Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 16)  

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز – ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 17 Agustus 2018 (Zhuhur 1397 HQ/05 Dzul Hijjah 1439 HQ)di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)

 

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.

(آمين)

 

Pada hari ini pun saya akan menyampaikan berkenaan dengan para Sahabat Badri (para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang ikut perang Badr). Pertama, Hadhrat Amir Bin Rabiah radhiyAllahu ‘anhu. Keluarga beliau adalah sahabat keluarga ayah Hadhrat Umar bin Khaththab, yaitu Khaththab, yang telah mengangkat Hadhrat Amir sebagai anak. Inilah sebabnya beliau pada awalnya dikenal dengan nama Amir bin Khaththab. Namun ketika Quran Karim memerintahkan untuk menghubungkan keturunan kepada ayah kandung, maka bukannya dipanggil Amir Bin Khaththab, beliau mulai dipanggil Amir Bin Rabiah yang dihubungkan kepada ayah kandungnya.

Dalam hal ini menjadi jelas bagi mereka yang mengadopsi anak dari kerabatnya, namun sampai anak itu dewasa masih belum mengetahui siapa sebenarnya orangtua kandungnya. Dalam dokumen pemerintahan seperti Kartu Identitas (KTP) dan lain-lain bukannya tertulis nama ayah kandungnya (ortu kandung) justru malah tertulis nama ayah angkatnya yang mana di kemudian hari menimbulkan permasalahan. Kemudian orang-orang menulis surat keluhan dengan mengatakan begini begitu. Untuk itu hendaknya kita beramal sesuai dengan ajaran Al-Quran, terkecuali anak-anak yang diadopsi dari lembaga-lembaga yang mana lembaga tersebut tidak mengetahui berkenaan dengan orang tua si anak angkat. Kemudian saya akan lanjutkan perihal beliau (Sahabat) tersebut.

Seperti yang diterangkan tadi, disebabkan hubungan persahabatan yang erat sehingga terjalin hubungan pertemanan antara Hadhrat Umar dan Hadhrat Amir sampai akhir hayat. Beliau masuk Islam benar-benar pada masa awal ketika RasuluLlah (saw) belum berlindung di Darul Arqam.[1]

Hadhrat Amir hijrah dengan istri beliau Hadhrat Lailah binti Abi Hatsma ke Habsyah lalu kembali ke Makkah dan dari Makkah beliau hijrah ke Madinah beserta dengan istri. Istri Hadhrat Amir Bin Rabiah mendapatkan kemuliaan sebagai wanita pertama yang hijrah ke Madinah. Beliau menyertai RasuluLlah dalam perang Badr dan seluruh peperangan. Beliau wafat pada 32 Hijri, berasal dari Qabilah Anas.

Hadhrat Amir meriwayatkan bahwa RasuluLlah (saw) bersabda kepada beliau, إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ جَنَازَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَاشِيًا مَعَهَا فَلْيَقُمْ حَتَّى يُخَلِّفَهَا، أَوْ تُخَلِّفَهُ أَوْ تُوضَعَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُخَلِّفَهُ ”Jika diantara kalian ada yang melihat jenazah dan tidak ingin untuk mengantar jenazah itu, maka orang tersebut hendaknya berdiri sampai iring iringan jenazah itu melewatinya atau diletakkan.”[2]

Abdullah Bin Amir meriwayatkan dari ayahnya, قَامَ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ وَذَلِكَ حِينَ نَشِبَ النَّاسُ فِي الطَّعْنِ عَلَى عُثْمَانَ “Pada suatu malam Amir bin Rabi’ah (ayah saya) berdiri untuk mendirikan shalat, saat itu adalah masa sebagian orang berselisih pendapat mengenai Hadhrat Utsman.” (Fitnah telah dimulai pada saat itu, Hadhrat Utsman dihujat.)

Hadhrat Abdullah Bin Amir menuturkan, فَصَلَّى مِنَ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ فَأُتِيَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ: قُمْ فَاسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يُعِيذَكَ مِنَ الْفِتْنَةِ الَّتِي أَعَاذَ مِنْهَا صَالِحَ عِبَادِهِ. فَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ اشْتَكَى فَمَا أُخْرِجَ بِهِ إِلا جَنَازَةً. وكَانَ مَوْتُ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ بَعْدَ قَتْلِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ بِأَيَّامٍ. وَكَانَ قَدْ لَزِمَ بَيْتَهُ فَلَمْ يَشْعُرِ النَّاسُ إِلا بِجَنَازَتِهِ قَدْ أُخْرِجَتْ. “Setelah shalat beliau tidur lalu melihat mimpi dimana didalam mimpi itu dikatakan pada beliau, ‘Bangunlah dan berdoalah kepada Allah supaya engkau diselamatkan dari fitnah itu yang dengannya Dia telah menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang saleh.’

Kemudian, Hadhrat Amir Bin Rabiah bangun lalu shalat kemudian berdoa. Lalu setelah itu beliau jatuh sakit sehingga tidak pergi keluar rumah sampai tiba kewafatannya.[3] Allah Ta’ala telah menciptakan keadaan demikian sehingga beliau terhindar dari fitnah tersebut.

Hadhrat Amir Bin Rabi’ah meriwayatkan, “Ketika saya tengah tawaf beserta dengan Rasul Karim (saw), tali terompa RasuluLlah (saw) terputus, saya berkata, ‘Wahai RasuluLlah! Izinkan saya untuk memperbaiki tali yang putus itu.’

Rasul Karim bersabda, هذهِ أثرةٌ ولا أحبُّ الأثرةَ ‘Ini adalah mengutamakan dan saya tidak suka diutamakan.’[4]

Sampai sedemikian rupa kekhususan beliau (saw), itu menandakan bahwa beliau biasa mengerjakan sendiri segala pekerjaan.

(عن عامر بن ربيعة ، أنه نزل به رجل من العرب فأكرم عامر مثواه ، وكلم فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم فجاءه الرجل ، فقال :) Ada seseorang yang menjadi tamu Hadhrat Amir Bin Rabiah. Beliau mengkhidmati dan memuliakan tamu tersebut dengan sebaik-baiknya. Orangitu datang menjumpai Hadhrat Amir sepulang dari rumah RasuluLlah. Ia mengatakan, إني استقطعت رسول الله صلى الله عليه وسلم واديا ما في العرب واد أفضل منه ، وقد أردت أن أقطع لك منه قطعة تكون لك ولعقبك من بعدك

Saya telah meminta satu lembah kepada RasuluLlah (saw) sebagai hadiah yang mana tidak ada yang lebih baik dari lembah tersebut di seluruh Arab. Lalu RasuluLlah (saw) memberikannya kepadaku. Sekarang saya berkeinginan untuk memberikan sebagian dari lembah itu kepada anda untuk menjadi milik anda dan anak keturunan anda nanti setelah anda tiada.

Hadhrat Amir mengatakan, لا حاجة لي في قطيعتك ، نزلت اليوم سورة أذهلتنا عن الدنيا “Saya tidak membutuhkan bagian lembah itu, karena pada hari ini telah turun surat yang telah membuat kita melupakan dunia sebagai berikut, اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُّعْرِضُونَ  iqtaroba linnaasi hisaabuhum wa hum fii ghaflatin mu’ridhuun. Yakni bagi orang-orang penghisabannya telah dekat, namun meskipun demikian wajah mereka berpaling dalam kondisi lalai.[5]

Demikianlah rasa takut bintang-bintang yang berkilau itu (para sahabat) kepada Allah Ta’ala dan merekalah yang mendahulukan agama diatas dunia secara hakiki.

Hadhrat Amir Bin Rabiah (عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ) meriwayatkan bahwa ia mendengar Zaid bin Amru bin Naufal (زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ) mengatakan, يَا عَامِرُ ، إِنِّي خَالَفْتُ قَوْمِي وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ “Saya menentang kaum saya sendiri. Saya mengikuti agama Ibrahim.”

أَنَا أَنْتَظِرُ نَبِيًّا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ ، ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَلا أَرَانِي أُدْرِكُهُ ، وَأَنَا أُومِنُ بِهِ وَأُصَدِّقُهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّهُ نَبِيٌّ ، فَإِنْ طَالَتْ بِكَ مُدَّةٌ فَرَأَيْتَهُ فَأَقْرِئْهُ مِنِّي السَّلامَSaya menunggu kedatangan seorang nabi yang berasal dari keturunan Hadhrat Ismail (as)…namun nampaknya saya tidak akan mendapatinya. Saya beriman padanya, membenarkannya dan bersaksi bahwa dia adalah seorang Nabi. Jika kalian mengalami masa itu tolong sampaikan salam saya padanya.

وَسَأُخْبِرُكَ مَا نَعْتُهُ حَتَّى لا يَخْفَى عَلَيْكَ ، قُلْتُ : هَلُمَّ ، قَالَ : هُوَ رَجُلٌ لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلا بِالْقَصِيرِ ، وَلا بِكَثِيرِ الشَّعْرِ وَلا بِقَلِيلِهِ ، وَلَيْسَتْ تُفَارِقُ عَيْنَيْهِ حُمْرَةٌ ، وَخَاتَمُ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ ، وَاسْمُهُ أَحْمَدُ

Saya beritahukan pada kalian ciri-cirinya supaya bagi kalian beliau tidak akan tersembunyi, perawakannya tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek, rambutnya tidak akan terlalu tebal tidak juga tipis, surkhi (celak mata) akan selalu menghiasi matanya setiap saat, diantara kedua pundaknya terdapat tanda kenabian, namanya Ahmad.

وَهَذَا الْبَلَدُ مَوْلِدُهُ وَمَبْعَثُهُ ، ثُمَّ يُخْرِجُهُ قَوْمُهُ مِنْهُ وَيَكْرَهُونَ مَا جَاءَ بِهِ حَتَّى يُهَاجِرَ إِلَى يَثْرِبَ فَيَظْهَرَ أَمْرُهُ ، فَإِيَّاكَ أَنْ تُخْدَعَ عَنْهُ ، فَإِنِّي طُفْتُ الْبِلادَ كُلَّهَا أَطْلُبُ دِينَ إِبْرَاهِيمَ ، فَكُلُّ مَنْ أَسْأَلُ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسِ يَقُولُونَ : هَذَا الدِّينُ وَرَاءَكَ وَيَنْعَتُونَهُ مِثْلَ مَا نَعَتُّهُ لَكَ ، وَيَقُولُونَ : لَمْ يَبْقَ نَبِيٌّ غَيْرُهُ

Kota ini (Makkah) akan menjadi tempat kelahirannya dan tempat berbaiat padanya. Kaumnya akan mengusirnya dari kampungnya dan tidak menyukai pesan yang dibawanya. Lalu dia akan hijrah ke Yatsrib. Kemudian, dia akan unggul (mengalami kemenangan).

Jangan sampai terkecoh, saya telah mencari tahu ke seluruh kota untuk mencari agama Ibrahim. Saya telah bertanya kepada orang-orang Kristen, Yahudi dan penyembah api, mereka menjawab, ‘Agama yang kamu maksud berada di belakangmu’, mereka memberitahukan tanda seperti yang saya beritahukan pada kalian. Mereka memberitahukan bahwa setelah nabi tesebut tidak akan ada lagi nabi.”[6]

Hadhrat Amir mengatakan, فَلَمَّا تَنَبَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمْتُ وَأَخْبَرْتُهُ بِقَوْلِ زَيْدِ بْنِ عَمْرٍو وَأَقْرَأْتُهُ مِنْهُ السَّلاَمَ ، فَرَدَّ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَحَّمَ عَلَيْهِ وَقَالَ:

“Ketika RasuluLlah (saw) diutus, saya mengabarkan kepada RasuluLlah (saw) mengenai Zaid dan menyampaikan salamnya. RasuluLlah (saw) bersabda menanggapi hal itu, قَدْ رَأَيْتُهُ فِي الْجَنَّةِ يَسْحَبُ ذُيُولاً ‘Saya telah melihatnya di surga tengah menarik ujung pakaiannya.’[7]

Itulah riwayatnya. Berkenaan dengan tidak akan ada lagi nabi bukanlah maksudnya bahwa diutusnya nabi ummati yang dinubuatkan RasuluLlah (saw) adalah keliru, melainkan maksudnya siapapun yang akan datang nanti, status RasuluLlah (saw) adalah tetap sebagai nabi terakhir pembawa syariat, tidak akan datang lagi nabi pembawa syariat baru. Yang akan datang adalah (nabi) dari kalangan hamba (umat) RasuluLlah (saw) sendiri. Inilah yang kita ketahui dari Hadits-hadits dan juga dari Al-Quran.

Hadhrat RasuluLlah (saw) telah menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat Amir dengan Hadhrat Yazid Bin Mundzir.[8] Hadhrat Amir Bin Rabiah wafat beberapa hari paska syahidnya Hadhrat Usman.

Sahabat yang kedua bernama Hadhrat Haraam ibn Milhan (حَرَامُ بن مِلحان) radhiyAllahu ‘anhu. Hadhrat Haraam Bin Milhan berasal dari kabilah Anshar Banu Adi Bin Najaar. Ayah beliau bernama Milhan bin Malik Bin Khalid. Nama ibunda beliau adalah Malikah Binti Malik. Salah satu saudari beliau bernama Hadhrat Ummi Sulaim yang merupakan istri Hadhrat Abu Talhah al-Anshari dan ibu Hadhrat Anas Bin Malik. Saudari beliau yang kedua merupakan istri Hadhrat Ubadah Bin Samit. Hadhrat Haraam Bin Milhan merupakan paman dari Hadhrat Anas. Beliau ikut pada perang Badr dan Uhud dan syahid pada hari Bi’r Maunah.

Hadhrat Anas Bin Malik meriwayatkan, “Ada beberapa orang yang datang ke hadapan RasuluLlah (saw), mengatakan, ‘Mohon utus kepada kami orang-orang yang dapat mengajarkan Al Quran dan Sunnah kepada kami.’

Lalu RasuluLlah (saw) mengutus 70 sahabat Anshar bersama dengan mereka dan mereka adalah pakar Al Quran. Salah seorang dari antara mereka ialah paman saya Hadhrat Haram. Mereka biasa membaca Al Quran pada malam harinya saling menyampaikan daras dan menuntut ilmu. Pada siang hari membawa air dan menyimpannya di masjid, lalu mengambil kayu dari hutan dan menjualnya dan uang yang dihasilkan digunakan untuk membeli biji bijian untuk para Ahli Suffah dan fakir miskin.”[9]

Berkenaan dengan peristiwa Hadhrat Haram bin Milhan di Bir Maunah telah dibahas pada khotbah beberapa bulan yang lalu yakni peristiwa Bir Maunah dan beberapa peristiwa lainnya telah disampaikan. Berkenaan dengan ini terdapat beberapa riwayat Bukhari yang akan saya sampaikan hari ini karena belum pernah disampaikan.

Hadhrat Anas Bin Malik (أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) meriwayatkan, لَمَّا طُعِنَ حَرَامُ بْنُ مِلْحَانَ وَكَانَ خَالَهُ يَوْمَ بِئْرِ مَعُونَةَ قَالَ بِالدَّمِ هَكَذَا فَنَضَحَهُ عَلَى وَجْهِهِ وَرَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ “Ketika Hadhrat Haraam Bin Milhan dibunuh dengan tusukan tombak pada hari Bir Maunah, beliau menahan darahnya dengan tangan lalu memercikannya ke wajah dan kepalanya lalu mengatakan, ‘Fuztu wa Rabbil Ka’bah!’ – ‘Demi Tuhan yang menguasai Ka’bah, telah meraih tujuanku.’”[10]

مَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ

Hadhrat Anas Ra meriwayatkan bahwa beberapa orang dari Banu Ri’l, Dzakwaan, ‘Ushayyah dan kabilah Banu Lihyan (رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَبَنِي لِحْيَانَ وَبَنِي عُصَيَّةَ) datang kehadapan RasuluLlah, mengatakan, ‘Kami telah masuk Islam.’ Lalu mereka meminta bantuan kepada beliau untuk menghadapi kaumnya [dalam menablighkan Islam]. Lalu Nabi Karim (saw) menolong mereka dengan 70 sahabat Anshar.

Hadhrat Anas mengatakan, “Kami menyebut mereka sebagai Qori, mereka biasa mengambil kayu di siang hari, ibadah shalat di malam hari. Lalu orang-orang itu membawa serta 70 sahabat tadi. Ketika sampai di Bir Maunah mereka melakukan pengkhianatan dengan membunuh para sahabat itu. Setelah peristiwa itu RasuluLlah (saw) melakukan qunut (berdiri lama setelah ruku’ dalam shalat) berturut-turut selama satu bulan bahkan dalam riwayat lain sampai 40 hari dan mendoakan buruk bagi kabilah Banu Ri’l, Dzakwaan, ‘Ushayyah dan kabilah Banu Lihyan.”[11]

Hadhrat Anas meriwayatkan, عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ ketika para Qori tadi disyahidkan maka RasuluLlah (saw) melakukan qunut selama sebulan dan berdoa khusus dengan segala kerendahan hati. Dalam riwayat lain dalam Shahih Bukhari, dikatakan, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ “Saya (Anas) tidak pernah melihat RasuluLlah (saw) bersedih melebihi kesedihan pada saat itu.”[12]

Dalam riwayat lain, Hadhrat Anas meriwayatkan, قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ قَالَ بَعَثَ أَرْبَعِينَ أَوْ سَبْعِينَ يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْقُرَّاءِ إِلَى أُنَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَعَرَضَ لَهُمْ هَؤُلَاءِ فَقَتَلُوهُمْ وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَمَا رَأَيْتُهُ وَجَدَ عَلَى أَحَدٍ مَا وَجَدَ عَلَيْهِمْ “Setelah ruku RasuluLlah (saw) berdiri lalu memanjatkan doa (buruk) untuk beberapa kabilah banu Sulaim yang dilakukan selama satu bulan lamanya. RasuluLlah (saw) telah mengutus 40 atau 70 dari antara Qori kepada kaum Musyrik padahal terdapat perjanjian antara RasuluLlah (saw) dengan kabilah tersebut. Saya tidak pernah melihat RasuluLlah (saw) larut dalam kesedihan melebihi kesedihan atas peristiwa tersebut.”[13]

Ada satu referensi dari Sirah ibnu Hisyam, Jabbar Bin Salma (جَبّار بْنِ سَلْمَى) saat itu ada bersama dengan Amru Bin Tufail dan di kemudian hari mereka masuk Islam. Beliau mengatakan, إنّ مِمّا دَعَانِي إلَى الْإِسْلَامِ أَنّي طَعَنْتُ رَجُلًا مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ بِالرّمْحِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ فَنَظَرْتُ إلَى سِنَانِ الرّمْحِ حِينَ خَرَجَ مِنْ صَدْرِهِ فَسَمِعْته يَقُولُ فُزْتُ ورب الكعبة وَاللهِ فَقُلْت فِي نَفْسِي: مَا فَازَ أَلَسْتُ قَدْ قَتَلْتُ الرّجُلَ قَالَ حَتّى سَأَلْتُ بَعْدَ ذَلِكَ عَنْ قَوْلِهِ فَقَالُوا: لِلشّهَادَةِ فَقُلْت: فَازَ اللهِ لعمر واللهِ “Penyebab saya masuk Islam adalah ketika saya menusukan tombak diantara pundak seseorang. Saya melihat tombak tersebut menembus sampai ke dadanya. Saya mendengar orang yang tertusuk itu mengatakan, ‘Fuztu Birabbil Ka’bah.’ – ‘demi tuhannya Kabah, aku telah meraih tujuanku.’

Melihat hal itu saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana dia telah berhasil, padahal saya telah mensyahidkannya. Kemudian saya bertanya berkenaan dengan ucapan orang itu, maka orang-orang menjawab, ‘Yang menjadi tujuan orang itu adalah mati syahid.’ Saya pun berkata, ‘Sesungguhnya dalam pandangan Allah orang tersebut telah berhasil.’”[14]

Inilah berkenaan dengan beberapa sahabat, demikian pula terdapat beberapa peristiwa yang mirip dengan itu yakni mereka menganggap meraih keridhaan Allah Ta’ala sebagai tujuan hidup mereka dan kesuksesan duniawi bukanlah tujuan mereka yang hakiki. Lalu disebabkan oleh niat itulah Allah Ta’ala telah mengumumkan berkenaan dengan mereka bahwa Allah Ta’ala ridha kepada mereka.

Ketika para Sahabat disyahidkan di Bi’r Maunah, mereka berdoa kepada Allah Ta’ala, اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا ‘Allahumma balligh ‘anna Nabiyyana anna qad laqiinaaka fa radhiina ‘anka wa radhiita ‘anna.’ – ‘Ya Allah, terimalah pengorbanan kami ini. Sampaikanlah keadaan kami kepada Nabi kami bahwa kami telah menemui Engkau, sehingga kami ridha atas Engkau dan Engkau ridha atas kami.’

Hadhrat Anas meriwayatkan Malaikat Jibril datang kepada Hadhrat RasuluLlah (saw) dan mengabarkan kepada RasuluLlah (saw) bahwa para sahabat RasuluLlah (saw) itu telah pergi berjumpa dengan Allah Ta’ala dan Allah Ridha kepada mereka.[15]

Berkenaan dengan peristiwa ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menjelaskan bahwa paska peristiwa Bir Maunah dan Raji dapat diketahui betapa dalamnya kebencian dan permusuhan kabilah Arab terhadap Islam dan pengikutnya sampai-sampai tipu daya yang sangat hina pun mereka lancarkan. Sementara itu, umat Muslim, meskipun memiliki kehati-hatian yang sangat tapi terkadang disebabkan sikap baik sangka sebagai seorang beriman sehingga menjadi sasaran kejahatan. Mereka adalah para Hafiz Quran, ahli ibadah, tahajjud, berzikir di pojok masjid, miskin, sederhana dan biasa kelaparan yang telah diundang oleh orang-orang zalim itu ke negerinya dengan alasan untuk mengajarkan agama dan ketika sampai di negeri mereka sebagai tamu, mereka dibunuh dengan zalimnya.

Seberapa pun larut kesedihan yang dialami oleh RasuluLlah (saw) pada saat itu, masihlah kurang, namun saat itu beliau tidak melancarkan peperangan untuk melawan para pembunuh di daerah Raji dan Bi’r Maunah. Memang beliau larut dalam kesedihan yang sangat namun tidak melancarkan peperangan setelahnya. Walhasil, terhitung sejak mendapatkan kabar tersebut berturut-turut sampai 30 hari, ketika shalat subuh setiap hari memanjatkan doa dengan penuh keharuan kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan nama Banu Ri’l, Dzakwaan, ‘Ushayyah dan kabilah Banu Lihyan dengan mengatakan, “Wahai Junjungan hamba! Kasihanilah kami hentikanlah kejahatan musuh Islam yang telah membunuh umat Muslim yang tidak berdosa itu dengan zalimnya untuk menghapuskan Islam.”[16]

Walhasil, saat ini pun untuk menghentikan kejahatan para penentang pun perlu untuk meminta bantuan kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan doa. Allah Ta’ala lah yang akan mencengkeram mereka dan memberikan kemudahan bagi kita.

Hadhrat Sa’ad Bin Khaulah radhiyAllahu Ta’ala ‘anhuadalah seorang sahabat. Sebagian orang berpendapat beliau adalah budak belian yang dimerdekakan oleh Ubay Ruham Bin Abdul Uzza al-Amiri. Beliau termasuk Muslim awwalin. Beliau termasuk kedalam orang yang hijrah ke Habsyah pada rombongan kedua. Ketika Hadhrat Sa’d Bin Khaula hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau tinggal di rumah Hadhrat Kultsum Bin Hadm. Ibnu Ishak Musa Aqaba menyebut beliau sebagai ahli Badr.

Ketika Hadhrat Sa’d Bin Khaula ikut serta dalam perang Badr, beliau berumur 25 tahun. Beliau ikut serta pada perang Uhud, Khandaq dan Perdamaian Hudaibiyah. Hadhrat Sa’d (ra) merupakan suami Hadhrat Sabi’ah Aslamiyah. Beliau wafat pada saat Hajjatul Wada (حَجَّة الوَداع). Putra beliau terlahir beberapa waktu paska kewafatan beliau. Lalu RasuluLlah (saw) bersabda kepada istri beliau: Setelah kelahiran anak ini kamu dapat menikahi siapapun sesuai keinginanmu.

Berkenaan dengan kewafatan Sa’d ibn Khaulah di Makkah pada saat Hajjatul Wada tidak ada yang berbeda pendapat kecuali Muhammad ibn Umar ath-Thabari yang berpendapat beliau wafat pada waktu sebelumnya. [yaitu tahun ke-6 Hijriyah].[17]

Sahabat berikutnya, Hadhrat Abul Haitsam, nama sebenarnya Hadhrat Abul Haitsam bin At-Tayyihan Anshari adalah Malik (أبو الهيثم بن التيهان بن مالك بن عتيك بن عمرو بن عبدالأعلم بن عامر بن زعوراء الأنصاري الأوسي). Namun beliau dikenal dengan julukan Abul Haitsam. Ibunda beliau Lailah Binti Atik berasal dari Qabilah Baliyah. Menurut kebanyakan ulama, beliau berasal dari ranting kabilah Aus, Baliyah yang merupakan rekan Banu Abdul Asyhal.[18]

Muhammad Bin Umar mengatakan, “Pada zaman Jahiliyah pun Hadhrat Abul Haitsam merasa muak dengan penyembahan berhala dan justru memaki-maki berhala. Hadhrat Asad Bin Zurarah dan Hadhrat Abul Haitsam Ra adalah pemegang tauhid. Keduanya adalah sahabat Anshari awal yang menerima Islam di Makkah.[19]

Sebagian lagi meriwayatkan bahwa As’ad ibn Zurarah masuk Islam bersama 6 orang di Makkah sebelum baiat Aqabah pertama lalu kembali ke Madinah dan memberikan kabar gembira kepada Abul Haitsam mengenai Islam; dan karena sejak sebelumnya pun beliau tengah mencari agama fitrat, beliau langsung menerima Islam.[20]

Kemudian, ketika baiat Aqabah pertama, beliau termasuk anggota perwakilan yang terdiri 12 orang Madinah yang pergi ke Makkah. Sesampainya di Makkah beliau bersama mereka baiat kepada RasuluLlah (saw) di Aqabah.[21]

Dalam buku Sirah Khatamun Nabiyyin, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “RasuluLlah (saw) memisahkan diri dari orang-orang lalu menjumpai mereka di lembah. Mereka mengabarkan kepada beliau perihal kondisi Yatsrib dan saat itu kesemuanya baiat di tangan RasuluLlah (saw) Baiat tersebut merupakan batu pondasi berdirinya Islam di Madinah.

Karena saat itu jihad dengan pedang belum diwajibkan, untuk itu RasuluLlah (saw) mengambil janji baiat dari mereka dengan kalimat yang di dalamnya beliau biasa mengambil baiat para wanita paska wajibnya jihad. Yakni, فَبَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَيْعَةِ النِّسَاءِ، وذلك قبل أن يفترض الحرب، على أن لانشرك بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا نَسْرِقَ، وَلَا نَزْنِيَ، وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا وَلَا نَأْتِيَ بِبُهْتَانٍ نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا وَأَرْجُلِنَا، وَلَا نَعْصِيَهُ فِي مَعْرُوفٍ. ‘Kami akan meyakini bahwa Tuhan esa, tidak akan berbuat syirik, tidak akan mencuri, tidak akan melakukan perzinahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak akan manuduh orang lain, dan akan selalu taat dalam setiap perbuatan baik.’

Paska baiat Hadhrat RasuluLlah (saw) bersabda, فَإِنْ وفيتم فلكم الجنة، وإن غشيتم من ذلك شَيْئًا فَأَمْرُكُمْ إِلَى اللَّهِ، إِنَّ شَاءَ عَذَّبَ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ. ‘Jika kalian tetap teguh dengan diatas janji tersebut dengan segala ketulusan, maka kalian akan mandapatkan surga. Jika memperlihatkan kelemahan, maka urusannya dengan Allah Ta’ala, Dia akan memperlakukan sesuai dengan yang dikehendakiNya.’”[22]

Baiat tersebut dikenal dalam sejarah dengan sebuah Baiat Aqabah pertama, karena tempat diambilnya janji baiat, disebut dengan Aqabah yang terletak diantara Makkah dan Mina. Makna kata Aqabah sendiri adalah jalan pada bukit yang tinggi.[23]

Hadhrat Abul Haitsam termasuk 6 (enam) orang Anshar pertama yang berjumpa dengan Nabi Muhammad (saw) dan baiat di Makkah. Mereka masuk Islam di Makkah sebelum kaum mereka masuk Islam. Mereka lalu kembali ke Madinah dan menyebarkan Islam. Berkenaan dengan beliau terdapat satu riwayat bahwa beliau adalah Sahabat Anshari pertama yang pergi ke Makkah untuk berjumpa dengan RasuluLlah (saw), Beliau ikut serta dalam baiat Aqaba pertama. Segenap peneliti bersepakat bahwa dalam baiat Aqabah kedua ketika RasuluLlah (saw) memilih 12 nuqaba dari antara kaum Anshar, Hadhrat Abul Haitsam adalah salah satu dari nuqaba itu.[24]

Nuqaba adalah bentuk jamak dari kata naqib yang artinya orang-orang yang berilmu dan mempunyai kapasitas (kebolehan) serta ditetapkan sebagai ketua atau pengawas.

Terdapat satu riwayat dalam hadits bahwa ketika Baiat Aqabah Hadhrat Abul Haitsam berkata, “Wahai RasuluLlah (saw)! Telah dibuat perjanjian Antara kami dan beberapa kabilah untuk saling menolong yakni ketika kami menerima Islam dan baiat lalu menjadi milik Rasul, maka apapun yang RasuluLlah (saw) perintahkan perihal perjanjian tersebut, itulah yang akan berlaku.”

Pada kesempatan itu Hadhrat Abul Haitsam mengatakan kepada RasuluLlah (saw), “Saya ingin menyampaikan permohonan, wahai RasuluLlah (saw) ! Sekarang kami telah terjalin dengan tuan, ketika Tuhan menolong anda dan memberikan keunggulan kepada tuan diatas kaum tuan, maka mohon pada saat itu tuan jangan tinggalkan kami lalu kembali kepada kaum tuan dan mohon untuk tidak berpisah dari kami.”

Mendengar hal itu Hadhrat RasuluLlah (saw) tersenyum dan bersabda, “Sekarang darah kalian telah menjadi darah saya. Sayadari kalian dan kalian dari saya. Siapa yang berperang melawan kalian berarti berperang dengan saya juga, dan siapa yang berdamai denganmu berarti berdamai dengan saya.”[25]

Paska hijrah Makkah, RasuluLlah (saw) menjalinkan ikatan persaudaraan antara Hadhrat Usman Bin Maz’un dengan Hadhrat Abul Haitsam Anshari.[26]

Hadhrat Jabir Bin Abdillah r.’anhuma (جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ـ رضى الله عنهما) meriwayatkan Nabi Karim (saw) beserta dengan seseorang pergi menjumpai seorang sahabat Anshar. Nabi Karim (saw) bersabda kepadanya, إِنْ كَانَ عِنْدَكَ مَاءٌ بَاتَ هَذِهِ اللَّيْلَةَ فِي شَنَّةٍ، وَإِلاَّ كَرَعْنَا “Jika ada air minum atau ada air dalam wadah, berikanlah. Kalau tidak ada, kami akan minum dari sini.”

Di sana saat itu air tengah mengalir. Orang itu tengah membuat aliran air di kebunnya. Orang itu berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي مَاءٌ بَائِتٌ فَانْطَلِقْ إِلَى الْعَرِيشِ “Wahai RasuluLlah (saw)! Air sejak tadi malam ada, silahkan Hudhur masuk ke dalam saung.” Lalu orang itu – Hadhrat Abul Haitsam – mengajak RasuluLlah (saw) dan seorang lagi, lalu memasukkan air kedalam mangkuk lalu memerah susu kambing. RasuluLlah (saw) dan seorang lagi meminum minuman itu. Ini adalah riwayat Bukhari.[27]

Dalam riwayat lain, Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan Hadhrat Abul Haitsam Bin At-Tayyihaan mempersiapkan hidangan untuk RasuluLlah (saw) lalu mengundang RasuluLlah (saw) dan para sahabat. Setelah selesai makan, RasuluLlah (saw) bersabda kepada para sahabat, أَثِيبُوا أَخَاكُمْ Balaslah kepada saudaramu!

Sahabat bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا إِثَابَتُهُ Ya RasuluLlah! Balasan apa yang harus kami berikan?

Beliau bersabda, إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا دُخِلَ بَيْتُهُ فَأُكِلَ طَعَامُهُ وَشُرِبَ شَرَابُهُ فَدَعَوْا لَهُ فَذَلِكَ إِثَابَتُهُ Jika ada orang yang makan dan minum air di rumah orang lain, doakanlah baginya sebagai balasan atas hidangan makan.[28]

Inilah akhlak luhur yang patut diamalkan setiap Muslim.

Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan, pada suatu hari Nabi Karim (saw) keluar dari rumah pada waktu yang tidak biasanya beliau keluar dan tidak pula ditemui seorang pun. Lalu datanglah Hadhrat Abu Bakr kepada Hadhrat RasuluLlah (saw) Hadhrat RasuluLlah (saw) bertanya, مَا جَاءَ بِكَ يَا أَبَا بَكْرٍ‏؟ “Wahai Abu Bakr! Apa yang membuat Anda kemari yakni keluar rumah.”

Beliau menjawab, خَرَجْتُ أَلْقَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنْظُرُ فِي وَجْهِهِ، وَالتَّسْلِيمَ عَلَيْهِ “Saya datang untuk berjumpa dengan Anda, wahai RasuluLlah, melihat wajah berberkat Anda dan untuk menyampaikan salam kepada Anda.”

Tidak lama kemudian datanglah Hadhrat Umar. Hadhrat RasuluLlah (saw) bertanya, مَا جَاءَ بِكَ يَا عُمَرُ‏؟ “Wahai Umar! Apa yang membuat Anda kemari yakni keluar rumah.”

Beliau menjawab, الْجُوعُ يَا رَسُولَ اللهِ “Wahai RasuluLlah! Rasa lapar yang membawa saya kemari.”

RasuluLlah (saw) bersabda, وَأَنَا قَدْ وَجَدْتُ بَعْضَ ذَلِكَ “Saya juga merasa sedikit lapar.”

Lalu beliau beliau pergi ke rumah Hadhrat Abul Haitsam ibn Tayyihan al-Anshari, seorang laki-laki yang memiliki banyak pohon kurma dan kambing serta tidak memiliki pembantu. Nabi Karim tidak mendapati Abul Haitsam di rumah, lalu bersabda kepada istri Abul Haitsam, “Dimana suami Anda?”

Dia menjawab, “Beliau sedang pergi mencari air tawar untuk kami.”

Tidak lama kemudian Abul Haitsam datang dengan membawa wadah berisi air. Beliau menyimpan wadah air lalu bergegas menemui RasuluLlah (saw) kemudian memeluk RasuluLlah (saw) serta bersumpah demi ayah dan ibunya untuk melakukan apa saja demi beliau. Beliau mengatakan, “Ayah dan ibu saya rela saya korbankan demi Anda, wahai Rasul.”

Hadhrat Abul Haitsam mengajak beliau-beliau ke kebun lalu menggelar alas duduk. Lalu beliau segera beranjak ke kebunnya dan memetik setandan kurma yang di dalamnya ada kurma yang sudah matang dan ada juga masih mentah.

RasuluLlah (saw) bersabda, أَفَلا تَنَقَّيْتَ لَنَا مِنْ رُطَبِهِ‏؟ “Wahai Abul Haitsam! Kenapa Anda tidak memilih kurma yang matang saja daripada setandan begini?”

Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ تَخْتَارُوا، أَوْ تَخَيَّرُوا مِنْ رُطَبِهِ وَبُسْرِهِ “Wahai RasuluLlah saya berharap Hudhur berkenan memilih sendiri kurma yang matang sekehendak Hudhur.”

Lalu Hadhrat RasuluLlah (saw), Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar menyantap kurmanya dan meminum air. Setelah itu RasuluLlah (saw) bersabda, هَذَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مِنِ النَّعِيمِ الَّذِي تُسْأَلُونَ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ظِلٌّ بَارِدٌ، وَرُطَبٌ طَيِّبٌ، وَمَاءٌ بَارِدٌ “Demi Tuhan Yang di tangan-Nya jiwa saya berada, ini adalah nikmat-nikmat yang berkenaan dengannya akan ditanyakan kepada kalian pada hari kiamat nanti yakni keteduhan yang sejuk, kurma yang bagus dan air yang dingin.”

Lalu Abul Haitsam bangkit untuk menyiapkan hidangan bagi RasuluLlah (saw)

RasuluLlah (saw) bersabda, لا تَذْبَحَنَّ ذَاتَ دَرّ “Jangan Anda sembelih kambing perah (binatang yang menghasilkan susu).”

Lalu beliau menyembelih anak kambing, menyiapkannya dan menghidangkannya ke hadapan RasuluLlah (saw) Beliau-beliau menyantapnya. Mereka pun makan bersama.

RasuluLlah (saw) bersabda, هَلْ لَكَ خَادِمٌ‏؟ “Apakah kamu punya pelayan?”

Hadhrat Abul Haitsam berkata, “Tidak.”

RasuluLlah (saw) bersabda, “Jika kita mendapatkan tawanan perang nanti, datanglah.”

Kemudian, ketika RasuluLlah (saw) mendapatkan dua tawanan perang, Abul Haitsam datang kehadapan RasuluLlah (saw)

RasuluLlah (saw) bersabda, اخْتَرْ مِنْهُمَا “Pilihlah diantara dua tawanan ini.”

Hadhrat Abul Haitsam berkata, يَا رَسُولَ اللهِ، اخْتَرْ لِي “Wahai Rasul! Mohon Hudhur yang pilihkan untuk saya.”

RasuluLlah (saw) bersabda, إِنَّ الْمُسْتَشَارَ مُؤْتَمَنٌ “Orang yang dimintai musyawarah itu adalah seorang yang penjaga amanat atau dapat dipercaya.”

Pokok bahasan ini perlu untuk dicatat oleh setiap kita yakni orang yang dimintai musyawarah, adalah penjaga amanat. Untuk itu biasakanlah untuk memberikan musyawarah yang baik.

Lalu beliau bersabda, خُذْ هَذَا، فَإِنِّي رَأَيْتُهُ يُصَلِّي “Pilih dan bawalah pelayan ini, karena saya telah melihatnya sedang beribadah.”

Keistimewaan budak yang disabdakan oleh RasuluLlah (saw) adalah yang beribadah dan mengingat Allah, di dalam dirinya terdapat kebaikan lalu bersabda, وَاسْتَوْصِ بِهِ مَعْرُوفًا “Perlakukanlah dia dengan baik.”

Hadhrat Abul Haitsam pergi menemui istrinya untuk memberitahukan nasihat RasuluLlah (saw) kepadanya.

Sang istri mengatakan, مَا أَنْتَ بِبَالِغٍ حَقَّ مَا “Anda tidak dapat memenuhi nasihat RasuluLlah (saw) tersebut sepenuhnya – yaitu memperlakukannya dengan baik -.”

Coba perhatikan standar kualitas keimanan yang tampak dari istri beliau yang tidak mempunyai pelayan di rumah, namun mengatakan kepada sang suami, “Anda akan dapat memenuhi kewajiban ini kecuali dengan memerdekakan budak yang kita dapatkan.”

Lalu Hadhrat Abul Haitsam memerdekakan budak itu dengan mengatakan, فَهُوَ عَتِيقٌ ‘fahuwa athiiq’ – “Dia telah merdeka.”[29]

Inilah keistimewaan para sahabat.

Hadhrat Abul Haitsam ikut dalam perang Badr, Uhud, Khandaq dan semua peperangan lainnya bersama dengan RasuluLlah (saw) Paska syahidnya Hadhrat Abdullah Bin Rawahah, Hadhrat RasuluLlah (saw) mengutus Hadhrat Abul Haitsam ke Khaibar untuk menaksir buah kurma.

Ketika Hadhrat Abu Bakr ingin mengutus beliau untuk menaksir (menghitung-hitung hasil panen dan pembagiannya) buah kurma paska kewafatan RasuluLlah (saw), beliau menolak secara halus. Hadhrat Abu Bakr mengatakan, “Dulu Anda biasa menaksir buah kurma untuk RasuluLlah (saw)”

Hadhrat Abul Haitsam berkata, “Memang saya selalu menaksir buah kurma untuk RasuluLlah (saw) dan ketika kembali dari menaksir RasuluLlah (saw) selalu mendoakan saya.”

Pada saat itu beliau berpikir bahwa beliau selalu mendapatkan doa RasuluLlah (saw) sehingga merasakan satu ikatan emosional. Mendengar keterangan itu Hadhrat Abu Bakr tidak mengutus beliau.[30]

Beliau menolak permintaan Hadhrat Abu Bakr karena kondisi emosional yang dialami, padahal mereka orang-orang yang selalu taat, bukan pembangkang. (Dalam kondisi umum-Pent) jika Hadhrat Abu Bakr memerintahkan sesuatu tidak mungkin mengingkarinya. Sikap Hadhrat Abu Bakr yang tidak memintanya lagi membuktikan Hadhrat Abu Bakr pun merasakan adanya jalinan emosional itu dan paham sehingga tidak memintanya lagi.

Ketika Hadhrat Umar mengusir Yahudi Khaibar, beliau lalu mengutus orang-orang Muslim kepada mereka yang dapat menaksir tanah mereka. Diantara rombongan itu ialah Hadhrat Abul Haitsam, Hadhrat Farwah Bin Amru dan Hadhrat Zaid Bin Tsabit. Mereka menaksir tanah dan kurma penduduk Khaibar. Hadhrat Umar memberikan setengah harga kepada penduduk Khaibar yakni lebih dari 50 ribu dirham.[31]

Coba perhatikan saat itu Hadhrat Abul Haitsam berangkat atas perintah Hadhrat Umar, karena masa emosional telah berlalu lama [telah move on], sehingga tidak ada lagi kendala bagi beliau untuk menolaknya.

Berkenaan dengan mengucapkan Assalamualaikum juga terdapat riwayat dari Hadhrat Abul Haitsam yang meriwayatkan bahwa Nabi Karim (saw) bersabda: مَنْ قَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، وَمَنْ قَالَ: “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ كُتِبَ لَهْ عِشْرُونَ حَسَنةً، وَمَنْ قَالَ السَّلَامُ: عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ كُتِبَ لَهُ ثَلَاثُونَ حَسَنَةً “Siapa yang mengucapkan assalamualaikum, dia akan mendapatkan 10 kebaikan. Siapa yang mengucapkan Assalamualaikum wa rahmatullah, akan mendapatkan 20 kebaikan. Siapa yang mengucapkan assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu akan mendapatkan 30 kebaikan.[32]

Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan masa kewafatan Hadhrat Abul Haitsam. Sebagian berpendapat beliau wafat pada zaman Hadhrat Umar, menurut sebagian lagi beliau wafat pada 20 atau 21 Hijri dan dikatakan juga bahwa beliau syahid ketika berperang dalam perang Shiffin 37 Hijriyah (657). Beliau berada di pihak Hadhrat Ali Ra.[33]

Inilah para sahabat yang telah menegakkan teladan bagi kita semua dan memberikan banyak pencerahkan bagi kita berkenaan dengan banyak hal. Semoga Allah Ta’ala terus meninggikan derajat beliau-beliau. Amin.

Setelah shalat jenazah nanti saya akan memimpin shalat dua jenazah ghaib, jenazah pertama, Yth. Sahibzada Mirza Majid Ahmad Sahib, putra Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib, wafat tangal 14 Agustus pada usia 94 tahun. Innaa lilaahi wa inaa ilaihi raajiuwn. Beliau mengalami operasi jantung di Amerika pada tahun 2000, setelah itu beliau terjangkit lumpuh dan tidak terlepas dari ranjang.

Pada tanggal 18 Juli 1924 beliau lahir di rumah Hadhrat Mirza Basyir Ahmad dari perut Hadhrat Sarwar Sultanah Begum sahibah Binti Hadhrat Ghulam Hasan Sahib Peshawari di Qadian. Beliau mendapatkan pendidikan dasar di Qadian, lulus matrix dari Talimul Islam High School Qadian. Pada tahun 1949 lulus dari Government College Lahore dengan gelar MA dengan nilai yang baik dalam mata kuliah History. Atas kelulusan itu orang-orang menyampaikan ucapan Mubarak kepada Hadhrat Mirza Basyir Ahmad.

Selain menyampaikan ucapan terima kasih, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “Sebenarnya dalam keadaan bahagia dan duka, Jemaat orang selalu teguh diatas pondasi saling menolong satu sama lain dan disebabkan karena saling membantu itu, mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kekuatan. Inilah inti pokok pandangan Jemaat.”

Lalu menulis, “Jika saya memohon kepada saudara saudara yakni selain turut berbahagia, doakanlah juga supaya dimana Allah Ta’ala telah memberikan taufik kepada Ananda Majid Ahmad untuk memenuhi standar lahiriah keilmuan sehingga Allah Ta’ala pun menganugerahkan ilmu hakiki kepadanya dan memberikan taufik untuk dapat mengamalkan ilmu tersebut, karena inilah yang merupakan tujuan hakiki dan puncak dari kehidupan kita.”[34]

Pada tanggal 7 Mei 1944 Mirza Majid Ahmad Sahib telah mewakafkan hidup untuk mengkhidmati agama seiring dengan menempuh pendidikan. Bulan desember 1949 beliau masuk Jamiah MuBasyirin dan lulus pada bulan juli 1954. Beliau menikah pada kesempatan hari ketiga Jalsah Salanah pada tanggal 28 desember 1950 dengan Sahibzadi Qudsiyah Begum Sahibah (صاحبزادي قدسية بيغم) Binti (بنت) Hadhrat Nawab Abdullah Khan Sahib (حضرة نواب عبد الله خان) dan Hadhrat Nawab Amatul Hafizh Begum Sahibah (حضرة نواب أمة الحفيظ بيغم) dan yang menyampaikan khotbah nikah adalah Hadhrat Khalifatul Masih Tsani Ra.

Putri sulung beliau bernama Nujrat Jahan sahibah yang juga istri Mirza Nasir Ahmad Tariq cucu Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Ra. Putra beliau Mirza Mahmud Ahmad, putri beliau Durre Tsamin adalah menantu dari Meer Mahmud Ahmah Sahib, lalu putra beliau bernama Mirza Ghulam Qadir Syahid Sahib menikah dengan Amatun Nasir binti Sayyid Meer Daud Ahmad Sahib, putri kelima beliau Faizah Sahiba, istri Sayyid Mudatsir Ahmad Sahib, seorang Waqif Zindegi juga.

Pada bulan Juli 1954 Yth. Sahibzada Mirza Majid Ahmad Sahib memperoleh gelar Syahid. Penugasan pertama beliau pada 20 september 1954 di Talimul Islam College Rabwah. Pada tanggal 4 November 1956 beliau ditugaskan sebagai Principal; sekolah di kota Kumasi Ghana di bawah departemen Tahrik Jadid. Tanggal 24 Desember 1963 kembali ke Pakistan. Lalu pada bulan April 1963 beliau ditugaskan lagi ke Talimul Islam College. Ketika Talimul Islam College diambil alih negara pada zaman Bhuto, beliau mengundurkan diri dan melaporkan kepada Anjuman, “Saya adalah Waqaf Zindegi.”

Lalu pada tanggal 3 Juli 1975 beliau ditugaskan sebagai Naib Nazir Talim. Pada tahun 1976 ketika Hadhrat Khalifatul Masih Tsalis berkunjung ke Amerika dan Eropa, almarhum menyertai Hadhrat Khalifatul Masih Tsalits sebagai sekretaris pribadi. Pada tahun 1978 beliau ditetapkan sebagai Naib nazir Ala lalu pension pada tahun 1984. Menantu beliau Sayyid Mudatsir Ahmad mengatakan, “Almarhum telah menerjemahkan sebagian buku Siratul Mahdi dan biasa mengirimkan karya tulis secara rutin ke Al Fazl, beliau orang yang berilmu, karya-karya tulis tadi telah dicetak dan terbit dalam bentuk buku dengan nama Nuktah Nazr.”

Beliau sangat hobi menulis dan membaca, saya melihat sendiri yakni beliau sering menghabiskan banyak waktu untuk membaca di perpustakaan.

Menantu beliau, Amatun Nasir yakni janda Mirza Ghulam Qadir Syahid sahib menulis, “Almarhum adalah seorang figur yang penuh cinta kasih dan berkualitas, mencintai anak-anak, mukhlis dan lapang dada. Keistimewaan beliau yang khas adalah mudah bergaul dengan berbagai kalangan umur. Bersikap seperti seorang kawan bagi anak-anak, orang tua dan muda. Ketika putra beliau, Mirza Ghulam Qadir Sahib disyahidkan, beliau memperlihatkan contoh kesabaran yang tinggi dan paska syahidnya putra beliau, almarhum dan istri sangat memperhatikan cucu yang ditinggalkan ayahnya.

Kemudian, masa sakit beliau yang panjang, namun beliau memlaluinya dengan penuh kesabaran, beliau bukan pemarah, ketika menjalin hubungan dengan seseorang, beliau lakukan dengan penuh keikhlasan. Memperhatikan pada pekerja.”

Putra beliau, Mirza Nasir Ahmad Sahib menulis, “Almarhum adalah orang yang memiliki banyak gagasan yang sangat jelas, bukannya membabi buta, melainkan menyampaikan gagasan yang selaras dan kebenaran.”

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan magfirah dan kasih sayang Nya memberikan taufik kepada putra beliau untuk dapat melanjutkan kebaikan beliau dan selalu dijalinkan dengan Khilafat dan Jemaat.

Jenazah kedua, Yth. Sayyidah Naseem Akhtar Sahibah, istri Bpk. Muhammad Yusuf penduduk Anbah Nuriyah daerah Shekhupura. Beliau wafat pada tanggal 27 Juli 2018. Innaa lilaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Almarhumah adalah cucu sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Waliyullah Sahib Ra dan putri Qazi Muhammad Sahib.

Paska perpisahan India Pakistan, ayah beliau hijrah dari Qadian ke Rabwah mengajak serta keluarga. Setelah menikah beliau menetap di desa Anbah Nuriyah. Pada masa itu beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat memegang beberapa jabatan dalam Jemaat. Beliau pernah menjabat sebagai ketua LI Jemaat lokal selama 18 tahun. Beliau seorang wanita mukhlis, dawam shalat dan puasa, tahajjud, menolong orang miskin, memperlakukan tetangga dengan baik, sederhana dan rendah hati.

Beliau dawam menilawatkan Al Quran dengan terjemahnya dan terbiasa merenungkan dan berusaha untuk mengamalkannya. Beliau biasa mengajarkan Al Quran kepada anak-anak dan banyak sekali anak anak Ahmadi maupun ghair yang belajar Quran dari beliau. Putra beliau muballigh, bertugas di Mali Afrika. Saat itu di Afrika Barat tengah berjangkit wabah Ebola. Seorang ghair Ahmadi mengatakan pada beliau supaya tidak membiarkan anak beliau ditugaskan di negeri tersebut, karena wabah tersebut.

Almarhumah langsung menjawabnya dengan mengatakan, “Kedua anak saya adalah waqaf zindegi dan saya telah mewakafkan hidup mereka disertai dengan doa-doa. Sekarang mereka telah menjadi milik Tuhan sehingga saya tidak memikirkan lagi kemana dan bagaimana Tuhan akan membawa mereka untuk melakukan pengkhidmatan. Saya sangat bangga karena Tuhan telah memberikan taufik kepada anak-anak saya untuk berkhidmat.”

Ini jugalah yang selalu beliau nasihatkan kepada putra beliau, “Jika Tuhan memberikan kesempatan kepada kalian untuk berkhidmat, kalian harus selalu loyal (setia) kepada Tuhan dan waqf kalian.”

Almarhumah adalah seorang Mushiah. Putra beliau, Nasir sahib adalah Muballigh di Mali, Afrika; dan Anshar Mahmud Sahib yang seorang muballigh bertugas di Pakistan. Putra beliau yang di Mali tidak dapat ikut serta menyalatkan jenazah. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesabaran kepada mereka dan meninggikan derajat almarhumah dan mewariskan kepada mereka segala kebaikan almarhumah.

[1] Siyarush Shahaabah karya Syah Mu’inuddin (Moinuddeen) Ahmad an-Nadvi, bagian dua halaman 333, terbitan Dar Isya’at, Karachi.

[2] Shahih al-Bukhari, Kitab Jenazah (كتاب الجنائز), bab (باب مَتَى يَقْعُدُ إِذَا قَامَ لِلْجَنَازَةِ)

[3] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 3, h. 118, Amir Bin Rabiah, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996; Mukhtashar Tarikhul Umam wal Muluuk (المنتظم في تاريخ الأمم والملوك) karya Ath-Thabari

[4]Syarh az-Zurqani jilid 6, h. 49, bab al-fadhluts tsani fima akramahuLlahu Ta’ala minal akhlaqiz zakiyah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.Majma’uz zawaaid (مجمع الزوائد ومنبع الفوائ), (كتاب الحج), (باب الطواف في النعل).

[5]Hayatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, jilid 2, h. 523, bab al-Infaq ash-Shahabah fi SabiliLlah, Muassasah ar-Risalah Nasyir din, 1999; Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), (المهاجرون من الصحابة), (عامر بن ربيعة)

[6]Ath-Thabaqaat karya ibn Sa’d (الطبقات الكبرى لابن سعد), nubuatan Nabi (saw) (ذِكْرُ نُبُوَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ), tanda-tanda (ذِكْرُ عَلامَاتِ النُّبُوَّةِ فِي رَسُولِ اللَّهِ)

[7] Al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ); Subulul Huda war Rasyaad jilid 1 h. 155, ghazwah Banu Musthaliq, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 296, wa min hulafa bani Adi, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 390, Haraam ibn Milhan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990; Al-Ishabah fi tamyizish shahabah (الإصابة في تمييز الصحابة), jilid 8, h. 375-376, Haraam ibn Milhan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.

[10] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كِتَاب الْمَغَازِي), bab ghazwah Raji’ (َاب غَزْوَةِ الرَّجِيعِ وَرِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَبِئْرِ مَعُونَةَ وَحَدِيثِ عَضَلٍ وَالْقَارَةِ وَعَاصِمِ بْنِ ثَابِتٍ وَخُبَيْبٍ وَأَصْحَابِهِ), no. 4092.

[11] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab tentang Jihad dan ekspedisi (كتاب الجهاد والسير), bab pahala luka di jalan Allah (باب مَنْ يُنْكَبُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ), no. 2801, riwayat Anas ibn Malik saat menceritakan pamannya, Haram ibn Milhan yang syahid ditusuk tombak dari belakang.

[12]Shahih al-Bukhari, Kitab Jenazah, bab man jalasa indal mushibah (بَاب مَنْ جَلَسَ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ يُعْرَفُ فِيهِ الْحُزْنُ), 1300.

[13]Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Jizyah, bab doa Imam (بَاب دُعَاءِ الْإِمَامِ عَلَى مَنْ نَكَثَ عَهْدًا), 3170.

[14] Sirah an-Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi saw) karya Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bahasan peristiwa Bi’r Maunah pada bulan Shafar 4 Hijriyah (حديث بئرمعونة في صفر سنة أربع), h. 603, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2001.

[15] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 267, Haram ibn Milhan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996

[16] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 520-521

[17] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 2, h. 209, Sa’d bin Khaulah, terbitan Darul Fikr, Beirut, 2003; Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 217, Sa’d bin Khaulah, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[18] Al-Ishabah fi tamyizish shahabah (الإصابة في تمييز الصحابة), jilid 7, h. 365, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995. Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 341, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990. Siyarush Shahaabah karya Syah Mu’inuddin (Moinuddeen) Ahmad an-Nadvi, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, bagian tiga halaman 215, terbitan Dar Isya’at, Karachi, 2004

[19] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 341, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[20] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 341, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[21] Siyarush Shahaabah karya Syah Mu’inuddin (Moinuddeen) Ahmad an-Nadvi, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, bagian tiga halaman 215, terbitan Dar Isya’at, Karachi, 2004.

[22] Sirah an-Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi saw) karya Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bahasan mengenai awal mula Islamnya kaum Anshar (بدء إسلام الأنصار), bab perjanjian yang diminta Rasul kepada para Mubayyi’ di Aqabah (عهد الرسول على مبايعي العقبة). Tercantum juga dalam al-Bidayah wan Nihaayah karya Ibn Katsir (البداية والنهاية).

[23] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 224

[24]Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 341-342, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[25] Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, h. 427, 15891, Alamul Kutub, 1998.

[26] Al-Ishabah fi tamyizish shahabah (الإصابة في تمييز الصحابة), jilid 7, h. 365, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.

[27] Shahih al-Bukhari, kitab tentang minuman (كتاب الأشربة), bab mengenai mencampur susu dengan air (باب شَوْبِ اللَّبَنِ بِالْمَاءِ), nomor 5613

[28] Shahih al-Bukhari, kitab makanan (كتاب الأطعمة), bab (باب مَا جَاءَ فِي الدُّعَاءِ لِرَبِّ الطَّعَامِ إِذَا أُكِلَ عِنْدَهُ); Sunan Abi Daud, Kitab makanan, bab dua ar-rabbuth tha’am idza akala ‘indahu (doa kepada pentraktir makan jika makan dengannya), 3853

[29]Imam At-Tirmidzi dalam karyanya Asy-Syamaa-il al-Muhammadiyyah (الشمائل المحمدية), bab peri kehidupan RasuluLlah (saw) (باب ماجاء في عيش رسول الله صلى الله عليه وسلم) Maka RasuluLlah (saw) bersabda, إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْ نَبِيًّا وَلا خَلِيفَةً إِلا وَلَهُ بِطَانَتَانِ‏:‏ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَبِطَانَةٌ لا تَأْلُوهُ خَبَالا، وَمَنْ يُوقَ بِطَانَةَ السُّوءِ فَقَدْ وُقِيَ‏.“Sungguh Allah tidak mengutus seseorang Nabi atau Khalifah kecuali ia memiliki dua penasehat: Penasehat yang menyuruhnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran serta penasehat yang tidak berhenti mencelakakannya. Siapa yang dihindarkan dari penasehat yang buruk, maka ia sungguh telah dilindungi.”

[30]Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 342, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[31] Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي) karya Muhammad ibn Umar Al-Waqidi (مُحَمّدُ بْنُ عُمَرَ الْوَاقِدِيّ), jilid II, bab Syan Fadak, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2004. Pada tahun ke-7 Hijriyah (628 M), orang-orang Yahudi Khaibar melanggar perjanjian dengan mengorganisasi penghasutan menentang umat Muslim. Nabi (saw) dan para Shahabat mengepung mereka dan akhirnya mereka menyerah. Mereka dihukum diusir dari Khaibar namun atas permohonan mereka agar tetap tinggal, disepakati perjanjian bagi hasil tanah dan kebun kurma. Pada masa Khalifah Umar ra (Agustus 634-November 644), mereka melanggar perjanjian lagi dengan menyerang Abdullah ibn Umar yang sedang melawat ke Khaibar untuk melihat tanahnya.

[32]Al-Ishabah fi tamyizish shahabah (الإصابة في تمييز الصحابة), jilid 7, h. 366, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.

[33]Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 342, Abul Haitsam bin At-Tayyihan, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990.

[34] Mazhamin Basyir, jilid 2, h. 605.

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.