Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 05 Februari 2016 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
“Assalamu-Alaikum wa Rahmatullah”
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Pada masa Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, ada seseorang yang menyampaikan ceramah pada kesempatan Jalsah bahwa satu-satunya perbedaan Silsilah (Jemaat) Hadhrat Masih Mau’ud as dengan golongan-golongan lainnya dari umat Muslim ialah orang-orang lain meyakini Al-Masih ibnu Maryam (Yesus) naik ke langit dalam keadaan hidup sementara kita meyakini beliau meninggal secara alami. Namun ceramahnya ini tidak menjelaskan tujuan kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud as. Meski dalam keadaan yang kurang sehat, Hadhrat Masih Mau’ud as membuat sebuah pidato untuk menjelaskan secara sempurna mengenai perkara ini pada 27 Desember 1905. Beliau bersabda bahwa kedatangan beliau as tidak hanya bertujuan memperkarakan hidup dan matinya Yesus as namun juga mengandung banyak faktor lainnya.[1]
Beliau as menjelaskan secara rinci mengenai perkara-perkara yang telah menyebabkan kejatuhan umat Islam ini dan untuk mengadakan perbaikan terhadap hal itulah maka beliau as telah diutus. Satu diantaranya ialah menghindari kedustaan dan menegakan kejujuran. Beliau as menasehati Jemaat agar meningkatkan tingkat kejujuran seraya menambahkan tidak cukup hanya dengan mengimani beliau as saja. Ketika pesan Hadhrat Masih Mau’ud as yang terkandung dalam sabda-sabda beliau as disampaikan [pada kesempatan khotbah jumat ini], maka mereka yang belum memenuhi tolok ukur yang diinginkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as tentu akan memeriksa dirinya secara adil.
Allah Ta’ala menjelaskan tanda hakiki orang beriman dalam Al-Quran, وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ “Dan yang tidak memberikan kesaksian palsu …” [Al-Furqan, 25:73] Syirik dan dusta telah disebut bersamaan dalam Al-Quran seolah-olah dusta itu dosa yang sama besarnya dengan syirik! Kata الزُّورَ pada ayat tersebut menunjuk pada dusta. Kata itu berarti dusta, pernyataan palsu, saksi dusta, menyekutukan Allah, majelis-majelis atau tempat-tempat kedustaan merajalela, kumpulan orang yang bernyanyi dan bermalas-malasan, pencarian yang tidak keruan. Para hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala tidak berkata bohong dan tidak menghadiri tempat-tempat kedustaan dan kesembronoan biasa terjadi, tidak pula pergi ke tempat-tempat berlangsungnya penyembahan berhala dan tidak memberikan kesaksian palsu. Mereka yang menghindari segala situasi ini merupakan mukmin sejati.
Dalam khotbahnya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa penyebab timbulnya perselisihan dalam umat Islam adalah kecintaan terhadap duniawi. Jika tujuan mereka ridha Allah Ta’ala, dengan mudah sudah bisa memahami keyakinan manakah yang benar dari semua sekte yang ada serta akan mengikutinya. Namun demikian, bagaimana orang-orang yang tidak mengikuti jejak langkah Hadhrat Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini dapat dipanggil sebagai Muslim? Allah telah berfirman: قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ Katakanlah, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, kemudian Allah Ta’ala akan mencintai dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan, Allah Ta’ala Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imran, 3:32]
Namun, apabila urusan dunia lebih diutamakan, apakah hal tersebut termasuk mencintai Allah dan mengikuti Hadhrat Rasulullah saw? Apakah Hadhrat Rasulullah saw merupakan seorang yang materialis? Apakah beliau saw memakan riba? Apakah Nabi saw tidak peduli dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban dan menjalankan perintah-perintah Allah? Apakah dalam diri beliau saw ada kemunafikan dan mudahanah (mengiya-iyakan saja akidah yang bertentangan) والعياذ بالله? Apakah beliau saw mendahulukan kepentingan dunia diatas kepentingan agama? Hendaknya segala perkara ini direnungkan.
Makna mengikuti Hadhrat Rasulullah saw ialah mengikuti teladan beliau saw, (yang mengutamakan agama diatas duniawi, bukan sebaliknya). Lalu perhatikanlah bagaimana karunia Allah Ta’ala senantiasa turun dengan mengikuti beliau saw. Perhatikanlah! bagaimana Allah Ta’ala telah mengubah kehidupan para sahabat Hadhrat Rasulullah saw yang menapaki teladan itu. Mereka telah membuang dunia di belakang punggungnya, kosong dari cinta padanya dan menghentikan ambisinya. Bandingkan keadaan kalian dengan keadaan mereka; apakah kalian melakukan apa yang mereka lakukan? Sayangnya, alangkah sayangnya orang-orang di zaman ini tidak memahami apa-apa yang diinginkan Allah. “رأس كل خطيئة” (induk semua kesalahan, yaitu ketamakan duniawi) menghasilkan banyak anak-anaknya lagi. Misalnya, ada seseorang yang menghadiri pengadilan dengan berpikiran tidak apa-apa memberikan kesaksian palsu dalam berbagai kasus dengan imbalan sejumlah kecil uang. Apakah para pengacara bisa mengatakan segala persaksian yang mereka berikan di berbagai kasus pengadilan itu benar?[2]
Hadhrat Khalifatul Masih II ra telah menyebutkan sebuah peristiwa yang diceritakan oleh Mirza Sultan Ahmad, seorang hakim. Kenalannya membawa saksi-saksi bayaran ke pengadilan. Bagaimana para saksi itu bercerita seolah-olah menyaksikan sendiri kejadiannya. Bagaimana mereka berdusta di hadapanya padahal bersumpah demi Allah sembari memegang Al-Qur’an. Setelah mereka bersaksi, Mirza Sultan Ahmad berkata kepada mereka, “Tidakkah kalian malu bersaksi dusta sambil memegang Al-Qur’an?”[3]
Beginilah juga keadaan di pengadilan yang menentang Jemaat tatkala dihadirkan di sana saksi-saksi palsu. Situasi tersebut sangat rentan dalam hal ini. Tidak hanya kesaksian dan pengadilan palsu saja yang dijalankan namun bahkan segala dokumen palsu juga dibuat dan dalam berbagai hal jauh dari kejujuran. Lalu apakah mereka, yang berpendapat misi [Hadhrat Masih Mau’ud as] ini tidak diperlukan, bisa mengatakan inilah ajaran yang dibawa oleh Hadhrat Rasulullah saw? Allah Ta’ala telah menyebut kedustaan sebagai hal yang jijik dan telah menyamakannya dengan penyembahan berhala. Difirmankan: فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ “… jauhilah kenajisan berhala, dan jauhilah ucapan-ucapan dusta …” [Al-Hajj, 22:31]
Sebagaimana halnya mereka yang kurang akal meninggalkan Allah Ta’ala dan berpaling pada penyembahan berhala, demikian pula, mereka yang menghindari kejujuran berarti menyandarkan diri pada kedustaan. Inilah mengapa Allah Ta’ala telah menghubungkan penyembahan berhala dengan kedustaan. Sebagaimana seorang penyembah berhala mencari keselamatan dari berhala-berhala, orang yang bergantung pada kedustaan juga mencari jalan penyelesaian masalah melalui dusta. Orang-orang berkata, “Bagaimana kami dapat meninggalkan kedustaan. Tidak mungkin selamat tanpa kedustaan.” Namun Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa hanya kejujuran yang membawa seseorang kepada kesuksesan.[4]
Hadhrat Masih Mau’ud as meriwayatkan pengalaman pribadi beliau. Seorang pengacara Kristen bernama Ralya Ram mengajukan suatu kasus ke pengadilan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau as telah menulis suatu karangan lalu mengirimkan naskah tersebut ke tempat percetakan. Di dalamnya juga ada sepucuk surat yang dialamatkan kepada manajer percetakan yang berisikan beberapa petunjuk.
Sesuai aturan kantor pos, memasukan sebuah surat ke dalam suatu paket termasuk suatu pelanggaran dan dikenakan denda 500 rupee atau dipenjara selama 6 bulan. Hadhrat Masih Mau’ud as tidak mengetahui adanya peraturan seperti itu. Setelah paket tersebut sampai, Ralya Ram langsung memberitahukan pihak berwenang di kantor pos mengenai masalah ini. Tuntutan ini pun diajukan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as yang sebelumnya telah bermimpi bahwa Ralya Ram mengirimkan beliau seekor ular berbisa, namun Hadhrat Masih Mau’ud as malah menggorengnya lalu mengirimkannya kembali kepadanya. Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan, pengacara Hadhrat Masih Mau’ud as menyarankan satu-satunya cara agar beliau terlepas dari hukuman tersebut dengan mengatakan beliau tidak meletakan surat di dalam paket tersebut namun sebaliknya Ralya Ram-lah yang telah memasukan surat tersebut. Rencana ini supaya Ralya Ram sendiri yang terlibat masalah. Hadhrat Masih Mau’ud as menolak saran itu dengan mengatakan kenyataannya beliau as sendiri yang telah memasukan surat tersebut ke dalam paket itu dan tidak akan menyangkalnya. Pengacara tersebut berkata kalau begitu beliau as tidak akan memiliki kesempatan untuk terbebas dari tuntutan tersebut. Namun beliau as menjawab biarlah apa yang akan terjadi tetapi beliau as tidak akan berhenti berkata jujur.
Hadhrat Masih Mau’ud as hadir di hadapan seorang hakim yang berkebangsaan Inggris. Selama pemeriksaan, hakim bertanya apakah Hadhrat Masih Mau’ud as telah meletakan surat ke dalam paket tersebut. Beliau as membenarkannya lalu berkata bahwa beliau as tidak tahu bahwa hal tersebut akan melanggar aturan kantor pos, dan tidak pula beliau berniat untuk menipu kantor pos. Seraya menjelaskan hal tersebut, beliau berkata bahwa beliau tidak menganggap surat tersebut terpisah dengan naskah tersebut. Kemudian, Allah Ta’ala membalikan hati sang hakim terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as. Meskipun pihak penuntut membuat pengajuan yang panjang, sang hakim tetap menolaknya dengan mengatakan, “No! No!” (tidak! tidak!), lalu secara hormat membebaskan Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau as bersabda, “Bagaimana saya dapat mengatakan tidak ada lagi cara lain selain kedustaan ketika pada kenyataannya tidak ada cara lain selain kejujuran.”[5]
Hadhrat Masih Mau’ud as merasakan kelezatan luar biasa ketika mengingat peristiwa tersebut bahwa beliau as menjalankan apa yang Allah Ta’ala perintahkan dan Allah Ta’ala memberikan kelonggaran bagi beliau as dengan suatu cara sehingga itu menjadi sebuah tanda! وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “…Dan, siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya.” [Ath-Thalaq, 65:4]
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa tidak ada hal yang seburuk kedustaan. Orang-orang duniawi mengatakan mereka yang berkata jujur berakhir dengan memperoleh hukuman. Beliau as bersabda, “Bagaimana saya dapat menerima hal tersebut karena saya telah melalui tujuh kasus pengadilan dan tidak dalam satu kasus pun saya menggunakan kedustaan. Tetapi dengan karunia-Nya, satu kali pun saya tidak kalah. Bagaimana Allah Ta’ala dapat menghukum seorang benar!”
Beliau as menjelaskan ketika beberapa orang dijatuhi hukuman karena berkata jujur, itu bukan karena kejujuran mereka. Namun, penyebabnya ialah perbuatan dosa atau kejahatan yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diketahui orang tapi tampak di pandangan Allah. Contohnya, Ghul Ali Syah, pengajar masa remaja beliau as suatu kali melihat Pratap Singh putra Syer Singh, muridnya, memukuli juru masaknya karena salah memberi bumbu masakan. Mempertanyakan hukuman tak setimpal itu, Pratap mengatakan juru masak itu telah memakan 100 kambingnya. Begitulah, tumpukan besar keburukan membuat seseorang tertangkap dan mendapat hukuman.
Mereka yang selalu mengikuti kejujuran tidak akan memperoleh kehinaan karena mereka berada dalam perlindungan Allah Ta’ala. Namun, kebaikan yang dilakukan secara tidak sempurna tidak akan memberikan manfaat dan amalan seseorang tidak akan memberikan buah yang diinginkan sebelum berkualitas paling sempurna. Amalan yang cacat tidak akan membuat Allah Ta’ala ridha.
Tentu, merupakan kekeliruan mengatakan kedustaan sangat diperlukan. Itu khayalan semata karena kurangnya pengetahuan rohani dan timbul dari kelemahan. Jika ada seorang yang membuat hanya beberapa jahitan di sebuah kain kasar, tidak dikatakan bahwa ia seorang penjahit dan tidak juga berarti ia dapat menjahit sebuah kain sutra halus. Kesalehan palsu tidak memberikan manfaat apapun. Sungguh, Allah Ta’ala tidak menyia-nyiakan kebaikan sekecil apapun yang didasarkan pada ketulusan: فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ “Maka siapa berbuat kebaikan seberat dzarrah, ia akan melihat hasil-nya” [Al-Zilzal, 99:8] Dengan demikian, ketika sesuatu tidak menghasilkan buahnya, itu karena kurangnya keikhlasan. Keikhlasan merupakan syarat bagi suatu amal shaleh: وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ “… Serulah Dia dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya …” [Al-A’raf, 7:30][6]
Hadhrat Masih Mau’ud as memberikan nasehat ini dengan rintihan yang luar biasa. Beliau as menginginkan bahwa terlepas dari keyakinan apakah Yesus itu akan kembali atau tidak ke dunia ini, yang terpenting ialah selamatkanlah diri kalian dari syirik dan ciptakanlah amalan seseorang sedemikian rupa sehingga tidak terdapat suatu tanda syirik sedikit pun. Beliau as menekankan untuk menegakan kejujuran dan membenci kedustaan. Setiap Ahmadi hendaknya merenungkan dan melihat sejauh mana telah sesuai dengan apa yang diharapkan. Apakah kita menggunakan kedustaan dalam berbagai kasus pengadilan? Ataukah kita berkata bohong demi meraih keuntungan? Apakah kita tidak berkata jujur pada saat perjodohan dan tidak mengikuti قولا سديدا atau tutur kata yang benar? Apakah kita menggunakan kedustaan untuk memperoleh tunjangan sosial atau kesejahteraan dari negara? Banyak yang berkesan negatif dalam hal ini. Mereka tidak menyebutkan pendapatannya agar memperoleh keuntungan dari negara supaya terbebas dari pajak. Hendaknya jelas, setiap pemerintahan mengalami berbagai permasalahan disebabkan tren keuangan yang menurun secara umum. Pemerintahan manapun yang mungkin tidak berada dalam kondisi demikian saat ini, akan berada dalam posisi ini di masa depan. Dengan demikian, banyak pemerintah sedang meneliti dengan cermat berbagai permasalahan ekonomi. Jika pemerintah melihat hal negatif mengenai hal ini (pajak) pada seseorang maka itu tidak hanya menciptakan kesulitan secara individu namun juga dapat menyebabkan citra negatif bagi Jemaat Ahmadiyah jika diketahui orang itu Ahmadi. Mereka yang menggunakan kedustaan demi tujuan-tujuan seperti itu hendaknya tidak memperhatikan keuntungan duniawi yang akan diperoleh namun juga berusaha mencari ridha Allah Ta’ala dengan cara menghindari kedustaan serta hidup sederhana.
Perhatikanlah supaya kedustaan tidak digunakan dalam pengajuan suaka. Tentu, para pengacara telah menghasut praktek-praktek demikian, sebagaimana yang pernah mereka katakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, “Berkatalah dusta! Atau sampaikan kesaksian dusta!” Para pengurus hendaknya juga mengintrospeksi diri apakah mereka mengirimkan laporan dengan benar atau tidak. Mereka tidak boleh berkata bohong namun apakah mereka juga senantiasa menjalankan ‘tutur kata yang benar’ dan mengatakan apa itu kebenaran yang nyata tersebut? Berbagai perkara hendaknya dihubungkan dengan ketakwaan.[7]
Setiap orang hendaknya mengaitkan berbagai perkara terlepas dari tujuan pribadinya, dari egonya, dan hanya takut kepada Allah Ta’ala. Jika tidak, maka sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as sabdakan bahwa segalanya hanya ungkapan kecintaan pada dunia! Dan hal ini membawa kepada perpecahan dan perselisihan sedangkan persatuan dan keserasian masyarakat, atau paling tidak dalam satu bagian kecil masyarakat menjadi hilang. Dan persatuan yang Hadhrat Masih Mau’ud as dirikan menjadi hilang. Islam terpecah menjadi beberapa sekte karena kecintaan kepada dunia dan hal ini juga bisa lebih lanjut membawa kepada perpecahan demikian. Dengan begitu, satu keburukan akan tumbuh menjadi banyak keburukan. Sebagai Ahmadi, kita memiliki tanggung jawab yang besar dan para Ahmadi sejati ialah mereka yang senantiasa berupaya untuk mengikuti teladan beberkat Hadhrat Rasulullah saw.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Hendaknya diingat dengan baik, siapa pun yang menjadi milik Allah Ta’ala, maka Dia menjadi miliknya. Dan tidak ada satu pun orang yang dapat menipu Allah Ta’ala. Sungguh bodoh jika seseorang berpikiran dapat menghindari Allah Ta’ala dengan kepura-puraan. Hal tersebut hanya menipu dirinya sendiri. Kecintaan dan keindahan duniawi merupakan asal berbagai pelanggaran. Hal tersebut telah membutakan manusia dan membuatnya lupa akan kemanusiaan dan ia tidak menyadari apa yang ia sedang lakukan dan apa yang hendaknya ia lakukan. Apabila manusia yang cerdas saja tidak tertipu oleh trik seseorang maka bagaimana mungkin Allah bisa ditipu?
Namun, akar perbuatan buruk tersebut ialah kecintaan terhadap dunia. Penyebab terbesar yang menimbulkan kehancuran bagi dunia Islam ialah dosa kecintaan terhadap dunia. Terlihat mereka terjerat dalam hal itu. Kecintaan terhadap dunia menjadi perhatian utama dan sebab kedukaan mereka dalam berdiri, duduk, tidur dan bangun mereka bahkan setiap momen dari malam dan siang tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah mereka mati dan masuk ke dalam kubur. Andai saja mereka takut akan Allah, niscaya pada mereka terdapat kepedulian dan kesedihan demi agama yang akan bermanfaat besar bagi mereka. Sa’di bersajak, ‘Andai saja Wazir takut akan Tuhan.’ Bagaimana para karyawan menunjukkan kerajinan dan kemajuan mereka dalam sebuah pekerjaan sederhana tapi ketika tiba waktu shalat, mereka lewatkan begitu saja dengan menatap air sejuk.
Mengapa terjadi hal-hal seperti ini? Itu terjadi karena di dalam hati mereka tidak terdapat keagungan Allah. Demikian ini terjadi karena hati mereka hampa dari keagungan terhadap Allah Ta’ala. Jika dalam hati mereka terdapat keagungan-Nya, niscaya kelalaian dan kemalasan pergi. Maka dari itu, hendaknya seseorang di dalam hatinya senantiasa meresapi keagungan Allah Ta’ala dan takut terhadap-Nya. Cengkeraman-Nya sangat keras. Memang, Dia senantiasa Pemaaf dan Pendamai namun ketika hendak menghukum, Dia sangat keras sebagaimana difirmankan: وَلا يَخَافُ عُقْبَاهَا “Dan Dia tidak takut akan akibatnya.” [Asy-Syams, 91:16] artinya, Allah tidak peduli bagaimana keadaan yang akan terjadi pada mereka yang menentang-Nya. Sebaliknya, mereka yang takut akan Tuhan dan meresapkan keagungan-Nya di dalam hati mereka, Allah akan memuliakan mereka dan menjadi perisai pelindung bagi mereka.
Disebutkan dalam Hadits, “من كان لله، كان الله له” ‘man kana liLlaahi, kanaLlahu lahu’ ‘Siapa yang menjadi milik Allah, Allah akan menjadi miliknya.’ Tapi, sayangnya, benar bahwa mereka yang mengarah ke hal itu juga dan ingin datang kepada Allah, sebagian besar ingin melihat hasil perbuatan mereka segera dengan mata mereka. Mereka yang ingin berpaling kepada Allah Ta’ala dan meraih qurb Ilahi senantiasa tergesa-gesa dan tidak menyadari perkara-perkara agama memerlukan kesabaran dan ketabahan. Orang-orang bekerja siang-malam demi tujuan-tujuan duniawi serta menunggu bertahun-tahun untuk melihat hasilnya namun dalam perkara agama, mereka ingin menjadi shaleh hanya dengan menghembuskan satu nafas saja dan segera ingin mencapai arsy yang luhur. Dan ini mereka lakukan tanpa adanya upaya keras dan tidak merasakan suatu kesulitan dan hambatan.”[8]
“Ingatlah! Itu bukanlah sunnah Allah dan ketetapan-Nya. Melainkan peningkatan kerohanian sungguh terjadi secara bertahap. Allah Ta’ala tidak senang seseorang hanya melalui kata-kata saja mengatakan, ‘Kami Muslim!’ atau ‘Kami orang beriman!’. Allah Ta’ala berfirman, أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ ‘Apakah manusia menyangka akan dibiarkan berkata, “Kami telah beriman” dan mereka tidak akan diuji?’ [Al-Ankabut, 29:3] Merupakan hal yang bertentangan dengan sunnah Allah Ta’ala bahwa seseorang dijadikan sebagai Wali-Nya hanya dengan satu nafas saja. Jika memang inilah sunnah Allah yang telah berlangsung maka pasti Nabi saw akan berlaku demikian dan menjadikan para Sahabat beliau sebagai pelaku pengorbanan demi Dia dan menjadi para Wali Allah dengan sekali tiupan nafas saja. Padahal mereka telah memikul ujian besar sampai-sampai ditargetkan dipenggal leher-leher mereka [oleh para penentang mereka], dan Allah Ta’ala berfirman, فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا ‘Diantara orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan sedikitpun tidak merubah (janjinya),’ (Surah Al-Ahzab, :24)
Beliau as bersabda, “Jika, pada kenyataannya pencapaian-pencapaian duniawi pun mustahil tanpa menanggung kesulitan dan bekerja keras, maka betapa sangat bodoh yang menganggap dalam hal agama pun dapat diraih dengan mudah! Memang benar, agama itu mudah dan memudahkan, tetapi setiap kenikmatan menuntut kerja keras. Namun, meski demikian, Islam tidak memberikan tuntutan yang sukar untuk dilewati. Perhatikanlah orang-orang Hindu sebagai contohnya! Betapa sulit dan keras yang terpaksa harus dilakukan oleh para Yogi dan Sanyasin mereka sampai-sampai punggung mereka dimatikan. Demikian pula kaum Kristen yang terdapat para Rahib. Islam tidak mengajarkan itu tetapi mengajarkan, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا Artinya, seseorang yang memperoleh keselamatan ialah yang menyucikan diri. [Asy-Syams, 91:10] Yaitu mereka yang demi Allah Ta’ala meninggalkan setiap jenis bid’ah, fisq-o-fujuur (kefasikan dan dosa) dan hasrat-hasrat pribadinya. Dan, ia meninggalkan kenikmatan-kenikmatan hawa nafsu dan memilih menanggung kesulitan-kesulitan di jalan Allah Ta’ala. Orang yang memilih mengutamakan Allah, meninggalkan dunia dan daya tariknya, niscaya akan selamat.”[9]
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita senantiasa menciptakan perubahan dalam amal perbuatan kita, memahami pentingnya kejujuran serta mendahulukan agama diatas urusan duniawi. Setelah mengambil baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, semoga kita tidak hanya sekedar kata-kata saja namun benar-benar memahami misi pengutusan beliau as, berupaya semaksimal mungkin mengikuti teladan terbaik Hadhrat Rasulullah saw, berusaha meraih ridha Allah Ta’ala dengan mengutamakan-Nya dibanding dengan semua hal lainnya. Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.
Setelah shalat Jumat dijamak dengan Ashar, saya hendak mengimami shalat jenazah gaib atas almarhum Tn. Qasim Toure, mubaligh kita di Pantai Gading. Beliau meninggal dunia pada 25 Januari 2016. إنا لله وإنا إليه راجعون Beliau masuk Jemaat pada 1986. Sebelum menerima Jemaat, beliau memimpin sebuah sekolah dan setelah baiat, beliau menghadiahkan sekolah itu pada Jemaat. Beliau lulus Jamiah Ahmadiyah pada 1990 dan setelahnya berkhidmat sebagai Muballigh setempat. Beliau berkhidmat 30 tahun (1986-1990). Beliau banyak menanam benih Ahmadiyah di kota-kota dan desa-desa di negaranya. Salah satu pengkhidmatan beliau ialah menerjemahkan Khotbah Jumat ke dalam bahasa setempat, Joola.
Muballigh Tn. Basit menjelaskan sifat-sifat baik almarhum yang diantaranya setia pada Khilafat, menyintai sabda Imam Mahdi dan mengamalkannya. Mempelajari bahasa Urdu dengan kegemaran baik sisi pembacaan maupun penulisan guna dimanfaatkan mempeljari buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud as. Dalam rangka itu beliau berkunjung ke Qadian. Beliau bergabung dengan Nizham Wasiat…beliau berperan besar menenangkan anggota ketika pada 2003 Hadhrat Khalifatul Masih IV rha wafat, terjadi kampanye penentang untuk pelemahan terhadap Jemaat…Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat almarhum dan mengaruniai keturunan beliau ikatan secara setia dengan Jemaat.
[1] Malfuzhat jilid 8, hal. 357-358, Edisi 1985, Terbitan UK
[2] Malfuzhat jilid 8, hal. 348-349, Edisi 1985, Terbitan UK
[3] Apne Ander Sachai, mihnad aur iitsar ke aushaf peda karo (Ciptakanlah dalam diri kalian kejujuran, ketekunan bekerja dan pengorbanan), Anwarul ‘Ulum, jilid 22, h. 291.
[4] Malfuzhat jilid 8, hal. 349-350, Edisi 1985, Terbitan UK
[5] Malfuzhat jilid 8, hal. 350-353, Edisi 1985, Terbitan UK
[6] Malfuzhat jilid 8, hal. 351-355, Edisi 1985, Terbitan UK
[7] Khuthbaat-i-Masrur, jilid 10 h. 539, 7 septermber 2012
[8] Tercantum dalam Kitab Biharul Anwar karya Allamah Majlisi, j. 82, h. 197 كما ورد من كان لله كان الله له و من أصلح أمر دينه أصلح الله أمر دنياه و من أصلح ما بينه و بين الله أصلح الله ما بينه و بين الناس. “..sebagaimana diriwayatkankan, siapa yang telah menjadi milik Allah, maka Allah menjadi miliknya, siapa membuat baik urusan agamanya maka Allah akan memperbaiki urusan dunianya; siapa membuat baik hubungan dengan Allah maka Allah akan membuat baik hubungannya dengan sesamanya.” dan dalam Kitab al-Waqi’ karya al-Kasyani j. 8, h. 784; Kitab Tafsir Ar-Razi, tafsir Surah al-Baqarah ayat 277 tentang Riba; tercantum juga dalam Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali tentang keadaan tawakkal, من كان لله تعالى كان الله عز وجل له ; tercantum juga dalam Thariqul Hijratain karya Ibnul Qayyim h. 48, “Sebagian kalangan Salaf mengatakan, “من كان لله كما يريد، كان الله له فوق ما يريد، ومن أقبل عليه تلقاه من بعيد” ‘Siapa yang menjadi milik Allah sebagaimana kehendak-Nya, Allah mengatasi baginya apa-apa keinginannya.’”
[9] Perbedaan Ahmadi dan bukan Ahmadi, Malfuzat jilid 8, hl. 357-358, Edisi 1985, UK