Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad,
Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز
15 Desember 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ()
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang dengan baik mengikuti jejak mereka, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Surah at-Taubah, 9:100)
Dalam ayat ini, para sahabat Hadhrat Muhammad Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (saw) telah disebut mereka adalah orang-orang yang unggul (juara); derajat ruhani mereka paling tinggi dari antara semuanya; mereka adalah orang-orang yang tingkat keimanan mereka dan dalam hal bertindak sesuai dengan ajaran Allah Ta’ala telah meninggalkan semua orang lainnya di belakang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan keteladanan bagi orang-orang beriman yang paling awal dan yang datang kemudian sehingga hendaknya mereka mengikuti teladan beliau-beliau itu.
Dengan demikian, dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa para Sahabat ialah orang-orang yang patut untuk dijadikan teladan bagi orang-orang yang hidup di masa kemudian. Ayat ini juga mengumumkan bahwa Allah Ta’ala ridha terhadap tingkat keimanan mereka dan amal-amal mereka; dan mereka juga menjadikan tujuan hidup mereka ialah meraih ridha Allah. Dalam tiap keadaan, mereka termasuk yang melewati hidup dalam kesyukuran kepada Allah. Dengan begitu, Allah Ta’ala berfirman, “Mereka yang melakukan keteladanan mereka itu dan melakukan keikhlasan, kesetiaan dan amal-amal saleh, akan menjadi peraih karunia-karunia.”
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad saw perihal kedudukan luhur para Sahabat bahwa mengikuti mereka menjadikan seseorang memperoleh petunjuk. Hadhrat Umar ra meriwayatkan Hadhrat Rasulullah saw bersabda: سَأَلتُ رَبِّي فِيما يَختَلِفُ فِيهِ أَصحابِي مِن بَعدِي؟ فَأَوحَى إِلَيَّ “Saya sudah menanyakan Tuhan saya tentang perselisihan para sahabat saya sepeninggal saya, lalu Dia mewahyukan kepada saya, يا مُحَمد إِنَّ أَصحابَكَ عِندِي بِمِنزِلَةِ النُّجُومِ فِي السَّماءِ بَعضُها أَضوَأُ مِن بَعضٍ، فِيمَن أَخَذَ بِشيءٍ ما هُم عَلَيهِ مِنِ اختِلافِهِم فَهو عِندِي عَلَى هُدًى ‘Yaa Muhammad! Inna ash-haabaka ‘indii bi-manzilatin nujuumi fis samaa-i. Ba’dhuhaa adhwa-u mim ba’dhin. Fii man akhadza bi-syai-im maa hum ‘alaihi min ikhtilaafihim fa-huwa ‘indii ‘ala huda.’ – ‘Wahai Muhammad! Para sahabatmu itu dalam pandangan-Ku seumpama bintang-bintang di langit, sebagian mereka lebih cemerlang cahayanya dari sebagian yang lain, namun dalam diri setiap mereka ada cahayanya yang tersendiri. Maka siapa pun yang mengikuti sesuatu yang ada pada diri mereka itu, maka dia itu dalam pandangan-Ku akan berada dalam petunjuk.’” (artinya, dalam pandangan Allah, orang itu akan mendapat hidayah.)
Kemudian, Hadhrat Umar ra meriwayatkan lagi bahwa Nabi saw pun bersabda: أَصحَابِي كَالنُّجُومِ، بِأيِّهم اهتَدَيتُمُ اقتَدَيتُم ‘ash-haabii kan nujuumi, bi-ayyihim ihtadaitum iqtadaitum’ – “Para sahabat saya itu seumpama bintang-bintang maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapat petunjuk.”
Demikianlah, Allah Ta’ala menganugerahi kedudukan ini kepada para Sahabat Nabi saw. Tiap-tiap dari mereka terdapat teladan bagi kita. Hadhrat Masih Mau’ud (as) di satu kesempatan bersabda mengenai kedudukan mereka dan bagaimana Allah Ta’ala ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah Ta’ala, “Para sahabat yang mulia memperlihatkan ketulusan seperti itu semata-mata demi Allah dan Rasul-Nya sampai-sampai datang ayat yang berbunyi رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ‘Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya’. Ini adalah kedudukan derajat tertinggi yang para Sahabat raih yaitu Allah telah ridha dengan mereka dan mereka telah ridha dengan Allah.” (Kesempurnaan dan kebagusan kedudukan ini berada di luar kata-kata untuk menguraikannya.)
“Ridha kepada Allah bukanlah dibawah kekuasaan pekerjaan setiap orang. Melainkan sebaliknya, hal itu merupakan kedudukan tertinggi dalam menempatkan tawakkal (berserah diri), tabattal (meninggalkan yang menghalangi perhubungan dengan Allah), ridha (suka hati, kepasrahan) dan kepatuhan seseorang kepada Allah Ta’ala.
Setelah meraih kedudukan tersebut seseorang tidak lagi merasa mengeluh, memprotes dan tidak senang dengan Tuhannya dalam bentuk apapun. Adapun ridha Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya terletak pada kesempurnaan kebenaran, kesetiaan, kebersihan, kesucian dan kepenuhan ketaatan hamba tersebut.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut menulis: “Hal ini mengindikasikan para sahabat telah menapaki semua tahapan ma’rifat (pemahaman akan Allah) dan suluuk (jalan-jalan mendapatkan Qurb-Nya).”
Dalam menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyampaikan, “Sucikan hati kalian supaya Tuhanmu yang Maha Pemurah ridha akan dirimu (beliau menasehati kita) dan supaya kalian pun menjadi ridha dengan Dia.” (Artinya, suatu keharusan bagi kalian untuk tidak menyisakan sikap keberatan terhadap Allah. Guna mendapat ridha-Nya, wajib bagi kalian untuk membuat kesetiaan dan kejujuran kalian mencapai kesempurnaan. Tinggikanlah level-level kesucian kalian juga hingga kesempurnaan. Capailah tingkat-tingkat ketaatan yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, Maula kalian [Majikan Hakiki kalian] akan ridha pada kalian) “dan kalian pun akan ridha dengan Dia. Dia akan menjadikan tubuh kalian dan amal perbuatan kalian penuh berkah.”
Artinya, setelah mencapai kedudukan ini, maka akan meraih berkah. Dengan demikian, para Sahabat Nabi saw adalah teladan bagi kita jika kita ingin dekat dengan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah menyifati mereka qudwah (pedoman) yang layak diikuti dan nujuum (bintang-bintang) bercahaya sampai-sampai jika tampak pada mereka perselisihan.
Inilah yang Nabi saw sabdakan berkenaan dengan kedudukan dan derajat para sahabat, اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي ‘Allah! Allah! Fii ashhaabii!’ “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku.” لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي ‘Laa tattakhidzuuhum gharadhan ba’dii.’ – “Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran caci-maki sesudahku tiada.” فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ “Siapa mencintai sahabat-sahabatku, berarti dia mencintaiku.” وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ “dan siapa membenci sahabat-sahabatku, maka disebabkan membenci mereka berarti dia membenciku.” وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي “siapa yang menyakiti mereka berarti menyakitiku.” وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ “siapa yang menyakitiku berarti menyakiti Allah”; وَمَنْ آذَى اللَّهَ فَيُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ» “dan siapa yang menyakiti dan membuat murka Allah berarti orang itu bersiap-siap untuk menerima cengkeraman hukuman-Nya.”
Kemudian pada satu kesempatan Rasulullah (saw) bersabda, “Janganlah mencela para sahabatku.” Ada berbagai macam sekte Islam – khususnya Syi’ah – yang ketika melemparkan tuduhan terhadap golongan lain, mereka mengatakan banyak hal tercela terhadap para sahabat. Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ “Janganlah mencela para sahabat saya dan jangan kritik tindakan mereka. Demi Allah, yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, meski kalian memberikan emas setara gunung Uhud, kalian tidak akan menerima pahala yang sama dengan yang mereka terima, tidak juga satu atau dua dari sebagiannya bahkan setengah darinya pun tidak.”
Jadi, inilah orang-orang, yang kedudukan dan derajatnya sangat tinggi, dan yang menjadi teladan bagi kita. Jika kita ingin memperoleh ridha Allah Ta’ala, maka kita harus mengikuti mereka (para Sahabat Nabi Muhammad saw). Dan seharusnya kita sekali-kali jangan pernah berkata mengkritik menentang mereka atau berpikiran buruk tentang mereka. Merupakan sebuah cara yang salah kita berusaha beropini sesuai tolok ukur yang kita buat tentang martabat salah seorang dari mereka.
Kemudian dalam memberikan pengertian tentang kedudukan dan derajat para sahabat, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Jika seseorang mengamatinya dengan adil, pengorbanan para sahabat Hadi Akmal (Penuntun paling sempurna) kita (saw) semata-mata mereka lakukan demi Allah dan Rasul-Nya; mereka diusir dari kampung halaman sendiri; mereka dianiaya, mereka pun mengalami berbagai macam bentuk kesulitan dan mengorbankan nyawa mereka (dibunuh), tapi bersamaan dengan itu mereka maju terus dalam ketaatan, kebenaran dan kesetiaan. Lalu apa yang menyebabkan mereka patuh dan berkorban seperti itu? Itu adalah semangat akan Tuhan hakiki, yang cahayanya telah menyinari hati mereka.
Dengan demikian, jika diperbandingkan dengan Nabi mana pun, tidak akan ditemukan yang semisal Nabi Muhammad saw dalam hal ajaran, dalam hal penyucian jiwa, dalam hal meninggalkan keduniaan secara berani demi mengikuti beliau saw; dan dalam hal demi kebenaran mereka (para sahabat Nabi saw tersebut) mengorbankan kekayaan dan negeri tumpah darah mereka. Inilah kedudukan para Sahabat Nabi saw.
Adapun mengenai gambaran saling menyayangi di kalangan para Sahabat Nabi saw, Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ ‘dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.’ (Surah Al-Anfal ayat 64). Itu artinya, jika bukan karena Allah-lah yang melekatkan hati mereka, tentu tidak mungkin terdapat kecintaan tersebut walau telah dikorbankan harta emas sebesar gunung.”
Beliau (as) bersabda, “Sekarang terdapat Jemaat lain, yaitu Jemaat Al-Masih yang dijanjikan, yang mana harus bersifat dengan warna para Sahabat Nabi Muhammad saw. Adapun para Sahabat tersebut ialah kaum yang menyucikan sampai-sampai Al-Qur’an pun menyebutkan pujian terhadap mereka.
Apakah Anda sekalian serupa dengan mereka? Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan akan terdapat golongan yang menyertai Masih Mau’ud yang mana mereka serupa dengan para Sahabat ridhwaanuLlah ‘alaihim. Para Sahabat tersebut ialah kaum yang mengorbankan harta dan tanah air di jalan kebenaran. Mereka kosong dari tipuan dan keakuan. Mungkin di banyak kesempatan Anda sekalian pernah mendengar peristiwa tentang Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra), yaitu saat para Sahabat diminta untuk menyerahkan harta mereka di jalan Allah, beliau menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya. Ketika Rasulullah (saw) menanyakan, يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ ؟ ‘Apa yang Anda sisakan di rumah?’, beliau menjawab, أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ‘Saya telah meninggalkan Allah dan Rasul-Nya di rumah saya.’
Status Hadhrat Abu Bakr kala itu termasuk salah seorang pemimpin Makkah. Tapi ketika itu, beliau meninggalkan kemewahannya dan hanya mengenakan selimut.” (Beliau mengenakan pakaian orang miskin. Ingatlah! Mereka itu kaum yang telah disyahidkan di jalan Allah. Dikatakan tentang mereka, ‘Surga berada di bawah kelebatan pedang.’ [Maksudnya, hidup mereka setiap waktu selalu dibawah bayang-bayang peperangan]
Namun, kita (para Ahmadi) tidak mendapat kekerasan yang seperti mereka. Sebab, bagi kita ialah ‘yadha’ul harb’ (menghentikan peperangan) yaitu pada masa Mahdi tidak akan menghadapi peperangan.”
Selanjutnya, beliau (as) menggambarkan cara hidup para Shahabat, “Perhatikanlah semua Shahabat agung dari Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allah meridhai mereka semua – apakah mereka menggemari kehidupan yang penuh kenikmatan dan rakus dengan makanan-makanan lezat lalu dapat unggul dari orang-orang kafir?” (Mereka ingin kemudahan saja dan dapat unggul?) Tidak. Tidak demikian. Gambaran tentang mereka telah ada dalam Kitab-Kitab sebelumnya bahwa mereka bangun malam untuk beribadah dan berpuasa di siang hari. Malam-malam hari mereka penuh dengan berdzikr dan berpikir.
Bagaimana cara mereka menjalani hidupnya? Ayat-ayat al-Quran berikut melukiskan cara hidup mereka dengan mengatakan: وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ ‘Siapkanlah persenjataan dan pasukan berkuda kalian di perbatasan yang dengan itu kalian dapat menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian.’ (8:61). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ‘Hai orang-orang beriman! Bersabarlah dan berusahalah meningkatkan diri dalam kesabaran dan berjaga-jagalah serta bertakwalah.’ (3:201). (Hidup dalam kesabaran, perlihatkanlah kesabaran dan bersabarlah)
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Apa yang dimaksud dengan Ribaath? Itu ialah mengikat kuda-kuda [bersiap-siaga] di perbatasan demi menghadapi musuh. Allah Ta’ala memerintahkan para sahabat untuk bersiap-siaga menghadapi musuh. Melalui kata Ribaath ini, Dia mengalihkan perhatian mereka agar benar-benar dalam keadaan siap sedia. Mereka diberikan amanah dengan dua tugas. Pertama, menghadapi musuh dalam peperangan jasmani dan kedua adalah menghadapi musuh dalam peperangan ruhani. Dalam menghadapi secara keruhanian pun diperintahkan Ribaath yang harus dipersiapkan seseorang setiap saat.
Dalam kamus, kata Ribaath juga artinya adalah jiwa serta hati manusia. Sebenarnya merupakan hal yang halus bahwa hanya kuda-kuda yang jinak dan sudah terlatih yang dapat melakukan hal ini. Dewasa ini dalam melatih dan mendidik kuda dilakukan dengan cara seperti ini, dan cara melatih dan menjinakan kuda-kuda tersebut sama seperti mendidik anak-anak yaitu dengan memberikan perhatian dan didikan khusus. Jika mereka tidak dididik maka mereka tidak bisa dijinakkan dan tidak akan berguna sama sekali. Bahkan, bukannya untuk digunakan, kuda-kuda tersebut akhirnya malah menakutkan dan membahayakan.”
Oleh karena itu, melatih dan mendidik jiwa dan hati manusia pun merupakan suatu keharusan. Ia juga harus ada dibawah kendali dan didikan. Jadi, ribaath hanya akan terjadi ketika seorang beriman berusaha keras membuat kemajuan dalam pengetahuan dan tindakannya serta berusaha mengontrol hasrat (nafsunya).
Bagaimana keteladanan para Sahabat Nabi saw yang terlahir sebagai hasil Quwwat Qudsiyyah (kekuatan kerohanian atau daya penyucian) Nabi Muhammad saw. Saya akan menyajikan beberapa contoh keteladanan tersebut. Kita dapati keteladanan Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (ra) dalam tulisan Hadhrat Masih Mau’ud (as) bahwa beliau membawa semua barang di rumahnya untuk diserahkan kepada Hadhrat Rasulullah (saw) saat diperlukan. Kini simaklah sebuah kejadian yang memperlihatkan kerendahan hati beliau ra.
Pernah satu ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) berselisih pendapat dengan Hadhrat Umar (ra). Mereka berdua berdebat cukup lama sampai-sampai nada suara mereka berdua meninggi karena kemarahan. Hadhrat Umar (ra) marah dan berbalik meninggalkan perdebatan itu. Selang beberapa lama setelah perdebatan itu berakhir, Hadhrat Abu Bakr (ra) mendatangi Hadhrat Umar (ra) dan meminta maaf karena dalam perdebatan tersebut, beliau menggunakan kata-kata yang keras dan nada suara tinggi. Tapi Hadhrat Umar (ra) menolak permintaan maaf tersebut.
Hadhrat Abu Bakr (ra) akhirnya pergi menghadap Rasulullah (saw) menceritakan semua kejadian tersebut. Beliau ra berkata, “Wahai Rasulullah, antara saya dan putra Khattab terjadi perselisihan, saya pun segera mendatanginya untuk meminta maaf, saya memohon kepadanya agar memaafkan saya namun dia enggan memaafkanku, karena itu saya datang menghadapmu sekarang.”
Nabi saw lalu bersabda: يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr” sebanyak tiga kali. Sementara itu Hadhrat Umar (ra) mulai merasa menyesal dan malu serta menyadari kesalahannya. Beliau pun bergegas pergi ke rumah Hadhrat Abu Bakr (ra) untuk meminta maaf. Sesampainya di sana, beliau tidak menemukan Hadhrat Abu Bakr (ra) di rumah tersebut. Beliau pun akhirnya pergi menghadap Rasulullah (saw). Ketika Rasulullah (saw) melihat Hadhrat Umar (ra), wajah beliau (saw) memerah karena ketidaksukaan (kemarahan) beliau kepadanya (Umar). Melihat perubahan wajah Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr ra (merasa kasihan kepada Umar) memohon sambil duduk di atas kedua lututnya, يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ “Wahai Rasulullah! Demi Allah sebenarnya saya-lah yang bersalah. [Maafkanlah Umar!]”
Inilah kerendahan hati dan ketakutan beliau akan Tuhan. Hadhrat Umar ra pun telah menyesal dan datang untuk meminta maaf. Keduanya telah menyesal. Inilah kumpulan (Jemaat) orang-orang suci yang didirikan Rasulullah (saw), dan mereka yang hidup dalam kumpulan tersebut menjadi penerima ridha Allah Ta’ala.
Begitu pun ada peristiwa tentang kerendahan hati Hadhrat Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Satu ketika ada seseorang berkata kepada beliau bahwa beliau itu lebih baik daripada Abu Bakr (ra). Beliau pun dengan geram sambil menangis menjawab, وَاللَّهِ ، لَلَيْلَةٌ مِنْ أَبِي بَكْرٍ وَيَوْمٌ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ وَآلِ عُمَرَ “Demi Allah, malam dan siangnya Abu Bakr (ra) itu lebih baik dari pada seluruh kehidupan Umar dan anak-anaknya.”
Beliau lalu berkata, هَلْ لَكَ أَنْ أُحَدِّثَكَ بِيَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ ؟ “Maukah kuberitahukan bagaimana malam dan siang hari Abu Bakr tersebut?” Orang itu berkata, نَعَمْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ “Iya. Terangkanlah, wahai Amirul Mu-miniin!”
Beliau ra berkata, “Malamnya Abu Bakr adalah ketika Rasulullah (saw) hijrah pada malam hari beliau menemaninya. Siangnya adalah tatkala Rasulullah (saw) wafat, orang-orang Arab meninggalkan shalat dan menolak bayar zakat. Pada saat itu, bertentangan dengan nasehat saya, beliau memutuskan untuk melakukan Jihad dan Allah Ta’ala menganugerahinya kesuksesan. Hal itu membuktikan tindakan beliau itu benar.”
Lalu ada sahabat besar Rasulullah (saw) lainnya, Hadhrat Utsman radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu, yang juga merupakan Khalifah ketiga. Hadhrat Aisyah (ra) menceritakan bahwa Hadhrat Utsman merupakan orang yang sangat dalam menyambung tali silaturrahmi dan penyayang daripada siapapun, dan juga paling takut akan Allah Ta’ala.
Ketika Masjid Nabawi diperluas, Rasulullah (saw) mengatakan tentang rumah-rumah yang terkena perluasan masjid tersebut dan rumah-rumah itu perlu dibeli. Seketika itu Hadhrat Utsman (ra) melangkah maju dan mengajukan diri untuk membeli rumah-rumah tersebut, lalu menyerahkan 15.000 dirham guna membeli area tersebut.
Lalu, satu peristiwa pernah orang-orang Islam menghadapi kekurangan air. Hanya ada satu sumur milik orang Yahudi, namun sulit untuk mendapatkan air dari sana. Hadhrat Utsman (ra) pun membeli sumur itu dengan harga berapa pun yang ditetapkan orang Yahudi, kemudian beliau (ra) pun mengatur persediaan air tersebut untuk kaum Muslimin. Inilah belas kasih beliau yang begitu besar untuk saudara-saudara beliau.
Selanjutnya adalah Hadhrat Ali radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu. Pernah satu kali Amir Muawiyah meminta seseorang (Dhirar ibn Dhamrah Al-Kannani, seorang Sahabat Hadhrat Ali ra) untuk menggambarkan sifat Hadhrat Ali bin Abi Thalib (ra). [يَا ضِرَارُ, صِفْ لِي عَلِيًّا ‘Yaa Dhiraar, shif li ‘Aliyyan!’ “Wahai Dhirar, uraikanlah kepada saya sifat-sifat Ali!”] Orang itu berkata, أَعْفِنِي يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ “Maafkan saya, wahai Amirul Mu-minin?” [Benarkah Anda mau mendengarkan apa yang harus saya katakan tentang Hadhrat Ali (ra)?] (Orang itu berkata demikian karena antara Hadhrat Muawiyah dengan Hadhrat Ali ra terdapat pertentangan) Muawiyah menjawab, لَتَصِفَنَّهُ “Ya, ceritakanlah sifat-sifatnya.”
Ia lalu berkata, فَكَانَ وَاللَّهِ بَعِيدَ الْمَدَى ، شَدِيدَ الْقُوَى يَقُولُ فَصْلًا ، وَيَحْكُمُ عَدْلًا ، “Jika memang itu yang Anda inginkan maka dengarkanlah! Demi Allah! Beliau memiliki asa nan tinggi dan kekuatan yang sangat kokoh. Beliau berbicara dengan tegas dan memutuskan masalah dengan adil. يَتَفَجَّرُ الْعِلْمُ مِنْ جَوَانِبِهِ ، وَتَنْطِقُ الْحِكْمَةُ مِنْ نَوَاجِذِهِ يَسْتَوْحِشُ مِنَ الدُّنْيَا وَزَهْرَتِهَا Sumber mata air ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan mengalir pada diri beliau. Beliau sangat takut akan dunia dan kemegahannya. وَيَسْتَأْنِسُ مِنَ اللَّيْلِ وَوَحْشَتِهِ ، وَكَانَ وَاللَّهِ غَزِيرَ الْعَبْرَةِ ، طَوِيلَ الْفِكْرَةِ ، وَيُقَلِّبُ كَفَّهُ ، وَيُخَاطِبُ نَفْسَهُ Beliau suka mengasingkan diri di malam hari, yaitu beliau pada malam hari lebih suka beribadah daripada memuaskan dirinya dengan hal-hal duniawi. Beliau amat sering menangis dan merenungkan banyak hal untuk waktu yang lama.
يُعْجِبُهُ مِنَ اللِّبَاسِ مَا قَصُرَ ، وَمِنَ الطَّعَامِ مَا خَشُنَ Beliau menjalani kehidupan yang sangat sederhana. كَانَ فِينَا كَأَحَدِنَا Ketika berada di tengah kami, beliau tak ubahnya seperti kami. [يُجِيبُنَا , إِذَا سَأَلْنَاهُ ، وَيُنَبِّئُنَا , إِذَا اسْتَنْبَأْنَاهُ ، Dia menyayangi kami. Jika kami meminta sesuatu kepada beliau, akan beliau kabulkan. Dan jika kami mengundang beliau, beliau pasti datang. Beliau selalu mendekat kepada kami dan mendekatkan diri kami kepada beliau.]
وَنَحْنُ وَاللَّهِ مَعَ تَقْرِيبِهِ إِيَّانَا وَقُرْبِهِ مِنَّا Demi Allah, kami menyintai dan dekat dengan beliau. لَا نَكَادُ نُكَلِّمُهُ لِهَيْبَتِهِ ، وَلَا نَبْتَدِيهِ , لِعَظَمَتِهِ Meski demikian, karena kewibawaan beliau, di depan beliau kami tidak berani berbicara terbuka dan menghentikan apapun kata-kata beliau. يُعَظِّمُ أَهْلَ الدِّينِ , وَيُحِبُّ الْمَسَاكِينَ Beliau menghormati para agamawan dan memberi perlindungan kepada orang-orang miskin. لَا يَطْمَعُ الْقَوِيُّ فِي بَاطِلِهِ ، وَلَا يَيْأَسُ الضَّعِيفُ مِنْ عَدْلِهِ Tak ada orang kuat (kaya) yang zalim dapat berkutik di hadapannya. (Jika ada orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan hendak mengambil sesuatu secara batil karena keserakahan, Hadhrat Ali ra tidak akan memberi orang itu kesempatan untuk itu) namun, tak ada orang lemah yang putus asa akan keadilannya. Inilah pendapat saya mengenai keistimewaan beliau.” Setelah selesai mendengarnya, Muawiyah berkata, “Anda benar.” Muawiyah pun menangis.
Hadhrat Abdur-Rahman bin Auf radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah (saw) yang memiliki kedudukan tinggi dalam hal pengorbanan harta. Beliau adalah seorang pedagang yang sangat kaya dan memiliki kekayaan berlimpah. Pernah satu ketika, ada seseorang mendengar ada orang yang sedang berdoa sambil mengitari Ka’bah, اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ Allahumma qinii syuhha nafsii, waj’alnii minal muflihiin “Ya Allah! hilangkanlah dari jiwaku sifat pelit [dan jadikanlah hamba orang-orang yang beruntung].” Setelah diteliti siapa orangnya ternyata itu Hadhrat Abdur-Rahman bin Auf (ra).
Suatu saat kafilah Hadhrat Abdur-Rahman bin Auf (ra) tiba di Madinah dari Syam dengan 700 unta berisi gandum, tepung dan produk lainnya. Besarnya jumlah kafilah merupakan hal baru bagi penduduk Madinah. Mereka memenuhi tiap tempat di Madinah. Ketika kabar tersebut sampai kepada Hadhrat A’isyah (as), beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, رأيت عبد الرحمن بن عوف يدخل الجنة حبوا ‘Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan sambil merangkak.’ Hadhrat Abdur Rahman (ra) mengetahui hal ini, beliau datang menghadap Hadhrat Aisyah (ra) mengatakan, فإني أشهدك أنها بأحمالها وأقتابها وأحلاسها في سبيل الله “Saya menghadap yang mulia ummul mukminin untuk menyaksikan saya mendedikasikan seluruh caravan (kafilah) yang terdiri dari 700 unta penuh dengan barang-barang, termasuk unta-untanya, untuk diserahkan di jalan Allah.”
Seseorang pun dapat menghargai kedudukan agung Hadhrat Abdur Rahman (ra) dari sebuah kejadian berikut ini. Pernah suatu ketika beliau berdebat dengan Hadhrat Khalid (ra). Rasulullah (saw) pun bersabda: يَا خَالِدُ ، ذَرُوا لِي أَصْحَابِي ! مَتَى يُنْكَ أَنْفُ الْمَرْءِ يُنْكَى الْمَرْءُ ، وَلَوْ كَانَ أُحُدٌ ذَهَبًا تُنْفِقُهُ قِيرَاطًا قِيرَاطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، لَمْ تُدْرِكْ غَدْوَةً أَوْ رَوْحَةً مِنْ غُدُوَاتِ ، أَوْ رَوَحَاتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ “Wahai Khalid! Jangan katakan apapun pada sahabat saya ini. Seandainya sekalipun kamu memberikan emas sebesar gunung Uhud, kamu masih belum bisa sampai kepada pagi dan malamnya Abdur Rahman Bin Auf (ra) yang telah dihabiskan untuk berjihad di jalan Allah.”
Sahabat lainnya adalah Hadhrat Sa’ad bin Abi Waqas radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu. Ada peristiwa yang berkenaan dengan beliau saat beliau baru menerima Islam. Beliau berkata bahwa “Ketika saya menerima Islam, ibu saya bertanya, ‘Apa agama yang baru kamu anut sekarang? Kamu harus meninggalkan agama tersebut, jikalau tidak, aku tidak akan mau makan serta minum apapun dan akan membiarkan diriku kelaparan hingga mati. Nanti kamu akan dipanggil sebagai pembunuh ibunya sendiri.’
Saya meminta ibuku untuk tidak melakukan hal tersebut, karena bagaimanapun saya tidak akan meninggalkan agamaku ini. Namun ibu saya tidak mendengarkan saya dan selama tiga hari tiga malam beliau sama sekali tidak makan dan minum. Tubuh beliau pun menjadi lemah.
Lalu saya menemui beliau dan berkata, ‘Demi Allah, meskipun ibu memiliki 1000 nyawa dan satu per satu nyawa tersebut lepas dari tubuh ibu, saya tetap tidak akan meninggalkan agama saya.’ Ketika melihat tekad saya yang tak tergoyahkan, ibu saya pun mulai makan dan minum.”
Allah Ta’ala menganjurkan kita supaya kita patuh kepada kedua orang tua serta mengkhidmati mereka, namun tatkala kedua orang tua mendesak untuk menentang agama dan bermaksiat kepada Tuhan, maka janganlah menaati mereka dan taatlah pada firman Tuhan.
Hadhrat Aisyah meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw baru tiba di Madinah, selama beberapa malam selalu berjaga di waktu malam dan sulit untuk tidur. Pada pada suatu malam, beliau saw bersabda, لَيْتَ رَجُلاً صَالِحًا مِنْ أَصْحَابِي يَحْرُسُنِي اللَّيْلَةَ “Seandainya ada orang saleh dari sahabatku yang sudi menjagaku malam ini.” Malam-malam itu ialah malam yang mencemaskan dan beliau saw ingin beristirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara dentingan senjata.
“Siapa ini?,” tanya Nabi saw. Lelaki itu menjawab, “Sa’ad bin Abi Waqqash. Saya wahai Rasulullah saw. Saya datang kemari guna menjaga Anda.” Nabi saw pun mendoakan kebaikan untuknya, kemudian beliau tidur dengan lelap.
Hadhrat Zubair bin Awwam radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah (saw) yang begitu larut akan ketakutannya kepada Allah. Beliau (ra) senantiasa takut melakukan sesuatu, karena takut tidak bisa beliau pertanggungjawabkan nantinya di hadapan Allah Ta’ala. Suatu hari putranya (Abdullah ibn az-Zubair) bertanya kepada beliau ra [Zubair bin Al Awwam], مَا لَكَ لَا تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Ayah! Kenapa tidak banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau ra menjawab; مَا فَارَقْتُهُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَكِنِّي سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً سَمِعْتُهُ يَقُولُ “Ayah tidak berpisah dari beliau saw sejak masuk Islam, (Ayah banyak menyertai Nabi saw dan banyak mendengar sabda-sabda beliau. Ayah juga punya banyak Hadits beliau saw) tetapi Ayah takut peringatan beliau saw. Ayah mendengar secara langsung dari beliau saw satu kalimat: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ “Siapa berdusta atas nama saya maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”
Beliau (ra) seorang yang gagah berani. Ketika pengepungan benteng (Babylon) dekat Alexandria (di Mesir) berlarut-larut [tidak juga benteng itu dikuasai], beliau mencoba untuk memanjat tembok benteng tersebut dengan menggunakan tangga. Para sahabat memperingatkan beliau tentang wabah penyakit yang ada di dalam benteng tersebut. Beliau menjawab: “Tidak masalah, kita di sini juga sedang bertempur melawan ribuan tombak dan wabah.”
Beliau sangat kaya dan mengorbankan sebagian hartanya demi Allah Ta’ala.
Kemudian sahabat lainnya yang bernama Hadhrat Talhah bin Ubaidillah radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu. Beliau (ra) juga merupakan sahabat yang kaya raya dan membelanjakan hartanya untuk berkorban di jalan Allah Ta’ala. Pada suatu waktu beliau ra membeli properti milik Utsman ra seharga 700.000 dirham dan mempersembahkannya di jalan Allah.
Hadhrat Thalhah ra amat istimewa dalam akhlak menyambut tamu. Pada suatu hari datang 3 orang dari sebuah Kabilah kepada Nabi Muhammad saw dan mereka masuk Islam. Mereka amat miskin dan kesusahan. Nabi saw mengatakan kepada para Sahabatnya perihal tanggungjawab menanggung mereka. Thalhah pun mengajukan diri menyambut tamu itu dengan gembira. Hadhrat Thalhah mengajak mereka dan menempatkan mereka di satu rumah terpisah milik beliau sendiri. Beliau memperlakukan mereka dengan penuh hormat sampai-sampai beliau ra menjadikan mereka sebagai orang-orang yang ditanggung penghidupannya seperti anggota keluarga. Akhirnya, maut-lah yang memisahkan mereka.
Hadhrat Thalhah ra amat gemar dengan persahabatan dan persaudaraan. Seorang Sahabat, Ka’ab bin Malik mendapat hukuman boikot (tidak boleh diajak bicara) selama beberapa waktu karena kesalahannya tidak hadir dalam ekspedisi Tabuk. Ketika Nabi saw mengumumkan pengampunan baginya sesuai perintah Allah, Ka’ab pun menghadiri Majlis Rasulullah saw. Begitu memasuki masjid, Thalhah bin Ubaidillah segera bangkit dan berlari kecil menyambutnya, memberi salam dan mengucapkan selamat. Sikap Thalhah yang sangat antusias ini begitu mengesankan di hati Ka’ab sehingga ia tidak akan pernah melupakannya. Ia selalu menyebut-nyebutkannya dan berkata, “Belum pernah saya lihat kegembiraan yang tampak sebagaimana yang ditampakkan oleh Thalhah.”
Salah satu sifat istimewa beliau adalah yang berkenaan dengan membina hubungan tali pernikahan, istri beliau (Ummu Aban binti Utbah) mengisahkan hal ini: “Talhah (ra) pulang ke rumah dengan raut wajah gembira dan penuh senyum. Beliau orang yang sangat sibuk, namun tidak pernah pulang dengan raut wajah sedemikian rupa hingga membuat takut seisi rumah. Beliau pasti pulang ke rumah dengan suasana gembira dan penuh kebahagiaan, dan pergi dengan cara yang sama. Beliau senantiasa memperlakukan anggota keluarganya dengan begitu baik dan sopan. Suasana hati beliau tidak pernah berubah baik saat tiba di rumah maupun saat hendak pergi.
Jika saya meminta sesuatu apapun, beliau tidak pernah menunjukan keberatan (kikir) dan selalu memberikannya. Beliau juga memberikan sesuatu kendati saya tidak meminta apa-apa, dan sama sekali tidak menuntut dan mempertanyakannya.”
Jadi, inilah hal pokok penting yang membangkitkan keharmonisan dan ketentraman dalam perkawinan dan juga dalam memperkuat hubungan perkawinan. Oleh karena itu, Sahabat Nabi saw ini harus menjadi model yang harus diikuti.
Sebuah peristiwa tentang ketaatan seorang sahabat bernama Hadhrat Abdullah bin Mas’ud radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu kepada Khalifah. Dikisahkan bahwa Hadhrat Umar (ra) menunjuk beliau untuk memberikan pengajaran dan pendidikan kepada orang-orang Kufah. Hadhrat Khalifah Umar ra menulis surat kepada masyarakat Kufah, “Saya telah mengutamakan kalian dibanding diri saya sendiri dalam hal Abdullah bin Mas’ud (ra).” Itu artinya, “Saya telah mengirim Abdullah bin Mas’ud (ra) kepada kalian untuk menarbiyati kalian padahal saya masih memerlukannya di Madinah.”
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra) menempati kedudukan yang tinggi sekali. Hadhrat Khalifah Utsman ra juga menjaga kedudukan beliau ini bahkan menjadikan beliau ra sebagai Amir dan Wali (gubernur) atas Kufah, Hakim dalam pengadilan Darul Qadha dan juga pengurus Baitul Maal.
Pada saat kekhalifahan Utsman bin Affan (ra) ini, masyarakat Kufah membuat kerusuhan dan menciptakan banyak sekali masalah. Untuk sesuatu hikmah kebijaksanaan tersendiri, Hadhrat Utsman (ra) mencopotnya dari kedudukan sebagai Amir dan memintanya kembali ke Madinah dan tinggal di sana. Tapi, masyarakat Kufah memohon kepada beliau (ra), أَقِمْ وَلا تَخْرُجْ ، وَنَحْنُ نَمْنَعُكَ أَنْ يَصِلَ إِلَيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ مِنْهُ “Tetap tinggallah bersama kami dan janganlah pergi…” Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra) menjawab, إِنَّ لَهُ عَلَيَّ طَاعَةً ، وَأَنَّهَا سَتَكُونُ أُمُورٌ وَفِتَنٌ ، لا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلُ مَنْ فَتَحَهَا . فر الناس ، وخرج إِلَيْهِ “ . “Ketaatan [terhadap Khalifah] merupakan kewajiban saya. Tidak mungkin bagi saya untuk membuka pintu fitnah dengan membangkang keputusan Khalifah.” Beliau tetap kembali ke Madinah.
Berkenaan dengan Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra), salah seorang perawi mengatakan, “Saya telah banyak menghadiri majelis para sahabat namun Abdullah bin Mas’ud (ra) tidak ada bandingannya dalam hal melepaskan diri dari duniawi dan mengikatkan dirinya dengan akhirat. Beliau juga amat menyenangi kebersihan secara lahiriah. Meski beliau seorang yang Zahid (menyukai kebersahajaan) tapi salah seorang pembantu beliau meriwayatkan bahwa beliau mengenakan pakaian yang paling putih cemerlang dan memakai harum-haruman yang paling wangi.
Hadhrat Thalhah meriwayatkan bahwa tubuh beliau ra demikian rupa mengeluarkan harum semerbak sehingga dalam kegelapan pun orang-orang tahu beliau (Hadhrat Abdullah bin Mas’ud ra) telah datang dikarenakan keharuman tersebut. Jadi beliau sedemikian rupa memanfaatkan benda-benda duniawi namun beliau sama sekali tidak terlalu terikat dan bergantung kepada benda-benda tersebut.
Lalu ambillah keteladanan Hadhrat Bilal radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu yang mengalami segala jenis kesulitan, namun beliau selalu memproklamirkan keesaan Tuhan. Beliau diseret dan ditarik diatas bebatuan dan pasir yang panas, namun kendati demikian beliau tetap teguh pada keimanannya, dan selalu mengulangi kata-kata, “Ahad! Ahad!” (Yang Satu! Yang Satu!) dan “Tidak ada sesuatu pun yang disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.”
Kemudian, Hadhrat Sa’ad bin Mu’adz radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu yang merupakan sahabat dari kalangan Anshar (Madinah). Ketika mewakili kaum Anshar dalam perang Badr, ucapan beliau benar-benar memenuhi harapan Hadhrat Rasulullah (saw) dengan mengatakan: فَقَدْ آمَنَّا بِكَ وَصَدَّقْنَاكَ ، وَشَهِدْنَا أَنَّ مَا جِئْتَ بِهِ هُوَ الْحَقُّ ، وَأَعْطَيْنَاكَ عَلَى ذَلِكَ عُهُودَنَا وَمَوَاثِيقَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada Anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang Anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami bahwa kami senantiasa mendengarkan kata-kata Anda dan menaatinya.”
فَامْضِ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، لِمَا أَرَدْتَ ، فَوَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ ، إِنِ اسْتَعْرَضْتَ بِنَا هَذَا الْبَحْرَ فَخُضْتَهُ لَخُضْنَاهُ مَعَكَ ، مَا تَخَلَّفَ مِنَّا رَجُلٌ وَاحِدٌ ، “Maka, laksanakanlah terus ya Rasulullah apa yang Anda inginkan, dan kami akan selalu bersama Anda. Dan, demi Allah yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, seandainya Anda mengadapkan kami ke lautan ini, lalu Anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun dari kami yang akan mundur..”
وَمَا نَكْرَهُ أَنْ تَلْقَى بِنَا عَدُوَّنَا غَدًا . إِنَّا لَصُبُرٌ عِنْدَ الْحَرْبِ ، صُدْقٌ عِنْدَ اللِّقَاءِ ، لَعَلَّ اللَّهَ يُرِيكَ مِنَّا مَا تَقَرُّ بِهِ عَيْنُكَ ، فَسِرْ بِنَا عَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ “Dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi. Sungguh kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Kami yakin betul bahwa Allah akan perlihatkan kepada Anda tindakan dari kami yang membuat mata Anda takjub. Perintahkanlah kami, wahai Rasul Allah! Niscaya kami akan pergi ke tempat mana pun Anda pergi.”
Jadi inilah orang-orang yang memenuhi janji (ikrar baiat) mereka, yang menegakan keteladanan luhur mereka, sehingga Allah Ta’ala pun ridha atas mereka. Saya hanya menyajikan beberapa contoh keteladanan para sahabat, namun sejarah dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Inilah orang-orang yang layak kita ikuti.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengatakan: “Falaah (keberhasilan) sama sekali tidak mungkin tercapai jika meninggalkan al-Quranul karim. Mencapai keberhasilan dengan cara demikian ialah perkara khayal. Tempatkanlah keteladanan para sahabat di hadapan kalian sebagai pedoman; ketika mereka menaati Hadhrat Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam dan memilih keimanan (agama) diatas seluruh benda duniawi maka Allah Ta’ala akan memenuhi segala yang dijanjikan-Nya kepada mereka.
Memang benar, para penentang biasa mengolok-olok mereka sejak awal sampai-sampai mereka tidak mampu keluar rumah dengan aman dan bebas. Meski demikian, mereka mendakwakan diri akan menjadi raja-raja. Hal yang sebenarnya, mereka meraih kefanaan dalam menaati Rasulullah saw. Sesuatu hal yang tidak pernah dicapai sejak masa yang panjang.
Mereka menyintai Al-Qur’an dan Hadhrat Rasulullah saw serta berusaha menaati keduanya siang dan malam. Mereka tidak pernah mengikuti orang-orang kafir baik secara ikut-ikutan maupun adat kebiasaan. (Mereka membuang seluruhnya apa-apa yang biasa dilakukan kaum ingkar) Ketika mereka beriman, mereka mulai melakukan ajaran-ajaran Islam saja. Selama Islam dalam keadaan begini, Islam akan tetap berkemajuan. ”
Di tempat lain, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menguraikan fadhail (keutamaan-keutamaan) para Sahabat Nabi saw: “Para Sahabat itu tulus lagi patuh kepada Rasulullah saw hingga ke tingkat tidak ditemukan bandingannya dalam pengikut Nabi mana pun. Mereka melaksanakan perintah-perintah Allah sampai-sampai Al-Qur’an pun menyanjung mereka. Saat minuman keras diharamkan, mereka memecah dan menghancurkan air-air minuman keras di tempat-tempatnya sehingga air minuman keras mengalir di jalan-jalan. Mereka tidak lagi melakukan hal itu bahkan memusuhi minuman keras secara ketat.
Perhatikanlah keteguhan dan kekokohan langkah mereka dalam ketaatan ini! Keikhlasan, kecintaan dan kebagusan keyakinan yang mereka patuhkan kepada Hadhrat Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tidak ditemukan bandingannya di kalangan selain mereka. Hal ini jelas dari peristiwa-peristiwa dalam kaum Musa ‘alaihis salaam. Mereka malah ingin merajam beliau (as) lebih dari sekali. Adapun para Hawari (murid) Isa (Yesus) ‘alaihis salaam lemah dalam keyakinan sampai-sampai orang-orang Masehi (Kristen) pun mengakui sendiri akan hal itu.
Dalam Injil disebutkan bahwa Isa menyebut murid-muridnya sebagai lemah iman. Mereka mengkhianati guru mereka. Mereka merendahkannya pada masa tengah kesusahan. Salah seorang dari mereka menyebabkan beliau ditangkap. Seorang yang lain menolak beliau dan bahkan mengutuknya. Namun, para Sahabat ridhwanuLlahi ‘alaihim ialah orang-orang yang taat lagi setia kepada Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sampai-sampai Allah Ta’ala bersaksi bahwa mereka tidak pernah berkurang dalam pengorbanan jiwa di jalan Allah. Mereka memperelok diri dengan setiap sifat keimanan seperti ibadah, zuhd, dermawan, keberanian, keikhlasan dan syarat-syarat keimanan ini tidak terdapat dalam bangsa lain mana pun.”
Lebih jauh Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Contoh intensitas ujian dan kesulitan yang dialami oleh para sahabat pada masa awal Islam tidak ditemukan dalam sejarah bangsa-bangsa lainnya. Para pemberani ini mengalami semua kesulitan, namun tidak pernah meninggalkan Islam. Ketika penganiayaan telah mencapai batasnya, mereka pun akhirnya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan hijrah bersama dengan Rasulullah (saw). Ketika kejahatan orang-orang kafir telah melampaui batas, mereka mengunci nasib mereka dan Allah Ta’ala menunjuk para sahabat ini untuk menghukum para pembuat onar tersebut (orang kafir Qurasiy). Sehingga, mereka yang sebelumnya menghabiskan malam dengan beribadah di Masjid, yang jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kelengkapan bertempur terpaksa masuk ke medan pertempuran guna menghentikan serangan lawan. Peperangan-peperangan yang Islami ialah yang bersifat guna mempertahankan diri.”
Kemudian di tempat lain, Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menulis secara singkat: “Jika seseorang mempelajari zaman Hadhrat Rasulullah (saw) dan para sahabat yang mulia, akan dia ketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lurus lagi sederhana, layaknya sebuah bejana yang menjadi bersih setelah dipoles. Demikian pula hati mereka karena mereka dipenuhi cahaya-cahaya kalam Ilahi dan sepenuhnya terbebas dari nafsu jasmani. Intinya, ini adalah perwujudan sebenarnya pernyataan: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ‘Sungguh beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya.’” [Asy-Syams, 91:10]
Jika seseorang menjadi murni seperti demikian dan menerangi diri mereka sendiri seperti bejana yang dipoles dan berkilau, maka Tuhan akan meletakkan makanan-makanan kenikmatan di dalam bejana itu [akan ditanamkan kepadanya untuk mendapatkan faedah dari keberkatan yang dianugerahkan Allah Ta’ala]. Namun, seberapa mampu dan seberapa banyak orang-orang yang demikian dan menjadi perwujudan sejati ayat قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ‘Sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya.’” [Asy-Syams, 91:10]
Maka dari itu, kita harus berusaha untuk mereformasi diri kita sendiri dan menjaga agar bejana [keruhanian] kita bersih; dan karena kita telah menerima Hadhrat Masih Mau’ud (as), Imam zaman ini, dan pecinta sejati Rasulullah (saw) maka kita harus berusaha mengamalkan semua ajaran yang telah disampaikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as). Telah diketahui bahwa sejak awal Rasulullah (saw) telah menyajikan sunnah beliau dan memperlihatkan suri teladan kepada kita dan setelah itu para sahabat beliau (saw) juga demikian. Hanya dengan mengikuti contoh-contoh tersebut kita bisa menjadi Muslim sejati. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita taufiq tersebut – memungkinkan kita untuk melakukannya. [aamiin]