Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 02 Maret 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Ajaran Islam sangat menekankan praktik akhlak tertinggi dan tata krama yang baik di setiap kesempatan di rumah dan di masyarakat. Apa yang Islam ajarkan berupa penampakan akhlak fadhilah kepada setiap tingkatan masyarakat baik sesama pemeluk agama yang sama maupun selainnya dengan tidak melewatkan segi akhlak sekecil apa pun, tidak ada agama selain Islam yang membahas masalah ini secara rinci.
Namun, sayangnya, termasuk kemalangan umat Muslim, yang pada umumnya dianggap berada paling bawah dalam hal ini. [perangai atau perilaku umumnya mereka justru malah berseberangan dengan ajaran itu] Orang-orang non-Muslim mengkritik mereka karena praktik mereka bertentangan dengan ajaran ini.
Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umat beliau dengan keteladanan dan nasehat-nasehat berulang kali di berbagai kesempatan supaya menampilkan keteladanan luhur dalam akhlak. Umat Islam umumnya mengaku mencintai Nabi Muhammad (saw) tapi dalam pengamalannya tidak mengikuti sabda dan teladan Nabi (saw).
Memperhatikan keadaan umat Muslim umumnya telah demikian, Allah Ta’ala mengutus Imam Mahdi dan Almasih yang Dijanjikan. Namun, orang-orang Muslim dengan keras menolak memperhatikan nasehat-nasehat beliau itu. Bahkan di beberapa tempat atau di beberapa negara, penentangan mereka terhadap Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Jemaat beliau mencapai titik puncaknya. Mereka menggunakan kalimat kasar, menyakitkan dan keji yang bahkan itu tidak diucapkan seorang berakhlak di tingkat bawah sekalipun dan memperlihatkan akhlak sederhana. Mereka sendirilah yang menanggung akibat perbuatannya sendiri dalam corak mendapat celaan dari orang-orang non Muslim di tiap tempat di dunia ini.
Keadaan mereka ini harus menarik perhatian kita orang-orang Ahmadi agar berusaha sebaik-baiknya untuk menanamkan dalam diri kita, moral yang paling baik. Kita harus mencoba menerapkan moral tertinggi dengan memanfaatkan semua indera kita yang mana itu merupakan ajaran Islam dan contoh praktisnya telah terbentuk di hadapan kita dalam keteladanan Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak, tidak ada gunanya bagi kita untuk menyebut diri sebagai orang Muslim Ahmadi.
Jika kita melihat contoh praktis Nabi (saw), kita melihat standar (moral) yang menakjubkan. Jika kita perhatikan keadaan-keadaan rumahtangga Nabi (saw), akan jelaslah bagi kita bagaimana beliau (saw) memperingatkan salah satu dari istri-istri yang telah mengolok-olok istri beliau (saw) yang lain dalam hal ukuran tinggi-pendek tubuhnya, karena ini akan menyebabkan rasa sakit emosional pada orang lain.[1] Pada kali lain, beliau menasehati salah satu istri beliau untuk tidak menunjukkan ketidaksenangan pada salah satu istri beliau (saw) lainnya dalam satu atau hal lain.[2]
Suatu kali beliau (saw) juga memberikan nasehat kepada anak-anak demi meninggikan tingkat akhlak mereka. Beliau (saw) bersabda, “Hendaknya tidak melempari pohon kurma demi mendapatkan buah kurma karena buah yang masak atau belum masak sama-sama akan terkena dan jatuh. Jika engkau merasakan amat lapar yang tak tertanggungkan, engkau dapat memakan buah kurma yang jatuh di bawah pohon itu. Dari segi ini, lebih baik saya mendoakan engkau untuk jangan sampai dalam kondisi berat sehingga terpaksa memakan buah kurma yang terjatuh di tanah. Semoga Allah Ta’ala menyediakan sarana-sarana rezeki senantiasa kepada engkau.”[3]
Dengan doa ini, beliau mengarahkan perhatian si anak agar senantiasa kembali kepada Allah supaya Dia memenuhi keperluan-keperluannya, bukannya memakan harta orang lain dengan jalan tidak sah. Memang benar dalam sebagian keadaan diperbolehkan memakan yang terjatuh di tanah namun Nabi (saw) mengajarkan penerapan akhlak luhur, dan itu baik.
Selanjutnya, Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada seorang anak yang makan secara terburu-buru dan tangannya berseliweran kesana kemari, يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ ”Wahai Ghulam (Nak!), sebutlah nama Allah (bacalah ‘BismiLlaah’), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.”[4] Maka dari itu, tarbiyat kepada anak-anak hendaknya dengan cara-cara yang menimbulkan dalam diri mereka akhlak luhur saat dewasa.[5]
Selanjutnya, ketidakjujuran adalah dosa dan kebenaran (kejujuran) adalah kebajikan dan moral yang baik. Nabi (saw) telah memberikan panduan untuk menanamkan kualitas moral ini di hati anak-anak sejak kecil mereka dengan cara ini. Seorang Sahabat menceritakan sebuah kejadian masa kecilnya yang mengatakan, “Suatu kali, Nabi datang ke rumah kami. Karena ketidakdewasaan saya, beberapa saat kemudian, sementara Nabi masih hadir di rumah, saya hendak pergi bermain di luar. Oleh karena itu, untuk menghentikan saya meninggalkan lingkungan yang diberkati ini, ibu saya berkata, ‘Kemarilah dan tinggallah di sini (jika Anda melakukannya), saya akan memberi Anda sesuatu.’
Atas ini, Nabi (saw) berkata, ‘Apakah Anda ingin memberinya sesuatu?’ Ibu saya menjawab, ‘Ya, saya akan memberinya kurma.’ Atas ini, Nabi Suci berkata, ‘Jika ini bukan niat Anda dan Anda hanya mengatakan ini untuk memanggil anak itu, Anda pasti bersalah melakukan dosa karena berbohong.’”[6]
Jadi, dengan cara ini Nabi Muhammad (saw) menanamkan di dalam benak anak itu kesadaran pentingnya kejujuran dan kebencian terhadap ketidakjujuran sejak usia sangat muda.
Suatu ketika, Nabi Suci (saw) berkata kepada seseorang, “Jika kalian tidak bisa meninggalkan semua perbuatan dosa maka sekurang-kurangnya tinggalkanlah satu dosa, yaitu berdusta.”[7]
Sekarang, kita perhatikan apakah umat Muslim pada masa sekarang meninggalkan kedustaan dan berpegang teguh pada kejujuran? Bahkan, kita juga harus menilai diri kita sendiri apakah kita menegakkan standar semacam itu?
Dalam salah satu riwayat itu disebutkan Nabi (saw) menjelaskan sehubungan dengan dosa-dosa yang lebih besar. Beliau (saw) bersabda, الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ “Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua.” Perawi mengatakan ketika itu beliau (saw) tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ “Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu.” Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira (khawatir) beliau tidak akan diam.” [8]
Bagaimana kita lihat akhlak beliau (saw) dari segi ketabahan dan kesabaran, sampai mana tingkat beliau menanggung kesabaran? Bagaimana beliau (saw) menasehati orang-orang lain dengan hal itu? Dari Anas Bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sedang duduk di masjid dengan para sahabatnya. Tiba-tiba datang orang badui dan kencing di masjid. Para sahabat nabi berujar, مَهْ مَهْ “Tahan, tahan!” (Dalam riwayat Bukhari disebutkan: lalu orang-orang mengusirnya) Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya: لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ “Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia hingga selesai.”
Kemudian Nabi bersabda kepada orang badui: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ “Masjid ini, tidak seyogianya dikotori dengan kotoran, kencing dan air besar” إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ ”Masjid diperuntukkan untuk dzikir kepada Allah, membaca al qur-aan dan shalat”. Kemudian Nabi bersabda kepada salah seorang shahabatnya: قُمْ فَأْتِنَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشُنَّهُ عَلَيْهِ “Berdirilah, ambilkan seember air dan guyurlah kencing tersebut” Maka shahabat tersebut melaksanakannya. Kemudian Nabi bersabda kepada para shahabat: فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ “Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan bukan untuk membuat kesulitan.” Orang Arab Badui (pedusunan) itu selalu menceritakan sifat kesantunan dan kelemahlembutan Nabi (saw) ini. [9]
Sekarang lihatlah bagaimana segolongan ulama dan pemerintah Muslim, justru yang paling banyak membuat kesulitan-kesulitan bagi orang lain di dunia ini bukannya mempermudah; baik dalam hal kecil atau pun hal penting.
Pernah suatu kali seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad (saw), كَيْفَ لِي أَنْ أَعْلَمَ إِذَا أَحْسَنْتُ وَإِذَا أَسَأْتُ “Bagaimana cara saya mengetahui apakah saya itu orang baik atau buruk?”
Beliau (saw) menjawab, إِذَا سَمِعْتَ جِيرَانَكَ يَقُولُونَ قَدْ أَحْسَنْتَ فَقَدْ أَحْسَنْتَ وَإِذَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ : قَدْ أَسَأْتَ فَقَدْ أَسَأْتَ “Jika tetangga Anda mengatakan Anda itu baik, maka ketahuilah, perbuatan Anda juga baik. Jika mereka mengatakan Anda buruk, ketahuilah berarti perilaku Anda buruk dan tidak benar.”[10]
Beliau juga bersabda kepada para pengurus, سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ Sayyidul qaumi khaadimuhum “Pemimpin sebuah kaum ialah khadim (pengkhidmat) bagi kaumnya itu.”[11] Artinya, “Akhlak kalian dapat terhitung baik apabila kalian mengganggap diri kalian adalah khadim bangsa dan mengkhidmati umat sekuat kemampuan kalian.”
Adakah sekarang hal ini tampak dalam diri para pemimpin dan para pengurus? Maka para pengurus Jemaat harus memberikan perhatian kearah ini.
Kemudian, tatkala Nabi (saw) memperoleh kekuatan sepenuhnya dan jazirah Arab takluk kepada beliau saw, bagaimana beliau (saw) menampakkan keteladanannya? Beliau (saw) menampakkan keteladanan akhlak luhur dalam kesempatan penaklukan Makkah sehingga mengampuni mereka yang pernah berusaha membunuh beliau dan terus saja menyakiti beliau. Pemaafan ini menarik banyak orang menerima Islam.
Lebih lanjut lagi, berkaitan dengan kualitas-kualitas moral dan akhlak Rasulullah saw, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Allah Jalla wa syaanah telah berfirman berkaitan dengan keagungan Rasulullah saw: وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ Artinya, ‘Engkau menempati (memiliki) khulq (akhlak) yang agung’. (Surah al-Qalam; 5) Jadi, sesuai penjelasan itu, pengertiannya adalah ‘segala macam akhlak: murah hati, berani, adil, kasih sayang, dermawan, jujur, bijaksana dan sebagainya terhimpun di dalam diri engkau.’
Ringkasnya, sekian banyak kekuatan alami yang terdapat di dalam hati manusia seperti: sikap hormat, santun, tulus hati, murah hati, cemburu, tabah, rendah hati, bersih hati, adil, setia kawan, keberanian, kedermawanan, maaf, sabar, baik hati, lurus hati, setia, dan sebagainya, apabila semua keadaan thabi’i (alami) ini ditampilkan sesuai dengan tempat dan kesempatan serta mengikutkan pertimbangan akal dan pikiran maka semua akan dinamakan akhlak. Semua sifat yang pada hakikatnya merupakan keadaan-keadaan thabi’i (alami) serta gejolak-gejolak thabi’i (alami) manusia, dan kesemuanya itu baru dapat disebut akhlak apabila digunakan dengan sengaja sesuai waktu, tempat dan keadaan.”[12]
Hal itu bukan adat kebiasaan melainkan penggunaan seluruh akhlak sehingga menampakan hasil-hasil yang baik. Terkadang seseorang terpaksa memberikan hukuman kepada orang lain dan itu demi tujuan menghasilkan kebaikan.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyebutkan keadaan-keadaan yang berbeda demi menimbulkan akhlak tinggi. Akhlak luhur tampak dalam dua keadaan; keadaan ujian dan kesulitan dan keadaan kemakmuran dan kenikmatan. Orang yang memperlihatkan kesabaran dan ketabahan dalam keadaan penuh ujian dan kesulitan serta berupaya meraih ridha Allah maka orang itu mempunyai akhlak nan luhur.
Demikian pula, orang yang dalam keadaan penuh kenikmatan dan kekuasaan lalu memperlihatkan rasa syukur dan rendah hati serta berlaku penuh keadilan maka ia dapat disebut sebagai orang yang berakhlak luhur. Dan kedua hal ini terhimpun secara sempurna di dalam diri Hadhrat Rasulullah saw. Dua keadaan yang ditampakkan secara jelas dalam pribadi Nabi kita yang mulia (saw) sebagaimana telah saya sebutkan bahwa bagaimana beliau mengampuni mereka yang memusuhi beliau dan berusaha membunuh beliau.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Akhlak-akhlak manusia tampil dalam dua kondisi, yakni dalam kondisi mengalami cobaan atau dalam kondisi memperoleh anugerah-anugerah (kekuasaan, kenikmatan dan kesejahteraan). Jika yang ada hanya satu sisi saja, sedangkan sisi yang kedua tidak ada, maka akhlak tersebut tidak akan dapat diketahui. Dikarenakan Allah Ta’ala bermaksud menyempurnakan akhlak-akhlak Rasulullah saw, oleh sebab itu sebagian hidup beliau lalui di Mekkah, dan sebagian lagi di Madinah.
Hadhrat Rasulullah (saw) telah memperlihatkan tauladan sabar terhadap penderitaan-penderitaan besar yang ditimbulkan oleh para musuh di Mekkah. Dan walau pun mereka itu bersikap sangat keras, tetap saja beliau berlaku lembut dan penuh kasih sayang. Dan amanat yang beliau bawa dari Allah Ta’ala tetap saja beliau sampaikan kepada mereka. Kemudian, ketika beliau telah memperoleh kejayaan di Madinah, dan para musuh itu jugalah yang telah tertawan, dan dihadapkan kepada beliau, maka kebanyakan mereka telah diampuni oleh Rasulullah saw. Walau pun beliau memiliki kekuatan untuk balas dendam, tetap saja beliau tidak melakukannya.”[13]
Lalu, beliau (as) melanjutkan membahas akhlak Nabi Muhammad saw, “Kita harus menyimak hal-hal berikut ini dengan amat perhatian. Saya telah mempelajari situasi banyak orang dengan studi yang cermat, beberapa dari mereka bermurah hati (yaitu orang-orang memberikan uang dengan murah hati) tapi terinfeksi mudah gugup dan mudah tersinggung, (mudah marah). (Artinya mereka biasa memberi dengan dermawan namun pemarah sekali baik terhadap orang kecil maupun orang besar. Jika marah, ia mengungkit-ungkit kebaikannya terhadap mereka.)
Sebagian orang lagi bersifat santun tapi juga kikir; beberapa dari mereka mudah marah bahkan melukai terhadap lawannya dengan pukulan keras memakai tongkatnya. Tidak ada sedikitpun kesopanan dan sifat merendah-rendahkan diri dalam diri mereka. [Maksudnya mereka keras hati dan tidak mau merendahkan diri namun pemberani]
Beberapa orang lagi sangat rendah hati tetapi tidak ada jejak keberanian dalam dirinya.” (Artinya, ia rendah hati namun kekurangannya ialah kurang berani. Ia pengecut kala menghadapi ujian kecil saja.) “Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang tidak terkumpul pada dirinya keseluruhan sifat-sifat namun tidak juga dapat dikatakan ia luput dari semua sifat.”
Lebih lanjut lagi, berkaitan dengan kualitas-kualitas moral dan akhlak Rasulullah saw, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Nabi kita ialah yang paling sempurna sebagai teladan dalam semua akhlak fadhilah dan karena itu Allah Ta’ala telah berfirman mengenainya: وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ ‘Dan engkau sesungguhnya memiliki akhlak-akhlak yang utama.’” (Surah al-Qalam; 5)[14]
Beliau (saw) menerapkan akhlak pada masa sulit dengan kesabaran yang membuat dunia takjub. Ketika beliau memperoleh kekuasan atas seluruh Arabia, beliau (saw) memaafkan semua orang yang pernah menganiaya beliau. Jadi, inilah tolok ukur hakiki bagi akhlak yang setiap orang yang benar-benar mengimani beliau (saw) (seorang Muslim sejati) mengingatnya selalu dan mengamalkannya senantiasa.
Bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud (as) memberikan bimbingan kepada kita kearah itu? Beliau (as) bersabda mengenai akhlak Nabi Muhammad saw, “Akhlak fadhilah beliau ini memudahkan orang untuk menyintai beliau dan membuat mukjizat tampak terlihat jelas.”
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda kepada kita: “Jika kalian memperelok akhlak kalian seraya mengikuti Sunnah Rasulullah (saw) dan menerapkan setiap akhlak pada tempat dan keadaan yang tepat maka kalian akan dapat menjadi orang yang memperlihatkan mukjizat-mukjizat.”
Keistimewaan Karaamah Akhlaq
Beliau bersabda, “Terhadap hal-hal luar biasa, orang-orang sedikit banyak memberikan berbagai alasan, kritikan dan mencoba menuntut ratifikasi (permintaan kesahihan). Tetapi dengan menerapkan akhlak fadhilah, timbul suatu karaamah, yang tidak dapat dicela oleh siapa pun. Itulah sebabnya kepada Nabi kita saw, mukjizat terbesar dan terkuat yang telah diberikan adalah akhlak. Sebagaimana Dia firmankan: إِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ ‘Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak (berbudi pekerti) yang agung’ (Al-Qalām, 5). Dalam segi kekuatan serta bukti, segala mukjizat Rasulullah (saw) melampaui seluruh mukjizat para Nabi lainnya. Mukjizat akhlaki beliau (saw) adalah paling unggul, dan sejarah dunia tidak dapat dan tidak akan dapat mengungkapkan serta memaparkan tandingannya.”[15]
“Dalam pandangan saya, orang yang menyingkirkan perilaku buruk, meninggalkan kebiasaannya yang tercela dan bukannya memoles dengan itu malahan memiliki kualitas yang baik, maka itu ialah karaamah untuknya (yaitu, meninggalkan perbuatan jahat dan menimbulkan perbuatan baik).
Misalnya, jika seseorang meninggalkan kekasaran dan cepat marah, dan menerapkan kesantunan dan pengampunan, atau meninggalkan sifat kikir dan melatih kemurahan hati, atau menyingkirkan sifat iri hati dan menciptakan akhlak simpati, maka ini ialah karaamah.”
(Jika seseorang yang meninggalkan sifat kekasaran dan keras hati, dan menerapkan kesantunan dan pengampunan, meninggalkan kekikiran dan menjadi dermawan, atau bersikap simpati bukannya dengki kepada manusia dan menahan tangan ketika berkorban harta. Jika seseorang melakukan perubahan baik ini maka tidak ada keraguan ini ialah karaamah setiap orang dari mereka. Karaamah ini akan menampakkan konsekuensi baiknya.) Atau meninggalkan sifat keakuan yang bangga dengan kemegahan dan kesombongan lalu menerapkan kerendahan hati dan kesederhanaan.” (yaitu jika sifat memuji diri atau ingin dipuji ini ditinggalkan lalu menerapkan kerendahan hati maka ini akan menjadi karaamah baginya.)
Siapakah dari antara kalian yang tidak ingin menjadi pemilik karaamah-karaamah? Saya tahu kalian masing-masing menginginkannya. Mereformasi moral seseorang merupakan martabat yang hidup dan kekal yang dampaknya tidak akan pernah pergi, tapi tetap langgeng manfaatnya.
Orang beriman harus menjadi pemilik martabat karaamah di hadapan khalq (para makhluk) dan Khaaliq (Sang Pencipta). Berapa banyak mereka terlibat dalam kesenangan duniawi dan kenikmatannya, kami melihat mereka tidak yakin atas setiap tanda ajaib, tapi ia menjadi tunduk menerima pada saat melihat keadaan moralitas yang membuatnya tidak menemukan pilihan selain mengakui kebenaran. Anda akan membaca di banyak Sawaneh (biografi) banyak orang yang tidak percaya pada agama yang benar, tetapi dengan menyaksikan karaamah akhlaq, mereka menjadi percaya kepada agama yang benar.” [16]
Tidak diragukan lagi, orang-orang duniawi pun umumnya menciptakan akhlak secara lahiriah namun itu tidak dapat disebut akhlak melainkan itu riya kepada orang-orang. Mereka berpura-pura memperlihatkan akhlak; yaitu memperlihatkan akhlak demi menarik manfaat pribadi dan menyembunyikan apa yang tampak di hati mereka. Atau, di depan orang lain yang adalah pengurus (pejabat) atau orang kaya berpura-pura berakhlak baik. Hakekatnya, hal semacam ini adalah mudahanat (mengiya-iyakan padahal tidak setuju, atau melakukan hal itu karena kelemahan atau takut atau kepengecutan). Ini bukanlah ajaran-ajaran Islam karena ini bukan akhlak Islam hakiki. Akhlak luhur pasti segalanya berasal dari hati. Jika bersikap simpati misalnya maka itu harus berasal simpati di dalam hati.
Dua Jenis Akhlak
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan tema ini lebih lanjut, “Akhlak (moral) itu ada dua macam. Pertama adalah yang dipaparkan orang-orang yang telah memperoleh pendidikan modern dan kebudayaan baru pada masa ini. Yakni ketika bertemu dan sebagainya melontarkan puji-pujian dari mulut, dan tampil dengan mengiya-iyakan (mudahanah) saja, sedangkan hati dipenuhi oleh kemunafikan dan kedengkian. Akhlak (moral) seperti ini bertentangan dengan Quran Syarif.
Jenis akhlak yang kedua adalah menerapkan kepedulian yang hakiki (benar-benar simpatik). Di dalam hati tidak ada kemunafikan. Tidak menerapkan sikap memuji-muji di lidah, sikap mengiya-iyakan saja dan sebagainya. Hal itu sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ ‘Innallaaha ya’muru bil ‘adli wal- ihsaani wa iitaa-i dzil qurbaa.’ — [sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi [seperti kepada] kepada kerabat – An-Nahl, 91). Inilah cara-cara sempurna berakhlak secara bertahap.”
Artinya, mulai dari berbuat adil, ihsaan kemudian itaai dzil qurba. Pertama adalah adil, yaitu membalas kebaikan dengan kebaikan yang sama, bersikap seimbang dan menerangkan fakta (kenyataan) apa adanya. Lalu terdapat keadaan-keadaan yang menuntut berlaku ihsaan, yakni membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih. Kemudian, melangkah lagi ke itaai dzil qurba, yakni berbuat kebaikan kepada orang-orang layaknya seorang ibu kepada anaknya atau kepada keluarga atau karib-kerabat. Jadi, ini adalah tata-cara yang kamil (sempurna).
“Setiap cara sempurna dan hidayah (petunjuk) sempurna terdapat di dalam Kalaam (firman) Allah. Siapa saja yang menentangnya, dia tidak akan dapat memperoleh petunjuk dari tempat lain. Untuk memperoleh dampak (pengaruh) suatu ajaran-ajaran yang baik, dituntut adanya kesucian qalbu. Orang‑orang yang jauh dari itu, jika kalian perhatikan dengan seksama, pasti akan tampak kekotoran pada diri mereka.”[17]
Perkara itu memerlukan kesucian hati dan kerendahan hati demi meraih ridha Allah dan mengamalkan hukum-hukum-Nya.
Beliau bersabda, “Hidup ini tidak dapat dipegang. Majulah kalian dalam hal shalat, kebenaran dan ketulusan.”[18] (Artinya, tingkatkanlah tolok ukur ibadah-ibadah dan kebenaran kalian serta jadilah orang yang jujur dalam segala sesuatu.)
“Apakah kebaikan-kebaikan itu?”
Sebagian orang bertanya, “Apakah kebaikan-kebaikan itu?” Mereka menyangka yang dimaksud dengan kebaikan ialah terbatas pada shalat dan ibadah saja atau dengan melakukan perbuatan akhlak secara umum saja itu dalam anggapan mereka berarti telah berbuat kebaikan besar. Mereka tidak menyadari apa itu akhlak mempunyai asas yang banyak lainnya.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan, “Akhlak merupakan kunci kebaikan-kebaikan lainnya. Orang-orang yang tidak melakukan perbaikan akhlak, mereka lambat laun akan kosong dari kebaikan. Saya berkeyakinan di dunia ini segala sesuatu itu bermanfaat. Racun dan kotoran pun bermanfaat. [Racun] sarkonia juga bermanfaat, ia meninggalkan juga dampak baik pada anggota-anggota tubuh. Namun, seseorang yang tidak menjadikan dirinya bermanfaat bagi umat manusia dengan cara meraih akhlak fadhilah maka ia tidak akan berguna untuk apa pun.” (Beliau (as) menjelaskan bahwa racun dan kotoran pun masih mungkin untuk memberi manfaat juga meski tidak berakhlak mulia. Namun, seseorang yang tidak menciptakan akhlak fadhilah dan tidak memberi manfaat bagi manusia lain maka ia tak berguna sedikit pun. Seseorang berguna dengan mempunyai akhlak mulia.)
Beliau (as) lalu bersabda, “Orang itu menjadi lebih buruk daripada hewan mati, sebab kulit dan tulang hewan mati masih berguna, sedangkan kulit orang itu sekali pun tidak akan berguna. Itulah kondisi manusia menjadi بَلْ هُمْ أَضَلُّ bal hum adhallu – ‘bahkan mereka lebih buruk dari itu’.” (Surah al-Furqaan, 25:45; terendah secara kedudukan.) Oleh karena itu ingatlah, perbaikan akhlak adalah sesuatu yang sangat penting, sebab akhlak itu merupakan induk kebaikan-kebaikan.”[19]
Hal itu artinya, jika kalian berakhlak maka itu akan mengantarkan kalian pada kebaikan-kebaikan lainnya.
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan, “Sebagian orang mempunyai kebiasaan, begitu melihat seorang peminta lalu menjadi cepat marah, dan jika mereka memiliki sifat maulwiyat (bergaya Ulama dan berilmu agama namun kering), mereka menguraikan kepada pengemis itu mengenai meminta-minta.” (maksudnya, jika datang kepada mereka seorang peminta, bukannya memberi sesuatu tapi malah menceramahi peminta itu tentang meminta-minta dari sudut ajaran agama)
“Dengan memanfaatkan kewibawaan gaya maulwiyat, mereka bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Alangkah menyedihkannya benar-benar, orang-orang ini tidak mengerti, dan sesungguhnya mereka sepertinya sama sekali tidak dapat mengerti atas sesuatu pengertian ajaran yang diberikan kepada orang baik dan yang berhati bersih.
Mereka tidak menyadari bahwa seorang pengemis – terlepas dari kenyataan bahwa dia sehat, berkecukupan yang pergi untuk mengemis – dia berdosa kepada dirinya sendiri, tetapi tidak ada dosanya kalian memberikan sesuatu kepadanya. Bahkan, ada hadits yang meriwayatkan kepada kita, ‘Law ataaka raakiban’ – ‘Jika seseorang yang bahkan menunggang kuda datang meminta kepadamu…’, kamu harus memberikan sesuatu kepadanya.[20] Al-Quran mengatakan: وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ wa ammaas saa-ila falaa tanhar – ‘janganlah kamu memaki pengemis’ (Surah adh-Dhuha), di ayat ini tidak disebutkan pengemis macam apa yang jangan dimaki, dan pengemis macam apa yang boleh dimaki.
Kalian harus ingat untuk tidak pernah memaki pengemis, karena dengan berbuat demikian menumbuhkan pohon keburukan moral, sebab moral yang baik menuntut seseorang untuk tidak tergesa-gesa merasa jengkel kepada pengemis. Setanlah yang ingin menjauhkan kalian dari kebajikan dengan membuat kalian jengkel kepada pengemis, dia ingin membuat kalian mewarisi keburukan.
Suatu Kebaikan akan melahirkan kebaikan lain, begitu juga keburukan
Selanjutnya, beliau (as) bersabda, ”Kalian perlu memperhatikan hal ini: berbuatlah satu kebaikan dan kalian akan akan mendapati bahwa kalian terdorong meneruskannya dengan amal baik yang lain. Demikian juga jika kalian melakukan satu perbuatan buruk, kalian akan melanjutkannya dengan perbuatan buruk lainnya.
Sebagaimana suatu benda menarik yang lain, seperti itu pulalah masalah tarik menarik itu telah Allah Ta’ala tanamkan di dalam setiap perbuatan. (masalah daya tarik) Jadi, apabila kalian memperlakukan secara santun kepada pengemis dan dengan cara demikian kalian memberikan sedekah akhlak, maka kebaikan lainnya pun akan timbul karena kalian sedikit-banyak memberikan sesuatu kepadanya setelah kesulitan menghilang.”[21] (Artinya, kecemasan akan menghilang dari hati dan seseorang akan mendapat taufik berbuat kebaikan lainnya dan dengan demikian ia akan memberi kepada si peminta juga.)
Terkadang muncul pertanyaan di dalam masyarakat kita terkait penghormatan terhadap orang tua jika kedua orang tua tersebut belum Jemaat dan menentang Jemaat. Perhatikanlah bagaimana beliau (as) menegakkan penghormatan terhadap keduanya. Beliau (as) menyampaikan nasehat kepada Syaikh Abdur Rahman Qadiani terkait orangtuanya, “Anda berkewajiban mendoakannya. Menangkanlah hatinya semampu Anda. Puaskanlah hatinya dengan kebenaran Islam dalam keteladanan Anda nan luhur dengan akhlak fadhilah yang seribu kali lipat lebih baik dari sebelumnya.” (Kedua orang tuanya belum Islam. Beliau (as) memerintahkan agar memperlihatkan contoh akhlak-akhlak baik.)
“Keteladanan akhlak ialah mukjizat yang tidak dapat ditandingi dengan mukjizat-mukjizat lain di dunia ini. Tolok ukur Islam hakiki ialah memajukan seseorang hingga derajat tertinggi akhlak mulia dan menjadikan seseorang istimewa. Semoga Allah Ta’ala menaruh di dalam hati kedua orangtua Anda kecintaan terhadap Islam melalui usaha Anda. Islam tidak melarang seseorang mengkhidmati orangtuanya. Taatlah secara sempurna kepada kedua orangtua dalam permasalahan duniawi yang tidak bertentangan dengan agama. Khidmatilah kedua orangtua setulus hati. Perlihatkanlah akhlak mulia kepada orangtua.”[22]
Perbedaan manusia dan binatang: Akhlak
Akhlak-lah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Beliau (as) menjelaskan tema ini di suatu tempat, “Pertama, binatang tidak dapat membedakan kuantitas dan kualitas. Apa saja yang tampil di hadapan dan seberapa banyak yang ada, dimakannya. Misalnya, anjing makan sedemikian banyak sampai akhirnya muntah.”
(Yaitu, apa kualitas yang harus ada pada makanan? Apa seharusnya keadaannya? Sejumlah mana yang ditunjut darinya? Binatang tidak dapat membedakan hal ini. Beliau (as) mencontohkan anjing yang tidak dapat membedakan seberapa banyak ia harus makan? Bahkan, ia memaksakan diri makan dan terus makan hingga muntah. Demikian juga ada orang yang seperti ini, tidak bisa berhenti makan dan tetap saja terus makan atau mengambil harta orang lain tanpa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Yang penting harta kekayaannya terus bertumpuk.)
Begitu juga sapi, dia tidak bisa membedakan ladang milik orang lain. Demikian halnya juga sebagian orang tidak lagi memperdulikan akhlaknya dengan memakan hak milik orang lain, bahkan sebagian ada yang makan bangkai pula. Jika sudah demikian maka mereka sudah melebihi binatang.)
“Kedua, binatang-binatang tidak dapat membedakan antara yang halal dengan yang haram.” (Hal pertama ialah mereka tidak tahu bagaimana hendaknya keadaan mereka dan apa itu ruhaniah? Sampai batas mana diperbolehkan bagi mereka mencari penghidupan dan memakannya dengan cara yang diperbolehkan. Janganlah membatasi perkara pada penuhnya kantong uang dan simpanan melainkan hendaknya ada batas dan nilai.)
“Binatang-binatang tidak dapat membedakan antara yang halal dengan yang haram.” (Beliau (as) menyampaikan permisalan seekor sapi.) “Seekor sapi tidak dapat membedakan apa ini ladang tetangga, supaya ia tidak masuk.” (Seekor sapi bila kehabisan rumput di kebun tempatnya maka ia akan mencari-cari di kebun sebelahnya. Ia tidak bisa membedakan apakah itu kebun milik pemiliknya atau bukan.) “Demikian pula setiap hal yang perlu dipertimbangkan untuk dimakan, tidak dipertimbangkan oleh binatang. Anjing tidak mempertimbangkan mana yang kotor dan mana yang bersih. Kemudian, binatang-binatang ini tidak menerapkan keseimbangan (aspek kecukupan).“
“Orang-orang yang melanggar kaidah-kaidah akhlak tidak peduli sedikit pun, seakan-akan mereka itu bukan manusia. Terkait dengan kondisi bersih dan kotor, dulu bangsa Arab pun sampai-sampai memakan bangkai [anjing-anjing mati pun dimakan.] Sampai sekarang di kebanyakan Negara kondisinya demikian, yakni tikus-tikus, anjing dan kucing-kucing dimakan dengan menganggapnya sebagai makanan lezat. Di sini pun (di India) terdapat kaum-kaum nomad pemakan bangkai.
Kemudian, mereka tidak sungkan-sungkan memakan harta anak-anak yatim. Harta anak-anak yatim bagaikan rumput yang diserakkan di depan kerbau yang tanpa ragu-ragu lagi orang-orang duniawi itu akan memakannya.” (Perumpamaan mengenai sapi yang dihadirkan di depannya rerumputan hijau. Sapi akan memakainnya tanpa peduli rumput itu didapat dengan cara baik atau tidak. Begitu pula keadaan orang yang memakai harta anak yatim baik itu dengan cara yang jaiz (diperbolehkan) maupun tidak.) “Demikianlah keadaan orang-orang ini. Itulah arti, وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ ‘Wan-naaru matswal-lahum – tempat tinggal mereka adalah api (neraka).’” – (Surah Muhammad, 47: 13). Artinya, jika mereka memakan harta sesama dengan cara tidak benar maka mereka tengah menyediakan tempat tinggal mereka di neraka.[23]
“Ringkasnya, ingatlah ada dua sisi (segi) nan penting. Pertama, Keagungan Ilahi. Apa yang bertentangan dengan itu adalah bertentangan juga dengan akhlak. Dan kedua, kasih-sayang terhadap sesama manusia. Jadi, apa yang memusuhi umat manusia, adalah juga bertentangan dengan akhlak.” (Jika umat manusia tidak menunaikan hak-hak Allah dan menegakkan keagungan-Nya serta tidak menyembah-Nya, tidak mendengarkan perintah-perintah-Nya dan tidak berusaha meraih ridha-Nya maka ini adalah bertentangan dengan Akhlak.
Jika mereka tidak memenuhi hak-hak sesama manusia, memakan harta sesama dengan cara tidak syar’i, merugikan mereka atau memperlakukan mereka secara buruk dengan jalan lain maka ini juga bertentangan dengan akhlak.)
“Sangat disayangkan, sedikit sekali orang yang menyimak hal-hal ini, yaitu hal-hal yang merupakan tujuan dan maksud utama kehidupan manusia.”[24]
Keburukan Takabbur dan jenis-jenisnya
“Ada keburukan lain juga yaitu takabur yang membuat manusia kehilangan kesempatan melakukan kebaikan-kebaikan. Bahkan, menjadikannya sasaran kemurkaan Ilahi.... Para sufi mengatakan, di dalam diri manusia terdapat banyak sekali jin akhlak-akhlak buruk. Dan ketika jin-jin itu mulai keluar maka mereka terus-menerus keluar (hilang), dan yang paling penghabisan [keluar/hilang] adalah jin takabur yang menetap di dalamnya. Ia baru akan keluar melalui karunia Allah Ta’ala dan melalui upaya sungguh-sungguh serta doa-doa manusia.
Banyak orang menghitung dirinya sebagai orang yang rendah hati namun di dalam diri mereka juga tersembunyi sejenis kesombongan. Maka dari itu, wajib memaspadai jenis terhalus dari ketakaburan. Terkadang, ketakaburan timbul dari adanya harta kekayaan sehingga membuatnya memandang orang-orang lain sebagai orang-orang miskin lagi tak punya apa-apa. Ia berkata, ‘Siapa pula orang ini yang menantang saya?!’
Terkadang lagi, kesombongan timbul karena kekeluargaan dan silsilah keturunan karena ia memandang dirinya berasal dari keluarga besar dan terpandang sementara si fulan berasal dari keluarga kecil dan tidak terkenal. Kadang-kadang takabur juga timbul dari ilmu. Ada seseorang yang salah berbicara, maka [orang takabur] langsung menangkap kelemahannya itu dan ribut mengatakan, ‘Satu kata pun tidak dapat disebutkan dengan benar oleh orang ini!’
Ringkasnya, takabbur itu ada berbagai macam, dan semuanya itu membuat manusia luput dari berbuat kebaikan-kebaikan, serta menghalangi manusia untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Hendaknya [kalian] menghindarkan diri dari semua itu…”[25]
Kemudian, beliau bersabda, “[Bisa] saja seseorang tidak memperoleh kekuatan akhlak, tetapi kepadanya diberikan taufik untuk berbuat banyak kebaikan. Meninggalkan akhlak merupakan suatu keburukan dan dosa.”[26] (Beliau (as) bersabda bahwa manusia mendapat taufik melakukan banyak kebaikan melalui berpegang teguh pada akhlak namun jika ia meninggalkan akhlak maka itu mengubahnya menjadi berbuat keburukan dan dosa. Dengan demikian, ia luput dari taufik mengusahakan kebaikan-kebaikan. Lalu, beliau (as) bersabda, )
“Misalnya, seorang laki-laki melakukan zina, dia tidak tahu betapa berat dan mendalamnya kedukaan yang dialami suami perempuan itu.” (jika laki-laki itu berzina dengan perempuan bersuami) “Seandainya dia dapat merasakan kedukaan dan kepedihan itu, dan dia meraih unsur akhlak di dalam hal itu, tentu dia tidak akan melakukan perbuatan buruk tersebut. Jika seorang berlaku buruk itu mengetahui akibat perbuatan buruknya akan timbul berbagai macam dampak bahaya bagi umat manusia maka tentu dia tidak akan melakukannya.
Seseorang yang melakukan pencurian (di rumah seorang miskin), begitu aniaya dan bejadnya sehingga bahan makanan untuk makan malam tuan rumah pun tidak dia sisakan. Kebanyakan yang didapati adalah hasil jerih-payah bertahun-tahun yang dikumpulkan oleh seorang miskin begitu saja dicuri, dan apa saja yang ditemukan di dalam rumah semuanya diambil.”
Apakah sebenarnya penyebab dari perbuatan bejad seperti ini? Ialah tidak adanya kekuatan akhlak. Sebab jika dia memiliki kasih-sayang dan dia dapat mengerti bahwa anak-anak akan menangis karena kelaparan, dan jerit tangis anak-anak itu pun akan membuat hati orang yang memusuhi pun menjadi terenyuh, dan dia mengetahui bahwa anak-anak [tuan rumah yang dicurinya itu] kelaparan semalaman serta tidak ada sekerat makanan kering sekali pun maka dorongan nafsu dia (pencuri itu untuk mencuri) tentu akan terhenti.
Nah, jika dia merasakan kondisi tersebut dan tidak buta terhadap kondisi akhlak maka mengapa dia mencuri? Kadang-kadang kita membaca berita-berita kematian yang mengerikan di surat-surat kabar. Misalnya, ada anak-anak yang dibunuh karena si pembunuh serakah ingin merampas perhiasan anak-anak itu. Di tempat tertentu ada perempuan yang dibunuh demikian dan demikian seterusnya. Sekarang, renungkanlah dan saksikanlah! Jika keadaan akhlak lurus dan kuat, mungkinkah keadaan musibah ini akan dapat terjadi? Bisa saja seseorang yang seperti itu mengalami musibah-musibah dan tidak merasakan hal tersebut.”[27]
Tidak diragukan lagi, hal ini dapat terjadi pada seseorang yang tidak berakhlak, tidak berperasaan dan tidak terdapat rasa takut kepada Allah. Namun, jika seseorang takut kepada Allah atau terhiasi dengan sifat peri kemanusiaan niscaya ia tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan itu.
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) memberikan nasihat kepada Jemaat beliau sebagai berikut: “Sesungguhnya orang yang memperlihatkan perubahan akhlaknya kepada para tetangganya dan menjadi manusia yang berbeda sepenuhnya, seolah-olah ia memperlihatkan Karaamah (kekeramatan). Perubahan baik mereka ini akan meninggalkan kesan mendalam (berpengaruh baik) selamanya di benak tetangganya.
Orang-orang mengkritik Jemaat saya bahwa kita tidak tahu cara memajukan diri. Mereka menuduh para anggota Jemaat selama ini masih terlibat dalam kebohongan, mengada-ada, berprasangka buruk dan amarah.” (Mereka meminta perhatian kita pada berbagai jenis tuduhan dan mengatakan para anggota Jemaat kita terbiasa bersikap keras dan pemarah.)
“Apakah tuduhan para pengkritik itu tidak menimbulkan rasa malu bagi para anggota Jemaat saya hal mana mereka bergabung dengan Jemaat ini seraya berpikiran Jemaat ini adalah Jemaat orang-orang saleh.” (Para anggota Jemaat yang mempunyai kelakuan seperti kritikan para pengkritik hendaknya merasa malu atas hal itu.)
“Permisalannya, seorang putra yang baik, saleh dan bertakwa akan mengharumkan nama ayahnya dengan semua kebaikannya. Sebab, seorang yang berbaiat berkedudukan laksana seorang putra.” (Artinya, orang-orang menuduh para Mubayyi’in melakukan ini dan itu. Anda sekalian harus membuktikan tuduhan mereka itu tidak benar selamanya.)
“Seorang Ayah jasmani memang secara fisik menyebabkan seorang anak lahir ke dunia, namun Ayah ruhani menyebabkan seseorang terangkat menuju surga dan membimbingnya kepada maqam (kedudukan)yang hakiki.”
“Apakah Anda senang bila ada seorang anak yang menjadi penyebab ayahnya terkenal dengan nama buruk? Yaitu yang mana putra tersebut biasa mengunjungi para wanita yang berperilaku buruk dan tidak bermoral. Ia bermain judi. Ia juga meminum minuman keras atau melakukan tindakan-tindakan memalukan yang menyebabkan aib bagi ayahnya?
Saya tahu tidak ada seorang pun yang senang dengan hal ini. Namun, ketika si anak yang berperilaku buruk melakukan keburukan-keburukan ini, pasti gunjingan orang tidak dapat dihentikan. Mereka akan mengaitkan sang putra yang demikian dengan ayahnya dengan mengatakan, ‘Anak si Fulan telah berlaku begini dan begitu.’ Pada hakikatnya, anak yang berperilaku buruk itu menyebabkan nama buruk bagi ayahnya.
Demikian juga ketika seseorang bergabung ke dalam Jemaat ini dan tidak memikirkan keagungan dan kehormatan Jemaat ini dan bertindak sebaliknya maka ia akan ditindak dengan cengkeraman hukuman Tuhan. Sebab, ia tidak hanya menyebabkan keruntuhan dirinya sendiri, namun dengan memberikan contoh salah kepada orang-orang selain Jemaat, ia juga menjadikan mereka luput dari jalan dan bimbingan yang benar.” (Jika orang-orang melihat contoh yang buruk dari orang-orang Jemaat tentu mereka akan menjauhi Jemaat bukannya mendekat. Dengan demikian, mereka luput dari bergabung dengan Jemaat.)
Lantas, beliau (as) bersabda, “Maka dari itu, carilah pertolongan dari Tuhan Yang Maha Perkasa dengan segala kekuatan yang kalian miliki dan lenyapkanlah kelemahan kalian dengan segala kekuatan dan keberanian yang dikaruniakan kepada kalian. Ketika kalian merasa tidak berdaya, angkatlah tangan kalian untuk berdoa dengan ketulusan dan keyakinan. Sebab, tangan yang terangkat berdoa dengan kerendahan hati, merendahkan diri, penuh kejujuran dan keyakinan tidak akan kembali dengan hampa. Saya katakan berdasarkan pengalaman, ribuan doa saya telah dikabulkan dan masih saja terus dikabulkan.”
Beliau (as) bersabda, “Sebuah kepastian bahwa orang yang tidak menemukan dalam dirinya kasih sayang bagi sesama maka ia berjiwa kikir. Jadi, jika saya telah menemukan sebuah jalan kebaikan dan perbaikan, tugas saya untuk menyampaikannya lagi dan lagi kepada orang-orang. Saya tidak peduli apakah mereka akan mengamalkan seruan saya atau tidak.”[28]
Selanjutnya, beliau (as) bersabda, “Tidak akan hilang kekerasan yang tumbuh di hati selama seorang insan tidak melakukan mujahadah dan doa. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ، ‘Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri’ (Ar-Ra’d, 12. Itu artinya, Allah tidak akan menjauhkan segala macam musibah dan bencana dari suatu kaum, selama kaum itu sendiri tidak berusaha untuk menjauhkannya. Jangan putus asa.
Jika kalian tidak berupaya dengan gigih (sungguh-sungguh) maka bagaimana mungkin dapat terjadi perubahan? Ini adalah Sunnah (kebiasaan) Allah Ta’ala yang tidak pernah berubah, sebagaimana difirmankan: وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلًا ‘Kamu sekali-kali tidak akan pernah akan menemukan perubahan dalam sunnatullah.’ (Surah Al-Fath, 24). Jadi, baik Jemaat saya maupun pihak selainnya, mereka dapat melakukan perubahan akhlak apabila mereka melakukan mujahadah (perjuangan sungguh-sungguh) dan memanfaatkan doa kepada Allah. Jika tidak, maka tidak akan mungkin.”[29]
Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga Dia menganugerahi kita perbaikan dalam akhlak kita di tiap tempat, di tiap kesempatan dan di tiap keadaan seraya menerapkan keteladanan Hadhrat RasuluLlah (saw) dan itu kita lakukan benar-benar demi meraih ridha Allah Ta’ala, bukan karena riya (pamer). Kita pun menciptakan dalam hati kita sifat simpatik yang sebenarnya kepada makhluk Allah dan meninggikan tolok ukur ketakwaan kita.
Kita harus terus sadar telah beriman kepada Imam Zaman, maka dalam pikiran kita harus tertanam jangan sampai terbit perbuatan buruk sehingga merusak reputasi Islam, Nabi Muhammad (saw) dan Hadhrat Masih Mau’ud as; melainkkan kita harus menjadi sebab tersebarnya ajaran Islam nan indah ini dan berpengaruh di dunia. Selain itu, kita terus berusaha untuk meninggikan tolok ukur akhlak kita dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk dapat mengamalkannya, Aamiin
Setelah dua shalat nanti (Jumat dan Ashar dijamak), saya hendak mengimami jenazah ghaib untuk seorang Almarhum, Sheikh Abdul Majid Sahib, putra Sheikh Abdul Hameed Sahib dari Defence Society, Karachi (Pakistan) yang wafat pada 15 Februari 2018 di usia 88 tahun. Inna lillahi wa Inna ilaihi rajioon. Ahmadiyah masuk di keluarga beliau melalui kakek beliau, Hadhrat Syaikh Nur Ahmadi dari Jalandhar dan termasuk dalam daftar 313 sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as, tertulis dalam buku beliau as, Anjam-e-Atham dengan nomor urut ke-242, “Syaikh Nur Ahmad dari Jalandar dan sekarang tinggal di kota Mambasa.”[30]
Almarhum lahir di Jalandhar pada 1929. Beliau lulus Ta’limul Islam College di Qadian lalu FSC kemudian Government College di Lahore bidang chemical engineering. Lalu, pada 1951-1953, beliau kuliah di Universitas Surrey di UK bidang Metalogical Engineering. Setelah itu, beliau berkhidmat di Jemaat Karachi. Sekretaris Jaidad, Sadr Amdaad Komite dan ketua halqah. Beliau juga mendapat taufik sebagai Naib Amir Jemaat Karachi. Beliau menjadi anggota Majelis Tahrik Jadid Markaziyah. Beliau meninggalkan satu putri, Salma Tariq, istri Tariq Sajad dan memiliki 2 cucu laki-laki dan 1 cucu perempuan.
Cucu beliau menulis: “Almarhum memiliki hubungan yang khas dengan Allah Ta’ala disebabkan sejak kecil tinggal di Qadian dan mengalami pergaulan dengan orang-orang yang saleh. Beliau biasa berkata bahwa ujian bahasa Inggrisnya saat sekolah Matric (menengah) buruk. Beliau lalu datang ke Masjid dan berjumpa dengan Hadhrat Maulana Syer Ali di perjalanan. Beliau tengah keluar dari Masjid. Almarhum berkata kepada beliau bahwa ujian bahasa Inggrisnya begitu buruk hasilnya. Hadhrat Maulana Syer Ali mengangkat tangan untuk berdoa saat itu juga dan mendoakan Almarhum lalu mengatakan sebuah kabar suka bahwa Almarhum akan berhasil baik. Almarhum mengatakan bahwa setelah itu Allah Ta’ala mengabulkan doa sehingga beliau lulus dalam ujian demi ujian.
Almarhum banyak menghadapi kehidupan yang sulit. Beliau bekerja namun karena penentangan terhadap Jemaat atau officer (pimpinan tempat bekerja) yang buruk maka beliau dikeluarkan dari pekerjan. Setelah itu beliau mulai bisnis dan berjanji hanya akan menggunakan secukupnya untuk kebutuhan sendiri selebihnya diberikan ke Jemaat. Maka Alhamdulillah, dengan karunia Allah, beliau membuktikan janjinya itu sepanjang hidupnya. Beliau berbisnis dan mendirikan pabrik-pabrik. Manfaat apa pun yang beliau dapat dari bisnis itu, beliau belanjakan untuk Jemaat tanpa henti. Seiring dengan itu, beliau membayar candah juga.
Ketika Hadhrat Khalifah ke-4 rh memulai MTA, maka beliau juga menyumbang sekitar 10 Juta Rupees untuk itu. Begitu juga dalam pembangunan masjid di Rusia. Ketika delegasi Ahmadi Rusia datang untuk mengunjungi Khalifah ke-4 rha demi membahas ini, Sekretaris Khas (Private Secretary, Sekretaris Pribadi Hudhur) mengabarkan hal ini kepada Almarhum. Tanpa diminta, Almarhum menyumbang uang dalam jumlah banyak untuk program pembangunan itu.
Sekretaris Pribadi mengabarkan ini kepada Khalifah ke-4 rha milyaran bahwa Tn. Abdul Majid menyumbang banyak uang untuk pembangunan Masjid di Rusia. Khalifah ke-4 rha pun memperlihatkan kegembiraannya atas hal itu.”
Muballigh di Karachi menceritakan, “Pada 2010 terjadi peristiwa 28 Mei di Masjid Darudz Dzikr dan Model Town (penyerangan dan pembunuhan jamaah shalat Jumat di Masjid Ahmadiyah oleh para teroris). Sekretaris Maal cabang menguangkan cek berlembar-lembar. Saya bertanya, ‘Apakah itu tidak salah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Tn. Abdul Majid telah menyumbangkan uang 10 Juta Rupees untuk pos Sayyidina Bilal Fund (bantuan bagi para Syuhada).
Almarhum pun menyumbang sejumlah besar uang untuk pencetakan Al-Quran. Demikian pula, beliau juga menyumbang bagi proyek-proyek Jemaat Karachi. Beliau menjalani hidup dengan sangat sederhana. Tidak tampak bahwa beliau memiliki 2 pabrik dan orang yang kaya. Karena apapun yang beliau peroleh, setelah untuk keperluan beliau sendiri, selebihnya semuanya diberikan kepada Jemaat. Dan beliau juga adalah Musi. Wasiyat beliau ialah agar properti milik beliau diberikan kepada Jemaat. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan keluasan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau, mengaruniakan kesabaran kepada anak-cucu beliau dan menganugerahi mereka taufik mengikuti jejak kebaikan beliau. Saya akan mengimami shalat jenazah gaib setelah shalat Jamak Jumat dan Ashar. [Aamiin]
[1] Sunan Abu Dawud, Kitab tentang Adab (sopan-santun), bab tentang Ghibat, no. 4875; Sunan at-Tirmidzi. 4080]). Aisyah ra berkata ”Aku berkata kepada Nabi saw, ‘Cukuplah shafiyah bagimu. Dia itu begini dan begitu.’ Maksudnya, ‘Aisyah mengatakan Shafiyah pendek.’ Nabi lalu mengatakan, ‘Sungguh, kau telah mengatakan sesuatu yang andai dicampurkan dengan lautan, tentu akan mengotorinya’
[2] Sunan Ibni Maajah, Kitab tentang Hukum-hukum, (بَابُ الْحُكْمِ فِيمَنْ كَسَرَ شَيْئًا) bab al-hukmu fi man kasara syai-an, no. 2333; dari Qais bin Wahb dari seorang laki-laki dari Bani Su`ah, ia berkata, “Aku berkata kepada ‘Aisyah beritahukanlah kepadaku bagaimana akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” ‘Aisyah berkata, “Apakah kamu tidak membaca Al Qur’an? (Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas akhlak yang agung).” ‘Aisyah kembali menuturkan, “Ketika Rasulullah (saw) sedang bersama-sama para sahabatnya, aku membuatkan makanan untuknya, dan ternyata Hafshah (istri beliau (saw) yang lain) juga membuatkan makanan untuk beliau. Ternyata Hafshah lebih dahulu dalam membuat makanan, maka aku berkata kepada budak perempuanku, ‘Pergi dan tumpahkanlah mangkuk piringnya!’ Budak itu pun menyusul Hafshah, sementara Hafshah telah siap untuk meletakkan makanan itu di hadapan Rasulullah (saw). Lalu budak perempuan itu menumpahkannya hingga mangkuknya pecah dan makanannya berhamburan. Rasulullah (saw) kemudian mengumpulkan pecahan mangkuk dan makanan yang tertumpah di atas tikar kulit, hingga para sahabat dapat memakannya. Setelah itu Rasulullah mengambil mangkuk milikku dan memberikannya kepada Hafshah seraya bersabda: ‘Ambilah wadah ini sebagai ganti wadah kalian dan makanlah makanan yang ada di dalamnya.’” ‘Aisyah berkata, “Aku tidak melihat tanda emosi itu di wajah Rasulullah (saw).”
[3] Kitab Sunan Ibni Maajah, Kitab tentang Jihad, bab man qaala annahu yakulu mima saqatha, no. 2622; Rafi’ bin ‘Amru Al Ghifari mengatakan, “Dahulu aku dan anak muda sebayaku sering melempari pohon kurma milik orang-orang Anshar. Maka hal itu dilaporkan kepada Rasulullah, ‘Ada anak yang suka melempari pohon kurma kami.’ Akhirnya, aku dibawa menghadap Rasulullah dan beliau bertanya, ‘Nak, mengapa engkau melempari pohon kurma?’ Aku menjawab, ‘Untuk saya makan buahnya.’ Beliau bersabda, ‘Kamu jangan lagi melempari pohon kurma, tapi makanlah buahnya yang jatuh di bawahnya.’ Selanjutnya, beliau mengusap kepalaku seraya berdoa, ‘Ya Allah, kenyangkanlah perutnya’.”
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab makanan, bab tasmiyah ‘alath tha’am, 5378.
[5] Shahih al-Bukhari, Kitab al-ath’imah, no. 5376 dan Muslim no. 2022) Dari ‘Umar bin Abi Salamah
[6] Musnad Ahmad, Musnad orang-orang Makkah; Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748. Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah (saw) mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah (saw) bersabda: “Ketahuilah, jika kamu tidak memberinya sesuatu, ditulis bagimu kedustaan.”
[7] Tafsir Kabir karya Imam Fakhruddin ar-Razi, jilid 8, juz 16, h. 176, Tafsir Surah at-Taubah, terbitan Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2004
[8] Hadits 5976 dari Kitab Shahih Bukhari, Kitab tentang Adab, bab perihal dosa mendurhakai orang tua, riwayat Abu Bakrah radliallahu ‘anhu.
[9] Sunan at-Tirmidzi, Abwaabuth thahaarah, bab fil baul, no. 147.Musnad Ahmad, Bukhari dll.
[10] Sunan Ibni Maajah, Kitab az-Zuhd, bab tsana al-husn, no. 4223
[11] Kanzul ‘Ummal fii sunanil aqwaali wal af’aali, al-juz as-saadis, halaman 302, kitaabis safar min qismil aqwaali al-fashlits tsaani fii adabis safari wal widaa’I hadits 17513, penerbit Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut (Lebanon), 2004
[12] Filsafat Ajaran Islam, Ruhani Khazain jilid 10, h. 333
[13] Malfuzhat, Vol. 6, hal. 195-196, edisi 1985, UK.
[14] Malfuzhat, Vol. 1, hal 132-133, edisi 1985, UK.
[15] Malfuzat, jld. I, hlm. 141
[16] Malfuzhat, Vol. 1, hal 141-142, edisi 1985, UK.
[17] Malfuzhat, Vol. 6, hal. 200, edisi 1985, UK.
[18] Malfuzhat, Vol. 6, hal. 200, edisi 1985, UK.
[19] Malfuzat, jld. II, hlm. 76, edisi 1985, terbitan UK.
[20] Muwatha karya Imam Malik (موطأ مالك), Kitab al-jami’ ( كتاب الجامع), bab ashshadaqah dan mencari ilmu (باب الصدقة وطلب العلم) terdapat hadits Nabi Muhammad saw, أَعْطُوا السَّائِلَ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ “Berikanlah kepada peminta meskipun ia seorang penunggang kuda [seorang berharta atau bermobil seperti zaman sekarang]; Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد), Musnad Ahlul Bait, keridhaan Allah atas mereka (مسند أهل البيت رضوان الله عليهم أجمعين), Hadits Husain ibn Ali radhiyallahu ‘anhu ( حديث الحسين بن علي رضي الله تعالى عنه), لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ “Seorang peminta itu mempunyai hak meskipun ia penunggang kuda.”
[21] Al-Hakam, jilid 4, no. 25, 9 Juli 1900, h. 2; Malfuzat, jld. II, hlm. 75-76, 1985, terbitan UK.
[22] Malfuzat, jld. 4, hlm. 175, catatan kaki no.1, 1985, terbitan UK.
[23] Al-Hakam, jilid 4, no. 25, 9 Juli 1900, h. 2; Malfuzat, jld. II, hlm. 75-76
[24] Malfuzat, jld. 2, hlm. 78-79, edisi 1985, terbitan UK.
[25] Malfuzat, jld. VI, hlm. 402, edisi 1985, terbitan UK.
[26] Malfuzat, jld. VI, hlm. 401-402
[27] Malfuzat, jld. 2, hlm. 77, edisi 1985, terbitan UK.
[28] Malfuzhat, Vol. 1, hal 146 – 147, edisi 1985, UK. Lalu beliau (as) mengutip salah satu bait syair Farsi (Persia)
Sama saja apakah mereka mendengarku ataukah tidak; ‘Ku ‘kan tetap menyeru dan memberi nasehat
[29] Malfuzat, jld. I, hlm. 137 , edisi 1985, terbitan UK
[30] Anjam-e-Atham, Ruhani Khazain jilid 11, 328