SIFAT ALLAH “ NUR “ BAGIAN KE 2

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

             نَحْمَدُهُ وَنُصَلِّىْعَلَى رَسُوْلِهِ الْكَرِيْمِ  وَعَلَىعَبْدِهِ اْلمَسِيْحِ اْلمَوْعُوْدِ

KHUTBAH JUM’AH

AMIRUL MU’MININ KHALIFATUL MASIH V atba

Tanggal  11 Desember 2009  dari Baitul Futuh London UK

Pada Jum’ah yang lalu saya tengah menerangkan sifat Allah swt An Nur. Makna dari pada Nur berdasarkan Lughat Arab, beberapa ahli tafsir menerangkan-nya sambil mengutip beberapa ayat yang berkaitan dengan sifat Allah An Nur itu. Dan saya juga telah menjelaskan secara rinci sebuah ayat dari Surah An Nur yaitu…. اللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَاْلاَرْضِ‌  dan selanjutnya.

            Sebagaimana telah saya katakan bahwa para ahli Lughat Arab untuk memperkuat penjelasan tentang arti An Nur itu mereka telah mengutip beberapa ayat suci Alqur’an. Dalam  khutbah hari ini akan saya jelaskan satu dua ayat Alqur’an yang berkaitan dengan An Nur itu. Telah saya jelaskan bahwa Nur dikatakan kepada cahaya atau sinar yang memancar. Dan menurut para ahli tafsir Nur itu terdapat dua jenis. Pertama Nur duniawi dan kedua Nur ukhrawi (Akhirat). Dan Nur duniawi terdiri dari dua jenis juga. Pertama Nur yang bisa dipandang dengan bashirat (mata ruhani) dan ia disebut ma’qul. Yakni disebabkan keyakinan dan akal-pikiran serta kebijakan manusia bisa memperoleh Nur itu. Dan didalam perkara Ilahi yang dimaksud dengan Nur akal ini adalah Nur Qur’an. Yang kedua Nur yang bisa dirasakan melalui mata jasmani, yang disebut mahsus. Misalnya cahaya yang terdapat pada bulan, pada matahari dan bintang-bintang dan cahaya yang terdapat didalam benda-benda yang bersinar, kita bisa melihat cahaya-cahaya itu dengan mata jasmani.

Contoh Nur Ilahi dengan merujuk kepada Mufradaat saya telah mengutip ayat-ayat dari surah Al Maidah dan Al An’am, sekalipun saya tidak menjelaskannya secara rinci. Untuk pemandangan mata jasmani contoh benda-benda yang bisa dilihat, Mufradat telah mengisyarahkan kepada surah Yunus dimana Allah swt berfirman  هُوَ الّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَّاْلقَمَرَ نُوْرًا  Artinya Dialah Tuhan Yang menjadikan matahari memancarkan cahaya cemerlang dan bulan memantulkan sinar (Yunus : 6) Mungkin banyak orang merasa bingung mengapa untuk mata hari dipergunakan perkataan dhiyaa dan untuk bulan dipergunakan kata Nur. Sebabnya adalah dhiyaa artinya cahaya yang terang-benderang sedangkan Nur kurang cemerlang cahayanya. Para ahli Lughat juga mengatakan bahwa dhiyaa artinya cahaya yang sangat terang sedangkan Nur cahayanya kurang terang. Dhiya adalah cahaya yang lebih kuat dibandingkan dengan Nur. Dhiyaa dan dhao dikatakan kepada benda yang memancarkan cahaya. Dan perkataan Nur dipergunakan kepada benda yang mengambil cahaya dari sumber cahaya lain. Jadi, firman Allah swt ini   اللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَاْلاَرْضِ apa maksudnya ? Pertanyaan ini dijawab oleh para ahli Tafsir bahwa : Nur mempunyai banyak arti. Nur ini dipergunakan juga dalam arti dhiyaa (Cahaya terang yang kuat). Tentang Hazrat Rasulullah saw Allah swt berfirman :        وَسِرَاجًا مَُّنِيْرًmatahari yang brsinar terang. Artinya kerana beliau saw orang-orang lain juga menjadi bercahaya terang, sebab Nur beliau juga adalah Nur dari Tuhan. Nur juga dikatakan        ضِيَاء(dhiyaa) artinya cahaya terang yang sangat kuat. Dhia benda yang bersinar sendiri, cahaya yang memancar dari padanya disebut nur juga. Jadi, Nur Allah swt yang memancar itulah yang kita lihat didalam kehidupan secara jasmani dan secara ruhani. Keadaan dunia bisa diketahui secara hakiki apabila bisa dilihat dengan nur yang telah dianugerahkan Allah swt. Sebab Nur dikatakan kepada setiap benda yang dengan perantaraannya benda-benda lain dapat dilihat. Jadi dengan menekuni Zat Allah swt secara mendalam maka kita bisa melihat dengan mata zahir juga hakikat Nur yang telah Allah swt zahirkan dan tetapkan bagi umat manusia. Matahari, bulan dan bintang-bintang juga pendeknya setiap benda yang ada didunia akan nampak secara zahiriyah apabila nur Allah itu dipancarkan kepadanya. Akan tetapi bagi para dahriah (orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan) tidak akan mampu melihat Tuhan dalam wujud benda-benda itu karena mereka tidak percaya kepada Tuhan sedangkan orang-orang mukmin akan melihat wajah Tuhan melalui wujud setiap benda itu kerana Allah swt telah memancarkan Nur-Nya kpada mereka bahkan mereka menerima barkat-barkat dari pada benda-benda itu. Dan itulah sebagai penampakan sifat Rahmaniyyat Tuhan kepada mereka. Dan banyak upaya-upaya para pakar sains yang menyaksikan manifestasi sifat Rahimiyyat Tuhan. Dan mereka mampu meraih ilmu pengetahuan sampai batas-batas tertentu dari semua benda-benda dunia yang telah Tuhan ciptakan itu. Ilmu pengetahuan tentang matahari, bulan dan bintang-bintang demi faedah dunia telah dibukakan rahasianya oleh seorang yang tidak percaya kepada Tuhan juga. Sedangkan orang-orang yang tinggal didalam dunia keruhanian dan seorang mukmin hakiki, yang kepadanya diberikan nur Alqur’an juga, ia memperoleh faedah dari benda-benda itu baik faedah diuniawi maupun faedah ukhrawi (akhirat). Banyak tempat didalam Alqur’an Allah swt telah menjelaskan tentang kedua Nur atau kedua cahaya itu, agar demi faedah duniawi mereka mendapat petunjuk tentang itu dan demi faedah ruhani agar mereka mempunyai perhatian terhadap perkara itu. Selanjutnya tentang nur uluhiyyat terdapat didalam Mufradaat dan telah dituliskan ayat berikut ini, apa hakikatnya Nur ukhrawi itu,

     نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَاۤ اَتْمِمْ لَـنَا نُوْرَنَا 

   Artinya : Cahaya mereka akan berlari-lari dihadapan mereka dan disebelah kanan mereka. Mereka akan berkata,

Hai Tuhan kami ! Sempurnakanlah kiranya cahaya kami bagi kami!   Nur itulah yang akan nampak kepada mereka setelah mereka meninggal dunia.

Sekarang Huzur menjelaskan dari apa yang telah beliau utarakan pada Khutbah Jum’ah yang lalu. Kemudian Huzur menjelaskan firman Allah swt berikut ini   :

 يٰۤاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُـنَا يُبَيِّنُ لَـكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ‌ ؕ قَدْ جَآءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِينٌ– يَهْدِىْ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوٰنَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرٰطٍ مُّسْتَقِيْمٍ‏-

Hai Ahli Kitab ! Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami yang menjelaskan kepada kamu banyak dari apa yang telah kamu sembunyikan dari Kitab, dan ia mema’afkan banyak dari kesalahan kamu. Sesungguhnya telah datang kepadamu Nur dari Allah dan Kitab yang nyata. Dengan itu Allah menuntun orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya pada jalan-jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan inzin-Nya, dan menuntun mereka kepada jalan lurus. (Al Maidah : 16,17)

            Jadi semua perkara yang ada didalam Kita-kitab sebelumnya yang telah mereka rubah kandungannya atau mereka sembunyikan dari padanya, mereka tidak menjelaskannya tentang perbuatan itu. Allah swt telah mengumumkan bahwa setelah menerima pemberitahuan dari pada-Nya sekarang Hazrat Muhammad, Rasulullah saw telah mengemukakan perkara itu kepada dunia apa yang telah mereka sembunyikan itu. Bahkan bukan itu saja melainkan banyak sekali hukum-hukum yang baru tangah dizahirkan kepada dunia oleh Rasulullah saw. Untuk sampai kepada Allah swt, untuk mencapai ketinggian martabat ruhaniyat sedang dibukakan jalan-jalannya yang baru, dan semua hukum-hukum itu sangat serasi dengan tabi’at manusia, tidak terdapat kesemrawutan didalamnya. Seorang Rasul telah datang, membawa sebuah ajaran yang bukan Barat bukan juga Timur, betul-betul berdiri sendiri tegak ditengah-tengah. Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda : “ Setiap wahyu turun betul-betul sesuai dengan keadaan pribadi Rasulullah saw, yakni wahyu turun sesuai dengan fitrat beliau saw. Sebagaimana wahyu turun kepada Nabi Musa a.s. sesuai dengan keberanian dan tabi’at keras beliau, maka telah turun syari’at yang menunjukkan kegagahan dan keberanian beliau a.s. Wahyu yang turun kepada Hazrat Nabi Isa a.s. sifatnya lemah-lembut dan sopan santun. Akan tetapi wahyu yang turun kepada Rasulullah saw menunjukkan istiqamah dan istiqlal yang tinggi sesuai dengan fitrat beliau saw. Banyak terjadi peristiwa-peristiwa dimana menunjukkan tabia’at beliau tidak keras dan tidak pula terlalu lemah lembut. Beliau tidak menyukai berlaku lemah-lembut pada setiap kesempatan dan tidak pula beliau menyukai disetiap tempat berlaku keras dan tegas, melainkan beliau selalu menunjukkan jalan tengah yang sangat lurus. Melainkan beliau berlaku sangat tepat sesuai dengan keadaan dan kondisi yang tengah terjadi. Maka Alqur’an juga telah turun dalam keadaan seperti itu, sesuai dengan tempat dan kesempatan yang tengah berlaku pada waktu itu. Bahwa gabungan dari kekerasan, ketegasan dan rahmat, ketakutan dan kesusahan yang amat sangat serta kelembutan dan kebaikan. Tengoklah didalam Alqur’anul Karim semuanya telah tersimpul dengan baik. Misalnya mengenai hukuman Allah swt telah bermankan :

وَجَزٰٓؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا‌ۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنَّهٗ لاَ يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Artinya :  Ingatlah! Bahwa pembalasan terhadap suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan itu; tetapi barangsiapa mema’afkan dan kerana itu mendatangkan perbaikan, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (As Syura: 41)

Demikianlah ajaran Islam yang telah disesuaikan dengan keadaan yang telah diturunkan kepada Hazrat Rasulullah saw. Maksud dan tujuan hukuman adalah untuk mengadakan perbaikan pada diri orang yang berbuat dosa atau berbuat kesalahan. Jika dengan diberinya ma’af akan terjadi perobahan dan akan mendatangkan perbaikan akhlaknya, hendaknya ia diberi ma’af. Dan jika dengan mengenakan hukuman kepada sipelaku dosa itu menjadi perbaikan pada dirinya, maka ia perlu diberi hukuman. Namun harus dipertimbangkan bahwa hukuman itu harus diberikan kepadanya sesuai dengan perbuatan dosanya. Bagaimanapun jangan sampai terjadi perbuatan aniaya. Jadi, itulah ajaran Islam sejati, bukan seperti yang dikatakan agama lain, jika orang lain menampar pipi kamu yang kanan berilah pipi yang kiri untuk menamparnya, dan tidak pula seperti dikatakan pembalasan mata dengan mencongkel mata orang yang berbuat salah.

Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda : “ Sekarang tengoklah bahwa didalam ayat tersebut telah ditetapkan keringanan bagi kedua belah pehak, mema’afkan dan pembalasan telah disesuaikan dengan keadaan dan situasi. Maka demikianlah peraturan Islam yang sangat bijaksana berdasarkan mana seluruh undang-undang didunia tengah dijalankan. Setelah memberitahukan ini semua dikatakan bahwa seorang Rasul telah datang kepada-mu yang telah mengemukakan semua ajaran lama dan juga ajaran baru kepada kamu sekalian. Setelah itu Allah swt berfirman :               قَدْجَآءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِينٌ  Sesungguhnya telah datang kepadamu Nur dari Allah dan Kitab yang Terbuka. Nur yang disebutkan disini tiada lain adalah zat Rasulullah saw. Bahwa Allah swt telah memberitahukan bahwa Rasulullah saw adalah sirajun munirun. Artinya sebuah matahari yang bersinar terang-benderang. Sebab melalui beliau-lah Nur Allah swt menjadi terang benderang dan tersebar luas keseluruh dunia. Dan sekarang tidak akan ada seorangpun yang bisa memperoleh Nur atau cahaya Allah swt tanpa melalui beliau. Dan sesuai dengan nubuatan-nubuatan Hazrat Rasulullah sw dan sesuai dengan janji Allah swt pada akhir zaman seorang yang paling banyak mendapat bahagian dari Nur Allah swt yaitu seorang yang berpangkat Masih dan Mahdi, dan kepada beliau telah dianugerahkan martabat Nabi Ummati. Nabi yang tertakluk kepada undang-undang nabi Muhammad saw. Sebab sekarang orang yang telah diutus sebagai Insan Kamil dan Rasul Yang paling mulia dan cap sebagai Sirajun Munir telah dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw. Jadi Rasulullah saw sebagai Khatamun Nubuwwat bukan sebagai penutup Nur Allah swt, melainkan pembuat bertambah cemerlangnya Nur itu dan penyebar luas Nur itu keseluruh pelosok dunia. Jadi itulah kedudukan Khatamun Nubuwat yaitu Cahaya Ruhani yang mampu menciptakan Nur yang sangat cemerlang sekali. Maka jelaslah sebagaimana Allah swt telah berfirman bahwa bersama Nur ini ada sebuah Kitab Terbuka. Oleh sebab itu setelah Kitab Suci Alqur’an, Kitab Syari’at yang sempurna, sekarang tidak bisa turun lagi Kitab Syari’at lain. Inilah kepercayaan orang-orang Ahmadi. Tentang kedua perkara inilah yakni Nur Muhammad saw dan Nur Qur’an, Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah menggubah sebuah sya’ir sebagai berikut :

 

Nur lae aasman se khud bhi woh ik nur the.

Kaoumi wahshi me agar paeda huwe kiya aya aaj.

 

Dia membawa Nur dari langit dan dia sendiri adalah Nur

Ia telah lahir ditengah kaum yang buas namun dia telah membawa suatu kejayaan…

Musuh-musuh mengeritik terhadap bunyi sya’ir ini katanya orang yang liar dan buta huruf bagaimana boleh menda’wakan diri sebagai nabi terakhir yang dirinya sendiri buta huruf, tidak bisa baca-tulis. Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: Sebenarnya bukan pada tempatnya mereka harus mengritik, perbuatan mereka itu sungguh nonsense, apa yang dimaksud dari sya’ir ini adalah untuk menunjukkan ketinggian status beliau. Beliau saw telah membawa Nur kamil dari langit yang bisa merubah haiwan liar menjadi manusia dan merubah manusia menjadi insan berakhalq dan bertuhan. Ketika kaum yang liar itu telah mendapat Nur Ilahi ini dan mengamalkan ajaran Alqur’an, mereka telah berubah menjadi suatu kaum yang paling beragama dan sangat terhormat didunia.

Pada waktu ini Bangsa-bangsa Eropah tengah menzahirkan nur ilmu pengetahuan mereka. Sesungguhnya bangsa-bangsa itu telah menghasilkan nur itu dari Kitab Rasulullah saw. Dan orang-orang (Arab) itulah yang telah mengajarkan ilmu itu kepada mereka seribu tahun sebelumnya. Bangsa-bangsa Eropah telah belajar ilmu pengetahuan dari mereka itu. Mereka itu bukan hanya menjadi mercu suar ilmu pengetahuan agama saja melainkan telah menjadi mercu suar bagi ilmu pengetahuan duniawi juga. Jadi sekarang orang-orang muslim harus berfikir sedalam-dalamnya, mengapa Nur yang telah menerangi dunia itu, baik dari ilmu-ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan duniawi, telah keluar dan menghilang dari dalam benak mereka namun telah berkembang kemana-mana, tidak seperti ketika Hazrat Rasulullah saw diutus kedunia, dan beliau telah menciptakan Nur pada diri orang-orang yang beriman kepada beliau. Jika mereka menda’wakan diri sebagai orang-orang yang patuh ta’at kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada ajaran-ajaran Alqur’an, mengapa tidak nampak pada diri mereka pancaran suatu Nur apapun ? Sebabnya jelas sekali bahwa mereka mengingkari seorang yang telah dijanjikan untuk menjadi pancaran Nur hakiki yaitu Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. Akan tetapi disamping itu orang-orang Ahmadi juga harus berfikir dan harus merasa prihatin, bahwa mereka telah menda’wakan diri beriman kepada Hazrat Imam Zaman secara lisan namun tidak mendapat bagian dari pada Nur hakiki itu. Sesungguhnya untuk meraih Nur Alqur’an itu mereka harus memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Alqur’an yang telah dijelskan oleh Asyiq Sadiq Insan Kamil yaitu Hazrat Masih Mau’ud a.s. Janganlah mencari cahaya sambil tenggelam didalam urusan duniawi, melainkan tenggelamlah didalam Alqur’an sambil mencari mutiara-mutiara hikmah yang terkandung didalamnya. Sangat penting sekali menyinari diri sendiri dengan Nur hakiki didunia ini. Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah melukiskan kemuliaan Nur Rasulullah saw didalam sya’ir bahsa Arab sebagai berikut :

نُوْرٌ مِّنَ اللهِ الَّذِيْ اَحْيَ اْلعُلُوْمَ تَجَدُّدَ

        المُصْطَفَيْ وَاْلمُجْتَبَي وَاْلمُقْتَدَي وَاْلمُشْتَدَي

Artinya : Dia adalah Nur Allah yang telah menghidupkan ilmu pengetahuan dari semula.

Dialah yang telah dipilih dan sumber barkat yang dipatuhi dan dita’ati oleh semua manusia.

            Jadi, sekarang khazanah ilmu pengetahuan adalah zat Rasulullah saw dan Alqur’anul Karim. Akan tetapi untuk memahami kandungannya diperlukan cahaya mata ruhani. Dan untuk tugas menciptakan nur itu Allah swt telah menetapkan Hazrat Masih Mau’ud a.s. Jadi, alangkah beruntungnya orang-orang yang untuk meraih nur itu telah mengadakan perjanjian bai’at dengan beliau a.s. Bagaimana Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah meraih kedudukan ini, beliau bersabda : “ Saya selalu melihat dengan pandangan yang menakjubkan, bahwa Nabi Arabi ini yang namanya Muhammad saw, beribu-ribu darood dan salam kusampaikan kepadanya, betapa tingginya  martabat Nabi ini. Kedudukan dan martabatnya yang sangat tinggi itu tidak bisa diketahui dengan pasti. Untuk menilai kesan-kesan quat qudsiah beliau bukanlah pekerjaan manusia. Alangkah disesalkannya, sebagaimana untuk mengenalnya merupakan hak kewajiban manusia, namun tanpa melalui-nya tidak dapat dikenal betapa tinggi martabat beliau saw itu. Tauhid yang sudah lenyap dari muka bumi, dialah pejuang yang telah menghadirkannya kembali kedunia ini. Ia mempunyai kecintaan sangat istimewa kepada Allah swt dan beliau mempunyai simpati yang sangat besar terhadap insaniyat beliau rela mengurbankan jiwa-raga beliau demi mereka. Oleh sebab itu Tuhan Yang Maha mengetahui rahasia yang terkandung didalam hati manusia telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau lebih dari semua para Anbiya dan semua para Utusan Tuhan sebelum beliau. Semua hasrat dan

kehendak beliau telah dipenuhi didalam masa kehidupan beliau. Beliaulah sumber utama bagi setiap berkat dan karunia. Orang yang menda’wakan dirinya sebagai orang yang paling mulia dari yang lain tanpa bukti yata dia bukan manusia melainkan anak keturunan syaitan. Semua kemuliaan dan kelebihan berupa apapun hanya bisa dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Siapapun yang menda’wakan dirinya demikian selain dari Rasulullah saw dia tidak bisa disebut hamba Allah melainkan hamba syaitan.”

Beliau a.s. selanjutnya bersabda : “ Kunci semua kemuliaan telah diberikan kepadanya, dan khazanah (treasury) segala ma’rifat telah diserahkan kepadanya, orang yang memperoleh sesuatu kelebihan tanpa melaluinya sebenarnya ia adalah orang yang mahrum dan merugi, dan selalu akan merugi. Apalah kita ini dan hakikat apa yang ada pada diri kita ini ? Kita akan menjadi kafir nikmat jika kita tidak menyatakan bahwa tauhid hakiki telah kita peroleh melalui iman kepadanya. Pengenalan terhadap Tuhan kita peroleh melalui Nabi yang kamil ini, dan diperoleh dengan Nurnya dan anugerah mukalamah-mukhotobah diperoleh melaluinya juga sehingga kita mampu menyaksikan wajah-Nya melalui Nabi ini. Cahaya hidayat yang cemerlang itu laksana terik matahari menerpa kita, dan kita tetap bercahaya selama kita beridiri dihadapannya.”

Kutipan sabda Hazrat Masih Mau’ud a.s. ini menunjukkan betapa luhur martabat dan kemuliaan Hazrat Rasulullah saw menurut pandangan beliau. Jika fitrat orang yang mengkritik itu baik maka hal yang telah dikemukakan diatas cukuplah sebagai jawabannya. Jika beliau a.s. memisahkan diri dari zat Rasulullah saw tidak akan ada sedikitpun kedudukan beliau a.s. Dan kita akan bisa meraih barakat dari Nur Allah swt selama kita tetap teguh berdiri dihadapan nur hidayat matahari ini, sebab beliau disebut Sirajun Munirun oleh Allah swt.

Didalam ayat kedua yang telah saya bacakan dari Surah Al Maidah didalmnya Allah swt berfirman tentang dua buah

Nur, pertama Nur Rasulullah saw dan kedua Nur Alquranul Karim. Sekarang taqdir Allah swt telah memutuskan bahwa dua perkara itulah yang akan menjadi sarana (means) untuk meraih keridhaan Allah swt. Dan dua perkara itulah yang membawa kita kepada jalan keselamatan, yang menjadi sarana (means) untuk meraih keridhaan Allah swt. Apakah jalan-jalan (cara-cara) keselamtan itu atau bermacam cara untuk sampai kepada Tuhan agar manusia bisa selamat sampai kepada Allah swt, sedangkan disetiap ujung jalan ada syaitan selalu menanti untuk menghadang. Jalan keselamatan itu adalah jalan yang terhindar dari syaitan yang membawa manusia sampai kepada Tuhan dan memperoleh barkat dari Nur Tuhan. Apabila jalan keselamatan ini telah diperoleh dan diperolehnya dengan karunia Allah swt maka ia akan selalu sibuk dalam mencari keridhaan-Nya. Langkah-langkahnya selalu menderap maju kepada Nur setelah melewati suasana kegelapan. Yaitu, ia selalu berjalan diatas sirathal mustaqim. Maka demi mendapatkan berkat-berkat dari Allah swt dan Rasul-Nya dan dari Kitab-Nya yang terang ia harus patuh ta’at kepada Allah swt atau untuk meraih keridhaan-Nya ia wajib mengikat hubungan yang erat dengan kedua perkara itu. Contoh keridhaan terhadap Allah swt yang paling tinggi setelah Rasulullah saw yang telah ditunjukkan oleh para sahabah r.a. merupakan berkat tarbiyyat dan quat qudsiah beliau saw. Mereka bukan hanya telah berhasil keluar dari kegelapan menuju cahaya terang, bahkan mereka telah memperoleh martabat radhiallahu ‘anhum wa radhu ‘anhu.(Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun telah sama-sama ridha kepada-Nya) Para sahabah Rasulullah saw juga dengan memperoleh Nur itu telah menjadi uswah hasanah bagi kita semua. Dan tentang wujud para sahabah itu Rasulullah saw telah memberi misal sebagai bintang-bintang bercahaya dilangit, sehingga dengan mengikutinya manusia akan memperoleh petunjuk dari Allah swt. Mereka itu adalah orang-orang yang berjalan diatas sirathal mustaqim dan menjadi peraih keridhaan Allah swt. Betapa baiknya nasib orang-orang itu yang telah memperoleh berkat-berkat langsung dari Rasulullah saw dan setelah keluar dari kegelapan menuju cahaya terang dengan cepat mereka meraih martabat ruhani yang akbar dan afdhal. Dan mereka telah berjaya meraih keridhaan Allah swt. Dan Allah swt sesuai dengan janji-janji-Nya telah mengutus Asyiq Shadiq Rasulullah saw yaitu Hazrat Masih Mau’ud a.s. diakhir zaman ini dan beliau menjadi penyalur cahaya terang Rasulullah saw keseluruh pelosok dunia. Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda :

           “ Mustafa par tera be had salaam o rahmat

             us se yeh nur liya bar e khuda ya ham ne” 

 

  Semoga kepada  Mustafa salam dan rahmat Engkau turun

  Wahaii Tuhan ! Daripada-nyalah kami telah meraih Nur ini !

Dan tatkala Nur ini telah mencapai peringkat akbar diatas beliau a.s., maka orang-orang yang mengikuti beliau-pun secara langsung menyirami hati mereka penuh dengan Nur itu dan mereka juga telah berdiri tegak diatas sirathal mustaqim dan berhasil meraih keridhaan Allah swt dan mereka telah menjadi penegak tauhid Ilahi. Sebagaimana Allah swt telah mengajar kita do’a ihdinas sirathal mustaqim maka kita-pun harus selalu berusaha untuk meraih barkat dari padanya sesuai kemampuan masing-masing. Sebagaimana Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah bersabda bahwa, sesuai dengan kemampuan masing-masing Nur itu dapat diraih oleh setiap orang, ada yang memperoleh banyak dan ada yang memperolehnya sedikit. Akan tetapi setiap orang pasti memperolehnya. Setiap orang mukmin pasti memperoleh faedah dari Nur itu yang sungguh-sungguh berniyat untuk memperolehnya. Allah swt tidak memberi beban kepada siapapun diluar batas kemampuannya. Oleh sebab itu Dia tidak menyuruh agar setiap orang bisa sampai kepada tujuan yang telah ditetapkan yaitu kedudukan yang paling tinggi. Namun Dia telah memerintahkan agar kita berusaha keras untuk mencapai kedudukan itu. Sungguh

Pemurah Dia Yang telah memberi hidayat kearah jalan sirathal mustaqim dan untuk itupun Dia telah mengajar kita do’anya yang kita baca dalam setiap raka’at sembahyang. Akan tetapi untuk itu telah diperintahkan agar kita berusaha keras. Dan Tuhan berfirman bahwa untuk berjalan diatas sirathal mustaqim itu diperlukan Nur. Dan Nur itu bisa diperoleh dari Allah swt, dari Rasulullah saw dan daripada Alquranul Karim. Dan siapa yang berusaha keras untuk meraihnya maka Allah swt dengan memperjalankannya diatas sirthal mustaqim Dia pasti memberi kemampuan demi meraih barkat dari Nur itu. Apakah sirathal mustaqim itu ? Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “ Sirathal mustaqim telah menjadi sumber kebenaran dan hikmat yang berasaskan tiga jenis yakni : ilmi, amali dan haali (ilmu pengetahuan, amal perbuatan dan situasi atau keadaan) dan ketiganya berasaskan tiga jenis lagi, dalam asas ilmi sirathal mustaqim manusia harus berusaha untuk mengenal hakukullah, hakkul ‘ibad dan mengenal hakkun nafs, yakni mengenal diri sendiri. Dalam amali sirathal mustaqim, manusia harus mengamalkan, yakni setelah mengenalnya lalu berusaha mengamalkannya. Misalnya meyakini Tuhan itu Esa (Satu) tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Dia sumber semua barkat, Sumber semua kemulyaan, Tempat kembali dan Tempat berlindung setiap makhluk, Dia tempat minta keselamatan dari setiap keburukan, dan Mengenal Dia Sumber semua sifat yang paripurna dan Sumber ibadah kepada-Nya.” Yakni meyakini bahwa semua nikmat yang manusia hasilkan, penciptanya adalah Allah swt dan semua benda dan makhluk datang dari pada-Nya. Dan Dia adalah sumber semua kemuliaan. Dan semua makhluk atau semua benda akan kembali kepada-Nya. Dia suci dari pada setiap ke’aiban. Dia adalah sumber semua sifat baik yang kita ketahui atau yang tidak kita ketahui. Dan semua makhluk secara keseluruhan mengabdi kepada-Nya. Itulah yang disebut hak Allah swt. Bersabda : “  Berpegang teguh didalam keadaan menjalankan hak-hak Allah swt itulah ilmi sirathal mustaqim, hendaknya kita tetap berada  dalam batas-batas yang telah disebutkan diatas, jangan keluar dari batas-batas itu. Itulah ilmi sirathal mustaqim dalam mmenjalankan hak-hak Allah swt. Dan amali sirathal mustaqim dalam melasanakan hak-hak Allah swt adalah melaksanakan printah patuh ta’at kepada-Nya dengan ikhlas, dan dalam itha’at itu tidak disertai dengan menyekutukan Dia dengan sesuatu. Berapapun hukum-hukum Allah swt yang telah diberikan kepada kita harus dilaksanakan secara sempurna. Jangan menyekutukan Dia dengan sesuatu dalam upaya menta’ati hukum-hukum-Nya. Yakni dalam mengamalkan keitha’atan kepada hukum-hukum-Nya jangan ada sesuatu yang menandinginya. Dan selalu memohon do’a kepada-Nya untuk kebaikan dan kesejahteraan pribadi, selalu memusatkan perhatian pada-Nya dan fana dalam mencintai-Nya. Itulah yang disebut amali sirathal mustaqim. Sebab itulah hak kewajiban yang patut dilaksanakan.” Selanjutnya beliau a.s. bersabda :“ Dalam melaksanakan hakkul ibad ilmi sirathal mustaqim menaruh perhatian terhadap sesama manusia, menganggap mereka sebagai hamba-hamba Allah swt, dan menganggap makhluq Allh saw itu tidak ada artinya apa-apa disisi-Nya sebab itulah hak-hak makrifat tentang makhluq Allah swt yang wujudnya tidak ada nilai apa-apa dipandangan Tuhan dan semuanya fani (tidak kekal). Ilmi sirathal mustaqim ialah menganggap semua manusia adalah makhluq fani (tidak kekal) Allah swt. Dalam bentuk apapun jangan memberi kedudukan kepada manusia atau makhluk lain lebih unggul dari Allah swt. Semuanya fani dan itulah tauhid ilmi. Sebab hal itu menekankan kepada keagungan Allah swt yang tidak ada tandingan-Nya, Dia Zat Yang Paripurna tidak mengalami sebarang kekurangan atau kelemahan.

            Selanjutnya Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda : “ Amali sirathal mustaqim adalah melakukan kebaikan hakiki, yakni melakukan perkara kebaikan yang betul-betul dan betul-betul asli dan lurus.” Maksud amali sirathal mustaqim itu adalah dalam melakukan setiap pekerjaan baik harus dilihat apakah perbuatan itu berada diatas akhlak yang baik sesuai dengan firman Allah swt : “ terapkanlah sifat-sifat-Ku pada diri

kalian”  yaitu kita berusaha untuk menerapkan sifat-sifat Allah dalam diri kita, jika demikian barulah dapat dikatakan bahwa kita melakukan kebaikan hakiki dan berjalan diatas peraturan yang benar.

            Dalam melakukan hakkun nafs, ilmi sirathal mustaqim adalah kesadaran terhadap gangguan apapun yang timbul didalam jiwa manusia, misalnya egoisme, ria, takabbur, hasad, iri dengki, besar kepala atau sombong, kedekut (kikir), lalai dan khianat dan betul-betul faham terhadap akhlak-akhlak buruk itu, disebut ilmi siratul mustaqim. Hak nafs (jiwa) ilmi sirathal mustaqim adalah menganggap dengan sesungguhnya semua keburukan yang telah disebutkan diatas itu betul-betul buruk dan dosa. Barulah manusia bisa berjalan diatas sirathal mustaqim. Dan itulah tauhid ilmi. Sebab dari hal itu keluar satu Zat yang tidak memiliki sesuatu ‘aib (noda) dan pada Zat-Nya Dia adalah qudus (maha suci).”

            Bersabda : “ Dalam hakkun nafs, amali sirathal mustaqim adalah mencegah nafs dari setiap keburukan, dan membersihkan diri dari semua akhlak razilah (akhlak buruk) bahkan bukan hanya membersihkan diri dari keburukan-keburukan, melainkan mengisi diri sendiri dengan segala jenis kebaikan. Itulah amali sirathal mustaqim dan itulah juga tauhid haali. Sebab maksud dari muwahid (orang yang berpegang pada tauhid) adalah mengosongkan hati dari pikiran ghairullah agar memperoleh kesucian yang bermutu tinggi. Dan dalam hakkul ibad yang merupakan amali sirathal mustaqim, terdapat perbedaan yang sangat halus sekali, yakni hakkun nafs, amali sirathal mustaqim hanyalah suatu kemahiran yang dapat diperoleh dengan latihan phisik. Namun nafs hakkul ibad yang amali sirathal mustaqim adalah kejahatan atau keburukan-keburukan, apakah ia tampil secara amaliah atau tidak, menusia menganggap bahwa ia telah bersih dari keburukan atau kejahatan itu. Akan tetapi hakkul ibad kadangkala tidak ada kesempatan untuk menunjukkan akhlaq yang baik, namun apabila waktunya tiba untuk menunjukkan akhlaq yang

sebenarnya maka baru ketahuan apakah akhlaqnya itu memang betul baik atau tidak.

            Manusia bisa menampilkan Akhlaq yang sangat tinggi apabila terbukti bahwa amal baiknya dapat memberi faedah didalam pergaulam masyarakat. Beliau bersabda, pendeknya hakkul ibad amali sirathal mustaqim dapat dilaksanakan tergantung kepada kesucian atau kebersihan nafs atau jiwa. Ia berusaha untuk membersihkan dirinya dan kenyataannya dapat disaksikan apabila hakukul ibad telah dilaksanakan dengan baik. Tazkiyah nafs (pensucian jiwa) sudah diraih atau belum baru dapat diketahui apabila hakukul ibad-pun telah dilaksankan dengan sepenuhnya. Tidak seharusnya melalui pelaksanakan sesuatu pengkhidmatan. Tazkiyah nafs itu bisa dilaksanakan sekalipun tinggal menyendiri didalam hutan. Manusia bisa melakukannya dengan menunaikan bermacam ibadah kepada Allah swt. Akan tetapi hakkul ibad tidak dapat dilaksanakan sendiri tanpa bergaul dengan manusia lain. Itulah sebabnya Tuhan berfirman bahwa rahbaniyyat tidak ada didalam ajaran Islam. Rahbaniyyat dilarang didalam Islam sebabnya adalah hakukullah dan hakkukul ibad kedua-duanya harus dilaksanakan. Setelah membersihkan nafs atau jiwa, manusia bisa menyempurnakan hakukullah sekalipun sambil duduk tinggal didalam hutan. Akan tetapi dengan duduk tinggal didalam hutan (seperti yang dilakukan oleh para Rahib) ia tidak bisa menyempurnakan hakukul ibad. Untuk melaksanakan hakukul ibad diperlukan pergaulan dengan manusia. Oleh sebab itu amali sirathal mustaqim tidak tepat untuk itu, ilmi amali tidak akan nampak jelas pelaksanaannya.

            Jadi, apabila manusia memperoleh hidayat untuk berjalan diatas sirathal mustaqim, maka ia akan memperoleh pengertian tentang Nurus samawati wal ardhi. Dialah Tuhan Yang tunggal Yang menjadi sumber Cahaya terang bagi Langit dan Bumi. Dan untuk meraih Nur itu Tuhan mengutus para Nabi kedunia. Dan Nur yang paling besar dan cemerlang telah diberikan kepada Hazrat Rasulullah saw dan kepada beliau juga telah dianugerahkan Alqur’an sebagai Kitabun Mubin,

yaitu Kitab yang penuh dengan Nur Cemerlang yang dengannya diketahui Zat Allah swt Yang Maha Tunggal. Para Anbiya memancarkan Nur kepada dunia dan Rasulullah saw adalah seorang Nabi yang paling luas memancarkan Nur Ilahi  kepada dunia. Dan orang-orang mukmin yang memahami Alqur’anul Karim akan memperoleh banyak barakat daripada Nur itu. Dan itulah Nur yang akan memancarkan cahayanya yang terang-benderang kepada dunia. Sehingga semua dunia akan menjadi hamba-hamba Allah yang sejati.

            Semoga Allah swt memberi taufiq kepada kita semua agar kita menjadi orang-orang yang betul-betul memperoleh Nur Ilahi itu. Semoga Tuhan menjadikan kita orang-orang yang memproleh banyak barakat dari pada Nur itu. Dan semoga kita menjadi para penyebar Nur itu seluas-luasnya. Amin !!

Alih Bahasa dari Audio Urdu Oleh Hasan Basri

 

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.