Ketaatan Kepada Sang Nabi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Khotbah Jum’at

Sayyidina Amirul Mu’minin 

Hadhrat  Mirza Masroor Ahmad

  Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahulloohu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Tanggal 17 Zhuhur 1391 HS/Agustus 2012

Di Masjid Baitul Futuh, London.

أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا[ (الأحزاب: 22)

]قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[ (آل عمران: 32)

 

Terjemahan ayat-ayat ini ialah sebagai berikut, ayat pertama adalah dari surah al Ahzab yaitu; “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah suri teladan yang sebaik-baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah.” (Al Ahzab ayat 22).

Ayat kedua yang berasal dari Surah Ali Imran: “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran ayat 32)

Pentingnya Suri Teladan

Allah Ta’ala telah mengatakan kepada kita, untuk menjadi pewaris karunia-karunia, ihsan (kebaikan-kebaikan) dan nikmat-nikmat Nya, maka, “Jadilah hamba-hamba-Ku! Jadilah hamba-hamba-Ku yang mengamalkan perintah-perintah-Ku!” Dalam Khotbah Jum’at yang lalu telah dijelaskan bahwa dengan melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala manusia dapat memasukkan dirinya kedalam golongan yang meraih ‘haqiqi ubudiyyat (penghambaan yang sejati), dan untuk maksud itu Allah Ta’ala telah menurunkan perintah-perintah-Nya yang tak terhitung banyaknya, yang kita harus berusaha berjalan diatasnya supaya kita dapat menjadi pembenar perintah Allah ini فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي “maka hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku.” (Al-Baqarah, 2:187). Setelah menjadi orang yang membenarkannya akan menjadikannya seorang mu’min yang mewarisi karunia-karunia Allah Ta’ala, menjadi hamba Allah yang sejati, menjadi orang yang meraih kabar-kabar gembira dari Allah Ta’ala, dan menjadi orang yang menyaksikan pemandangan pengabulan doa-doa.

Petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah Allah Ta’ala ada dalam Al-Quran yang dapat dibaca dan didengar, namun, Allah Ta’ala telah meletakkan hal demikian dalam fitrat manusia, yaitu, mereka umumnya lebih banyak tertarik dan terkesan oleh contoh atau teladan secara amalan dibandingkan dengan membaca dan mendengarkan bacaan. Ada semacam getaran hati, hasrat dan kerinduan yang timbul di dalamnya [untuk meniru]. Dan, ketika seseorang mengakui telah mencintai seseorang lainnya maka insan itu berusaha meniru setiap gerak-gerik dan amal perbuatan mahbub (yang dicintainya) itu, dan corak warna amal perbuatannya pun menjadi berubah lain lagi.

Tapi, apabila penzahiran kecintaan dan dikarenakan kecintaan itu ia menjadikan kekasihnya sebagai teladan dengan iman yang tak berhingga, lalu keinginan seorang mu’min tidak ada yang lebih besar dibanding hal itu, dan memang tidak ada yang lebih besar dari itu, maka ia akan menyenangkan hati kekasihnya itu, sambil menjaga keselamatan keimanannya dan memajukan imannya tersebut.

Kita beruntung sekali karena Allah Ta’ala telah menjadikan kita umat dari Hadhrat Rasulullah s.a.w., dan Dia telah menjadikan beliau s.a.w. satu teladan dalam pengamalan seluruh perintah yang telah turun kepada beliau s.a.w. dalam bentuk Al-Quran;  satu contoh keteladanan praktis yang sempurna, yang Dia telah menjadikan beliau s.a.w. ‘abd kaamil (hamba sempurna).

Ayat-ayat yang telah saya tilawatkan mengarahkan kepada perkara itu, bahkan diperintahkan, bahwa seorang Muslim, seorang beriman akan sempurna pengakuan keimanannya saat itu, tatkala ia dapat meraih qurb Allah Ta’ala apabila, “Ia berjalan mengikuti langkah dan suri teladan Rasul-Ku shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa itu iman manusia akan kosong. Tanpa mengikuti suri teladan itu maka mengharapkan nikmat-nikmat di akhirat adalah harapan sia-sia. Tanpa mengikuti teladan itu, suatu amal baik tidak dapat dikatakan amal baik. Tanpa mengikuti teladan itu, ibadah manusia tidak dapat dikatakan ibadah. Tanpa mengikuti teladan itu, zikir Ilahi tidak dapat dikatakan zikir yang dapat mencapai maqam (kedudukan) yang membuat manusia dekat dengan Allah Ta’ala.

Tanpa mengikuti teladan itu, tidak mungkin manusia mendapat keselamatan dari dosa-dosa. Tanpa mengikuti teladan itu, kalian tidak akan dapat memperoleh bagian dari kasih sayang Allah Ta’ala yang untuk itu kalian senantiasa memelas memintanya.” Tanpa berjalan diatas keteladanan itu, manusia tidak akan dapat meraih kecintaan Allah Ta’ala karena beliau s.a.w. adalah hamba Tuhan yang paling dicintai-Nya. Jika tidak mengikuti beliau s.a.w., manusia takkan dapat menemukan kecintaan Allah Ta’ala.

Pendek kata, seperti telah saya sampaikan inilah keberuntungan yang menggembirakan kita bahwa kita menjadi orang-orang Muslim, akan tetapi kita baru segera dapat meraih faidh (manfaat) dari menjadi umat beliau s.a.w. dan menjadi Muslim apabila kita berusaha berjalan mengikuti langkah-langkah beliau s.a.w.. Apabila kita hidup dengan berusaha mengamalkan perintah-perintah tersebut sedemikian rupa upayanya sebagaimana Hadhrat Rasulullah s.a.w. telah mengamalkannya dan memperlihatkannya untuk kita.

Makna Hadits, Sang Imam adalah Perisai

Dengan bersabda, الإمام جُنّة Al-imaamu junnah (Sang Imam adalah perisai, pelindung)[2]; beliau s.a.w. mengingatkan kita pada bahasan ayat itu,

“Contoh keteladanankulah yang bagi kalian menjadi sarana pelindung kalian dari setan dan menjadikan kalian dapat menjadi hamba yang hakiki dan sama sekali bukan upaya-upaya kalian sendiri. Tetaplah mengikuti langkah-langkahku di belakangku supaya kalian senantiasa akan selamat dari setan. Soal ibadah janganlah kalian menganggap bahwa bila kalian mengerjakan suatu amal yang tidak kulakukan maka akan membuat kalian dapat menunaikan hak ibadah atau dapat meraih kecintaan Allah Ta’ala. Tidak; tidak dapat demikian.”

Pada zaman sekarang ini berkat ihsan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., seorang pencinta hakiki beliau s.a.w.; beliau a.s. telah memberi bimbingan kepada kita untuk memahami dan mengamalkan suri teladan Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Beliau a.s. telah menjelaskan kepada kita bahwa bid’ah-bid’ah dalam peribadatan yang tidak ada dalam contoh Hadhrat Rasulullah s.a.w. tidak akan dapat meraih qurb (kedekatan) Allah Ta’ala.[3] Oleh karena itu, mengamalkan keteladanan beliau s.a.w. itu adalah sangat penting demi meraih qurb Allah Ta’ala.

Kedudukan Hadhrat Rasulullah s.a.w.

Pada waktu ini saya akan mengemukakan tentang suri teladan Hadhrat Rasulullah s.a.w., beberapa contoh praktis amal perbuatan beliau s.a.w.. Tetapi sebelum itu saya ingin menyampaikan mengenai keteladanan ibadah-ibadah dan akhlak-akhlak beliau s.a.w. yang merupakan tuntunan bagi kita, yang dengan mengamalkannya kita dapat menjadi hamba hakiki Allah Ta’ala, dan dapat meraih kecintaan-Nya. Saya ingin terlebih dahulu menyampaikan penjelasan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengenai apa-apa yang beliau a.s. tulis tentang kedudukan Hadhrat Rasulullah s.a.w..

Sayyidina Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus harapan akan rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.’” (Az-Zumar, 39:54).

Dalam ayat ini tidak menyebut “قل يا عباد الله” ‘Qul yaa ‘ibaadallah’ – “Hai hamba-hamba Allah!” melainkan قُلْ يَا عِبَادِيَ ‘Qul yaa ‘ibaadii’ – “Hai hamba-hamba-ku!” Ayat ini diwahyukan dalam bentuk panggilan demikian agar Allah Ta’ala menyampaikan berita gembira tentang rahmat-Nya yang tidak terbatas dan menghibur mereka yang telah putus harapan disebabkan banyaknya perbuatan dosa-dosa mereka. Jadi, Allah Ta’ala dalam ayat ini ingin menunjukkan satu contoh Kasih Sayang-Nya dan menzahirkan kepada hamba-Nya, ‘Sampai kapan pun Aku akan memuliakan hamba-Ku yang setia dengan karunia-Ku yang istimewa.’ (disampaikan kepada orang-orang yang putus harapan karena banyaknya dosa bahwa rahmat Allah Ta’ala demikian luas dan begitu pula nikmat-nikmat-Nya)

Bersabda, “Dengan menggunakan bentuk kalimat ‘Katakan, “Hai hamba-hamba-ku!”’ Dia menunjukkan, ‘Lihatlah utusan-Ku yang tercinta! Perhatikanlah hamba yang luar biasa itu! Betapa tinggi martabatnya berkat ketaatan yang kamil terhadap-Ku sehingga natijahnya apa yang Aku miliki sekarang menjadi miliknya. Barangsiapa yang menginginkan keselamatan ia harus menjadi ghulamnya [hamba atau sahaya atau budak rasul tersebut, yaitu Nabi Muhammad s.a.w.]. Dalam kata lain, dia harus taat secara fana sedemikian rupa kepadanya sehingga seakan-akan menjadi hamba-sahayanya. Maka dosa apapun yang telah dia lakukan di masa lalu akan diampuni.

Ketahuilah! Perkataan “عبد” abd didalam Bahasa Arab artinya hamba-sahaya. Sebagaimana Tuhan Yang Mahaperkasa berfirman وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ ”hamba-sahaya laki-laki mu’min lebih baik dari pada laki-laki musyrik.” (Al Baqarah, 2:222). Dalam ayat ini diisyaratkan pada hal ini yaitu barangsiapa menginginkan keselamatannya, ia harus menjalin hubungan sebagai seorang hamba-sahaya dengan Nabi itu [Nabi Muhammad s.a.w.]. Dalam kata lain, dia jangan melangkah diatas jalan yang bertentangan dengan perintah beliau s.a.w. dan harus menganggap dirinya selalu terikat dengan beliau s.a.w. seperti seorang hamba-sahaya terikat dengan majikannya.

“Barulah dia akan memperoleh keselamatan. Terkait kedudukan beliau s.a.w. ini ada keberatan dari orang-orang yang menyatakan diri Muwahhid yang mempunyai kedengkian terhadap Hadhrat Rasulullah s.a.w., menurut mereka nama-nama seperti Ghulam Nabi, Ghulam Rasul, Ghulam Mustafa, Ghulam Ahmad dan Ghulam Muhammad termasuk sebagai syirik. [4] Padahal dari ayat itu diketahui bahwa poros keselamatan adalah ada pada nama-nama inilah.” (yakni kalau nama-nama itu diberikan karena kecintaan dan amal perbuatannya baik atau dalam nama-nama itu dibuat penghambaan atas sifat-sifat itu maka ia akan mendapatkan keselamatan darinya.

Bukanlah maksudnya bahwa dengan semata-mata diberikan nama-nama itu maka akan mendapatkan keselamatan, yakni diberikan nama-nama itu kemudian terus menerus berbuat keburukan sesuka hatinya maka manusia akan mendapat keselamatan. Ini tidaklah demikian. Hal ini yang dikatakan, “Janganlah keluar dari hukum. Janganlah keluar dari perintah-perintah Rasulullah s.a.w..” Inilah kalimat yang memiliki keistimewaan yang sangat penting.  Hendaknya kalimah tersebut direnungkan.)

Kewajiban Seorang Hamba

Selanjutnya beliau a.s. bersabda, “Karena pengertian dari pada ‘abd (hamba, budak) mengisyarahkan bahwa orang yang diberi nama demikian harus berusaha agar ia menjaga diri dari setiap kebebasan dan menuruti kehendaknya sendiri” (yakni ubudiyyat atau penghambaan ada ketika tidak ada kebebasan bagi dirinya, tidak ada keputusan dari dirinya sendiri, apa yang dia inginkan dia kerjakan, keluar dari kondisi itu) “dan ia taat sepenuhnya kepada majikannya. Oleh sebab itu para pencari kebenaran telah ditekankan, ‘Apabila kalian betul-betul ingin mendapat keselamatan, timbulkanlah pengertian ini dalam diri kalian.’

Ayat itu mempunyai makna serupa dengan ayat berikut ini قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ “Katakanlah! Jika kamu mencintai Allah ikutilah aku maka Allah akan mencintai kamu dan Dia akan memaafkan dosa-dosa kamu.” (Ali Imran, 3:32). (ayat pertama yang telah dibaca dan ayat ini, pengertiannya satu) “Karena perihal mengikuti dengan sempurna harus ada kefanaan dan ketaatan sepenuhnya.” (yakni seseorang yang mengikuti jejak langkah seseorang lainnya dan yang mengikuti dengan sangat, ia wajib menaati dengan sempurna, yang akan taat maka akan mengikut, mengikuti langkahnya)

 Beliau a.s. bersabda, “hal mana pengertian tersebut ditemui dalam kata `abd.” (kalimat sempurnanya akan menjadi…) Karena perihal mengikuti dengan sempurna harus ada kefanaan dan ketaatan sepenuhnya, hal mana pengertian tersebut ditemui dalam kata `abd. Inilah rahasianya bahwa sebagaimana dalam ayat pertama terdapat janji pengampunan bahkan berita gembira bahwa manusia dapat menjadi kekasih Ilahi, seakan akan ayat ini قل يا عبادي… Qul yaa `ibadii wahai hamba-hambaku dalam perkataan keduanya adalah “قل يا متبعي” Qul yaa muttabi`i. Yakni, ‘Wahai para pengikutku yang telah terjerumus dalam banyak dosa! Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sebab berkat kalian mengikuti langkah-langkahku, Allah Ta’ala mengampuni semua dosa kalian.’

Jika perkataan ibaad atau hamba-hamba dalam ayat tersebut diartikan sebagai hamba Allah, maka pemaknaannya pun akan rusak. Sebab, hal ini adalah tidak benar bahwa tanpa memberi syarat keimanan dan syarat mengikuti [Nabi s.a.w.], seluruh orang Musyrik dan Kafir otomatis juga diampuni.” Yakni, jika dalam keimanan tidak sempurna dan dalam hal mengikuti tidak sempuna maka ia tidak diampuni, karena jika demikian, maka berarti Allah juga sama-sama mengampuni semua penyembah berhala dan yang ingkar. Bersabda, “Pemaknaan demikian akan bertentangan dengan pernyataan jelas dari Al-Quran.“ [5]

Jadi, ini adalah kabar gembira bagi orang-orang yang taat secara sempurna kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w. dan mengikuti sepenuhnya jejak langkah beliau s.a.w., sebab berkat mengikuti sepenuhnya jejak langkah beliau s.a.w. maka dosa-dosa besarnya akan dimaafkan. Seperti telah saya katakan, sekarang ini saya akan menyampaikan contoh uswah (keteladanan) beliau s.a.w.. Dalam bulan Ramadhan ini Allah Ta’ala telah menciptakan lingkungan seperti ini, dan setiap tahun ketika datang bulan Ramadhan maka lingkungan yang tercipta itu memberikan perhatian pada amal kebaikan dan ibadah-ibadah, dan inilah yang tengah terjadi sekarang, maka jika seseorang betul-betul ingin menjadi ‘abd (hamba) dan menjadi kesayangan Allah Ta’ala sangat penting sekali mengikuti jejak langkah keteladanan beliau s.a.w. secara terus-menerus bukan hanya untuk sementara atau di waktu kesempatan tertentu saja.

Pentingnya Memiliki Tekad dan Kontinyuitas Kebaikan

Amal perbuatan atau contoh keteladanan beliau s.a.w. tidak terbatas hanya dalam satu aspek saja dan bukan pula hanya di waktu bulan Ramadhan saja, bahkan menurut Hadhrat Aisyah rha “كان خلقه القرآن” ‘Kaana khuluuquhul Qur`aan’ seluruh kehidupan beliau s.a.w.. Akhlak beliau s.a.w. adalah Al-Quran. [6]  Jadi, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah bersabda bahwa ayat ini menunjukkan secercah harapan kepada orang-orang yang putus harapan dikarenakan banyaknya dosa-dosa mereka, dan itu tidak akan terwujud kecuali setelah mengikat tekad untuk memimpin diri sendiri mengikuti uswah beliau s.a.w. itu, bukan hanya kebulatan tekad saja tetapi harus beramal dan terus menerus teratur mengamalkannya.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga menulis, “Di sini harus diingat bahwa intisari dari ayat itu adalah (yang menjadi intisari ayat ini atau yang menjadi topik mendasarnya atau yang menjadi maksudnya ialah) bahwa orang-orang yang jiwa dan raga mereka menjadi milik engkau (Hadhrat Rasulullah s.a.w.) atau menjadi hamba sahaya Rasul Allah. Kepada mereka akan dianugerahi cahaya iman, kecintaan dan isyq (keasyikan), yang akan membersihkan mereka dari ghairullah (selain Allah), menyelamatkan mereka dari semua dosa, dan akan dianugerahkan kepada mereka kehidupan yang suci di dunia ini, dan mereka akan dikeluarkan dari segala macam hasrat hawa nafsu dan kegelapan kubur.” (satu tujuan dari Ramadhan adalah menginginkan keridhaan Allah Ta’ala, menjadi milik-Nya juga beribadah kepada-Nya. Dan jika ini murni selamat dari ghairullah (selain Allah) maka untuk menyempurnakannya penting mengikuti contoh terbaik Hadhrat s.a.w..

Beliau a.s. bersabda) dan akan dianugerahkan kepada mereka kehidupan yang suci di dunia ini, dan mereka akan dikeluarkan dari segala macam hasrat hawa nafsu dan kegelapan kubur.” (bagi mereka yang mengikutinya) Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits ini “أنا الحاشر الذي يُحشر الناس على قدمي يوم القيامة” “Aku adalah yang menghimpun (menghidupkan) orang-orang mati yaitu beliau orang yang menghimpun (menghidupkan) orang-orang di kakinya.”[7] (maksud dari terkumpul di telapak kakiku ialah adalah orang-orang yang mengikuti aku, berjalan mengikuti jejak langkahku)

Beliau a.s. bersabda, “Jelaslah bahwa Al-Quran penuh dengan kalimat kiasan yang menyatakan bahwa dunia sudah mati kemudian Allah Yang Mahakuasa menghidupkan kembali dengan mengutus Nabi ini yang adalah Khatamul Anbiya s.a.w. (Nabi Muhammad). Sebagaimana firman-Nya: اعلموا أن الله يُحيي الأرض بعد موتها “Ketahuilah bahwa Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya.” (Al-Hadid, 57:18).

Seperti itu juga mengenai para sahabat beliau s.a.w., Allah Ta’ala berfirman: وأيدهم بروح منه yakni, Dia memberikan pertolongan dengan ruhul qudus (ruh suci) (Al-Mujadalah, 58:23), dan pertolongan ruhul qudus [artinya] adalah demikian bahwa menghidupkan hati, menyelamatkan dari kematian rohaniah, memberi kekuatan yang suci, indra-indra yang suci dan ilmu pengetahuan yang suci, dan yang membawa manusia dekat dengan Allah Ta’ala melalui uluum yaqiniyyah (ilmu pengetahuan yang meyakinkan) dan baraahin qath’iyyah (argumen yang pasti). [8]

Apa itu Kehidupan Rohaniah?

Apakah diselamatkan dari kematian rohaniah itu? Ini adalah nama dari mengorbankan keinginan-keinginan duniawi. Ini adalah nama dari mengorbankan nafsu diri sendiri yang mengenainya Allah Ta’ala berulang kali memberikan perhatian dalam Al-Qur`anul Karim. Ini adalah nama dari mendahulukan melangkahkan kaki mencari keridhaan Allah Ta’ala. Oleh karena para sahabat ra ini telah mengerjakan semuanya maka Allah Ta’ala menganugerahkan kehidupan rohaniah dalam hati mereka.

Kepada mereka dianugerahkan kekuatan kesucian yang dengannya mereka bertarung dengan setan. Pikiran mereka disucikan. Kepada mereka dianugerahi ilmu pengetahuan Al-Quran, yang dengan itu membawa mereka keyakinan dan keimanan mereka ke tingkat puncak. Mereka telah `ainul yaqin pada Dzat Allah Ta’ala. Mereka sendiri telah melihat pemandangan Qudrat (kekuasaan) Allah Ta’ala dan mereka telah meraih qurb (kedekatan) dengan-Nya. Semua hal ini diperoleh berkat mengikuti Aqa-o-Maula (Majikan dan Junjungan) mereka, Hadhrat Rasulullah s.a.w., dan mereka memperoleh pengertian yang bertambah-tambah tentang perintah Allah Ta’ala berikut ini والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا “Dan barangsiapa yang berusaha keras di jalan Kami – Kami pasti akan memberi petunjuk kepada mereka  di jalan Kami.” (Al Ankabut, 29:70). Dan semua ini seperti pernah saya katakan, mereka peroleh dengan berusaha berjalan pada uswatun hasanah (contoh terbaik) dari Hadhrat S.a.w..

Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Ilmu-ilmu ini yang padanya terletak orbit keselamatan tidak dapat diperoleh dengan pasti dan meyakinkan tanpa menjalani kehidupan melalui sarana ruhul qudus (ruh suci), dan Kitab Suci Al-Quran telah menegaskan dengan sangat lantang bahwa kehidupan rohaniah itu dapat diperoleh hanya dengan jalan mengikuti jejak langkah Rasul Karim ini s.a.w.”. Yakni ilmu pengetahuan yang telah disinggung yaitu keselamatan ada dalam ilmu-ilmu kerohanian, dianugerahkannya kekuatan penyucian, indra-indra yang disucikan dan dianugerahkannya ilmu kesucian.

Sabda beliau a.s. bahwa pusat keselamatan ini, ilmu-ilmu yang menjadikan penyebab keselamatan, ini tidak dapat diperoleh demikian saja yaitu manusia hanya berusaha sendiri di kehidupan ini, melainkan diperoleh manusia melalui sarana ruhul qudus. Beliau a.s. bersabda, “Al-Qur`anul Karim dengan lantang berseru, kehidupan rohaniah  didapat dengan hanya oleh pengikut Rasul Karim S.a.w..” (ini bukannya kehidupan jasmani, melainkan kehidupan rohaniah yang diperoleh dengan berjalan dan mengikuti contoh terbaik Hadhrat s.a.w.)

Bersabda, “Dan semua orang yang meninggalkan ketaatan terhadap beliau s.a.w. adalah mati kehidupannya” (yakni kehidupan kerohanian ini) “tidak ada ruhnya sedikitpun.” Kemudian bersabda, “..dan kehidupan rohaniah artinya kekuatan ilmu dan amal perbuatan seorang insan yang hidup dengan pertolongan ruhul qudus.

Dari Al-Quran terbukti bahwa hukum-hukum Allah Ta’ala yang Dia ingin agar manusia menegakkannya jumlahnya ada 600 buah. Sesuai dengan itu jumlah sayap Jibril ‘alaihis salaam juga ada 600 buah, dan bilamana ‘tempat pembuahan telur’ kemanusiaan tidak berada dibawah naungan ke-600 hukum dibawah sayap Malaikat Jibril, dari dalamnya tidak dapat terlahir anak yang fana fillah (fana dalam Allah). (yakni diberikan contoh jika seorang manusia tidak berjalan dibawah 600 hukum itu, tidak mengamalkan, maka ia tidak dapat menjadi seorang yang fana fillah. Anak itu tidak akan terlahir, yaitu yang memperoleh qurb Allah Ta’ala. “Dalam diri hakikat kemanusiaan terdapat enam ratus telur (benih) kapasitas.” Ini bukanlah hal sulit. Allah Ta’ala telah memberikan dalam fitrat manusia kekuatan yang bila ia ingin, ia meletakkan kekuatannya untuk menjalani perintah-perintah itu, ia akan mampu mengamalkannya.

Bersabda, “Seorang yang 600 benih kemanusiaannya dinaungi oleh 600 kapasitas sayap Malaikat Jibril adalah manusia sempurna yang kelahiran rohaniahnya sempurna dan yang kehidupannya juga sempurna.” Yakni, bila hal-hal ini diraih maka akan terjadi kelahiran rohaniah hakiki dan ditemukan pula kehidupan rohaniah hakiki. Oleh karena itu, berusahalah menjunjung tinggi perintah-perintah yang 600 buah jumlahnya itu.

Bersabda, “Dengan mengamati dan merenungkan dalam-dalam dapat diketahui bahwa anak-anak rohaniah yang lahir dari tempat pembuahan kemanusiaan berkat mengikuti Hadhrat s.a.w. dan ma’rifat ruhul qudus, dari segi kammiyat dan kaifiyat, dari segi corak bentuknya, dari segi macam dan jenisnya, dari segi keadaan lebih lengkap dan lebih sempurna daripada anak-anak rohaniah semua nabi.”

Yakni, anak-anak rohaniah yang lahir dalam diri manusia dengan mengikuti Hadhrat s.a.w., yang dihiasi dengan sifat-sifat rohani, terukur dari segi kammiyat dan kaifiyat, juga dengan mengukur dari segi corak bentuknya, juga dengan mengukur dari segi macam dan jenisnya; dalam segala keadaan mendatangkan revolusi kerohanian yang lebih besar daripada anak-anak rohaniah semua nabi yang lain.  Dan bersabda,”Firman Allah Ta’ala ini mengisyaratkan kepada hal itu, كنتم خيرَ أمة أُخرجتْ للناسKuntum khaira ummatin  ukhrijat linnaas.’ – “Kamu adalah umat terbaik yang telah dibangkitkan demi perbaikan umat manusia.” (Ali Imran, 3:111).[9]

Pentingnya Revolusi Rohaniah

Setelah dinyatakan sebagai umat terbaik, seperti banyak kita dengar dalam ceramah-ceramah bertemakan “Khaira ummah” maka untuk menjadi umat terbaik itu adalah penting dengan berusaha menciptakan ruhani inqilaab (perubahan rohaniah dengan cepat) seperti yang telah diajarkan kepada kita. Apa-apa yang disebutkan oleh Hadhrat s.a.w.. Apa-apa yang ada penyebutannya didalam Al-Qur`an Karim. Maka jika perubahannya pada diri sendiri seperti ini, ketika manusia mencapai maqam (kedudukan) ini maka barulah ia dapat memperbaiki orang-orang lainnya.

Pekerjaan ishlah (perbaikan) akan berhasil dan kemudian akan berbuah apabila kita berusaha berjalan pada uswah (keteladanan) Rasul s.a.w. itu. Kita harus selalu merenungi kehidupan kita berdasarkan keteladanan beliau s.a.w. itu. Kita harus setiap waktu mengadakan koreksi terhadap diri sendiri dan merenungkan apakah kerohanian kita mengalami kemajuan atau sampai dimana kita harus berusaha mencapainya.

Kita harus mengamati perihal dimana, dalam hal apa, bagaimana dan sejauh mana upaya kita untuk mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala yang tercantum dalam Al-Quran. Maka barulah kita akan menciptakan inqilaab dalam diri kita sendiri.  Barulah kita akan dapat menyampaikan amanat hakiki Islam ke seluruh dunia.  Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa orang yang berdosa dapat menjadi seorang ‘Abd atau hamba Allah Ta’ala, akan tetapi dengan cara ia berusaha sekuat tenaga mengikuti jejak langkah uswah hasanah Hadhrat Nabi Muhammad s.a.w., dan untuk itu ia melakukan dengan seluruh kekuatan dan usahanya sehingga semua dosa-dosanya dapat dimaafkan.

Semaksimal Mungkin Memenuhi Hak Syukur Kepada Allah

Sekarang mari kita lihat berbagai segi kehidupan Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Keteladanan beliau s.a.w. yang Allah Ta’ala telah perintahkan kita untuk mengikutinya dan yang mengenainya telah dijelaskan oleh Hadhrat Masih Ma`ud as, bagaimana dan sejauh mana manusia dapat melaksanakannya. Dan yang dengan berjalan diatasnya maka dapat memperoleh kecintaan Allah Ta`ala yang karenanya hamba masuk kedalam hamba-hamba yang dicintai-Nya.

Pertama dari semuanya, kita perhatikan contoh apa yang telah beliau s.a.w. tegakkan dalam hal kecintaan kepada Allah Ta’ala, mensyukuri-Nya dan dalam beribadah kepada-Nya. Beliau adalah nabi agung yang seluruh harinya penuh dengan kesibukan urusan pekerjaan-pekerjaan dan memperbaiki keimanan orang-orang mu`min dan memberikan tarbiyat kepada mereka dan sibuk memperlihatkan jalan bagi kemajuan kerohanian mereka.

Di hari-hari biasa pun beliau s.a.w. sangat sibuk. Namun di hari-hari darurat menghadapi bahaya ancaman perang beliau s.a.w. lebih sibuk lagi. Namun demikian hal itu tidak pernah menjadi hambatan dalam ibadah beliau s.a.w. kepada Allah Ta’ala di waktu siang hari ataupun malam hari. Ibadah beliau pada malam hari begitu tekun sehingga kaki beliau bengkak-bengkak disebabkan lama berdiri.  [10]

Hal demikian karena Allah Ta’ala berfirman, “Bangunlah beribadahlah di malam hari!” Lebih dari setengah malam hari dan setengah malam hari beliau s.a.w. gunakan untuk beribadah. Allah Ta’ala berfirman إن ناشئة الليل هي أشدّ وطأً وأقوم قيلاً “Sesungguhnya bangun di waktu malam untuk Shalat adalah lebih kuat untuk menguasai diri dan lebih ampuh dalam berbicara.” (Al Muzammil, 73:7).

Pada suatu ketika Hadhrat Aisyah rha bertanya, “Wahai Rasul Allah! Tuan sejak awal sudah dekat dengan Allah. Mengapa tuan memasukkan diri tuan dalam kesusahan yang sangat?” Bersabda beliau s.a.w., يا عائشة، أفلا أكون عبدًا شكورًا؟ “Wahai Aisyah! afalaa akuuna ‘abdan syakuura?”[11]

“Yakni setelah aku menjadi dekat dengan Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala telah demikian banyak memberikan karunia-Nya padaku, apakah tidak menjadi kewajiban bagi saya untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?” Bersyukur adalah kebalikan dari ihsan, dan beliau s.a.w. senantiasa mengingat karunia dan ihsan dari Allah Ta’ala dan terus menurus bersyukur.

Ini adalah kebaikan Allah Ta’ala pada kita bahwa tidak hanya Dia menjadikan kita orang Muslim, bahkan, Dia juga telah memberi taufik kepada kita untuk menyampaikan pesan salam Hadhrat Rasulullah s.a.w. kepada pencinta hakiki beliau s.a.w.. Ihsan (kebaikan) ini demikian besar sekali sehingga kita tidak dapat menyatakan syukur yang memadai kepada Allah Ta’ala. Seorang Ahmadi juga tidak akan mampu memenuhi syukur kepada-Nya. Apa pun usaha yang dilakukan untuk memenuhi syukur tersebut, sampai kapan pun kita tidak akan mampu memenuhi syukur tersebut.

Oleh karena itu, setiap Ahmadi harus berusaha keras untuk menunaikan hak-hak kewajiban ibadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masing-masing. Kebiasaan menunaikan Nawafil di bulan Ramadhan hendaknya tidak bersifat sementara dan tidak pula hanya untuk meraih materi duniawi melainkan untuk menyatakan syukur sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, kemudian pengaruh dari ibadah-ibadah itu nampak dari kebenaran perkataan dan perbuatan kita. Apabila kita bermaksud berusaha memperbaiki dunia maka dengan menjadikan diri kita umat yang terbaik maka perkataan kita akan ada pengaruhnya apabila keadaan kita seperti telah disebutkan tadi.

Seperti telah saya katakan, ini adalah keteladanan beliau s.a.w. yang telah diterangkan tadi mengenai shalat-shalat nafal bagaimana beliau s.a.w. biasa beribadah di waktu malam. Hadhrat Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan kedisiplinan dalam menunaikan shalat-shalat fardhu. Bahkan, di waktu sedang sakit keras pun, walaupun [dalam keadaan demikian] diijinkan untuk shalat sambil duduk atau berbaring dan juga shalat di rumah, beliau s.a.w. tetap pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah dengan berjalan sambil ditopang oleh dua orang sahabat beliau s.a.w..[12]

Dalam Pelaksanaan Ibadah Jangan Memaksakan Diri Namun Juga Jangan Mudah Mencari Mudahnya Saja

Akan tetapi walaupun hal-hal demikan tadi yaitu demikian kerasnya beliau s.a.w. dalam beribadah, demikian ketatnya beliau s.a.w. dan beliau s.a.w. menganggap demikian pentingnya beribadah, namun, dalam masalah beribadah beliau s.a.w. tidak menyukai memaksakan diri dan dibuat-buat. Pada suatu hari Hadhrat Rasulullah s.a.w. melihat seutas tali terikat diantara dua buah tiang di dalam rumah. Ketika ditanya mengenai tujuannya maka diketahuilah bahwa istri beliau, Hadhrat Zainab ra mengikatkan tali tersebut untuk menopang tubuhnya apabila ia merasa penat ketika menunaikan shalat. Beliau s.a.w. tidak menyukainya dan beliau s.a.w. bersabda, “Seseorang harus melakukan shalat selama ia bersemangat ceria, apabila ia merasa lelah atau penat maka ia boleh ibadah sambil duduk.” [13]

Allah Ta’ala telah memberikan kekuatan sedemikian kepada beliau s.a.w. sehingga kaki beliau s.a.w. menjadi bengkak karena begitu lama berdiri [untuk shalat tahajjud], tapi untuk orang-orang lain, beliau s.a.w. memberikan kemudahan-kemudahan. Tetapi kemudahan itu bukan berarti menjadi kebiasaan bagi banyak orang supaya shalat hanya sambil duduk saja. Sebagian orang memiliki kebiasaan demikian, yaitu mereka bangun untuk shalat Shubuh, tanpa melakukan wudhu melainkan melakukan tayammum, shalat pun dilakukan dengan cara duduk, ini adalah salah. Disamping tidak boleh, melakukan hal itu juga tidak ada faedahnya karena hal itu bukanlah ibadah.

Adalah penting setiap orang melakukan usaha hingga batas puncak kemampuan dan kekuatannya. Setiap hamba dapat memperkirakan sesuai dengan kekuatannya, setiap orang mengukurnya dan bila ini terjadi barulah setiap orang dapat mengatakan, “Saya sedang berusaha berjalan pada keteladanan terbaik Hadhrat Rasulullah S.a.w.. “ Kita telah melihat derajat ibadah-ibadah dan syukur yang contoh-contohnya telah beliau s.a.w. letakkan di hadapan kita, dan telah pula saya jelaskan.

Namun, walaupun demikian, ketika suatu waktu beliau s.a.w. bersabda: “Tidak akan ada seorangpun yang dimasukkan kedalam surga karena amal salehnya.” Maka sahabat Abu Hurairah pun bertanya, “Wahai Rasulullah ! Apakah tuan juga tidak masuk surga dengan amal perbuatan tuan? Tuan senantiasa beribadah sepanjang malam. Dalam keadaan fana seperti ini hingga kaki tuan bengkak-bengkak.” Beliau s.a.w. bersabda: “Ya, sekalipun saya sendiri tidak akan masuk Surga karena amal-amal saya, hanya karunia dan kasih sayang Tuhanlah yang memungkinkan saya masuk ke Surga.”[14]

Betapa luhurnya keadaan khauf (takut terhadap Tuhan) dan khasy-yat (merendahkan diri) beliau s.a.w.. Demikianlah kedudukan kualitas khauf beliau s.a.w. bagi orang-orang yang kesana kemari menyatakan kebaikan-kebaikan mereka. Semoga Allah Ta’ala selalu menempatkan kita di bawah naungan rahmat-Nya dan pengampunan-Nya, dan semoga Dia memberi taufik kepada kita untuk menunaikan ibadah yang benar sambil merendahkan diri kepada-Nya. Beliau s.a.w. bersabda, “Laksanakanlah kebaikan-kebaikan dalam perbuatan-perbuatan saudara-saudara dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” Beliau s.a.w. bersabda, “Janganlah ada orang yang menginginkan kematian, supaya jika ia orang yang saleh, ia harus meningkatkan dirinya dalam kesalehan dan akan menjadi pewaris dari karunia Allah Ta’ala dan jika ia bukan orang saleh maka akan mendapatkan taufik untuk bertaubat.” [15]

Taufik bertaubat pun didapat dengan karunia Allah Ta’ala.  Hendaknya berdoa juga untuk itu sebab kalau tidak kebanyakan orang di dunia ini berbuat hal-hal yang menjurus kedalam keburukan dan terus menerus bertambah-tambah didalamnya. Inilah yang beliau s.a.w. sabdakan, dan beliau s.a.w. bersabda untuk orang-orang beriman, beliau s.a.w. bersabda mengenai keburukan-keburukan umum yang biasa, “Jauhilah kelemahan-kelemahan masing-masing, jauhilah keburukan-keburukan masing-masing!” Maka untuk itu harus bertambah upayanya dan kemudian mendapatkan taufik menjauhkan diri dari kelemahan-kelemahannya.

Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini manusia berusaha menjauhkan kelemahan-kelemahan pribadinya dan menjauhkan keburukan-keburukan maka untuknya juga hendaknya terus maju dalam usahanya kemudian kebiasaan seperti itu harus dilanjutkan. Sabda beliau s.a.w. ini juga ditujukan kepada orang-orang yang memiliki perhatian pada taubat, dan kemudian setelah bertaubat mereka  berusaha untuk terus maju dalam berbuat kebaikan-kebaikan, dan mereka berdoa, “Kematian itu telah ditetapkan. Akan tetapi Ya Allah, aku memohon agar kematianku datang ketika Engkau telah ridha kepadaku.”

Menggunakan Kemampuan dan Kekuatan di Saat Yang Tepat

Beliau s.a.w. juga bersabda bahwa orang yang tidak memanfaatkan kemampuan dan karunia yang Allah Ta’ala telah berikan kepadanya, adalah termasuk ketidakpatutan (ketidaksopanan). Penggunaan yang benar atas semua kemampuan tersebut adalah ibadah. Bagian-bagian tubuh yang Allah Ta’ala telah berikan, telinga, mata , lidah , tangan, kaki dan sebagainya, dan menggunakannya untuk melakukan kebaikan adalah ibadah.

Menggunakan telinga untuk mendengarkan perkara yang baik membuat seseorang menjadi pewaris ridha Ilahi, sebaliknya mendengarkan orang melakukan ghibat dan mendengarkan cerita fitnah tentang orang lain adalah dosa. Akan tetapi bila seseorang selalu menutup kedua belah telinganya selama-lamanya sambil berkata, “Saya tidak mendengar perkara yang buruk.” maka hal demikian juga bukan penggunaan pendengaran yang tepat dan adalah termasuk jenis perbuatan yang tidak pantas. Demikian juga dengan penggunaan lidah, tangan, dan indra-indra lainnya juga.

Sekarang kita sedang melalui bulan Ramadhan. Adalah perintah Allah Ta’ala yaitu makan sahurlah dan bersegeralah berbuka puasa. Setelah beliau s.a.w. memperlihatkan dalam bentuk perbuatan dalam hal itu pada kita, kecuali jika terdapat hambatan tertentu, maka jika tidak menjalankan perintah Allah Ta’ala tersebut maka ini adalah ketidakpatutan dan dosa. Sebagian orang tidak menyegerakan berbuka puasa dikarenakan terpaksa. Sebagian orang tidak memiliki sesuatu untuk dimakan saat sahur. Jika seseorang tidak melakukan puasa sekalipun keadaan fisiknya sehat maka itu adalah ketidakpatutan dan dosa besar. Nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan dalam bentuk apapun juga, bila dimanfaatkan sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan dimanfaatkan dengan cara yang baik akan menjadi kebaikan, dan adalah berdosa bila tidak digunakan dengan benar dan digunakan tidak pada waktunya. Demikianlah yang diperlihatkan oleh beliau s.a.w. kepada kita dengan amal perbuatan beliau s.a.w..

Hadhrat Rasulullah s.a.w. memiliki kesabaran dan toleransi yang sangat tinggi. Sebelum perintah Tuhan berisi larangan minum minuman keras turun kepada beliau s.a.w., seorang Sahabat [Hamzah] tengah mabuk banyak berkata kepada beliau s.a.w. dengan kata-kata yang tak keruan. Beliau terus mendengar sambil berdiam diri tanpa berkata-kata apapun kepadanya. [Rujukan: Shahih al-Bukhari, Kitab al-Musaaqaat (mengairi tanaman), bab bai’il hathab wal kala’ (menjual kayu bakar dan rumput)]

Keteladanan Nabi s.a.w. Saat Menjadi Penguasa

Pada masa Allah Ta’ala mengaruniai beliau s.a.w. dengan kekuasaan (pemerintahan). Beliau s.a.w. telah menetap di Madinah, kekuasaan pun telah tegak berdiri maka pada waktu itu juga kita mendapatkan keteladanan dalam hal kesabaran dan toleransi yang sangat tinggi. Kita melihat di dunia ini, ada orang yang memiliki 4 sen saja atau ada orang yang memiliki sedikit saja kedudukan (jabatan) maka ia sudah merasa demikian bangga (sombong). Kalau terjadi suatu pembicaraan yang tidak sesuai dengan tabiatnya maka ia menjadi marah. Akan tetapi bagaimanakah karakter beliau?

Pada suatu ketika seorang Yahudi datang dan mulai berbahas sesuatu dengan beliau s.a.w., dan selama bercakap-cakap ia berulang kali memanggil dengan panggilan “محمد” “Wahai Muhammad”. Orang Yahudi itu memanggil beliau hanya dengan “Wahai Muhammad!”. [Padahal], zaman itu adalah zaman dimana beliau s.a.w. tidak hanya berkuasa di Madinah saja bahkan pemerintahan dan kekuasaan beliau s.a.w. meliputi daerah-daerah di sekitarnya tersebar hingga ke tempat-tempat yang jauh.

Para Sahabat beliau s.a.w. tidak senang mendengar cara panggilan tidak sopan itu karena para Sahabat memanggil beliau s.a.w. dengan perkataan“يا رسول الله”  “Wahai Rasul Allah!” Sedangkan orang-orang bukan Muslim memanggil beliau s.a.w. dengan kuniyat (panggilan gelar kehormatan) “أبو القاسم” Abul Qasim. Maka dengan mengulang-ulang memanggil “Wahai Muhammad” seperti ini sahabat menjadi marah, “Kalau tidak dapat mengatakan ‘Wahai Rasul Allah!’ setidaknya engkau panggilah beliau s.a.w. dengan panggilan kuniyat beliau s.a.w., ‘Abul Qasim’!”

Orang Yahudi berkata, “Aku akan memanggil beliau dengan nama itu yang telah diberikan oleh ibu bapak beliau kepada beliau.” Mendengar hal itu Hadhrat Rasulullah s.a.w. pun tersenyum sambil bersabda, “Sungguh benar ia (orang Yahudi itu). Ayah dan ibuku telah menamaiku Muhammad. Biarkanlah mereka bercakap-cakap dengan menyebut nama itu dan janganlah marah.” [16]

Suatu kali terjadi demikian bahwa orang-orang yang memegang tangan beliau s.a.w.. Sekali waktu beliau dihentikan ketika sedang mengerjakan pekerjan penting. Sekali waktu mereka menyia-nyiakan waktu beliau akan tetapi beliau memperhatikan ucapan mereka dengan sabar dan penuh perhatian dan menyempurnakan keinginan mereka. [17]

Penegakan Hukum dan Keadilan Tanpa Pandang Bulu

Perihal standar keadilan adalah demikian bahwa bilamana seseorang telah berbuat kesalahan tidak dipandang apakah dia seorang kaya ataupun miskin, baik dia berasal dari keluarga terpandang ataukah keluarga biasa [pasti akan beliau s.a.w. tegakkan hukum]. Pada suatu ketika seorang perempuan kaya dari keturunan bangsawan terhormat telah berusaha mencuri harta milik orang lain, ia tertangkap dan kemudian dijatuhi hukuman. Sebagian orang dari kabilah-kabilah, khususnya yang masih kerabat dekat dengan perempuan itu telah menjadi gelisah mengapa seorang perempuan terhormat telah dijatuhi hukuman? Kemudian pemimpin Kabilah itu mengirim Usamah ra untuk menghadap Hadhrat Rasulullah s.a.w. sebagai perantara mengajukan permohonan agar perempuan itu tidak dijatuhi hukuman dan dimaafkan.

Mendengar hal ini, beliau s.a.w. memperlihatkan kemarahan beliau s.a.w. terhadap perilaku mereka itu. Padahal, beliau s.a.w. sungguh seorang yang sangat luhur, seorang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap sesama makhluk lagi pemaaf, seorang yang mempunyai akhlak menyenangkan saat berbicara, dan beliau tidak pernah marah, namun demikian, atas kejadian itu beliau s.a.w. marah, yakni “Telah datang kepadaku, pengajuan permohonan untuk melawan hukum Allah Ta’ala.”

Kemudian beliau s.a.w. bersabda, “Suatu kaum di zaman dahulu telah hancur sebab telah terjadi kezaliman antara para pembesar dan orang-orang biasa. Apabila seorang kalangan terhormat mencuri dibebaskan dan tidak dikenai hukuman, sedangkan apabila seorang dari kalangan orang rendah dan miskin mencuri dikenai hukuman. Islam tidak mengizinkan perlakuan demikian. Demi Allah! Jika seandainya anak perempuanku Fatimah mencuri pasti saya jatuhkan hukuman kepadanya.” [18]

Pada zaman sekarang ini, kita saksikan bagaimana keadilan sudah hilang di kalangan orang-orang Muslim, dan itulah salah satu penyebab kemunduran mereka. Oleh karena itu, kita orang-orang Ahmadi harus sangat berhati-hati dalam hal ini. Para pengemban amanat tugas Jemaat diantara kita juga harus memenuhi tuntutan keadilan dan berusaha untuk mempertahankan dan menegakkan standar [keadilan] itu dengan sebaik-baiknya, sebab, hal itu adalah sangat berbahaya (urgent) dan menjadi penyebab kemunduran [bila tidak ditegakkan].

Perlakuan adil terhadap musuh-musuh adalah ajaran Al Qur’anul Karim. Maka, bagaimanakah contoh yang beliau s.a.w. perlihatkan? Mengenainya, saya berikan satu contoh. Pada suatu ketika beliau mengirim sekelompok Sahabat ke arah Mekkah untuk mencari-cari informasi. Ketika sampai di batas al-Haram (kota Mekkah) para Sahabat itu menjumpai beberapa orang yang mereka kenal atau mereka mencurigai bahwa orang-orang itu akan melaporkan kedatangan mereka kepada orang-orang Mekkah. Dikarenakan hal itu, para Sahabat itu menyerang mereka dan membunuh salah satu diantara mereka itu.

Tatkala para sahabat itu pulang ke Madinah, mereka diikuti oleh sebuah delegasi dari Mekkah yang datang kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w. sambil membawa pengaduan bagaimana mereka telah melakukan pembunuhan di batas Haram. Atas hal itu, beliau s.a.w. menjawab, “Apakah kalian lupa bagaimana kalian telah menganiaya kaum Muslimin dan berbuat dosa di dalam batas al-Haram?” Tetapi, beliau bersabda, “Baiklah, bisa jadi orang-orang itu tidak melawan para sahabat dikarenakan hal ini bahwa mereka berada di tanah Haram sehingga tidak berperang dan terlindungi jiwanya. Orang-orang kami telah berbuat hal yang melampaui batas.”

Dan, selanjutnya beliau s.a.w. bersabda, “Baiklah, darah salah seorang dari kalian telah tertumpah. Sesuai adat kebiasaan bangsa Arab, akan ditunaikan pembayaran diyat (uang darah).” (Rujukan dari As-Sirah al-Halabiyyah, jilid 3 halaman 217 s.d. 221, bab sariyah beliau s.a.w., sariyah Abdullah bin Jahsy ra, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002)

Pendek kata, itulah standar keadilan yang ditegakkan di tiap tempat oleh Munshif A’zham (Penegak Keadilan Agung, Hadhrat Rasulullah s.a.w.).

Menjaga Sentimen Keagamaan Orang Lain

Perhatikanlah juga bagaimana luhurnya Nabi Muhammad s.a.w. dalam menghormati perasaan orang lain. Seorang Yahudi datang mengadu kepada Rasulullah s.a.w. dengan mengatakan, “Hadhrat Abu Bakar ra telah menyakiti perasaanku dengan menyebut “والله لقد فضَّل الله محمدا رسول الله على موسى” ‘Wallahi laqad fadhdhala Muhammadan ‘alaa Muusaa’ – “Dengan bersumpah demi Allah aku mengatakan, Allah lebih memuliakan Muhammad diatas Musa.” Mendengar hal itu, orang Yahudi itu berkata, “Saya merasa tersakiti.”

Pada hakekatnya, Hadhrat Muhammad s.a.w. bahkan paling mulia diatas semua Nabi. Al-Quran pun memberi kesaksian terhadap kenyataan itu. Tetapi, tatkala beliau s.a.w. bertanya kepada Abu Bakar ra tentang itu, Hadhrat Abu Bakr mengatakan “أقسم بموسى الذي فضَّله الله على العالم كله.” ‘Aqsama bi Muusaa lladzii fadhdhallahu ‘alal ‘aalam kullihi’ – “Orang Yahudi sendiri yang berkata lebih dulu dengan bersumpah demi Musa as yang Allah telah menjadikannya paling mulia di seluruh dunia.” Namun beliau s.a.w. bersabda, “Walaupun demikian, janganlah melakukan itu. Hormatilah perasaan orang lain.” [Jangan menyebutkan kedudukan beliau s.a.w. seperti itu di hadapan orang Yahudi.] [19] Demikianlah, semangat beliau s.a.w. dalam menghormati orang lain.

Penghargaan terhadap Pengkhidmat Kemanusiaan

Bagaimana penghormatan Hadhrat Rasulullah s.a.w. kepada orang-orang yang mengkhidmati kemanusiaan, riwayat-riwayat menyebutkan bahwa suatu ketika orang-orang dari Kabilah Ath-Tha-i berperang dengan kaum Muslimin [lalu kalah], terdapat beberapa orang menjadi tawanan dari kabilah itu. Salah seorang dari tawanan itu adalah seorang perempuan, putri seorang dermawan Arab terkenal yang bernama Hatim. Ketika Hadhrat Rasulullah s.a.w. mengetahui hal ini beliau s.a.w. memperlakukannya dengan baik, dan atas pengajuan perempuan itu maka semua anggota Kabilahnya itu dimaafkan kemudian dibebaskan oleh beliau s.a.w..

Ringkasnya, demikianlah perlakuan penuh hormat dan baik dari seorang muhsin insaniyyat s.a.w. kepada orang-orang yang mengkhidmati kemanusiaan.

Sikap Teladan Rasulullah s.a.w. terhadap Kaum Perempuan

Bagaimana Hadhrat Rasulullah s.a.w. menegakkan penghormatan dan penghargaan terhadap kedudukan kaum wanita? Menurut adat kebiasaan orang-orang Arab di masa lampau suami seringkali memukul istri mereka. Hadhrat Rasulullah s.a.w. mengetahuinya kemudian beliau bersabda kepada para suami, “Kaum perempuan adalah hamba sahaya (budak) Allah Ta’ala bukan hamba sahaya kalian.” [20]

Ketika seorang Sahabat ra bertanya kepada beliau s.a.w., “Apakah hak-hak istri atas kami (para suami)?” Beliau s.a.w. bersabda: “Berilah dia makan yang telah Tuhan berikan kepada kamu untuk makan, berilah dia pakaian dengan yang telah Tuhan berikan kepadamu untuk berpakaian. Jangan memukul mukanya, jangan mencaci-makinya dan mengusirnya dari rumah kamu.”  [21]

Pada waktu sekarang ini peristiwa demikian sering terjadi, keluhan-keluhan pun timbul, orang-orang seperti itu harus berpikir panjang tentang itu. Di satu pihak mereka melakukan ibadah dan doa kepada Allah Ta’ala dan di pihak lain mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan perintah-perintah-Nya. Hadhrat Rasulullah s.a.w. bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي ‘Khairukum khairukum li ahlihi wa ana khairukum li ahlii.’ – “Orang terbaik diantara kamu adalah dia yang terbaik dalam hal berlaku baik terhadap ahli (penghuni) rumahnya dan aku adalah yang terbaik dari antara kalian dalam hal berlaku baik terhadap keluarganya.” [22]

Seperti telah disebutkan sebelumnya, dikarenakan kesibukan tugas-tugas pemerintahan dan tarbiyat (pendidikan), waktu beliau adalah sangat berharga. Beliau sibuk dalam ibadah-ibadah, namun, dalam keadaan demikian, beliau s.a.w. biasa membantu pekerjaan di rumah istri-istri beliau dengan baik sekali. Hadhrat Aisyah ra meriwayatkan, pada waktu manapun beliau s.a.w. ada di rumah, beliau s.a.w. selalu sibuk membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah. [23]

Bila tidak ada tugas-tugas lainnya, beliau s.a.w. takkan kosong dari pekerjaan-pekerjaan di rumah. Beliau s.a.w. menambal sulam sendiri pakaian beliau yang sudah robek. [24] Beliau s.a.w. sendiri yang memerah susu kambing.[25] Jika terlambat tiba di rumah beliau beliau s.a.w. mempersiapkan makanan untuk beliau s.a.w. sendiri dan tidak membangunkan orang-orang di rumah. [26]

Pendek kata, hal itu semua menjadi contoh terbaik bagi orang-orang yang menganggap, “Apabila kami mengerjakan pekerjaan rumahan maka itu membuat kami akan berdosa. Apabila terlambat pulang ke rumah, adalah kewajiban kaum perempuan yang harus selalu mempersiapkan makanan untuk kami. Apabila tidak mengerjakan, maka kewibawaan kami di mata keluarga telah hilang.” Orang-orang seperti itu tidak akan merasa puas jika tidak mencaci maki istri mereka.

Sebagian orang keadaannya demikian, yang mengenai mereka datang keluhan-keluhan, mereka melaksanakan tugas-tugas kejemaatan di luar rumah. Tingkah laku mereka di luar rumah demikian bagus, namun di dalam rumah mereka berlaku menyakiti para istri, yang bila mendengarnya, orang pun akan merasa heran, “Orang itu di luar begitu dan  di rumah begini?” Ini dua amal perbuatan [yang bertentangan].

Beberapa kerabat perempuan, anak perempuan dan kaum ibu, telah demikian rusak dan merusak kaum laki-laki dari keluarga mereka. Jika melihat kaum laki-laki keluarga mereka membuat dan menyuguhkan teh kepada tetamu, mereka berkata, “Laki-laki kami menjadi hamba-sahaya istri mereka? Bagaimana dengan istrinya! Anak laki-laki yang malang atau saudara lelaki yang malang dari keluarga kami harus mengerjakan pekerjaan  rumahan seperti itu?”

Demikianlah mereka merusak pikiran para suami dan anak laki-laki mereka. Lalu, kaum laki-laki yang sudah terpengaruh semacam itu mulai bersikap kasar kepada istri-istri mereka.

Padahal, itu bukanlah pekerjaan orang yang malang. Ini semua adalah uswah hasanah Rasulullah s.a.w. yang dengan mengamalkannya menjadikan seseorang memperoleh pahala, membuat baik kehidupan mereka selanjutnya, menjadikan mereka hamba-hamba Allah yang hakiki. Orang malang itu ialah yang berlaku kejam terhadap istri-istri mereka, dan karenanya akan dicengkeram hukuman oleh Allah Ta’ala.

Apabila ditanyakan kepada mereka, “Apakah ini akhlak tinggi yang kamu perlihatkan sebagai pernyataan keimanan kamu?  Apa yang telah kamu perlihatkan? Di satu sisi kamu mengatakan begini, di sisi yang lain kamu memperlihatkan begitu (berlaku aniaya)?” Maka untuk laki-laki seperti ini harus memikirkan tentang dirinya sendiri.

Kebaikan Beliau s.a.w. terhadap Anak-Anak

Bagaimanakah contoh kasih-sayang beliau s.a.w. kepada anak-anak? Mengenainya disebutkan dalam riwayat, Hadhrat Rasulullah s.a.w. biasa memanjatkan doa-doa bagi anak-anak beliau sendiri dan bagi anak-anak lain yang tinggal bersama beliau s.a.w., “Ya Allah! Aku mencintai mereka ini, Engkau juga cintailah mereka!” [Shahih Muslim, Kitaab Fadhaili Ashhaabin Nabiyyi, Bab Fadhlul Madinah wa du’ain nabiyyi]

Beliau tidak pernah menghukum anak-anak, selalu mendidik mereka melalui sarana kasih sayang dan doa-doa. Hadhrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa apabila beliau s.a.w. mendapat buah pertama di musim buah, beliau s.a.w. berdoa agar buah itu diberkati oleh Allah Ta’ala kemudian buah pertama diberikan kepada anak yang paling kecil di dalam suatu Majlis. [Rujukan: Shahih al-Bukhari, Kitaabul Hajj, Bab Fadhlul Madinah wa du’ain nabiyyi]

Terdapat juga banyak riwayat yang menyebutkan beliau s.a.w. berkenan bermain-main bersama anak-anak.

Kebanyakan orang tua mencintai anak-anak mereka, namun ada juga orang tua yang menghukum anak-anak mereka sendiri tanpa sebab yang wajar. Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang anak muda yang memgatakan kepada saya, “Saya setiap saat senantiasa merasa takut dan menderita depresi. (ia menderita penyakit kejiwaan). Penyebabnya, bapak saya selalu memukul saya setiap waktu.” Ketika seseorang menanyakan bapak anak muda itu mengapa selalu memukul anaknya tanpa sebab? Dia menjawab, “Penting sekali demi menanamkan pengaruh orang tua pada pikiran anak-anak.” Seperti itulah keadaan beberapa orang tua. Orangtua demikian adalah zalim.

Bahkan, di sini (Inggris) kita menyaksikan baru-baru ini di media tentang orang tua yang membunuh anak mereka demi kesenangan hati mereka. Banyak juga orang tua yang mencintai anak-anak kandung mereka namun tidak bisa menahan sabar terhadap anak-anak orang lain, tidak menaruh kasih-sayang kepada mereka.

Contoh luhur Hadhrat Rasulullah s.a.w. adalah mencintai dan bersikap kasih-sayang kepada semua anak dari semua kalangan.

Keteladanan Kepada Tetangga dan Berbagai Aspek Lainnya

Di samping di dalam Al-Quran juga terdapat perintah agar berbuat baik kepada lingkungan sekitar, beliau s.a.w. juga menegakkan contoh tertinggi dalam hal ini, dan beliau s.a.w. berulang kali menasihatkan para pengikut beliau agar berlaku baik terhadap para tetangga.

Pada suatu ketika beliau s.a.w. bersabda, “Demi Allah! dia bukanlah orang beriman, sungguh dia bukanlah orang beriman, sungguh ia bukanlah orang  beriman.” Ketika para Sahabat bertanya kepada beliau, “Siapakah yang dimaksud dengan bukan beriman wahai Rasul Allah?” Beliau s.a.w. menjawab: ‘Orang yang karena perbuatan dan perlakuan buruknya tetangganya tidak merasa aman nyaman.” [27]

Demikianlah beberapa aspek yang saya telah menjelaskannya hari ini. Mengenai perlakuan baik terhadap keluarga, atau masalah kerjasama antar sesama manusia, perhubungan persaudaraan dengan yang lain, atau masalah menutupi kesalahan orang lain, atau menghindarkan diri dari usaha memata-matai orang, atau masalah buruk sangka terhadap orang lain, contoh akhlaq karimah apapun yang sangat luhur mengenai Hadhrat Rasulullah s.a.w. kita dapat menjumpainya di setiap tempat.

Jadi itulah ‘abd kaamil (hamba sempurna) yang dengan memperlihatkan contoh sempurna dalam setiap urusan lalu telah menciptakan inqilaab (revolusi, perubahan besar dan cepat) di kalangan bangsa yang jahil di zaman itu dan menjadikan mereka insan-insan yang ber-Tuhan. Pada zaman ini juga jika kita ingin mengambil faedah dari berkat-berkat yang turun kepada umat beliau dan ingin menyempurnakan hak menjadi hamba maka kita harus mengikuti contoh terbaik beliau s.a.w. itu, agar kita menjadi pewaris karunia Allah Ta’ala dan dapat memperindah duniawi dan ukhrawi kita. Oleh karena itu,  pada hari ini dan di akhir dua tiga hari bulan Ramadhan ini,  berdoalah di dalamnya sebab Ramadhan adalah bulan terkabulnya doa-doa dan berdoalah terus menerus sepanjang hidup, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita Mu’min sejati dan semoga kita dapat berjalan diatas uswah hasanah (keteladanan terbaik) Hadhrat Rasulullah s.a.w..

Sabda-Sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s.

Terakhirnya, saya ingin menyampaikan sebagian kutipan-kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau a.s. bersabda, “Tuhan Yang Maha Tinggi memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berjalan diatas suri teladan Nabi Muhammad s.a.w. dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau s.a.w.. Dia berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ kemudian berfirman قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ  Kalau Hadhrat s.a.w. dalam hal perkataan dan perbuatan beliau s.a.w. tidak bebas dari aib (keburukan) mengapa kita diperintahkan wajib untuk mengikuti contoh beliau s.a.w.?” [28]

Kemudian beliau a.s. bersabda, “Kesempurnaan kecintaan kepada Allah Ta’ala tidak akan dapat timbul di dalam diri manusia selama ia tidak menjadikan akhlak dan amal Nabi Karim s.a.w. sebagai rahbar (pimpinan) dan haadi (petunjuk) baginya. Maka, Allah Ta’ala sendiri dalam hal ini telah berfirman mengenai keistimewaan ini قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Yakni, untuk menjadi kekasih Allah harus  mengikuti Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Mengikuti beliau s.a.w. dengan benar ialah dengan menciptakan pewarnaan akhlak di dalam diri sesuai dengan warna akhlak fadhilah beliau s.a.w..[29]

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Najaat (keselamatan) tidak datang karena usaha amal saleh seseorang melainkan datang sebagai karunia dari Allah Ta’ala, dan Dia tidak pernah mengingkari (membatalkan) undang-undang yang telah ditetapkan-Nya. Undang-undang itu ialah قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “Katakanlah! Jika kamu mencintai Allah ikutilah aku maka Allah akan mencintai kamu dan Dia akan memaafkan dosa-dosa kamu.” (Ali Imran, 3:32) dan وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam maka tidak akan diterima dari padanya.” (Ali Imran, 3:86). [30]

Yakni, ayat yang pertama menyuruh agar disampaikan pengumuman ini, “Apabila kamu sekalian menginginkan kecintaan dari Allah Ta’ala, maka ikutilah aku, niscaya Allah Ta’ala pasti akan mencintaimu.” Dan maksud dari ayat selanjutnya, “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam maka tidak akan diterima dari padanya.” Islamlah agama yang harus diikuti. Dan, apakah Islam itu? Ialah setiap sabda dan setiap perbuatan dari Hadhrat Rasulullah s.a.w..

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk memahami semua hakikat itu. Semoga Ramadhan ini berlalu setelah kita mendapatkan pengertian hakiki yang murni dari padanya, dan semoga kita dapat mengikuti teladan yang beberkat itu sampai Ramadhan mendatang dan menjadi orang-orang yang menapaki tujuan-tujuan baru.

Khotbah II

 اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Shahih al-Bukhari Kitaabul Jihaad was sair baab yuqaatulu min waraa-il imaami wa yattaqi bihi

[3] Malfuuzhaat, jilid 3 halaman 162, edisi 2003, terbitan Rabwah

[4] Ghulam Nabi artinya pelayan atau hamba sahaya Nabi; adapun Rasul, Mustafa, Ahmad dan Muhammad merujuk pada Nabi Muhammad s.a.w..

[5] Ainah-i- Kamalaat-i-Islam, Ruhani Khazain jilid 5, halaman 189-193

[6] Musnad Imam Ahmad, Kitab Baqi Musnad Sahabat Anshar, bab Lanjutan Musnad yang lalu. Redaksi yang berbeda namun sama isinya ada di Shahih Muslim, Kitab Shalatnya Musafir dan Penjelasan tentang Qashar, bab shalat malam, orang yang meninggalkannya karena tidur atau sakit, yaitu:

قَالَ قَتَادَةُ وَكَانَ أُصِيبَ يَوْمَ أُحُدٍ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ أَلَسْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قُلْتُ بَلَى قَالَتْ فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ

aku (Saad) bertanya; “Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!.’ ‘Aisyah menjawab; “Bukankah engkau telah membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab; “Benar, ” Aisyah berkata; “Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al-Qur’an.”

[7] Shahih Muslim, Kitab al-Fadhail, Bab Nama-Nama Rasulullah s.a.w.

[8] Ainah-i- Kamalaat-i-Islam, Ruhani Khazain jilid 5, halaman 193-195

[9] Ainah-i-Kamalaat-i-Islam, Ruhani Khazain jilid 5, halaman 195-197

[10] Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tafsir, bab qauluhu liyaghfira lakallahu maa taqaddama min dzanbika (Surah Al-Fath)

[11] Shahih Muslim, Kitab Shifaatul Munaafiqiin wa ahkaamihim, bab iktsaaril a’maal

قالت عائشة رضي الله عنها للنبي إنك مقرب عند الله تعالى، فلماذا تتكبد كل هذا العناء والمشقة في العبادة؟ قال: يا عائشة، أفلا أكون عبدًا شكورًا

[12] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adzan, bab innamaa ja’alal imam liyu-tamma bihi (sesungghunya imam dijadikan untuk diikuti)

[13] Shahih Muslim Kitab Shalatul Musafiriina wa Qashruha, bab shalat orang yang mengantuk dan tidak memahami bacaan, Dari Anas: عَنْ أَنَسٍ قَالَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ وَحَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ سَارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا لِزَيْنَبَ تُصَلِّي فَإِذَا كَسِلَتْ أَوْ فَتَرَتْ أَمْسَكَتْ بِهِ فَقَالَ حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا كَسِلَ أَوْ فَتَرَ قَعَد

[14]Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amalno. 6463, 6464, 6467. Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi ‘amalihi no. 7289-7302. Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi ‘alal-’amal no. 4201. Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits ‘Aisyah no. 24985, 26386. Redaksi berbeda-beda, diantaranya dalam redaksi berikut ini:

 لن يُدخل أحدًا الجنةَ عملُه، فقال أبو هريرة يا رسول الله، أنت أيضًا لا تدخل الجنة بأعمالك، مع أنك تعبد الله تعالى بخشوع وتفانٍ طول الليل حتى تتورم قدماك؟ قال: لن أدخل أنا أيضًا الجنة بأعمالي بل يُدخلني الله تعالى الجنة برحمته وفضله.

[15] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Mardha, bab tamanna al-maridh al-maut

 أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَلَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

Abu Hurairah berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalannya.” Para sahabat bertanya; “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “tidak juga dengan diriku, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku, oleh karena itu berlaku luruslah dan bertaqarublah dan janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, jika dia orang baik semoga saja bisa menambah amal kebaikannya, dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya) semoga bisa menjadikannya dia bertaubat.”

[16] Shahih Muslim, Kitabul Haidh, bab bayaan shifati minni ar-rajul wal mar-ah.

[17] Shahih Muslim, Kitabul Fadhail, bab qarbun Nabiyyi s.a.w. minan naas

[18] Shahih al-Bukhari, Kitab Ahaaditsil Anbiyaa, bab al-ghaar (gua)

[19] Syarh al-‘Allamah az-Zurqani ‘alal Mawaahibil Laduniyyah, juz 8, halaman 287-288 an-nau’i al-awwal fi dzikr ayat, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996

[20] Sunan Abi Daud, Kitab an-Nikaah, bab fi adh-dharbin nisaa

عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ

Dari Iyas bin Abdullah bin Abu Dzubab, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Laa tadhribuu imaa-allah’ – “Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah (yakni, istri-istri kalian)!”

[21] Sunan Abi Daud, Kitab an-Nikaah, bab fi haqqil mar-ati ‘ala zaujihaa

[22] Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Manaaqib, bab fadhl azwaajin Nabiyy

[23] Shahih al-Bukhari, Kitaab al-Iman, Bab Man kaana fi hajati ahlih

[24] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 8 halaman 313 musnad Aisyah hadits 25855

[25] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 8 halaman 797 musnad Abu Bashrah al-Ghifari, hadits 27769

[26] Shahih Muslim, Kitab al-Asyribah, bab Ikraam adh-Dhaif wa fadhl iitsaarih

[27] Shahih al-Bukhari, Kitaabul Adab, Bab itsm man laa ya-manu jaarahu biwaa-iqihi dan juga Musnad Ahmad bn Hanbal

 عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏”‏ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ‏”‏‏.‏ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”‏ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ ‏”‏‏.‏ تَابَعَهُ شَبَابَةُ وَأَسَدُ بْنُ مُوسَى‏.

[28] Review of Religions jilid 2 nomor 6 halaman 245-246, June 1903

[29] Malfuuzhaat, jilid 2 halaman 62, edisi 2003, terbitan Rabwah

[30] Malfuuzhaat, jilid 2 halaman 518, edisi 2003, terbitan Rabwah

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.