Beberapa Riwayat Para Sahabah Hadhrat Imam Mahdi a.s. (36th Jalsah Salanah- Germany 2011, dihadiri lk.30.000 orang)

Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba

24 Juni 2011, di Kota Messe Karlsruhe, Germany

            [Setelah mengucapkan tasyahud, taawudz, bismillah dan tilawat Surah Al Fatihah], Hudhur bersabda: ‘[Alhamdulillah, berkat taufik Allah Swt semata], kita dapat menyelenggarakan  Jalsah Salanah ini, yang maksud dan tujuannya, sebagaimana telah dijelaskan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s., adalah untuk menciptakan ta’aluq billah yang khas agar kita dapat mengenali hakekat tujuan diciptakannya manusia ini.   Oleh karena itu kita hendaknya mengisi kegiatan selama tiga hari tiga malam ini semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah Swt; mendapatkan talim dan tarbiyat kerohanian, berbagai perintah baru, serta nuansa kerohanian Jalsah Salanah.

          Kita pun hendaknya bertafakur dan mawas diri, apakah sudah dapat menghilangkan berbagai kelemahan diri sendiri sesuai dengan berbagai ajaran Allah dan Rasulullah Saw; atau sekurang-kurangnya berusaha sekuat tenaga untuk itu.

          Maka hendaknya kita pun menyimak semua Pidato dan Ceramah yang diberikan selama Jalsah, demi untuk peningkatan rohani kita.

          Kadangkala, suatu hal yang dianggap kecil, justru dapat menjadi sumber kebangunan rohani.

          Namun sayang, ada pula beberapa orang di antaranya yang mahrum dari faedah haqiqi menghadiri Jalsah disebabkan niat duniawi mereka.         Mereka itu mengatakan telah Bai’at kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., namun pada hakekatnya justru menjauh dari berbagai ajaran beliau a.s..

          Oleh karena itu, selama beberapa hari ber-Jalsah ini, hendaknya diisi dengan banyak-banyak berdoa dan ber-Istighfar.

          Yakni, jumlah mereka yang demikian itu sedikit saja. Sebaliknya, doa-doa dari jumlah mayoritas yang baik, dapat menjadi sumber bagi perbaikan diri mereka itu.

          Syaitan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dari berbagai nilai kebaikan.

          Maka, semoga Allah Saw senantiasa melindungi kita dari godaannya.

          Seluruh pewaqaf Jalsah hendaknya mengisi pula waktu mereka dengan banyak-banyak berdoa, ber-Shalawat dan ber-Istighfar, [sehingga syaitan pun pergi menjauh].
Pada tahun [2011] ini, Jalsah Salanah German dapat diselenggarakan di tempat yang baru.

          Pada Jalsah yang baru lalu [di Mannheim], Jama’at telah berhasil meninggalkan kesan yang sangat baik di lingkungan sekitar. Baik itu di lingkungan pemerintahan maupun di masyarakat umum.

          Maka harus diupayakan lagi untuk dapat meninggalkan kesan yang baik di kalangan pemerintahan maupun masyarakat umum di lingkungan tempat penyelenggaraan Jalsah yang baru, di [Messe Karlsruhe] sini. Bahkan harus lebih baik lagi, sehingga dapat menjadi sumber pertablighan [Islam] Ahmadiyah kepada pihak lain,.

          [Perhelatan akbar] ini telah menjadi suatu pengalaman baru bagi banyak hotel yang harus menyediakan konsumsi untuk sedemikian banyak tamu asal Asia.

          Dan disebabkan adanya kesalah-fahaman umum tentang Islam, pihak hotel sempat ragu-ragu untuk menerima kita. Namun saya mendapat informasi, untunglah pihak kepolisian telah berkenan memberikan jaminan kepada pihak hotel tersebut, mengenai keberadaan Jama’at ini.

          Walhasil, menunjukkan contoh yang baik bukan saja diperlukan di seputar Jalsah Gah, namun juga di berbagai tempat menginap, serta ketika pergi dan pulang dari Jalsah.

          Jika ada orang yang bersikap agresif, kaum Ahmadi hendaknya jangan melayaninya. Panitia Jalsah pun harap jangan melayaninya. Jangan memberi kesempatan kepada mereka yang menghadiri Jalsah untuk kesenangan duniawi. Atau mereka bersikap kasar hanya disebabkan keinginan pribadinya.        Mereka [para peserta] yang ego pribadinya tinggi ini hendaknya bersabar. Sebab, hari-hari ber-Jalsah ini semata-mata lillahi Taala. Oleh karena itu, berserah dirilah kepada Allah Swt..
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Berbagai kaum tengah bersiap untuk merubah keadaan diri mereka, untuk kemudian bergabung ke dalam Jamaat ini.’

          Hal ini hendaknya menjadi perhatian kaum Ahmadi lama.

          Yakni, para mubayin baru yang hadir di dalam Jalsah ini adalah mereka yang istimewa dalam hal kelurusan dan kesetiaannya.

          Kaum Ahmadi lama hendaknya senantiasa mawas diri terhadap keimanan mereka. Yakni, jangan sampai terjadi: Sementara berbagai kaum menjadi Muslimin yang sejati dan menerima berbagai keberkatan Ilahi, sedangkan keluarga Ahmadi lama justru tenggelam oleh urusan duniawi; mahrum dari berbagai keberkatan berjamaah dengan Hadhrat Imam Mahdi a.s..
Berikut ini saya sampaikan beberapa riwayat dari para sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang menggambarkan akhlakul karimah beliau a.s., yang hendaknya disimak dengan seksama:
(1). Hadhrat Ziaul Haq sahib meriwayatkan: ‘Aku bermusafar melintasi India untuk mencapai Qadian bersama dengan dua orang karibku, hingga kami tiba pada dinihari berikutnya.

          Lalu kami bermulaqat dengan  Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bada Salat  Zuhur; dan Bai’at bada Salat Maghrib [di Masjid Mubarak].

          Ketika Hudhur bertanya siapa namaku, aku pun menjawab: ‘Ziaul Haq’, dengan penekanan huruf ‘q’[qaf] di tenggorokan yang aku pikir sesuai dengan kebiasaan di daerah India yang berbahasa Urdu.

          Namun, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengulangi ucapan namaku tanpa penekanan di tenggorokan, yang untuk pertama kalinya aku sadari, inilah pengucapan langgam Punjabi.

          Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memerintahkan agar para mubayin baru ini diberi beberapa buku untuk dibaca, yang aku jawab: ‘Sudah, antara lain buku ‘Fateh Islam’ dan ‘Izalah Auham’ karya Hudhur’.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sangat senang mendengarnya.

          Kemudian beliau a.s. memerintahkan agar kami para tamu dari Orissa (India Timur) ini disuguhi nasi pada waktu makan.’

          Kami tinggal di Qadian selama tujuh hari, yang selalu mencari kesempatan untuk memijiti kaki Hadhrat Imam Mahdi a.s. [pada waktu Maghrib], namun cukup sulit karena beberapa orang Khuddam senantiasa berada di sekeliling beliau.
Kemudian, adalah kebiasaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., setelah sarapan, beliau pergi berjalan kaki yang diikuti oleh beberapa orang sahabah, dn kami pun ikut serta.

          Hudhur berjalan dengan langkah cepat, yang membuat kesulitan beberapa orang untuk selalu mendekat dengan beliau.

          Pada saat jalan pagi itulah aku bertanya: ‘Hudhur bolehkah kami nanti Salat di suatu Masjid di lingkungan tempat kami tinggal ?

          Beliau menjawab: ‘Tak mengapa, bila mereka mengizinkannya.’

          Aku bertanya lagi: ‘Mengapa mereka harus melarang kami ?’

          Hudhur hanya menjawab: ‘Bila pun mereka mengizinkan tuan-tuan, hendaknya Salat secara terpisah.’

          Sungguh aku belum menyadari pada waktu itu, bahwa penentangan terhadap beliau akan timbul sedemikian rupa, hingga beliau pun dituduh Kafir dan lain sebagainya.’

          Begitulah banyak orang yang tak menyadari di masa awal tersebut, bahwa betapa sengitnya penetangan yang akan mereka hadapi, menyusul Baiat mereka.

          Namun, di daerah tersebut kini, kita telah memiliki Masjid sendiri.

          Di German ini pun, dengan fadzal, karunia Allah Taala, Jama’at dapat membangun empat buah Masjid, dan memugar dua bangunan gedung menjadi Masjid.

          (2). Hadhrat Nizamuddin sahib meriwayatkan: ‘Ketika bada Jalsah aku menghadap Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk memohon izin cuti, datanglah seorang tamu dari Multan [Provinsi Punjab] menemui Hudhur, lalu meminta beliau a.s. dengan suatu ungkapan bahasa, kiranya berkenan untuk memberikan sesuatu Wazifa (azimat).

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab sambil tersenyum: ‘Perbanyaklah mengucapkan Shalawat [atas Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah Saw). Hanya inilah Wazifa yang mustajab.’

          Maka, hendaknya kita pun [banyak ber-Shalawat], sebagai Wazifa dalam hari-hari ber-Jalsah Salanah ini.

          Nizamuddin sahib melanjutkan: ‘Di Qadian itu, aku menyaksikan ada seorang Maulwi sahib yang sedang berkhidmat melayani keperluan minum para tamu yang sedang makan [di Langar Khanah] dengan cara mencicikannya dari kendi, sambil berdendang ria dan berpantun jenaka: ‘Silakan terka siapakah aku ini ? Dan mengapa aku berdendang-ria ?’

          Lalu ia menjawabnya sendiri: ‘Aku berdendang-ria karena aku ini bahagia dapat menjadi pramu-saji Hadhrat Imam Mahdi…..’

          (3). Hadhrat Mian AmirudDin [Gujarati] sahib meriwayatkan: ‘Suatu kali aku menyampaikan perihal hutang-piutangku kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

          Maka beliau a.s. menyuruh aku untuk memperbanyak Shalawat dan Istighfar.’

          Hendaknya ini pulalah amalan yang perlu dikerjakan oleh anda sekalian yang telah menyurat kepada saya, [memohon doa] mengenai kesulitan keuagan mereka. [Bahwa ber-Shalawat dan ber-Istighfar] inilah yang diajarkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

          Tak seberapa lama, Amiruddin sahib ini pun terbebas dari hutang-piutangnya.

          Beliau melanjutkan: ‘Aku senantiasa berghairat menunggu-nunggu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk Salat berjamaah; lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau a.s.

          Di dekat Baitud Doa tersebut ada satu ruangan kecil tempat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. biasa menawarkan nasi [dan lain sebagainya, kepada kami].

          Pada suatu kali, aku menghadiri Jalsah Salanah [Qadian] yang pada waktu itu tengah terjadi wabah penyakit ta’un yang meluas.

          Jumlah peserta Jalsah tersebut sekira 300 hingga 400 orang.

          Namun, setelah peristiwa besar wabah ta’un tersebut, aku menyaksikan jumlah anggota Jamaat ini meningkat dengan pesat.
Di Qadian itu, aku pun mengalami suatu saat tidak kebagian makan malam hingga harus pergi tidur dalam keadaan lapar.

          Pada malam itu pula Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerima wahyu Allah Swt: ‘[Yaa ayyuhannabiyyu atimul jaiya wal mutaq.’ Yakni, ‘Wahai nabi, berilah makan mereka yang lapar dan berkesusahan.’ [Tadhkirah, hlm. 884]     Maka keesokan paginya, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memeriksa kesigapan Langar Khanah dalam menyediakan makan. Lalu memerintahkan agar membuka pintu bagi siapa saja yang datang, dan pastikan mereka semua mendapat makan’.
(4). Hadhrat Hakim Abdul Samad sahib meriwayatkan: ‘Aku datang ke Qadian pada tahun 1907.

          Bada Salat Asar, aku berdiri mengantri di depan pintu Langar Khanah. Ketika pintu dibuka, orang pun mulai bergerak masuk. Namun tiba-tiba ada seseorang yang mendorong-balik mereka lalu menutup kembali pintu itu.  Selang beberapa waktu, ketika aku kembali lagi ke Langar Khanah, pintunya sudah terbuka lebar.

          Keesokan harinya, bada Salat Fajr Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menanyai para sahabah kalau-kalau ada sesuatu insiden kemarin.

          Hadhrat Maulwi Nuruddin r.a. menjawab: ‘Ya, disebabkan kesalah-fahaman petugas penanggung jawab Langar Khanah, seorang anak lelaki tiba-tiba menutup pintu itu.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: Mereka yang membuat kesalahan, hendaknya bersikap malu. Dan sungguh beruntunglah mereka yang amal shalihnya menyenangkan sampai terdengar hingga ke langit..

          Hadhrat Masih Mau;ud a.s. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Taala telah memanggilku dengan sebutan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni, ‘[Yaa ayyuhannabiyyu atimul jaiya wal mutaq.’ Yakni, ‘Wahai nabi, berilah makan mereka yang lapar dan berkesusahan.’ [Tadhkirah, hlm. 884].

          Hakim sahib melanjutkan: Bukan hal yang lumrah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menggunakan perkataan ‘Ya nabi’ kepada diri beliau sendiri.’

          Maksudnya, akan datang suatu saat ada setengah orang yang berusaha mengurangi status rohani beliau tersebut, Akan tetapi tentu saja status beliau itu tetap sebagai nabi. Dan saya telah menyampaikan satu Khutbah lengkap yang khusus membahas status kenabian Hadhrat Masih Mau’ud a.s..       Bagi setengah orang yang berkecil hati untuk menegaskan status beliau a.s. ini, hendaknya ingat, bahwa Allah Taala sendiri telah memanggil beliau sebagai nabi.

          Akan tetapi, beliau menjadi nabi semata-mata dikarenakan mutabii, yakni itaat yang sempurna kepada Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw.

          Hakim sahib melanjutkan: ‘Mereka yang mengalami insiden pendorongan di Langar Khanah tersebut meneteskan air mata ketika mendengar Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkomentar tegas mengenai hal tersebut, seraya berkata, Bahwa tujuan kami datang ke Qadian bukanlah untuk makan, melainkan semata-mata untuk menemui Hudhur.’    (5). Hadhrat Chaudhry Abdul Aziz sahib: meriwayatkan: ‘Aku menghadiri Jalsah Salanah di Qadian pada tahun 1907, yang merupakan Jalsah terakhir pada masa kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

          Kami tiba pukul 9 pagi. Ada laporan kepada Hadhrat Maulwi Nuruddin r.a. bahwa tadi malam para tamu yang datang terlambat tidak kebagian makan, sehingga mereka kelaparan dan rintihan mereka mencapai arasy Ilahi..

          Maka beliau r.a. pun memerintahkan dibentuknya Seksi Konsumsi khusus untuk menyediakan makanan sepanjang malam..
(6). Hadhrat Allah Ditta sahib: meriwayatkan: Antara tahun 1903 dan tahun 1904 ketika aku berkunjung ke  Qadian pada kesempatan Salat Id, menyaksikan adanya diskriminasi pelayanan bagi para tamu terhormat dengan tamu biasa.di Langar Khanah.

          Pada waktu itu timbul su’udzon di dalam diriku: Imam Mahdi adalah Hakaman Adalan, tetapi mengapa ada sikap diskriminatif di sini ?.

          Keesokan pagi diniharinya qobla Salat Fajr, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda kepada Hadhrat Maulwi Nuruddin r.a.: ‘Tadi malam Allah Taala telah mengabariku, bahwa Langar Khanah-ku tak makbul sedikitpun disebabkan adanya sikap membeda-bedakan di dalamnya.

          Maka barangsiapa yang membuat kedhoifan tersebut hendaknya dibebas-tugaskan dan dipersilakan keluar  Qadian untuk selama 6 bulan. Dan orang-orang yang mutaqi hendaknya menggantikan kedudukannya tersebut.

          Kemudian beliau a.s. pun memerintahkan agar sarapan pagi dibagikan di bawah atap rumah beliau, sehingga beliau pun dapat mengawasinya bersama ‘Mian Mahmud’ (Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r..a.).

          Sedangkan aku banyak-banyak ber-Istighfar di pagi hari tersebut disebabkan aku telah ber-su’udzon, namun kemudian aku menyaksikan beberapa mukjizat beliau a.s..dengan mata kepalaku sendiri.’

          Begitulah sikap su’udzon adakalanya dapat memahrumkan seseorang [dari sesuatu hikmah kabaikan]. Dan banyak-banyak ber- Istighfar, adalah salah satu kiat untuk menghindarinya.
(7). Maulwi Burhanuddin Jhelumi sahib meriwayatkan: ‘Ketika itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sedang sibuk menulis kitab Barahin Ahmadiyah, dan aku berfirasat beliau ini adalah orang yang baik. Oleh karena itu aku perlu menemui dan bermulaqat dengan beliau.

          Ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bermusafar ke Hoshiarpur, aku pun berusaha menemui beliau, yang setelah cukup bersusah payah mencari alamatnya, akhirnya aku pun sampai di tempat beliau.

          Ketika aku mengetuk pintu rumah beliau, seorang Khadim yang sedang bertugas bertanya dari balik pintu: ‘Siapa ?’

          Aku jawab: ‘Burhanuddin dari Jhelum ingin bermulaqat dengan Hadhrat Mirza sahib’.

          Khadim itu merespon: ‘Tunggulah, aku akan tanyakan dulu kepada beliau.’

          Sementara menunggu itu, aku menerima wahyu Ilahi dalam Bahasa Parsi: ‘Engkau telah sampai di tempat yang engkau inginkan. Jangan kemana-mana lagi.’

          Setelah itu, Khadim itu pun kembali kepada diriku sambil mengabari: ‘Hadhrat sahib sedang sibuk. Silakan tuan kembali lagi di lain waktu.’

          Aku jawab: ‘Tapi rumahku sangat jauh. Biarkanlah aku duduk menunggu di sini hingga Hadhrat sahib ada waktu untuk menerimaku.’

          Sementara Khadim tersebut menyampaikan pesan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. itu, beliau a.s. pun menerima wahyu Ilahi dalam Bahasa Arab: ‘Jika tamu sudah datang, layanilah mereka.’

          Maka ketika Khadim itu datang kembali, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. segera memerintahkannya agar cepat membuka pintu. Lalu beliau pun menemui diriku dengan penuh kehangatan. Kemudian beliau a.s. menceritakan mengenai wahyu Ilahi dalam Bahasa Arab yang beliau terima. Dan aku menyampaikan kepada Hadhrat Mirza Sahib mengenai wahyu Ilahi yang aku terima dalam Bahasa Parsi.

          (8). Hadhrat MistriAllah Ditta sahib meriwayatkan: ‘Di pagi hari musim panas itu, sudah ada beberapa orang tamu yang datang untuk menemui Hadhrat Mirza sahib.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memanggil juru masak yang sedang bertugas: ‘Apakah masih ada makanan yang tersisa ?’

          Ia menjawab: ‘Hanya tinggal roti [pratta] sisa tadi malam’.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkata: ‘Tak mengapa. Suguhkan saja.’.

          Kemudian beliau a.s. pun ikut menyantap roti [pratta] sisa tersebut bersama dengan yang lainnya.

          Ketika para tamu permisi pulang, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Adalah Sunnah [Rasulullah Saw] memakan sisa makanan yang tersedia.’

          Ini adalah contoh bagi mereka yang kadangkala suka mengeluh jika disuguhi sisa makanan sebelumnya.

          Akan tetapi di [Eropa] sini, roti [pitta] memang dibuat dengan mesin, yang sudah tidak akan segar atau empuk lagi jika disuguhkan kembali besoknya.

          Yang menjadi masalah boleh jadi adalah mengenai banyaknya sisa masakan salan (atau curry).

          Namun, bukan berarti Panitia sudah harus mulai menyuguhkan kembali sisa  salan (atau curry tersebut).
(9). Hadhrat Muhammad Ali Azhar sahib meriwayatkan: ‘Jalsah Salanah tahun 1906 diselenggarakan di Masjid Aqsa [Qadian], yang setelah itu senantiasa diperluas.

          Karena keterbatasan ruangan pada waktu itu, sebagian peserta ada yang memanfaatkan atap loteng rumah tetangga milik orang Hindu untuk Salat.         Padahal, ia itu sangat melecehkan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan juga Jamaat.

          Maka bada Salat, segera itu pula Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menasehati jamaah agar tetap bersabar, dan jangan menggunakan lagi atap rumah tetangga itu.

          Kemudian dibangunlah dinding pemisah lengkap dengan pagar kawatnya agar tak ada lagi orang yang berusaha memanjat dan menggunakan atap rumah orang Hindu itu.

          Namun, tak seberapa lama, rumahnya itu mengalami kerusakan, dan harus dijual. Maka Jama’at pun membelinya, kemudian dijadikan bagian dari Masjid kita.
(10).   Hadhrat Chiragh Muhammad sahib meriwayatkan: ‘Suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberi ceramah yang panjang di Masjid Aqsa bada Salat Zuhur.

          Namun ada seorang penentang sengit beliau yang ikut mendengarkan dengan penuh khidmat sambil mengangguk-anggukan kepalanya dan berucap: ‘SubhanAllah ! SubhanAllah ! Mulai hari ini aku akan menghentikan segala aksi penentanganku’.

          Ketika beberapa hari kemudian aku bertemu dengannya, aku pun bertanya apa yang terjadi ?

          Ia menjawab: ‘Aku tak menyadari bahwa apa yang selama ini aku yakini sebagai sudah benar, ternyata [setelah mendengar ceramah talim dari Hadhrat Mirza Sahib itu], semua yang aku yakini itu tidak betul !

          (11). Hadhrat Maulwi Muhammad Ibrahim sahib Baqapuri menuliskan riwayatnya: ‘Ketika pertama kalinya aku datang di Qadian, timbulah di dalam pikiranku bagaimana caranya untuk menguji orang-orang Qadiani ini.

          Tetapi kemudian aku mendapati seorang ulama [Ahmadi] yang sangat mumpuni dan cerdas. Lalu, Hadhrat Imam Mahdi a.s. yang tiada bandingannya.

          Maka aku pun penasaran ingin mengetahui akhlak masyarakat awamnya. Ketika aku dipersilakan makan di Langar Khanah, aku lihat hanya ada sepanci kecil sayur daal (lentils) dan kuah daging.

          Ketika aku minta makan, disuguhilah roti pratta dan sayur daal itu. Maka aku katakan’ kepadanya: ‘Mana dagingnya ?’

          Tak seberapa lama, pewaqaf itu pun menyodorkan daging kepadaku.

          Aku pun tersipu-sipu: ‘Oh tidak. Roti dan daal ini pun sudah cukup !

          Ternyata aku mendapat pelayanan sebagaimana yang aku inginkan. Niatku hanya ingin menguji keikhlasan para petugasnya saja..

          Ketika aku menyantap makananku itu, aku pun berbincang dengan para tamu lainnya. Dan kami semua merasa puas dengan semua segi pelayanan Langar Khanah, yang kesemuanya hanya mengingatkan kami akan adanya karunia Allah di dalamnya. Dan memberikan kesan yang mendalam kepada kami.

          Keesokan diniharinya, aku mendengar tilawat Al Qur’an Karim dari tiap kamar. Lalu ketika Salat Fajr, aku menyaksikan, bahkan anak-anak pun ikut serta.’

          Maka pada kesempatan hari-hari ber-Jalsah ini pun hendaknya dapat memperlihatkan amal shalih yang sama.   Setiap diri dan amal perbuatan para pewaqaf Jalsah hendaknya dapat memperlihatkan, bahwa mereka ini telah sungguh-sungguh ber-Bai’at kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan memiliki habluminallah yang kuat, yang dipraktekkan pula dalam kehidupan sehari-hari.
(12). Hadhrat Munshi Mahbub Alam sahib meriwayatkan: ‘Suatu kali aku berkesempatan mengunjungi Qadian.  Dikarenakan aku biasa berkirim surat setiap hari kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk mengutarakan kecintaanku yang mendalam, beliau pun memberiku keistimewaan kepadaku pada kesempatan majlis-irfan.

          Pada suatu kesempatan aku menemui Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di Masjid Mubarak.

          Beliau mempersilakan aku duduk dan menunggu, sementara beliau sendiri bergegas ke rumah untuk mengambil sesuatu makanan.

          Kemudian beliau kembali dengan membawa sepiring vermicelli [semacam desert yang manis dan sedap] seraya berkata: ‘Aku telah meminta keluargaku secara khusus untuk menyiapkan makanan ini untuk tuan.’

          Aku menjadi sangat tersipu-sipu bercampur bahagia.

          Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mempersilakan aku untuk menginap di Masjid.

          Namun aku tak dapat memejamkan mata semalaman. Tetapi  aku tak ingin beliau mengetahuinya.     Maka aku pun hanya banyak membaca Shalawat di sepanjang malam itu, hingga sekira jam 4 pagi Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang dan membangunkan diriku yang memang sudah terjaga..
(13). Hadhrat Mian Wazir Khan sahib menuliskan riwayatnya: ‘Pada suatu kali, Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Maulwi Nuruddin r.a., dan beberapa orang sahabah lainnya termasuk diriku makan bersama. Ketika masakan semacam tumis paria [nan sedap] dihidangkan, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun membagikannya satu persatu ke setiap piring para sahabah, hingga tinggal sedikit lagi. Aku mengira, aku bakal tak kebagian.

          Namun, ketika tinggal dua potong lagi, beliau menyodorkan semuanya untukku. Sedangkan beliau sendiri tak mengambilnya sedikitpun.’
(14). Hadhrat Abdul Rahim sahib meriwayatkan: ‘Pada suatu kali sehubungan dengan suatu perkara di Pengadilan yang memerlukan kehadiran Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam beberapa hari, beliau pun tinggal di Gurdaspur.

          Adalah kebiasaanku untuk tidak makan sebelum Hadhrat Masih Mau’ud a.s. makan.

          Suatu hari aku meminta Hafiz Hamid Ali sahib untuk menyimpan sisa makanan untukku.

          Tetapi ketika itu makanan tandas habis, oleh karena itu aku pun marah kepada Hafiz sahib, lalu pergi tidur dalam keadaan lapar.

          Keesokan paginya, ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bertanya apakah sarapan sudah siap ?

          Hafiz sahib menjawab: Kokinya ketiduran dan sedang masygul. Maka Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun memanggil nama Rahim sahib dua kali melalui jendela, tetapi tak ada jawaban.          Maka dengan ungkapan bahasa yang lembut Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bertanya apa yang terjadi ? Bagaimana tuan akan menyiapkan sarapan ?.

          Hafiz sahib menjelaskan lagi, bahwa Rahim sahib sedang merajuk karena tadi malam ia sudah berpesan agar sisakan makanan untuknya tetapi habis sama sekali. Sehingga ia pun harus tidur dalam keadaan lapar.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Seharusnya tuan pisahkan dulu untuknya.’

          Ketika dijelaskan bahwa tuan Rahim ini tak pernah makan sebelum Hudhur makan, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Tuan berilah ia sekendi (lk. 1 liter) susu setiap hari.’.

          Mendengar perintah Hudhur tersebut, Rahim sahib pun segera bangun sambil berucap: ‘Masakan siap dalam waktu 30 menit.’

          Segera itu pula ia menyiapkan segalanya hingga makanan siap disantap tepat pada waktunya.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bertanya: ‘Sulap apa yang tuan kerjakan ?

          Keesokan harinya, ketika ia sedang sendiri, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bertanya lagi: ‘Bagaimana kemarin pagi waktu itu tuan memasak begitu cepat ?

          Rahim sahib menjawab: ‘Sebelumnya aku sudah menggodog daging dengan api kecil. Maka ketika Hudhur memerintahkan masak, aku tinggal menambahkan bumbu dan sayuran lainnya, sehingga masakan [ghos] tersebut dapat cepat tersaji.

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sangat senang mendengarnya.
(15). Hadhrat Sultan Baksh sahib meriwayatkan: ‘Suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sedang memberikan Ceramah di Masjid Mubarak. Ada seorang anggota yang datang belakangan melangkah cepat ke barisan saf pertama dekat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., dengan cara  melangkahi atau menyenggol orang-orang di tiap saf yang dilewatinya hingga bahkan sampai menjatuhkan sorban seseorang. Maka orang ini pun melayangkan surat keluhan kepada beliau a.s..

          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memanggil Hadhrat Maulwi Nuruddin r.a. ke kantor beliau.

          Tak lama kemudian Hadhrat Maulwi [Nuruddin] sahib keluar lagi seraya berkata: ‘Aku akan menyampaikan suatu kabar peringatan yang bukan dari diriku sendiri, melainkan aku diperintahkan untuk itu.

          Yakni, pada hari ini Imam kita telah berdoa: Semoga Allah Taala mematahkan dahan-dahan ranting yang kering dari [pohon keimanan] diriku.   Ingatlah, kalian tak akan dapat mencapai kedekatan Ilahi dengan cara menabrak-nabrak kepala orang lain. Melainkan, hanya dengan karunia Allah Taala semata.’

          [Hudhur mengingatkan:] Bahkan kini pun, mereka yang tampak terpelajar suka melangkahi kepala pundak orang lain ketika mereka berusaha ke saf terdepan.

          Padahal, mereka itu seharusnya berhati-hati ketika melangkah, dan hanya menempati ruangan yang kosong. Jangan sampai mengusik ketenangan orang lain.

          Oleh karena itu, mereka yang lebih dulu datang ke Jalsah [Gah] ini pun hendaknya segera menempati saf terdepan.
(16). Hadhrat Ghulam Muhammad sahib menuliskan riwayatnya: ‘Aku bermusafar ke Qadian bersama karib kerabatku untuk menghadiri Jalsah Salanah tahun 1904.

          Ketika aku datang, Hadhrat Imam Mahdi a.s. sedang berpidato mengenai tafsir Ruku 1 (Pertama) Surah Al Baqarah, lalu tafsir Surah Al Dahr; yakni mengenai tiga tingkatan rohani manusia, ialah: Nafs Ammarah, Nafs Lawwamah dan Nafs Mutma’innah.

          Sabda beliau a.s.: ‘Pada keadaan tertentu, terjadi saling tarik-menarik antara Nafs Ammarah dengan Nafs Lawwamah. Saat itulah kadangkala perbuatan dosa dapat dihindari, namun adakalanya pula ia menyesali diri sendiri [atas kelemahannya].

          Akan tetapi, manakala segala niat dan perbuatan buruk sudah dapat dijauhi, itulah yang disebut tingkatan Nafs Mutma’innah, yakni jiwa yang hanya mengarah kepada kebaikan saja.          Hadhrat Masih Mau’ud a.s. kemudian menilawatkan ayat Al Quran Karim ini:

Yakni, ‘Sesungguhnya, orang-orang baik, mereka akan minum dari piala yang campurannya adalah kapur barus (kamfer) —‘ (Q.S. 76 / Al Dahr : 6); lalu beliau bersabda: ‘Sebagaimana minuman campuran kapur barus dapat mendinginkan perut dan jiwa; demikian pun Nafs Mutma’innah, yakni insan yang telah berhasil mencapai jiwa yang tenteram.

          Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menilawatkan pula ayat ini:

yakni, ‘Dan mereka diberi minuman yang di dalamnya segelas campuran jahe,’ (Q.S. 76 / Al Dahr : 18); lalu menjelaskannya: ‘Sebagaimana minum minuman berjahe nikmat menyegarkan, demikian pun keadaan jiwa yang sudah berhasil mencapai tahap Nafs Mutma’innah.’
Perhatikanlah, saya sengaja menyajikan riwayat ini agar kita dapat menghargai betapa para sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. demikian seksamanya mendengarkan dan mencatat Sabda-sabda Hadhrat Imam Mahdi a.s. demi untuk faedah bagi diri mereka.

          Maka hendaknya para peserta Jalsah Salanah ini pun menyimak dengan baik berbagai Pidato dan Ceramah yang diberikan. Banyak-banyak mengingatnya, kemudian menyebar-luaskannya.
(17). Hadhrat Dr. Muhammad Din sahib meriwayatkan: ‘Pertama kalinya aku Bai’at ialah melalui surat pada bulan April 1905. Kemudian pada bulan Desember tahun yang sama aku Bai’at lagi secara langsung pada kesempatan Jalsah Salanah.

          Pada waktu itu aku masih berusia 20 tahun dan masih menjadi mahasiswa kedokteran.

          Ketika Bai’at [massal] itu, banyak orang yang datang. Aku menaruh tanganku di pundak orang yang berada di depanku yang tangannya memegang tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

          Aku [menghadiri Jalsah Qadian itu] bersama lima orang teman mahasiswa lainnya, yang ketika kami berpamitan, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. meminta kami menunggu barang sejenak.

          Kemudian beliau a.s. kembali sambil membawa buklet Al Wasiyyat yang baru selesai dicetak, bahkan tintanya pun masih belum kering betul. Beliau membagikannya kepada kami semua. Lalu kami pun pulang ke Lahore.

          Pada tahun 1906 terjadi aksi mogok belajar di Kampus kami [Lahore Medical School, untuk memprotes kebijakan yang dirasakan menekan], yang diikuti pula oleh beberapa orang mahasiswa Ahmadi.

          Namun Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengingatkan kami bahwa aksi tersebut bertentangan dengan syariat Islam dan ajaran [Jamaat] Ahmadiyah. Oleh karena itu minta maaf-lah kepada Rektornya, dan menulis surat secara pribadi.’

          Dan belum lama ini, saya pun telah menyampaikan Khutbah mengenai ajaran Islam yang benar mengenai aksi mogok, demo, dlsb.
(18). Hadhrat Chaudhry Ghulam Rasul Basra sahib meriwayatkan: ‘Pada hari Kamis sehari sebelum Jalsah Qadian tahun 1907 dimulai, aku melihat  Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tengah bersiap-siap berjalan pagi bada Subuh.

          Beberapa orang sahabah membentuk rangkaian tangan mereka sebagai pelindungnya. Dan disepanjang jalan yang akan dilalui oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. itu, orang banyak berjajar menunggu beliau.

          Aku dan beberapa orang karibku pun tergerak untuk ikut dalam rangkaian tangan pelindung itu. Namun, saat  beliau a.s. sudah berjalan, seketika itu juga ada suatu kekuatan dahsyat dari rombongan beliau itu yang mendorongku keluar dari barisan.

          Setelah itu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berdiri di bawah sebuah pohon sambil menyalami beberapa orang yang datang. Kemudian beliau bersabda: ‘Allah Taala telah mengabariku, bahwa orang akan datang dari jauh-jauh dalam jumlah yang banyak.’

          Lalu beliau menambahi dalam Bahasa Punjabi, bahwa aku tak khawatir dan tak pula akan merasa lelah untuk melayaninya..
(19). Hadhrat Maulwi Muhammad Din sahib meriwayatkan: ‘Aku menyaksikan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tengah berpidato dalam Jalsah mengenai pentingnya Waqfe Zindigi.           Kemudian, di waktu yang lain lagi beliau memberikan Dars di Masjid Aqsa, bahwa tiap-tiap diri kami yang datang ini juga merupakan salah satu tanda kebenaran pendakwaan beliau.

          Cara bicara beliau berkesinambungan, yang sungguh memikat qalbu. Dimulai dengan nada yang rendah lalu meningkat terus secara bertahap.

          Gaya bicara beliau tak menekankan kepada sesuatu kalimat tertentu, dan tilawat ayat Al Qur’annya pun biasa saja. Tidak juga menggerak-gerakan tangan ataupun jari beliau. Tetapi beliau menyampaikan ceramah dengan sangat memikat hati.

          (20). Hadhrat Sufi Nabi Baksh sahib meriwayatkan: ‘Pada Jalsah Salanah tahun 1891, ada pengumuman, bahwa semua peserta harap masuk ke Masjid yang lebih besar (yang sekarang bernama Masjid Aqsa).

          Aku merasa sungguh beruntung dapat bergabung ke dalam satu Jamaat yang didirikan oleh insan pilihan Tuhan untuk Zaman ini.

          Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang, lalu memanggil Maulwi Abdul Karim sahib r.a. untuk membacakan kitab beliau yang bertajuk  ‘Aasmani Faislah’.

          Sementara orang lain khusyu mendengarkan, aku sibuk mencatat.      Ketika aku sempat menengok kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., aku pun terpana: Inilah wujud yang sama, dan pakaian yang sama sebagaimana yang aku lihat di dalam ru’ya ku ketika aku masih menjadi seorang mahasiswa.
(21). Hadhrat Zainul Abidin Shah sahib meriwayatkan: ‘Pada masa ketika  Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerima kabar gaib tentang hari kewafatan beliau yang sudah mendekat, beliau berceramah di Masjid Aqsa mengenai tafsir Surah Al Fatihah, utamanya mengenai Ibadiyah (beribadah yang haqiqi kepada Allah Swt).

          Beliau bersabda: ‘Apabila seorang Abid (atau ibadullah) sejati sungguh-sungguh telah berhasil menghirup kondisi Ibadiyyat, maka keadannya laksana sebatang besi yang ketika ditempa di atas api, ia pun menyala seperti api.

          Begitulah seorang Abid haqiqi yang memperoleh faedah dari berbagai Sifat Ilahi. Yakni, sebagaimana sebatang besi yang adalah bukan bagian dari api, melainkan logam keras; akan tetapi manakala ditempa di atas tungku api, keadaanya pun berubah seolah menjadi api itu sendiri.

          Begitupun seorang Abid sejati, yang adalah seorang wujud manusia, namun berbagai sifat Ilahi telah membakar semangat hidupnya. Sehingga dirinya pun sudah tidak lagi memiliki sesuatu keinginan pribadi; melainkan, semua niat dan langkahnya berpulang kepada kehendak Ilahi Rabbi.’

          Begitulah hendaknya setiap  orang Ahmadi sekarang ini dapat mencapai maqom rohani Ibadiyyat yang haqiqi, sesuai dengan maksud dan tujuan diutusnya Hadhrat Imam Mahdi a.s..
(22). Hadhrat Maulwi Muhammad Ibrahim Baqapuri sahib meriwayatkan: ‘Pada Jalsah Salanah Qadian tahun 1906, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ‘Mautku tengah menjelang tak tertunda lagi. Manakala aku menyaksikan keadaan Jamaahku, timbul kenestapaan di dalam diriku, laksana seorang ibu yang melihat bayinya yang baru berusia beberapa hari, sedangkan dirinya tengah menjelang ajal.

          Namun, aku memiliki keyaqinan yang sempurna kepada janji Allah Swt.        Yakni, Dia sekali-kali tidak akan membiarkan Jamaat-ku ini menjadi sia-sia. Qalbu-ku yaqin akan hal ini.’
Demikianlah Allah Taala telah memenuhi segala janji-Nya.

          Jamaat Imam Mahdi ini terus tumbuh berkembang dari hari ke hari. Dan akan terus demikian.

          Namun, hendaknya diingat, hanya jumlah bilangan saja tidaklah cukup. Melainkan, senantiasalah mawas diri akan keimanan kita; dan keadaan rohani kita; agar dapat terus berusaha untuk meningkatkannya.

          Dan untuk menyelamatkan keimanan kita dan juga generasi penerus kita; upayakanlah terus untuk mengestafetkannya kepada generasi penerus tersebut.

          Untuk itu, pertama-tama kita harus dapat menunjukkan contoh muttaqi yang haqiqi, sehingga kita pun dapat memperoleh faedah dari doa-doa makbuliyat Hadhrat Masih Mau’ud a.s.    Inilah yang akan dapat memperteguh ta’aluq billah kita.

          Maksud dan tujuan saya menyampaikan beberapa riwayat dari para sahabah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini adalah, mereka itu semua contoh yang baik bagi kita.

          Sehingga kita dapat menyadari betapa seriusnya kecintaan mereka terhadap beliau a.s.. Dan bagaimana pula beliau memuliakan mereka. Serta, inqillabi haqiqi macam mana yang mereka telah berhasil melaksanakannya.

          Semoga Allah Taala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa meneguhkan keimanan kita. Yakni, jangan sampai ada perbuatan kita yang mengundang kemurkaan Allah Taala.  Amin !

 

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.