Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 14 Desember 2007/Aman 1386 HS di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Hari ini saya hendak jelaskan mengenai salah satu sifat Allah Ta’ala yang semua kehidupan ini bermuara dari sifat tersebut bahwa seluruh dunia ini terwarnai oleh sifat tersebut dan sifat Allah Ta’ala yang ini merupakan mazhar haqiqi/ bayangan sejati yang mana semua manusia banyak terwarnai dengannya serta tidak akan melebihi pengaruh sifat itu, sehingga akan mengingatkan kita oleh sifat “hakim” yang ditampilkan oleh Yang Mulia Khaatamul Anbiyya Muhammad Mushtafa saw. Itulah wujud kecintaan Allah Ta’ala yang dengannya Dia menjadikannya seorang Nabi di langit dan di bumi. sehingga Allah Ta’ala dan para malaikat menyayanginya.
Jadi sedemikian berkahnya kedudukan dan kalimat beliau saw bagi pandangan seorang mu-min yang menaruh perhatian atas hal ini. Hal ini menjadi salah satu yang penting sebagai ta’lim dan hikmah untuk tazkiyah nafs (pensucian jiwa), sebagaimana Allah Ta’ala telah menasehatkannya kepada kita di dalam Al-Quran Karim. Allah Ta’ala telah berfirman sebagai berikut: كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ “Sebagaimana telah Kami utus di dalam kalangan kalian seorang Rasul dari antara kalian yang membacakan Ayat-ayat Kami kepada kalian, menyucikan kalian dan mengajar kamu Kitab dan Hikmah serta mengajar kalian apa yang tidak kalian ketahui sebelumnya.” (Surah al-Baqarah; 2:152)
Kedua, beliau saw memberikan contoh pelaksanaan muamalah (pengamalan) setelah memaparkan hukum, perkataan dan nasehat kepada kaumnya, sehingga setiap hal, setiap amal, setiap nasehat, setiap kalimah, setiap lafaz beliau saw merupakan peraturan. Pada dasarnya setiap ucapan, perbuatan dan nasehat beliau saw adalah ajaran dari Al-Quran Karim itu sendiri, tafsirnya telah diuraikan dengan setiap “qaul dan fi’il” (Ucapan dan perbuatan) beliau saw. Jadi itulah uswah hasanah (suri teladan terbaik) yang telah Allah Ta’ala ciptakan sebagai pedoman terhadap setiap ucapan dan perbuatan kita semua. Setelah hal ini berupaya kita lakukan maka hikmah dan firasat dapatlah terbangun. يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا Yatlu ‘alaikum aayaatinaa setelah Allah Ta’ala mengajarkan kebenaran padanya maka “Dia menyucikannya sehingga Dia menjadikannya sebagai Nabi untuk memberikan faedah kepada kamu sekalian serta juga memperdengarkan hikmah kepada kamu semua” atau beliau memperdengarkan kalam asli ataupun murni.
Oleh karena itu, tidak masalah yang sekedarnya oleh Nabi yang kamu harus memahami maksud dan hikmahnya yang tadinya belum ada pengetahuan. Dan kemudian Nabi tidak hanya memerintahkan kamu sekalian, “kerjakan ini atau jangan lakukan itu”, tidak hanya memberi nasehat bahkan juga meneladani dengan amal perbuatan juga. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menetapkan bahwa Nabi kecintaan-Nya Yang Mulia Rasulullah saw sebagai uswah hasanah. Jadi hendaknya setiap mu-min memahami segala hal yang berkaitan dengan Yang Mulia Rasulullah saw dan hendaknya menaruh perhatian terhadapnya. Seandaianya tidak mengerti secara tepat sekalipun maka sesungguhnya akan membawa hikmah dan faedah bagi keimanan. Hal ini perlu diperhatikan sehingga seorang mu-min memiliki ciri khas ingin mendekati sunnah ini.
Sekarang saya hendak mempersembahkan sebagian hadits yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut yang beliau saw telah nasehatkan untuk menjadi tarbiyat amal perbuatan kita. Pertama, yang perlu saya persembahkan adalah hadits berikut ini. Beliau saw bersabda: “ الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُمَا وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا ” Al-kalimatul hikmatu dhollaatul mu-mini haitsu maa wajadahaa fa huwa ahaqqu biha [1] Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Hurairah ra , Hadhrat Rasulullah saw bersabda: “Kalimat hikmah dan kebijaksanaan merupakan sesuatu hilang milik seorang mu-min sehingga di mana pun dia mendapatkan, dia lebih berhak atasnya.”
Di dalamnya dimana nasehat ini yang beliau tekankan bahwa dimanapun juga dapatlah ditemukan hal hikmah meskipun pada golongan lain sekalipun, dari orang asing, dari anak-anak, dari khayalan orang jahil sekalipun, dari kisah-kisah sedih, tetapi lihatlah apa hal itu? Jika memang hikmah itu ada maka mengapa kamu sekalian harus mempertimbangkan kebenarannya. Jika ia berasal dari ketakaburan perlu tidak untuk ditolak atau tidak usah dipahami sehingga hanya mengatakan “saya mengerti atau mengerti semua,” bahkan perlu perhatian maka bersiap-siaplah untuk itu.
Sekarang perhatikanlah! Telah dikatakan bahwa hikmah juga ditemukan dari kalangan anak-anak yang menjawab dari perkataan para sesepuh. Terdapat kesempatan terhadap lalu lalangnya anak-anak maka sesepuh berkata: “Wahai Nak! Berhati-hatilah dalam berjalan supaya tidak tergelincir jatuh.” Anak kecil itu berkata: احْذَرْ أَنْتَ السُّقُوطَ “Andalah yang harus berhati-hati supaya jangan jatuh, wahai Tuan. Anda pemimpin kaum/bangsa. Anda seorang Imam, bahkan dikenal Imam Besar/pemimpin rohani. فَإِنَّ فِي سُقُوطِ الْعَالِمِ سُقُوطُ الْعَالَمِ fainna fi suquuthil ‘aalimi suquuthul ‘aalam. Jika seorang pemimpin jatuh tergelincir [dalam dosa dan kesalahan amal perilaku atau pendapat] maka seluruh alam/bangsa/kaum/Jemaat akan berada dalam keadaan tergelincir, jatuh karena berpengaruhnya kejatuhan seorang pemimpin.”[2] Jadi terdapat satu hal hikmah yang besar yang keluar dari mulut seorang anak-anak. Saya ajak untuk memperhatikan dari sisi lain, bahwa seorang mu-min merupakan kumpulan dari kesia-siaan ketika berupaya mencari hal-hal hikmah. Jika kita melewati kehidupan dengan cermat maka kita akan dapat banyak menemukan kesia-siaan dan hal yang tak berguna.
Kemudian Yang Mulia Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Abdullah bin Mas’ud dengan sabdanya: “ لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ، فَهْوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا ”. “Kerusakan boleh terjadi berkaitan dengan dua orang. Satu orang yang telah Allah Ta’ala anugerahi dengan harta dan dia senantiasa banyak melakukan transaksi berbagai pengeluaran sedangkan seseorang yang lain telah Allah Ta’ala anugerahi dengan hikmah maka dengan demikian dia selalu memperoleh keuntungan darinya, sehingga dua orang tersebut saling melenyapkan satu sama lain.” [3]
“Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain”.
Di dalamnya merupakan tanggung jawab bagi para mu-min, ini juga merupakan sebuah tugas bahwa hendaknya menyebarkan hikmah ke depannya. Berjuanglah untuk mencapai hasil ini, sehingga kamu sekalian tidak tertolak. Jika ada seseorang yang memiliki hal hikmah dan ilmu, maka inilah tanda seorang mu-min bahwa ke depannya hendaknya disebarluaskan sehingga hikmah dan firasat berdiri dengan terorganisir. Saya menghendaki adanya berbagai majlis yang di dalamnya membicarakan hal-hal hikmah, yang mana Hadhrat Rasulullah saw menamakannya dengan “Ni’mal Majlis” (Majlis yang paling nikmat).
‘Aun bin Abdullah menerangkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Majlis yang besar itu seperti apa? Yakni yang di dalamnya disiarkan berkenaan hal-hal hikmah.” Ini adalah jalan yang besar dari Hadhrat Rasulullah saw, namun tidak ada riwayat. Tetapi beliau mendengar hal ini dan bersabda: نِعْمَ الْمَجْلِسُ مَجْلِسٌ يُنْشَرُ فِيهِ الْحِكْمَةُ وَتُرْجَى فِيهِ الرَّحْمَةُ. “Majlis yang agung itu seperti apa? Ialah yang di dalamnya disiarkan berkenaan hal-hal hikmah dan di dalamnya terdapat pengharapan rahmat-Nya.”[4]
Maka dari itu, tingkat kualitas majelis-majelis kita hendaknya yang seperti inilah dan ini juga merupakan perintah Allah Ta’ala yakni jauhilah majelis-majelis yang sia-sia. Tinggalkan juga majlis-majlis yang membicarakan penentangan/keberatan terhadap agama secara salah. Majelis yang sedang memaparkan uraian menolak agama. Majelis yang membahas terkait Zat Allah secara berlebihan. Merupakan hal yang tepat untuk duduk-duduk dalam majelis pertemuan yang demikian jika dalam diri kalian terdapat ilmu pengetahuan mengenai hal yang dibahas sehingga bisa memberi pengertian dan untuk memberi manfaat dan kebaikan pada orang-orang atau ada tokoh cendikia yang untuk memberikan pemahaman terhadap orang-orang seperti itu, namun, jika menyaksikan orang-orang di dalam majelis itu bersikap keras menentang dan tidak mau mengerti maka juga merupakan perintah Allah Ta’ala supaya kita angkat kaki meninggalkan majelis yang seperti itu. Sebab, para malaikat juga melaknat majlis yang seperti itu. Dan seorang mu-min hendaknya mencari majelis pertemuan yang didalamnya dibahas mengenai hal-hal yang mengandung hikmah.
Hadhrat Abdullah Ibnu Abbas saw menerangkan, “Suatu kali [saat masih anak-anak] Rasulullah saw memelukku seraya berdoa untukku, ”اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ ” ‘Allahumma ‘allimhul hikmah’ ‘Ya Allah! anugerahkan hikmah kepadanya.’ dua kali.”[5] Menurut pandangan beliau saw betapa pentingnya hal itu. Ini merupakan hadiah besar bahwa beliau saw telah mendoakanku (Ibn Abbas).
Selanjutnya, berkaitan dengan masalah ilmu dan hikmah Yang Mulia Rasulullah saw mengingatkan kepada kita yang rangkaian riwayatnya sangat banyak perihal para tawanan perang, yaitu Hudhur saw memberi pilihan kepada para tawanan perang: “Jika sepuluh anak kaum Anshar, kalian ajarkan baca-tulis maka kalian bisa bebas. Oleh karena itu, kita anak-anak dengan jumlah itu telah diajari baca-tulis oleh mereka, maka mereka dibebaskan.” [6] Inilah pentingnya ilmu dalam pandangan beliau saw.
Salah satu makna hikmah itu ialah ilmu pengetahuan juga karena ilmu itu menjadi penyebab adanya cahaya (mencerahkan) bagi pemikiran/otak. Kebodohan adalah kegelapan dan kebodohan diakhiri dengan datangnya ilmu. Hadhrat Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hikmah itu akan memberikan sinarnya pada kepala maka dengan demikian akan memberikan harapan yang terbaik pada pesan Islam. Jika strategi dakwah Hadhrat Rasulullah saw mendapatkan tuduhan dari sekarang hingga yang akan datang, bahwa na’uudzubillaah menggunakan pedang dalam mendakwahkan kebenaran kepada dunia maka jangan-jangan beliau saw tidak memberikan hukum ini yakni mengajarkan kepada banyak anak mengenai baca tulis setelah membebaskan dari belenggu perbudakan. Bahkan di setiap tempat hal inilah dilakukan, yakni jika ada tawanan perang yang tidak bisa membayar denda, atau jika ada tahanan yang berkelahi dilerai sehingga rukun dan bahagia, maka dibebaskan sehingga merdeka. Tetapi beliau saw senantiasa mengajak umatnya untuk memperhatikan ilmu dan hikmah.
Jadi kita harus ingat bahwa pada zaman ini kemenangan kita melalui ilmu dan hikmah juga. Gunakan hikmah sedemikian rupa untuk keperluan pertablighan. Oleh karena itu hendaknya memperhatikan juga terhadap hal penelaahan ilmu/ muthola’ah. Mengenai hal ini juga Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita lewat firman-Nya dalam Al-Qur’an Karim sebagai berikut: ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ “Ajaklah kepada jalan Tuhan engkau dengan hikmah, nasehat yang baik dan dialoglah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau Dia yang mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga yang mengetahui terhadap siapa saja yang mendapatkan petunjuk.” (Qs An Nahl 16: 126) Jadi inilah pedoman bagi para pelaku pertablighan yakni menyampaikan dalam berbagai kesempatan dengan hikmah. Selebihnya adalah tentu dengan ilmu yang benar juga yaitu menjawab dengan dalil yang shahih dan dalil-dalil yang mengena serta jangan berdebat.
Orang mu-min beraksi dengan hikmah dan firasat dan selalu mengutamakan keilmuan. Jika diamati dalam bagian tertentu maka sedemikian rupa sebagaimana telah saya katakan, inilah hikmah yakni datangilah majlis yang demikian itu dan ini juga merupakan perintah Allah Ta’ala atau bahaslah secara tuntas sehingga sampai kepada dalil bagian yang lain serta sampai siap dengan masalah hikmah. Dan dengan begitu secara umum akan terbangun suasana pertablighan yang mudah didengar dan dicerna. Ini bagian yang lainnya yaitu hidayah, inilah hal yang tidak kita ketahui kecuali hanya Allah Ta’ala saja. Tugas kita adalah menyampaikan pesan-pesan hikmah tersebut secara berkesinambungan.
Terdapat sebuah hadits yang pernah kita baca, kita dengar tentang perbedaan pandangan. Ali bin Husein meriwayatkan bahwa Hadhrat Shafiyah ra istri suci Yang Mulia Rasulullah saw menceritakan dia berjumpa Hadhrat Rasulullah saw yang sedang beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada suatu malam beliau memberikan nasehat cukup lama dan setelah itu kembali. Dia meninggalkan Hadhrat Rasulullah saw hingga di depan pintu. Setelah dia sampai di pintu masjid yang bersebelahan dengan kamar Hadhrat Ummu Salamah ra, melintas dua orang lelaki dari kaum Anshar dan Hadhrat Rasulullah saw dengan suara nyaring mengucapkan salam. Seketika itu juga Hadhrat Rasulullah saw bersabda: “Ini Shafiyah binti Huyyai.” Mereka yakni dua orang laki-laki itu menjawab: “Subhanallaah! Yaa Rasulallah!” Hal sapaan ini membuat dua orang laki-laki ini kaget. Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya syaitan bersemayam dalam aliran darah jasad kita. Saya mengkhawatirkan supaya jangan ada prasangka buruk di hati kalian.”[7]
Sekarang perhatikanlah, beliau saw mengajarkan hikmah supaya terhindar dari prasangka buruk. Ini adalah sebuah pelajaran yakni hendaknya senantiasa berusaha menghindarkan bahaya satu sama lain. Jika ada seseorang terdapat celah keburukan yakni adanya gejala prasangka buruk maka hendaknya yang lain berusaha untuk mencegahnya. Hendaknya secara khusus memberikan perhatian juga terhadap handai taulan, dari hubungan semacam ini jangan sampai mengesampingkan masalah harkat sedemikian rupa. Tidak harus untuk menjaga hal ini secara berlebihan yang terpenting adalah berusaha menjaga dengan baik dan wajar serta memperhatikan berbagai batasan, terutama mengawasi gerak-gerik anak dan menekankan pendidikan keimanan terhadapnya.
Allah Ta’ala telah memberikan ajaran jika hendak memasuki rumah satu sama lain. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ () “Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (Qs An Nur (24): 28). Ini merupakan hikmah yang besar dan ajaran yang mengutamakan akhlak mulia.
Terdapat satu riwayat, Hadhrat Sahal ra bin Saad menerangkan bahwa seseorang pernah mengintip melalui lubang kamar Hadhrat Rasulullah saw tatkala Nabi Karim saw sedang diusap-usap kepala beliau saw atau disisir. Maka beliau saw bersabda: ” لَوْ أَعْلَمُ أَنْ تَنْتَظِرَنِي لَطَعَنْتُ بِهِ فِي عَيْنَيْكَ ”. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّمَا جُعِلَ الإِذْنُ مِنْ قِبَلِ الْبَصَرِ ”. “Jika aku tahu kalau aku sedang diintip maka aku cungkil mata engkau dengan sisir ini.” Kemudian bersabda: “Oleh karena itulah perhatikan telah ada ajaran yang menyatakan hendaknya meminta izin apabila ingin memasuki rumah salah seorang diantara kamu.” [8]
Hal ini tidaklah menyangkut masalah kesabaran bahwa meskipun beliau saw bertugas untuk senantiasa menegakkan akhlak yang tinggi dan hal mana beliau saw selalu bertindak untuk menebarkan ajaran hikmah, sementara ada juga seseorang yang mundur dari kemajuan karenanya. Beliau saw menasehatkan supaya bertindak dan bersikap tegas terhadap pelaku pengintipan dan menyatakan dengan kata-kata yang jelas bahwa “Jika aku mengetahuinya maka akan aku cungkil mata engkau.”
Kemudian satu lagi perintah Allah Ta’ala, bahwa seorang mu-min senantiasa menatap masa depan. Tetapi sebagian orang memahaminya dengan salah, dan sebab itulah Allah Ta’ala telah berfirman kepada mereka yang tidak berbuat dan karena itu pada zaman Hadhrat Rasulullah saw sesekali menanyakan kepada orang-orang yang tidak bekerja. Padahal inilah yang menjadi kelemahan dari hikmah. Atas sebab-sebab itu juga Allah Ta’ala berfirman bahwa mereka harus bekerja. Maka tatkala ada seorang bertanya dengan sedemikian rupa, seseorang itu menjawab ketika Hadhrat Rasulullah saw menanyakan soal ini yakni يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ “Apakah saya termasuk orang yang tawakal kepada Tuhan apabila saya mengikat unta saya dengan baik, atau saya meninggalkan unta itu dan saya bertawakal saja kepada Tuhan?” maka Hadhrat Rasul Karim saw bersabda: “ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ ” “A’qilha wa tawakkal — Ikatlah unta dengan betul dan bertawakallah!” [9]
Kemudian dalam masyarakat luas, hikmah penuh dari beliau saw lah sebagai hakimnya. Semua orang mengetahui bagaimana peristiwa yang terjadi dalam perang Uhud yakni saat kondisi kaum Muslim kacau dikarenakan mereka kurang menaati satu hikmah Hadhrat Rasulullah saw dan sampai Hadhrat Rasulullah saw sendiri secara jasmaniyah terluka, gigi beliau terlihat.
Setelah perang, orang-orang Muslim seolah menyatakan perang tersebut sebagai perang yang tidak berhasil, tetapi hal itu sebagai pupuk penyemangat kemenangan. Selain itu, ketika perang sudah selesai, orang-orang Muslim banyak mengalami luka berdarah dan keletihan karenanya. Maka pada perang Uhud di hari berikutnya ketika Rasulullah saw sampai di lembah Madinah maka Rasul Karim saw menemui kelompok ini, menyatakan bahwa kaum kufar Mekkah sedang bersiap-siap untuk melakukan penyerangan kedua kalinya di Madinah. Dikarenakan sebagian kaum Quraisy saling mencela satu sama lain, “Kalian toh sudah tidak berhasil membunuh Muhammad saw (Na’uudzubillah), tidak berhasil juga menculik dan menawan para gadis Muslimah dan juga tidak berhasil menguasai harta benda mereka.” Atas hal itu Rasul Karim saw memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap mereka. Hudhur saw mengumumkan atas hal itu, “Kita yang akan memburu musuh kita semua, dan untuk perburuan ini hanya beberapa sahabat yang menyertaiku sehingga dalam beberapa hari berlalu para sahabat ini tetap ikut dalam perang Uhud.”[10]
Inilah poin sebuah hikmah dari beliau saw yakni hal ini menjadi pemicu semangat para Muslim. Mereka berdatangan dari perang, dengan perkiraan seperti orang yang dalam bentuk kalah perang, mereka tetap tidak berputus asa. Semangat mereka tetap tinggi dan mereka memantau kekuatan musuh juga yang mana hal ini mereka tidak mengerti yakni “Kamu sekalian telah mencapai kemenangan bahkan memperoleh pupuk yang luar biasa.” Kondisinya sedemikian rupa hebatnya. Tatkala terjadi pemburuan maka musuh kehilangan keberanian sehingga mereka berbalik mundur dan terus maju. Itulah sebabnya maka Allah Ta’ala mengirim beliau saw untuk membimbing dan mengajarkan hikmah kepada seluruh dunia. Oleh karena itu Dia telah mempersiapkan nubuatan terhadap beliau saw untuk menyebarluaskan hikmah secara sempurna sebelumnya, sehingga orang-orang juga menantikan dengan suka cita genapnya nubuatan beliau saw.
Suatu ketika saat Takmir Ka’bah dari antara mereka mengingat kisah bahwa telah terjadi perselisihan antar qabilah siapa yang berhak menempatkan Hajar Aswad dan ini terjadi saat kembali dari perang. Sampai empat dan lima hari tidak ada orang yang bisa mengatasinya. Satu hari kaum Quraisy berkumpul dan setelah kemballi dari musyawarah maka Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Maktum, yang merupakan orang yang paling berpengaruh diantara semua Quraisy mengatakan: “Wahai kaum Quraisy, ada satu cara untuk memecahkan perselisihan diantara kalian yakni orang pertama yang akan bisa melewati gerbang Baitullah.”
Seperti yang telah terjadi, nampaklah dari antara mereka yang pertama kali masuk ke Baitullah adalah Rasulullah saw sehingga mereka sepakat memilih beliau saw dan mengatakan bahwa orang ini terkenal sebagai Al Amiin. “Kami senang, ini adalah Muhammad”, sehingga mereka mendekati beliau saw dan menyatakan akan menerima keputusan beliau saw, maka beliau saw bersabda: “Bawalah ke sini selembar kain.”
Setelah terdapat selembar kain di hadapan beliau saw Hadhrat Rasulullah saw meminta empat perwakilan dari masing-masing qabilah setelah menempatkan Hajar Aswad di atas kain tersebut. Kemudian beliau berbicara kepada empat pemimpin qabilah tersebut: “Peganglah masing-masing di keempat sudut kain ini!” Kemudian empat pemimpin semua secara bersama-sama mengangkat Hajar Aswad. Kemudian beliau saw bersabda: “Bawalah Hajar Aswad ini oleh masing-masing pemimpin di keempat sudut kain hingga mendekati tempatnya.” Itulah solusinya dan setelah sampai beliau saw menaruh Hajar Aswad ini pada tempat asalnya. Beliau saw telah mendamaikan perselisihan dengan hikmah yang sedemikian rupa sangat baiknya, jika dibiarkan kondisi mereka yang penuh gejolak dan genting maka berapa korban yang dapat terbunuh dan sampai kapan terjadinya.
Dalam contoh lain dari hikmah beliau saw, saya akan kemukakan. Pada kesempatan ini terdapat satu riwayat. Hadhrat Anas bin Malik ra mengatakan bahwa Hadhrat Abu Dzar ra menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Saya berada di Mekkah, atap rumah saya terbuka dan Jibril turun. Beliau membuka dada saya lalu membersihkannya dengan air zamzam. Kemudian membawakan satu mangkuk pengetahuan yang mengandung hikmah dan iman. Kemudian dia mengisi dengan air secara melimpah. Kemudian dia menutupnya kembali. Kemudian dia memegang tangan saya dan mengajak saya kearah langit.”
Hisyam bin Zaid ra bin Anas meriwayatkan, “Saya pernah mendengar dari Hadhrat Anas ra bin Malik yang mengisahkan bahwa sebuah martabat ketika Rasulullah saw berjumpa dengan seorang Yahudi dan dia mengatakan “Assaamu’alaika” yakni “kebinasaan untuk engkau”. Beliau saw menjawab hal itu dengan “Alaika” yakni “atas engkau”. Kemudian Rasulullah saw berbincang dengan seorang sahabat dengan sabdanya, “Engkau tahu tidak apa yang telah dia katakan? “ Kemudian beliau saw menerangkan jika ada yang mengatakan “Assaamu‘alaika”.
Sahabat ra mempertanyakan kepada Hadhrat saw mengenai cara yang dipergunakan untuk para orang Yahudi dengan sebuah pertanyaan, “Apa kami tidak boleh membunuhnya?” Hadhrat saw menyatakan: “Tidak boleh, jangan membunuhnya, jika ada seorang dari ahli kitab mengatakan kepadamu dengan ‘salaam‘ maka kalian hendaknya menjawab dengan ‘wa‘alaikum’.[11] Hal itu merupakan cara untuk menghindari konflik dan perselisihan dengan memberikan jawaban singkat.”
Said ra bin Abi Said menerangkan beliau pernah mendengar dari Hadhrat Abu Hurairah ra bahwa Rasul Karim saw mengirim utusan ke Najad ada seseorang dari suku Hanifah dibawa masuk sebagai tahanan. Namanya Tsumamah bin Atsal. Para sahabat ra mengikatnya pada tiang masjid Nabi. Rasul Karim saw menghampirinya dan menanyainya: “Wahai Tsumamah! Apa alasan engkau atau apa yang engkau pikirkan tentang tindakan apa yang akan engkau terima?” Dia menjawab: “Saya memiliki prasangka baik. Jika Anda saw membunuhku maka Anda saw akan membunuh pembunuh. Jika Anda saw menunjukkan niat baik maka Anda saw akan mendukung orang yang menghargai kebaikan sehingga akan menjadi orang yang memiliki kadar kebajikan. Jika Anda saw menginginkan harta maka seberapapun yang diinginkan akan didapat, sampai disini, lain hari lebih diperluas.”
Beliau saw pada hari berikutnya menemui kembali Tsumamah dan menanyakan, “Apa tujuannya?” Selanjutnya Tsumamah menjawab bahwa, “Jika bantuan diberikan maka di kemudian hari Anda saw akan mendapatkan bantuan tersebut, yakni jika Anda menunjukkan kebaikan maka sedemikian juga Anda saw akan mendapatkan kebaikan dari orang yang berbuat baik dengan standar kebaikan.” Sehingga sampai di sini beliau saw meninggalkannya selama tiga hari.
Setelah menemuinya lagi beliau saw bersabda: “Wahai Tsumamah apa maksud tujuan engkau?” Dia menjawab: “Telah aku katakan apa yang menjadi kehendakku, itulah tujuanku.” Beliau saw bersabda: “Bebaskan Tsumamah!” Tsumamah pergi mandi ke tanggul kebun dekat masjid dan mengucapkan Kalimat Syahadat setelah memasuki masjid dan berkata: “Demi Tuhan, di dunia ini wajah yang sebelumnya paling tidak aku senangi adalah wajah beliau saw, tetapi sekarang inilah yang terjadi yakni di dunia ini wajah beliau saw yang paling aku cintai. Demi Tuhan, agama di dunia yang paling tidak aku sukai adalah agama beliau saw tetapi sekarang inilah yang terjadi yakni agama yang paling aku cintai adalah agama engkau wahai Yang Mulia saw. Demi Tuhan, kota yang paling tidak aku sukai adalah kota beliau saw tetapi sekarang kota inilah yang paling aku cintai.”
Seorang penunggang kuda yakni Rasulullah saw memegangiku ketika aku hendak melakukan umrah. Beliau saw pada kesempatan itu menanyakan tentang apa yang sedang dia katakan. Rasul Karim saw mengucapkan selamat kepadanya dan memerintahkannya untuk melakukan umrah, karena Dia telah menerimanya. Ketika sampai di Mekkah seseorang bertanya: “Apakah dia telah menjadi seorang Shabi?” Maka dia menjawab: “Tidak! Saya telah beriman kepada Muhammad Rasulullah saw .” [12]
Selanjutnya beliau saw mempersiapkan pelajaran ke-Islam-an dengan penuh hikmah kepadanya selama tiga hari hingga terlihat hasilnya sudah tidak jauh dari Muslim lainnya dalam peribadahan. Seberapa sampai mereka kepada keikhlasan, hal ini tergantung dari tekad dan karunia Tuhannya. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukkan dalam keasyikan dan kecintaan bersama Rasulullah saw. Dan apakah beliau saw memberikan pembelajaran terhadap orang-orang beriman itu?
Ada seseorang yang memiliki banyak kesempatan tetapi tidak tertablighi. Setiap hari hanya bertanya tentang apa tujuan hidupnya, setelah diperhatikan bahwa hal ini tidak mempengaruhi kehidupannya dan pada hari ketiga dia mendapatkan pengetahuan cahaya firasat beliau saw, sekarang dia merasakan ketenangan dalam dirinya. Oleh karena itu tanpa meninggalkan janjinya dan adanya pemahaman yang muncul berkaitan dengan masalah tersebut yakni adanya kebenaran ilmu yang dipikirkan beliau saw akhirnya dia menerima Islam.
Kemudian, pada saat Perjanjian Hudaibiyah, terdapat satu peristiwa betapa beliau saw menunjukkan sebuah perbuatan yang lahir dari ilmu firasat dan hikmah yang mana telah memberi kesan pengaruh terhadap seorang pemimpin kaum Quraisy. Ketika setelah Perjanjian Hudaibiyah, ‘Urwah bin Mas’ud telah kembali kepada kaum Quraisy (Hadhrat Mian Basyir Ahmad Shahib telah menjelaskan tentangnya dalam tulisan yang berjudul Sirah Khaatamul Anbiya) yakni: “Wahai orang-orang! Saya telah banyak melakukan perjalanan di bumi. Kisah para raja juga saya telah banyak mengikuti, seperti juga segala hal yang diajukan para utusan di depan para kaisar dan kisra namun demi Tuhan saya melihat kehebatan Muhammad saw terhadap para sahabat Muhammad saw seperti itu, hal mana yang sedemikian itu saya tidak pernah melihatnya di tempat lain.” Setelah ‘Urwah berbicara dengan kabilah Banu Kinanah, salah seorang kepala yang bernama Hulais bin ‘Alqamah berkata kepada kaum Quraisy: “Jika anda ingin melihat orang yang mempesona maka datanglah kepada Muhammad saw.” Mereka berkata: “Silahkan pergi dan lihatlah! Apabila sudah mendapatkan info datanglah kemari.”
Sebagai contoh ada seseorang yang datang di Hudaibiyah dan ketika Hadhrat Rasulullah saw terlihat menjauh darinya maka beliau saw bersabda kepada seorang sahabat ra: “Ini adalah seseorang yang sedang datang kemari merupakan orang yang sangat menjaga apapun berkaitan dengan kabilahnya sedemikian rupa, yang mana dia merupakan seseorang yang suka berkorban.” Sekali lagi beliau saw telah mengajarkan sebuah hikmah dan perintah. (Dikarenakan beliau saw tidak menginginkan perang dan pertempuran serta tidak pernah berharap pergi ke sana untuk berperang dan bertempur bahkan beliau saw sangat menginginkan pergi haji dengan aman). Beliau saw bersabda: “Pastikan supaya hewan-hewan korban terikat dengan baik dan sediakan makanan di depannya sehingga dia mengetahuinya dan sedemikian rupa pemotongan harus diperhatikan.” Sehingga sahabat ra melakukan penyembelihan hewan-hewan korban dengan baik dan mereka berkumpul sambil meneriakkan takbir dikarenakan beliau saw pernah bersabda, bahwa ada seseorang yang begitu menjaga kabilahnya, orang ini sangat menyukai berkorban.
Oleh karena itu, beliau saw sungguh jelas menekankan hal ini bahwa mereka melakukan sesuai dengan tabiatnya dan sahabat ra melakukan korbannya masing-masing dengan baik dan mereka berkumpul sambil meneriakkan takbir. Ketika pemandangan ini terlihat maka akan terucap “Subhanallah! Subhanallah!” Inilah orang berhaji. Mereka berkeliling seperti itu mengelilingi Baitullah, sehingga dia dengan cepat kembali ke arah kaum Quraisy dan mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa “Saya telah melihat orang-orang Muslim telah menyembelih hewan-hewan korban mereka serta menjadikannya sebagai tanda pengorbanan.”
Jadi ini tidak seperti yang disangkakan bahwa mereka berjalan mengelilingi Ka’bah. Tetapi dibalik itu dikarenakan peristiwa tersebut kaum Quraisy saat itu memiliki dua dilema. Satu, masalah yang berkaitan dengan ingin mengizinkannya hal itu. Kedua, berkaitan dengan tidak ingin mengizinkannya. Oleh karena itu setahun berikutnya tidak akan ada haji dan setelah itu Allah Ta’ala memberikan hal terbaik tentangnya. [13]
Kemudian tercatat dalam sejarah juga satu peristiwa tentang Abu Sufyan pada saat Fatah Mekah. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra telah menerangkan aspek tersebut tentangnya. Ketika Abu Sufyan mengabdi dalam pengkhidmatan terhadap Rasul Karim saw setelah menjadi tawanan perang, maka Muhammad Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Sampaikan apa yang menjadi keinginan engkau?” Ia menjawab: “Yaa Rasulallah, apakah Anda saw tidak akan menyayangi kaumnya sendiri. Sudah jelas bahwa beliau saw memiliki kasih sayang yang begitu tingginya dan saya selalu mendapatkan petunjuk dari beliau saw, persaudaraan dan ada juga seseorang yang menghargaiku dikarenakan saya sekarang juga telah menjadi seorang Muslim.”
Beliau saw bersabda: “Baiklah pergilah dan umumkan di Mekah bahwa siapapun yang berada di rumah Abu Sufyan akan diampuni.” Dia mengatakan: “Ya Rasulallah! Rumahku hanya memuat sedikit orang. Terlalu kecil jika dibandingkan kota ini, sehingga sedikit orang yang mendapatkan keamanan.” Beliau saw bersabda: “Baiklah, pergi dan umumkanlah! Siapapun yang datang ke Ka’bah dan membuang senjata mereka, maka diapun akan mendapatkan keamanan.” Abu Sufyan pun menjawab: “Ya Rasulallah! Di sekitar Ka’bah juga merupakan tempat yang kecil sehingga hanya memuat sedikit orang, kemudian masih banyak orang yang belum tertampung.” Beliau saw bersabda: “Baiklah, siapapun yang menutup pintu rumahnya masing-masing maka mereka akan terlindungi.”
Dia mengatakan: “Ya Rasulallah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak mempunyai rumah?” maka Rasulullah saw menjawab: “Baiklah!” Beliau saw mengibarkan bendera sebagai tanda dan bersabda: “Ini adalah bendera Bilal ra.” Kemudian memberikannya kepada Abu Ruwaiha yang merupakan seorang sahabat. Beliau saw mulai ingat saat kedatangan para sahabat, jika kaum Muhajirin dan Anshar kembali di Madinah dan satu sama lain membuat persaudaraan, maka Bilal ra menjadi saudara dari Abu Ruwaihah.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra menulis, “Inilah kondisi mereka bahwa untuk menjaga kemungkinan waktunya Bilal ra tidak berada di sana atau atas ulah seseorang dan tipu muslihat maka atas hal itu beliau membuat bendera Bilal ra dan Abu Ruwaihah mendukung kaum Anshar dan bersabda: “Ini adalah bendera Bilal ra. Ini adalah upaya untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan menjaga kebersamaan di bawah benderanya, akan setia di bawah bendera bahkan juga akan menjaga bendera dengan jiwanya.” Abu Sufyan mengatakan: “Bagus. Sekarang cukup. Saya telah mengizinkan. Saya akan mengumumkannya.”
Maka oleh karena itu pemimpin kaum Quraish menyerang pasukan sendiri. Oleh karena itu seseorang sedemikian tidak gentar terhadap masalah itu. Dia telah memasuki Mekah dan dia telah mengumumkan: “Hendaknya masing-masing orang menutup pintu rumahnya dan tidak ada seorangpun yang berkeliaran di luar rumah. Pergilah dibawah naungan Ka’bah dan ini adalah bendera Bilal ra, pergilah dibawah benderanya, maka semuanya akan terlindungi. Mereka akan membayar dengan jiwanya dan tidak akan pergi kemanapun.” Namun sekaranglah pasukannya yang ada di luar, maka orang-orang mulai menyerang pasukan yang ada di luar dan Hadhrat Bilal ra mulai berkumpul di bawah benderanya.
Pada kesempatan itu Hadhrat Muslih Mau’ud ra menekankan hal ini yakni terdapat aspek yang terbesar dari peristiwa [Fatah Makkah] itu adalah tentang bendera Bilal ra. Rasul Karim saw telah menetapkan bendera Bilal sebagai standar patokan dan beliau saw bersabda: “Siapapun yang berada di bawah bendera Bilal ra akan aman.” Padahal pemimpinnya itu Muhammad Rasulullah saw Namun di pihak Rasulullah saw sendiri tidak terdapat bendera yang dikibarkan. Setelah beliau saw, ada tokoh yang banyak berkorban yaitu Hadhrat Abu Bakar ra, Hadhrat Umar ra, Hadhrat Usman ra, Hadhrat Ali ra , tetapi tidak ada bendera yang dibuat juga untuk mereka. Setelah itu Khalid bin Walid yang merupakan komandan di sana juga tidak terdapat bendera. Hadhrat Rasulullah saw telah menetapkan jika harus ada bendera maka adalah bendera Hadhrat Bilal ra. Beliau saw bersabda: “Apa sebabnya? Sebabnya adalah orang-orang telah bersiap saling menyerang di bawah naungan Ka’bah, Abu Bakar memperhatikannya orang-orang yang akan saling membunuh itu terikat tali persaudaraan.”
Beliau sendiri berkata: “Ya Rasul Allah! Apakah mereka akan membunuh saudara mereka sendiri? Orang Muslim toh telah melupakan kezaliman yang ditimpakan pada diri mereka.” Bahkan, Hadhrat Umar ra di hadapan Hadhrat Rasulullah saw bertanya, “Terdapat pemikiran untuk memerangi dan membalas dendam terhadap orang-orang kafir itu. Tetapi hati berkata, mereka saudara kami. Jika mereka dimaafkan maka itu bagus.”
Sebagaimana Hadhrat Usman ra, Ali ra, atau sebagian pemimpin saling memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan atau sedikit banyak memiliki rasa simpati dengan orang-orang Mekah. Hanya seorang yang tidak memiliki jalur kekerabatan dengan seorangpun di Mekah ini. Seseorang yang saat itu tidak memiliki kekuatan di Mekah. Seseorang yang tidak berdaya saat di Mekah ini. Dan, dalam kondisi itu beliau mengalami hal terberat yang harus ditanggung, yaitu penganiayaan yang zalim hal mana tidak dialami oleh siapapun, tidak terhadap Hadhrat Abu Bakar ra, tidak terhadap Hadhrat Umar ra, tidak terhadap Hadhrat Ali ra, tidak terhadap Hadhrat Usman ra dan tidak terhadap Hadhrat Rasulullah saw.
Sedemikian rupa penyiksaan di Mekah yakni penyiksaan terhadap Hadhrat Bilal ra dengan cara menyeret dalam keadaan ditelanjangi di padang pasir yang panas lagi terjal. Mereka telah menyeret beliau di atas padang pasir yang panas. Kemudian setelah orang-orang menyebarkan duri di jalanan maka para tentara muda menginjaknya sambil menari-nari dan mengatakan, ayo katakan: “Tiada Tuhan dan tidak ada sesembahan, katakan juga bahwa Muhammad Rasulullah adalah pendusta”, (Na’uadzubillaah) dan ketika dipukul maka yang keluar dari mulutnya adalah “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, asyhadu allaa ilaaha illallaah” dia selalu memberikan jawaban seperti itu terus menerus, namun setelah terbebas dari kezaliman saya sempat melihat dia mengatakan bahwa Tuhan itu satu, hal itu dikatakan dua kali serta, “Ketika saya mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw adalah utusan Allah Ta’ala maka seperti itulah saya menyangkalnya dengan kata tidak, dia pendusta.
Beliau mengatakan kepadanya atas hal itu dan dicambuk lagi. Dalam kondisi telanjang dada diatas pasir panas juga dia diseret pada cuaca yang panas, sehingga kulit beliau terkelupas. Walaupun ayam jantan berkokok (istilah utk para penganiaya) namun dia selalu mengatakan “Asyhadu alla ilaaha illallaah, asyhadu alla ilaaha illallaah” dan “Muhammad saw adalah benar utusan Allah.” Maka pemikiran inilah yang tertanam dalam hati Hadhrat Bilal ra atau mungkin sebagai berikut yakni zaman ini penyembahan akan berganti,sehingga zaman itu mereka akan memahami pengorbanan. Namun ketika Hadhrat Rasulullah saw bertemu dengan Abu Sufyan bersabda: “Siapapun yang pergi kepada panji bendera kalian, siapapun yang pergi di bawah naungan ka’bah, ataupun siapapun yang menutup pintu rumahnya masing-masing semuanya akan dimaafkan.” Sehingga terpikirkan hal ini dalam benak Hadhrat Bilal ra yakni “Saya sedang memaafkan saudara-saudaraku, berarti saya sedang berbuat kebaikan namun seperti inikah saya membalasnya?”
Dikarenakan pada hari itu sedemikian rupa parahnya sehingga pada hari itu hanya ada seorang yang bisa peduli terhadap penganiayaan itu. Tidak ada orang lain disana dan dialah orang yang mencegah kezaliman itu. Maka Hadhrat Rasulullah saw yang telah memberikan jalan keluar dengan menebus Hadhrat Bilal ra. Beliau saw bersabda: “Saya akan bebaskan penganiayaan Bilal dan saya akan menebusnya sedemikian rupa supaya hal ini juga menjadi tanda keNabianku,” serta terhibur juga hati Bilal dengan kegembiraan. Beliau saw bersabda: “Kibarkan bendera Bilal!” Dan para pemimpin Mekkah yang dijatuhkan, “Obatilah di tenda Bilal, sedangkan kaki-kaki mereka tidak usah diikat. Siapapun yang terlibat dalam penganiayaan di atas pasir panas kemudian mereka mengatakan bahwa Allah tidak Esa dan Muhammad Rasulullah saw bukanlah seorang rasul, walaupun begitu aku bebaskan hidup anak-anak kalian dan kamu sekalian.”
Hadhrat Rasulullah saw mengumumkan untuk mereka: “Pergi dan berkumpullah dibawah bendera Bilal. Jadi siapapun di antara kalian yang dulunya terlibat tindak kezaliman dan hari ini bersedia berkumpul dibawah bendera Bilal maka aku jamin kehidupan kalian juga dan kehidupan anak istri kalian juga.”
Maka Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda: “Saya tahu ketika dunia ini diciptakan, ketika manusia menghendaki kekuasaan dan ketika manusia bersiap saling menumpahkan darah satu sama lain, supaya tercapai kekuasaan, hal ini menjadi contoh yang paling agung dengan cara tidak membalas dendam. Bendera Bilal ra terpasang di depan ujung Ka’bah dan mengatakan kepada orang Arab supaya tidak usah segan untuk mendatangi di bawah naungannya bahwa dia yang pernah menyangkal dengan perkataan Rasulullah bukanlah seorang rasul Allah dan itu adalah kebohongan, orang yang seperti itu sedang dipertemukan dengan anak istrinya di bawah naungan bendera Bilal sehingga kehidupan mereka terselamatkan maka pembalasan ini sedang berjalan.
Pada waktu itu Bilal ra sedang berkorban sedemikian itu dengan hati dan jiwanya terhadap Muhammad Rasulullah saw. Saya ingin katakan tentang hal itu bahwa beliau tidak mau balas dendam terhadap kaum kuffar, atau bukannya tidak mampu tetapi itulah pembalasan yang tepat yakni setiap orang yang dengan terompahnya bersedia berada di kain jahitannya ini, sambil mereka menundukkan kepalanya sebagaimana Hadhrat Rasulullah saw telah berkati dengan izinnya.” [14]
Kemudian terdapat juga hikmah tersendiri dari peristiwa dianjurkannya orang-orang untuk mendatangi bendera Bilal r.a, yaitu: “Orang yang kalian anggap sebagai seorang budak, dia tanpa kabilah, seseorang yang tanpa lingkaran kekerabatan sama sekali. Setelah kalian anggap dia sebagai rakyat jelata, hina dan diikat kakinya, selanjutnya kalian menyiksanya sedemikian rupa. Sekarang dengar dan saksikanlah kekuatan kalian tidak ada lagi, kalian tidak menang, kalian tidak perkasa, yang perkasa adalah Tuhannya Bilal ra, Yang Perkasa adalah Tuhannya Muhammad Rasulullah saw dan Muhammad Rasulullah saw merupakan manifestasi Sifat Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana dan inilah perwujudan sifat ini. Meski telah mencapai keunggulan, dia selalu menjunjung takbir dan tidak sombong, tidak balas dendam kepada para musuhnya bahkan membuat keputusan yang penuh hikmah kebijaksanaan yang di dalam keputusan itu terdapat corak pembalasannya juga dan ia mengajak perhatian kearah penyadaran kesalahan masing-masing.”
Hari ini merupakan sebuah tuntutan hikmah kalian semua kenalilah Tuhan nan Perkasa itu dengan cara kalian berkumpul di bawah naungan bendera orang itu, orang yang kalian anggap lemah kalian pandang hina bahkan layaknya menyiksa binatang kalian perlakukan orang itu (Bilal ra) dan kalian sekarang mulai mengenal keperkasaan jiwanya serta berpikir seseorang yang dulunya terzalimi kini telah kelelahan dengan hikmah dan akan berjuang untuk agamanya. Kalian pikir hikmah bisa diraih dengan kelelahan.
Sementara pemimpin kezaliman pendosa yang bergelar Abul Hakam (Bapak Kebijaksanaan) yang sesuai dengan perintahnya semua kekejaman itu terjadi. Dikatakan kepada orang-orang Arab: “Hikmah kebijaksanaan bisa diraih melalui kecerdasannya juga. Kalian perlu mengetahui bahwa orang yang telah banyak beraksi bernama Nahad Abul Hikam pada hakikatnya adalah Abu Jahal. Kalian perlu mengetahui bahwa siapapun yang tidak meyakini keperkasaan Tuhan bahkan selalu mengunggulkan berhala-berhala pada setiap kesempatan, saat ini lihatlah bahwa hikmah dan keperkasaan yang dibawa oleh budak Habsyi itu hal mana firasatnya, kelembutan hatinya dan cahaya hikmahnya bersumber dari hadhirat Ilahi telah nampak dihadapan kalian semua, di hadapan pemimpin-pemimpin kalian atau di hadapan berhala-berhala kalian, atau di hadapan seluruh makhluk di dunia ini dan mengungguli dengan standarnya. Jadi hari ini, pergilah kalian ke bawah bendera dari hamba sahayanya yang telah memperoleh keperkasaan dan kebijaksanaan dari Tuhannya. Dialah Bilal ra yang telah diberkahi dengan kebersihan hati setelah mewarnai dirinya dengan warna hikmah dari Tuhannya.
Jadi sekarang pahamilah juga hikmahnya yakni bukan dengan segala kekuatan, apalagi dengan jalan kezaliman dan senantiasa tidak akan pernah didapatkan. Manusia akan menjadi makhluk yang mulia apabila Allah Ta’ala telah memenganugerahi hikmah dan firasat, maka amalkanlah dengan benar dan janganlah manusia menyandarkan upaya ini hanya berdasarkan kecerdasan dan perasaan semata ataupun hanya berpikir untuk memajukan mazhabnya saja. Apabila masih berlandaskan dua hal permasalahan di atas dalam pemikirannya maka manusia tidak berhasil meraih hikmah tersebut.”
Maka dari itu, Hadhrat Rasulullah saw memperlihatkan perbuatan ini terhadap para penduduk Mekkah dan para pemimpin Mekkah, “Pahamilah! Inilah hikmah yang mau tak mau harus diterima bahwa segala keperkasaan adalah hanya milik Tuhan semata.” Jika ada seseorang yang keberatan mengenai hal ini maka serentetan para budak tidak diikat seperti ini yakni ketika besok-besok terjadi pembalasan dendam itu artinya orang yang melakukannya tidak memiliki ilmu sama sekali maka silahkan kalian meminta kehidupan supaya tetap hidup.
Oleh karena itu, Hadhrat Rasulullah saw mengumumkan keputusan yang penuh hikmah, “Di satu segi kalian penduduk kaum Quraisy dan para pemukanya selamat dari pembalasan dan segi kedua diumumkan juga mulai hari ini perbudakan diakhiri. Berbagai kezaliman juga hari ini harus diakhiri. Hari ini tidak ada pengumuman lain kecuali hanya ini, لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ laa tasyriba ‘alaikumul yaum (pada hari ini tidak ada celaan atas kalian), yang mana bukan hanya pengumuman dariku tapi juga para pengikutku. Diantara orang-orang yang beriman kepadaku terdapat mereka yang lemah teraniaya selama beberapa waktu dalam perbudakan kalian.” Itulah keindahan dan mutiara hikmah yang telah dirasakan oleh Bilal ra yakni dia berperilaku terhadap segenap insan dengan dilandasi firasat dan penuh hikmah yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.
Hari ini jika engkau ingin lebih memurnikan kesucian hikmah caranya adalah berdirilah di bawah naungan bendera engkau, maka siapapun mereka yang berkumpul di bawah naungan bendera engkau itu sama dengan berkumpul di bawah naungan bendera Muhammad Rasulullah saw dan termasuk orang yang siap untuk maju. Siapapun yang melangkah untuk maju maka Allah Ta’ala akan menjadikannya orang yang maju. Dan kemudian dunia akan menyaksikan pemandangan ini bahwa orang-orang yang dulunya pelaku zalim seperti itu terhadap orang-orang Muslim, sehingga Allah Ta’ala menjadikan peperangan kepada mereka, kemudian seperti itulah Allah Ta’ala akan menjadikan mereka orang-orang yang mencapai kemajuan.
Sekarang orang-orang Ahmadi juga harus ingat pemandangan yang seperti itu akan berulang kembali dan kita tidak akan membalas dendam terhadap pelaku penyerangan dan kezaliman melainkan kita harus memilih jalan yang diperlihatkan oleh Hadhrat Rasulullah saw dengan uswah (teladan) beliau saw kepada kita. Para penentang Ahmadiyah juga harus ingat, “Kalian menganggap para Ahmadi itu kosong dari akal sehat dengan menyatakan mereka telah melakukan kesalahan yang besar karena menerima Hadhrat Masih Mau’ud as. Sekarang ini waktunya akan bicara siapa yang tanpa akal dan siapa yang berakal? Siapa yang salah memutuskan dan siapa yang benar dalam memutuskan? Maka dari itu, hentikanlah penentangan dan bersiap-siaplah menghadap Tuhan Yang Maha Perkasa dan mohonlah hikmah atau kebijaksanaan pada-Nya.”
Kezaliman yang dilakukan terhadap para Ahmadi ini, insya Allah tidak akan berlangsung lama. ‘Fateh hamari he aur yaqiinan hamari he.’ Kemenangan adalah milik kita dan pasti kemenangan itu milik kita dan saat ini hendaknya setiap orang paham insya Allah hari itu tidak akan jauh lagi ketika dalam waktu dekat pemandangan itu akan disaksikan.”
Para penentang yang menjadi pelaku kezaliman terhadap para Ahmadi kebanyakan di berbagai pemerintahan Muslim dan dominasi besar justru dari kaum ulama. Sekarang juga ada berita kesyahidan yang sangat menyedihkan. Seorang pemuda Ahmadi bernama Humayun Waqar ibnu/putra Tn. Said Ahmad telah disyahidkan pada 7 Desember dengan cara diserang oleh orang yang tak dikenal di Syaikhupura. Saat itu beliau tengah duduk di tokonya lalu datang si penyerang dan menembaki beliau. Umur beliau 32 tahun. Beliau berjiwa mulia dan seorang Khadimul Ahmadiyah yang aktif. Dia sebagai pengurus Nazim Tarbiyat Mubayyiin baru. Insya Allah Ta’ala dengan tumpahnya darah seorang yang disyahidkan ini akan membawa perubahan yang besar. Maka dalam hal ini hendaknya tidak khawatir atau ragu. Tetapi para penentang hendaknya mengambil pelajaran yang berharga dari peristiwa ini sehingga, “Janganlah kalian bertindak lebih jauh lagi, karena sebagai akibatnya kalian akan mendapat malu.” Semoga Allah Ta’ala mengangkat maqam almarhum pada tempat yang tinggi dan bagi keluarga yang ditinggalkannya mendapatkan kesabaran. Insya Allah saya akan shalat jenazah ghaib setelah shalat Jumat ini.
[1] Sunan Ibnu Majah, Kitab Zuhud, Bab. Hikmah.
[2] Tercantum dalam Ar-Raddul Mukhtar ‘alad durril Mukhtar (dikenal dengan nama hasyiyah Ibn Abidin), bagian Muqaddimah. Penulisnya ialah Muhammad Amin bin Umar, dikenal dengan nama Ibn Abidin, lahir di Damaskus, Syiria pada 1198 H/1714 M dan wafat pada 1252 H/1836 M. Beliau tokoh dan penulis kalangan Hanafi.
[3] Shahih Bukhari, Kitab tentan ilmu, Bab Al Ightibath fil ‘ilmi wal hikmati wa qaala ‘Umar tafaqqahu qabla an tusawwaduu (Suka cita dan berharap ingin memperoleh ilmu dan hikmah serta sabda Umar, ‘Berilmulah sebelum kamu tidak bisa apa-apa!’.
[4] Sunan Ad Darimi, Kitab Muqaddimah, Bab Man haabal fataya…, 287.
[5] Sunan At Tirmidzi, Kitabul Manaqib, Bab. Manaqib Abdullah bin Abbas ra.
[6] Ath-Thabaqat al-Kubra ibnu Sa’ad, Jilid. 2, Hal. 260.
[7] Shahih Bukhari, Kitabul Adab, Bab. At Takbir wat Tasbih ‘inda ta’jub.
[8] Shahih Bukhari, Kitabud Diyaat (ganti rugi), Bab. Man aththala’a fii baiti qaumin fafaqqi-uu ‘ainahu fala diyatun lahu (tidak ada tebusan/ganti rugi bagi seseorang yang menyerang orang yang mengintip rumahnya)
[9] Sunan Turmudzi, Kitab Shifatul Qiyamah war Ruqooiq.
[10] Ath Thabaqat al-Kubroo karya ibni Sa’ad, J. Dum, H. 274, Ghazwah Rasulullah saw Hamra-atul Asad.
[11] Shahih Bukhari, Kitab Istatabatul Murtadini wal Mu’anidini wa qitalihim, Bab. Idza arodho dzimmi wa ghoirohu bisaban Nabi saw wa lam yashrohnahi qoulihis saam ‘alaik. 6926, إِذَا عَرَّضَ الذِّمِّيُّ وَغَيْرُهُ بِسَبِّ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يُصَرِّحْ نَحْوَ قَوْلِهِ السَّامُ عَلَيْكَ
Anas bin malik mengatakan; seorang yahudi melewati Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dan mengucapkan; ‘Assaam ‘alaikum (kiranya kalian tertimpa kematian).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “wa’ailaika (Dan untukmu).’ kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya; “tahukah kalian apa yang diucapkannya? dia telah mengatakan; ‘alaikum (Semoga kalian tertimpa kematian).” Maka para sahabat menjawab; ‘bagaimana kalau dia kami bunuh? ‘ Nabi menjawab; “jangan, jika ahlu kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah; wa’alaikum (kepada kalian kematian)!”
عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ مَرَّ يَهُودِيٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ السَّامُ عَلَيْكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” وَعَلَيْكَ ”. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ ”. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَقْتُلُهُ قَالَ ” لاَ، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ ”.
[12] Bukhari, Kitabul Maghazi, Bab. Wafadabani Hanifah wa hadits Tsumamah bin Atsaal.
[13] Sirat Khataman Nabiyyiin, bagian III, h. 758.
[14] Sair Rohani, h. 560-563