Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 04 Oktober 2013 di Masjid Baitul Huda, Sidney, Australia.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Dengan karunia Allah Ta’ala, Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Australia dimulai hari ini. Saya mendapatkan taufik untuk ikut serta dalam Jalsah di sini setelah kira-kira tujuh tahun. Pondasi Jalsah Salanah ini telah diletakkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam sekitar 123 tahun yang lalu, sebelum hari ini. Yang diselenggarakan di sebuah kota kecil di provinsi Punjab, India. Di dalamnya hanya diikuti oleh 75 orang. Hari ini, Jalsah ini diselenggarakan di sebuah wilayah yang besar di dunia, yang di dalamnya ikut serta negara-negara besar dan negara-negara kecil juga. Negara-negara kaya dan negara-negara miskin juga. Tidak ada benua di dunia ini, dimana Jalsah Salanah tidak diselenggarakan di dalamnya.
Sungguh, Jalsah ini diselenggarakan di berbagai penjuru dunia dan berbagai negara, karena sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Jangan beranggapan Jalsah ini seperti pertemuan biasa. Ini adalah perkara yang murni berdasarkan pertolongan Yang Maha Benar dan untuk meninggikan kalimah Islam. Allah Ta’ala telah meletakkan batu pondasi Silsilah (mata rantai gerakan) ini dengan tangan-Nya sendiri.”[2]
Jadi, penyelenggaraan Jalsah-jalsah di dunia bukan hanya untuk mengumpulkan orang-orang, melainkan merupakan bukti kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud as; ia merupakan bukti kebenaran Jemaat Ahmadiyah; ia merupakan dalil sempurnanya nubuwatan Hadhrat s.a.w. dengan cara yang sangat agung; dan ia juga merupakan dalil sempurnanya firman Allah Ta’ala وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ dengan tanda-tanda yang paling cemerlang.
Kata-kata Hadhrat Masih Mau’ud, “Batu pondasi Jemaat ini telah Allah Ta’ala letakkan dengan tangan-Nya sendiri” bukan hanya kata-kata semata, melainkan saat ini, kata-kata ini memperlihatkan pemandangan dukungan dan pertolongan Allah Ta’ala terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as di setiap terbitnya hari yang baru.
Orang-orang meminta bukti kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalatu was salaam. Jika mata mereka tidak tertutup, andai tidak ada tutupan pada hati dan akal mereka, maka penyelenggaraan Jalsah-jalsah yang berlangsung di berbagai penjuru dunia ini merupakan bukti yang sangat besar atas kebenaran beliau as. Yakni, jalsah yang 123 tahun lalu diselenggarakan di sebuah kampung kecil di Qadian ini, sekarang diselenggarakan di seluruh benua. Diselanggarakan di benua-benua di dunia, dilaksanakan di kota besar di benua dan di negara yang jaraknya ribuan mil dari sana (Qadian). Ribuan laki-laki, perempuan, dan anak-anak ikut serta di dalamnya.
Sekitar satu bulan yang lalu, Jalsah ini telah diselenggarakan di ibu kota negara [Inggris] yang dalam jangka waktu lama telah memerintah India, dimana beberapa pegawai dan pendetanya telah mengadakan persidangan-persidangan atas Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau juga di tarik ke pengadilan. Tetapi saat ini, para pegawai dan pemimpin pemerintahan di negeri itu, bahkan para pendetanya tidak bisa tinggal diam tanpa mengakui bahwa pesan Jemaat Ahmadiyah merupakan pesan untuk menyatukan bangsa-bangsa dan orang-orang di dunia. Pesan cinta, kasih sayang, dan persaudaraan, dan hendaknya pesan ini disebarkan ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, Amerika, yang dianggap negara yang memiliki kekuatan besar di dunia, para petinggi pemerintahannya juga datang ke Jalsah kita, dan melalui kesan pesannya mengatakan bahwa mereka mengetahui pesan sejati Islam dari Jemaat Ahmadiyah. Jadi, Jalsah ini menjadi sarana kemajuan dalam ilmu, jasmani dan ruhani bagi orang-orang Ahmadi. Seharusnya memang demikian. Juga untuk memperkenalkan orang ghair Ahmadi akan keindahan-keindahan Islam, sehingga menyempurnakan kata-kata Hadhrat Masih Mau’ud dengan sangat agung, bahwa Jalsah ini murni berdasarkan dukungan Allah Ta’ala, berdasarkan keluhuran kalimah Islam, dan untuk meninggikan nama Islam, juga merupakan sarana untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang paling tinggi dan paling mulia.
Jadi, ketika pada zaman sekarang ini orang-orang ghair juga mengakui keindahan Islam yang ditampilkan oleh Jemaat Ahmadiyah — yang merupakan Islam hakiki, dan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an al-Karim — maka tidakkah seorang Ahmadi menyadari bahwa tanggung jawabnya hendaknya meningkat lebih dari sebelumnya? Dari segi ini, tanggung jawab seorang Ahmadi meningkat beberapa kali lipat, yakni hendaklah dengan mengikuti Jalsah ini mereka menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan ilmu, amal, keyakinan, dan hubungan keruhanian mereka beberapa kali lipat.
Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan mengenai tujuan-tujuan Jalsah, “Setelah ikut serta di dalamnya jadilah kalian contoh dalam hal ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Hendaklah Jalsah ini menimbulkan rasa takut kepada Allah di dalam diri kalian. Jadilah kalian contoh bagi orang lain dalam hal kelembutan hati, kecintaan, dan persaudaraan. Tegakkanlah suatu contoh persaudaraan. Ciptakanlah kerendahan hati. Timbulkanlah di dalam diri kailan semangat dan gelora untuk mengkhidmati agama. Berusahalah untuk menciptakan hubungan yang hidup dengan Allah Ta’ala. Pada hari-hari Jalsah ini periksalah janji bai’at kalian, yang di dalam janji itu selain huququllah (hak-hak Allah) penting juga untuk menaruh perhatian terhadap huququl ‘ibad (hak-hak hamba).”
Beliau bersabda, “Apakah gunanya bagiku, orang-orang yang tidak memikul perintah-perintah agama dengan hati yang jujur.”[3]
Jadi, ini merupakan pekerjaan yang sangat besar bagi seorang Ahmadi. Hadhrat Masih Mau’ud as datang dengan misi yang sangat besar. Jika kita ingin menunaikan hak-hak bai’at kepada beliau dan menyempurnakan misi yang dibawa oleh beliau, maka kita juga harus memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran yang telah beliau berikan kepada kita. Kita harus berusaha untuk menyempurnakan harapan-harapan yang telah beliau harapkan dari kita. Jadi, janganlah kita menganggap bahwa dengan kita telah menjadi Ahmadi dan tujuan telah sempurna. Sekarang, setelah menjadi Ahmadi kita harus mencari hal-hal dan harapan-harapan yang Hadhrat Masih Mau’ud as inginkan dari kita. Jalsah ini 3 hari, karena dengan berkumpul bersama, ini merupakan hari-hari untuk lingkungan keruhanian. Oleh karena itu, pada hari-hari ini sambil secara khusus mencari dan mengambil manfaat dari program-program di sini, kita juga harus berusaha untuk menjadi seorang Ahmadi yang sejati, kita juga harus menginstrospeksi diri kita.
Saat ini saya akan menyebutkan beberapa perkara dari daftar perkara-perkara yang menuntun kita ke arah standar yang Hadhrat Masih Mau’ud harapkan dari kita. Saya akan mengemukakannya di hadapan Saudara-saudara. Beliau menjelaskan mengenai salah satu tujuan Jalsah, yakni agar di dalam hati orang-orang yang datang timbul ketakwaan. Apakah takwa itu? Mengenainya beliau as menjelaskan: “Takwa bukanlah sesuatu yang kecil. Dengannya bisa melawan seluruh syaithan yang menguasai seluruh kekuatan dan kemampuan dalam diri manusia. Pada kondisi nafs amarah, semua kekuatan ini merupakan syaithan di dalam diri manusia.”
Nafs ammarah adalah nafs yang berulangkali membawa manusia ke arah keburukan, bukannya menaati perintah-perintah Allah Ta’ala, justru menarik perhatian kepada hal tidak bermalu yang disebarkan syaithan di dunia. Memperlihatkan keburukan-keburukan nampak indah. [Hadhrat Masih Mau’ud] bersabda bahwa “Inilah syaithan [dalam diri manusia] yang setiap waktu terus menyesatkan kalian.”
Beliau bersabda bahwa inilah kekuatan-kekuatan manusia yang terus menerus menipu manusia. “Jika tidak diperbaiki, maka akan menjadikan manusia sebagai budak”. Beliau bersabda, “Ilmu dan akal pun jika digunakan dengan cara yang buruk, maka akan menjadi syaithan” — Sebagian orang bangga dengan ilmu dan akal mereka, kebanggaan ini menjadikan mereka syaithan, dan ilmu serta akal inipun menjadi syaithan — “Merupakan tugas seorang muttaqi untuk meluruskan kemampuan-kemampuan itu.” (Malfuzat jilid awal, hal. 21, Edisi 2003, Cetakan Rabwah)
Yakni harus meluruskan kemampuan-kemampuan yang didapatkan dari Allah Ta’ala, harus menggunakannya pada kesempatan yang benar dan dengan adil. Jika ini dilakukan, maka inilah takwa.
Kemudian beliau as bersabda, “Untuk Jemaat, kita secara khusus memerlukan takwa. Khususnya dengan pemikiran bahwa mereka menjalin hubungan dengan dan baiat kepada orang yang telah mendakwakan sebagai ma’mur (utusan). Agar orang-orang yang terjerumus dalam kebencian, kedengkian, dan kemusyrikan terselamatkan dari semua bencana itu.” (Malfuzhat jilid awal, hal. 7, edisi 2003, terbitan Rabwah)
Jadi, kendati telah baiat sekalipun, jika tidak ada perubahan suci maka tujuan yang yang untuk itu mereka baiat belumlah terpenuhi.
Pada suatu tempat, sambil memberikan penjelasan mengenai takwa dan memberikan nasehat kepada kita, beliau bersabda: “Hendaklah mereka menempuh takwa, karena takwa adalah sesuatu yang dapat dikatakan sebagai rangkuman dari pada syariat. Jika kita ingin menjelaskan syariat secara ringkas, maka intisari dari syariat adalah takwa. Ada banyak derajat dan tingkatan takwa. Tetapi jika dengan menjadi pencari [Tuhan] yang sejati dan menempuh tingkatan dan tahapan awal dengan istiqamah (teguh) dan tulus, maka karena jalan dan pencarian sejati tersebut ia akan mendapatkan derajat yang paling tinggi. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ — Allah Ta’ala mengabulkan doa orang-orang muttaqi (QS. Al-Maaidah: 28). Ini merupakan janji-Nya, dan janji-janji itu tidak akan diingkari.”
Allah Ta’ala tidak akan mengingkari janji. “Sebagaimana Dia berfirman: إِنَّ اللَّهَ لا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ ‘innAllaha laa yukhliful mii’aad’ – “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (QS. Ar-Raad’ : 32). Jadi dalam hal-hal dimana ketakwaan merupakan syarat yang tidak bisa dipisahkan untuk terkabulnya doa, maka alangkah bodoh dan dungunya orang-orang yang lalai dan tersesat tetapi mengharapkan pengabulan doa. Oleh karena itu, sejauh mungkin setiap orang dalam jemaatku mestilah melangkahkan kaki di jalan ketakwaan, agar memperoleh kebahagiaan sebagai hasil pengabulan doa dan mendapat bagian dalam peningkatan iman.”[4]
Kemudian beliau bersabda: “Hendaklah manusia menggunakan kekuatannya setiap waktu. Jika kekuatan yang diberikan kepada manusia ini ia gunakan maka sungguh ia dapat menjadi wali. Dengan sungguh-sungguh aku katakan bahwa di dalam umat ini muncul orang yang memiliki kekuatan besar, yang dipenuhi dengan nur kebenaran dan kesucian. Oleh karena itu janganlah ada orang yang menganggap dirinya kehilangan kekuatan itu. Apakah Allah Ta’ala telah menerbitkan suatu daftar yang dari daftar itu bisa dianggap bahwa kita tidak akan mendapatkan berkat-berkat itu?”
Yakni si fulan memperoleh dan kita tidak bisa memperolehnya, tidak ada daftar semacam itu.
Selanjutnya beliau bersabda, “Allah Ta’ala Maha Pemurah, kemahapemurahan-Nya seperti samudra sangat dalam yang tidak pernah bisa habis. Orang yang mengejar dan mencari-Nya tidak akan pernah luput tidak mendapatkan-Nya. Karena itu hendaklah kalian bangun pada waktu malam dan mintalah dalam doa dan mohonlah karunia-Nya. Dalam setiap shalat ada beberapa kesempatan untuk berdoa. Dalam rukuk, qiyam (berdiri), duduk, sujud, dan yang lainnya. Shalat ini dikerjakan 5 kali sehari semalam. Shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya. Selain itu, ada shalat isyraq dan shalat tahajjud. Ini semua adalah kesempatan-kesempatan untuk berdoa.”[5]
Dalam menjelaskan mengenai tujuan dan intisari shalat adalah doa, beliau as bersabda: “Tujuan dan intisari sebenarnya dari shalat adalah doa. Berdoa sangatlah sesuai dengan hukum qudrat Allah Ta’ala. Sebagai contoh: pada umumnya kita menyaksikan bahwa jika anak yang menangis dan memperlihatkan kegelisahan, maka sang ibu sedemikian rupa gelisah lalu menyusuinya. Seperti itu juga hubungan antara uluhiyyat dan ubudiyyat” – yakni seperti itu pulalah hubungan antara Allah dengan hamba-Nya.
Beliau bersabda “Tidak semua orang bisa memahami hal ini. Ketika seseorang merebah di pintu Allah Ta’ala, lalu dengan penuh kerendahan hati dan kekhusyukan ia mengemukakan keadaannya di hadapan-Nya dan memohon untuk keinginan-keinginannya, maka sifat Pemurah Allah Ta’ala akan tergerak dan orang itu akan dikasihani. Susu karunia dan kemurahan Allah Ta’ala juga menuntut adanya tangisan dan rintihan. Untuk itu, hendaklah memperlihatkan mata yang penuh tangis di hadapan-Nya.”[6]
Kemudian beliau bersabda bahwa sebagian orang berpikiran dengan tangisan dan doa-doa mungkin mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Dewasa ini, atheisme dengan sangat cepat mulai menimbulkan pemikiran semacam itu di dalam diri para pemuda dan sebagian orang.
Beliau bersabda: “Pemikiran sebagian orang bahwa dengan menangis di hadapan Allah Ta’ala tidak akan mendapatkan apa pun adalah sangat keliru dan bathil. Orang-orang semacam itu tidak beriman kepada keberadaan Allah Ta’ala dan Sifat-sifat kemahakuasaan-Nya. Jika dalam diri mereka terdapat keimanan, maka mereka tidak akan berani berkata seperti itu. Kapan pun ada orang yang datang ke hadapan Allah Ta’ala, dan ia kembali dengan taubat yang sejati maka Allah Ta’ala senantiasa memberikan karunia-Nya kepadanya. Sungguh benar perkataan seseorang (dalam bahasa Persia):
Pecinta macam apakah ini, yang kekasihnya bahkan tidak [khawatir] melihat keadaannya.
Wahai kawan! Rasa sakit pun tidak ada, padahal penyembuhnya ada.
Di dalam diri kalian tidak timbul perasaan sakit,
padahal Allah Ta’ala itu ada untuk menyembuhkan.”
Beliau bersabda: “Allah Ta’ala menghendaki agar kalian datang ke hadapan-Nya dengan hati yang suci. Syaratnya hanyalah jadikan diri kalian sesuai dengan-Nya, dan perubahan sejati yang dapat menjadikan seseorang hadir di hadapan Allah Ta’ala, perlihatkanlah perubahan itu di dalam diri kalian. Dengan sebenar-benarnya aku katakan kepada kalian bahwa Allah Ta’ala memiliki kekuasaan menakjubkan yang di dalamnya terdapat karunia dan berkat-berkat yang tiada berkesudahan. Tetapi, untuk melihat dan mendapatkannya ciptakanlah mata kecintaan. Jika ada kecintaan yang sejati, maka Allah Ta’ala sangat mendengar terhadap doa-doa dan Dia akan menolong.”[7]
Kemudian dalam menarik perhatian kepada sikap rendah hati beliau bersabda: “Syarat untuk seorang ahli takwa adalah hendaknya ia menjalani kehidupannya dalam kepapaan dan kemiskinan. Ini merupakan satu cabang takwa yang dengannya kita harus melawan kemarahan yang tidak jaiz (tidak benar atau tidak pada tempatnya). Tujuan akhir dari orang-orang arif bijaksana dan orang-orang shiddiq (benar) adalah terhindar dari kemarahan. Kebanggaan diri dan arogansi timbul dari kemarahan yang tak terkendali.” Yakni kesombongan dan takabur timbul dari kemarahan yang tak terkendali. “Demikian pula, kadangkala kemarahan yang tak terkendali itu timbul sebagai akibat dari kebanggaan diri dan kesombongan.” Yakni kemarahan juga timbul akibat sifat takabur dan karena takabur timbullah kemarahan.
Beliau as bersabda: “Karena ghadhab (kemarahan) ini timbul ketika seseorang menganggap dirinya lebih utama daripada orang lain, maka aku tidak menghendaki orang-orang dalam jemaatku menganggap satu sama lain lebih kecil atau lebih besar, atau saling menyombongkan diri satu sama lain, dan memandang dengan pandangan yang rendah. Allah Ta’ala mengetahui siapakah yang besar dan siapa yang lebih kecil. Ini merupakan satu macam penghinaan, yang di dalamnya terdapat cemoohan, dan dikhawatirkan cemoohan ini seperti biji yang tumbuh menjadi tunas lalu menjadi sebuah pohon. Seperti itulah cemoohan ini akan tumbuh, dan manakala cemoohan ini tumbuh berkembang maka ia akan membinasakan seseorang. Sebagian orang ketika bertemu dengan orang besar mereka menampilkan penghormatan yang luar biasa.”
Yakni jika bertemu dengan orang besar, mereka bersikap penuh hormat dan memperlihatkan akhlak yang sangat baik. “Tetapi orang besar adalah ia yang mendengarkan perkataan orang-orang miskin dengan rendah hati, membuatnya gembira, menghormati kata-katanya, tidak pernah mengeluarkan kata-kata meremehkan yang karenanya timbul rasa sakit. Allah Ta’ala berfirman: وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ — “Jangan panggil-memanggil dengan nama buruk. Seburuk-buruknya nama adalah fasik sesudah beriman, dan barangsiapa tidak bertaubat, mereka itulah orang yang aniaya.” (QS. Al-Hujurat : 12).
“Janganlah kalian memanggil satu sama lain dengan nama yang buruk, karena ini merupakan perbuatan fasiq” – adalah perbuatan orang yang telah melupakan agama dan orang yang telah menjadi sangat jauh [dari agama]. “Orang yang mengejek orang lain tidak akan mati sebelum ia sendiri mengalami hal serupa dengan ejekan itu. Janganlah menganggap saudara-saudara kalian hina. Manakala semua orang minum dari mata air yang sama, maka siapa yang tahu bahwa siapa yang memiliki nasib baik meminum lebih banyak [dari yang lain].” Yakni kita semua adalah hamba Allah, manakala semua orang mendapatkan karunia dari Allah Ta’ala, maka siapa yang tahu siapa yang mendapat karunia lebih banyak [dari yang lain].
“Kehormatan dan kebesaran tidak bisa didapat dengan asas-asas duniawi, menurut Allah Ta’ala, orang yang besar adalah orang yang bertakwa. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian – (QS. Al-Hujurat : 14).”[8]
Kemudian dalam suatu kesempatan, sembari memberikan nasehat kepada para anggota Jema’at beliau bersabda: “Allah Ta’ala tidak peduli kepada siapapun kecuali hamba-hamba yang shaleh. Ciptakanlah persaudaraan dan kecintaan satu sama lain. Tinggalkanlah perilaku biadab dan pertentangan. Hindarilah segala jenis ejekan dan olok-olok, karena memperolok-olok itu menjauhkan hati nurani manusia dari kebenaran dan mengantarkan menuju kearah keadaan yang ruwet. Perlakukanlah satu sama lain di antara kalian dengan hormat. Setiap orang harus mengutamakan ketentraman orang lain dari pada ketentramannya sendiri.”
Ini merupakan perkara yang sangat besar.
“Ciptakanlah suatu perdamaian sejati dengan Allah Ta’ala.” Yakni janganlah melawan Allah Ta’ala, perdamaian sejati dengan Allah Ta’ala adalah mengamalkan perintah-perintah-Nya dan memenuhi kewajiban beribadah kepada-Nya, serta memenuhi hak-hak hamba-hamba-Nya. “Kembalilah pada ketaatan kepada-Nya. Kemurkaan Allah Ta’ala sedang turun di bumi, dan orang yang selamat dari kemurkaan itu adalah orang yang secara sempurna bertaubat dari seluruh dosanya dan datang ke hadapan-Nya.
Kalian ingatlah! Jika kalian mengabdikan diri untuk memenuhi firman-Nya, dan berusaha untuk mendukung agama-Nya maka Tuhan akan menjauhkan seluruh penghalang dan kalian akan berhasil. Tidakkah kalian menyaksikan bagaimana petani mencabut dan melempar gulma (rumput pengganggu tanaman) demi tanaman-tanaman yang baik? Ia memperindah dan memelihara kebunnya dengan pepohonan dan tanaman-tanaman yang tumbuh dengan baik. Ia menghindarkannya dari setiap hal yang merusaknya. Tetapi terhadap pohon-pohon dan tanaman yang tidak menghasilkan buah dan mulai layu serta mengering, pemiliknya tidak peduli apakah ada hewan ternak yang datang dan memakannya atau ada penebang kayu yang memotong dan melemparkannya ke dalam tungku.
Demikianlah, kalian pun harus ingat, jika kalian ditetapkan di hadapan Tuhan sebagai orang yang benar, maka janganlah penentangan seseorang membuat kalian menderita. Jika kalian tidak memperbaiki keadaan kalian dan tidak mengikat janji sejati untuk menaati Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala tidak akan peduli. Setiap hari ada ribuan domba dan kambing yang disembelih, tetapi tidak ada yang mengasihaninya. Tetapi jika seorang manusia dibunuh, maka dilakukan penyelidikan sedemikian rupa.”
Yakni jika ada seorang manusia yang dibunuh, maka dilakukan investigasi, dipertanyakan hukumnya. Tetapi jika ada hewan yang disembelih, tidak ada yang mengasihaninya.
“Jadi, jika kalian menjadikan diri kalian tidak berguna dan lalai seperti binatang liar maka kalian pun akan mengalami hal yang serupa [dengan hewan yang disembelih itu]. Hendaklah kalian termasuk ke dalam orang-orang kesayangan Tuhan agar tidak ada wabah atau bencana yang berani menyentuh kalian. Karena tidak ada sesuatu yang dapat terjadi tanpa seizin Allah Ta’ala.
Singkirkanlah setiap pertengkaran dan permusuhan di antara kalian, karena sekarang ini adalah waktu kalian untuk berpaling dari hal-hal yang rendah dan sibuk dalam pekerjaan-pekerjaan yang penting dan agung….Ini adalah wasiyatku. Ingatlah hal ini sebagai wasiyat. Sekali-kali janganlah kalian menggunakan keganasan dan kekerasan, melainkan buatlah setiap orang mengerti dengan kelembutan, kerendahan hati, dan akhlak.”[9]
Kemudian dalam menarik perhatian anggota Jemaat kepada kemajuan akhlak beliau as bersabda:
“Jadi, patutlah [anggota] Jemaatku agar mereka maju dalam akhlak mereka, karena terkenal [perkataan] الاستقامة فوق الكرامة. Al-istiqaamatu fauqal karaamah (keteguhan itu lebih tinggi dari pada karamah). Hendaklah mereka ingat, bahwa jika ada orang yang melakukan kekerasan terhadap mereka maka sebisa mungkin berikanlah jawaban dengan kelembutan dan kehalusan. Tidak perlu melakukan kekerasan dan pemaksaan untuk membalas dendam.”
Ini adalah sebuah pelajaran yang harus kita berikan kepada dunia bahwa ini adalah standar untuk menegakkan kedamaian di dunia, dan dunia kemudian akan menyukainya. Tetapi contoh-contoh amalan kita juga hendaknya seperti demikian.
Bersabda: “Di dalam diri manusia terdapat nafs juga. Ada 3 macam nafs: ammarah, lawwaamah, dan muthmainnah. Dalam kondisi nafs ammarah, manusia tidak bisa mengendalikan hasrat-hasrat dan dorongan-dorongan pribadinya.”
Seperti telah saya katakan sebelumnya, ia keluar dari pertimbangan akal dan keadaan akhlaknya terpuruk.
“Tetapi dalam kondisi lawwamah, ia dapat mulai mengendalikan dirinya.” Berulangkali hati mengutuk karena ia telah melakukan keburukan.
“Saya teringat sebuah hikayat yang telah Saadi tulis dalam bukunya, Bostan. Yakni seekor anjing telah menggigit seorang suci. Ia sampai di rumah, maka orang rumah melihat bahwa anjing telah menggigitnya. Ada juga seorang gadis kecil yang polos. Ia bertanya, ‘Mengapa Tuan tidak menggigit balik anjing itu?’ Sang suci menjawab, ‘Nak, manusia itu tidak seperti anjing.’ Oleh karena itu, bila ada yang mencaci-maki dengan buruk, setiap mukmin haruslah berpaling darinya. Jika tidak, maka akan menjadi benarlah contoh mengenai tindakan manusia yang menyerupai anjing tersebut. Orang-orang yang dekat dengan Tuhan dicaci maki dengan luar biasa, diganggu dengan cara yang sangat buruk, tetapi mereka diperintahkan untuk berpaling, وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ , — dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS. Al-‘Araaf : 200).
Insan kamil, yakni Nabi kita Muhammad saw sendiri dianiaya dengan cara yang sangat buruk, beliau dicaci maki, dihina, dan dicemoohkan, tetapi apa yang dilakukan oleh pribadi yang merupakan perwujudan khulq (akhlak luhur) itu untuk menghadipinya? Beliau berdoa untuk mereka. Dan karena Allah Ta’ala telah berjanji bahwa jika beliau menghindari orang-orang yang jahil, maka Dia akan menyelamatkan kehormatan serta jiwa beliau, dan orang-orang gelandangan jalanan ini tidak akan bisa menyerang beliau, oleh karena itu demikianlah yang terjadi, yakni para penentang beliau tidak dapat merusak kehormatan beliau dan mereka sendiri yang terhina kemudian tersungkur di kaki beliau atau hancur di hadapan beliau.
Pendek kata, ini adalah sifat lawwaamah yang memperbaiki manusia dalam dilema [antara kebaikan dan keburukan]. Dalam kejadian sehari-hari, jika ada orang bodoh (jahil) yang mencaci maki, atau ada orang yang melakukan keburukan, maka sejauh mana orang-orang itu dihindari, dengan itu kalian akan menyelamatkan kehormatan, dan sejauh mana kalian melawannya maka kalian akan hancur dan akan mengalami kehinaan.
Dalam kondisi nafs muthmainnah (jiwa yang tentram) manusia menjadi pemilik kebaikan. Ia menjadi terputus dengan dunia dan seluruh perkara selain Allah Ta’ala. Ia berjalan di bumi dan bertemu dengan orang-orang dunia, tetapi pada hakikatnya ia tidak ada di dunia ini, tempatnya berada adalah dunia yang lain, langit dan bumi di sana adalah langit dan bumi yang berbeda.” (Malfuzat jilid awal, hal. 64, edisi 2003, terbitan Rabwah)
Hadhrat Masih Mau’ud as datang untuk menciptakan langit baru dan bumi baru ini. Jadi jika setiap orang di antara kita dapat mengendalikan dirinya maka dimana kita mengembangkan hubungan-hubungan kita, kecintaan, dan kasih-sayang, tentu kita juga akan menjadi pembuka jalan-jalan pertablighan.
Dengan sangat menyesal terpaksa saya katakan, bahwa sebagian orang mulai bertengkar dan berselisih karena hal yang sepele. Peristiwa-peristiwa ini terjadi juga ketika Jalsah. Semua hal ini merusak kesucian Jalsah. Dari sini pun datang pengaduan kepada saya bahwa beberapa orang meninggalkan tempat Jalsah menuju tempat parkir dan di sana terjadi pertengkaran dalam persoalan pribadi, keluarga, dan urusan bisnis. Terjadi perselisihan karena hal tersebut. Mereka telah merusak lingkungan Jalsah yang suci.
Ketika mereka keluar, mereka lupa untuk apa mereka datang [ke Jalsah] dan setelah melakukan apa mereka pergi. Karena itu, ingatlah selalu bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as tidak hanya menekankan untuk bersabar dan menahan diri di hadapan orang-orang ghair, melainkan di antara sesama juga. Al-Qur’an al-Karim menyatakan : رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ – yakni “biasakanlah berkasih sayang dan saling mencintai di antara kalian juga”, tingkatkanlah itu lebih dari pada sebelumnya, dan lakukanlah itu lebih dari pada orang lain. Penekanan yang sangat besar telah diberikan kepada hal ini. Dari segi ini juga, hendaklah setiap orang dari kita terus menerus menginstrospeksi dirinya.
Kemudian sambil memberikan kabar suka kepada orang-orang yang setelah bergabung dengan Jemaat beliau, mereka berusaha keras untuk mengamalkan ajaran beliau, beliau as bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an al-Karim وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ . — dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang yang ingkar hingga hari kiamat. (QS. Ali-Imran: 56). Janji yang memberikan ketentraman ini diberikan kepada Isa ibnu Masyam yang lahir di Nazaret. Tetapi aku sampaikan kabar gembira kepada kalian bahwa kepada Ibnu Maryam yang datang dengan nama Isa Almasih pun Allah Ta’ala telah memberikan kabar suka dengan kata-kata itu juga. Sekarang kalian renungkanlah, orang-orang yang menjalin hubungan denganku dan ingin termasuk ke dalam janji agung ini, apakah bisa di antara orang-orang yang berada dalam tingkatan nafs ammarah dan menempuh jalan-jalan fasiq dan jahat? Tidak, sama sekali tidak.
Orang yang benar-benar menghargai janji Allah Ta’ala tersebut, dan tidak menganggap perkataanku sebagai dongeng, maka hendaklah ingat dan dengarkanlah dengan hati, sekali lagi aku katakan kepada orang-orang yang menjalin hubungan denganku, dan hubungan itu bukan hubungan yang biasa, melainkan hubungan yang sangat kuat, dan hubungan itu tidak hanya dengan pribadiku melainkan sampai juga kepada Wujud Yang telah menyampaikanku kepada Insan kamil [Nabi Muhammad saw.] yang telah datang untuk membawa ruh dan jalan kebenaran.
Aku mengatakan, bahwa jika pengaruh dari hal-hal itu sampai kepada diriku maka sedikitpun aku tidak merasa khawatir dan tidak pula peduli. Tetapi tidak cukup sampai di sini, pengaruhnya sampai juga kepada Nabi Karim s.a.w. dan kepada Dzat Allah Ta’ala Sendiri.
Jadi, dalam kondisi itu kalian dengarkanlah dengan seksama bahwa jika kalian ingin termasuk ke dalam kabar suka tersebut, berharap menjadi penggenapannya, dan di dalam diri kalian terdapat rasa haus sejati akan keberhasilan besar itu — (yakni, senantiasa unggul atas orang kafir hingga hari kiamat) — maka aku katakan bahwa keberhasilan ini tidak akan diperoleh sebelum kalian melewati nafs lawwaamah dan sampai ke menara nafs muthmainnah. Aku tidak mengatakan hal lain lebih dari itu. Kalian menjalin hubungan dengan orang yang merupakan ma’mur minallaah (utusan Allah). Karena itu dengarkanlah perkataannya dengan mata hati kalian dan berusaha keraslah untuk mengamalkannya agar kalian tidak termasuk ke dalam orang-orang yang setelah berikrar kemudian mereka terjatuh dalam kotornya keingkaran lalu mereka membeli azab yang abadi.”[10]
Kemudian beliau bersabda: “Mengharapkan ishlah (perbaikan) dari Allah Ta’ala dan mempergunakan kemampuan [untuk perbaikan itu] merupakan jalan keimanan. Tertera dalam hadits syarif bahwa orang yang mengangkat tangannya untuk berdoa dengan penuh keyakinan, Allah Ta’ala tidak akan menolak doanya. Karena itu memohonlah kepada Allah Ta’ala, mohonlah dengan keyakinan dan niat yang benar.
Nasihatku selanjutnya adalah tunjukanlah akhlak yang yang baik dan tunjukanlah karamah kalian. Jika ada yang mengatakan bahwa ia tidak ingin menjadi karamah (keramat/mulia) maka ingatlah bahwa syaithan telah menipunya. Karamah maksudnya bukanlah membanggakan diri dan sombong. Dengan karamah, orang-orang mengetahui kebenaran dan hakikat agama Islam dan mendapatkan hidayah (petunjuk). Kemudian aku katakan kepada kalian bahwa membanggakan diri dan sombong tidaklah termasuk ke dalam karamah akhlak. Ini adalah keragu-raguan yang dibisikkan oleh syaithan. Lihatlah, jutaan umat Islam yang nampak di berbagai bagian dunia, apakah mereka menjadi Islam karena tajamnya pedang dan pemaksaan? Tidak, ini sangat keliru. Pengaruh dari karamah Islam itulah yang telah menarik mereka. Karamah terdiri dari berbagai macam dan jenis. Salah satu di antaranya adalah karamah akhlak, yang berhasil di setiap medan.”
Yakni menunjukkan akhlak yang baik, akan menjadi karamah.
“Mereka yang masuk Islam adalah semata-mata karena menyaksikan karamah orang-orang yang bertakwa, dan mendapat pengaruh dari itu. Mereka melihat Islam dengan pandangan agung, bukan karena melihat pedang. Para peneliti besar Inggris telah menerima hal ini, bahwa ruh kebenaran Islam yang kuatlah yang memaksa orang-orang dari bangsa lain untuk masuk Islam.”[11]
Jadi, jika amalan sesuai dengan ajaran [Islam]. Jika setiap perkataan dan perbuatan kita sesuai dengan ajaran Al-Qur’an al-Karim, seperti yang dikehendaki oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dari diri kita, maka ini akan menjadi suatu sarana tabligh yang sangat besar. Hanya dengan banyaknya jumlah orang Pakistan dan beberapa orang Fiji di sini, Ahmadiyah tidak akan tersebar. Untuk bertabligh kepada orang-orang lokal juga Saudara-saudara harus menjadikan amalan Saudara-saudara sedemikian rupa sehingga timbul perhatian orang-orang kepada kita. Inipun merupakan salah satu tujuan besar dari diselenggarakannya Jalsah. Jadi, kemajuan dalam ketakwaan, memperlihatkan akhlak luhur, hubungan dengan Allah Ta’ala, perhatian kepada doa dan shalat, ini adalah hal-hal yang akan memberikan manfaat kepada para anggota Jemaat, baik secara individu ataupun secara kolektif, dimanapun Jemaat berada.
Setiap orang yang berusaha untuk memperoleh standar inilah yang akan ikut serta dalam kemajuan Jemaat. Introspeksilah diri Saudara-saudara dalam hari-hari di lingkungan Jalsah ini. Setiap Ahmadi harus menginstrospeksi dirinya sejauh mana ia berusaha untuk menyempurnakan nasehat-nasehat dan harapan-harapan Hadhrat Masih Mau’ud as. Setiap Ahmadi juga harus berusaha untuk mengamalkan nasehat itu dan menjadi pewaris doa-doa yang dipanjatkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as untuk Jemaat beliau. Perbanyaklah berdoa dalam hari-hari ini, bersyukurlah atas kebaikan (ihsan) Allah Ta’ala karena Dia telah memberikan taufik kepada kita untuk mengikuti Jalsah dan dengan demikian Dia memberikan kesempatan lagi kepada kita untuk memperbaiki diri.
Berdoalah agar kita tidak termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mendapat bagian dari karunia Allah Ta’ala, melainkan termasuk ke dalam orang-orang yang memperoleh karunia-karunia Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita sehingga pada hari-hari Jalsah ini kita bisa mengambil karunia sebanyak-banyaknya dan menjadi pewaris doa-doa Hadhrat Masih Mau’ud as.
Setelah shalat saya juga akan mengimami shalat jenazah gaib. Yakni untuk jenazah Mukaromah Sahibzaadi Amatur Rasyiid Begum Shahibah yang merupakan putri dari Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiallaahu Ta’ala anhu dan Sayyidah Amatul Hayi Begum. Beliau adalah istri dari almarhum Muhtarom Mian Abdur Rahiim Ahmad Shahib. Beliau wafat pada tanggal 30 September di Maryland, dalam usia 95 tahun. Innaa lillahi wa inna ilaihi rooji’uun.
Beliau adalah cucu Hadhrat Masih Mau’ud as dan putri dari Hadhrat Mushlih Mau’ud ra, saudara perempuan Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsalits dan Khalifatul Masih ar-Raabi’. Beliau adalah bibi saya dari pihak ibu.
Beliau memiliki hubungan keluarga dengan Khalifah awal sampai Khalifah yang sekarang. Sebelumnya pun beliau memiliki hubungan yang penuh kasih-sayang dengan saya. Kemudian ketika Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi menunjuk saya sebagai Amir Maqami dan Nadzir A’la, maka pada waktu itu selain kasih-sayang beliau juga meningkatkan penghormatan.
Setelah saya menjadi Khalifah, maka suatu corak yang sangat menakjubkan timbul dalam hubungan ini, sehingga saya menjadi takjub. Beliau adalah seorang perempuan yang sangat ramah dan berakhlak luhur. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau.
Nashirat merupakan [nama organisasi] anak-anak perempuan Ahmadi. Beliau juga memiliki jasa atas mereka yang tercatat dalam sejarah Ahmadiyah. Pada tahun 1939 Majlis Nashiratul Ahmadiyah telah didirikan untuk anak-anak perempuan Ahmadi. Sadr atau pengawas yang pertama kali adalah Muhtaramah Maimunah Shufiyah Shahibah dan Sekretarisnya adalah Shahibzaadi Amatur Rasyiid Shahibah. Beliau adalah orang yang menggerakkan [pendirian Majlis Nashiratul Ahmadiyah] ini. Beliau mengatakan, “Ketika saya belajar di kelas agama, muncul ide dalam benak saya bahwa sebagaimana untuk ta’lim (pendidikan) bagi perempuan telah didirikan Lajnah Imailah, maka untuk anak-anak perempuan Ahmadi pun hendaknya ada suatu organisasi. Karena itu saya menyampaikan keinginan ini kepada istri dari Malik Saifur Rahman Shahib dan istri dari Muhtarom Hafidz Basyiruddin Ubaidillah Shahib dan juga kepada saudara-saudara perempuan sekelas. Kami bertemu dan membentuk sebuah Anjuman untuk anak-anak perempuan Ahmadi, yang dengan persetujuan Hadhrat Khalifatul Masih Ats-tsani dinamakan Nashiratul Ahmadiyah.”
Bahkan ketika sedang ada pertemuan untuk majlis ini, Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani lewat. Beliau bertanya, “Ini pertemuan apa?” Shahibzaadi Amatur Rasyiid Shahibah menjawab, “Ini adalah [pertemuan] untuk organisasi Lajnah muda.” Beliau mengatakan, “Tidak! [hendaknya namanya bukan organisasi Lajnah muda].” Maka pengajar memohon ijin untuk gerakan ini, kemudian secara formal Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani mengusulkan nama Nashiratul Ahmadiyah, maka berdirilah organisasi ini.”
Semua orang mengatakan bahwa beliau adalah seorang yang sangat sederhana dan perhatian terhadap orang miskin. Sifat pelayanan terhadap tamu sangatlah kentara, khususnya pada saat Jalsah. Beliau biasa menyediakan seluruh rumah beliau untuk para tamu. Beliau sendiri dengan seluruh keluarga beliau pindah ke toko. Bahkan kadang-kadang saya melihat beliau tidak pindah ke toko, beliau menyerahkan seluruh rumah untuk para tamu dan beliau dan keluarga mendirikan tenda di luar.
Beliau berusaha keras untuk melayani para tamu, dan ini merupakan sifat beliau yang luar biasa. Beliau melayani semua tamu tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin. Beliau sangat memperhatikan orang miskin. Beliau menghadapi mereka dengan sangat gembira. Beberapa dari antara anak-anak yang beliau rawat mengatakan bahwa mereka diperlakukan seperti anak kandung. Mereka dimasukkan ke sekolah-sekolah yang baik untuk mendapatkan pengajaran, merawat mereka dengan baik di rumah, memakaikan pakaian yang baik, dan beliau memperhatikan makanan mereka. Beliau mengatur pernikahan untuk beberapa gadis yatim piatu. Bagaimanapun, saya melihat sedikit sekali yang seperti beliau dalam hal perhatian terhadap orang miskin. Jika beliau mengambil tanggung jawab untuk merawat seseorang yang yatim atau miskin, maka beliau menempatkan mereka seperti anak-anak beliau sendiri.
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau dan memperlakukan beliau dengan pengampunan dan kasih-sayang. Anak-anak beliau terdiri dari 3 orang putri dan satu orang putra, yaitu Dr. Zahiruddin Manshur. Semuanya di Amerika. Semoga Allah Ta’ala juga menganugerahkan taufik kepada anak-anak beliau untuk berjalan mengikuti jejak ibu dan ayah mereka dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan.
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Majmu’ah Isytiharaat, Jilid awal, hal. 261-262, Selebaran no. 91, Cetakan Rabwah
[3] Majmu’ah Isytiharat, jilid awal, hal. 363, selebaran nomor 117, penundaan jalsah 17 Desember 1893, Cetakan Rabwah
[4] Malfuzat jidil awal, hal. 68, edisi 2013, terbitan Rabwah
[5] Malfuzat jilid awal, hal. 233-234, edisi 2003, terbitan Rabwah
[6] Malfuzat jilid awal, hal. 234, edisi 2013, terbitan Rabwah
[7] Malfuzat jilid awal, hal. 234, edisi 2003, terbitan Rabwah
[8] Malfuzat jilid awal, hal. 22-23, edisi 2003, terbitan Rabwah
[9] Malfuzat, jilid awal, hal. 174-175, edisi 2003, terbitan Rabwah
[10] Malfuzat jilid awal, hal. 64-65, edisi 2003, terbitan Rabwah
[11] Malfuzat jilid awal, hal. 92, edisi 2003, terbitan Rabwah