai terlihat Hadhrat Aqdas.”
Beliau menceritakan, “Cahaya yang waktu itu saya lihat di sekitar Hadhrat Aqdas, yang waktu itu berbentuk seperti bintang, selama sebelas hari secara terus-menerus setiap waktu saya melihat Hadhrat Khalifatul Masih Tsani dalam keadaan itu. Ke manapun beliau pergi, maka cahaya itu senantiasa ada di kanan, di kiri, di depan, dan di belakang beliau.
Dalam keadaan itu saya melihat Hadhrat Khalifatul Masih Tsani berada di dalam cahaya tersebut. Baik ketika saya sedang berada di rumah ataupun di luar, sedang bekerja ataupun sedang duduk. Ketika saya sedang makan ataupun sedang mengobrol” — Dalam waktu-waktu yang berbeda keadaan kasyaf ini terus-menerus mengitari beliau – “…Cahaya itu, dan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani terus-menerus nampak kepada saya.
Saya terus-menerus melihat pemandangan ini selama sebelas hari. Saya tidak pernah mendengar kasyaf yang seperti itu, tidak pernah pula melihatnya selama itu. Ini semata-mata hanya karena pengaruh dari berkat dan cahaya nubuwwah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sehingga orang biasa seperti saya pun, dapat melihat kasyaf yang sangat agung dan sangat panjang.
Kasyaf ini juga sesuai dengan ayat Quran Karim yang di dalamnya tertulis bahwa orang-orang yang suci dan baik akan mendapatkan cahaya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam ayat, نُوْرُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ “Nuuruhum yas-‘a baina aidiihim wa bi aimaaniihim — Cahaya mereka akan berlari-lari di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka.” (QS.At-Tahrim 66:9). Di dalam ayat lain dikatakan bahwa orang yang di dunia ini tidak mendapatkan cahaya, maka bagaimana dia akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat. Seolah-olah Allah Ta’ala memberitahukan kepada saya, ‘Khalifah engkau ini termasuk di antara orang-orang terpilih, yang pada hari kiamat akan mendapatkan cahaya, dan di dunia ini juga, orang ini senantiasa berada dalam nuur Tuhan.”[10]
Hadhrat Qadhi Muhammad Yusuf Sahib r.a.
Hadhrat Qadhi Muhammad Yusuf Sahib r.a. beliau baiat melalui surat pada bulan Januari 1902, dan pada bulan Desember 1902 beliau baiat secara langsung. Beliau menceritakan, “Diperlihatkan kepada saya, bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan dua malaikat penjaga untuk saya, yang satu, namanya Muhammad Shadiq, dan rupanya seperti ayahanda saya. Yang kedua, namanya Ghulam Shamdani.
Pada masa-masa ujian dan penderitaan, malaikat ini menampakan diri. Ayahanda saya berkata bahwa saya harus membaca “الحمد لله رب العالمين” alhamdulillaahi rabbil ‘aalamin sekurang-kurangnya dua kali, karena itu saya mengamalkannya setiap kali shalat.”[11] Yakni [maksudnya], “Saya membaca “الحمد لله رب العالمين” alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, “الحمد لله رب العالمين” alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin (QS. Al-Fatihah: 2), sebanyak dua kali di dalam shalat.”
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Yang berhak atas pujian hakiki adalah Allah Ta’ala, dan hamd (pujian) inilah yang mendekatkan Allah Ta’ala. Untuk menjalin hubungan dengan-Nya, untuk menjauhkan kesulitan-kesulitan, maka bacalah surat Al-Fatihah sebanyak-banyaknya, dan hendaklah merenungi setiap kata di dalamnya.”
Hadhrat Muhammad Fadhil Sahib r.a.
Hadhrat Muhammad Fazil Sahib r.a., beliau baiat pada akhir tahun 1899 dan awal tahun 1900. Beliau menceritakan, “Sebelumnya, sebagaimana sudah menjadi adat kebiasaan, dalam shalat saya biasa melipat tangan di bawah pusar…” – (yakni ketika shalat, beliau melipat tangannya di bawah seperti orang-orang ghair Ahmadi pada umumnya) — “…dan ketika mendapat kesempatan untuk bermakmum kepada seseorang, maka timbul rasa sedih di dalam hati. Saya juga biasa membaca Al-Fatihah di belakang imam. Tetapi hati ini selalu merasa gelisah….”
Yakni, mengenai membaca Fatihah di belakang imam dan melipat tangan, bagaimana melipatnya, apakah di atas atau di bawa pusar. Apakah harus membaca Fatihah atau tidak. Beliau tidak mendapat ketenangan mengenai hal itu [mana yang tepat].
“Suatu hari saya tertidur dalam keadaan gelisah ini. Dalam mimpi, saya sampai di Qadian. Saya pergi dari lorong dekat mesjid Mubarak. Saya sampai di pintu mesjid Aqsa. Setelah melewati anak tangga pertama yang lurus, saya masuk ke dalam. Maka di tempat sepatu batas luar mesjid, terdapat sebuah pohon phula (sejenis tanaman) dan di dekatnya atau di bawahnya terdapat kuburan yang kokoh. Di arah sebelah utara terdapat sebuah sumur, dan di mesjid terdapat jamaah yang sedang berdiri dengan melipat tangan secara sempurna di atas dada.
Di tempat shalat, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjadi imam. Di belakang imam ada satu tempat kosong untuk makmum. Saya pergi ke sana dan berdiri lalu melipat tangan di atas dada dan mulai membaca surat al-Fatihah. Ketika selesai membaca dan mengucapkan aamiin, maka saya terbangun. Seperti itulah permasalahan saya ini terpecahkan, yakni melipat tangan itu seharusnya di sini (di atas dada) dan [bagi para makmum] membaca al-Fatihah [di belakang imam] juga harus.”[12]
Hadhrat Khairuddin Sahib r.a.
Hadhrat Khairuddin Sahib r.a., putra dari Mustaqim Sahib menceritakan, “Suatu kali saya melihat di dalam rukya (mimpi), Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengundang makan beberapa orang. Hadhrat Ummul Mukminin sedang mengerjakan [pelayanan] dalam jamuan makan tersebut. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga sedang memperhatikan sebagai pengawas.
Ketika saya datang sebagai undangan, maka yang mulia Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengatakan, ‘Berikanlah nasi kepadanya.’ Karena itu saya diberi nasi. Ada satu hal yang lain, tetapi saya tidak ingat dengan baik apakah bersama dengan mimpi mengenai undangan makan ini atau terpisah. Tetapi saya ingat dengan baik hal ini, bahwa Hudhur a.s. mengatakan, ‘Pakaikanlah ia jubah.’ Karenanya, setelah sabda beliau itu, seketika saya melihat ke tubuh saya, dan tubuh saya sudah dipakaikan jubah warna putih yang sangat indah. Tidak diketahui bagaimana bisa sampai, kapan memakainya, tiba-tiba saja saya melihatnya sudah dipakaikan di badan saya. Kesannya sampai sekarang masih saya rasakan.
Begitu juga, suatu kali saya melihat seseorang di dalam mimpi. Ia adalah seorang di antara para sahabat [Rasulullah saw.]. Setelah mimpi, diketahuilah bahwa mimpi ini mengisyaratkan kepada Syair Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini:
Sahaabah se mila jab mujh ko paayaa
Wohi me us ko Maula ne pilaa di
Ketika berjumpa dengan saya maka [kalian] akan berjumpa juga dengan para sahabat
Di dalam itulah Sang Maula telah memberinya minum
Karena itu, orang yang bertemu dengan saya tersebut mengenakan jubah yang ujungnya berwarna merah. Saya bertanya kepadanya, ‘Dari mana engkau mendapatkan jubah ini?’ Ia menjawab, ‘Hadhrat Muhammad Rasulullah saw. telah memberikan ini kepada saya.’ Saya berkata, ‘Hadhrat Muhammad Rasulullah saw. sudah wafat sekitar 14 abad yang lalu.’ Ia menjawab, ‘Bagaimanapun juga, Rasulullah saw. yang telah memberikannya.’ Atau ia mengatakan, ‘Saya mendapatkan ini dari Rasulullah saw.’
Dalam kalimat-kalimat itulah [kami] saling berselisih pendapat. Saya mengatakan, ‘Beritahukanlah! Siapakah yang menjaga rumah Muhammad Rasulullah saw?’ Ia menjawab, ‘Yang menjaga rumah Muhammad Rasulullah saw. adalah anak-anak laki-laki dari mesjid.’ Saya menanyakan, ‘Bagaimana kabar istri-istri Muhammad Rasulullah saw.?’ Ia menjawab, ‘Engkau bertanya kabar istri-istri beliau? Beberapa di antaranya telah sampai di Delhi.’
Saat itu saya tidak tahu bahwa Hadhrat Ummul Mukminin, Hadhrat Sayyidah Nusrat Jahan Begum Sahibah adalah penduduk Delhi. Seolah-olah Allah Ta’ala telah memberikan kepuasan baik jasmani maupun rohaniah, ini merupakan silsilah (rangkaian) yang sesuai dengan Quran Karim, sebagaimana difirmankan, وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ ’wa aakhariina minhum lammaa yalhaquu bihim.’ – “Dan kaum lain di antara mereka yang tidak pernah berjumpa dengan mereka.”[13]
Hadhrat Khairuddin Sahib r.a.
Sebuah riwayat lagi dari Hadhrat Khairuddin Sahib r.a. beliau menceritakan, “Suatu hari saya melihat masjid Aqsa di dalam mimpi. Tetapi saya melihatnya demikian, yakni di dekatnya terdapat Baitullah. Bentuk keduanya sangat mirip. Saya tidak bisa mengenali yang mana mesjid Aqsa Qadian dan yang mana Baitullah. Bagi saya, bentuk kedua bangunan itu serupa. Saya berkata, ‘Yang ini atau yang itu, yang saya harus sebut masjid Aqsa?’ Pendek kata, kedua bangunan ini bagi saya sangatlah mirip. Mata saya terbuka, di dalam hati, ditanamkan tabir dari mimpi itu, yakni inilah penggenapan dari silsilah (rangkaian) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ Wa aakhariina minhum lammaa yalhaquu bihim (dan kaum lain di antara mereka yang belum bertemu dengan mereka. — QS. Al-Jumu’ah : 4).” [14]
Hadhrat Hakim Atha Muhammad r.a.
Hadhrat Hakim Atha Muhammad r.a, beliau baiat dan bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud pada tahun 1901. Beliau menerangkan, “Setelah baiat, saya tinggal beberapa hari di Qadian. Setelah mendapatkan izin dari Hudhur saya pulang ke Lahore dan Sufi Ahmad Diin Sahib Darwi Baaf telah mempertemukan saya dengan anggota Jemaat Ahmadiyah yang lain. Setelah beberapa lama, seorang sahib dengan penuh cinta mengatakan…” — yakni salah seorang Ahmadi mengatakan – ‘Muhammad s.a.w. Sahib telah datang ke Qadian.’ Setelah mendengar itu saya merasa heran, saya baru saja baiat. Saya berdoa, ‘Wahai Ilahi! Akidah Jemaat ini adalah bahwa Nabi Muhammad S.a.w. akan datang kembali untuk kedua kalinya, dan bagaimana bisa Mirza Sahib menjadi Muhammad?’
Saya melihat di dalam mimpi bahwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berdiri, seorang malaikat turun dari langit dan bertanya kepada saya, ‘Ini siapa?’ Saya menjawab, ‘Ini adalah Mirza Sahib.’ Kemudian saya melihat nur Hadhrat shalallahu ‘alaihi wa sallam turun dan masuk ke dalam kepala Hadhrat Masih Mau’ud a.s., lalu meresap ke seluruh tubuh beliau dan wajah beliau menjadi penuh cahaya dengan nur itu. Malaikat itu bertanya, ‘Ini siapa?’ Saya menjawab, ‘Tadi ia adalah Mirza Sahib, dan sekarang telah menjadi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam.’ [15]
Tidak ada keberatan atas hal ini. Sebenarnya ini adalah nur Muhammad, yang untuk menyebarkannya datanglah Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
Hadhrat Syekh Muhammad Sahib r.a.
Hadhrat Syekh Muhammad Sahib r.a. (Beliau baiat tahun 1905) menerangkan, “Pada waktu usia saya 12 tahun, meskipun kakak laki-laki ayah saya, Hakim Syekh ‘Ibadullah Sahib dan anaknya, Syekh Karam Ilahi Sahib baiat kepada Hadhrat Sahib, tetapi saya belum pernah melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan tidak pula pernah melihat foto beliau.
Saya melihat di dalam mimpi bahwa seluruh jiwa saya keluar dari tubuh saya, tetapi otak saya masih bisa memahami dan mata saya masih bisa melihat. Di depan saya duduk seorang suci dan di belakangnya nampak ada kaki sampai ke lutut. Ditanamkan di dalam hati saya bahwa orang suci yang duduk sedang melihat ke arah saya adalah Mirza Sahib, dan kaki yang terlihat di belakangnya adalah Rasulullah s.a.w.. Lalu mata saya terbuka.
Pagi harinya saya menceritakan dan meminta tabir dari mimpi ini kepada Murtaza Sahib, putra dari Maulwi Abdullah Khan Sahib, yang pada masa itu ia termasuk sebagai anggota Jemaat Lahore. Beliau menjawab, “Karena Mirza Sahib, maka engkau akan menjadi pengikut Rasul Karim S.a.w..”
Seperti itulah telah terjadi. Dengan bersumpah demi Allah, saya menulis bahwa ketika saya baiat tahun 1905, maka Hudhur sendirilah yang datang kepada saya dalam mimpi. Demikianlah, Tuhan menunjukkan jalan yang benar kepada orang yang Dia kehendaki.”[16]
Hadhrat Syekh Afdhal Sahib r.a.
Hadhrat Syekh Afzal Sahib r.a. menerangkan bahwa, “Ketika usia saya mendekati 15 tahun, saya bermimpi mengenai surga dan neraka serta a’raaf (tempat di antara surga dan neraka). Mengenai melihat surga dan neraka di dalam mimpi itu ada sebuah perincian yang panjang. Saya hanya membatasi sampai hal ini, yaitu ketika saya menyaksikan surga lalu keluar, maka saya bertemu dengan seorang suci dan ia meletakkan tangannya yang beberkat di atas pundak saya kemudian berkata, ‘Dimana anak-anak laki-laki itu?’
Saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya bertanya kepada orang suci itu, ‘Berapakah nilai/harga dari tempat ini, yakni surga?” Orang suci itu menjawab, ‘Jika Patiala — (nama kota di sebelah tenggara Punjab, di India Utara) — dijual dengan harga seratus kali lipat, maka harganya tidak akan menyamai satu batu bata dari tempat ini.’
Mata saya terbuka. Demi Tuhan yang nyawa saya berada dalam genggamannya, ketika saya pergi ke Qadian pada tahun 1905, maka Mirza Sahib adalah orang suci itu, yang bertemu dengan saya di pintu surga [dalam mimpi].”[17]
Hadhrat Muhammad Fazil Sahib r.a.
Hadhrat Muhammad Fazil Sahib ra., putra dari Muhammad Sahib. (beliau baiat tahun 1899). Sebelumnya telah menceritakan riwayat ini, cerita beliau, “Suatu hari saya pergi ke distrik Maan Kot, yang berjarak 8 kos — [1 kos sekitar 2 mil] — dari tempat kami. Pada malam hari, setelah shalat saya tidur. Apa yang saya lihat di dalam mimpi?
Saya duduk di tempat shalat dan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. duduk di tempat yang sedikit tinggi di tempat shalat. Lalu beliau menekan telapak tangan kanan saya dengan ibu jari beliau cukup keras dan mengatakan, ‘Telah timbul kekuatan di dalam hati.’ Maka saat itu saya merasakan kekuatan serta mengatakan, ‘Ya Hudhur, telah timbul kekuatan.’ Kemudian mata saya terbuka.”[18]
Muhammad Fazil Sahib r.a. menceritakan lagi, “Saya melihat di dalam mimpi bahwa saya telah sampai ke Qadian. Hadhrat Aqdas ‘alaihis salaam duduk di sudut dekat mihrab dalam mesjid Mubarak. Di dalam mesjid sangat bercahaya. Saya datang ke hadapan Hudhur dan duduk. Hudhur memberikan saya sebuah piring yang di dalamnya terdapat banyak serbuk halwah (manisan) berwarna merah dan berkata, ‘Makanlah ini!’ karenanya, waktu itu saya memakannya, rasanya sangat lezat. Saat itulah mata saya terbuka.”[19]
Hadhrat Hafizh Jamaal Ahmad Sahib ra.
Hadhrat Hafizh Jamaal Ahmad Sahib r.a. yang mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di bulan Mei pada tahun 1908. Beliau menceritakan, “Almarhum istri saya menerangkan, ‘Di dalam diri saya terdapat keragu-raguan [rasa waswas], “Para piir (ulama) dan yang lainnya toh sangat banyak, lalu mengapa kita mengatakan Hadhrat Sahib itu benar dan yang lainnya dusta?” — (yakni, Pir yang benar hanya Hadhrat Masih Mauud a.s. saja, dan yang lainnya semua salah).
‘Malam hari saya melihat di dalam mimpi bahwa Hadhrat Nabi Karim [Muhammad] s.a.w. memegang lengan Hadhrat [Mirza Ghulam Ahmad] Sahib dan bersabda, “Orang yang tidak menerimanya adalah kafir.”’
Keluarga almarhum istri saya, dulu adalah murid dari Sayyid Ahmad Riza Khan Barelwi Sahib. Setelah mimpi itu istri saya merasa puas.” (Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 251, Riwayat Hadhrat Syekh Muhammad Fazil Sahib r.a..)
Hadhrat Mian Muhammad Zhuhurud Din sahib ra.
Hadhrat Mian Muhammad Zhuhurud Din sahib r.a., beliau baiat pada tahun 1905. Beliau menulis, “Bapak mertua saya, Qazi Zainul Abidin Sahib telah baiat kepada Munsyi Ahmad Jaan Sahib رحمة الله عليه rahmatullah ‘alaih (r.h.a.) sebelum baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Setelah Hadhrat Munsyi Ahmad Jaan Sahib Ludhianwi wafat, bapak mertua yang terhormat Qazi Zainul Abidin Sahib beberapa kali bermuraqabah (merenung dan berdoa) sebagai cara untuk mendapatkan “كشف القبور” kasyaf di kuburan Hadhrat Mujadid Alf Tsani رحمة الله عليه (r.h.a.).[20]
Suatu hari Hadhrat Mujadid Alf Tsani terlihat dan menemui beliau. Beliau bertanya, ‘Apa yang engkau inginkan?’ Qazi Sahib menjawab, ‘Mengingat Allah! Mursyid [guru rohani] saya telah wafat.’ Setelah mendengar kalimat itu wujud Hadhrat Mujadid Alf Tsani menghilang. Kemudian Qazi Sahib pulang dari sana.
Dua tiga hari berlalu. Kemudian melakukan hal seperti itu lagi, beliau bermuraqabah lagi, berdoa di kuburan. Seperti sebelumnya, suatu rupa wujud Hadhrat Mujadid Alf Tsani datang ke hadapan beliau dan mengatakan, ‘Apa yang engkau inginkan?’ Qazi Sahib menjawab, ‘Mengingat Allah!’ (yakni, ta’alluq atau hubungan dengan Allah) Bersamaan dengan itu, saya juga bertanya kepada Anda apakah saya harus datang kepada Mirza Ghulam Ahmad Sahib Qadiani?’ Hadhrat Mujadid Alf Tsani mengatakan, ‘Engkau tidak akan mendapat kepuasan di sana.’ Setelah mengatakan hal itu, wujud beliau menghilang.
Beberapa hari kemudian Qazi Sahib pergi ke Qadian menghadap Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau mengatakan, ‘Kelezatan yang saya dapat di majlis pertemuan Hadhrat Munsyi Ahmad Jaan Sahib, tidak didapati di Qadian.’ Pada mulanya beliau terbiasa mengatakan bahwa beliau tidak merasakan kelezatan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mujadid Alif Tsani, beliau tidak mendapatkan kepuasan. Tetapi beliau tetap datang dan tinggal selama satu minggu tiap kali datang.
Hadhrat Munsyi Ahmad Jaan Sahib adalah seorang suci yang setelah melihat keadaan awal Hadhrat Masih Mau’ud a.s., beliau berhenti menerima baiat dari orang-orang dan apabila ada orang datang kepada beliau, maka beliau mengatakan, ‘Sekarang ini, barangsiapa yang gemar untuk mengingat Ilahi, maka hendaklah ia pergi kepada Mirza Ghulam Ahmad di Qadian.’ Tahun 1885 beliau wafat. Inilah seorang suci yang Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pernah menulis meminta didoakan ketika beliau r.h.a. pergi menunaikan ibadah haji.
Qazi Sahib menceritakan, ‘Munsyi Ahmad Jaan Sahib selalu mengatakan, “Saya ini tidak ada apa-apanya…” — (jika tidak ada orang yang lain, maka saya ada) – “Saya memberikan hanya setetes kepada makhluk Tuhan. Tetapi orang itu, yakni Hadhrat Masih Mau’ud a.s., telah menciptakan kegigihan yang sangat tinggi, beliau telah mengangkat batu penghalang dari sumber mata air. Sekarang, siapa yang mau, maka dia bisa minum sepuasnya.”
Bersama itu juga, beliau r.h.a. selalu melantunkan syair ini yang berisi mengenai keagungan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alahish shalaatu was salaam,
“Ham mariizong ki he tumhi peh nazar. Tum masiiha bano Khuda ke liye.”
Kami ini orang-orang yang sakit, pandangan tertuju hanya padamu
Demi untuk Tuhan, jadilah engkau Masih (Penyembuh)
Sebelum kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ke Ludhiana, beliau r.h.a. mengatakan kepada muridnya, “Mirza Ghulam Ahmad Sahib akan datang ke Ludhiana. Kami pun akan pergi ke stasiun [kereta api] untuk bertemu dengannya. Ke arah siapa saya memberi isyarat, maka pahamilah oleh kalian bahwa itu adalah Mirza Ghulam Ahmad Sahib”. Murid-murid beliau berkata, “Anda belum pernah melihat Hudhur, bagaimana Anda bisa memberitahukan bahwa orang tertentu adalah Mirza Ghulam Ahmad Sahib.” Atas pertanyaan itu beliau menjawab, “Sejak awal ciri-cirinya sudah ada dalam hadits-hadits.”
Oleh karena itu, ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tiba di stasiun Ludhiana dan turun, beliau a.s. berjalan di antara kerumunan banyak orang. Saat itu, beliau memberikan isyarat kepada para muridnya dan memberitahukan bahwa, “Itulah Mirza Ghulam Ahmad Sahib.” Ketika beliau r.h.a. datang ke dekat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., maka beliau mengucapkan السلام عليكم ‘assalaamu ’alaikum.’ dan menjabat tangan beliau a.s..
Karena akidah Hadhrat Munsyi Ahmad Jaan Sahib itulah, Qazi Sahib mengatakan, ‘Saya kemudian baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Ketika saya mengikuti majlis Hadhrat Aqdas, semula saya tidak menyukai majlis ini, tetapi ketika saya mengikuti setelah saya baiat, maka apa yang diikuti dari majlis-majlis sebelumnya mulai nampak terasa hambar.’”[21]
Pentingnya Menciptaan Hubungan dengan Allah
Semoga Allah Ta’ala selalu meningkatkan keimanan dan keyakinan kita seperti orang-orang suci itu, dan setiap orang dari antara kita hendaklah melakukan cara yang Hadhrat Masih Mau’ud a.s. inginkan yang untuk menegakkan itu beliau datang. Hanya baiat saja tidaklah cukup, melainkan setiap orang dari kita haruslah menciptakan suatu hubungan dengan Allah Ta’ala.
Doa Untuk Pakistan
Hal yang kedua adalah, saya terus-menerus menggalakkan gerakan doa untuk Pakistan. Para anggota jemaat juga berdoa. Hari inipun saya ingin menarik perhatian ke arah itu. Keadaan orang-orang Ahmadi di Pakistan sedang sedemikian rupa dipersulit. Dan ketika dikatakan kepada orang-orang pemerintah, dilaporkan, pergi kepada para aparat, bertanya kepada mereka, maka mereka mengatakan, “Berdasarkan laporan kami, semuanya baik-baik saja dan tidak sedang terjadi apapun.”
Apalah lagi yang bisa dikatakan terhadap ketidakadilan mereka ini selain Innaa lillaahi. Sungguh, Allah Ta’ala lah yang menjadi pusat perhatian kita, dan hendaknya demikian. Orang-orang itu tidak bisa mengukur kekuasaan-kekuasaan Allah Ta’ala. Mereka secara duniawi menganggap bahwa ini pun merupakan Jemaat yang bisa diperlakukan sekehendak mereka. Dan tidak akan terjadi sesuatu dengan mereka.
Bagaimanapun, tugas kita adalah tunduk di hadapan Allah, dan inilah kewajiban kita. Kita harus sebanyak-banyaknya memberikan perhatian ke arah itu. Janganlah hendaknya ada kekurangan dan kelalaian kita dalam hal ini.
Perusakan Nisan Kuburan Orang-orang Ahmadiyah
Beberapa hari yang lalu, di pekuburan Ahmadiyah di Model Town, Lahore, ada 14 atau 15 orang menyusup masuk dengan paksa. Lalu mereka mengikat dan menodongkan senjata kepada para penjaga dan para keluarganya serta menyekap mereka di dalam rumah. Setelah itu, mereka merusakkan 120 nisan kuburan dengan cara tidak hormat.
Saat ini, karena kejahatan-kejahatan syaitani itu, orang yang sudah di dalam kubur pun tidak aman. Setelah wafatpun orang-orang Ahmadi tidaklah aman. Dalam peristiwa-peristiwa itu nampaklah ada campur tangan dari polisi juga. Mereka (orang Ahmadi) tidak mendapatkan perlindungan bantuan dari polisi. Karena FIR (First Information Report) ditulis dengan sangat sulit. Jika berusaha untuk dituliskan pun, baru ditulis setelah sebelumnya mereka sangat menolak.
Pensyahidan Maqshud Ahmad
Begitu juga, rangkaian peristiwa pensyahidan terus terjadi. Hari ini pun, seorang pemuda Ahmadi di Quetta, yang bernama Maqshud Ahmad telah disyahidkan. Baru beberapa saat yang lalu saya mendapatkan beritanya. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un. Ketika laporan tentang kondisi almarhum syahid diterima, maka Insya Allah Ta’ala saya akan mengimami shalat jenazah ghaibnya Jumat depan.
Kakak laki-laki beliaupun telah disyahidkan sebulan sebelumnya. Semoga Allah Ta’ala segera menyampaikan orang-orang itu terhadap balasan akibat perbuatannya. Namun, seperti yang telah saya katakan, atas setiap kebencian dan kezaliman musuh-musuh, tugas kita adalah sedari awal banyak tunduk kepada Allah Ta’ala dan memohon pertolongan-Nya. Jemaat secara khas harus memberikan perhatian ke arah ini. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik-Nya kepada kita.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 5, halaman 1, Riwayat Hadhrat Sardar Karam Dad Khan Sahib.
[3] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 5, halaman 38, Riwayat Hadhrat Karimuddin Sahib r.a.
[4] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s, Jilid 5, halaman 38-40, Riwayat Hadhrat Karimuddin Sahib r.a..
[5] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 4, halaman 49, Riwayat Hadhrat Mia’ Allah Dita Sahib r.a.
[6] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s, Jilid 4, halaman 118-119, Riwayat Hadhrat Diin Muhammad Sahib r.a..
[7] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 4, halaman 120, Riwayat Hadhrat Hafidz Muhammad Ibrahim Sahib r.a..
[8] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.., Jilid 4, halaman 138-139, Riwayat Hadhrat Munsyi Barkat Ali Sahib r.a.).
[9] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s, Jilid 7, halaman 157-158, Riwayat Hadhrat Khairuddin Sahib r.a..
[10] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 158-159, Riwayat Hadhrat Khairuddin Sahib r.a..
[11] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s, Jilid 7, halaman 201, Riwayat Hadhrat Qazi Muhammad Yusuf Sahib r.a..
[12] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s, Jilid 7, halaman 231, Riwayat Hadhrat Muhammad Fazil Sahib r.a.
[13] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.., Jilid 7, halaman 156-157, Riwayat Hadhrat Khairuddin Sahib r.a..
[14] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 158, Riwayat Hadhrat Khairuddin Sahib r.a..
[15] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 176, Riwayat Hadhrat Hakim Atha Muhammad Sahib r.a..
[16] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 218-219, Riwayat Hadhrat Syekh Muhammad Afzal Sahib Sahib r.a..
[17] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 219, Riwayat Hadhrat Syekh Muhammad Afzal Sahib r.a..
[18] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 231-232, Riwayat Hadhrat Muhammad Fazil Sahib r.a..
[19] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 7, halaman 235-236, Riwayat Hadhrat Muhammad Fazil Sahib r.a..
[20]Hadhrat Khwajah Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaihi (1564-1624, 971-1034 Hijriyah). Namanya Ahmad, mendapat tambahan Faruqi karena keturunan Khalifah Umar bin Khaththab al-Faruq. Sementara Sirhind (dekat Candigarh, Punjab, India Utara, sebelah timur Lahore, Pakistan) adalah nama desa tempat kelahirannya, juga tempatnya dimakamkan. Hidup di zaman kekaisaran Mughal di India. Gelar Mujaddid Alf Tsani artinya beliau adalah mujaddid di ribuan kedua. Beliau juga digelari Imam Rabbani. Penganut Tarekat Sufi Naqshbandiyah termasuk di Indonesia sangat mengenal beliau. Karyanya yang terkenal ialah Maktubat, kumpulan surat-surat beliau. Beliau menjunjung tinggi Al-Quran dan Sunnah, gigih memperbaiki pendapat-pendapat di zaman itu. Contohnya pendapat tidak perlunya syariat setelah mendapat makrifat.
[21] Dikutip dari Register Riwayat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Jilid 11, halaman 355-385, Riwayat Hadhrat Mian Muhammad Zuhuruddin Sahib r.a..