Tafsir Ihdinash-shirotalmustaqiim

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Khotbah Jum’at

Sayyidina Amirul Mu’minin

Hadhrat Mirza Masroor  Ahmad

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahulloohu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Tanggal 17 Ihsan 1390 HS/Juni 2011

Di Grossgerau, Jerman.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

            Adalah sungguh suatu karunia Allah yang besar kepada kita kaum Ahmadi yang telah memberi kesempatan kepada kita untuk menerima kebenaran Imam Zaman. Maka, bila seorang Ahmadi merenungkan hal ini, ia pun akan menyadari, bahwa ia tak akan mampu membalas karunia besar ini, meskipun untuk itu ia harus menghabiskan waktu selama hidup untuk bersyukur kepada Allah Taala. Dilaporkan, bahwa pada saat ini ada sekitar 2 (dua) miliar orang Muslim di seluruh dunia. Kabar suka dan petunjuk Ilahi ada di hadapan mereka semua, bahwa Al Masih Al Mahdi akan datang pada Abad Ke-14 Hijriah. [Yakni, setelah masa kegelapan yang panjang, maka era kebangkitan itu pun mulai kembali sehubungan dengan datangnya Al Masih Al Mahdi]. Inilah mengapa sebabnya Hadhrat Rasulullah Saw telah mensabdakan, bahwa akan ada berbagai Tanda Ilahi yang mendukung pendakwaan beliau; yang salah satunya adalah zahirnya nubuatan gerhana matahari dan gerhana bulan yang akan terjadi di bulan Ramadhan yang sama; yang belum pernah terjadi sejak alam semesta ini diciptakan. Maka bagi utusan Allah dan Mahdi-ku ini, hendaknya engkau menerimanya]. Al Qur’an Karim pun sudah mengatakan,

وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ

 ‘wa akharina minhum lamma yalhaqu bihim

‘…..Dan Dia akan membangkitkannya lagi pada kaum lain di antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka……’. (Q.S. 62 / Al Jumah : 4)]; yang hendaknya disimak lebih dalam. Terkait dengan ayat tersebut,  Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw mengamanatkan: ‘Carilah aku di kalangan bangsa ‘Ajam (bukan-Arab). [2]

Bahkan beliau Saw juga memerintahkan,

“أقرِئوا عليه مني السلام” “بايعوه لو حبوًا على جبال الثلج” agar berusaha menemui Al Masih Al Mahdi ini untuk menyampaikan Salam beliau, meskipun harus merangkak di atas salju. Ditambah lagi, Allah Taala telah mengajarkan kaum Muslimin doa agar senantiasa berada di jalan yang lurus, lengkap dengan petunjuk hidayah-Nya. Namun, hanya sekitar 5 sampai 7 % saja [dari jumlah dua miliar orang] tersebut yang berhasil memperoleh kesempatan untuk mengenali Imam Zaman mereka yang haqiqi, meskipun kaum Muslimin tersebut mengucapkan doa permohonan ihdinash-shiratal-mustaqim [yakni, Tunjukilah kami pada jalan yang lurus. (Q.S. 1 / Al Fatihah : 6)] dalam setiap berbagai Salat mereka yang sekian banyak. [Namun kenyataannya, meskipun semua ini adalah nubuatan dan perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka itu menolak kedatangan Al Masih Al Mahdi dan Imam Zaman tersebut. Bahkan bukan sekedar menolak, melainkan juga menganiayanya. Tetapi sebaliknya bagi mereka yang memiliki fitrat yang baik, meskipun bahkan mereka itu tak beragama atau atheis, Allah Taala berkenan memberi mereka petunjuk kepada shiratal mustaqim. Setiap tahun, ribuan di antara mereka itu datang bergabung ke dalam Jamaat ini. Namun sebaliknya, karena hanya taklid kepada kaum mullah mereka, di berbagai tempat, mereka yang menamakan dirinya Muslim tersebut justru menentangnya sedemikian rupa. Maka hanya Allah Taala sajalah yang mampu memberi mereka rahmat dan karunia-Nya. Sebab, apa yang menamakan diri mereka kaum ulama tersebut sepertinya sudah tak dapat berubah lagi; tak mampu untuk memperbaiki diri mereka lagi. Semoga Allah Taala berkenan untuk merubah kaum yang mengatakan dirinya sebagai pengikut Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw tersebut. Sehingga mereka pun dapat mengenali Imam Zaman mereka. Semoga mereka yang menolak itu, yang pada beberapa tempat menganiaya dengan cara yang sangat melampaui batas, dapat menyadari hal ini]. Semoga doa ihdinash-shiratal-mustaqim tersebut dapat menjadi suara hati nurani kaum Muslimin. Semoga umat Islam dapat menjadi pewaris rahmat dan karunia Allah, sehingga dunia dapat memandang mereka dengan pandangan hormat dan takzim.

Menjelaskan tafsir ayat ihdinash-shiratal-mustaqim ini, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Sebagaimana Al Qur’an Karim telah memerintahkan untuk mencapai peradaban yang baik, taatilah seorang pemimpin bangsamu. Begitupun seharusnya kepada seorang pemimpin [yang akan membawa kepada kesejahteraan] rohani. Hal ini memberi petunjuk arah yang sama manakala Allah Taala mengajarkan doa ihdinash-shiratal-mustaqim, dan juga siratalladhina an’amta ‘alaihim [yakni, Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka …(Q.S. 1 / Al Fatihah : 7)]. Oleh karena itu hendaknya senantiasa diingat, bahwa tak ada seorang mukmin pun, atau orang biasa, atau bahkan hewan, yang tidak mendapat karunia Allah. Namun, tak dapat dikatakan, bahwa Allah Taala memerintahkan agar mengikuti salah satu di antara mereka itu. Melainkan, tafsir ayat ini adalah memberi kesempatan kepada kita untuk mengikuti jalan mereka yang telah dihujani ni’mat rahmat dan karunia Ilahi. Ringkasnya, hikmah rahasia dari ayat [doa ihdinash-shiratal-mustaqim] ini adalah agar anda sekalian seantiasa ada bersama Imam Zaman.” [3]

[Siapakah yang dimaksud dengan Imam Zaman itu ?  Rasulullah Saw mengatakan, beliau itu adalah nabiyullah, atau orang yang diutus Allah untuk seluruh dunia. Dalam hal ini, sebagaimana yang telah saya sampaikan, Imam Zaman itu adalah seorang pecinta dan pengabdi Hadhrat Rasulullah Saw yang sejati, yakni Hadhrat Masih Mau’ud a.s. atau Imam Mahdi a.s. Nikmat Ilahi yang telah berhasil beliau peroleh tersebut adalah semata-mata berkat kemuliaan Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw., yang akan berlangsung terus hingga hari Qiamat.

Dan bagi kita, karunia nikmat Allah Taala ini hanya dapat diperoleh dengan cara senantiasa melekatkan diri kepada beliau a.s.]. Adapun para Sahabah Rasulullah Saw, yang telah berhasil memperoleh nikmat Ilahi tersebut dengan sebaik-baiknya sejak kemunculannya pada 1.400 tahun yang lalu. Namun mereka itu tetap gelisah bagaimana caranya agar keimanan mereka itu senantiasa meningkat dan tetap segar. Kalimat doa mustajab ihdinash-shiratal-mustaqim senantiasa berada di lidah mereka. Setiap kata dan doa yang mereka panjatkan adalah muncul dari lubuk hati mereka yang dalam ketika mereka mendirikan berbagai Salat mereka. Dan mereka pun berhasil membina hubungan baik sedemikian rupa dengan Hadhrat Rasulullah Saw, yang tak ada bandingannya, sehingga Allah Taala pun berkenan memberi mereka kemuliaan derajat rohani ‘radiyallahu ‘anhum….’ [yakni, Allah ridha kepada mereka’…(Q.S. 5 / Al Maidah : 120)]. Walhasil, untuk mendapatkan nikmat Ilahi ini; untuk tetap istiqamah berada di dalam petunjuk hidayah; agar tetap melangkah di jalan shiratal-mustaqim, yakni selamanya itaat kepada petunjuk Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw, kita pun menerima kebenaran pendakwaan Imam Zaman, Al Masih Al Mahdi, yang harus kita bina sedemikian rupa, agar kita dapat menjadi pewaris nikmat Ilahi tersebut selamanya.

Hal ini sesuai dengan janji Baiat kita sejak awal, yakni selamanya akan senantiasa memelihara hubungan dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di atas segala perhubungan lainnya.’ Hal ini sebagaimana tercantum di dalam butir Ke-10 Syarat Baiat. [4]

Jadi, hanya ucapan Baiat saja tidak cukup doa ihdinash-shiratal-mustaqim kita menjadi makbul.. Tidak juga Allah Taala serta merta menerima doa ihdinash-shiratal-mustaqim – bagi kita – yang dipanjatkan oleh para pendahulu kita, yang kita terlahir di dalam rumah-rumah mereka. Juga tidak cukup hanya dengan Allah Taala telah memberikan kesempatan untuk menerima Imam Zaman. Melainkan, sesuai dengan perintah Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw, kita harus melangkah lebih maju lagi. [Senantiasa berada di jalan shiratal mustaqim, dan ‘…itaati bil ma’ruf, yakni, senantiasa istiqamah di dalam keitaatan, serta sesuai dengan perintah di dalam Al Quran: ‘…falaa tamutuna illa wa antum muslimun, yakni, dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim, atau berserah diri]. Jika tidak karena karunia Allah, tak ada seorang pun yang dapat menunjukkan keitaatan dan perhubungan yang sempurna disebabkan semata-mata usaha mereka sendiri.           Oleh karena itu, kita harus senantiasa bersimpuh di hadapan Allah Taala agar selalu dapat menerima nikmat Ilahi tersebut. Jadi, kita harus dapat memahami realita hikmah doa ihdinash-shiratal-mustaqim ini, sehingga kita pun dapat memahami perlunya menjaga realitas ikatan hubungan dengan Imam Zaman selama hidup. Renungkanlah hal ini dalam-dalam: Mengapa kita perlu sering-sering memanjatkan doa ini; ialah, setelah bergabung dengan Imam Zaman, tidaklah cukup. Juga tak cukup dengan hanya dengan menyatakan janji Baiat sumpah setia. Melainkan, kita harus dapat mengembangkan diri di dalam nizam yang telah didirikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang penjelasannya telah beliau uraikan di dalam buklet Al-Wasiyyat, yakni Nizam Khilafat. Maka, sungguh beruntunglah mereka yang setelah menerima kebenaran pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., kemudian membina hubungan yang erat dan kuat dengan Qudrat Tsaniah ini. Namun, bagi orang Ahmadi, hal tersebut bukanlah titik akhir dari doa ihdinash-shiratal-mustaqim-nya itu. Melainkan, senantiasa-lah mawas diri. Yakni, doa ihdinash-shiratal-mustaqim ini adalah bersifat berkelanjutan dari koridor tekad untuk mencapai kemajuan yang abadi, dan juga dalam usaha mencari jalan petunjuk selamanya; yang merupakan doa  seorang mukmin agar hal tersebut dapat berlangsung selamanya. [Insan yang normal tidak akan terhenti pada satu tahapan, karena pada kenyataannya ia it uterus menerus berperang melawan syaithan. Atau, meskipun ia banyak melakukan amal shalih, namun syaithan pun menggodanya setiap saat.

Meskipun sudah menyatakan iman kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Meskipun sudah berhubungan erat dengan Khilafat, sudah banyak berkorban harta benda,atau mengkhidmati Jamaat, atau ber-Wiqari Amal, namun tetap saja ada orang yang mengatakan bahwa diri mereka masuh suka malas mendirikan Salat. Mereka menyampaikan hal ini kepada saya. Maka orang yang demikian itu, lama kelamaan akan menjadi malas atau berkurang pula amalan shalihannya]. Hendaknya diingat, ada pula mereka yang tampak banyak beramal dan mengerjakan Salat, namun tidak baik dalam memperlakukan keluarganya sendiri. Maka mereka itu pun mahrum dari shiratal mustaqim.

Yakni, boleh jadi mereka itu mengucapkan doa ihdinash-shiratal-mustaqim, tetapi mereka tidak melaksanakan semua perintah Rasulullah Saw; yang antara lain telah bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ ‘…Khairukum khairukum li ahlihi.

 “وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي”Wa anna khairukum li ahli, yakni, ‘…yang terbaik di antaramu adalah yang baik memperlakukan istrinya. Dan aku adalah yang terbaik dalam memperlakukan keluargaku.’

            [Terkait dengan perintah Rasulullah Saw agar umat memperlakukan keluarganya dengan sebaik-baiknya, dikisahkan, ada seorang sahabah yang datang ke dalam suatu majlis irfan bersama Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Ia mengeluhkan: ‘Hudhur, istriku telah pergi ke rumah keluarganya sekian lama. Maka aku katakan padanya: Kamu tak boleh lagi datang ke rumah orang tuamu.

            Demi mendengar keluhannya tersebut, wajah beliau a.s. pun menjadi merah padam, kemudian memintaku agar meninggalkan ruangan. ‘Karena tuan telah mengganggu dan mencemari majlis ini.’

            Maka aku pun segera memohon maaf kepada beliau.

            Seorang sahabah lain yang menyaksikan adegan tersebut segera saja permisi untuk meninggalkan ruangan. Ia berlari ke toko  untuk membeli sesuatu. Lalu diberikannya kepada istrinya dengan disertai ucapan sayang; yang membuatnya terheran-heran: Apa yang terjadi dengan suamiku ini ?  Ia menjawab: Aku tengah berada di majlis irfan bersama Hadhrat Imam Mahdi, lalu aku menyaksikan betapa beliau sangat kecewa atas perlakuan buruk seorang sahabah tersebut terhadap istrinya. Maka aku pun teringat akan segala kealpaan-ku terhadap mu selama ini. Mudah-mudahan kamu memaafkannya. Dan aku berjanji mulai hari ini aku akan memperlakukan kamu dengan baik.’

            Inilah suatu inqillabi haqiqi yang terjadi dalam kaitannya dengan berumah tangga, sehingga orang pun mendapat petunjuk hidayah ke jalan shiratal mustaqim, yang akhirnya akan meluas di masyarakat, lalu ke seluruh dunia.

            Jadi, orang yang Baiat kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s. adalah baru langkah awal, yang setelah itu memperoleh kesempatan untuk mendapatkan qurb, kedekatan Ilahi.

            Petunjuk hidayah itu tidak sesederhana menerima seorang utusan Allah; tak juga cukup dengan bergabung ke dalam Jamaah beliau. Melainkan, mempraktekkan kehidupan yang sesuai dengan ajaran tersebut, dan membinanya sebagai fondasi untuk memperoleh berbagai petunjuk hidayah selanjutnya.

          Jadi, doa ihdinash-shiratal-mustaqim ini tidak hanya untuk memenuhi kewajiban haququllah; tidak juga untuk meneguhkan keyaqinan diri. Melainkan, doa ini pun untuk memenuhi kewajiban haququl-ibad.

            Pendek kata, doa mustajab ini berfaedah untuk setiap segi kehidupan.

            [Saya tahu dan mengenali ada sebagian dari antara anda ini yang buruk perlakuannya terhadap istri-istri mereka.

            Di luar rumah mereka tampak baik dan terhormat, seolah sudah berada di jalan shiratal mustaqim.

             Tetapi di dalam rumah, mereka memahrumkan dirinya dari jalan nikmah tersebut].

            Perkara ini tidaklah sepele. Sebab Rasulullah Saw telah mensabdakan: ‘…Khairukum khairukum li ahlihi. Wa anna khairukum li ahli….’

            [Jadi, doa mustajab ini berfaedah untuk setiap urusan. Sehingga jalan ketaqwaan pun senantiasa terbina.           Sehingga terciptalah kondisi ‘…falaa tamutuna illa wa antum muslimun, yakni, dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim, atau berserah diri’, tersebut].

            [Maka, mukmin haqiqi adalah mereka yang senantiasa berusaha untuk meningkatkan maqomam mahmudah mereka. Meningkatkan amalan shalihan mereka. Dan meningkatkan tahapan keimanan mereka, yang untuk itu perlu senantiasa memanjatkan doa ihdinash shiratal mustaqim ini].

            Mereka pun takut akan murka Ilahi. Maka mereka pun berusaha memenuhi kewajiban haququllah maupun haququl-ibad. Sehingga mereka pun senantiasa meningkat keimanannya di bawah petunjuk hidayah Allah Taala dan rasul-Nya.

            [Mereka senantiasa mencari ridha Ilahi. Jadi, mereka itu bukanlah golongan orang yang menganggap dirinya sudah taqwa, shalih, dan berada.

            [Mereka yang sudah merasa seperti itu, betapapun tampak shalih dan taqwanya, mereka itu sesungguhnya sudah berada di dalam pengaruh syaithan].

            Oleh karena itu, senantiasalah menghisab diri sendiri.

            Meningkatkan maqoman mahmudah adalah dambaan setiap mukminin sejati.

            [Sebab, orang yang merasa telah berhasil dalam suatu tahapan, kemudian ia merasa bangga dengan itu, yakni ia telah banyak berkhidmat kepada Jamaat. Atau doa dan salatnya cukup. Namun amalannya itu jauh dari haququl-ibad. Ia akan kehilangan status maqom mahmudahnya itu].

            Oleh karena itu, mukminin haqiqi tidak hanya akan terpana kepada amal shalihnya sekarang, melainkan hingga akhir hayatnya nanti. Yakni, mendambakan akhir kehidupan yang khusnul khatimah.

            Tak ada orang lain lagi di dunia ini yang telah mendapat derajat rohani yang sedemikian mulia selain dari Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw.         Beliau berhasil mencatat semua wahyu Allah Swt dengan seksama sedemikian rupa, yang untuk ukuran zaman sekarang ini adalah seorang Sekretaris Pribadi. Begitulah kemuliaan derajat dan kedekatan Rasulullah Saw dengan Allah Taala, yang setiap saat memanggil beliau untuk menuliskan semua perkataan wahyu-Nya.

            Hal ini menunjukkan, bahwa ada jiwa amanah yang besar pada diri beliau Saw.

            Di dalam pandangan pihak lain pun demikian. Yakni, Abdullah bin Ubayy [bin Salul] berusaha membantu menuliskan wahyu Allah Taala yang diturunkan kepada Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw, demi untuk mengejar status tersebut.

            Namun bagaimana akhirnya ? Ia justru terpelanting dan kehilangan semua kebesarannya.

            Demikian pula terjadi pada zaman Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Ada sekelompok orang yang memperlihatkan demikian besar cinta dan kedekatan mereka [terhadap beliau a.s.].

            Akan tetapi, manakala ujian menimpa mereka, mereka pun berubah menjadi para penentang beliau a.s. yang sengit dan menganiaya sedemikian rupa, serta mengajukan berbagai keberatan setiap harinya.

            Oleh karena itulah doa ihdinash-shiratal-mustaqim ini sangat penting untuk akhir kehidupan yang khusnul khatimah.

            Renungkanlah hal ini dalam-dalam, lalu laksanakanlah dengan sebaik-baiknya.

            Dalam menasehati kita, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda di suatu tempat: “Bila ada sesuatu deficit dalam urusan dengan Allah Taala, maka demikian pula dalam urusan yang lainnya.”

            Yakni, jika ada sesuatu deficit dalam urusan lainnya itu, maka – meskipun Allah Taala tidak terlibat dalam urusan tipu muslihatnya itu, namun hendaknya difahami, bahwa anda tidak akan mendapat ganjaran pahala disebabkan urusan itu. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.

            Maka adalah penting untuk menghisab diri sendiri.

            Yakni, ada miliaran orang Muslim di dunia ini, yang mereka pun memanjatkan doa ihdinash-shiratal-mustaqim. Namun, disebabkan pengucapan mereka itu hanya di mulut belaka tak ubahnya seperti burung beo, maka setelah Salatnya itu, perhatian mereka pun tertuju kepada kejahiliyahan dan fahsya, menimbulkan gangguan masyarakat.

            Yang keluar dari mulut mereka hanyalah kesia-siaan belaka. Itulah yang mereka lakukan ketika berada di dalam masjid-masjid mereka.

            Atau, boleh jadi juga mereka bekerja-sama dalam kejahiliyahan mereka.

            Begitukah jalan shiratal mustaqim sebagaimana yang diajarkan di dalam doa itu ? Tentu saja tidak !

            Di hadapan kita tersedia jalan shiratal mustaqim yang dapat mengubah wujud nafsi-hewani menjadi manusia yang sejati. Kemudian akan mengubahnya lagi menjadi insan yang ber-nafsi lawamah, atau beradab. Lalu meningkat lagi menjadi nafsi-muthmainah, atau hanya didasari kepada cintanya kepada Allah semata.

            [Hal ini bukanlah hanya sekedar ceritera utopia belaka, melainkan sungguh kiat yang nyata].

            Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Adalah adanya suatu inqillabi haqiqi yang ingin aku lihat di dalam Jamaah-ku ini.“

            Merenungkan hal ini, tentu akan memfokuskan perhatian kita kepada Janji Baiat yang telah kita ikrarkan dan tanggung jawab pelaksanaannya.

            Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Sebelum seseorang memiliki amal shalih yang demikian banyak [yakni, tidak hanya satu dua], maka belum patutlah orang itu disebut seorang mukmin haqiqi. Oleh karena itulah Allah Taala pun mengajarkan doa ihdinash-shiratal-mustaqim ini di dalam Surah Al Fatihah. Yakni, agar jangan sampai manusia tidak memahami, bahwa kebaikan itu bukan sekedar menjauhi perbuatan dosa yang nyata seperti mencuri, berzinah, dlsb; melainkan dinyatakan dengan ucapan doa berikutnya, ialah, siratalladhina an’amta alaihihm,

[yakni, untuk senantiasa berada di Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka…’ (Q.S 1 / Al Fatihah : 7)]. Namun, ganjaran pahala untuk itu adalah sesuatu yang terpisah. Yakni, sebelum ia berhasil memperolehnya, tak dapat dikatakan bahwa ia adalah insan yang afdhal dan shalih. Ingatlah, Allah Taala tidak mengajarkan doa ini agar tidak memasukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang berdosa dan jahil. Melainkan, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.“

            Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda di suatu tempat: “Hendaklah difahami bahwa akar dari segala kebaikan adalah beriman kepada Allah. Jika iman seseorang kepada Allah lemah, maka akan banyak pula kelemahan dan kemalasan di dalam diri orang tersebut untuk berbuat amal-shalih. Tetapi apabila iman kepada Allah dengan segala Sifat-Nya itu sudah sedemikian rupa teguhnya, maka berbagai kelemahan dirinya pun akan berubah seiring dengan berbagai amal shalih yang dikerjakannya. Pendek kata, orang yang beriman teguh kepada Allah, tak akan melakukan perbuatan dosa.” [5]

            Sebagaimana hanya menerima [suatu pendakwaan yang benar] saja tidaklah cukup; maka semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang senantiasa meningkat dalam mencapai qurb, kedekatan Ilahi. Yakni, untuk senantiasa dapat memperoleh keberkatan keberadaan Jamaah Ahmadiyah bagi generasi mendatang kita. Semoga pula kita tidak pernah menjadi lemah dalam usaha dan doa-doa. Semoga pula, keserba-nyamanan duniawi negeri ini tidak memahrumkan diri kita untuk mencapai tujuan hidup kita yang haqiqi.. Amin !

By.MMA/LA/06.21.2011

 

Waktu diturunkannya

Seperti diriwayatkan oleh banyak ahli ilmu hadis, seluruh Surah ini diwahyukan di Mekkah dan sejak awal menjadi bagian shalat orang-orang Islam. Surah ini disebut dalam ayat Alquran, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau tujuh ayat selalu diulang-ulang, dan Alquran yang agung” (15:88). Ayat itu menurut pengakuan para ahli, telah diwahyukan di Mekkah, Menurut beberapa riwayat, Surah ini diwahyukan pula untuk kedua kalinya di Medinah. Tetapi waktunya Surah ini untuk pertama kali turun, dapat ditempatkan pada masa permulaan sekali kenabian Rasulullah saw.

Nama-nama Surah dan Artinya

Nama terkenal untuk Surah pendek ini ialah Fathihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab), diriwayatkan bersumber pada beberapa ahli ilmu hadis yang dapat dipercaya (Tirmidzi dan Muslim). Kemudian, nama itu disingkat menjadi Surah Al-Fatihah atau Al-Fatihah saja. Surah ini dikenal dengan beberapa nama dan sepuluh nama berikut ini lebih sah, ialah:Al-Fatihah, ash-Shalat, Al-Hamd, Ummul-Quran, Alquran-ul-‘Azhim, As-Sab’al-Matsani, Umm-ul Kitab, asy-Syifa, Ar-Ruqyah, dan Al-Kanz. Nama-nama ini menerangkan betapa luasnya isi Surah ini.

Nama Fatihah-ul-Kitab (Surah pembukaan Al-Kitab) berarti bahwa, karena Surah itu telah diletakkan pada permulaan, ia merupakan kunci pembuka seluruh pokok masalah Alquran. Ash-Shalat (Shalat) berarti bahwa Al-Fatihah merupakan dia yang lengkap lagi sempurna dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari shalat Islam yang suda melembaga. Al-Hamd (puji-pujian) berarti bahwa Surah ini menjelaskan tujuan agungkejadian manusia dan mengajarkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah, hubungan berdasarkan kemurahan dan kasih sayang. Umm-ul-Qur’an (Ibu Alquran) berarti surah ini merupakan intisari seluruh Alquran, yang dengan ringkas mengemukakan semua pengetahuan yang menyangkut perkembangan akhlak dan kerohanian manusia. Alquran-ul-Kitab dan Umm-ul-Quran, namun tetap merupakan bagian Kitab Suci itu dan bukan seperti anggapan salah sementara orang, bahwa ia terpisah darinya. As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Seringkali Diulang) berarti, Ketujuh Ayat pendek Surah ini, sungguh-sungguh memenuhi segala keperluan rohani manusia. Nama itu berarti pula bahwa, Surah ini harus diulang dalam tiap-tiap rakaat shalat. Umm-ul-Kitab (Ibu Kitab) berarti bahwa doa dalam surah ini, menjadi sebab diwahyukannya ajaran Alquran. Asy-Syifa (Penyembuh) berarti Surah ini, memberi pengobatan terhadap segala keraguan dan syak yang biasa timbul dalam hati manusia. Ar-Ruqyah (Jimat atau Mantera) berarti bahwa, Surah ini bukan hanya doa untuk menghindarkan penyakit, tetapi juga memberi perlindungan terhadap syaitan dan pengikut-pengikutnya, dan menguatkan hati manusia untuk melawan mereka. Al-Kanz (Khazanah) mengandung arti bahwa Surah ini suatu khazanah ilmu yang tiada habis-habisnya.

 

Al-Fatihah Dinubatkan dalam Perjanjian Baru

Tetapi, nama yang terkenal Surah ini adalah Al-Fatihah. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa, nama itu juga tercantum dalam nubuatan Perjanjian Baru:

“Maka aku tampak seorang malaikat selain gagah, turun dari langit ………dan di tangannya ada sebuah Kitab Kecil yang terbuka; maka kaki kanannya berpijak di laut, dan kaki kiri di darat”

(Wahyu 10:1 -2).

Kata dalam bahasa Ibrani untuk “terbuka” ialah Fatoah yang sama dengan kata Arab Fatihah. Pula :

“…… dan tatkala ia (malaikat) berteriak, ketujuh guruh pun membunyikan bunyi masih-masih”

(Wahyu 10:3).

“Tujuh guruh” mengisyaratkan kepada tujuh ayat Surah ini.

Para sarjana Kristen mengatakan bahwa nubuatan itu mengisyaratkan kepada kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya. Hal itu telah dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan yang sebenarnya. Pendiri jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.., yang dalam wujudnya nubuatan tentang kedatangan nabi Isa a.s. kedua kalinya telah menjadi sempurna, menulis tafsir mengenai Surah ini dan menunjukan bukti-bukti dan dalil-dalil tentang kebenaran da’wanya dari isi Surah ini dan beliau senantiasa memakainya sebagai doa yang baku. Beliau menyimpulkan dari tujuh ayat yang pendek-pendek ini, ilmu-ilmu makrifat Ilahi dan kebenaran-kebenaran kekal abadi yang tidak di ketahui sebelumnya. Seolah0olah Surah ini sebuah kitab yang dimeterai hingga khazanah itu akhirnya dibukakan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s..  Dengan demikian nubuatan yang terkandung dalam Wahyu  10:4.

“Tatkala ketujuh guruh sudah berbunyi itu, sedang aku hendak menyuratkan, lalu aku dengar suatu

suara dari langit, katanya :

“Materaikanlah barang apa yang ketujuh guruh itu sudah mengatakan dan jangan di tuliskan.”

Nubuatan itu menunjuk kepada kenyataan bahwa Fatoah atau Al-Fatihah itu untuk sementara waktu, akan tetap merupakan sebuah Kitab tertutup, tetapi suatu waktu akan tiba, ketika khazanah ilmu rohani yang di kandungnya akan di bukakan. Hal itu telah dilaksanakan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.

 

Hubungan dengan Bagian Lain Alquran.

Surah ini seakan-akan merupakan penghantar kepada Alquran. Sesungguhnya Surah ini adalah Alquran dalam bentuk miniatur. Dengan demikian pembaca semenjak ia mulai mempelajarinya, telah diperkenalkan dalam garis besarnya kepada masalah-masalah yang akan di jumpainya dalam Kitab Suci itu. Diriwayatkan, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa, Surah Al-Fatihah itu Surah Al-quran yang terpenting (Bukhari).

 

Ikhtisar Surah

Surah ini merupakan intisari seluruh ajaran Alquran. Secara garis besarnya, surah ini meliputi semua masalah yang di uraikan dengan panjang lebar dalam seluruh Alquran. Surah ini mulai dengan uraian tentang Sifat- sifat Allah swt. yang pokok dan menjadi poros beredarnya Sifat-sifat Tuhan lainnya, dan merupakan dasar bekerjanya alam semesta, serta dasr perhubungan antara Tuhan dengan manusia. Keempat sifat Tuhan yang pokok — Rabb (Pencipta, yang memelihara dan Mengembangkan), Rahman ( Maha Pemurah ), Rahim   (Maha Penyayang ) dan Maliki Yaum-IdDin (Pemilik Hari Pembalasan) mengandung arti bahwa, sesudah menjadikan manusia Tuhan menganugerahinya kemampuan- kemampuan tabi’ (alami) yang terbaik, dan melengkapinya dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan jasmani, kemasyarakatan, akhlak, dan rohani. Selanjutnya Dia memberikan jaminan bahwa usaha dan upaya manusia itu akan diganjar sepenuhnya. Kemudian Surah itu mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, yakni menyembah Tuhan dan mencapai qurb (kedekatan)-Nya dan bahwa, ia senantiasa memerlukan pertolongan-Nya untuk melaksanakan tujuannya yang agung itu. Disebutkannya keempat Sifat Tuhan itu diikuti oleh doa lengkap yang didalamnya terungkap sepenuhnya segala dorongan ruh manusia. Doa itu mengajarkan bahwa, manusia senantiasa harus mencari dan memohon pertolongan Tuhan, agar Dia melengkapinya dengan sarana-sarana yang diperlukan olehnya, untuk mencapai kebahagian dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tetapi karena manusia cenderung memperoleh kekuatan dan semangat dari teladan baik wujud-wujud mulia dan agung dari zaman lampau yang telah mencapai tujuan hidup mereka, maka ia diajari untuk mendoa, agar Tuhan membuka pula baginya jalan- jalan kemajuan akhlak dan rohani yang tak terbatas, seperti telah dibukakan bagi mereka itu. Akhirnya, doa itu mengandung peringatan bahwa, jangan-jangan sesudah ia dibimbing kepada jalan lurus ia sesat dari jalan itu, lalu kehilangan tujuannya dan menjadi asing terhadap khalik-Nya. Ia diajari untuk selalu mawas diri dan senantiasa mencari perlindungan Tuhan, terhadap kemungkinan jadi asing terhadap Tuhan, itulah masalah yang dituangkan dalam beberapa ayat Al-Fatihah dan itulah masalah yang dibahas dengan sepenuhnya dan seluas-luasnya oleh Alquran, sambil menyebut contoh-contoh yang tiada tepermanai banyaknya, sebagai petunjuk bagi siapa yang membacanya.

Orang-orang mukmim dianjurkan agar sebelum membaca Alquran, memohon perlindungan Tuhan terhadap syaitan :

“Maka apabila engkau hendak membaca Alquran, maka mohonlah perlindungan Allah swt. dari syaitan yang  terkutuk” ( 16 :99 ).

Perlindingan dan penjagaan itu berarti:

(1)         bahwa jangan ada kejahatan menumpa kita

(2)        bahwa jangan ada kebaikan terlepas dari kita

(3)        bahwa setelah kita mencapai kebaikan, kita tidak terjerumus kembali ke dalam kejahatan.

Doa yang diperintahkan untuk itu ialah :

Aku berlindung kepada Allah swt. dari syaitan terkutuk

Yang harus mendahului tiap-tiap pembacaan Alquran.

Bab-bab Alquran berjumlah 114 dan masing-masing disebut surah. Kata surah itu berarti :

(1)        Pangkat atau kedudukan tinggi.

(2)        Ciri atau tanda.

(3)        Bangunan yang tinggi dan indah.

(4)        Sesuatu yang lengkap dan sempurna (Aqrab dan Qurthubi ).

Bab-bab Alquran disebut surah karena :

  1.        dengan membacanya, martabat orang terangkat, dengan perantaraannya ia mencapai kemuliaan.
  2.        nama-nama surah berlaku sebagai tanda pembukaan dan penutupan berbagai masalah yang sibahas dalam Alquran
  3.        Surah-surah itu masing-masing laksana bangunan rohani yang mulia.
  4.        tiap-tiap surah berisikan tema yang sempurna.

Nama Surah untuk pembagian demikian telah dipergunakan dalam Alquran sendiri (2:24 dan 24 :2 ). Nama ini dipakai juga dalam hadis. Rasullah saw. bersabda,

“Baru saja sebuah Surah telah diwahyukan kepadaku dan bunyinya seperti berikut ” (Muslim).

Dari situ jelaslah, bahwa nama Surah untuk bagian-bagian Alquran telah biasa dipakai sejak permulaan Islam dan bukan ciptaan baru yang diadakan kemudian hari.

 

 

Aku baca dengan [1] nama [2] Allah swt. [3], Maha Pemurah, Maha Penyayang [4]

Ba’ kata depan yang dipakai untuk menyatakan beberapa arti dan arti yang lebih tepat di sini, ialah “dengan”, Maka kata majemuk bism itu akan berarti “dengan nama”. Menurut kebiasaan orang Arab, kara iqra’ atau aqra’u atau naqra’u atau asyra’u atau nasyra’u harus dianggap ada tercantum sebelum bismillah, suatu ungkapan dengan arti “mulailah dengan nama Allah swt. “, atau  “bacalah dengan nama Allah swt.” atau “aku atau kami mulai dengan nama Allah swt. .”, atau ” aku atau kami baca dengan nama Allah swt.”. Dalam terjemahan ini ucapan bismillah diartikan “dengan nama Allah swt. “, yang merupakan bentuk lebih lazim (Lane).

ism mengandung arti:nama atau sifat (Aqrab).Di sini kata itu dipakai dalam kedua pengertian tersebut. Kata  itu menunjukan kepada Allah swt., nama wujud Tuhan; dan kepada Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), keduanya nama sifat Tuhan.

Allah swt. itu nama Dzat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab kata Allah swt. itu tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-petunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata “Allah swt. ” tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak. Kata Allah swt. itu “ism dzat,” tidak musytak,” tidak diambil dari kata lain, dan tidak pernah dipakai sebagai karangan atau sifat. Karena tiada kata lain yang sepadan, maka nama “Allah swt.” dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Alquran. Pandangan ini di dukung oleh para alim bahasa arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat. kata “Allah swt.” itu, nama wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al adalah dipisahkan dari kata itu (Lane).

 

Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) keduanya berasal dari akar yang sama. Rahima artinya, ia telah menampakan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. kata Rahmah menggabungkan arti riqqah, ialah ” kehalusan” dan ihsan, “kebaikan” (Mufradat). Ar-Rahman dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahim dalam ukuran fa’il. Menurut kaedah tatabahasa Arab, makin banyak jumlah ditambahkan pada akar kata, makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan (Muhith). Jadi, di mana kata Ar-Rahman menunjukan “kasih sayang meliputi alam semesta”, kata Ar-Rahim berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas, tetapi berulang-ulang ditampakkan.” Menggingat arti-arti di atas, Ar-Rahman itu Dzat Yang Menampakkan kasih sayang dengan cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa pertimbangan usaha atau amal; dan Ar-Rahim itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang sebagai imbalan atas amal perbuatan manusia, tetapi menampakkannya dengan murah dan berulang-ulang.

Kata Ar-Rahman Hanya dipakai untuk Tuhan, sedang Ar-Rahim dipakai pula untuk manusia. Ar-Rahman tidak hanya meliputi orang-orang mukmin dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Ar-Rahim terutama tertuju pada mukmin saja. Menurut Sabda Rasulullah saw., sifat Ar-Rahman umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahim umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang (Muhith). Artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa, maka sifat Tuhan Ar-Rahman menganugerahi manusia alat dan bahan, untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan Sifat Tuhan Ar-Rahim mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang. Segala benda yang kita perlukan dan atas itu kehidupan kita bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerumahnya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang-akan-datang, akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahman itu pemberi Karunia yang mendahului kelahiran kita, sedang Ar-Rahim itu pemberi Nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita sebagai ganjaran.

Bismillah-ir-Rahman-ir-Rahim adalah ayat pertama tiap-tiap Surah Alquran kecuali Al Bara’ah (At-Taubah) yang sebenarnya bukan Surah yang berdiri sendiri, melainkan lanjutan Surah Al-Anfal. Ada sesuatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang maksudnya, bila sesuatu Surah-baru diwahyukan, biasanya dimulai dengan Bismillah, dan tanpa bismillah, Rasulullah saw. tidak mengetahui bahwa Surah baru saja dimulai (Daud). Hadis ini menampakkan bahwa (1) bismillah itu bagian dari Alquran bukan suatu tambahan, (2) bahwa Surah Bara’ah itu, bukan Surah yang berdiri sendiri. Hadis itu menolak pula kepercayaan yang dikemukakan oleh sementara orang bahwa, bismillah hanya merupakan bagian surat Al-Fatihah saja dan bukan bagian semua Surah Alquran. Selanjutnya ada riwayat Rasulullah s.a.w pernah bersabda bahwa, ayat bismillah itu bagian semua Surah Alquran (Bukhari dan Quhni). Ditempatkannya bismillah pada permulaan tiap-tiap Surah mempunyai arti seperti berikut:Alquran itu khazanah ilmu Ilahi yang tidak dapat disentuh tanpa karunia khusus dari Tuhan, “Tiada orang boleh menyentuhnya, kecuali mereka yang telah disucikan” ( 56:80 ). Jadi, bismillah telat ditempatkan pada permulaan tiap Surah untuk memperingati orang muslim bahwa, untuk dapat masuk ke dalam Khazanah ilmu Ilahi yang termuat dalam Aquran; dan untuk suci, melainkan ia harus pula senantiasa mohon pertolongan Tuhan. Ayat bismillah itu, mempunyai pula tujuan penting yang lain. Ayat itu ialah kunci bagi arti dan maksud tiap-tiap Surah, karena segala persoalan mengenai urusan akhlak dan rohani, yaitu Rahmaniya (kemurahan) dan Rahimiyah (Kasih-Sayang). Jadi tiap-tiap Surah pada hakikatnya, merupakan uraian terperinci dari beberapa segi Sifat-sifat Ilahi yang tersebut dalam ayat ini. Ada tuduhan bahwa kalimah bismillah, itudiambil dari kitab-kitab suci sebelum Alquran. Kalau Sale mengatakan bahwa, kalimah itu diambil dari Zend Avesta, maka Rodwell berpendapat bahwa, orang-orang Arab sebelum Islam mengambilnya dari orang-orang Yahudi, dan kemudian dimasukkan ke dalam Alquran. Kedua paham itu nyata salah sekali. Pertama, tidak pernah dida’wakan oleh orang-orang Islam bahwa, kalimah itu dalam bentuk ini atau sebangsanya tidak dikenal sebelum Alquran diwahyukan. Kedua, keliru sekali mengemukakan sebagai bukti bahwa, karena kalimah itu dalam bentuk yang sama atau serupa kadang-kadang dipakai oleh orang-orang Arab sebelum diwahyukan dalam Alquran, maka kalimah itu tidak mungkin asalnya dari Tuhan. Sebenarnya Alquran sendiri menegaskan bahwa, Nabi Sulaiman a.s. memakai kalimah itu dalam suratnya kepada Ratu Saba (27:31). Apa yang dida’wakan oleh orang-orang Islam — sedang da’wa itu, tidak pernah ada yang membantah, ialah bahwa, di antara Kitab-kitab Suci, Alquran adalah yang pertama-tama memakai kalimah tiu dengan caranya sendiri. Pula keliru sekali mengatakan bahwa, kalimah itu sudah lazim di antara orang-orang arab sebelum islam, sebab kenyataan yang sudah diketahui ialah bahwa, orang-orang arab mempunyai rasa keseganan menggunakan kata Ar-Rahman sebagai pangilan untuk tuhan. Pula, jika kalimah demikian dikenal sebelumnya, maka hal itu malah mendukung kebenaran ajaran Alquran bahwa, tiada satu kaum pun yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi Ingat (35:25), dan juga bahwa, Alquran itu adalah khazanah semua kebenaran yang kekal dan termaktub dalam Kitab-kitab Suci sebelumnya (98:5).Alquran tentu menambah lebih banyak lagi dan apa pun yang diambilalihnya, Alquran memperbaiki bentuk atau pemakaiannya,atau memperbaiki kedua-duanya.

 

 

Segala [5]  puji [5a]  hanya bagi Allah swt. , Tuhan [6] semesta alam, [6a]

Dalam Bahasa  Arab al itu lebih-kurang sama artinya  dengan  kata “the” dalam bahasa Inggeris. Kata al dipergunakan untuk menunjukan keluasan yang berarti, meliputi semua segi atau jenis sesuatu pokok, atau untuk melukiskan kesempurnaan, yang pula suatu segi segi keluasa oleh karena meliputi semua tingkat dan derajat, Al dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telah disebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.

Dalam bahasa Arab dua kata madah dan hamd,  dipakai dalam arti pujian atau syukur; tetapi kalau madah itu mungkin palsu, hamd itu senantiasa benar. Pula, madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai oleh pelakunya; tetapi hamd hanya dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai dengan kerelaan hari dan dengan kemauan sendiri (Mufradat). Hamd mengandung pula arti pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terghadap yang dituju oleh pujian itu; dan kerendahan, kehinaan, dan kepatuhan orang yang memberi pujian (Lane). Jadi, hamd  itu kata yang paling tepat dipakai disini, untuk maksud mengutarakan kebaikan, dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak dan sebagai sanjungan akan kemuliaan Tuhan. Menurut kebiasaan, kata hamd, kemudian menjadi khusus ditujukan kepada Tuhan.

 

Kata kerja rabba berarti, ia mengolah urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi, Rabb berarti,

(a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khalik (Yang menciptakan)

(b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan

(c) Wujud Yang menyempurnakan, dengan cara setingkat demi setingkat (Mufradat dan Lane). Dan jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Tuhan.

Al-alamin itu jamak dari al-‘alam berasal dari kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dingan sarana itu, orang dapat mengetahui Sang Pencipta (Aqrab). Kata itu dikenakan bukan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya:alam manusia atau ‘alam-ul-hayawan, ialah, alam binatang. Kata al-‘alamin tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal — manusia dan malaikat — saja. Alquran mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (26:24 – 29 dan 41:10). Akan tetapi, tentu saja kadang-kadang kata itu, dipakai dalam arti yang terbatas (2:123). Di sini kata itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah swt.,” ialah, benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit — matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.

Ungkapan “Segala puji bagi Allah swt.” adalah lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah swt.”, sebab manusia hanya dapat memuji Tuhan menutur pengetahuannya; tetapi, anak kalimat “Segala puji bagi Allah swt.” meliputi bukan hanya sebagai puji-pujian yang di ketahui manusia, tetapi pula puji-pujian yang tidak diketahuinya. Tuhan layak mendapat puji-pujian setiap wahtu, terlepas dari pengetahuan atasu kesadaran manusia yang tidak sempurna. Tambahan pula, kata al-hamd itu masdar  dan karena itu dapat di artikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdu lilahi  berarti, hanyalah Tuhan memberikan pujian sejatidan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Tuhan semata-mata. Untuk huruf al lihat 5.

Ayat ini menunjuk kepada hukum evolusi di dunia, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan terlaksana secara bertahap, Rabb itu Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, setingkat demi setingkat. Ayat itu menjelaskan pula bahwa prinsip evolusi itu tidak bertantangan dengan dengan kepercayaan kepada tuhan. Tetapi proses evolusi yang disebut di sini,tidak sama dengan teori evolusi sebagai biasanya di artikan. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum. Selanjutnya, ayatini menunjuk kepada kenyataan bahwa, manusia di jadikan untuk kemajuan takterbatas, sebab ungkapan Rabb-ul-‘alamin itu mengandung arti bahwa, Tuhan mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih  tinggi dan hal itu hanya hanya mungkin jika tiap-tiap tungkatan itu diikuti oleh tingkatan lain, dalam proses yang tiada henti-hentinya.

 

Maha Pemurah, [b] Maha Penyayang [

Dalam ungkapan bismillah, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim berlaku sebagai kunci arti seluruh Surah. Sifat-sifat itu disebut di sini memenuhi satu tujuan tambahan. Sifat-sifat itu dipakai di sini, sebagai mata rantai antara Sifat Rabb-ul-‘alamin dan Maliki yaum-id-din.

 

 

[1]  Semoga Allah Ta’ala mengokohkannya dengan pertolongan-Nya yang Perkasa

[2] Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tafsir, Surah al-Jumu’ah bab wa aakhariina minhum

[3] Zharuratul Imam, Ruhani Khazain, jilid 13, halaman 494

[4] Majmu’ah Isytihaarat, jilid awwal, halaman 163, edisi 2003

[5] Malfuuzhaat, jilid 3, halaman 504, edisi 2003

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.