Penjelasan Tentang Rukun Islam

rukun islam ahmadiyah

“Siapa saja yang shalat sebagaimana shalat kami – menghadap kepada Kiblat kami dan memakan sesembilan kurban kami, maka itu petunjuk bagimu sebagai seorang Muslim. Ia menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, janganlah kamu merusak tanggungan Allah itu.”[1]

Islam Agama Yang Hidup dan Tinggi

Hadhrat Imam Mahdi as bersabda:

“Pada saat ini, di seluruh alam, Islamlah dengan ajaran sucinya dan dengan hasil-hasilnya yang hidup, memiliki tempat tersendiri. Tidak hanya sekedar takwa/pernyataan saja. Melainkan, Allah swt telah membuktikan kebenaran ini melalui hamba-Nya. Dan dengan menyampaikan himbauan kebenaran kepada segenap agama. Dia telah memberitahukan bahwa pada hakikatnya hanya Islamlah agama yang hidup. Dan bagi yang sampai saat ini masih ragu, datanglah ke tempat saya dan saksikanlah sendiri keindahan-keindahan dan berkat-berkat tersebut. Akan tetapi datanglah sebagai orang yang mencari kebenaran; jangan datang sampai pengeritik/penyerang yang terlalu tergesa-gesa.”[2]

Beliau as datang ke dunia ini di saat umat Islam dan agamanya sedang direndahkan oleh umumnya bangsa Eropa, Amerika dan pengikut agama lain. Maka dari itu tujuan beliau as diutus di zaman akhir ini semata-mata untuk menghidupkan dan meninggikan kalimah Islam kembali.

Imam Mahdi as bersabda:

إِنِّيْ جِئْتُ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ الْاِسْلَامِ

“Sesungguhnya aku datang untuk menjunjung tinggi kalimah Islam.” [3]

Dua Kalimah Syahadat

syahadat ahmadiyah, rukun islam

Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, beliau as bersabda,

“Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan.” [4]

“Diriku yang lemah telah diutus ke dunia menyampaikan pesan Tuhan untuk menyatakan bahwa diantara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Al-Quran dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur Rasuulullah – Tidak ada tuhan kecuali Allah – adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” [5]

Menegakkan Shalat

Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, beliau as bersabda:

“Salah satu arti dari surat Al-Fatihah ialah yang menaklukkan. Dia itu membuktikan seseorang menjadi beriman atau ingkar. Dengan kata lain, dia membedakan antara dua hal tersebut. Dia membukakan hati dan memberikan perhatian. Itulah sebabnya surat Al-Fatihah harus dibaca begitu sering dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan. Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan agar mencukupi kebutuhannya. Shalat tidak dapat dinikmati sepenuhnya, kecuali oleh orang yang merendahkan dirinya saat shalat dan menjadikannya sebagai sarana permohonannya.”[6]

“Masalahnya adalah tatkala manusia bersih dari gejolak nafsu serta meninggalkan egonya lalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatannya selaras dengan kehendak Tuhan.”[7]

Selanjutnya beliau as menerangkan:

“Apa yang dimaksud dengan shalat? Ia merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak paham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah swt. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Saya sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah swt menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tiadak ada lagi.”[8]

“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjatuhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah swt datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah swt.”[9]

“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah swt dengan sikap penuh sopan. Taktkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan itu adalah Ghani (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah swt. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak paham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah swt memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berat akan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan, dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi. [10]

Bahkan beliau as menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.

Beliau as bersabda:

فَاِنَّ الصَّلاَةَ مَرْكَبٌ يُوْصِلُ الْعَبْدَ اِلَى رَبِّ الْعِبَادِ

“Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” [11]

Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan kesempatan dan sarana efektif yang bisa mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.

Beliau as bersabda:

وَمِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ أَنْ يَكُوْنَ الْاِنْسَانَ مُحَافِظًا عَلَى الصّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِىْ اَوَائِلِ أَوْقَاتِهَا

“Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktu-waktunya.” [12]

أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا

“Yang paling utama dari amalan-amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.”[13]

Puasa Bulan Ramadhan

Sehubungan dengan Rukun Islam ketiga, beliau as bersabda,

“Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri  itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah dimana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tadzkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah swt dalam hal itu adalah: Kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berzikir kepada Allah swt, sehingga ia memperoleh tabattul (Surat Al-Muzammil, 73: 9)[14] dan inqithaa’[15]. Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketenteraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah swt, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih, dan tahlil kepada Allah swt yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” [16]

“Puasa dan shalat, kedua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu ia lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang-kadang dapat dialami oleh para yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.”[17]

“Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.”[18]

Membayar Zakat

Perintah zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam hadits-hadits Rasulullah saw.

Allah taala berfirman:

خُذ مِن أَموالِهِم صَدَقَةً تُطَهِّرُهُم وَتُزَكّيهِم بِها وَصَلِّ عَلَيهِم

“Ambillah dari orang-orang beriman [yang bernaung di bawah pemerintah Islam] sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad saw) akan dapat membersihkan [hati mereka] dan juga engkau akan dapat membersihkan [harta benda (zakat)] mereka dari campuran harta orang lain dan doakanlah mereka.” (QS At-Taubah, 9: 104)

Sehubungan dengan rukun Islam yang keempat ini, beliau as pernah menetapkan tentang masalah zakat perhiasan. Sabda beliau:

“Perhiasan pakaian tidak wajib zakatnya. Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya dibayarkan juga hendaknya. Pakaian perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa setengah ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk diri sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi perhiasan yang disimpan, seperti uang, wajib zakatnya. Tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).”[19]

Menunaikan Haji

Sehubungan dengan rukun Islam kelima, beliau as bersabda:

“Lihat, pergi menunaikan ibadah Haji dengan ikhlas dan kecintaan adalah perkara mudah. Namun, kembali dalam kondisi yang seperti itu adalah sulit. Banyak sekali orang yang pulang dalam keadaan gagal dan kalbunya menjadi keras. Penyebabnya adalah mereka tidak menemukan hakikat yang ada di sana. Melihat kekurangan-kekurangan, mereka langsung protes sehingga mereka luput dari karunia-karunia di sana akibat dari perbuatan buruk mereka sendiri, dan karena melaporkan tuduhan pada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, adalah penting tinggal menetap bersama Utusan (Ilahi) untuk beberapa lama dengan hati tulus dan teguh supaya manusia menjadi sadar akan kondisi-kondisi batinnya dan supaya kebenaran itu sepenuhnya menyinari.” [20]

“Kami tidak pernah membuat kalimah syahadat atau shalat atau ibadah Haji atau masjid sekecil apapun yang terpisah dari mengikuti Rasulullah saw; tugas kami ialah untuk mengkhidmati agama Islam ini; dan memenangkan agama ini di atas semua agama lain serta mengikuti hukum-hukum Al-Quran yang mulia dan hadits-hadits yang terbukti berasal dari Rasulullah saw. Hadits paling lemahpun kami anggap wajib diamalkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-Quran yang mulia; dan kami mengakui bahwa Bukhari dan Muslim ialah ashahul-kutub sesudah Kitab Allah.” [21]

Namun, ada sebagian orang Islam yang berupaya menghalang-halangi orang Islam yang ingin menunaikan ibadah Haji ke Baitullah. Padahal sikap demikian ini sangat bertentangan dengan hadits Rasulullah saw.

Hadhrat Rasulullah saw bersabda:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اتَّقُوْا اللهَ وَلاَ تَمْنَعُوْا مِنَ الْحَجِّ شَيْئًا مِمَّا يَنْتَفِعُ بِهِ فَاِنْ فَعَلْتُمْ فَأَنَا خَصْمُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Wahai kaum Quraisy, bertakwalah kepada Allah dan janganlah melarang orang mengambil manfaat dari ibadah Haji, apabila kamu melakukan pelarangan Haji, maka aku menjadi musuhmu di hari Kiamat.”[22]

Berdasarkan beberapa kutipan dari buku Pendiri Jemaat Ahmadiyah di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa penjelasan Rukun Islam yang diajarkan dan ditegakkan dalam kehidupan setiap orang Ahmadiyah itu adalah sama persis dengan Rukun Islam yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Besar Muhammad saw.

Rasulullah saw bersabda:

حَقِيْقَةُ الْاِسْلاَمِ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لاَّ إِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصَّلاّةَ، وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحِجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً

“Hakikat Islam ialah engkau bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw adalah Utusan Allah, engkau menegakkan shalat, memberikan zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan Haji ke Baitullah, jika engkau mampu ke sana.” [23]

Sektab PB JAI, Cet. I.2017

[1] HR Bukhari dan An-Nasai – dari Sahabat Anas ra; dan Kanzul-Umal, Juz I, hadits no. 398, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989

[2] Malfudzat, Vol. III, hal. 149, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[3] Khutbah Ilhamiyah, hal. 2

[4] Malfudzat, Vol. I, hal. 307, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[5] Malfudzat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[6] Malfudzat, Vol. II, hal. 145, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[7] Malfudzat, jld. I, hal. 14-15, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[8] Malfudzat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[9] Malfudzat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[10] Malfudzat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add Nazhir Isyaat 1984

[11] I’jazul Masih, hal. 164

[12] I’jazul Masih, hal. 163-164

[13] HR. Abu Daud, At-Turmudzi, dan AL-Hakim dalam Al-Mustadrak – dari Hadhrat Ummu Fardah ra; dan Kanzul Umal, Juz VII, Hadits no. 18900, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989

[14] Penulisan nomor ayat Al-Quran dalam brosur ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammadsaw. riwayat sahabat, Ibnu Abbasra yang menunjukkan bahwa setiap Basmalah pada tiap awal surah adalah ayat pertama dari surah itu.

كَنَا لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتّٰى يَنْزِلَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Nabi Muhammad saw tidak mengetahui pemisahan antara surah itu sehingga bismillaahirrahmaanirrahiim turun kepada beliau saw..” [HR. Abu Daud, “Kitab Shalat” dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”]

[15] Tabattul atau inqithaa’ artinya: Meninggalkan urusan duniawi untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

[16] Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add Nadzhir Isyaat 1984

[17] Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[18] Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[19] Majmua’ah Fatawa-e-Ahmadiyyah, Jil. I, hal. 163; terjemahan Alm. Mln. Ahmad Nuruddin

[20] Malfuzhat, Jld. V. hal. 177, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984

[21]Malfuzhat, Jld. VII, hal 138-139, Cet. Add Nazhir Isyaat 1984

[22] HR Abu Nu’aim dari Hadhrat Ibnu Abbas ra; dan Kanzul-Umal, juz V, Hadits no. 12361, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989

[23] HR Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, dan An-Nasai – dari Umar ra; dan Kanzul-Umal, Juz I, Hadits no. 18, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.