Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 27 April 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ،
وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Beberapa hari yang lalu telah wafat seorang tokoh dan juga ‘Alim (Cendekiawan) Jemaat yang bernama Yth. Usman Chini Sahib. إنا لله وإنا إليه راجعون Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Allah Ta’ala dengan takdir-Nya yang khas telah membuat beliau keluar dari daerah yang jauh di Tiongkok untuk datang ke Pakistan dan memberikan taufik kepada beliau untuk baiat. Bagaimana perlakuan Allah Ta’ala kepada beliau dan Allah Ta’ala membimbing dan memberikan taufik kepada beliau untuk menerima Ahmadiyah dan menuntut ilmu agama dan mewakafkan hidup.
Buku-buku Almarhum dan catatan-catatan berdasarkan daya ingat beliau ada dan memadai untuk menjelaskan dengan cukup rinci. Saat ini bukanlah saatnya untuk menjelaskan secara rinci. Berbagai hal yang beliau sampaikan kepada orang lain dan apa saja yang orang-orang tulis berkenaan dengan beliau telah tertulis cukup detil sehingga tidak mungkin saya sampaikan semuanya yang di dalamnya terkandung banyak kisah yang menggugah keimanan kita. Begitu banyaknya bahan tulisan perihal peri keadaan, kehidupan, pengkhidmatan dan sirah beliau, sehingga dapat dijadikan sebuah buku. Saya rasa Khuddamul Ahmadiyah Pakistan dapat melakukan tugas penyusunannya dengan baik.
Pada kesempatan ini saya akan sampaikan perihal insan ini yang memiliki sifat Darwesh (bersahaja), tokoh Jemaat, Waqif zindegi, Muballigh, ‘Alim, bahkan seorang ‘Alim yang disertai amal perbuatan dan juga Waliyullah. Khususnya bagi para Muballighin dan Waqifin Zindegi, dan pada umumnya bagi setiap kita, para Ahmadi beliau merupakan teladan yang patut ditiru. Berbagai hal yang dituliskan oleh orang-orang perihal beliau seperti yang saya katakan, akan saya sampaikan secara singkat.
Beliau dikenal dengan nama Usman Chini (الصيني), nama lengkap beliau adalah Muhammad Usman Chou Chung Sai yang pada tanggal 13 April 2018 telah wafat. Beliau lahir pada tanggal 13 Desember 1925 di provinsi Anhui, Tiongkok (Republik Rakyat Cina) dalam keluarga Muslim. Pada tahun 1946, setelah lulus SMA beliau melanjutkan di perguruan tinggi Nanchang selama satu tahun. Lalu melanjutkan kuliah di Universitas Nasional Nanchang pada jurusan politik. Karena beliau tidak tertarik dengan politik, lalu beliau berpikir untuk berpindah ke jurusan Hukum, Filsafat atau Agama. Sebelumnya, beliau berkeinginan untuk menempuh pendidikan di Turki. Lalu pada tahun 1949 beliau berangkat ke Pakistan. Beliau baiat ke dalam Jemaat setelah terlebih dulu mengkaji secara dalam. Lalu beliau mulai menempuh pendidikan di Jamiah Ahmadiyah.
Pada bulan April 1957 beliau lulus tes Syahadatul Ajanib di Jamiah. Ini merupakan kursus singkat (short course) Muballighin. Pada 16 Agustus 1959 beliau mewakafkan diri dan ditugaskan pada bulan Januari 1960. Untuk lulus dalam pendidikan kursus kelas Muballighin, pada bulan April 1961 beliau mendaftar lagi ke Jamiah Ahmadiyah dan pada akhirnya pada tahun 1964 beliau meraih gelar Syahid.
Beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Waqif zindegi dan muballigh di Pakistan, diantaranya di kantor Wakalat Tasnif Tahrik Jadid Rabwah begitu juga di Karachi dan di Rabwah. Pada tahun 1966 beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat di Singapura dan Malaysia dan lebih kurang 3,5 tahun di Singapura dan beberapa bulan di Malaysia.
Pada tahun 1970 beliau kembali ke Pakistan dan ditugaskan sebagai muballigh bertugas di berbagai daerah. Beliau juga mendapatkan karunia untuk menunaikan ibadah umrah dan haji. Setelah hijrah Hadhrat Khalifatul Masih keempat rha ke London, didirikanlah berbagai perkantoran di London. Medan pengkhidmatan dalam Jemaat semakin banyak. Begitu juga penerjemahan literatur-literatur Jemaat semakin ditingkatkan. Chinese Desk dibentuk. Untuk itu beliau ditugaskan ke London dan mendapatkan taufik untuk menerjemahkan buku-buku Jemaat kedalam Bahasa Tiongkok (Mandarin). Khususnya terjemah Quran kedalam Bahasa Mandarin. Beliau juga telah menulis buku-buku Jemaat yang menerangkan akidah dan ajaran Jemaat.
Anggota keluarga yang beliau tinggalkan ialah seorang istri beliau, satu putra dan dua putri. Berkenaan dengan terjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Mandarin, atas petunjuk Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi’ (IV) rha, beliau mulai menggarapnya pada tahun 1986. Pada bulan Juni di tahun yang sama beliau dipanggil ke Inggris dari Pakistan dan setelah bekerja keras selama empat tahun akhirnya beliau dapat menyelesaikan terjemahan Al-Qur’an.
Usman Chini Sahib almarhum sendiri menulis, “Tugas penerjemahan Al-Qur’an menuntut waktu yang banyak. Dalam hal ini ada petunjuk dari Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi’ (rha) supaya terjemahan Al Quran dalam Bahasa Mandarin dapat diterbitkan pada kesempatan perayaan 100 tahun Jemaat nanti. Mendengar hal itu saya sangat khawatir memikirkan bagaimana supaya penerjemahan dapat selesai pada waktunya nanti.
Lalu beliau mencari orang yang sesuai yang dapat memperbaiki kualitas terjemahannya dalam Bahasa Mandarin dan dapat membantu tugas pengeditan. Mengerjakan tugas tersebut di Pakistan atau di Inggris sangatlah sulit. Misalnya, ketika menemukan orang yang mahir dalam Bahasa Mandarin di kedua negara tersebut, sayangnya dia tidak mengetahui keilmuan Islam. Sebaliknya ada yang tahu ilmu agama, namun tidak mahir dalam Bahasa Mandarin. Sungguh sulit tugas tersebut.
Setelah selesai penerjemahan, atas petunjuk Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi’ (rha) saya berangkat ke Singapura dan Tiongkok demi meminta masukan dari para pakar Bahasa lalu meningkatkan kualitas terjemahan. Dengan karunia Allah Ta’ala pada akhirnya terjemahan Quran dalam Bahasa Mandarin tersebut memiliki standar yang baik.”
Almarhum dengan penuh rendah hati menulis, “Sebetulnya tugas itu tidak mungkin saya lakukan, namun dengan karunia Allah Ta’ala-lah sehingga ia dapat selesai. Sebelum itu pun telah ada beberapa terjemahan Al-Quranul Karim dalam Bahasa Mandarin dan setelah ini pun bermunculan terjemahan baru yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya, namun terjemahan Al-Qur’an terbitan Jemaat Ahmadiyah memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dijumpai dalam terjemahan lainnya.
Begitu juga disebabkan terdapat muatan ilmu kalam Jemaat Ahmadiyah dalam terjemahan tersebut sehingga membuatnya lebih berkualitas. Ketika diterbitkan, banyak sekali kesan yang kami terima dari negeri Tiongkok dan penduduk negara-negara lain pengguna Bahasa Mandarin. Mereka menyampaikan pujian yang luar biasa atas terjemahan versi Jemaat dan menetapkannya sebagai yang terbaik. Terjemahan versi Jemaat sangat diminati dan banyak sekali permintaan kepada kami untuk dikirim. Pada umumnya ada juga sebagian orang yang protes dengan mengatakan di dalam terjemahan kita ada muatan akidah Jemaat Ahmadiyah dan ditafsirkan sesuai dengan akidah kita. Namun secara keseluruhan terjemahan versi Jemaat ditetapkan sebagai yang terbaik.”
Seorang profesor di Tiongkok bernama Lin Song, beliau menulis buku berjudul ‘Penerjemahan Al–Quran dalam Bahasa Mandarin di Abad ini’. Penulis menyinggung juga perihal terjemahan Quran oleh Jemaat dalam Bahasa Mandarin di dalam bukunya dalam lebih kurang 15 halaman.
Profesor dengan jelasnya menerangkan keistimewaan terjemahan Quran versi kita, “Para ulama pada umumnya ketika menerjemahkan Al Quran tidak menerjemahkan keseluruhan kata. Bukannya menuliskan terjemahannya malah mencantumkan istilah Bahasa Arab di dalamnya atau memberikan penjelasan pada catatan kaki sehingga akhhirnya tampak bagian tersebut tidak jelas (samar-samar). Sedangkan terjemahan Al-Quran oleh Bpk. Usman memiliki keistimewaan dengan menerjemahkan bagian-bagian yang tidak terjangkau tadi. Hal-hal yang mendukung terjemahan beliau, beliau cantumkan juga referensi di bagian catatan kaki.”
Bpk. Profesor, seorang cendekiawan bukan Ahmadi yang menganggap diri atau dianggap memiliki otoritas atas Islam, menulis, “Saya telah menulis pandangan perihal penerjemahan Al-Qur’an. Saya telah berjumpa langsung dengan Bpk. Usman beberapa kali. Saya memiliki kesan mengenai Bpk. Usman adalah seorang pribadi yang sederhana, rendah hati, mukhlis (tulus) dan mengamalkan hukum-hukum dengan serius. Saya pernah mengundang beliau pada bulan Ramadhan. Bpk. Usman berpuasa dan meyakini Quran Karim sebagai kitab yang Agung”.
Lalu beliau menulis, “Meskipun beberapa bagian terjemahan Quran beliau tidak dianggap sesuai dengan sudut pandang orang-orang dari Firqah Sunni (Ahlus Sunnah), tidak dapat dipungkiri Bpk. Usman seorang pemegang Tauhid, mencintai Hadhrat Rasulullah Saw dan menjalankan hukum-hukum Ilahi.”[1]
Berikut adalah judul-judul dalam Bahasa Inggris literatur berbahasa Mandarin yang dipersiapkan dalam pengawasan Almarhum, “My Life and Ancestry” (Kehidupan Saya dan Leluhur Saya) dan “Introduction to Morality” (Pengantar mengenai Moralitas).
Terdapat 7 buah buku karya beliau. Ada 35 buah buku terjemahan beliau atau terjemahan orang lain dibawah pengawasan beliau. Buku “An outline of Ahmadiyya Muslim Jemaat” mengenai pengenalan Jemaat, “Outline of Islam” (Garis Besar bahasan Islam), “Fundamental Question and answers about Islam” (Pertanyaan mendasar dan jawabannya mengenai Islam), “Islamic Concept of Jihad” (Konsep Islam mengenai Jihad) dan “Ahmadiyya Muslim Jemaat” ini pun dalam Bahasa Mandarin, “Ahmadiyya Muslim Community’s contribution to the world” (Sumbangsih Jemaat Muslim Ahmadiyah kepada Dunia), “Apa perlunya Islam dan agama dalam kehidupan manusia?” Inilah ringkasan pengkhidmatan beliau dalam bidang keilmuan.
Berkenaan dengan kehidupan rumah tangga, istri beliau menulis: “Ketika ada tawaran perjodohan dari Almarhum Tn. Usman untuk saya, karena perbedaan usia sehingga ayah saya tidak menyetujuinya.”
Istri Usman Sahib juga adalah keturunan Tionghoa, menuturkan: “Saat itu usia saya 20 tahun sedangkan usia Usman Sahib mendekati 50 tahun. Ayah saya tidak mengabari saya perihal tawaran perjodohan ini sampai berbulan-bulan. Pada akhirnya beliau memberitahu saya dan meletakkan suratnya di hadapan saya supaya saya sendiri yang memutuskan.”
Saya melihat mimpi tengah berdiri dengan tangan kosong pada suatu lapangan luas yang berada di suatu negara dan seketika itu saya berpikir apa yang akan terjadi dengan saya nanti? Saat itu dimimpi saya melihat seseorang berpakaian putih yang berada tidak jauh lalu muncul suara yang mengatakan, ‘Semua keperluan kamu akan terpenuhi dengan perantaraan orang ini.’
“Setelah membaca surat tersebut saya melihat Usman Sahib dalam mimpi, berpakaian putih dan saya tengah terlentang saat itu. Ketika diperlihatkan foto Usman Sahib kepada saya setelah itu, saya baru mengetahui beliaulah orang yang saya lihat dalam mimpi lalu saya menerima perjodohan tersebut.”
Istri beliau menuturkan: “Kami bertunangan selama empat tahun. Paspor saya masih dalam proses. Belum selesai-selesai. Kondisi saat itu tidak menentu. Disebabkan kondisi politik di sana dan perubahan kultur (revolusi kebudayaan), sangat sulit bagi beliau untuk datang ke Tiongkok. “
Istri beliau menuturkan: “Usman Sahib melihat mimpi yang mengabarkan, ‘Jika Mao Tse-Tung wafat, istri akan datang.’ Mao Tse-Tung yang merupakan pemimpin di Tiongkok saat itu memiliki kesehatan yang baik, tidak sakit dan hidup dengan makmur.
Walhasil, setelah melihat mimpi tersebut Usman Sahib mengatakan, ‘Prosesnya masih lama kalau begitu, entahlah kapan istri saya akan datang.’ Lalu Usman Sahib memutuskan untuk menulis surat kepada Mao Tse-Tung.
Usman Sahib mengatakan, ‘Ketika saya berangkat untuk memposkan surat, saya mendengar kabar kewafatan Mao Tse-Tung.’”
Lalu istri beliau mengatakan, “Beberapa hari paska kewafatan Mao Tse-Tung saya mendapatkan paspor saya. Lalu saya pergi ke rumah ayah dengan membawa paspor dan saat itu tengah hujan lebat, padahal sebelumnya terjadi kekeringan panjang yang sangat. Begitu derasnya hujan pada malam itu sehingga banyak sekali genangan air yang ditimbulkan olehnya. Seorang tetangga ghair Ahmadi mengatakan kepada saya, ‘Jika kamu datang sejak awal pasti kekeringan ini tidak akan terjadi.’
Satu minggu setelah itu saya (istri Usman Chou) meninggalkan Tiongkok tanpa membawa perlengkapan memadai. Ada dua setel pakaian yang diberikan oleh adik Usman Sahib untuk saya dan beberapa kotak saus soya.
Pada tanggal 12 Agustus 1978 saya sampai di Karachi, Pakistan. Chodri Muhammad Mukhtar Sahib menikahkan kami di sana dan beliau sendiri yang ditetapkan sebagai wali saya.
Pada hari ketiga kami berencana untuk pergi ke kedutaan Tiongkok di Pakistan. Kami berangkat menggunakan kereta yang di dalamnya pria dan wanita duduk terpisah. Telah diputuskan bahwa kami akan berjumpa di stasiun ketika semua penumpang turun. Namun sebelum itu, semua penumpang yang duduk di gerbong tempat saya berada, turun. karena saya orang baru, saya pun mengira bahwa itu adalah stasiun terakhir. Ketika kereta beranjak maju, saya baru menyadari bahwa perjalanan masih berlanjut. Namun sulit untuk masuk lagi karena berdesakan. Saat itu saya sangat khawatir.
Ketika seorang police officer (perwira kepolisian) melihat saya, beliau memanggil para petugas polisi kereta api dan meminta mereka mengantarkan saya sampai ke kedutaan Tiongkok. Karena saya memakai niqaab (pakaian khas wanita Muslim Pakistan yang menutupi sebagian wajah) dan coat (jas) sehingga petugas kedutaan tidak yakin saya adalah warga negara Tiongkok karena bagaimana mungkin ada orang Tionghoa memakai burqah. Lalu mereka menyodorkan kepada saya suratkabar berbahasa Mandarin dan menyuruh saya membacanya untuk mengetes apakah saya bisa membaca. Kemudian, mereka memesankan taksi untuk saya dan kisahnya panjang, pada akhirnya saya sampai. Ketika di jalan supir taksi terus menanyakan alamat yang saya tuju lalu mencari-cari hingga sampai. Supir taksi pun keheranan mengatakan tidak pernah melihat wanita muda yang tersesat seperti ini lalu pada akhirnya sampai. Itu adalah awal mula kehidupan kami.”
Istri beliau menuturkan: “Usman Sahib adalah seorang suami yang baik bahkan merupakan guru ruhani saya. Ketika sampai di Pakistan, pertama-tama yang diajarkan kepada saya adalah shalat. Setelah mengimami shalat di masjid, beliau mengajarkan saya shalat. Beliau mengajarkan kepada saya bacaan shalat selama berjam jam kata perkata dan perbaris lalu menasihatkan untuk terus berlatih dan jika lupa simpan selalu buku doa-doa. Dalam waktu 6 bulan beliau mengajarkan saya kaidah dan mulai mengajarkan saya membaca Al Quran dengan terjemahnya supaya saya tertarik. Usman Sahib sangat penyabar dan menerangkan suatu topik sampai ke kedalaman disertai dengan contoh yang rinci demi memberikan pemahaman.
Beliau selalu menjalin silaturahmi. Beliau memanggil ibunda beliau dari Tiongkok ke Pakistan dan mengkhidmatinya dengan baik. Terkadang kondisi kami hanya dapat membeli satu botol susu dan itu pun beliau berikan kepada ibu beliau. Kemanapun pergi beliau selalu mengajak ibu beliau. Usman Chini shab sangat mengkhidmati ibu. Beliau melewati seluruh umur beliau dengan menyibukkan diri untuk berkhidmat. Ketika kesehatan beliau baik, beliau sering bekerja sampai malam bahkan terkadang sampai subuh. Tugas terpenting bagi beliau di rumah adalah mentarbiyati anak dengan baik. Beliau tidak begitu tertarik dengan urusan duniawi yang kecil-kecil. Beliau sangat sederhana dalam hal makan makanan dan berpakaian.”
Putri Almarhum seorang dokter bernama Quratul Ain, menulis: “Beberapa kelebihan ayah saya sulit digambarkan dengan kata-kata. Beliau seorang yang sangat penyayang, pekerja keras tanpa kenal lelah, selalu memiliki harapan yang baik dan rendah hati. Beliau selalu mendorong kami yakni anak dan menantu untuk ikut serta dalam membincangkan berbagai hal. Beliau menaruh perhatian besar pada pelajaran sekolah kami. Beliau berusaha mencari tahu bagaimana kesan para guru perihal putra putrinya. Beliau selalu mengatakan, ‘Allah Ta’ala mengirim kalian ke dunia ini bertujuan supaya kalian bertabligh khususnya kepada warga Chinese (keturunan Tionghoa).’
Beliau menasihati kami secara rutin supaya kami terus meningkat dalam keruhanian, akhlak dan keilmuan. Beliau sering berkata, ‘Orang-orang harus merasa bahwa Tuhan itu Ada dengan melihat kepribadian, amal perbuatan dan akhlak kalian, karena anak-anak yang yakin akan keberadaan Allah Ta’ala lebih baik daripada anak-anak yang tidak meyakini.’
Beliau menasihatkan juga untuk melakukan setiap pekerjaan dengan dawam. Beliau tidak pernah memarahi kami ketika kami masih kecil, menasihati kami dengan kasih sayang. Jikapun beliau bersikap keras pada kami, dalam hal shalat dengan mengatakan kenapa tidak dawam shalat? Dan menasihatkan kami untuk membiasakannya. Beliau selalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah, memberikan buku apa saja kepada kami ketika kami libur sekolah lalu beliau tes kami.”
Putri beliau itu lalu menuturkan: “Beliau memberikan kepada kami buku Bahtera Nuh yang sudah lama untuk dibaca dan mengatakan: ‘Bacalah buku ini, karena Bahasa Urdunya tidak terlalu sulit, tidak seperti buku Hadhrat Masih Mau’ud yang lainnya.’Buku Bahtera Nuh merupakan buku pertama yang Ayah pelajari sendiri di Jamiah.’
Beliau juga mengkhawatirkan pardah kami. Beliau mengatakan, ‘Jika kalian pergi kuliah, pakailah pardah, jka kalian terpaksa harus menurunkan niqaab (penutup wajah), maka kalian jangan bermake-up. Hal itu hanya ketika waktu kuliah.’
Mengenai ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ rha dan Hudhur mengizinkan untuk belajar di perguruan tinggi dengan syarat harus berpardah. Jika terpaksa harus membuka niqaab di kelas, maka kalian jangan bermake up dan setelah selesai belajar di kelas segera harus menutup wajah lagi.
Putri beliau yang bungsu bernama Munazzah menuturkan: “Ayah selalu mengatakan, ‘Kalian harus berusaha meraih bulan karena meskipun bulan tidak dapat, sekurang-kurangnya kalian akan mendapatkan bintang.’ Maksudnya, selalulah menaruh cita-cita yang luhur. Selain menekankan kepada kami untuk shalat lima waktu, beliau pun menekankan untuk melaksanakan tahajjud. Beliau membangunkan kami dengan cipratan air di muka untuk membangunkan shalat subuh.
Beliau juga menekankan untuk membaca buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud dan para khalifah dan dengan penuh kesabaran menjawab pertanyaan kami selama berjam-jam. Beliau tidak lantas bosan dengan hal hal sepele. Amalan tersebut patut diteladani para orang tua. Beliau selalu mengatakan, ‘Kemampuan yang Allah Ta’ala berikan kepada kalian, gunakanlah itu, jangan menyia-nyiakannya. Apapun yang kalian amalkan harus didasari niat ibadah kepada Allah.’
Sembari memberikan contoh kemajuan ruhani, beliau mengatakan bahwa layaknya seperti tangga-tangga ini yang mana terkadang terhenti, namun terus melangkah maju untuk menuju pada ketinggian.
Ayah juga mengajarkan kepada kami untuk sederhana, rendah hati dan mengutamakan kepentingan orang lain dari diri sendiri. Ketika beliau berkhidmat sebagai ketua jemaat Islamabad, suatu ketika diadakan pemasangan pemanas ruangan di setiap rumah, namun beliau memastikan kepada pengurus untuk memasang pemanas ruangan di rumah kami pada urutan terakhir setelah di rumah orang lain terpasang semua.”
Putra beliau bernama Daud, seorang dokter menuliskan: “Ayah menceritakan kepada saya bahwa ketika belajar di Jamiah beliau mendapatkan telegram yang mengabarkan perihal kewafatan kakak dan ayah beliau. Saat itu kebetulan beliau tengah sibuk mengahadapi ujian jamiah.
Beliau berpikir bahwa seperti halnya ujian di Jamiah, kabar duka ini pun merupakan ujian dari Allah Ta’ala. Beliau tetap mengikuti ujian pada waktunya dan tidak menyia-nyiakn waktu.”
Putra beliau menulis: “Ayah sangat gemar sekali bertabligh kepada warga keturunan Tionghoa. Ke acara manapun beliau pergi, beliau selalu memperkenalkan Ahmadiyah dan membagikan literature jemaat. Sampai-sampai meskipun beliau sakit, menggunakan kursi roda (wheel chair), karena tidak dapat berjalan beliau meminta supaya dimasukkan buku-buku tebal kedalam kursi roda beliau supaya dapat beliau bagikan.
Ketika saya kecil saya suka datang ke kantor beliau dan meminta pulpen atau pensil kepada beliau. Ayah tidak mengizinkan kami menggunakan pulpen atau pensil yang ada di kantor, beliau meminta ibu kami untuk membelikan pulpen untuk saya. Jika ingin ikut memfotokopi di kantor ayah, beliau menyuruh saya untuk menggunakan kertas dari rumah. Ayah selalu menasihatkan kepada kami untuk menghafal nama-nama sifat Allah Ta’ala, yakni hafalkanlah sekian banyak nama-nama sifat Allah Ta’ala.
Beliau menulis nazm dalam Bahasa Tionghoa yang didalamnya dipanjatkan pujian atas 100 nama sifat-sifat Allah Ta’ala. Beliau membaca nazm tersebut setiap hari. Ayah mengadakan perlombaan diantara kami untuk menghafal nama nama sifat Allah Ta’ala sebanyak-banyaknya lalu memberikan hadiah.”
Beberapa bulan yang lalu, Usman sahib bersama dengan keluarga datang menjumpai saya (Hudhur atba). Sebelum mulaqat, Usman Sahib menitipkan tulisan yang berisi tiga point, kepada menantu beliau dan mengatakan bahwa saya tidak akan dapat berbicara nanti. Yang beliau ingin sampaikan kepada saya diantaranya ucapan: “Saya sudah lemah dan tidak bisa berdiri sendiri untuk itu saya duduk di kursi roda, mohon maaf untuk itu.” (Beliau sangat menghormati Khilafat.) “Kedua, mohon doakan saya semoga saya dapat terus bertabligh sampai akhir hayat. Saya sudah tidak dapat pergi ke kantor lagi, saya mohon izin dari Huzur untuk dapat bekerja di rumah saja.”
Meskipun kondisi seperti itu beliau tetap mencari apa yang bisa dilakukan, tidak lantas berpikir untuk diam menganggur di rumah.
Ketika beliau pergi ibadah haji menantu beliau ikut serta juga. Menantu beliau menuturkan: “Bpk. Usman mencurahkan gejolak isi hati yang bercorak doa lantunan dalam bentuk nazm berbahasa Tionghoa. Beliau mengatakan: ‘Saya tuliskan dalam bentuk nazm (syair) supaya di masa yang akan datang pun saya dapat memberikan manfaat darinya.’
Beberapa orang dari antara rombongan haji kami di suatu kesempatan menanyakan kepada Bpk. Usman, ‘Anda sedang menulis apa?’
Beliau menjawab dengan singkat: ‘Saya sedang memanjatkan doa-doa untuk bangsa saya, Tionghoa, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk kedalam Islam yang hakiki.’
Lalu, orang yang menanyakan tadi terheran-heran mendengarkan jawaban beliau. Ia mengatakan, ‘Seorang kakek tua yang sudah tidak bisa berjalan dengan mudah tanpa pegangan, hanya memikirkan bagaimana supaya bangsanya mendapatkan hidayah.’”
Bpk. Usman menulis perihal keadaan beliau, “Di Tiongkok, beberapa ajaran Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme sudah bercampur satu sama lain. Banyak sekali penduduk Tiongkok yang mengamalkan ketiga ajaran agama tersebut dalam satu waktu. Namun pada zaman ini mereka menyatukan ajaran yang beragam tersebut dan mendirikan satu agama sendiri yang dalam agama tersebut ditekankan khusus pada kondisi akhlaki manusia.”
“Ketika tiga surat kabar berbahasa Tionghoa menerbitkan wawancara saya, ada satu komunitas keagamaan Daishm Dasta di Malaysia yang merupakan agama baru menyampaikan keinginannya kepada saya supaya saya menulis sebuah makalah bertemakan ajaran Akhlaki Islam untuk diterbitkan dalam sebuah surat kabar antara ajaran-ajaran Akhlaki Islam dengan ajaran agama-agama lainnya. Untuk itu saya menulis sebuah topik secara berseri.
Sebagai jawabannya mereka menulis jawaban, ‘Anda telah memberikan satu makalah yang luar biasa berkenaan dengan Islam kepada kami. Kami sangat berterima kasih. Anda telah menjelaskan Islam dalam corak ketidakberpihakan. Sudut pandang Anda sangat halus dan dalam darinya dapat diketahui bahwa Anda telah menuntut ilmu agama dengan sangat baik. Sampai saat ini penduduk Tiongkok belum mengenal Islam. Penyebabnya adalah belum dilakukan tabligh dalam Bahasa Tiongkok. Saat ini Anda datang ke Singapura untuk menyebarkan Islam.’ (Ketika itu beliau tengah berada di Singapura) ‘Sudah menjadi keharusan Islam menyebar di kalangan bangsa Tionghoa di negara-negara itu dan mereka mengambil keberkatan darinya.’”
Bpk. Agha Saifullah adalah sahabat beliau ketika di Jamiah menulis berkenaan dengan usman Sahib: “Usman Cini sahib adalah classfellow (kawan sekelas) saya. Ketika muda pun beliau adalah seorang yang saleh, periang dan berakhlak mulia. Beliau mampu melaksanakan shalat dengan penuh kekhusyuan, berdoa dengan penuh ratapan, biasa ber puasa nafal, terbiasa melaksanakn ibadah nafal memiliki kegemaran tinggi untuk tasbih, tahmid dan zikir Ilahi. Ketika mendapatkan nikmat Ahmadiyah beliau selalu menyatakan rasa syukur dan perasaan cinta yang besar, keikhlasan, dan rela berkorban.
Adalah fakta bahwa ketika masa belajar di Jamiah terkadang air mata beliau mengalir ketika merasakan keharuan yang sangat dan tafakkur. Berkenaan dengan ibu dan saudara-saudarinya, disebabkan peraturan pemerintah di sana (Tiongkok) saat itu, terkadang beliau mencurahkan kesedihannya, dengan penuh ratapan tangisan dan rasa perih beliau memanjatkan doa untuk meraih maksudnya kepada Pencipta sejati. Meskipun saya sudah tua, namun saya merasa iri jika teringat pemandangan ini.”
Bpk. Agha menuturkan, “Merupakan hakikat bahwa pada masa penuh cobaan tersebut, apapun yang diminta oleh sang hamba Allah tersebut, Allah Ta’ala menganugerahkan pengabulan disebabkan oleh keikhlasan dan doa-doa beliau; dan Allah Ta’ala menganugerahkan segala sesuatu sebagai buah keberkatan Jemaat dan memberikan banyak sekali rahmat-Nya bahkan orang lain mendapatkan limpahan keberkatan sebagai buah pengabulan doa beliau.”
Bpk. Agha Saifullah menuturkan: “Pada masa-masa belajar di Jamiah, dengan karunia Allah, saya pun mendapatkan taufik untuk duduk bersama dengan Hadhrat Maulwi Ghulam Rasul Rajiki Sahib, Hadhrat Maulwi Abdul Latif Sahib Bahawalpuri, Sahibzada Sayyid Abul Hasan Sahib dan wujud-wujud suci lainnya, memohon doa kepada beliau-beliau dan menjadi saksi tanda-tanda pengabulan doa mereka dengan karunia Allah.
Dalam hal ini saya dapat memberikan kesaksian dengan penuh kehati-hatian disertai kesaksian dan pengetahuan saya bahwa dalam perkara ibadah, rintihan dan ratapan ketika memanjatkan doa-doa dan dari sisi pengabulan doa, pada pribadi Yth. Usman terdapat bayangan para wujud suci tersebut. Saya sendiri seringkali menjadi saksi pengabulan doa beliau dalam urusan pribadi. Usman Sahib selalu menasihati saya dan orang-orang yang bergaul dengan saya untuk banyak berdoa.
Beliau adalah seorang yang cerdas dan pemilik firasat seorang mukmin, sangat berhati-hati ketika memberikan pendapat untuk kepengurusan Jemaat. Beliau sendiri sangat menghormati dan disiplin dalam hal Nizham Jemaat. Beliau juga selalu menasihatkan kawan dan kenalan beliau untuk mengamalkannya. Memiliki keyakinan ruhani sepenuhnya atas Khilafat dan selalu mensyukuri atas ihsan yang diberikan oleh Khilafat. Kapan pun ada yang memohon doa kepada beliau, beliau selalu balik bertanya, ‘Apakah Anda sudah menulis permohonan doa kepada Khalifah?’”
Ketua Jemaat Islamabad, London, Dr Ridwan Sahib menuturkan: “Begitu cintanya beliau terhadap shalat sehingga beberapa tahun menjelang kewafatan beliau, untuk pergi ke masjid dari rumah beliau yang berjarak hanya hitungan menit saja, beliau tempuh dengan cukup lama dan terpaksa beliau harus terhenti henti di jalan untuk menarik nafas dulu. Namun meskipun demikian saya tidak pernah meliaht beliau menjamak shalat. Suatu ketika jarak waktu antara shalat Magrib dan Isya sangat pendek, saya menyarankan kepada beliau, ‘Daripada pulang dulu lebih baik tuan tunggu sampai Isya atau jamak saja shalatnya.’
Beliau menjawab, ‘Dengan berjalan bagi saya merupakan olahraga dan saya pun dapat pahala menempuh jarak rumah ke masjid, untuk itu saya memilih pulang pergi.’”
Bpk. Rashid Bashiruddin di Abu Dhabi menuturkan, “Orang-orang bukan Ahmadi maupun Ahmadi mencari keberkatan dari doa-doa beliau. Ketika beliau bertugas di Drag Road Karachi sebagai muballig orang-orang bukan Ahmadi baik pria maupun wanita meminta nasihat dari beliau perihal masalah pribadi maupun masalah lainnya. Mereka memberikan kesaksian bahwa dengan mengamalkan saran dan setelah meminta didoakan kepada Muballigh asli Tiongkok tersebut banyak permasalahan mereka yang berat dapat terselesaikan.
Singkatnya adalah, Seorang Maulwi asli Tiongkok yang terkenal dari Drag Road Karachi merupakan wujud yang bermanfaat bagi semua orang tanpa membeda bedakan agama dan terus menebar kecintaan yang tak terhingga banyaknya. Setelah sekian lama tinggal di Inggris pun orang-orang bukan Ahmadi di Pakistan masih tetap menyebut-nyebut dan mengenang beliau.
Saya juga melihat sendiri bagaimana Tn. Usman sangat mengkhidmati ibu beliau. Terkadang ibu beliau marah kepada beliau, namun beliau menundukkan kepala dan tetap memperlihatkan kasih sayang kepada ibunda beliau. Almarhum memperhatikan keperluan beliau dan begitu larutnya dalam mengkhidmati ibunya sehingga beliau tidak memperdulikan siapa yang tengah memperhatikan beliau di sekeliling beliau. Rasa cinta dan pengungkapan kasih sayang kepada ibu, merupakan keistimewaan beliau.”
Bpk. Majanov Muhammad dari Tokmok, Kirgistan menulis, “Saya berjumpa dengan Bpk. Usman Chou pada tahun 1994 di atas pesawat dalam suatu perjalanan. Pada awalnya saya tidak menyangka beliau seorang Muslim atau seorang Alim Jemaat Ahmadiyah. Namun ketika pesawat akan beranjak terbang lalu beliau mengucapkan bismillah, baru saya faham bahwa beliau adalah seorang Muslim. Tidak lama setelah itu saya mengucapkan salam kepada beliau dan kami saling berkenalan dan mulailah kami membincangkan berbagai topik pembicaraan. Beliau bertanya kepada saya: ‘Apakah Anda mengetahui perihal Jemaat Muslim Ahmadiyah?’
Saya jawab, ‘Tidak! Saya tidak tahu.’
Setelah itu beliau bertanya lagi, ‘Apakah Anda membaca terjemah Al-Quran dalam Bahasa Tiongkok?’
Saya menjawab, ‘Ya, saya membacanya.’
Lalu beliau bertanya lagi, ‘Sepengetahuan Anda, ada berapa terjemahan Al-Qur’an Karim dalam Bahasa Tiongkok?’
Saya jawab, ‘Saya telah menelaah semua terjemahan dalam Bahasa Mandarin dan masih saya lakukan.’
Lalu, Bpk. Usman bertanya lagi, ‘Dari sekian penerjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Mandarin, apakah tuan mengenal mereka?’
Saya katakan, ‘Saya mengetahui semuanya.’
Beliau mengatakan, ‘Diantara para penerjemah itu salah satunya adalah Usman Chou. Apakah Anda mengenalnya?’
Saya katakan, ‘Iya. Saya tahu beliau. Namun saya belum pernah membaca terjemahan beliau dan belum pernah juga berjumpa dengan beliau.’
Beliau bertanya lagi, ‘Bagaimana Anda mengenal Usman Chou ?
‘Yang saya tahu beliau seorang ulama dan telah menerjemahkan Quran Karim dalam Bahasa Mandarin, namun saya belum pernah berjumpa dengan beliau.’
Lalu, beliau mengatakan, ‘Saya-lah Usman Chou.’
Saya pun merasa tidak yakin bahwa saya tengah berjumpa dengan Usman Chou. Lalu beliau memberikan nomor kontak kepada saya dan saya pun memberikan alamat tempat tinggal saya sementara. Beberapa hari kemudian beliau menelepon saya mengatakan ingin datang ke rumah saya. Saya tidak dapat bayangkan wujud seorang ulama besar berkenan datang ke rumah saya untuk menemui saya. Saya menyambut beliau di rumah. Beliau beserta dua orang Pakistani.
Kami berbincang untuk 10 menit lalu Usman Sahib mengundang saya ke suatu restoran. Saya katakan, ‘Anda adalah tamu, saya-lah yang harus mengundang Anda.’
Namun beliau menjawab, ‘Anda adalah mahasiswa. Saya lebih tua dari Anda dan sebagai pengganti orang tua Anda untuk itu sayalah yang harus menolong anda.’
Lalu kami pergi ke restoran untuk makan dan berbincang mengenai berbagai topik. Seperti itulah hari berlalu. Lalu sayapun melakukan kunjungan balik ke rumah beliau. Kami berbincang di kediaman beliau. Almarhum Bpk. Usman Chou melontarkan pertanyaan kepada saya perihal Kewafatan isa Al Masih, Khatamun nabiyyin, Yajuj Majuj, Imam Mahdi dan juga berkenaan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Saya menjawab dengan jawaban seperti umat Muslim pada umumnya. Bpk. Usman Chou tersenyum lalu beliau memberikan jawaban yang benar perihal semua pertanyaan itu. Sayapun tidak menemukan kata-kata untuk mengungkapkan sesuatu. Jawaban yang beliau berikan begitu berpengaruh mendalam di hati saya, lalu beliau menghadiahkan kepada saya terjemahan Al-Qur’anul karim dan buku-buku.
Beliau mengatakan kepada saya, ‘Anda harus membacanya dan Anda harus menulis surat kepada saya untuk mengabari bagaimana kesan Anda setelah membaca ini semua.’
Setelah itu saya membaca buku-buku tersebut dan membuat pemikiran saya berubah drastis. Saat itu saya belum paham mengenai baiat. Setelah itu saya baiat dan adalah suatu kehormatan besar bagi saya untuk mengetahui kedatangan Imam Mahdi dan jemaatnya yang benar.
Orang-orang menulis kejadian yang dialami berkenaan dengan pengabulan doa-doa Almarhum Usman Chou. Bpk. Manzhur Shad menuturkan suatu ketika kami tengah berada didalam kereta api dalam perjalanan dari Rabwah ke Karachi. Kami bersama sekitar 60 anak yang telah menghadiri acara athfal di Rabwah. Kami melaksanakan shalat berjamah di kereta. Orang-orang bukan Ahmadi mengetahui kami adalah orang Ahmadiyah. Melihat hal itu, seorang maulwi (Ulama) mulai berceramah di gerbong-gerbong memprovokasi para penumpang lain untuk menentang kita. Kami sangat khawatir.
Saat itu Bpk. Usman Chou tengah bersama kami di dalam kereta Kami ditugaskan untuk pengamanan. Bpk. Usman juga mengatakan supaya beliau pun diberi tugas. Saya katakana kepada beliau untuk duduk dibangku dan berdoa. Saat itu si maulwi berencana untuk melakukan penganiayaan kepada kami sesampainya di Multan. Namun katanya Multan telah terlewat, tidak lama kemudian mereka tidak berisik lagi. Ketika kami lihat ternyata si maulwi tengah tertidur. Tadinya dia akan turun di Multan, namun ketiduran sehingga Multan terlewat dan akhirnya dia turun di stasiun berikutnya. Dengan begitu jiwa kami selamat.”
Begitu juga Bpk. Adnan Zafar menuturkan, “Urusan saya masih belum selesai di Home Office (Kementrian Dalam Negeri). Berkali-kali saya meminta paspor saya, namun mereka menjawab, ‘Dalam jejak rekam Anda tidak ada jejak rekam UK.’ Sejak saya mengambil cuti selama tiga empat bulan, saya pulang pergi. Pada akhirnya saya putus asa. Suatu ketika saya berjumpa dengan Tn. Usman di Islamabad sepulang dari masjid menuju ke rumah beliau.
Saya ceritakan kisah saya, lalu sambil berdiri di tempat, beliau mendoakan saya dengan penuh keharuan dan disertai ratapan sehingga saya pun khawatir dibuatnya melihat beliau mendoakan seperti itu untuk saya. Saya telah merepotkan beliau. Beberapa orang juga ikut serta dalam doa. Pada hari berikutnya pengacara saya menelepon Home office namun tidak ada yang mengangkat teleponnya, telepon bordering cukup lama. Direkturnya kebetulan sedang lewat didekat telepon dan mengangkatnya. Pengacara saya menceritakan permasalahannya kepada sang direktur.
Direktur mengatakan, ‘Baik sampaikan pada klien Anda untuk datang ke kantor saya besok pagi.’
Keesokan harinya saya pergi ke kantor tersebut. Nama Direktur tadi adalah Mr Richard. Saya sampaikan kepada bagian resepsionis bahwa saya ingin berjumpa dengan Direktur.
Resepsionis mengatakan, ‘Beliau adalah pejabat tinggi di sini. Sulit rasanya dia menjumpai anda. Sampaikan pada kami apa keperluan anda.’
Saya katakan, ‘Pak Direktur sendiri yang memanggil saya.’
Saat itu tidak ada yang berani mengabarkan kepada sang direktur. Pada akhirnya ada seorang pria yang siap untuk menyampaikan kepada pak direktur. Setelah disampaikan pesan kepada pak direktur, pak direktur sendiri datang menemui saya dan mengajak saya masuk ke kantornya. Beliau cari seluruh jejak rekam dalam komputernya lalu memanggil sekretarisnya, memberikan surat dan perintahkan untuk menerbitkan paspor saya. Setelah itu pak direktur mengantar saya sampai keluar.
Semua orang melihat dan terheran siapakah orang besar yang disertai oleh pejabat besar ini. Seorang pejabat tinggi berkenan untuk mengantar seorang tamu asing sampai ke pintu. Saat itu saya teringat kepada doa-doa yang dipanjatkan oleh Bpk. Usman Chou dengan penuh kekhusyuan saat itu yang mana pekerjaan yang terhenti selama 4 bulan dapat terselesaikan dalam 1 hari bahkan diselesaikan langsung oleh pejabat tinggi.”
Banyak sekali kisah namun seperti yang saya katakan tadi tidak mungkin untuk saya sampaikan semuanya, karena begitu banyak. Untuk itu akan saya sampaikan penuturan dari beberapa kerabat dekat beliau.
Sayyid Husain Ahmad, seorang muballigh menulis, “Ketika itu ada acara rutin mingguan. Para muballigh kami tidak memiliki kendaraan. Kami menggunakan bus untuk sampai ke acara tersebut. Rapat diadakan sampai larut malam. Ketika pulang kami kadang menumpang kepada pengurus yang membawa kendaraan. Kami biasanya menunggu untuk mendapatkan tumpangan. Namun, Bpk. Usman tidak pernah menunggu tumpangan mobil. Beliau biasa berjalan kaki atau naik bus atau ada angkutan lain yang beliau tumpangi.
Rumah misi dimana beliau tinggal tidak besar. Suatu saat beliau mengundang kami ke rumah. Kami bertanya, ‘Anda tinggal dimana?’
Beliau menjawab: ‘Inilah ruangan saya. Ini adalah ruangan untuk kaum wanita. Ketika mereka datang untuk shalat saya bereskan dulu barang-barang saya. Ini juga yang menjadi tempat tidur saya, tempat makan dan di sinilah semua kegiatan. Beliau tinggal di tempat yang kecil dengan rendah hati dan sederhana sekali.’”
Bpk. Rashid Arshad telah berkhidmat cukup lama bersama Bpk. Usman di Chinese Desk (segala hal tugas tabligh dan tarbiyat terkait Tiongkok, baik sebagai bangsa maupun negara) yakni mendapatkan kesempatan berkhidmat selama 33 tahun. Beliau menulis beberapa keistiewaan Bpk. Usman, “Almarhum sangat dawam dalam melaksanakan shalat berjamaah dan memiliki kecintaan yang tinggi untuk beribadah sehingga menjadi teladan bagi kami. Meskipun hujan, angin taufan, salju namun beliau tetap pergi ke masjid dengan dawam untuk shalat berjamaah.
Kami pun menyaksikan beliau sudah lemah karena umur yang sudah tua. Meski pun jarak dekat dari rumah ke masjid di Islamabad, namun harus berhenti berkali-kali untuk menarik nafas selama 20 menit untuk sampai ke masjid dan meskipun demikian beliau selalu pergi ke masjid. Beliau dawam melaksanakan tahajjud.
Suatu ketika kami pernah melakukan perjalanan panjang ke suatu daerah di Tiongkok. Pada malam harinya kami berbincang cukup lama dengan penduduk lokal sampai larut malam, sehingga saya mengira akan sulit untuk shalat tahajud keesokan harinya. Namun saya melihat Bpk. Usman tengah melaksanakan shalat tahajjud pada waktu subuh. Meskipun beliau terpaksa harus melaksanakan tahajjud secara singkat, namun beliau dawam.”
Bpk. Usman sendiri menulis, ‘Ketika saya dari Tiongkok sampai di Rabwah, saya melihat bagaimana orang-orang suci di Rabwah melaksanakan shalat dengan penuh kekhusyuan dan menangis, berpuasa, beritikaf, memanjatkan doa dan Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa mereka.’
Melihat suasana seperti itu sangat berkesan dalam diri beliau. Lalu beliau beriradah supaya beliau dapat mengikuti jejak langkah para wujud suci ini.
Saat itu, beliau mendapat kemudahan untuk memperoleh petunjuk dari Khalifah-e-Waqt, Hadhrat Khalifatul Masih Tsani Ra. Beliau mendapatkan karunia untuk bergaul dengan wujud-wujud seperti Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra dan Hadhrat Mirza Syarif Ahmad Ra juga dapat mengambil manfaat dari jalinan dengan Maulana Ghulam Rasul Sahib Rajiki Ra, Hadhrat Mukhtar Ahmad Syah Jahanpuri Sahib ra, Hadhrat Muhammad Ibrahim Baqapuri Sahib, Sayyid Waliyullah Syah Sahib ra dan lain-lain. Atas keberkatan para wujud suci tersebut, Allah Ta’ala lebih semakin mempertajam lagi kepribadian Bpk. Usman dan hubungan beliau dengan Allah Ta’ala terus meningkat.
Beliau juga sangat gigih dalam bertabligh. Pada umumnya beliau pendiam dan tidak banyak bicara, namun ketika mulai bertabligh timbul semangat dan gejolak yang tinggi dalam diri beliau sehingga beliau mampu berbicara berjam-jam. Terkadang beliau bertabligh melalui telepon sehingga tidak terasa waktu berlalu. Kecintaan dalam mengkhidmati tamu pun beliau dapatkan secara turun-temurun.
Bpk. Usman menuturkan bahwa ayah beliau sangat gemar mengkhidmati tamu. Karena di kampung kami tidak ada hotel, Ayah beliau mengatakan, “Rumah kami-lah yang dijadikan sebagai hotel.” Istri beliau juga membantu sepenuhnya dalam mengkhidmati tamu.
Begitu juga, Almarhum adalah orang yang selalu menjaga perasaan orang lain dalam kondisi selelah apapun. Suatu ketika sebuah rapat berlangsung lama dan selesai larut malam. Ketika akan duduk di mobil, ada orang yang mengatakan, ‘Rumah saya tidak jauh dari sini, tuan berkenan singgah di rumah saya.’
Saya (Bpk. Rashid Arshad, anggota Chinese Desk) menyangka Bpk. Usman pasti menolak tawaran orang itu, namun beliau berkenan datang ke rumahnya lalu orang itu menyiapkan makan malam. Beliau berbincang sampai larut malam, sehingga beliau sampai di rumah sekitar pukul 1 malam, namun beliau tidak menolak tawaran tadi dan tidak juga mengatakan harus segera pulang.
Bpk. Nasir Ahmad Badr, seorang Muballigh menulis, “Ketika saya mendapatkan perintah untuk mempelajari Bahasa Mandarin, saya menghubungi Almarhum. Saya mendapatkan taufik untuk bertabligh di banyak sekali daerah di Tiongkok.
Saya mendapatkan banyak manfaat dari nasihat dan saran-saran dari Almarhum. Beliau selalu membimbing saya melalui korespondensi (surat-menyurat). Saya mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pesan Hadhrat Masih Mau’ud (as) kepada ribuan warga Tiongkok secara lisan maupun dalam bentuk buku-buku.
Lebih kurang di setiap tempat orang-orang di sana mengenang kebaikan Almarhum. Bpk. Usman dianggap sebagai cendekiawan besar di Tiongkok. Literatur-literatur berbahasa Mandarin yang diwariskan Bpk. Usman sebagai kenangan, tidak akan pernah membiarkan beliau wafat. Puluhan buku dan terjemahan berbahasa Mandarin sebagai buah pena beliau merupakan sebuah samudera yang beliau serap dari Ruhani Khazain (khazanah kerohanian) Hadhrat Masih Mau’ud (as) kemudian beliau terjemahkan dan sebarkan kepada orang-orang.
Bahasa Mandarin beliau yang fasih dan baligh pun menciptakan satu daya Tarik yang khas di dalamnya. Saya dapat memperkirakan hal tersebut ketika berkunjung ke sebuah madrasah Muslim. Ketika saya datang ke sana untuk pertama kali, mereka tidak memperlihatkan reaksi yang khas kepada saya. Daerah tersebut merupakan kawasan Muslim.
Namun ketika berkunjung ke daerah tersebut untuk kedua kalinya, segenap Tionghoa Muslim dan para Imamnya memperlakukan saya dengan penuh hormat dan kasih sayang. Saya bertanya kepada seseorang, ‘Waktu saya datang pertama kali kepada anda, Anda tidak memperlihatkan perlakuan yang baik seperti sekarang ini.’
Ada yang menjawab diantara mereka, mengatakan, ‘Buku-buku yang Anda hadiahkan pada waktu itu kepada Imam di sini, khususnya kutipan terpilih tulisan-tulisan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam Bahasa Mandarin telah disampaikan dalam khotbah, mendengar hal itu timbul satu suasana haru dalam diri kami, kami belum pernah mendengarkan tulisan yang luar biasa seperti ini dalam kehidupan kami. Untuk itu kami berharap Anda dapat memberikan lagi buku seperti itu kepada kami.’
Saya juga mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke daerah leluhur Bpk. Usman dan berjumpa dengan kerabat-kerabat beliau. Semuanya mengenang Bpk. Usman dengan penuh hormat. Siapapun yang datang dia menyebutkan ikatan persaudaraan dengan Bpk. Usman lalu memperlihatkan kebahagiaan. Selama sekian hari saya tinggal di sana yang paling membuat mereka memberikan pengkhidmatan yang luar biasa kepada saya adalah semata mata karena saya mengenal Bpk. Usman dan sebagai wakil Jemaat. Terjemahan al-Quran dalam Bahasa Mandarin karya Bpk. Usman begitu jelas dan mudah dipahami siapapun yang di dalamnya tampak standar tinggi dalam hal kefasihan dan balaghah Bahasa Mandarin.
Meskipun ada terjemahan Al-Qur’an lainnya dalam Bahasa Mandarin, namun terjemahan Bpk. Usman sangat diterima dan diakui. Hal tersebut dapat diperkirakan dari para Ulama Tiongkok yang meskipun menentang (tidak sepakat dengan) Aqidah Jemaat Ahmadiyah namun mereka memandang terjemahan tersebut dengan penuh hormat dan memiliki keinginan kuat untuk memahami Al-Qur’an.
Ketika melakukan kunjungan ke daerah tersebut, seorang tokoh Imam melihat terjemahan tersebut dari saya. Mata beliau langsung berbinar. Imam tersebut pernah menyimpan terjemahan itu. Setelah melihatnya lagi beliau sangat senang dibuatnya dan berkali-kali mengatakan, ‘Saya sudah sejak lama mencari terjemahan Al-Quran ini, apakah tuan dapat menghadiahkan Quran ini kepada saya?’
Saya katakan, ‘Saat ini saya hanya memiliki satu saja. Saya minta alamat Anda untuk saya mintakan Bpk. Usman untuk mengirimkannya kepada tuan.’
Setelah beberapa saat berpikir beliau mengatakan, ‘Mohon tuan pinjamkan kepada saya Al-Qur’an ini sebentar, saya akan memfotokopinya.’
Mendengar beliau akan mengkopi terjemahan Al-Qur’an yang berjumlah 1450 halaman ini dan melihat bagaimana hasrat beliau yang dalam pada akhirnya saya berikan terjemahan Al-Qur’an tersebut kepada beliau. Betapa bahagianya beliau dan berkali-kali mengucapkan terima kasih layaknya mendapatkan khazanah tak ternilai. Tidak diragukan lagi ini merupakan khazanah, beliau tidak tahan lagi meluapkan kebahagiaannya.
Demikian pula, jalinan kontak (jaringan perkenalan) Almarhum Bpk. Usman banyak sekali. Begitu juga para Muballighin yang pernah tinggal di Tiongkok menulis hal yang senada. Kata mereka. ‘Kemana pun kami pergi di Tiongkok, banyak sekali orang yang mengenang kebaikan Bpk. Usman.’”
Bpk. Zafrullah pernah tinggal di Tiongkok sebagai Muballigh. Saat ini beliau berada di Pakistan. Beliau menuturkan, “Pada tahun 2004 Bpk. Usman ke Pakistan dan melakukan perjalanan dari Islamabad ke Rabwah. Beliau mengajak saya ke daerah Klarkahar untuk memperlihatkan tempat beliau biasa melakukan chilla (berkhalwat, menyendiri) pada saat menuntut ilmu di Jamiah. Beliau juga pernah menceritakan satu kisah pengabulan doa beliau bagaimana beliau berkunjung ke sebuah rumah yang penghuninya menceritakan bahwa meskipun telah menikah 10 tahun masih belum diberikan anak.
Ketika Bpk. Usman berkhalwat, mereka meminta didoakan supaya dianugerahi anak. Setelah berdoa beliau melihat mimpi di halaman rumah beliau terdapat Choudri Zafrullah Khan Sahib tengah tidur di atas Carpay. Beliau menceritakan mimpi tersebut kepada yang bersangkutan bahwa Allah Ta’ala memberikan kabar suka akan memberikan anak laki-laki kepadanya. Sebagaimana setelah berlalu sekian masa Allah Ta’ala menganugerahkan anak laki-laki kepada orang tersebut.”
Saya pun ingat ketika beliau melakukan khalwat di Klarkahar. Pada zaman Hadhrat Khalifatul Masih Tsani kami masih kecil pernah pergi ke tempat tersebut yakni suatu ruangan yang di dalamnya terdapat ruangan bawah yang kecil. Beliau tengah duduk berdoa di dalamnya. Di tangan beliau terdapat Al Quran lalu kami yakni anak anak dan orang dewasa meminta doa kepada beliau dan beliau menjawab dengan tersenyum dan memperlihatkan kasih sayang.
Dr Nuri juga menulis, “Saya pernah memeriksa kesehatan beliau. Pada tahun 2004 yakni 14 atau 15 tahun yang lalu beliau didiagnosa. Ternyata beliau memiliki penyakit jantung dan tidak dapat disembuhkan. Saya sangat khawatir karena selain doa dan beberapa obat biasa tidak ada cara lain lagi. Orang yang memiliki keluhan seperti ini biasanya kesempatan untuk hidup sangat sedikit, tidak dapat bertahan lebih dari beberapa tahun.
Namun, dengan karunia Allah Ta’ala saya heran meskipun memiliki penyakit, ketika berjumpa dengan beliau, meskipun tanda-tanda kelemahan tampak, beliau tidak pernah membiarkan penyakitnya menjadi penghalang dalam melakukan kewajiban dan selalu bekerja.”
Belum pernah terjadi disebabkan penyakit lantas beliau tidak bekerja atau berkurang dalam ibadahnya. Bahkan ada seseorang yang menulis kepada saya (Hudhur), “Suatu ketika turun salju yang tebal. Sehingga saya mengira pada hari itu orang-orang tidak akan ada yang datang karena berjalan sulit di atas salju tebal atau sekurang-kurangnya pergi untuk membuka masjid. Bagi Bpk. Usman pasti sulit untuk datang. Namun kami tetap pergi ke Masjid untuk membuka Masjid karena bisa jadi ada orang yang datang. Ketika saya sampai ke Masjid, saya melihat jejak kaki di atas salju dan ketika saaya masuk ke masjid ternyata Bpk. Usman tidak hanya telah hadir, bahkan hadir paling awal dan saat itu tengah melaksanakan shalat Tahajjud.”
Begitu juga Tn. Ataul Mujeeb Rashid menulis ringkasan biografi mengenai beliau. Sebuah sinopsis yang sangat baik dan memang suatu fakta, “Almarhum meninggalkan ruang kosong yang amat besar. Beliau merupakan wujud suci yang luhur dan mulia. Ketika saya berpikir, terlintas di benak saya berkenaan dengan kelebihan Bpk. Usman yang rajin berdoa dan doanya sangat makbul, sangat disiplin dalam mengerjakan shalat, meskipun sakit dan lemah beliau tetap pergi ke masjid, sangat mukhlis, bertakwa dan tidak merugikan orang lain. Mengharapkan kebaikan orang lain dan memberikan musyawarah yang baik, sangat sederhana dan tidak dibuat-buat. Gemar mengkhidmati tamu dan dan mengkhidmati tamu dengan penuh kecintaan.
Memiliki semangat yang tinggi dan meskipun fisik lemah tetap sibuk dalam menggerakkan untuk mengkhidmati agama. Melaksanakan tanggung jawab dengan penuh keikhlasan, kerja keras dan kecintaan. Ada satu kecintaan dalam diri beliau untuk terus melakukan pengkhidmatan agama. Beliau pengkhidmat sejati, ikhlas dan setia terhadap Khilafat Ahmadiyah. Selalu memperlihatkan wajah yang ramah dan ceria. Beliau memiliki banyak kelebihan lainnya.”
Apa yang Tn. Ataul Mujeeb Rashid sampaikan ini merupakan kenyataan.
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat-derajat Usman Chini Sahib secara terus-menerus, memberikan kesabaran kepada istri beliau, melindunginya dan menolongnya. Semoga putra-putri beliau menjadi pewaris doa-doa dan segala kebaikan beliau serta mengikuti jejak beliau. Setelah shalat jumat saya akan memimpin shalat jenazah ghaib untuk beliau. Insya Allah.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Harian Al-Fadhl tanggal 12 Maret 2012, h. 3, jilid 62-97, no. 60