Banyak orang awam menganggap wahyu itu tidak ada realitasnya dan merupakan suatu yang sia-sia, bahkan dianggap lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Pandangan demikian berasal dari seorang yang belum pernah menikmati minuman anggur yang murni ini dan ia memang tidak menginginkan perolehan keimanan hakiki. Orang seperti itu cukup puas dengan adat kebiasaannya sehari-hari dan tidak pernah ingin mencari tahu sejauh mana kadar keimanannya kepada Allah Yang Maha Agung dan seberapa jauh tingkat pemahamannya serta apa yang harus dilakukannya guna memupus kelemahan-kelemahan dirinya guna merubah akhlak dan kelakuannya. Ia tidak berhasrat memelihara benih kasih yang akan memudahkan perjalanannya ke dunia lain untuk pengembangan batin dan kemajuan ruhaninya.
Dalam kehidupan yang selalu menekan manusia ke bawah karena beban tanggung jawab isteri dan anak-anak serta keinginan menjaga kehormatan dan nama baik yang semuanya itu seperti batu berat yang menggandul di lehernya, sepatutnya ia membutuhkan kekuatan luhur yang membawa dirinya ke arah tujuan yang hakiki sehingga akan timbul hasrat di dirinya untuk menjumpai kecantikan Allah Yang Maha Perkasa Yang sempurna. Kekuatan luhur itu adalah wahyu Ilahi yang memberikan ketentraman dalam masa kesulitan. Adanya wahyu menjadikan seseorang dapat bertahan dengan hati lapang dan nyaman meski ditimpa segunung bencana. Wujud tidak terlihat yang selama ini selalu membingungkan fikiran dan benak para filosof, memanifestasikan Diri-Nya hanya melalui wahyu. Dia akan menenangkan kalbu para pencari dan mengaruniakan kepuasan kepada mereka serta menghidupkan kembali mereka yang sudah separuh mati dengan firman-Nya: “Aku ini Ada.”
Memang benar bahwa Al-Quran mengandung semua petunjuk yang dibutuhkan manusia, tetapi ketika Al-Quran membimbing seseorang ke sumber mata air segala petunjuk maka salah satu indikasi mengenai hal itu adalah ia mulai mengalami komunikasi dengan Tuhan. Saat itu ia mulai mengalami pencerahan pada tingkat yang tinggi dimana ia melihat nurdan berkat yang nyata sehingga ia memperoleh pemahaman yang tidak mungkin didapat dari mengikuti teori-teori intelektual secara membuta karena intelek manusia bersifat terbatas, penuh keraguan, cacat dan tidak lengkap. Kita seharusnya meluaskan jangkauan pengenalan kita secara langsung karena dengan bertambah pemahaman maka akan meningkat pula hasrat kita. Dengan pengenalan yang cacat dengan sendirinya kita tidak bisa mengharapkan hasrat yang sempurna. Mengherankan sekali bahwa ada manusia-manusia tuna ilmu yang menganggap dirinya tidak membutuhkan sarana guna pengenalan kebenaran yang sebenarnya merupakan kebutuhan hidup keruhaniannya. Ingatlah selalu bahwa pengetahuan dan pemahaman keruhanian hanya bisa didapat melalui wahyu dan kasyaf dimana sebelum kita berhasil mencapai tingkatan nur untuk itu maka fitrat kemanusiaan kita belum berhasil memperoleh pemahaman atau kesempurnaan hakiki.