Tujuah Kaidah Penafsiran Al-Quran
Acuan pokok suatu tafsir yang benar dari Kitab Suci Al-Quran adalah kesaksian Al-Quran itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran berbeda dengan Kitab-kitab samawi lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya. Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung sepuluh atau dua puluh kesaksian termaktub yang mendukungnya. Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat dari Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada sedangkan pengertian yang kita dapat itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa tafsir itu sebagai salah adanya karena tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam Al-Quran. Tanda dari suatu penafsiran yang benar ialah jika keseluruhan kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran memang jelas mendukung.”
“Acuan kedua dari pengertian yang benar mengenai Al-Quran adalah tafsir tang dikemukakan oleh Yang Mulia Rasulullah s.a.w. Tidak diragukan lagi bahwa sosok yang paling memahami pengertian Al-Quran adalah Nabi Besar kita yang tercinta. Dengan demikian jika memang sudah ada tafsir dari Yang Mulia Rasulullah s.a.w. maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menerimanya tanpa ragu-ragu lagi, sedangkan mereka yang menolak termasuk murtad dan mengada-ada.”
“Acuan ketiga adalah penafsiran dari para sahabat Yang Mulia Rasulullah s.a.w. Para sahabat tersebut merupakan pewaris pertama dari Nur dan pengetahuan yang dibawa Yang Mulia Rasulullah s.a.w. Mereka ini mendapat rahmat akbar dari Allah s.w.t. dimana persepsi mereka dibantu oleh-Nya karena mereka ini tidak saja telah beriman tetapi juga telah melaksanakan apa yang diimani.”
“Acuan keempat adalah perenungan Al-Quran dengan rohani yang suci mengingat juga Al-Quran berkaitan dengan kesucian ruhani seseorang sebagaimana dinyatakan Allah Yang Maha Agung dalam firman-Nya:
لا يَمَسُّهُ إِلَّا المُطَهَّرونَ
‘(Kitab) yang tiada orang boleh menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan’ (QS.56 Al-Waqiah:80)
“Berarti hanya seorang yang memiliki hati yang telah disucikan yang dapat menghargai wawasan suci dari Al-Quran karena kedekatannya dengan Kitab tersebut. Ia mengenali segala kebenaran dan keharuman yang dikandung Kitab tersebut dan batinnya bersaksi bahwa inilah jalan yang lurus. Nur hati orang seperti itulah yang menjadi acuan guna menguji kebenaran. Kecuali seseorang telah disucikan dalam amalannya dan telah berhasil melewati jalan sempit yang dilalui oleh para Nabi, sebaiknya janganlah ia menjadi penafsir isi Al-Quran, apalagi jika didasari oleh sikap kurang ajar dan kesombongan karena hasil tafsirnya nanti didasarkan pada opini dirinya sendiri. Tafsir seperti itu dilarang oleh Yang Mulia Rasulullahs.a.w. yang menyatakan:
مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْانَ بِرَأيِهِ فَاصَابَ فَقدْ اَخْطَأَ
‘Ia yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan opininya sendiri berada dalam kesalahan, meskipun ia mengemukakan tafsir yang menurutnya adalah yang benar.’
“Acuan kelima adalah kosa kata bahasa Arab, hanya saja Al-Quran terkadang memberi arti yang beragam sekali sehingga tidak sepenuhnya bisa bersandar pada lexikon atau kosa kata tersebut. Terkadang dengan memperhatikan kosa katanya, perhatian bisa dibimbing kepada suatu rahasia sehingga yang bersangkutan dapat mengungkapkan hal yang tersembunyi dalam Al-Quran.
Acuan keenam adalah perbandingan sistem keruhanian dengan sistem jasmaniah karena ada keselarasan di antara keduanya.”
“Acuan ketujuh adalah wahyu dan kasyaf dari para orang suci. Acuan ini sebenarnya merangkum keseluruhan acuan-acuan lainnya karena seorang penerima wahyu adalah refleksi sempurna dari Nabi yang diikutinya, dimana dengan kekecualian pemberian status kenabian dan adanya syariat baru, ia mendapatkan semua sebagaimana yang diterima Sang Nabi. Akidah yang benar dan pasti akan dibukakan kepadanya dan ia akan menerima segala karunia berupa berkat dan rahmat sebagaimana yang diberikan Tuhan kepada Nabi yang diikutinya. Ia tidak akan mengada-ada, tetapi hanya berbicara atas dasar apa yang dilihatnya dan mengemukakan apa yang didengarnya. Jalan ini terbuka bagi setiap umat Muslim, karena jika tidak maka tidak akan ada lagi pewaris Nabi Besar Yang Mulia Nabi Muhammad s.a.w.”
(Barakatuddua, Qadian, Riyaz Hind Press, 1310 H; Ruhani Khazain, vol. 6, hal. 17-21, London, 1984).
***
“PERLU DIPERHATIKAN bahwa kita tidak diizinkan untuk mengadakan perubahan apa pun dalam teks ayat atau urutan di dalam Firman Tuhan, kecuali Yang Mulia Rasulullah s.a.w. ada melakukannya dan ini bisa dibuktikan. Tanpa adanya bukti itu maka kita tidak boleh mengusik urut-urutan Al-Quran ataupun menambahkan sesuatu padanya. Kalau dilakukan maka kita dianggap bersalah dan akan dimintakan pertanggungjawabannya.”
(Itmamul Hujjah, Gulzar Muhammadi Press, Lahore, 1311 H, Ruhani Khazain, vol. 8, hal. 29, London, 1984).
[box icon=”info”]Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 461-464, ISBN 185372-765-2[/box]