Tim Ahmadiyah.id bertanggung jawab penuh atas kesalahan atau miskomunikasi dalam sinopsis Khutbah Jumat ini
Ringkasan Khotbah Jumat
Mutiara Hikmah Khalifatul Masih II r.a.
oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
di Masjid Baitul Futuh London, 01 April 2016
Pada khotbah jumat yang lalu dibacakan suatu kutipan Hadhrat Masih Mau’ud as yakni beruntunglah mereka yang lahir di zaman Hadhrat Masih Mau’ud as dan berbahagialah mereka karena Allah Ta’ala telah menciptakan mereka di zaman ini dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung merasakan zaman Hadhrat Masih Mau’ud as – yakni suatu zaman yang sangat dirindukan oleh mereka yang telah wafat.
Sungguh, kita para Ahmadi termasuk di kalangan orang-orang yang beruntung, yang telah berbaiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan termasuk di kalangan orang-orang yang mengamalkan perintah Allah Ta’ala. Ada orang-orang yang tidak beruntung, yang tidak mendapatkan taufik untuk berbaiat kepada beliau as meskipun berada di zaman tersebut. Ada juga yang tidak beruntung, yang memusuhi dan menetang beliau as dengan cara yang melampaui batas dan mahrum (luput) dari bimbingan utusan-Nya. Orang-orang semacam ini ada terpecah-belah. Bagaimanapun, kita tidak cukup hanya dengan bersyukur saja atas bimbingan-Nya yang membawa kita ke jalan yang benar.
Hadhrat Masih Mau’ud as biasa menjelaskan beberapa perkara di berbagai tulisan, pidato, dan majelis melalui berbagai permisalan yang dapat ditemukan dari riwayat para sahabat. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra adalah yang paling banyak meriwayatkan kepada kita berbagai perkara yang beliau ra sendiri lihat atau dengar atau yang beliau dengar dari para sahabat beliau as di berbagai khotbah dan pidato beliau as..
Riwayat-riwayat ini telah beberapa kali disampaikan di beberapa khotbah yang lalu dan orang-orang mengatakan melalui surat bahwa berbagai riwayat tersebut membantu mereka memahami berbagai perkara dengan mudah. Khotbah jumat hari ini juga akan disampaikan mengenai berbagai riwayat lainnya.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda apakah aksi demonstrasi itu dibenarkan? Alasan utama orang-orang melancarkan aksi demonstrasi adalah ketika hak-hak mereka tidak diberikan. Terkadang para majikan tidak memberikan hak para karyawannya dan adakalanya juga terjadi bahwa para pegawainya tidak memenuhi hak majikannya. Banyak pemerintahan tidak memberikan hak masyarakatnya dan begitu pula sebaliknya. Lalu tindakan keras pun diambil ketika para karyawan dan masyarakat tidak memenuhi hak (menunaikan kewajiban terhadap) majikan dan pemerintahnya. Dengan demikian, ini akan menjadi lingkaran setan kehidupan duniawi yang manusia terjerumus di dalamnya. Islam mengajarkan untuk berupaya memenuhi hak-hak orang lain seperti memenuhi hak-hak saudara sendiri.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa peradaban Islam didirikan atas dasar keadilan dan kecintaan. Di zaman Hadhrat Masih Mau’ud as, jika ada Ahmadi yang berpartisipasi dalam aksi demonstrasi itu, maka beliau as mengambil tindakan yang tegas.
Pada hari-hari ini, aksi demonstrasi terjadi di negara-negara Muslim yang biasanya disebabkan oleh perselisihan antara pemerintah dan masyarakat. Jika pemerintah Muslim bersikap adil, maka tidak akan ada kekuatan syaithani yang bisa menimbulkan kegelisahan diantara mereka. Semoga Allah Ta’ala memberikan pemahaman mengenai hal ini kepada pemerintah Muslim, khususnya pemerintah negara Pakistan, supaya mereka memberikan hak-hak masyarakatnya. Jika para Ahmadi terpaksa ikut dalam aksi ini, mereka hendaknya senantiasa berdoa agar mereka tidak menyebabkan kerugian terhadap aset pemerintah.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa jika ada tentara, pengacara, hakim, pedagang, juru bicara atau menteri dsb yang bekerja dengan seluruh kemampuannya dalam satu hari, maka sepulang kerja ia berkata bahwa beban pekerjaan pada hari ini begitu berat sehingga mematahkan tulang punggungnya. Namun demikian, kita melihat teladan beberkat Hadhrat Rasulullah saw bahwa beliau saw senantiasa melaksanakan seluruh tugasnya yang juga mencakup urusan duniawi. Beliau saw adalah seorang hakim, guru dan juga menjalankan pemerintahan serta menjelaskan berbagai perkara hukum namun beliau saw juga memberikan waktu untuk urusan rumah tangga. Beliau saw tidak pernah berkata bahwa beliau saw sangat sibuk sehingga tidak bisa membantu di rumah.
Beliau saw senantiasa memenuhi hak para istri beliau saw sedemikian rupa sehingga setiap istri beliau saw merasa mereka menjadi pusat perhatian beliau saw. Meskipun beliau saw memiliki 9 orang istri, tapi tidak seorang pun yang merasa tidak diperhatikan. Merupakan kebiasaan beliau saw untuk mengunjungi seluruh istri beliau saw setelah shalat Ashar dan menanyakan keperluan apa yang mereka inginkan atau terkadang beliau saw hanya menolong mereka. Tentu beliau saw memiliki setumpuk pekerjaan lainnya dan tidak punya waktu santai.
Diketahui bahwa banyak negeri di Asia dan Afrika yang penduduknya punya kebiasaan menghubungkan kemalasannya dengan penyakit yang dideritanya, contohnya sakit malaria. Mereka tidak mau bekerja dengan alasan penyakit yang [diakukan] dideritanya. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa beliau ra melihat bagaimana teladan Hadhrat Masih Mau’ud as, yang merupakan cerminan dari Hadhrat Rasulullah saw. Beliau ra ingat ketika hendak tidur, beliau ra melihat Hadhrat Masih Mau’ud as sedang bekerja dan ketika bangun, beliau ra masih melihat Hadhrat Masih Mau’ud as sedang sibuk bekerja (menulis buku).
Meskipun demikian beratnya pekerjaan Hadhrat Masih Mau’ud as namun beliau as senantiasa menghargai para sahabat yang telah memeriksa (membaca ulang) tulisan beliau as sedemikian rupa sehingga beliau as akan bangkit menghampirinya seraya berterima-kasih berulang kali karena telah merepotkannya, meskipun sebenarnya tugasnya itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan apa yang Hadhrat Masih Mau’ud as kerjakan. Terkadang dalam kondisi sakit, beliau harus berjalan-jalan. Namun dalam kondisi seperti itu pun, beliau as tetap terus bekerja bahkan senantiasa membahas beberapa masalah dan menjawab beberapa pertanyaan.
Kemalasan hendaknya tidak dikaitkan dengan penyakit yang diderita. Hendaknya tekadkan di dalam hati untuk bekerja keras sehingga kemalasan ini akan hilang. Jangankan orang-orang yang tinggal di daerah terjangkitnya malaria itu, bahkan ada banyak orang dari daerah tersebut yang telah berhijrah ke Eropa yang senantiasa duduk-duduk di rumah, menonton TV atau bertengkar dengan istrinya atau memperlakukan anak-anak mereka sedemikian rupa sehingga membuat anak-anak mereka bosan berada di rumah. Sikap seperti ini bukanlah karena penyakit namun karena kemalasan. Ada orang-orang yang tidak ada perhatian untuk mencari nafkah karena mereka memperoleh tunjangan dasar dari negeri ini (Negara maju di Eropa). Mereka yang tinggal di negara-negara Barat hendaknya terlepas dari sikap seperti ini (yaitu malas).
Ada beberapa jalan dalam Islam guna pemeliharaan masa depan kaum perempuan, diantaranya ialah kewajiban pembayaran mahar oleh suami saat pernikahan yang mau tak mau harus ditunaikan. Orang-orang berpikiran hak mahar itu bisa dibayarkan kepada istri ketika bercerai atau berpisah. Namun, mereka harus mengetahui apakah itu mahar (maskawin)? Mahar itu adalah harta hak milik istri. Itu harus tetap menjadi milik istri. Sejumlah uang (atau barang) haq mahar istri itu dibelanjakan saat diperlukan oleh istri kapanpun ia mau. Atau termasuk dapat ia belanjakan saat diperlukan jika ia memerlukannya untuk pengeluaran tertentu dalam keadaan merasa ragu-ragu dan malu untuk meminta kepada suaminya atau merasa bahwa suaminya tidak bisa membantunya. Jika terjadi pada sang istri keperluan tersebut yang tidak mungkin bagi suami untuk membatasinya waktu itu maka jika harta mahar telah ada pada sang istri, ia dapat memenuhi keperluannya dengan harta mahar. Jika suami tidak benar-benar bersedia memenuhi pembayaran mahar maka para istri tidak bias memenuhi keperluannya tersebut tadi atau keperluan lainnya. Misalnya, kebutuhan istri ini bisa dalam hal apa saja, seperti menolong saudaranya atau siapa pun. Uang ini adalah untuk kebutuhan pribadinya, untuk keperluan yang mendesak, kapan pun ia mau. Sebagian para suami, jangankan memberikan haq mahar kepada istrinya, bahkan ada orang-orang yang melakukan pembatasan supaya istrinya tidak membelanjakan darinya sesuatu tanpa izinnya atau meminta sebagian jumlah tertentu dari pemasukan istrinya untuk disimpan di rekeningnya/si suami itu. Ini pun hal yang tidak boleh.
Ada juga orang tua dari keluarga tertentu di negara-negara miskin yang meminta haq mahar putrinya itu kepada suami putrinya atau keluarga suami putrinya agar diberikan kepada mereka pada saat pernikahan. Sedangkan putri mereka tidak dapat apa-apa. Ini adalah keliru dan sama dengan menjual anak perempuan, yang merupakan sesuatu hal yang Islam larang dengan keras.
Seorang istri dapat mengikhlaskan haq maharnya hanya jika haq mahar tersebut sudah diserahkan terlebih dahulu kepadanya. Hadhrat Umar ra dan beberapa orang suci lainnya telah bersabda bahwa haq mahar harus dibayarkan dan jika istri telah memegangnya selama setahun, maka jika ia ingin dan rela hati, ia dapat memberikannya kepada suami.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menceritakan peristiwa perihal pembebasan/pemaafan mahar berikut ini. Ini tentang salah seorang Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau Tn. Hakim Fazluddin yang termasuk kalangan awal dalam Jemaat kita. Beliau memiliki dua orang istri. Suatu kali ia mendengar Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Membayar haq mahar adalah hal yang wajib secara syar’i (perintah agama) untuk diberikan kepada wanita yang dinikahi.”
Tn. Hakim Fazluddin menanggapinya, “Kedua istri saya telah mengikhlaskannya (memaafkan dan membebaskan saya tidak membayarkannya).”
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Apakah mereka mengikhlaskannya setelah engkau menyerahkan haq mahar ke tangan mereka?”
Tn. Hakim Fazluddin menjawab, “Belum, Hudhur! Saya hanya mengatakan kepada keduanya, ‘Bebaskan saya dari membayar mahar!’ Keduanya pun membebaskan.”
Beliau as bersabda, “Seharusnya pertama engkau menyerahkannya kepada mereka terlebih dahulu lalu barulah meminta mereka untuk membebaskannya/mengembalikannya. Dan, hal ini pun termasuk perbuatan berderajat rendah. Yang benar, harta mahar itu telah di tangan perempuan tersebut selama satu tahun, sekurang-kurangnya. Lalu jika mereka senang hati merelakan/membebaskannya barulah ini hal yang benar.”
Haq mahar kedua istri Tn. Hakim masing-masing adalah Rs. 500. Ia pun meminjam uang pada seseorang dan membayarkan haq mahar itu kepada istrinya seraya berkata kepada mereka, “Ingatlah, kalian telah mengikhlaskannya kepada saya, jadi sekarang kembalikan kepada saya.” Para istrinya menjawab bahwa mereka sebelumnya tidak berpikir suatu hari suaminya akan membayarkan haq mahar mereka. Tetapi, karena sekarang telah dibayarkan, maka mereka tidak akan mengembalikannya.
Selanjutnya, Tn. Hakim Fazluddin datang kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan menceritakan semua yang dialaminya. Hadhrat Masih Mau’ud as pun tersenyum mendengar cerita ini.
Beliau as bersabda bahwa jalan yang benar adalah berikan haq mahar itu terlebih dahulu kepada perempuan tersebut, lalu setelah beberapa waktu jika kemudian ia kembalikan dengan senang hati, maka itu boleh saja. Jika tidak demikian, ketika seorang istri membebaskan haq mahar tanpa telah menerimanya maka itu ibarat kebaikan percuma, berbuat baik tanpa usaha. Sebab, perempuan tersebut beranggapan karena yang lelaki/suaminya belum membayar dan takkan membayar maka ia membebaskannya dari membayar. Hal itu menjadi sebuah kebaikan gratis dalam pandangan kami. Tetapi, seorang wanita/istri telah menerima penuh maharnya namun setelah itu mengembalikannya kepada suaminya dengan senang hati, maka itu boleh/benar. Sebaliknya, jika tidak demikian, meskipun haq maharnya bernilai jutaan, kemudian sang istri mengatakan mengikhlaskannya karena tahu bahwa haq mahar itu tidak akan dibayarkan oleh sang suami, ia pun tidak menagihnya darinya maka itu hanyalah ucapan sia-sia belaka. Apakah kerugian dari hal itu?
Oleh karena itu, adalah suatu keharusan bagi suami untuk membayarkan haq mahar itu terlebih dahulu lalu barulah minta istri untuk mengembalikannya/membebaskannya, jika ia/sang istri mau dengan rela hati. Suatu keharusan pula bagi suami untuk membayarkan haq mahar meski itu diberikan mahar pada masa sang istri tidak tahu akan keperluannya, atau jika orangtua sang perempuan itu meminta maharnya, itu pun tak boleh. Artinya, seperti telah saya katakan sebelumnya, kadangkala orangtua perempuan ingin mengambil mahar putrinya, hal mana itu pun tidak benar. Hal demikian telah menjadikan status/kondisi putrinya dalam posisi jual-beli.
Zakat adalah kewajiban di dalam Islam bagi semua orang yang memenuhi syaratnya. Tetapi, ada beberapa orang suci yang membelanjakan seluruh penghasilan mereka di jalan Allah Ta’ala. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa ada beberapa orang yang diciptakan Allah Ta’ala sebagai teladan bagi yang lain. Beliau ra bersabda bahwa beliau ra mendengar dari Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa seseorang bertanya kepada seorang suci mengenai berapa rupee yang diwajibkan untuk zakat. Orang suci itu menjawab, “Bagi engkau adalah satu rupee untuk setiap 40 rupee”.
Orang itu kembali bertanya, apa yang tuan maksud dengan “bagi saya”? Apakah ada perbedaan besaran zakat? Orang suci itu menjawab, “Ya, jika saya memiliki 40 rupee, maka wajib bagi saya untuk membayarkan 41 rupee. Bagi maqam (derajat) engkau, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mencari nafkah dan menikmatinya sedangkan bagi maqam (derajat) saya, Allah Ta’ala sendiri yang akan memenuhi segala keperluan saya. Jadi jika karena kebodohan saya, lalu menyimpan 40 rupee, maka saya harus memberikan 40 rupee tersebut ditambahkan dengan 1 rupee sebagai hukumannya.” Begitulah keadaan para wali.
Maka dari itu, termasuk kewajiban sebagian orang untuk hanya memusatkan perhatian pada agama saja. Allah Ta’ala telah menciptakan mereka untuk itu. Tetapi, orang-orang lainnya yang hidup di dunia hendaklah berusaha mencari duniawi juga. Namun, mereka harus menyumbangkan sebagian harta dan waktu mereka untuk ibadah dan urusan agama juga. Mohonlah ampunan kepada Allah dan berdoalah kepada-Nya. Maka, apa saja yang Allah anugerahkan berupa kehormatan/kedudukan, harta dan reputasi/kemahsyuran, itu adalah kenikmatan dari-Nya. Bersyukurlah atas karunia ini dan perhatikanlah orang-orang yang lain juga.
Beberapa orang memiliki pemikiran bisnis demikian kuatnya sehingga melakukannya dengan meniru orang-orang lain kemudian ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak-akhlak Jemaat atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Para pengurus juga terkadang bisa menjadi orang yang semacam ini. Suatu kali suatu Anjuman/pengurus lokal di Qadian menerbitkan suatu formulir lalu menjualnya kepada orang-orang dengan harga satu ‘Ana’ (sen). Seraya memberikan nasehat kepada anggota Jemaat pada saat itu, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa ikutilah syariah dan teladan Hadhrat Rasulullah saw. di dalam segala hal dan ikutilah teladan Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau ra bersabda bahwa beliau pernah diperlihatkan suatu kertas seperti formulir yang dijual dengan harga satu sen oleh Anjuman lokal. Beliau ra bersabda bahwa apa urusan kita untuk mengikuti cara pemerintah yang meminta bayaran seperti ini? Beliau ra menambahkan bahwa perkara semacam ini memberikan kesempatan bagi para penentang untuk mengkritik kita.
Beliau ra memberikan penjelasan lagi, “Permisalan Anjuman lokal tersebut ialah seperti seorang tua yang tinggal di Gurdaspur. Ia tinggi dan berjenggot panjang. Kebiasaannya bila melihat kawannya ialah bertakbir, bukannya mengucap salam. Bila telah dekat dan berjumpa, ia menunjukkan jarinya lalu bertakbir juga melompat. Saat itu ia juga banyak mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as. Orang ini suka meniru, contohnya meniru kepala lembaga pemerintahan lokal. (Hudhur II ra sedang menjelaskan permisalah orang-orang yang suka meniru kelakuan orang lain secara salah)
Ia bekerja di Pengadilan sebagai penulis surat gugatan dan dikelilingi oleh pekerjaan yang berkaitan dengan dokumen dan berkas-berkas. Seperti halnya seorang Anjuman lokal tadi, ia pun ingin meniru cara Pengadilan tersebut [masa itu ialah periode jajahan Inggris di India atau dekat dengan masa tersebut pengaruh gaya Inggris masih kuat]. Ia ingin menjadi seorang hakim namun karena keinginannya tidak terpenuhi, ia pun kemudian mencari cara menjadi hakim di rumahnya sendiri. Ia mempersiapkan banyak berkas yakni satu berkas untuk garam, satu berkas untuk ghee, satu berkas untuk bensin, satu berkas untuk cabai, dsb.
Saat pulang dari kerja, ia akan membalikkan gentong air yang terbuat dari tanah lalu duduk di atasnya. Dan ketika istrinya berkata bahwa garam sudah habis, maka ia akan berkata ‘Tolong bawakan berkas ini dan itu’. Setelah membaca berkas tersebut, ia lalu kembali berkata, ‘Tuliskan bahwa saya perintahkan jumlah garam yang diperbolehkan adalah sekian.’
Malangnya, suatu hari beberapa berkas dicuri dari pengadilan. Karena para tetangga orang itu setiap hari mendengarnya berbicara tentang berkas, lalu mereka mengadukan nama orang tua ini yang telah mencuri arsip tersebut. Polisi pun datang menggeledah rumah orang tua tersebut. Namun yang mereka dapatkan adalah arsip-arsip garam, cabai, ghee dan bensin.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Saya sendiri pernah melihat pemandangan yang seperti ini sebagian orang meniru orang Barat dengan persangkaan itu membuat keadaan mereka hebat dan tidak melihat keperluan dan kepentingan atas hal itu.”
Masalah di sini tidak berkaitan dengan bentuk dan nilainya, melainkan persoalan yang terkait mabda (prinsip mendasar). Prinsip mendasar dibalik hal ini adalah hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dan tradisi Islam berusahalah untuk menghindari dari menirunya. Meski ia ingin meniru hal-hal duniawi maka pertama hal ini bukan perkara duniawi. Namun, jika ada hal yang patut ditiru, maka Allah Ta’ala telah berfirman pada kita bahwa Hadhrat Rasulullah saw adalah teladan terbaik bagi kita dan wajib kita mengikutinya. Kemudian, pada zaman ini Allah Ta’ala telah menjadikan Hadhrat Masih Mau’ud as sebagai teladan bagi kita. Dan, beliau as senantiasa mengajarkan apa-apa yang diajarkan oleh junjungan beliau as, yaitu Baginda Nabi Muhammad saw. Maka, tak ragu lagi bila kita mengikutinya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Saya teringat di tahun terakhir Hadhrat Masih Mau’ud as atau masa permulaan Khilafat pertama selama bulan Ramadhan, saya merasa sangat haus. Mungkin karena panasnya cuaca yang sangat menyengat atau karena saya belum minum sejak sahur. Saya merasa sangat lemah sedangkan waktu masih menyisakan satu jam lagi sebelum matahari terbenam.
Karena haus, saya terbaring di kasur lalu saya melihat kasyaf (penglihatan rohani) bahwa seseorang memasukkan lembaran kertas (daun?) baan ke mulut saya.[1] Kemudian saya menghisapnya dan dahaga pun hilang tiada bekas. Ketika dahaga hilang, saya merasa tidak butuh apa-apa lagi. Demikianlah cara Allah memadamkan kehausanku. Saat dahaga pergi tidak tersisa keperluan untuk meminum air karena keperluan meminum air datang ketika dahaga ada. Hal pentingnya adalah mengendalikan keinginan, dengan cara menyediakan apa yang diperlukan atau dengan menghilangkan keinginan terhadap sesuatu itu.”
Seseorang menulis meminta doa kepada Hadhrat Masih Mau’ud as supaya bisa menikahi seseorang wanita. Hadhrat Masih Mau’ud as menjawab bahwa beliau as akan mendoakannya, namun dengan syarat pernikahan itu tidak mesti merupakan hasil dari doa ini. Ia mungkin saja menikahinya atau malah menjadi tidak menyukainya. Hadhrat Masih Mau’ud as pun kemudian berdoa. Beberapa hari kemudian orang tersebut menulis bahwa ia mulai tidak menyukai wanita tersebut.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda, bahwa seseorang juga menulis hal yang sama kepada beliau ra lalu menjawabnya sesuai dengan amalan Hadhrat Masih Mau’ud as. Orang tersebut kemudian memberitahukan bahwa keinginannya untuk menikahi wanita tersebut telah hilang.
Saya (Hadhrat Khalifatul Masih aba) juga menerima banyak surat yang mengungkapkan keinginan untuk menikahi seseorang. Ia memohon doa lalu meminta saya untuk berbicara kepada calon mertuanya dan juga kepada pengurus. Katanya, jika tidak, lebih baik ia dan calonnya mati saja. Ini adalah ucapan yang bodoh lagi sia-sia. Tujuan utama dari pernikahan adalah kedamaian hati dan kelanggengan keturunan. Berdoalah, memohon karunia dan keberkatan Allah Ta’ala dalam hal ini. Jika si fulan itu adalah baik dalam pandangan Allah Ta’ala, maka mohonkanlah supaya terjalin pernikahan. Jika tidak, maka hilangkanlah keinginan ini dari dalam diri. Kecintaan duniawi adalah kecintaan yang sementara. Kecintaan duniawi hendaknya dicari demi kecintaan terhadap Allah Ta’ala. Jika ini terjadi, maka kecintaan terhadap duniawi pun akan menjadi kebaikan serta menjadi sumber ketentraman di dalam hati.
Seraya menjelaskan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang buruk pada dzatnya, Hadhrat Muslih Mau’ud ra memberikan contoh bahwa Nux Vomica dapat membunuh jiwa, namun ratusan ribu orang juga menggunakannya sebagai pengobatan. Opium juga merupakan sesuatu yang berbahaya tetapi kegunaannya lebih banyak daripada bahayanya. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa para dokter/tabib mengatakan setengah dari obat-obatan itu mengandung opium di dalamnya. Manfaatnya begitu banyak dari perkiraan. Ketika seseorang benar-benar sangat gelisah dan tidak dapat tidur, dan ketika ia dirundung rasa sakit dan ingin bunuh diri, maka morfin akan digunakan yang serta-merta dapat menenangkannya. Di dunia ini tidak ada yang sepenuhnya buruk di dalam dzatnya. Keburukan itu timbul jika salah dalam menggunakannya yang pada dasarnya karena kelalaian manusia itu sendiri. Inilah mengapa Hadhrat Ibrahim as menisbatkan penyakit terhadap dirinya dan penyembuhan terhadap Allah Ta’ala.
Namun, orang-orang ada yang mengatakan bahwa mereka telah berupaya dalam suatu hal namun Allah Ta’ala tidak menganugrahi mereka kesuksesan. Seolah-olah mereka mengaitkan apa yang baik bagi diri mereka dan yang buruk adalah terhadap Allah Ta’ala. Seorang mukmin senantiasa berkata bahwa segala puji bagi Allah Yang senantiasa menganugerahkannya kesuksesan, dan ketika terjadi hal yang buruk ia akan berkata, إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah Ta’ala dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali” dan kegagalan itu dinisbahkan terhadap kelalaiannya sendiri.
Perihal bagaimana hal kecil berpengaruh besar, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa beliau ra mendengar suatu kisah dari Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa ada seorang ibu yang memiliki anak semata wayang. Ketika anaknya pergi berperang, ia bertanya kepada ibunya hadiah apa yang ingin dibawakan yang akan membuatnya bahagia. Sang ibu berkata bahwa yang ia inginkan hanyalah anaknya yang kembali dengan selamat. Tetapi, sang anak tetap mendesak agar ibunya mengatakan apa yang ia inginkan. Oleh sebab itu, sang ibu berkata, “Baiklah, bawakan saya remah-remah bakaran roti sebanyak-banyaknya. Ini akan membuat saya senang”. Anak itu berpikir tidak baik menanyakan apa lagi yang ibunya inginkan dan sang ibu juga berkata hanya itulah yang ia inginkan.
Ketika jauh dari rumah, sang anak pun mulai membakar roti. Dan setiap kali membakar roti, ia pastikan bahwa roti itu benar-benar terbakar sehingga ia bisa mengumpulkan banyak remah-remah bakaran roti untuk ibunya. Ketika ia pulang, ia memberikan beberapa kantong roti bakar kepada ibunya lalu berkata bahwa meskipun ia telah melaksanakan apa yang ibunya inginkan namun ia tidak begitu paham alasannya. Ibunya menjawab bahwa adalah tidak tepat untuk mengatakan hal ini kepadanya sebelum berangkat perang. Namun demikian, banyak penyakit yang timbul karena memakan makanan yang tidak dimasak dengan baik. Alasan ia memintanya untuk membawa potongan roti bakar adalah untuk memastikan anaknya membakar roti itu dengan baik. Meskipun ada beberapa yang hangus, namun ia masih bisa memakan sisanya (yang tidak hangus) dan membuang bagian yang hangus itu. Dengan demikian ia pun akan tetap sehat.
Sekarang, jika ibu itu berkata langsung kepada anaknya untuk tidak memakan roti yang tidak dibakar dengan baik, tentu sang anak akan berkata bahwa ia tidaklah terlalu bodoh untuk memakan roti yang tidak dibakar dengan baik! Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa beliau ra meriwayatkan kisah ini untuk menggambarkan ketika perkara pengabulan doa disampaikan, orang-orang berfikir bahwa ini adalah perkara kecil yang sudah mereka ketahui. Memang mereka telah mengetahuinya, tetapi apakah mereka telah mengamalkannya?
Dua aspek yang perlu diperhatikan dalam pengabulan doa adalah
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
“… sambutlah seruan-Ku dan beriman kepada-Ku …” [Al-Baqarah, 2:187]
Ada banyak aspek lainnya dan orang-orang berkata bahwa mereka mengetahui segala aspek tersebut. Tetapi, apakah mereka mengamalkannya? Mereka menulis bahwa mereka telah banyak memanjatkan doa namun doa mereka tidak terkabul. Hal ini menimbulkan prasangka terhadap Allah Ta’ala dan menunjukan kelemahan iman mereka.
Ada seseorang menemui saya dan berkata bahwa ia telah banyak berdoa namun kenapa doanya tidak terkabul. Saya bertanya, apakah engkau telah menjalankan apa yang Allah Ta’ala perintahkan? Orang tersebut berkata tidak. Jadi, kita pertama-tama lihatlah kondisi kita sendiri, apakah keimanan kita itu lemah atau tidak. Apa yang diperlukan adalah keimanan seperti Hadhrat Ibrahim as yang menisbatkan kelemahan terhadap dirinya dan kesuksesan terhadap Allah Ta’ala.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk menjalankan perintah Allah Ta’ala. Dan semoga doa-doa kita memperoleh pengabulan.
Shalat jenazah Ghaib diumumkan bagi Syed Asadul Islam Syah di Glasgow, putra dari Syed Naeem Syah. Beliau berasal dari keluarga Ahmadi yang lama yang senantiasa mengkhidmati Jemaat.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Maret 2016 karena serangan teroris. إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. Beliau mengalami luka parah di luar toko beliau di Glasgow pada tanggal 24 Maret lalu dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi beliau meninggal dunia saat tiba di rumah sakit. Beliau disyahidkan karena beliau adalah seorang Ahmadi. Beliau mengorbankan hidupnya dan meraih derajat Syahid. Pers dan Departemen Pemerintah menungkapkan rasa belasungkawanya. Adalah upaya yang harusnya dilakukan pemerintah untuk menanggap para teroris ini. Jika para maulwi diberikan kekuasaan dengan bebas, mereka akan menciptakan kekacauan di negara ini sebagaimana yang mereka lakukan di negara-negara Muslim lainnya.
Asad Syah lahir bulan Februari 1974 di Rabwah. Beliau memperoleh gelar FSc dari Nusrat Jehan Academy. Beliau hijrah ke Glasgow tahun 1998 dan bergabung dengan bisnis ayahnya. Beliau telah menjadi anggota Musi dan secara dawam membayarkan candahnya. Sesuai dengan laporan Khuddamul Ahmadiyah, beliau adalah anggota yang rajin dan senantiasa menghadiri Ijtima. Beliau juga dawam menghadiri Shalat Jumat.
Terkadang beliau mengalami masalah kesehatan jiwa yang membuatnya agak berubah. Namun Amir Wilayah di sana berkata, “Terakhir kali menemuinya, beliau menunjukan ikatannya yang tulus, setia dan kecintaan dengan khilafat.” Saya katakan hal ini karena ada beberapa kesalahpahaman dari sebagian orang bahwa beliau telah keluar dari Jemaat, tetapi sebenarnya tidak. Beliau adalah seorang Ahmadi dan disyahidkan karena identitas sebagai Ahmadi tersebut. Beliau dawam hadir pada kegiatan Khudam dan Jemaat hingga akhir hayatnya.
Mubaligh Kababir, Shamsuddin Sahib, menulis bahwa istri Asad Sahib berasal dari Qadian dan merupakan sepupu dari istri Shamsuddin Sahib. Beberapa tahun yang lalu, Shams Sahib mengunjungi rumah Asad Sahib dua kali dan sekali menginap. Selama kunjungan itu, Asad Sahib bertanya mengenai pertablighan dan masalah Jemaat. Tidak ada perkara dunia yang dibicarakan. Shams Sahib juga melihatnya melaksanakan shalat Tahajjud pada saat itu. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkannya ampunan dan kasih sayang-Nya serta menganugerahi kesabaran dan ketentraman bagi yang ditinggalkan, yakni orang tua serta istrinya.
Penerjemah: Mln. Hafizurrahman; editor: Dildaar Ahmad Dartono
[1] Di anak benua India, beberapa orang biasa mengunyah lembar kertas “baan” dengan beberapa bahan wangi di mulut.