Petunjuk Melewati Jalan-Jalan Indah untuk Menciptakan Ketakwaan dalam Diri

Khotbah Jum’at

Sayyidina Amirul Mu’minin 

Hadhrat  Mirza Masroor Ahmad

 Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahulloohu ta’ala binashrihil ‘aziiz[1]

Tanggal 20 Sulh 1391 HS/Januari 2012

Di Mesjid Baitul Futuh, London.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

الرَّحْمَن

يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ

 

Terjemahan ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan, dan mereka berlomba-lomba dalam pelbagai kebaikan. Dan mereka termasuk orang-orang yang saleh. Dan kebaikan apapun yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi untuk menerima ganjarannya. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (Surah Ali  Imran, 3 : 115-116).

Tanda seorang beriman ialah mereka menyuruh (menganjurkan) hal-hal kebaikan, mencegah keburukan dan saling berlomba satu dengan yang lain dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Ayat yang pertama saya tilawatkan menjelaskan mengenai hal-hal ini. Ini adalah ayat dalam Surah Ali Imran dan perihal ini dijelaskan di tempat lainnya di dalam surah ini bahwa hal-hal ini yang menjadikan seseorang termasuk kedalam golongan orang-orang saleh. Tanda kekokohan dalam keimanan adalah adanya hal-hal ini. Dan hal-hal ini mengarahkan kepada kesuksesan dan kejayaan. Sebab, Allah Ta’ala tidak menyia-nyiakan orang yang mengamalkan jalannya hukum-hukum yang telah diberikan-Nya. Oleh karena itu, adalah lazim, Allah Ta’ala memberikan anugerah bagi orang yang beramal baik, orang yang menyebarluaskan kebaikan dan orang-orang yang berlomba dalam hal kebaikan. Akan tetapi Allah Ta’ala di dalam ayat lainnya yang telah saya tilawatkan menyebutkan, “Aku adalah ‘Aalim, ‘Aalimul Ghaibi wasy Syahaadah’, senantiasa mengetahui yang gaib, senantiasa pula mengetahui yang zhahir, Aku juga mengetahui segala perbuatan yang kalian lakukan hingga niat-niat yang sedang kalian munculkan.” Apabila seseorang berbuat sembari menjalankan ketakwaan maka sungguh Allah Ta’ala akan membawakannya rahmat dari-Nya. Allah Ta’ala telah berbuat ihsan yang besar kepada kita dengan mengutus Masih Mau’ud dan Mahdi Ma’hud di zaman yang penuh fasaad (kerusakan) ini. Dia mengutus Imam Zaman dan kita telah diberi-Nya taufik untuk menerimanya, kita telah berjanji kepadanya, kita mengimani apa-apa yang disampaikan oleh Allah Ta’ala sesuai jalan itu akan berusaha mencapai atau akan meraih standar itu yang penjelasan dan tafsirnya beliau as uraikan kepada kita berdasarkan penjelasan Alqur’an Karim dan Sunnah [Nabi Muhammad saw].

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,

“Sebagaimana penting untuk menghentikan lidah agar jangan sampai mengutamakan hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Ilahi, maka membukanya (memakai lidah) untuk menyampaikan kebenaran adalah suatu keharusan.” (yakni adalah penting bila lisan dicegah dari keburukan maka adalah penting juga untuk menggunakan lidah, membuka mulut untuk mengucapkan hal-hal yang benar) Allah Ta’ala berfirman, يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ‘..ya’muruuna bil ma’ruufi, wa yanha’una anil munkar…, tanda orang beriman; adalah penting baginya sebelum amr bil ma’ruuf (mengajak, menyuruh, menasehati agar berbuat kebaikan) dan nahy ‘anil munkar (melarang berbuat keburukan), haruslah bagi insan tersebut untuk menunjukkan terlebih dahulu praktek kehidupannya sehari-hari, bahwa dirinya pun sungguh-sungguh telah memiliki daya kekuatan tersebut. (Tatkala seseorang telah berkata-kata tentang hal ini maka ia harus membuktikan dengan keadaan amal perbuatannya sendiri, ‘Kebaikan-kebaikan yang saya bicarakan ini telah ada dalam diri saya.’) “Sebab, sebelum ia memberikan pengaruh kepada orang lain ia harus membuat pengaruh bagi keadaan dirinya.” (sebelum memikat orang lain agar mengikutinya, ia telah mampu untuk memikat dirinya sendiri dengan apa-apa yang disampaikannya kepada orang lain, Red.).  “Ya, penting pula untuk mengenali saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya, serta cara menyampaikannya dengan lemah lembut tetapi jelas. Di lain pihak, adalah dosa besar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan.” [2]

Setelah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as maka tanggung jawab kita bertambah untuk meraih standar (ukuran ketinggian akhlak dan rohani) ini dan setiap ucapan dan perbuatan kita adalah dalam rangka mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Jika tidak demikian, baiat kita kepada Hadhrat Masih Mau’ud as tidak bernilai apa-apa; bahkan, bisa jadi justru kita mengundang kemarahan Allah Ta’ala karena telah berjanji namun tidak menyempurnakannya. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,

“Saya telah berulangkali mengatakan bahwa semakin besar seseorang memperoleh qurb Ilahi, maka senilai itu pula ia patut memikul perjanjian tanggungjawab…mereka yang jauh [dari Tuhan] tidak layak memperoleh tanggungjawab perjanjian, akan tetapi kalian harus [layak mendapat perjanjian]. Apabila tidak ada kelebihan keimanan dalam diri kalian dibanding mereka, maka apa perbedaan antara kalian dengan mereka.” [3]

Jadi, hendaknya kita tidak merasa senang dulu bahwa kita telah menerima Imam zaman ini melainkan, amat penting untuk mengamati terlebih dahulu keadaan diri kita sendiri dengan seksama. Jika tidak demikian, sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as telah bersabda, “Kalian akan mempunyai tanggungjawab dan kalian akan ditanya mengenainya.” Maka kita harus banyak-banyak memikirkan hal ini bahwa kita harus memfokuskan diri pada ishlah (perbaikan) diri masing-masing. Memperoleh ilmu agama tidak berarti menyelamatkan seseorang dari tanggungjawabnya bila ia tidak beramal berdasarkan [ilmunya] itu. Mendapat amanat kepengurusan di dalam Jemaat tidak berarti membebaskan orang tersebut dari hisabnya bila ia tidak beramal sesuai apa-apa yang disampaikan oleh Allah Ta’ala. Menjadi anggota suatu keluarga pengkhidmat terkemuka [yang banyak melakukan pengorbanan kepada Jemaat] tidak membebaskan orang itu dari hisabnya apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda mengenai hal ini di tempat lain bahwa “Hanya dengan berbaiat saja tidaklah menjadikan kalian pewaris karunia-karunia muttabi’iin (para pengikut, pengikut Hadhrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud as).” Beliau as bersabda,

“Sungguh! Pahamilah oleh kalian! Di sisi Allah (pada pandangan Allah) yang dicintai bukanlah mereka yang berbusana terbaik dan mereka yang memiliki harta-benda yang banyak. Sebaliknya, mereka yang dicintai dalam pandangan Tuhan adalah mereka yang mendahulukan kepentingan agama di atas segala kepentingan lainnya, dan ikhlas demi Tuhan semata.”

Hadhrat Masih Mau’ud as pun bersabda,

“Di antara berbagai janji Ilahi, salah satunya adalah وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‘wa jaa’ilulladziinat taba’uuka fauqalladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah’, Surah Ali Imran, 3 : 56. (Yakni, Dia akan mengunggulkan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang menolak dan ingkar hingga hari kiamat.) Bersabda, “Adalah benar bahwa orang-orang yang mengikutiku akan diberi kemenangan (keunggulan) diatas para pengingkarku dan para penentangku. Namun, sangat perlu direnungkan, bahwa orang-orang yang menyatakan sudah baiat kepada saya tidak bisa termasuk kedalam pengikutku selama di dalam diri mereka tidak menumbuhkan ittiba’ (pemikiran dan perbuatan mengikuti) dalam kaifiyat (nilai) yang sempurna, ia tidak dapat digolongkan kedalam muttabi’in (pengikut).” [4]

 Maka kita perlu merenungkan hal ini dengan serius. Allah Ta’ala berfirman mengenai pengertian mu’min (orang beriman), يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ ‘ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anil munkari wa yusaari’uuna fil khairaat’ (Surah Ali Imran, 3 : 115) Kita baru akan termasuk dalam gambaran hakiki tersebut, kita baru dapat dikatakan orang beriman yang sebenarnya tatkala kita mengamalkan petunjuk dan nasehat Hadhrat Masih Mau’ud as yang merupakan ghulam shadiq – “pelayan sejati” dari Hadhrat Nabi (Muhammad) saw. kita harus menjadi orang-orang yang berupaya meraih sepenuhnya apa-apa yang menjadi harapan beliau as kepada kita. Saya (Hudhur V atba) membawakan berbagai nasehat beliau as yang adalah penting untuk memperindah keagamaan kita dan kerohanian kita bahkan juga untuk kemajuan duniawi kita. Dan sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as telah sabdakan, apabila kita tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mengamalkan sabda-sabda beliau as dengan penuh perhatian tentulah kita pun tidak dapat disebut sebagai pengikut sejati, tidak dapat disebut melaksanakan ittiba’ (mengikut).

Pada zaman ini, sebuah pekerjaan yang sangat besar yang telah ditugaskan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as ialah untuk menyampaikan pesan Islam ke seluruh dunia; hal ini adalah juga merupakan tugas mereka yang beriman kepada beliau as. Akan tetapi untuk itu kita satu dengan yang lain harus menjadi contoh teladan. Sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan, laksanakanlah dalam diri kalian sendiri agar dapat memberikan pengaruh kepada orang lain segera setelah sebelumnya berpengaruh dalam diri kalian sendiri. Hadhrat Masih Mau’ud as di satu tempat bersabda tentang agar kita menaruh perhatian kepada perkataan dan perbuatan kita,

“Jika pembicaraan kita berdasarkan qaala wa qiila (ia berkata dan dikatakan olehnya) dan kata-kata atas dasar riya maka apa keistimewaan antara orang-orang lain dan kita; dan apakah keutamaan kita diatas yang lain? Perlihatkanlah oleh kalian dengan contoh secara pengamalan oleh diri kalian sendiri dan di dalamnya (di dalam contoh amalan itu) ada cahaya cemerlang supaya orang lain terpikat untuk menerimanya karena jika di dalam dirinya tidak terdapat cahaya tentu tidak ada seorang pun yang menerimanya.” [5]

Maksudnya, nafs (diri, jiwa) yang lahir dan batinnya bercahaya bersih cemerlang inilah yang harus kita ciptakan di dalam keadaan-keadaan diri kita agar dapat menjadi orang yang melaksanakan janji baiat kita.

Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,

“Apabila kita hanya berkata-kata saja maka ingatlah bahwa sedikit pun itu tidak berguna. Adalah sangat penting agar menang, maka bertakwalah. Barangsiapa yang ingin menang, jadilah kamu orang yang muttaqi (bertakwa).” [6]

Kemudian beliau as bersabda,

“Allah Ta’ala sangat mengasihi orang yang muttaqi. Ingatlah senantiasa akan keagungan Allah Ta’ala.” (Hendaklah menciptakan rasa takut dalam hati kepada Allah. Ciptakanlah rasa cinta dan takut kepada-Nya di dalam hatimu) Bersabda, “Dan ingatlah selalu! Bahwa semuanya adalah hamba (sesama makhluk ciptaan) Allah Ta’ala. Maka janganlah bersikap zalim (aniaya) terhadap siapa pun. Janganlah kasar kepada mereka. Janganlah memandang rendah (hina) orang lain. Jika ada seseorang dalam Jemaat yang melakukan perbuatan cemar (kotor), berarti ia pun mencemari semuanya (jemaat secara keseluruhan). Jika engkau cenderung bertabiat panas (yakni cepat marah), maka telitilah hatimu, dari manakah sumber (asal) panas itu. Tahapan ini sangat membahayakan.” [7]

Kemarahan adalah hal yang fitrati. Namun demikian, di dalam diri seorang beriman hendaknya tidak takluk atau kalah oleh kemarahan (maghluubul ghadhab) bahkan hendaknya dapat mendatangkan tekad untuk perbaikan atas kebiasaan cepat marah tersebut. Di satu tempat beliau as bersabda,

“Perlakukanlah setiap orang dengan baik…hak-hak saudara. Hendaknya pula memperlakukannya dengan baik. Apabila di dalam hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Allah Ta’ala maka hendaklah memisahkan diri darinya.” [8]

Kemudian sembari mengarahkan perhatian kepada hal ini bahwa sejauh mana khauf (sikap takut) kepada Allah Ta’ala, ukurannya bagaimana hendaknya atau seperti apa hendaknya, beliau as bersabda,

“Sikap takut kepada Allah adalah manakala seorang insan telah dapat melihat sejauh mana persesuaian antara perkataan dengan perbuatannya. Maka bila ia melihat ucapan dan perbuatan tidak selaras, ia pun menyadari dirinya niscaya akan mendapat hukuman Ilahi. Seberapapun tampak suci perkataan yang diucapkan seseorang yang hatinya tidak suci murni, tiada nilainya sedikit pun dalam pandangan Tuhan bahkan, justru mengundang murka Allah Ta’ala. Oleh karena itulah Jemaat saya  hendaknya menyadari mengapa mereka perlu mendekat kepada saya, ialah agar saya dapat menanamkan benih yang dapat menumbuhkan pohon yang berbuah. Maka setiap orang hendaknya memeriksa diri sendiri apa saja di kedalaman diri tersebut? Bagaimanakah keadaan batinnya? Jika Jemaat kita ini – kita berlindung kepada Allah – memiliki sesuatu yang lain di antara ucapan dan hatinya, tentu tidak akan mengalami khatimah bil khair (akhir kesudahan yang baik). Manakala Allah Ta’ala melihat suatu Jemaat yang hatinya kosong dan hanya banyak da’wa (mengaku-aku, banyak bicara), Dia yang Ghani (Tuhan Maha Kaya dan tidak memerlukan apa dan siapa pun), Dia tidak akan memperdulikannya. Pada waktu Perang Badar, janji kemenangan Ilahi telah diberikan. Harapan kemenangan tersebut telah menyebar ke mana-mana akan tetapi Hadhrat Rasulullah saw tetap berdoa dengan terisak tangis. Hadhrat Abu Bakar Siddiq ra pun bertanya, ‘Jika telah ada janji kemenangan Ilahi dalam segala bidang, mengapa masih diperlukan sikap mengiba-iba?’ Hadhrat Rasulullah saw menjawab, ‘Dia adalah Dzat yang Ghani, yakni, boleh jadi janji Ilahi tersebut mengandung beberapa syarat yang tersembunyi.” [9]

Jadi, tatkala Hadhrat Rasulullah saw saja yang Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada beliau keberhasilan (kejayaan), diriwayatkan dalam hadits bagaimana pada waktu perang Badr beliau saw berdoa sedemikian keras merintih dalam tangisan sehingga kain di bahu beliau sampai terjatuh. Beliau tengah terus-menerus berdoa, “Kami tidak mengetahui jangan-jangan ada syarat tersembunyi yang belum kami penuhi.” [10]

Apabila pada beliau ada syarat-syarat tersembunyi kemajuan, syarat-syarat tersembunyi kemenangan maka bagaimana pula dengan orang lain yang padanya tidak terdapat syarat-syarat ini. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mengentahui rahasia Allah Ta’ala. Sangat penting bagi kita masing-masing untuk menyucikan diri.

Kemudian beliau as bersabda,

“Syarat bagi ahli taqwa (orang-orang bertakwa) ialah agar mereka senantiasa menjalani kehidupannya dalam ghurbat (terasing, tidak menonjolkan diri) dan miskiini (sederhana dan penuh kerendahan hati). Ini adalah ranting cabang dari ketakwaan yang dengan melaluinya kita dapat menahan na jaa-iz ghadhab (gejolak kemarahan yang tidak diperbolehkan). Tahap akhir bagi orang-orang besar dari kalangan arif dan shiddiq adalah menyelamatkan diri dari ghadhab (gejolak kemarahan).” (Adalah penting untuk menghindari kemarahan) Bersabda, “Sikap ‘ujub (memandang diri sendiri dengan bangga) dan kesombongan timbul dari ghadhab (kemarahan) adakalanya, ghadhab tersebut pun dampak dari sikap ‘ujub dan keangkuhan. (Kadangkala kemarahan timbul karena takabbur. Kadangkala kemarahan timbul karena takabbur dan bangga diri; dan kadangkala kemarahan menimbulkan takabbur dan bangga diri) Kemarahan timbul di dalam diri orang yang memandang tinggi dirinya sendiri di atas orang lain. Saya tidak menghendaki orang-orang di dalam Jemaat saya satu dengan yang lain memandang kecil (rendah), atau satu dengan yang lain memandang lebih besar (mulia), atau satu dengan yang lain saling membanggakan diri, ataupun memandang yang lain dengan menghina (mengecilkan). Hanya Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui siapakah yang besar siapa pula yang kecil. Hal itu adalah satu macam dari perendahan (penghinaan).” (Yang di dalamnya terbawa sikap takabbur) “Dikhawatirkan semua hal tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan dapat menjadi tambahan cikal-bakal kehancuran.” Bersabda, “Sebagian orang demikian hormatnya manakala mereka berjumpa dengan orang besar (orang mulia, berpangkat dan lain-lain). Namun, seorang yang besar (mulia) adalah dia yang dengan cara miskiini (dengan merendah, kerendahan hati) mau mendengarkan perkataan orang miskin. Ia mengupayakan dirinya merasa senang hati (tidak sempit pikiran berbincang-bincang dengan orang miskin tersebut). Ia menghormati kata-katanya. Ia tidak akan menimpalinya dengan sesuatu perkataan yang akan menyinggung perasaan (melukai hati) orang tersebut. Allah Ta’ala menyatakan,

 وَلا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

yakni, ‘‘…..begitu pula janganlah panggil memanggil dengan nama buruk. Seburuk-buruknya nama adalah fasiq sesudah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang dzalim.’ (Surah Al-Hujuraat, 49 : 12) “(yakni, setelah seseorang beriman, inilah perbuatan dosa yang sangat besar. Pertama وَلا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ “Janganlah satu dengan yang lain memanggil dengan julukan buruk dan seburuk-buruk dosa setelah dalam keimanan adalah demikian itu dan barangsiapa yang tidak bertaubat mereka itulah orang-orang yang zalim.”) Bersabda, “Janganlah memanggil sesuatu nama julukan buruk. Ini adalah perbuatan fussaaq (sangat fasik) dan fujjaar (sangat berdosa). (Orang yang tidak menaati Allah Ta’ala, mereka yang berjalan di belakang setan, inilah dia pekerjaan mereka) “Barangsiapa yang memanggil dengan nama buruk, tidak akan mati sebelum ia sendiri seperti keburukan yang ia panggilkan kepada orang lain itu. Janganlah merendahkan sesama saudaramu. Jika tuan-tuan sekalian meminum dari sumber mata air yang sama, siapa pula yang dapat mengetahui ada yang beruntung dapat mereguknya lebih banyak? Seseorang tidak dapat dimuliakan ataupun dihormati berdasarkan pertimbangan duniawinya. Sebab, dalam pandangan Allah Ta’ala, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa, إن أكرمكم عند الله أتقاكم

‘Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui. Maha Waspada.’” (Surah Al-Hujuraat, 49 : 14) [11]

Beliau as pun bersabda, “Firasat yang benar dan ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak dapat diperoleh tanpa adanya ruju’ (senantiasa kembali) dengan Allah Ta’ala.” (Akal, pikiran dan firasat tidak dapat diperoleh tanpa merendahkan diri di hadapan Allah, tanpa ruju’ (senantiasa kembali) kepada-Nya.) Sabdanya, “Inilah sebabnya dikatakan, اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللهِ ‘Waspadalah terhadap firasat orang beriman karena ia melihat dengan nur Allah.’ Firasat yang benar dan ilmu pengetahuan hakiki tidak akan pernah didapatkan sebelum mencapai ketakwaan yang sempurna. Bila engkau ingin berhasil, pergunakanlah akalmu. Berpikirlah! Renungkanlah! Terdapat di dalam Alqur’anul Karim berkali-kali menekankan perintah tersebut. Pelajarilah yang tercantum dalam kitaabi maknun (ilmu-ilmu dan tafsir-tafsir mendalam tersembunyi dalam ayat-ayat Alqur’an) dan Alqur’anul Karim dan jadilah orang yang berjiwa murni. Bila qalbu engkau telah disucikan, maka engkau pun akan menggunakan aql saliim (akal murni) tersebut, dan menjadi orang yang mengedepankan jalan ketakwaan. Kemudian sehingga dua daya kemampuan itu pun tercipta, dengan kondisi seperti dinyatakan,  رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 ‘….Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menjadikan ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab Api.’ (Surah Ali Imran, 3 : 192) Ungkapan pernyataan tersebut akan keluar dari hatimu. Pada saat itulah engkau menyadari, bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, memang tiada yang sia-sia. Melainkan, justru menunjukkan kebenaran dan bukti keberadaan Allah, Sang Khalik Yang Hakiki. Sehingga semua ilmu pengetahuan dan fann (sains, teknologi, keahlian teknik) pada hakekatnya adalah untuk membenarkan agama [Islam], yang semakin terbukti.” [12]

Kemudian hal ini (pernyataan ini) keluar (tulus) dari hati bahwa Allah Ta’ala yang menciptakan banyak hal, tidak berdusta, tidak bathil. Allah Ta’ala Maha Suci dan mohonlah dalam doa kepada-Nya, “Ya Allah selamatkanlah kami dari azab api.” Sabda beliau, bahwa tatkala doa ini benar-benar keluar dari hati maka pada waktu itu akan muncul pemahaman bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah Ta’ala diciptakan bukan tidak berfaedah. Segala sesuatu mempunyai maksud (tujuan). Bila ia manusia maka setiap manusia memiliki maqam (kedudukan) masing-masing. Adalah keharusan untuk menghormatinya. Bahkan, seluruh makhluk Allah Ta’ala mempunyai maksud (tujuan) sendiri. Berusahalah untuk memahaminya maka engkau pun akan paham bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan sesuatu pun tanpa sebab.

Bersabda, “Supaya menampakkan (menjadikan) berbagai macam ilmu dan fann (sains, teknologi, keahlian teknik) untuk menyokong agama.” Akal pikiran kalian akan maju maka seketika itu pula berbagai jenis ilmu yang merupakan ilmu-ilmu duniawi dan teknologi (ketrampilan teknik) akan menjadi pembantu agama dan rahasia-rahasianya akan terbuka dan zahir kepada kalian. Jadi, pada waktu itu ruh kemajuan kebaikan-kebaikan akan tercipta tatkala mengusahakan meraih ilmu Alqur’anul Karim, memahaminya dan meraih makrifatnya. Oleh karena itu, untuk menjadi mu’min hakiki dan ikut serta dalam golongan orang-orang tersebut yang meraih pengertian dan pemahaman akan kebaikan-kebaikan hakiki maka ia harus mempelajari Alqur’nul Karim dengan sepenuh perhatian juga. Darinya ilmu dan makrifat bertambah.

Kemudian di satu tempat beliau as bersabda, “Bila engkau menginginkan falaah (kesuksesan, kesejahteraan) di dua tempat (dunia dan akhirat) dan memenangkan hati orang lain, berusahalah menempuh kesucian. Gunakanlah akal dan jalankanlah petunjuk-petunjuk Kalam Ilahi. Perbaikilah (hiasilah) diri sendiri dan perlihatkanlah teladan akhlak fadillah kepada orang lain. Hanya dengan cara itulah engkau akan berhasil. Orang bijak berucap (dalam bahasa Farsi), ‘Sakhn kaz dil barong aaid nasyind laa jarm bar dil’ _ “Apa saja perkataan yang keluar dari hati (pikiran engkau) itulah yang akan turun (mempengaruhi) ke hati orang lain’. Jadi, pertama-tama ciptakanlah hati (teguhkanlah qalbu). Jika engkau ingin member kesan (pengaruh) qalbu orang lain, ciptakanlah kekuatan amalan dalam diri kalian sendiri. Sebab, tanpa amalan, kekuatan perkataan dan kekuatan lisan tidak akan bermanfaat apa-apa. Ada ratusan ribu penceramah (pembicara) ulung. Banyak sekali maulwi dan ulama yang sering tampil di mimbar-mimbar, dan menyatakan, bahwa mereka itulah naib ar-rasul (pembantu Rasul) dan waratsatul anbiyaa (pewaris para nabi), mereka banyak memberi nasehat. Kata mereka, ‘Jauhilah takabbur, menipu dan penyakit akhlak lainnya!’ Namun, justru itulah perbuatan mereka. Engkau dapat mengenali mereka sebenarnya dengan ukuran seberapa jauh segala ucapan mereka itu mampu menyentuh qalbu?” [13]

Sesungguhnya dalam hati mereka yang telah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as tidak terpengaruh (terkesan) dengan para maulwi (ulama) itu, akan tetapi mereka yang tidak beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as diantara mereka terdapat orang-orang terpelajar, biasa berpikir kritis, di dalam diri mereka terdapat syarafat (keadaban, kesantunan) yang bila ditanya mereka pun mengakui bahwa mereka (para ulama) melakukan begini tetapi berkata begitu. Selain fitnah dan fasaad tidak ada lagi yang sering mereka lakukan. Jadi, perkataan dan perbuatan kita hendaknya satu (sama), dengan cara itu jalan tabligh kita akan terbuka dan memberikan pengaruh kepada orang lain.

 Kemudian mengenai ilmu-ilmu baru (modern) yang hendaknya meraihnya, beliau as bersabda,

“Saya menganggap salah para maulwi yang menentang pengkajian ilmu-ilmu baru (modern). Pada kenyataannya, mereka bersikap demikian untuk menutupi kesalahan dan kelemahan dirinya. Ini dikarenakan di kepala mereka telah tertanam, ‘Menuntut ilmu pengetahuan modern menjadikan seseorang bersangka buruk terhadap Islam dan sesat.’ Mereka memfatwakan, akal (rasionalitas) dan sains adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan Islam. Dikarenakan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengkritik kelemahan filsafat, maka untuk menyembunyikan kelemahan mereka tersebut, mereka pun mengambil jalan dengan berfatwa, ‘Tidak perlu (tidak boleh) menuntut ilmu pengetahuan modern.’ Jiwa mereka gemetar mendengar nama filosof, dan terjerambab di hadapan berbagai bukti riset ilmu pengetahuan terbaru. Ini disebabkan mereka belum menerima filsafat yang benar yang muncul berdasarkan ilham Ilahi yang sudah tersedia di dalam Alqur’anul Karim. (Mereka tidak mampu menjawab filsafat duniawi oleh karena itu mereka memfatwakan, ‘Jangan pelajari, jangan melihat-lihat!’) Bersabda, “Ini disebabkan mereka belum menerima filsafat yang benar yang muncul berdasarkan ilham Ilahi yang sudah tersedia di dalam Alqur’anul Karim. Hal tersebut hanya diberikan kepada mereka yang mengetuk pintu Tuhan dengan sangat menghinakan diri dan kefanaan.” (Mereka yang menempatkan dirinya di depan pintu Tuhan. Bersimpuh merendahkan diri di hadirat Allah Ta’ala, memohon pertolongannya) “…yaitu mereka yang mengeluarkan bau busuk pikiran-pikiran keangkuhan dari qalbu dan pikirannya (membersihkan hati dan pikiran dari segala bentuk ketakaburan) dan mengakui (menyadari) kelemahan dirinya dan mereka menyatakan jatuh dalam penghambaan yang sebenarnya [kepada Allah].” (Apabila terdapat keadaan ini maka selanjutnya ia mendapat anugerah ilmu dan makrifat) [14]

 Beliau as kemudian bersabda,

“Jadi, sekarang ini perlu raihlah ilmu-ilmu modern dengan bertujuan untuk mengkhidmati agama dan meninggikan kalimat Allah.” (Raihlah ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk digunakan bagi penyebarluasan agama.) “Dan raihlah itu dengan upaya dan kerja keras.” (Rajin-rajinlah dalam meraih ilmunya. Majukanlah bidang sains. Pergilah melakukan riset. Secara khusus saya (Hudhur V atba) berkata kepada para mahasiswa Ahmadi saat ini, ‘Berusahalah mengarah pada hal itu. Ini juga adalah sarana untuk tabligh dan sarana untuk menyebarluaskan kebaikan-kebaikan. Tatkala ilmu telah diraih, ilmu dunia adalah ilmu modern saat ini, ilmu sains, bilamana itu semua telah diraih maka akan sangat banyak tambahan jalan yang akan terbuka.’)

Bersabda, “Raihlah ilmu-ilmu modern dan dapatkanlah dengan upaya dan usaha keras. Namun demikian, perkara ini pun telah ada dalam pengalaman saya, dan saya telah mengemukakan hal ini sebagai peringatan, bahwa ada sebagian orang yang memperoleh ilmu pengetahuannya hanya dari satu sisi saja, lalu terobsesi dan tenggelam di dalamnya sampai-sampai mereka tidak berjumpa dan duduk-duduk bersama ahli dil dan ahli dzikr (ahli hati dan ahli dzikir, rohaniawan) dan dalam diri mereka tidak terdapat nur Ilahi dan orang-orang semacam itu biasanya menjadi tenggelam dan menjauh dari Islam.” (Raihlah ilmu-ilmu pengetahuan tanpa ragu-ragu tetapi bersamaan denga itu baca dan pelajarilah ilmu-ilmu Alqur’an, raihlah ilmu-ilmu [Alqur’an] itu agar engkau berjalan dengan benar kemudian barangsiapa yang memiliki ilmu Alqur’an, hendaklah engkau berhubungan dengannya) “…alih-alih (bukannya) menjadikan ilmu-ilmu (pengetahuan modern) tersebut mengikuti Islam, mereka itu justru mengupayakan agar Islam berada di bawah ilmu pengetahuan, dengan asumsi bahwa sikapnya itu sudah cukup menjadikan dirinya berperan dalam mengkhidmati agama dan bangsa. Namun, hendaknya diingat, pekerjaan ini hanya bisa dilakukan, seseorang hanya dapat mengkhidmati agama bila cahaya pencerahan Langit menetap di dalam dirinya.” [15]

Di zaman ini, kita dapat menemukan penjelasan ini dari Hadhrat Masih Mau’ud as. Oleh karena itu, dengan membaca buku-buku beliau as untuk memahami Alqur’anul Karim beserta tafsirnya dan membaca tafsir-tafsir beliau as adalah sangat penting. Kemudian beliau mempertemukan sains dan ilmu-ilmu agama secara bersama-sama dan di mana pun tidak ada satu kata yang ilmu-ilmu duniawi berada diatas ilmu-ilmu agama. Agama selalu berada diatas dan ilmu-ilmu duniawi, ilmu-ilmu sains pun mengikutinya. Beliau as menjelaskan maksud ayat صابروا ورابطوا ‘shaabiruu wa raabithuu’ – “…dan tingkatkanlah kesabaran, dan berjaga-jagalah di perbatasan…” (Surah Ali Imran, 3 : 201),

“Sebagaimana penting adanya para penjaga berkuda untuk menjaga perbatasan dari ancaman musuh agar mereka tidak melewati perbatasan. Demikian pula, bersiap-siagalah kalian.” Untuk menjaga batas-batas (wilayah negara) diperlukan para tentara. Pada zaman kuno (dahulu) tentara berkuda dipandang sangat bagus untuk itu. Pada zaman sekarang, terdapat berbagai macam alat modern, apabila harus menjaga negara, menjaga batas-batasnya maka menggunakannya adalah sangat penting. Bersabda, “Hendaknya tidak terjadi demikian bahwa pihak musuh melintas batas, lalu mencederai Islam. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, apabila engkau ingin mendukung dan mengkhidmati Islam, pertama-tama berusahalah menempuh ketakwaan dan kesucian sedemikian rupa, yang dengan itu akan membawa engkau ke dalam benteng perlindungan Allah Ta’ala yang kokoh.” (Semoga Allah Ta’ala menjadikan kalian dapat berlindung dalam benteng penjagaan-Nya) Lihatlah oleh kalian, betapa sudah melemahnya kekuatan luar kaum  Muslimin (nama baik dan rasa segan atau hormat di mata non Muslim). Bangsa-bangsa telah memandang dengan benci dan rendah kepada mereka.”

Keadaan serupa seperti seratus tahun sebelumnya pada zaman Hadhrat Masih Mau’ud as sekarang pun seperti itu bahkan telah bertambah (parah). Bisa dilihat pandangan merendahkan dan membenci (dari non Muslim) kepada kaum Muslimin dan kesalahan amal perbuatan mereka juga bisa disaksikan. Bersabda, “Jika keadaan internal kalian dan kekuatan hati kalian juga melemah dan merosot, maka sudahlah, engkau sudah selesai (tak ada lagi yang tersisa, tidak ada apa-apa lagi), pahamilah!” Bersabda, “Maka sucikanlah diri kalian agar qudsiy quwwat (daya penyucian) pun tertanam di dalam diri kalian, sehingga kalian pun laksana lasykar berkuda yang tangguh dalam menjaga perbatasan wilayahnya. Karunia Allah Ta’ala senantiasa menyertai orang-orang muttaqi dan saleh. Janganlah mengikuti orang-orang yang akhlak dan corak kehidupannya mencemari Islam (yakni sebagian orang mengaku Islam yang perbuatannya membuat orang-orang lain memandang Islam dengan wajah menghina dan membenci). Mereka, diantara orang Muslim yang melakukan perbuatan buruk dan yang tidak melaksanakan ajaran Islam, berarti mencemari nama baik Islam. [Pernah terjadi] ada seorang Muslim yang menenggak minuman keras lalu ia muntah di depan orang ramai. Sorbannya terlepas. Ia jatuh terjerambab ke selokan sampah dan comberan. Maka polisi pun terpaksa memukulinya dengan sepatu. Orang Hindu dan orang Isai (Kristen) menertawakannya. Perbuatannya yang menentang syariat (aturan agamanya) itu bukan saja membuatnya menjadi bahan tertawaan orang (menjatuhkan harkat dirinya sendiri), melainkan juga berdampak buruk pada nama baik Islam. Berbagai berita dan laporan semacam itu dari beberapa penjara (yang dikirim) kepada saya membuat diri saya sangat berduka. Manakala saya menyaksikan bahwa disebabkan perbuatan buruk orang-orang Muslim lalu kaum Muslimin menjadi sasaran cercaan. Hati (perasaan) saya menjadi risau disebabkan mereka yang telah mendapat shirath al-mustaqiim (jalan yang lurus), namun akibat perbuatan mereka yang buruk itu, bukan saja membinasakan diri mereka, namun Islam pun menjadi tercemar.” Nyatanya, kondisi sekarang pun masih seperti yang dulu itu. Di sini (London, Inggris) dimana banyak orang Islam datang kemari, silakan saudara-saudari saksikan mereka, pada perjalanan yang khususnya dengan menggunakan pesawat terbang yang di dalamnya minuman beralkohol (keras) bebas diperoleh, ketika mereka mengadakan perjalanan ke Pakistan atau menuju ke berbagai negara Arab, ada saja mereka (orang Islam) yang meminumnya tanpa merasa segan (malu) dan menyusahkan orang-orang (sesama penumpang) yang ada di sampingnya. Beliau as bersabda, “Jadi, buatlah sedemikian gerak-gerik kalian dan corak kehidupan kalian sehingga orang-orang kuffar (yang menolak Islam) satu titik pun tidak menemukan suatu hal yang membuat mereka menunjukkan tangannya kepada kalian (mengisyaratkan keburukan kepada kalian).”  [16]

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda menasehatkan suatu hal tentang siapakah pemberani yang sesungguhnya? Macam keberanian yang bagaimana yang hendaknya ada pada diri seorang Ahmadi, seorang beriman,

“Jemaat kita ini tidak memerlukan orang-orang kuat seperti para jagoan. (kita tidak menginginkan mereka) “Melainkan, orang-orang kuat yang diperlukan adalah orang-orang yang berusaha senantiasa melakukan perubahan akhlaknya (menuju perbaikan dan standar akhlak tinggi). Senyatanya, mereka (Ahmadi yang diharapkan beliau as) bukanlah orang kuat yang sanggup memindahkan sebuah gunung dari tempat asalnya. ’nehi nehi’ – “tidak tidak!”. Melainkan, orang yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki akhlaknya itulah yang disebut sebagai si pemberani sejati. Maka ingatlah selalu untuk memfaedahkan segala daya dan kekuatan engkau untuk merubah akhlak karena inilah yang sesungguhnya kekuatan dan keberanian hakiki.” [17]

Kemudian beliau as menasehatkan agar mengarahkan pandangan kepada akidah yang benar dan amal-amal saleh,

“Tambahan lagi, ada dua bagian perbekalan lebih lanjut yang hendaknya dimiliki oleh orang-orang shadiq (benar) lagi tulus ikhlas. Salah satunya (yang pertama) adalah aqaaid shahiihah (akidah yang benar). Ini merupakan karunia sempurna dari Allah Ta’ala, bahwa Dia berkenan menunjukkan kepada kita jalan yang kaamil (sempurna) dan mukammal (disempurnakan) melalui Hadhrat Rasulullah saw, tanpa harus bekerja atau pun usaha keras dari pihak kita. (Semuanya (Islam) telah disajikan dalam kondisi matang kepada kita. Dibuatkan dalam keadaan sudah selesai. Tidak memerlukan kerja keras.) “Sedangkan masih banyak orang alim yang masih terluputkan dari jalan lurus yang Allah telah perlihatkan kepada kita di zaman ini. Oleh karena itu, bersyukurlah atas karunia dan nikmat Tuhan ini dan bersyukur dalam kaitan ini adalah melakukan amal saleh dengan hati yang benar, bagian kedua setelah memperoleh aqaaid shahihah ini. Dengan pertolongan keadaan amal shalih tersebut, berdoalah memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia senantiasa memberi keteguhan langkah diatas akidah yang benar dan menganugerahi taufik untuk beramal saleh. Diantara bagian dari ibadah ialah berpuasa, shalat, zakat dan yang lainnya juga termasuk. Sadarilah oleh tuan-tuan, contohnya shalat saja. Ia datang (dikirimkan) ke dunia tetapi bukan berasal dari dunia. Hadhrat Rasulullah saw bersabda, قرة عيني في الصلاة ‘qurratu ‘ainii fish shalaah’ – “Kesejukan mataku ada di dalam shalat.”” [18]

Shalat datang ke dunia namun bukan dari dunia atau bukan benda orang-orang dunia. Mereka yang dapat menunaikan haknya (hak shalat) adalah orang beriman yang sebenarnya.

Bersabda hendaknya Jemaat kita melayangkan pandangan kearah akhirat, “Lihatlah kesudahan nasib kaum Luth dan yang lainnya. Adalah penting bagi setiap orang, meskipun hati mereka telah mengeras, usahakanlah untuk segera menyadarinya, ajarilah (kendalikanlah) agar melembut kembali dan menjadi rendah hati. Ini adalah perkara penting bagi Jemaat kita, karena tuan-tuan sekalian telah mendapatkan makrifat (ilmu rohani) yang menyegarkan. Orang yang mengatakan telah memperoleh makrifat tetapi tidak menjalankannya, berarti hanya bicara besar. Oleh karena itu Jemaat kita ini hendaknya tidak bersikap lalai terhadap orang lain. Atau memperlihatkan sikap cinta yang dingin terhadap mereka bukan sikap mencintai yang hangat. Tiap diri manusia memiliki harapannya masing-masing. Siapakah yang mengabarkan qadha dan qadar yang bersifat ghaib (tersembunyi).” Tidak ada yang tahu kapan dan apa yang akan terjadi. “Kehidupan tidak berjalan sesuai dengan harapan.” Kehidupan tidak sesuai dengan apa saja yang engkau inginkan. Bersabda, “Mata rantai harapan berbeda dengan silsilah (mata rantai) qadha dan qadar dan silsilah ini adalah benar. Ingatlah, adalah bahwa jalannya hidup manusia ada dalam kendali Allah Ta’ala. Apa yang diketahui tentangnya, apa saja yang ditulis di dalamnya (dalam suratan takdir manusia) oleh karena itu perlu membangunkan hati dan meniliknya.” [19]

Beliau as bersabda, “Berikhtiarlah menjalani ketakwaan, karena ketakwaan adalah suatu hal yang dapat disebut sebagai saripati dari syariat. Apabila syariat harus disampaikan dengan kata yang ringkas, intisari syariat itu adalah ketakwaan. Dan madaarij dan maraatib (tangga naik dan peringkat) ketakwaan sangat banyak, yang jika seorang pencari dengan benar sejak tingkatan dan pijakan awal telah teguh dan tulus ikhlas menempuhnya maka dikarenakan kelurusan dan kebenarannya dalam mencari ia mendapatkan a’la madaarij (tingkatan yang setinggi-tingginya). Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ‘innamaa yataqabbalullahu minal muttaqiin’ – “Sesungguhnya Allah mengabulkan dari doa-doa orang-orang muttaqi.” (Surlah Al-Maa-idah, 5 : 28). Ini adalah janji Ilahi yang pasti dan Dia tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya sebagaimana firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ‘innallaha laa yukhliful mii’aad’ – “Sesungguhnya, Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya.” (Surah Ar-Ra’d, 13 : 32). Jadi, apabila ketakwaan adalah syarat yang mengikat bagi kemakbulan doa-doa, apakah orang yang menginginkan agar doanya diterima tetap abai dan jauh dari Tuhan? Tidakkah itu adalah bodoh lagi pandir? Maka adalah suatu keharusan agar setiap anggota di dalam Jemaat kita ini mengedepankan jalan-jalan takwa agar memperoleh kebahagiaan atas doa-doanya dikabulkan dan imannya semakin bertambah.” [20]

Kemudian satu lagi nasehat beliau as bersabda, “Banyak sekali ilham dari Tuhan menyebutkan, ‘Jadilah kamu sekalian muttaqi dan berjalanlah di jalan ketakwaan maka Tuhan akan menyertai engkau.’ Hal ini membuat hati saya merasa pedih karena apa yang dapat saya lakukan agar jemaat kita mengusahakan kesucian dan ketakwaan.”

Lalu bersabda, “Saya sedemikian banyak berdoa agar dimenangkan dari kelemahan .Selama pada pandangan Tuhan ada orang Jemaat yang tidak menjadi muttaqi maka ia tidak diikutsertakan dalam pertolongan Tuhan. Ketakwaan adalah intisari (ringkasan) dari semua ajaran shuhuf-shuhuf (lembaran-lembaran suci nabi-nabi yang menjadi pegangan berbagai bangsa), Taurat dan Injil. Alqur’anul Karim telah mengungkapkan keagungan dan kesempurnaan keridhaan Tuhan dalam satu kata, yakni lafaz itu adalah ‘Taqwa’.” [21]

Beliau as telah menyampaikan pesan di satu zaman khususnya kepada Jemaat untuk banyak-banyak berdoa berikut, رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Rabbanaa aatina fid dunyaa hasanatan (w) wa fil aakhirati hasanatan (w) wa qinaa ‘adzaaban naar’ – “Ya Rabb (Tuhan Pencipta Pemelihara) kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari naar (api).” (Surah al-Baqarah, 2 : 202)[22]

Bersabda, “Taubat bukanlah suatu perkara yang berlebihan ataupun tidak berfaedah dan pengaruhnya hanya ada pada hari kiamat melainkan berdampak pula kepada corak kehidupan dunia dan agama seseorang kedua-duanya dan dengan [taubat] itu ia merasakan sendiri kenyamanan dan kebahagian sejati di dunia ini dan di dunia yang akan datang, kedua-duanya juga. Perhatikanlah! Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran Karim,  رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

‘Rabbanaa aatina fid dunyaa hasanatan (w) wa fil aakhirati hasanatan (w) wa qinaa ‘adzaaban naar’ – “Ya Rabb (Tuhan Pencipta Pemelihara) kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari naar (api). Camkanlah! Di dalam kata ‘Rabbana’ [Rabb kami] menunjukkan adanya sikap taubat yang menyiratkan bahwa ia kembali kepada Allah Ta’ala karena kata ‘Rabbanaa’ menghendaki agar ia meninggalkan rabb-rabb lainnya yang sebelumnya telah dibuat-buatnya sendiri lalu kembali kepada-Nya.” (yakni, manusia yang membuat ‘tuhan-tuhan’ lain hasil rekaannya sendiri) Perkataan ini tidak mungkin dapat dilontarkan oleh insan tanpa rasa nyeri dan pilu yang sebenarnya. Rabb ialah Dia meningkatkan secara bertahap menuju kesempurnaan, memelihara dan menjaganya. Pada kenyataannya, manusia sendiri yang menciptakan berbagai macam rabb. Sangat mengandalkan rencana dan siasatnya sendiri sedemikian rupa, sehingga menjadi rabb baginya. Sangat percaya diri kepada kekuatan ilmu atau fisiknya, itulah rabbnya. Mereka yang bangga dengan daya tarik fisik ataupun harta kekayaannya, itulah rabb mereka. Pendek kata, ada ribuan macam sarana dan prasarana dalam berbagai coraknya yang manusia bergantung kepadanya. Selama mereka belum mencampakkan semua itu, lalu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Alwahid Laa syariik (Allah yang Maha Tunggal dan tidak ada sekutu); Rabb Yang Benar dan Hakiki dan ia tidak kembali kepada-Nya dengan ratapan dan qalbu yang meleleh ketika mengucapkan ‘Rabbana…!, berarti orang itu tidak memahami Rabb Yang Sesungguhnya. Maka tatkala dengan hati dan jiwa yang trenyuh menyatakan ke hadirat-Nya dengan mengakui segala dosa, bertaubat dan mengucapkan ‘Rabbana! ‘Engkaulah Rabb yang Sebenarnya dan Sejati. Adalah kesalahan diri hamba sehingga tersesat ke berbagai tempat. Kini hamba telah meninggalkan berbagai tuhan palsu tersebut. Hamba berikrar mengakui dengan hati yang tulus akan Rabbubiyyat Engkau. Hamba datang ke Istana Engkau.’ Pendek kata, sungguh sulit menjadikan Tuhan sebagai Rabb hakiki, jika tidak menempuh cara ini. (Bila keadaan ini terjadi, saat itu pula Allah menjadi Rabb Hakikinya) “Sebelum seseorang mengeluarkan dari dalam hatinya (membersihkan hatinya) dari rabb lainnya, nilai-nilainya, keagungan dan gengsi, selama itu pula ia tidak akan benar dalam memandang Hakiki Rabb (Tuhan Hakiki) dengan segala sifat Rabbubiyyat-Nya. Sebagian orang menjadikan kedustaan sebagai rabb mereka. Mereka mengatakan tidak akan dapat berbuat apa-apa (musykil) jika tanpa dusta. Sebagian lagi dengan cara mencuri, merampok, dan tipu-menipu yang mereka anggap sebagai rabb mereka. Mereka meyakini jika tanpa  itu semua maka mereka tidak akan mempunyai jalan mendapat rezeki. Itulah ‘rabb’ ‘tuhan’ mereka. Perhatikanlah! Pencuri dengan mengandalkan segala peralatan dan perlengkapannya, mengambil waktu di malam hari dan tidak ada ronda, maka keadaan seperti itu, apakah ia berpikir ada satu cara selain mencuri untuk menghidupi dirinya? Ia menganggap perlengkapannya sebagai Tuhannya. Apakah mereka masih merasa perlu bersujud dan memohon kepada Tuhan?  (Mereka toh menganggap sesuatu sebagai rabb mereka.)

Bersabda, “Seseorang yang memerlukan doa [kepada Allah] ialah dia yang mendapati seluruh jalan telah tertutup kecuali pintu Allah dan itu keluar tulus dari hatinya. Jadi, hanya insan yang sudah sanggup menutup semua [hal duniawi] itulah yang sungguh-sungguh berdoa dan menjadikan Allah sebagai andalannya yang utama.

Ringkasnya, maksud doa ‘…Rabbanaa aatinaa fii dunnyaa…dst, atau, ‘Ya Tuhan kami, berilah kepada kami segala yang baik di dunia..…’, adalah hanya bagi mereka yang telah beriman kepada Allah sebagai Tuhan mereka yang hakiki, dan telah meyakini sepenuhnya, bahwa ‘tuhan-tuhan lain adalah palsu, lagi tiada arti. (وَقِنا عذابَ النارِ wa qinaa ‘adzaaban naar) Bersabda, “Api (naar) di sini bukan hanya api di akhirat nanti. Sebab, bagi orang yang telah mencapai usia lanjut, memahami ada ribuan jenis api di kehidupan dunia ini. Mereka yang berpengalaman mengetahui ada begitu banyak api di dunia. Berbagai macam bentuk azab, ketakutan, faqiraanah (kemiskinan yang sangat), wabah penyakit, kegagalan, penghinaan, ribuan macam kedukaan, pertikaian suami-istri, anak yang bermasalah, percekcokan keluarga; ini semua adalah naar (api). Seorang Mukmin senantiasa berdoa, memohon kepada Allah, agar dihindarkan dari semua itu. Yakni, kita senantiasa memohon pertolongan Allah agar diselamatkan dari segala macam kesusahan tersebut, yang membuat kehidupan dunia ini menjadi nestapa, bagai hidup di dalam neraka. [23]

Kemudian Tuhan telah berjanji kepada Ahmadi hakiki. Sebagian daripadanya telah saya sebutkan sebelumnya, beliau as bersabda menyebutkan rinciannya,

“Allah Ta’ala menyatakan dalam Alqur’an,  وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‘.. wa jaa’ilulladziinat taba’uuka fauqalladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah‘ – “… Dan Dia akan menjadikan orang-orang yang mengikut engkau di atas orang yang ingkar, hingga Hari Kiamat” (Surah Ali Imran, 3 : 56). Ini adalah janji karunia menggembirakan yang dibuat untuk Hadhrat Isa ibnu Maryam as. Namun, saya memberi kabar suka kepadamu sekalian, bahwa Allah Ta’ala pun telah memberikan kabar suka kepada Ibnu Maryam yang akan datang yang dengan [menyandang] nama Yasu’ Masih (Isa al-Masih), Dia telah berfirman dalam kata-kata yang sama.” (bahwa saya yang adalah telah datang setelah menjadi Masih, Allah Ta’ala juga memberikan kabar suka seperti ini kepada saya, Masih Mau’ud) “Sekarang pikirkanlah oleh tuan-tuan, mereka yang ingin terkait erat dengan saya dan ikut serta dalam janji agung ini dan kabar suka yang agung ini. Apakah orang-orang itu sama dengan mereka yang jatuh dan tetap berkubang di dalam derajat ammarah dan tetap menjalani kefasikan dan dosa? Tidak! Tentu saja tidak! Mereka yang sungguh-sungguh menilai benar janji Allah Ta’ala ini dan tidak menganggap perkataanku ini sebagai dongeng biasa saja maka ingatlah dan dengarkanlah dengan segenap hatimu. Dengan ini sekali lagi saya menujukan perkataan saya kepada mereka yang terkait dengan saya, bahwa ikatan ini bukanlah ikatan biasa, melainkan suatu ikatan istimewa, yang bukan hanya terkait dengan diri saya, melainkan juga dengan Dzat Allah Ta’ala yang telah membawa saya kepada sang insan kamil [Hadhrat Muhammad Rasulullah saw], yang telah berhasil membawakan ruh kebenaran dan jalan [kebenaran] ke dunia ini. Saya katakan, jika perkara ini hanya terkait dengan diri saya, saya tidak khawatir, tidak prihatin dan juga tidak peduli. Tetapi tidak demikian. Pengaruhnya terkait dengan Nabi kita Hadhrat [Muhammad] Rasulullah saw, dan Dzat Tuhan Yang Maha Dahsyat. Setelah gambaran dan keadaan seperti itu diuraikan maka dengarlah! Jika engkau ingin menjadi bagian dari kabar suka dan berhak untuk itu dan engkau sungguh-sungguh mendambakan demikian banyak keberhasilan [memperoleh keunggulan diatas mereka yang ingkar hingga Hari Kiyamat], saya mengatakan, ‘Falah, kesuksesan tersebut tidak akan dapat diperoleh sebelum engkau melewati derajat lawwamah, kemudian mencapai derajat menara muthmainnah. Saya tak dapat berkata apa-apa lagi selain daripada ini bagi engkau yang telah mengaitkan diri dengan seseorang yang telah diutus oleh Allah Ta’ala. Dengarlah perkataan-perkataan ini dengan segenap hati nurani, dan sigap untuk melaksanakannya sehingga engkau pun tidak termasuk orang-orang yang setelah menerima kebenaran lalu terjatuh ke dalam kekotoran penolakan, lalu membeli siksaan abadi.” [24]    

Ringkasnya, di dalam nasehat-nasehat ini terdapat beberapa nasehat yang dalam berbagai waktu Hadhrat Masih Mau’ud as senantiasa menyampaikannya kepada Jemaat beliau. Alangkah berbahagianya mereka yang secara langsung mendapatkan berkat lewat pergaulan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as serta mendengarkan nasehat-nasehat ini. Berbahagialah kita yang kepada kita nasehat-nasehat ini sampai. Dan kita harus menyampaikan penghargaan kepada orang-orang itu yang menyampaikan nasehat-nasehat tersebut agar kita menjadi orang-orang yang memahami hakikat perjanjian baiat. Diantara orang-orang itu dapat menjadi pengamal kebaikan-kebaikan dan memahami ruh kebaikan lalu menyebarluaskannya. Diantara mereka menjadi orang-orang yang setiap waktu berusaha melangkah maju ke depan dalam rangka mengupayakan kebaikan-kebaikan. Di zaman ini Hadhrat Masih Mau’ud as menunjukkan jalan ketakwaan hakiki kepada kita dan kita diberi pemahaman dan pengertian mengenainya. Jadi, merupakan kewajiban masing-masing dari kita menjadi hamba Allah Ta’ala yang melewatkan hidup dalam rasa syukur kita dengan cara menjadikan diri kita maju dalam ketakwaan. Semoga Allah  Ta’ala menganugerahi taufik kepada kita.

 Pada waktu ini setelah shalat Jum’at saya akan memimpin shalat jenazah ghaib. Pertama, murabbi silsilah kita di Markaz yang bertugas di Rabwah, Mukarram tuan Sheikh Muhammad Naim ibn (putra) Syaikh Muhammad Aslam. Tinggal di Dunyapur. Pekerjaan beliau ada di seksi pengaturan record (data, rekaman), yang berada dalam bagian pengaturan data Anjuman dan lainnya. Bekerja di kantor. Mendapatkan serangan jantung pada saat kerja di sana. Dibawa ke rumah sakit namun para dokter yang telah berusaha penuh tidak dapat menyelamatkan hidupnya sehingga beliau meninggal dunia. Beliau pergi menghadap Allah Ta’ala. Umur beliau 62 tahun. Seorang yang periang dan pemilik kepribadian mulia. Biasa bekerja keras dan rajin. Telah berwasiyat pada umur 18 tahun. Pernah berkhidmat sebagai muballigh di Sierra Leone. Kemudian berkhidmat sebagai muballigh di berbagai daerah di Pakistan. Seperti telah saya sampaikan, pada saat terakhir, tugas beliau ada di seksi pengaturan record (data, rekaman) dan beliau mengerjakannya dengan riang gembira. Beliau adalah menantu dari Mukarram Maulana Rasyid Ahmad Caghtai almarhum, murabbi silsilah. Belum dikaruniai anak. Beliau meninggalkan seorang istri dan anak perempuan yang diasuh sebagai anak. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan mereka kesabaran, semangat dan harapan positif serta memberikan derajat-derajat tinggi kepada almarhum.

Jenazah kedua, Mukarram Ahsan Kamal putra Mukarram Muzhaffar Iqbal dari halqah Shadr Karachi (Pakistan). Beliau berasal dari daerah Layyah, Punjab. Kakek buyut beliau telah Ahmadi. Beliau adalah sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as yang baiat langsung di tangan beliau as. begitu pula kakek almarhum juga memiliki hubungan yang erat dengan Hadhrat Khalifatul Masih ar-Raabi’ (IV). Ibunda beliau adalah Sadr Lajnah tingkat halqah. Halqah Mahmudabad di Karachi. Di sini terdapat penentangan yang cukup keras. Sebelumnya telah 3 orang disyahidkan di sana. Pada waktu ini beliau sedang bekerja di sebuah perusahaan dan pada tanggal 18 Januari seperti biasanya beliau sibuk dalam pekerjaannya di kantor tiba-tiba pada jam setengah empat datang dua orang yang mengendarai sepeda motor dan berupaya merampas mobile beliau. Pada waktu mempertahankannya, beliau ditembak dua kali sehingga beliau syahid di tempat. Kelihatan dari awal bahwa beliau disyahidkan bukan karena keadaan beliau sebagai Ahmadi, pada dasarnya, beliau membuat perampokan tidak terjadi dengan mudah (leluasa). Akan tetapi bila pun beliau tidak meraih martabat Jemaati syahaadat (kesyahidan karena menjadi Jemaat) keadaan beliau sedang bekerja di kantor dan mempertahankannya di sana dengan nyawanya pun ini adalah syahaadat (kesyahidan). Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan derajat-derajat tinggi kepadanya [di surga]. Beliau berumur 30 tahun saat disyahidkan.

Dan jenazah ketiga, Mukarram Irfan Ahmad dari Unca Mangkot, wilayah Hafizabad. Wafat pada 9 Januari 2012. Beliau adalah putra dari Hadhrat Maulwi Fadhl Din, seorang sahabat. Beliau bergabung dengan batalyon Furqan setelah berdirinya Negara Pakistan. Seorang musi. Banyak membantu Khilafat dan Jemaat. Beliau meninggalkan seorang istri, 5 orang anak laki-laki dan 5 0rang anak perempuan. Salah satu putra beliau, tuan Ridhwan Ahmad adalah murabbi silsilah yang saat ini mendapat taufik berkhidmat di Ivory Coast (Pantai Gading, Afrika). Dikarenakan jenazah ada di sana maka tidak bisa dibawa kemari. Tiga jenazah akan ditunaikan kewajiban terhadapnya. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan semuanya dengan penuh pengampunan dan kasih-sayang dan kepada yang ditinggalkan dianugerahi kesabaran, semangat dan harapan tinggi.

Penerjemahan :         Mln. Dildaar Ahmad Dartono (Urdu)
Mahmud Ahmad Surahman (Inggris)

 [1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang perkasa

[2] Malfuzhaat jilid  I halaman 281-282 edisi 2003 terbitan Rabwah.

[3] Malfuzhaat jilid  I halaman 28 edisi 2003 terbitan Rabwah.

[4] Malfuzhaat jilid IV halaman 596 edisi 2003 terbitan Rabwah

[5] Malfuzhaat jilid IV halaman 116 edisi 2003 terbitan Rabwah

[6] Malfuzhaat jilid IV halaman 151-152 edisi 2003 terbitan Rabwah

[7] Malfuzhaat jilid I halaman 6, edisi 2003, terbitan Rabwah

[8] Malfuzhaat jilid I halaman 304, edisi 2003, terbitan Rabwah.

[9] Malfuzhaat jilid I halaman 8, edisi 2003, terbitan Rabwah.

[10] Syarh al-‘Allaamah Zurqani ‘alaa Mawaahibil Laduniyyah jilid 2 halaman 281-284 bab ghazwah badr al-Kubra, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996

[11] Malfuzhaat jilid I halaman 22-23, edisi 2003, terbitan Rabwah.

[12] Malfuuzhaat jilid I halaman 41-42, edisi 2003, terbitan Rabwah.

[13] Malfuuzhaat, jilid I halaman 42, edisi 2003, terbitan Rabwah

[14] Malfuuzhaat, jilid I halaman 43, edisi 2003, terbitan Rabwah

[15] Malfuuzhaat, jilid I halaman 43, edisi 2003, terbitan Rabwah

[16] Malfuzat, jilid I, halaman 48-49, edisi 2003, terbitan Rabwah

[17] Malfuzat, jilid I, halaman 88-89, edisi 2003, terbitan Rabwah

[18] Malfuzat, jilid I, halaman 94-95, edisi 2003, terbitan Rabwah

[19] Malfuzat, jilid I, halaman 96, edisi 2003, terbitan Rabwah

[20] Malfuzat, jilid I, halaman 68, edisi 2003, terbitan Rabwah

[21] Malfuzat, jilid I, halaman 200, edisi 2003, terbitan Rabwah

[22] Malfuzat, jilid I, halaman 6, edisi 2003, terbitan Rabwah

[23] Malfuzat, jilid I, halaman 144-145, edisi 2003, terbitan Rabwah (Tafsirul Qur’an, oleh Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol.I, hlm.696–697).

[24] Malfuzat, jilid I, halaman 64-65, edisi 2003, terbitan Rabwah

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.