[box icon=”info”] Tim Ahmadiyah.id bertanggung jawab penuh atas kesalahan atau miskomunikasi dalam sinopsis Khotbah Jumat ini.[/box]
Khotbah Jumat
Tujuan Jalsah Salanah
oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
3 Februari 2017 di Masjid Baitul Futuh, London, UK
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ *
صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Hari ini, Jalsah Salanah Bangladesh dimulai. Karena saya tidak memberikan sambutan pada sesi penutup pada hari terakhir Jalsah mereka, maka mereka meminta agar saya mengatakan kepada mereka beberapa hal dalam Khotbah Jumat saya ini. Dengan karunia Allah, Jemaat di Bangladesh juga merupakan Jemaat yang sangat setia dan tulus. Para Ahmadi di Negara itu telah mengorbankan hidup mereka. Sebanyak 12 atau 13 orang telah disyahidkan di kalangan mereka. Mereka menghadapi penganiayaan dan kesulitan di sana, tetapi dengan karunia Allah, mereka tetap teguh dan yakin terhadap Ahmadiyah yang merupakan Islam hakiki. Semoga Allah terus meningkatkan keimanan dan keyakinan mereka senantiasa. [jamaah shalat jumat terdengar mengucap aamiin]
Demikian pula, Jalsah Salanah Sierra Leone juga mulai hari ini. Sembari dalam kesibukan mengatur jalannya Jalsah, mereka pun merasa cemas karena kondisi cuaca dan dari segi keamanan. Mereka juga telah meminta dari saya doa-doa supaya Jalsah mereka sukses dan penuh berkat dari setiap segi. Kita juga harus senantiasa ingat memahami tujuan dan ruh di belakan penyelenggaraan Jalsah-Jalsah dan berusaha keras mencapai penyempurnaan tujuan tersebut di mana pun Jalsah di dunia diadakan, baik itu di Bangladesh, Sierra Leone atau di Negara mana pun seperti di Afrika atau yang lainnya.
Hadhrat Masih Mau’ud as telah menggariskan penjelasan tujuan Jalsah Salanah di berbagai kesempatan. Saya berharap para peserta Jalsah di Sierra Leone dan di Bangladesh telah menyimak tujuan-tujuan tersebut saat pembukaan Jalsah mereka ketika tentang itu yang berasal dari kutipan-kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. Setiap Muslim Ahmadi di mana pun mereka berada di dunia harus menjadikan tujuan-tujuan Jalsah ini sebagai bagian dari pandangan mereka sebab tujuan hakiki Jalsah bukanlah hanya sekedar berkumpul selama tiga hari saja melainkan tujuan-tujuan tersebut harus menjadi tujuan setiap Muslim Ahmadi sepanjang hayat. Oleh karena itu, mereka harus selalu ingat dan sadar akan hal ini.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa diantara tujuan Jalsah ialah penciptaan akhlak zuhd (tidak rakus) dan takwa. Namun, tujuan ini tidak terbatas hanya tiga hari, sebenarnya ini harus menjadi tujuan seumur hidup. Selanjutnya, suatu keharusan untuk mengikuti Jalsah dengan pemahaman hakiki atas khasy-yatuLlah (takut akan Allah) dalam diri para peserta, dan ini juga sesuatu yang harus tetap menetap. Ketakuan bukan dalam arti takutnya seseorang akan sesuatu melainkan sebagaimana takutnya seorang pecinta akan kemarahan kekasihnya (yang dicintainya). Kemudian, para peserta Jalsah dan mereka yang ingin tetap hidup di lingkungan keruhanian harus memunculkan kelunakan hati terhadap orang lain, menambah rasa kecintaan dan kasih sayang terhadap satu sama lain dan melahirkan rasa persaudaraan yang sedemikian rupa sehingga membuat dunia seluruhnya takjub atas mereka. Inilah keteladanan satu-satunya yang ajaran Islam hakiki perlihatkan kepada orang-orang lain.
Hadhrat Masih Mau’ud as juga mengarahkan para pengikutnya untuk mengadopsi sifat kerendahan hati dan melepaskan diri sepenuhnya dari kesombongan dan kebanggaan serta meningkatkan tingkat keruhaniannya dan menyebarkan pesan sejati Islam nan indah di negara-negara manapun tempat mereka berada. Jika kita menghadapi penentangan para penentang maka itu tidak mungkin menghambat jalan kita bahkan kita harus terus melanjutkan karya kita dengan hikmat di setiap tempat. Inilah tujuan kita. Hari ini, Islam sedang difitnah [dirusak reputasinya] di dunia. Kita lihat orang Islam mengalirkan darah saudaranya sesama Muslim termasuk di Negara-negara Islam. Amal perbuatan mereka itu telah menjauhkan mereka dari ajaran Islam. Dalam kondisi seperti ini, adalah tanggung jawab kita para Ahmadi untuk terus memberi pengertian kepada dunia tentang ajaran hakiki Islam yang indah. Namun, hal terpenting dalam hal ini ialah menempa hubungan yang kuat dengan Allah dan berdoa kepada-Nya dengan merendahkan diri dan terus-menerus berdoa sehingga Dia berkati upaya-upaya kita; dan juga dengan menjadi teladan luhur pembentukan perilaku kita yang baik sehingga dunia pun tahu bahwa jika ada orang ingin melihat tolok ukur tertinggi dalam ibadah sesuai ajaran Islam maka hendaknya ia melihat kepada para Ahmadi. Jika ada orang ingin melihat tolok ukur tertinggi dalam penunaian hak-hak sesame dan akhlak terbaik maka hendaknya ia melihat kepada para Ahmadi.
Tujuan Jalsah-Jalsah bukanlah hanya perkumpulan para Ahmadi selama tiga hari saja lalu mendengarkan nasehat-nasehat keagamaan. Jalsah diadakan bukan untuk itu saja. Melainkan, Jalsah Salanah diadakan sehingga kita bisa mendapatkan manfaat dari lingkungan khusus dalam Jalsah dan memurnikan hati kita. Meskipun para Ahmadi tersebut dari segi kepercayaan sangat kuat dan seperti yang saya katakan, para Ahmadi di Bangladesh bahkan telah mengorbankan kehidupan mereka dalam hal ini, tapi Allah Ta’ala menginginkan kita untuk meningkatkan standar perilaku setiap dari kita pada zaman kebangkitan Islam kedua kali ini; dan Dia juga menghendaki kita memenuhi kewajiban shalat beserta syarat-syarat dan ruh-ruhnya sebagaimana telah Dia jelaskan – dan saya juga menguraikan tema ini dengan rinci di dua khotbah saya yang lalu – dan Dia juga ingin kita untuk memenuhi hak-hak sesama makhluk hidup. Sebagaiman telah saya sebutkan, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa diantara tujuan Jalsah ialah penciptaan akhlak zuhd (tidak rakus) dan takwa.
Menguraikan tentang masalah Takwa, beliau as bersabda,
“Takwa berarti menahan diri dan hawa nafsu dari keburukan bahkan hingga ke aspek terkecilnya sekalipun. Namun, ketahuilah, bukanlah makna ketakwaan untuk mengatakan, ‘Saya orang bertakwa. Sebab, saya menahan diri dari keburukan atau kejahatan. Saya tidak pernah mengambil harta orang lain. Saya tidak pernah merampok di rumah orang lain. Saya tidak pernah mencuri. Saya tidak pernah berpandangan birahi. Saya tidak pernah berzina.’ Jenis kebaikan seperti ini akan menjadi bahan tertawaan orang-orang arif (yang berpemahaman mendalam). Sebab, jika keburukan dan kejahatan seperti itu dilakukan, yaitu mencuri, merampok dan lain-lain; tentu seseorang akan mendapatkan hukuman [dari pengadilan atau masyarakat]. Kebaikan seperti ini tidak pantas diberi penghargaan khusus dalam pandangan orang-orang arif. Melainkan, kebaikan yang pokok dan hakiki ialah seseorang mempersembahkan kegembiraan dan memperlihatkan kebenaran dan kesetiaan sempurna di jalan Allah; dan ia siap sedia memberikan pengorbanan jiwa di jalan-Nya. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan berbuat kebaikan.’ Ini artinya, Dia bersama orang-orang yang menjauhi keburukan dan melaksanakan kebaikan juga.’”
Selanjutnya, beliau as bersabda,
“Ingatlah baik-baik! Hanya menjauhi keburukan-keburukan bukanlah perkara yang patut dipuji selama ia tidak menyertainya dengan kebaikan-kebaikan. Amal perbuatan banyak orang yaitu tidak pernah berzina, tidak pernah membunuh seseorang, tidak pernah mencuri dan tidak pernah merampok; dan seiring dengan itu ia tidak pernah memperlihatkan sesuatu contoh keteladanan kejujuran dan kesetiaan di jalan Allah, (artinya, ia tidak pernah berbuat keburukan tersebut namun tidak memperlihatkan di jalan Allah berupa keteladanan kebenaran yang patut untuk diberi penghargaan khusus) atau tidak pernah menyediakan sesuatu pengkhidmatan kemanusiaan, atau kemudian tidak memperoleh suatu perbuatan kebaikan, maka orang yang menganggap mereka sebagai orang-orang saleh dengan hanya melihat perkara-perkara ini berarti ia orang yang jahil (tuna ilmu). Sebab, hanya menghindari keburukan-keburukan itu tidak membuat seseorang tergabung di kalangan para wali Allah.”[1]
Beliau as bersabda,
“Sudah menjadi Sunnah Allah bahwa para pelaku perbuatan buruk (jahat), pencuri, pengkhianat dan para koruptor akan dihukum di dunia ini. Mereka takkan mati selama belum menerima hukuman. Ingatlah baik-baik! Hanya menghindari perbuatan-perbuatan itu tidak menjadikan seseorang terdaftar sebagai penegak kebaikan.”
Beliau as menambahkan,
“Takwa adalah standar dasar. Permisalannya dapat disamakan dengan sebuah piring (wadah menaruh makanan) yang telah dibersihkan secara menyeluruh dan bagus sehingga makanan yang terbaik dan enak dapat diletakkan di atasnya. Namun, jika piringnya memang dibersihkan dengan baik dan menyeluruh, tapi tidak ada makanan diatasnya, apakah ini dapat mengisi perut seseorang? Tidak! Apakah mungkin piring kosong (meski bagus) dapat membuat kenyang perut seseorang? Tidak! Itulah perumpamaan Takwa. Takwa ialah membersihkan piring nafsu amarah. (Nafsu amarah ialah yang mendorong seseorang berbuat buruk, maka dari itu, takwa ialah membersihkan piring nafsu amarah. Jika ‘piring’ ini bersih dan seseorang menghindari keburukan-keburukan maka ia menjadi orang bertakwa. Takwa hanyalah permulaan. Selanjutnya ada tingkatan meletakkan dan mengatur makanan diatasnya dan itulah kebaikan-kebaikan yang Allah Ta’ala telah jelaskan tentangnya dan itu berkaitan dengan huquuquLlah (kewajiban terhadap Allah) dan huquuqul ‘ibaad (kewajiban terhadap sesama).)
Beliau as bersabda,
“Kebaikan ialah ibarat makanan yang ditaruh diatasnya. Makanan itu menguatkan dan memelihara bagian-bagian tubuh supaya menjadikannya baik agar seseorang dapat berbuat kebaikan…” (Suatu keharusan berusaha berbuat baik dengan mendayagunakan semua yang Allah anugerahkan berupa kekuatan dan kemampuan dalam rangka menunaikan huquuquLlah dan huquuqul ‘ibaad.) “…dan meraih tingkat tertinggi kedekatan dengan Allah.” (Jika kedua hal ini ada dan seseorang memulai melakukan kebaikan-kebaikan maka ia akan bertambah tingkat ketakwaannya juga dan meraih kedekatan dengan Allah.” [2]
Untuk seorang Muslim sejati, ibadah merupakan faktor kunci (perkara terpenting). Apa itu doa? Apa itu ibadah? Apa itu mu’jizat-mu’jizat yang ibadah dan doa perlihatkan, bagaimana seharusnya mengerjakan keduanya, apa jalan-jalan guna meraih ma’rifat hakiki doa, bagaimana yang memungkinkan seseorang meraih kedekatan Ilahi melalui doa dan apa itu peran shalat dalam hal itu?
Hadhrat Masih Mau’ud as menguraikan tentang hal ini sebagai berikut:
“Doa ialah ibarat eliksir yang mengubah segenggam debu menjadi emas.” (dengan karunia doa, debu berubah menjadi emas. Inilah yang harus menjadi hasil dari doa.) Doa seperti air yang menyapu kotoran batiniah. (Namun, doa yang seperti apa? Sabda beliau as, ialah doa yang keluar dari hati) yang bersama doa tersebut jiwa seseorang jatuh dan mengalir seperti air menuju ambang pintu Hadhrat Ahadiyat (Tuhan Yang Esa) dan di hadapan Hadhrat Ahadiyat, ia berdiri dan mempersembahkan diri sendiri dalam berbagai posisi shalat baik itu membungkuk dalam ruku atau bersujud. Ini adalah gambaran sejati dari Shalat seperti yang diajarkan oleh Islam.
(Artinya, ketika doa keluar dari hati maka ruh akan bergetar (bereaksi) lalu di suatu waktu berdiri dan ruku di waktu lain serta sujud pada waktu lainnya. Itu adalah keadaan-keadaan pada ruh yang permisalannya secara lahiriah tampak dalam shalat yang Islam ajarkan.)
“Maksud qiyam (berdirinya) ruh ialah memperlihatkan kesiapsiagaan untuk menanggung kesulitan-kesulitan dan memenuhi tiap perintah di jalan Allah. Maksud ruku’nya ialah tunduk kepada Allah dengan meninggalkan semua jenis kecintaan dan hubungan, dan hanya demi Allah [menjadi milik Allah] semata.” (artinya, tidak ada hubungan yang lebih ia muliakan atau ia cintai selain hubungan dengan Allah Ta’ala) “Makna dari sujudnya ialah jatuh ke haribaan istana-istana Allah dan mengosongkan kehendaknya semuanya, dan menghilangkan eksistensinya (keberadaannya) secara penuh.”
“Inilah shalat yang menghubungkan pelakunya dengan Allah. (Jika kalian ingin meraih ma’rifat akan hakikat shalat, maka hakikatnya ialah yang dengan itu seseorang mengikatkan diri dengan Allah. Sebagian orang berkata bahwa mereka shalat amat banyak tetapi tidak pernah dapat meraih Allah. mereka harus menciptakan keadaan ini.) Syariat Islam telah menyusun pola itu seluruhnya dalam shalat yang biasa dilaksanakan supaya shalat secara jasad juga membuat-buat shalat secara ruhani. Sebab, termasuk hal yang terbukti tegas bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam keadaan ruh manusia berpengaruh atas jasadnya, dan jasad berpengaruh atas ruhnya (ada hubungan antara jiwa dan tubuh), “Ketika jiwa bersedih, maka tubuh menangis dengan air mata. Ketika jiwa senang, maka tersungginglah senyum di wajah seseorang, sampai-sampai kadang-kadang manusia tertawa terbahak-bahak. Demikian pula jika badan tersakiti atau menderita maka ruhnya pun akan ikut serta. Ketika badan menikmati sesuatu –misalnya udara sejuk angin sepoi-sepoi – ruhnya pun mendapatkan rasanya.
Oleh karena itu, tujuan ibadah jasadiyah [gerakan ibadah secara jasmani] ialah – disebabkan hubungan antara jasad dan ruh – membuat terjadinya pergerakan di dalam ruh kearah Allah nan Esa dan Tunggal (artinya ruh mempersembahkan diri kepada Allah dan sibuk asyik berdiri dan sujud secara ruhani supaya gerakan seseorang dalam berdiri, sujud dan ruku’nya sampai ke derajat yang membuatnya menjadi bersifat ruhani lalu mulailah jasad sujud bersama ruhnya dan ruku’ pun bersama ruhnya, dan muncullah di dalamnya keadaan semisal kegembiraan dan kenyamanan secara lahiriah, dan sebagaimana ia merasa sedih dan gembira secara lahiriah, ia pun merasakan kedua hal itu dalam hubungannya dengan Allah Ta’ala)
Seseorang sibuk secara asyik dengan ruku’ dan sujud secara ruhani sebab ia perlu bermujahadah demi kemajuan-kemajuan keruhanian. Artinya, jika kalian ingin maju dalam keruhanian maka mau tak mau harus berjuang. Usaha adalah termasuk dalam perjuangan. Suatu hal yang jelas bahwa jika ada dua benda yang melengket satu dengan yang lain dan kita hendak membawa salah satu dari keduanya maka mau tak mau itu menggerakan sesuatu yang lengket dengannya. Namun, tidak ada gunanya ruku dan sujud secara lahiriah selama tidak disertai dengan usaha mengikutsertakan ruh untuk ruku’ dan bersujud bersama tubuh jasmaninya. Tetapi, keikutsertaan ruh di dalamnya tergantung atas karunia Allah Ta’ala.
Pada kesempatan lain beliau as menjelaskan,
“Segala hal dimudahkan berkat karunia Ilahi. Maka, memohonlah kepada Allah dengan kerendahan hati guna mendapat karunia-Nya juga. Hanya kepada-Nyalah meminta karunia-Nya. Ketika seseorang diberi kemudahan menerima ma’rifat (kebijaksanaan sejati) ini dengan karunia dari Allah, maka hanya setelah itulah ia dapat melaksanakan shalat dalam arti sebenarnya. Namun, untuk mencapai hal ini, seseorang harus berjuang terus menerus, menanggung kesulitan. Hanya ketika kita berusaha keras, berjuang dan gigih, maka kita dapat mencapai tujuan penciptaan kita dan menyempurnakan ketakwaan dan ibadah kita. Telah saya sebutkan tadi bahwa terdapat حق الله haquLlah (tanggungjawab penunaian kewajiban terhadap Allah), حق العباد haqul ‘ibaad (tanggungjawab penunaian kewajiban terhadap makhluk Allah); ketakwaan itu tidak akan sempurna dan ibadah-ibadah tidak akan sempurna secara hakiki tanpa penunaian huquuqul ‘ibaad.
Orang-orang biasa shalat dan menghadiri Masjid-Masjid. Mereka juga membayar candah-candah. Sebagian dari mereka mengorbankan nyawanya. Tetapi mereka terkadang menghadapi situasi merasa sulit untuk memenuhi hak-hak sesama lainnya. Oleh karena itulah, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa perintah yang paling rentan (rapuh, sulit dilaksanakan) dan tingkatan yang paling pokok ialah yang berkaitan dengan pemenuhan hak kepada umat manusia karena ini dihadapi setiap hari dan seseorang mengalami ujian setiap saat dalam hal ini. Oleh karena itu, seseorang harus bersikap sangat waspada dan siaga dalam tingkatan ini. Ada pun saya, madzhab saya ialah janganlah juga bersikap keras terhadap musuh melebihi batas kewajaran. Sebagian orang ingin menghancurkan musuhnya pada batas sehancur mungkin; dan dibawah pengaruh pemikiran ini ia berusaha sesuai kemampuannya tanpa peduli apakah itu sesuai syariat atau tidak. Ia menuduh musuhnya dengan tuduhan salah dan mengada-adakan kedustaan guna menghancurkan reputasinya, mengghibatnya dan menghasut orang-orang untuk memusuhinya. Dapat Anda lihat seberapa jauh keburukan dan dosa hanya karena sebuah permusuhan kecil kemudian dari mana perkaranya dapat diuraikan bagaimana satu keburukan berdampak pada keburukan-keburukan lainnya.”
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa satu keburukan berdampak pada keburukan-keburukan lainnya yang coraknya seperti seorang wanita yang melahirkan anak-anaknya. Sabda beliau as,
“Saya berkata dan saya berkata hal yang benar, janganlah Anda sekalian memendam kebencian pribadi pada seseorang. Tahanlah diri Anda sepenuhnya dari dendam dan kebencian. Jika Allah memang bersama Anda dan Anda betul-betul karena Allah maka Dia Maha Berkuasa mengubah orang-orang yang memusuhi Anda menjadi yang mengkhidmati Anda. Ada pun jika Anda memutus hubungan dengan Allah dan tidak terdapat ikatan persahabatan yang jujur dengan-Nya dan menjadi memusuhi-Nya maka siapakah yang menjadi paling keras permusuhannya terhadap kalian selain Allah? Seorang insan dapat selamat dari permusuhan makhluk, tapi jika Allah yang memusuhinya maka pertemanannya dengan makhluk semuanya takkan bermanfaat. Oleh karena itu, jadikanlah jalan kalian ialah jalan para Nabi ‘alaihimus salaam. Allah tidak ingin kalian bermusuh dengan seseorang karena permusuhan pribadi.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda,
“Ketahuilah! Seseorang yang tidak memendam permusuhan pribadi terhadap siapa pun akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan. Adapun bermusuhan dengan seseorang karena menjunjung tinggi kehormatan Allah dan Rasul-Nya saw itu adalah hal yang berbeda sama sekali.”
Itu artinya, jika pokok persoalannya ialah khusus mengenai kemuliaan Allah dan Rasul-Nya saw maka seseorang dapat bermusuhan dengan orang lainnya. Hal itu berarti orang yang tidak menghormati Allah dan Nabi-Nya dan melabuhkan perseteruan terhadap Allah dan Nabi-Nya, maka kalian dapat menganggapnya sebagai musuh kalian.
Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan pengertian permusuhan ini juga sebagai berikut:
“Kalian dapat menganggapnya sebagai musuh kalian. Namun, dalam kasus seperti itu kalian jangan bersikap mengada-ada (membuat-buat yang tidak ada) atasnya dan menyakitinya tanpa hak. Tidak demikian, melainkan maknanya ialah menyerahkan perkaranya kepada Allah Ta’ala, harus berdoa bagi perubahan (reformasi) diri mereka. Janganlah kalian memulai memunculkan dari pihak kalian permusuhan yang baru dengannya. Inilah yang harus dilakukan demi penyucian jiwa.”
Hadhrat Masih Mau’ud as kemudian menyebutkan sebuah peristiwa yang terjadi pada Hadhrat Ali كرم الله وجهه karramaLlahu wajhahu (semoga Allah memuliakan wajah beliau ra). Suatu kali Hadhrat Ali ra berperang dengan musuh dalam perang di jalan Allah saja [berperang karena Allah saja]. Ketika itu beliau ra dapat merobohkan lawannya dan duduk di dadanya. Begitu beliau melakukan hal ini lawan meludah ke wajah Hadhrat Ali ra. Atas hal itu, Hadhrat Ali ra justru membebaskan orang itu segera dengan turun dari menduduki dadanya dan mengatakan:
‘Saya berperang melawanmu di jalan Allah saja, tapi karena engkau meludahi muka saya, saya takut alasan [untuk melawan Anda] berubah karena dendam pribadi. Oleh karena itu saya tidak ingin membunuhmu karena permusuhan pribadi saya.’ Telah jelas dari hal ini dengan terang benderang bahwa Hadhrat Ali ra tidak pernah menganggap orang yang memusuhinya sebagai musuh. Seseorang harus menghiasi dirinya dengan contoh fitrat dan kebiasaan seperti ini.”
Beliau as telah bersabda mengenai para pengikut beliau,
“Jika mereka (para pengikutku) menyakiti seseorang dan memperluas jangkauan permusuhan karena hawa nafsu dan tujuan-tujuan itu; maka sesuatu apa lagi yang lebih mengundang kemurkaan Allah atas mereka? Anda sekalian tidak boleh menyakiti terhadap siapa pun karena dendam atau permusuhan pribadi. Jika Anda menemukan seseorang yang adalah musuh sengit terhadap Allah dan Rasul-Nya saw, maka Anda harus menganggapnya musuh dan jauhilah dari duduk-duduk dengan orang tersebut. Berdoalah untuk mereka dan berusahalah bagi perbaikan diri mereka. Tanggapilah setiap kritik dan serangan mereka dengan cara yang syar’i (sesuai menurut Syariat); dan, jangan menganggap semua hal darinya sebagai buruk dan jangan bermusuhan dengannya secara menyeluruh (dalam segala hal) dengan jalan yang tidak syar’i.”
Saya berdoa semoga Allah memungkinkan kita untuk memahami esensi sejati kebenaran, dan melalui karunia-Nya semoga Dia memungkinkan kita untuk melakukan shalat dan beribadah dengan cara yang akan membuat kita dekat dengan-Nya; dan Dia memberi kita taufik supaya kita mengerti pentingnya penunaian hak-hak para hamba-Nya, memimpin setiap perbuatan kita, meski itu demi duniawi kita, dengan niat meraih ridha Allah dan kita mengutamakan ridha-Nya diatas segala sesuatu. Semoga Allah memberi kita taufik untuk itu. [aamiin]
Penerjemah: Dildaar Ahmad Dartono
Sumber referensi resmi: www.Islamahmadiyya.net (teks bahasa Arab); terjemahan ringkasan bahasa Inggris oleh Ratu Gumelar dan rekaman audio berbahasa Indonesia hasil penerjemahan langsung dari bahasa Urdu oleh Mln. Mahmud Ahmad Wardi (https://www.alislam.org/archives/sermons/mp3/FSA20170203-ID.mp3)
[1] Al-Badr, jilid 3, edisi 3, h. 3, 16 Januari 1904.
[2] Al-Badr, jilid 3, edisi 3, h. 3