بسم اللہ الرحمن الرحیم
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 28 Desember 2018 (Fatah 1397 Hijriyah Syamsiyah/20 Rabi’ul Akhir 1440 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.
(آمين)
Riwayat Sahabat Badar yang akan saya sampaikan pada hari ini pertama adalah Hazrat Abdullah Bin Ar Rabi Anshari radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hazrat Abdullah Bin Ar Rabi berasal dari ranting kabilah Khazraj, Banu Abjar (عبد الله بن الربيع بن قيس بن عمرو بن عباد بن الأبجر، وهو خدْرَة بن عوف بن الخزرج الأنصاري الخزرجي). Ibunda beliau bernama Fatimah Binti Amru. Beliau ikut serta pada Baiat Aqabah kedua. Beliau mendapatkan kemuliaan untuk ikut serta pada perang Badar, Uhud dan Mutah. Beliau syahid pada perang Mutah.
Sahabat berikutnya bernama Hazrat Atiyah Bin Nuwairah (عَطِيَّة بن نُوَيْرَةَ بن عامر بن عطية بن عامر بن بَياضة بن عامر بن زُرَيْق بن عَبْد حارثة الأَنصاري البياضي) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Beliau ikut serta pada perang Badar. Itu saja keterangan perihal beliau yakni beliau ikut serta dalam perang Badar.[1]
Sahabat berikutnya, Hazrat Sahl Bin Qais (سَهْل، وقيل: سهيل بن قيس بن أبي كعب، واسم أَبي كَعْب عَمْرو الأَنصاري الخَزْرجي السَّلَمِي) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Ibunda beliau bernama Nailah Binti Salamah (نائلة بنت سلامة بن وَقْش من الأوس). Beliau adalah sepupu penyair terkenal Hazrat Ka’ab Bin Malik.
Beliau ikut serta pada perang Badar dan Uhud dan syahid pada perang Uhud. Setiap tahun Rasulullah (saw) berziarah ke makam para Syuhada Uhud. Ketika memasuki bukit itu, bersabda dengan suara tinggi, السّلامُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ، فَنِعْمَ عُقْبَى الدّارِ Assalaamu ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma uqbad daar.[2]
Sementara itu, di dalam Surah ar-Rad (13:25) bukan assalaamu alaikum tetapi dimulai dengan سَلَٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ ‘Salaamun alaikum’ – “Keselamatan atas kalian disebabkan kesabaran kalian.” بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ ‘bimaa shabartum fani’ma uqbad daar.’ – “Betapa baiknya hasil akhir dari rumah tersebut.”
Paska kewafatan Hazrat Rasulullah (saw), Hazrat Abu Bakar, Hazrat Umar dan Hazrat Usman terus melanjutkan sunnah tersebut. Begitu juga ketika Hazrat Muawiyah datang untuk ibadah haji atau Umrah, beliau berziarah ke makam para syuhada Uhud.[3]
Hazrat Rasulullah (saw) bersabda, لَيْتَ أَنّى غُودِرْت مَعَ أَصْحَابِ الْجَبَلِ ‘Laita annii ghudirtu ma’a ashhaabil jabal.’ – “Seandainya saya dapat beserta dengan para penghuni gunung itu.” Maksudnya, “Seandainya saya pun syahid pada hari itu.”[4]
Begitu juga ketika Hazrat Sa’ad Bin Abi Waqas radhiyAllahu ta’ala ‘anhu pergi ke Ghaabah, sebuah kampung yang terletak di sebelah barat laut Madinah untuk melihat aset hartanya, beliau biasa berziarah juga ke maqam Syuhada Uhud. Beliau tiga kali mengucapkan salam lalu melihat ke arah kawan-kawan beliau dan mengatakan: وَكَانَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقّاصٍ يَذْهَبُ إلَى مَالِهِ بِالْغَابَةِ، فَيَأْتِى مِنْ خَلْفِ قُبُورِ الشّهَدَاءِ فَيَقُولُ: السّلامُ عَلَيْكُمْ ثَلاثًا، ثُمّ يُقْبِلُ عَلَى أَصْحَابِهِ، فَيَقُولُ: أَلا تُسَلّمُونَ عَلَى قَوْمٍ يَرُدّونَ عَلَيْكُمْ السّلامَ؟ لا يُسَلّمُ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ إلاّ رَدّوا عَلَيْهِ السّلامَ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. “Apakah kalian tidak mengirimkan keselamatan kepada mereka yang akan menjawab salam kalian. Siapa yang mengucapkan salam kepada mereka (para Syuhada Uhud) maka mereka akan menjawab salam itu di hari kiamat nanti.”[5]
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ مِنْ أُحُدٍ مَرَّ عَلَى مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ ، وَهُوَ مَقْتُولٌ عَلَى طَرِيقِهِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِ ، وَدَعَا لَهُ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ : Suatu ketika Hazrat Rasulullah (saw) melewati makam Hazrat Mush’ab Bin Umair, berhenti di sana dan berdoa dan menilawatkan ayat berikut, مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا (23) “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (Surah al-Ahzaab, 33: 24)
Lalu beliau bersabda, أَشْهَدُ أَنَّ هَؤُلاءِ شُهَدَاءُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَأْتُوهُمْ وَزُورُوهُمْ ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلا رَدُّوا عَلَيْهِ ‘Asyhadu anna haa-ulaa-i syuhadaa-a ‘indaLlaahi yaumal qiyaamah. fa-tuuhum wa zuuruuhum. Walladzi nafsi bi yadi-Hi laa yusallimu ‘alaihim ahadun ilaa yaumil qiyaamati illaa radduu ‘alaihi.’ – “Saya bersaksi pada hari kiamat mereka adalah syahid dalam pandangan Allah. Biasakanlah untuk datang berziarah kepada mereka. Kirimkanlah doa keselamatan atas mereka. Demi Dzat yang jiwa saya berada di tangan-Nya, siapa yang mengirimkan doa keselamatan kepada mereka (Syuhada Uhud) maka mereka akan menjawabnya pada hari kiamat.”[6]
Para Sahabat Rasulullah (saw) biasa datang ke tempat itu dan menyampaikan doa keselamatan bagi mereka.
Dua saudari Hadhrat Sahal Bin Qais bernama Hazrat Sakhtah dan Hazrat Amara pun mendapatkan karunia untuk baiat kepada Hazrat Rasulullah (saw).
Sahabat berikutnya Hazrat Abdullah Bin al-Humair Al Asyja’i (عَبْدُ اللّهِ بنُ الحمير الأشجعيّ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Berasal dari Banu Dahmaan, sekutu kabilah Anshar. Beliau ikut serta pada perang Badar dengan saudara beliau, Hazrat Kharijah. Beliau ikut juga dalam perang Uhud. Istri beliau bernama Ummi Tsabit bin Haritsah yang baiat kepada Rasulullah (saw). Hazrat Abdullah Bin Humair termasuk diantara beberapa sahabat yang terus bertahan di bukit bersama dengan Hazrat Abdullah Bin Jubair pada perang Uhud.
Hazrat Abdullah Bin Humair berdiri untuk menasihati mereka ketika para sahabat lainnya akan turun ke lembah untuk bergabung dengan pasukan Muslim lainnya setelah melihat pemandangan kemenangan. Pertama tama beliau menyampaikan pujian kepada Allah ta’ala lalu menasihati para sahabat itu untuk taat kepada Rasulullah (saw), namun mereka tidak taat terhadap perintah Hazrat Abdullah lalu pergi, hingga hanya tersisa tidak lebih dari 10 sahabat yang menyertai Hazrat Abdullah Bin Humair di bukit.
Melihat bukit kosong dari pasukan, Khalid Bin Walid dan ikrimah bin Abu Jahal kembali menyerang sahabat yang tersisa itu. Segelintir pasukan Muslim itu menghujani pihak musuh dengan panah, hingga akhirnya pasukan musuh mendekati mereka, lalu mereka mensyahidkan semua yang ada disana.
Kisah lebih rinci perihal kejadian Uhud tersebut Hazrat Mirza Bashir Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu menulis dalam buku Sirat Khataman Nabiyyiin: Hazrat Rasulullah (saw) tampil disertai keyakinan akan pertolongan Ilahi, beliau menugaskan sejumlah pasukan di lereng Uhud sehingga pegunungan Uhud posisinya berada di belakang pasukan Muslim sedangkan Madinah seolah-olah berada di depan. Dengan begitu beliau melindungi bagian belakang pasukan.
Pada bukit bagian belakang yang dari arahnya terdapat celah bagi musuh untuk masuk, diletakkan sejumlah pasukan. Rasulullah (saw) melakukan pengaturan dengan menugaskan 50 pemanah di bawah pimpinan Abdullah Bin Jubair ntuk menjaganya lalu menegaskan kepada mereka dengan bersabda, “Apapun yang terjadi, kalian jangan tinggalkan tempat ini, teruslah menembakan anak panah ke arah musuh.”
Sedemikian rupa beliau perhatian untuk menjaga bukit tersebut sehingga beliau berkali-kali menginstruksikan Abdullah Bin Jubair jangan sampai tempat itu kosong dari pasukan walau bagaimanapun. Diantaranya, “Sekalipun kalian menyaksikan kemenangan di pihak kita, dan musuh mulai melarikan diri, kalian tetap jangan meninggalkan pos tersebut. Sebaliknya jika kalian melihat pasukan Muslim terdesak dan pasukan musuh unggul, kalian tetap jangan meninggalkan pos ini.”
Dalam riwayat lain sampai-sampai beliau (saw) sabdakan, “Meskipun kalian melihat burung-burung telah mencabik-cabik tubuh kami, kalian tetap jangan meninggalkan tempat ini, sampai tiba kepada kalian utusan kami yang membawa perintah kepada kalian untuk meninggalkannya.“ Artinya, yakni perintah dari beliau.
Demikianlah, beliau (saw) memperkokoh bagian belakang dengan barisan pasukan Muslim dan menetapkan beberapa kepala bagi setiap kelompok.
Ketika kawan-kawan Abdullah Bin Jubair melihat kemenangan telah diraih, mereka lalu berkata kepada pimpinannya, Abdullah, ”Kita telah menang, pasukan lain tengah mengumpulkan harta rampasan perang, izinkanlah kami untuk bergabung dengan para pasukan itu.”
Abdullah melarang mereka dan mengingatkan mereka atas perintah keras dari Rasulullah (saw), namun kawan-kawannya itu lalai disebabkan kebahagiaan atas kemenangan, lalu turun ke lembah dengan beralasan: “Maksud perintah Rasulullah (saw) adalah tidak meninggalkan pos sebelum benar-benar yakin menang. Karena saat ini kita sudah menang, sah saja jika kami pergi.”
Setelah mereka pergi, hanya tinggal Abdullah Bin Jubair dan 5 atau 7 orang pasukan yang tersisa melakukan penjagaan di pos. Mata jeli Khalid Bin Walid mengamati dari kejauhan ke arah bukit yang kosong dari penjagaan. Melihat itu ia langsung mengumpulkan pasukan dan kembali menyerang pos tersebut dan diikuti oleh Ikrimah Bin Abu Jahl dengan pasukannya dari belakang. Akhirnya pasukan musuh dapat mensyahidkan dalam sekejap segelintir pasukan Muslim di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair itu dengan menyerangnya secara tiba-tiba dari arah belakang.[7]
Sahabat berikutnya Hazrat Ubaid Bin Aus al-Anshari putra Aus Bin Malik (عُبَيْدُ بنُ أَوْسِ بن مالك بن سَواد بن كعب الأَنصاري الظَّفَرِي) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hazrat Ubaid Bin Aus ikut serta pada perang Badar.
Dalam perang Badar beliau berhasil menawan Hazrat Uqail bin Abu Thalib, dikatakan juga bahwa beliau berhasi menawan Hazrat Abbas dan Hazrat Naufal. Ketika beliau mengikat ketiganya dengan tali lalu mengirimnya ke hadapan Rasulullah (saw), Rasulullah (saw) bersabda, لَقَدْ أَعَانَكَ عَلَيْهِمْ مَلَكٌ كَرِيمٌ ‘Laqad a’aanaka alaihim malakun kariim.’ – ‘Sesungguhnya dalam hal ini seorang malaikat mulia telah menolongmu.’
Atas hal itu Rasulullah (saw) menjuluki beliau dengan sebutan Muqarrin (مقَرِّن) artinya orang yang mengikat dengan rantai.[8]
Dalam riwayat lain juga dikatakan yang menawan Hazrat Abbas pada perang Badar adalah Hazrat Abul Yasar Ka’ab Bin Amru (أَبَا الْيَسَرِ كَعْبَ بْنَ عَمْرٍو). [9]
Hazrat Ubaid Bin Aus menikahi Hazrat Umaimah Binti An Nu’man. Hazrat Umaimah pun telah beriman kepada Hazrat Rasulullah (saw).
Sahabat berikutnya Hazrat Abdullah Bin Jubair (عَبْدُ اللّهِ بن جُبَيْر بن النُّعْمان الأَنصاري الأَوسي) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, yang mana tadi telah disampaikan, begitu juga disebut-sebut dalam riwayat sahabat lainnya. Abdullah Bin Jubair ialah pimpinan dalam sebuah grup pasukan dan sebagai wakil panglima. Beliau termasuk sahabat Anshar yang ikut pada baiat Aqabah kedua. Ikut juga pada perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud beliau syahid.
Hazrat Abul ‘Ash bin Rabi’ (اَبوالْعاص بن رَبیع) yang merupakan suami Hazrat Zainab, putri Rasulullah (saw), ikut di pihak Musyrik Makkah dan ditawan oleh Hazrat Abdullah Bin Jubair. Hazrat Mirza Bashir Ahmad menjelaskan lebih lanjut perihal riwayat tersebut dalam buku Sirat Khataman Nabiyyiin, “Menantu Hazrat Rasulullah (saw), Abul ‘Ash termasuk kedalam tawanan perang Badar. Istrinya, Hazrat Zainab yang merupakan putri Rasulullah (saw) yang saat itu masih berada di Makkah mengirimkan sesuatu sebagai tebusan bagi suaminya, diantaranya adalah sebuah kalung. Kalung tersebut merupakan jahez (hadiah perkawinan) yang diberikan Hazrat Khadijah (istri Rasulullah (saw)) kepada putrinya, Hazrat Zainab.
Setelah melihat kalung tersebut, Hazrat Rasulullah (saw) teringat akan almarhum Hazrat Khadijah, lalu menangis dan bersabda kepada para sahabat, ‘Jika kalian mengizinkan, tolong kembalikan kalung ini kepada Zainab.’
Para sahabat yang saat tengah menunggu isyarah Rasulullah (saw), lalu segera mengembalikan kalung itu kepada Zainab. Sebagai pengganti dari tebusan tersebut Hazrat Rasulullah (saw) menetapkan syarat kepada Abul ’As untuk pergi ke Makkah dan mengirim Zainab ke Madinah. Dengan begitu seorang Mukmin selamat dari orang Kuffar. Beberapa masa kemudian Abul ‘Ash juga baiat masuk Islam lalu hijrah ke Madinah, akhirnya suami-istri itu dapat berkumpul bersama di Madinah.[10]
Pada perang Uhud, Hazrat Rasulullah (saw) menetapkan Hazrat Abdullah Bin Jubair sebagai komandan pasukan pemanah yang berjumlah 50 orang. Ia diperintahkan untuk menjaga pos yang berada di bagian belakang pasukan Muslim. Kisah lengkapnya telah saya jelaskan dalam riwayat hidup Hazrat Abdullah Bin Humair. Selebihnya ditulis oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad sebagai berikut: Hazrat Rasulullah (saw) tampil dengan disertai keyakinan akan pertolongan Ilahi, beliau menugaskan sejumlah pasukan di lereng Uhud sehingga pegunungan Uhud posisinya berada di belakang pasukan Muslim sedangkan Madinah seolah-olah berada di depan. Dengan begitu beliau melindungi bagian belakang pasukan. Pada bukit bagian belakang yang dari arahnya terdapat celah bagi musuh untuk masuk, diletakkan sejumlah pasukan.
Sebagaimana untuk menjaganya Rasulullah (saw) melakukan pengaturan dengan menugaskan 50 pemanah dibawah pimpinan Abdullah Bin Jubair, lalu menegaskan kepada mereka dengan bersabda, “Apapun yang terjadi, kalian jangan tinggalkan tempat ini, teruslah tembakan panah ke arah musuh.”
Sedemikian rupa beliau perhatian untuk menjaga bukit tersebut sehingga beliau berkali-kali menginstruksikan Abdullah Bin Jubair supaya jangan sampai tempat itu kosong dari pasukan walau bagaimanapun, “Sekalipun kalian menyaksikan kemenangan di pihak kita, dan musuh mulai melarikan diri, kalian tetap jangan meninggalkan pos tersebut. Sebaliknya, jika kalian melihat pasukan Muslim terdesak dan pasukan musuh unggul, kalian juga tetap jangan meninggalkan pos ini.”
Hazrat Baraa Bin Azib meriwayatkan, جَعَلَ النَّبِيُّ عَلَى الرَّجَّالَةِ يَوْمَ أُحُدٍ وَكَانُوا خَمْسِينَ رَجُلاً عَبْدَ اللهِ بْنَ جُبَ فَقَالَ :إِنْ رَأَيْتُمُونَا تَخْطَفُنَا الطَّ فَلَا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ، وَإِنْ رَأَيْتُمُونَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلاَ تَبْرَحُوا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ “Nabi (saw) menetapkan Abdullah Bin Jubair sebagai komandan pasukan pada perang Uhud. Pasukan itu berjumlah 50 orang. Rasul menginstruksikan kepada mereka, إِنْ رَأَيْتُمُونَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ ، وَإِنْ رَأَيْتُمُونَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلا تَبْرَحُوا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ ‘Sekalipun burung-burung telah mencabik-cabik tubuh kami, janganlah kalian meninggalkan pos. Tetaplah ditempat supaya kalian tetap terjaga. Sekalipun kalian melihat kami telah menang dan berhasil mengusir musuh, jangan tinggalkan tempat ini sebelum ada perintah dari saya.’
Singkat kata pasukan Muslim berhasil memukul mundur musuh.
Hazrat Baraa mengatakan, “Demi Tuhan! Saya melihat para wanita musyrik tengah lari sambil menyingkapkan pakaiannya.” (Pada zaman itu para wanita pun ikut serta bersama pasukan dengan tujuan untuk menyemangati. Ketika berlari terbuka tumit dan tampak gelang kaki mereka.)
Melihat kondisi demikian, kawan-kawan Hazrat Abdullah Bin Jubair mengatakan, الْغَنِيمَةَ ، أَيْ قَوْمِ الْغَنِيمَةَ ، ظَهَرَ أَصْحَابُكُمْ فَمَا تَنْتَظِرُونَ ؟ ‘Ayo kita ambil harta rampasan. Kawan-kawan kita telah duluan, tunggu apa lagi kalian?’
Hazrat Abdullah Bin Jubair berkata, أَنَسِيتُمْ مَا قَالَ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ ‘Apakah kalian lupa akan perintah Rasulullah (saw) kepada kalian?’
Kawannya menjawab, وَاللَّهِ لَنَأْتِيَنَّ النَّاسَ فَلَنُصِيبَنَّ مِنَ الْغَنِيمَةِ ‘Demi Tuhan! Tentu kami akan bergabung dengan pasukan lain untuk mengambil harta rampasan, mereka telah lebih dulu mengambilnya, kami akan menyusul mereka.’
Ketika kawan-kawan yang meninggalkan pos itu sampai di sana [tempat harta yang ditinggalkan musuh], perhatian mereka dikembalikan lagi ke tempat tugasnya [di bukit Uhud]. Mereka kembali dengan kekalahan. Musuh telah menyerang sehingga kemenangan menjadi berbalik menjadi kekalahan.”
Hazrat Baraa mengatakan, “Inilah kejadian yang mengenainya Allah berfirman, إِذْ تُصْعِدُونَ وَلَا تَلْوُونَ عَلَىٰ أَحَدٍ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْرَاكُمْ فَأَثَابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِّكَيْلَا تَحْزَنُوا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا مَا أَصَابَكُمْ ۗ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ‘… dan ketika Rasul yang berada diantara kawan-kawanmu yang lain memanggilmu…’ (Surat Ali Imran: 154)[11]
Tidak lagi tersisa bersama dengan Rasulullah (saw) selain 12 pasukan. Sementara itu, pasukan kafir telah mensyahidkan 70 pasukan Muslim. Sedangkan pada perang Badar, Rasulullah (saw) dan para sahabat telah berhasil menimpakan kerugian terhadap 140 pasukan musyrik yakni 70 tawanan dan 70 terbunuh.
Kemudian, Abu Sufyan berteriak tiga kali pada perang Uhud dengan mengatakan, أَفِي الْقَوْمِ مُحَمَّدٌ ؟ ‘Apakah Muhammad masih hidup diantara kalian?’
Rasulullah (saw) melarang para sahabat untuk menjawabnya.
Pada awalnya pihak musuh kalah, namun kekalahan itu berbalik menjadi kemenangan karena mereka menyerang kembali pasukan Muslim di bukit dan berhasil melumpuhkan.
Saat itu Abu Sufyan berkata, ‘Apakah Muhammd masih hidup diantara kalian?’
Kemudian, Abu Sufyan meneriakkan sebanyak tiga kali, أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ ؟ ‘Apakah anak Abu Qahafah berada diantara kalian (Maksudnya Hazrat Abu Bakr)?’
Lalu bertanya sebanyak tiga kali, أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ الْخَطَّابِ ؟ ‘Apakah ibnu Khaththab (Umar putra Khaththab) berada di tengah tengah kalian?’
Lalu Abu Sufyan kembali kepada pasukannya.
Setiap ditanyakan, Rasulullah (saw) memerintahkan untuk tidak menjawabnya.
Lalu Abu Sufyan mengatakan, أَمَّا هَؤُلاءِ فَقَدْ قُتِلُوا ‘Ketiga orang itu (yakni pimpinan pasukan Muslim) telah terbunuh.’
Mendengar perkataan itu, Hazrat Umar tidak bisa mengendalikan diri lagi. Ia mengatakan, كَذَبْتَ وَاللَّهِ يَا عَدُوَّ اللَّهِ ، إِنَّ الَّذِينَ عَدَدْتَ لأَحْيَاءٌ كُلُّهُمْ ، وَقَدْ بَقِيَ لَكَ مَا يَسُوءُكُ ‘Wahai musuh Allah! Demi Allah, kalian telah berdusta, nama-nama yang kamu sebutkan tadi semuanya masih hidup, masih banyak yang yang tersisa untukmu.’
Abu Sufyan mengatakan, يَوْمٌ بِيَوْمِ بَدْرٍ ، وَالْحَرْبُ سِجَالٌ ، إِنَّكُمْ سَتَجِدُونَ فِي الْقَوْمِ مُثْلَةً لَمْ آمُرْ بِهَا وَلَمْ تَسُؤْنِي ‘Peperangan ini adalah balasan atas perang Badar. Peperangan seperti gendering. Kadang kemenangan berpihak ke sini dan terkadang ke sana. Kalian akan mendapati korban-korbannya yang sudah kehilangan hidungnya. Sudah dimutilasi. Saya tidak memerintahkannya. Tidak juga saya menganggapnya perbuatan yang buruk.’
Setelah itu ia meneriakkan kalimat, اعْلُ هُبَلُ اعْلُ هُبَلُ ‘U’luu Hubal! U’luu Hubal!’ (Agungkanlah Hubal! Hidup Hubal!).
Nabi saw bersabda, أَلا تُجِيبُوهُ ؟ ‘Apakah kalian tidak akan menjawabnya?’
Para sahabat bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا نَقُولُ ؟ ‘Apa yang harus kami katakan?’
Beliau bersabda, قُولُوا : اللَّهُ أَعْلَى وَأَجَلُّ ‘Katakanlah, Allahu A’la wa ajall.’ (Allah-lah yang Maha Agung dan Maha Perkasa.)
Lalu abu Sufyan mengatakan, إِنَّ لَنَا الْعُزَّى وَلا عُزَّى لَكُمْ ‘Berhala yang bernama Uzza adalah milik kami. Kalian tidak punya Uzza.’
Mendengar hal itu Rasulullah (saw) bersabda, أَلا تُجِيبُوهُ ؟ ‘Apakah kalian tidak akan menjawabnya?’
Sahabat bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا نَقُولُ ؟ ‘Apa yang harus kami katakan?’
Beliau (saw) bersabda, ‘Katakanlah, اللَّهُ مَوْلانَا وَلا مَوْلَى لَكُمْ “Allahu Maulana wa laa maulaa lakum.” – “Allah adalah penolong kami, sedangkan kalian tidak punya penolong.”’”[12]
Berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) pun menjelaskannya cukup rinci. Beliau bersabda, “Para sahabat yang berada di sekitar Rasulullah (saw), terpojok ke belakang karena serangan musuh, setelah itu mereka berkumpul di sekitar Rasulullah (saw). Mereka mengangkat tubuh penuh berkat Rasulullah (saw).
Seorang sahabat bernama Ubaidah Bin Al Jarrah mencabut potongan besi yang menancap di kepala Rasul dengan giginya yang menyebabkan patahnya gigi sahabat tersebut. Tidak lama kemudian Rasulullah (saw) sadarkan diri lalu sahabat menggiring para sahabat lain yang berada di empat penjuru untuk berkumpul lagi. Pasukan yang tadi meninggalkan pos pun mulai berdatangan dan berkumpul lagi kemudian Rasulullah (saw) mengajak mereka ke lereng bukit.
Ketika pasukan Muslim berdiri di lereng bukit, Abu Sufyan berteriak mengatakan, ‘Kami telah membunuh Muhammad.’ Rasulullah (saw) tidak merespon perkataan Abu Sufyan, dengan tujuan supaya pihak musuh jangan sampai mengetahui keadaan sesungguhnya lalu menyerang lagi karena pasukan Muslim kondisinya sudah lemah supaya pihak musuh tidak menyerang pasukan Muslim yang sudah terluka-luka.
Ketika mengetahui tidak adanya jawaban dari pasukan Muslim, Abu Sufyan merasa yakin dengan anggapannya. Lalu ia berteriak lagi mengatakan, ‘Kami pun telah membunuh Abu Bakar.’ Lalu Rasulullah (saw) memerintahkan Abu Bakar untuk tidak meresponnya.
Lalu Abu Sufan meneriakkan, ‘Kami pun telah membunuh Umar.’
Hazrat Umar yang bertabiat pemberani ingin menjawab dengan mengatakan, ‘Kami semua dengan karunia Allah masih hidup dan siap untuk menghadapi kalian.’
Namun Rasulullah (saw) melarang beliau supaya tanggapannya itu tidak membuat pasukan Muslim menderita. Karena itu, beliau (saw) menyuruhnya untuk diam.
Sekarang kaum kuffar semakin yakin bahwa mereka telah berhasil membunuh pendiri Islam dan orang-orang kepercayaannya. Abu Sufyan dan kawan kawannya kemudian sambil berbahagia berteriak, ‘Ulu Hubal!’ Artinya, ‘Maha agung berhala kami Hubal, karena hari ini ia telah memusnahkan Islam.’
Rasulullah (saw) telah berkali-kali memerintahkan untuk tetap diam ketika diteriakkan oleh Abu Sufyan bahwa beliau, Hazrat Abu Bakar dan Hazrat Umar telah wafat supaya pasukan kuffar tidak menyerang lagi pasukan Muslim yang sudah terluka parah sehingga segelintir pasukan Muslim yang tersisa itu tidak disyahidkan. Namun, ketika berkaitan dengan kehormatan Tuhan Yang maha Esa dan yel-yel syirk diteriakkan di lapangan, seketika itu juga ruh beliau (saw) gelisah lalu dengan penuh gejolak Rasulullah (saw) bersabda kepada para sahabat, ‘Kenapa kalian tidak menjawabnya?’
Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah (saw), apa yang harus kami katakan?’
Beliau (saw) bersabda, ‘Katakanlah, “Allaahu a’la wa ajall! Allaahu a’la wa ajall! Kalian telah berdusta dengan mengatakan keagungan Hubal semakin menjulang. Sebenarnya Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya-lah yang Maha Mulia. Keagungan-Nya-lah yang Maha unggul.”’
Dengan begitu beliau pun mengabarkan kepada musuh bahwa beliau masih hidup. Respon yang sangat berani tersebut sedemikian rupa memberikan dampak yang dahsyat terhadap pasukan musuh sehingga mereka tidak menyerang pasukan Muslim untuk menghabisi pasukan Muslim. Tetapi, setelah mendengar yel-yel dan melihat gejolak semangat Abu Sufyan yang meneriakkan yel-yel itu, pasukan Musyrikin yang sedang berpesta merayakan kemenangannya, justru malah mundur teratur pulang ke Makkah. Meskipun dengan jawaban dari pihak Muslim tersebut membuat harapan mereka telah luluh lantak dan di hadapan mereka pasukan Muslim yang tinggal segelintir dan terluka masih berdiri di dekat mereka, namun mereka tidak berani untuk menyerang lagi padahal jika mereka menyerang pasukan Muslim untuk menghabisinya sangatlah mungkin dari sisi duniawi.”
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda lebih lanjut dalam menjelaskan satu ayat, فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Artinya, ‘Mereka yang menentang perintah Rasul, seharusnya takut jangan sampai turun kepada mereka azab dari Allah Ta’ala atau terjerumus di dalam azab yang pedih.’
Perhatikanlah! Disebabkan melanggar perintah tersebut dalam perang Uhud, pasukan Muslim mendapatkan kerugian yang besar. Rasulullah (saw) telah menetapkan 50 pasukan untuk menjaga lereng bukit. Sedemikian rupa pentingnya area tersebut sehingga Rasulullah (saw) memanggil komandannya, Abdullah Bin Jubair dan menginstruksikan, ‘Sekalipun kami terbunuh atau menang, jangan sekali-kali meninggalkan pos tersebut.’
Namun ketika pihak musuh terdesak dan pasukan Muslim berhasil memukul mundur mereka, para pasukan yang telah ditetapkan untuk menjaga pos tadi mengatakan kepada komandannya, ‘Sekarang kita sudah menang, tidak ada gunanya lagi kita berada di sini, izinkanlah kami untuk mengambil hadiah dari jihad ini.’
Komandan (Abdullah ibn Jubair) menegaskan, ‘Janganlah kalian melanggar perintah Rasulullah (saw). Rasul telah memerintahkan untuk tidak meninggalkan pos ini sekalipun kalian menang atau kalah. Untuk itu saya tidak dapat mengizinkan kalian.’
Pasukan berkata, ‘Bukanlah maksud dari Rasulullah (saw) untuk tidak bergerak sekalipun sudah menang, tujuan beliau hanya untuk menekankan. Sekarang sudah menang, apalagi yang akan kita lakukan di sini?’
Kemudian, banyak pasukan tersebut lebih mengutamakan pendapatnya diatas perintah Rasulullah (saw) dan meninggalkan pos itu. Yang tersisa hanya komandan yakni Abdullah Bin Jubair dan beberapa pasukan.
Ketika pasukan kuffar tengah berlari ke arah Makkah, tiba-tiba Khalid menoleh ke belakang dan melihat kondisi pos penjagaan yang kosong. Khalid memanggil Amru Bin As yang notabene keduanya belum masuk Islam dan berkata, ‘Coba lihat ini kesempatan yang sangat baik, ayo kita balik menyerang pasukan Muslim!’
Selanjutnya, kedua komandan itu mengumpulkan pasukannya yang tengah berlari lalu menaiki bukit untuk menyerang pasukan Muslim secara tiba-tiba. Segelintir pasukan Muslim yang ada saat itu yang mana tidak akan mampu menghadapi pasukan musuh dibinasakan oleh musuh. Musuh pun memukul mundur pasukan Muslim. Serangan tersebut begitu tiba-tiba sehingga pasukan Muslim yang tengah berbahagia dengan kemenangan itu tidak dapat berkutik. Hanya beberapa sahabat saja yang berlari dan berkumpul di sekitar Rasulullah (saw). Jumlah mereka tidak lebih dari 20 orang. Seberapakah kekuatan mereka untuk terus menghadapi musuh tersebut?
Akhirnya, disebabkan serangan musuh tersebut pasukan Muslim terdesak mundur sedangkan Rasulullah (saw) sendiri dalam medan perang. Pada saat itu beliau (saw) sendiri terkena lemparan batu yang mengakibatkan kawat besi menancap di kepala beliau, sehingga beliau pingsan dan terjatuh kedalam sebuah lubang. Seorang sahabat mencabut besi yang menancap itu menggunakan giginya, yang mengakibatkan patah gigi tersebut. Lubang itu dibuat oleh beberapa orang jahat untuk mencelakai pasukan Muslim, dengan menggali tanah lalu menutupnya. Mereka membuat lubang besar lalu ditutup dengan ranting-ranting dedaunan, sehingga tidak tampak lubang. Rasul terperosok jatuh kedalam lubang tersebut lalu beberapa sahabat syahid dan jenazahnya terjatuh kedalam lubang yang sama dan menimpa tubuh Rasulullah (saw) sehingga menyebar kabar bahwa Rasulullah (saw) telah syahid.
Namun para sahabat yang terdesak mundur karena serangan musuh, menghindari musuh dan berkumpul di sekitar Rasulullah (saw). Mereka mengangkat Rasulullah (saw) keluar dari dalam lubang. Tidak lama kemudian Rasulullah (saw) sadar dari pingsannya lalu beliau mengumpulkan semua para sahabat dari berbagai arah dan beliau mengajak mereka ke lereng gunung.”
Yang akan saya sampaikan berikut adalah point penting, beliau mengambil kesimpulan bahwa setelah mendapat kemenangan atas kaum kuffar, pasukan Muslim mendapatkan kekalahan sementara karena beberapa pasukan Muslim telah melanggar perintah Rasulullah (saw) dan bukannya mengamalkan nasihat Rasul, mereka mulai berijtihad sendiri. Jika mereka taat sepenuhnya terhadap Rasulullah (saw) layaknya nadi-nadi mengikuti gerakan jantung. Jika saja mereka faham bahwa sebagai akibat dari perintah Rasulullah (saw), jika seluruh dunia harus terpaksa mengorbankan jiwanya maka itu adalah sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Jika saja mereka tidak berijtihad untuk meniggalkan pos penjagaan itu seperti yang telah ditugaskan oleh Rasulullah (saw) kepada mereka, “Sekalipun kami menang atau terpojok, jangan meninggalkan pos tersebut”, maka musuh tidak akan mendapatkan kesempatan untuk menyerang lagi dan tidak juga Rasulullah (saw) atau para sahabat akan mendapatkan kerugian karenanya.
Hazrat Mushlih Mau’ud (radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, ra) bersabda, “Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menekankan umat Muslim bahwa mereka yang tidak taat sepenuhnya pada perintah Rasulullah (saw) dan mendahulukan ijtihadnya sendiri diatas perintah Rasulullah (saw) serta menafsirkan sendiri perintah, hendaknya mereka takut jangan sampai bencana menimpa mereka atau terkena azab yang pedih. Seolah-olah disampaikan, ‘Jika kalian ingin meraih keuksesan, tugas kalian adalah untuk taat di bawah satu tangan.’
Selama ruh ini hidup maka umat Muslim pun akan terus hidup. Jika ruh ini hilang maka meskipun Islam akan tetap hidup, namun tangan Allah Ta’ala akan mencekik leher orang-orang yang berpaling dari ketaatan kepada Rasulullah (saw).”
Kita saksikan pada masa ini demikianlah kondisi umat Muslim. Pada masa ini pertolongan Allah Ta’ala tidak menyertai mereka. Mereka tidak memperhatikan wasiat dan sabda Rasulullah (saw) untuk beriman kepada al-Masih dan al-Mahdi dan menyampaikan salam beliau (Rasulullah saw) kepadanya serta meyakininya sebagai hakim adil. Umat Muslim malah mulai menafsirkan sendiri semua perintah tersebut. Akibatnya kita saksikan sendiri kondisi mereka saat ini. Dalam hal ini terdapat satu pelajaran dan peringatan bagi para Ahmadi yaitu setelah beriman kepada al-Masih Mau’ud (Imam Mahdi), ketaatan yang sempurnalah yang akan menjadi jaminan untuk meraih keberhasilan dan kemenangan. Dengan demikian, setiap kita perlu untuk mengevaluasi diri masing-masing, sejauh mana mutu (kualitas) ketaatan kita masing-masing?
Telah dijelaskan tadi bahwa bersama Abu Sufyan, ada Ikrimah bin Abu Jahal, terdapat pada riwayat kedua. Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menceritakan sahabat yang lain Amru Bin ‘As yakni mereka menyerang pos, dalam beberapa riwayat lain tertulis nama sahabat yang lain. Penelitian yang dilakukan departemen research cell (bagian riset) dalam hal ini bahwa dalam buku buku sirat juga tertulis yakni Khalid Bin Waleed menyerang Bersama Ikrimah Bin Abu Jahal. Dijumpai juga keterangan bahwa komando yang diberikan oleh kaum Musyrik kepada beberapa orang untuk memimpin pasukan berkendara, salah satunya adalah Amru Bin ‘As.
Diriwyatkan bahwa melihat tempat penjagaan itu kosong, Khalid Bin Walid menyerangnya dengan pasukan berkuda dan diikuti oleh Ikrimah Bin Abu Jahal. Jika kita perhatikan dari satu sisi ketiga hal tersebut, dapat terlihat kesesuaian, berdasarkan referensi dari Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) dan kitab-kitab sejarah lainnya bahwa karena pengawas pasukan berkuda kaum Musyrikin adalah Hazrat Amru Bin As, untuk itu beliau pun ikut serta di dalamnya, karena Abu Sufyan, Ikrimah dan Amru bin As ketiganya ikut serta. Jika diperhatikan tidak ada pertentangan dalam riwayat.
Peristiwa syahidnya Hazrat Abdullah Bin Jubair sebagai berikut perinciannya, ketika Khalid Bin Walid (خالد بن الوليد) dan Ikrimah Bin Abu Jahal (عكرمة بن أبي جهل) [yang saat itu adalah panglima pasukan kuffar dari Makkah] melancarkan serangan, Hazrat Abdullah Bin Jubair pun melontarkan anak panah sampai anak-anak panah beliau habis. Lalu beliau menghadapi musuh dengan tombak, sampai sampai tombak beliau patah. Lalu beliau menggunakan pedang, sampai beliau syahid dan terjatuh. Beliau disyahidkan oleh Ikrimah Bin Abu Jahal. Ketika beliau terjatuh, musuh menyeret jenazah beliau lalu memutilasinya dengan brutal. Begitu kejamnya tubuh beliau ditombaki, sehingga usus keluar dari tubuh beliau.[13]
Hazrat Khawwat bin Jubair (خَوّاتُ بْنُ جُبَيْرٍ) meriwayatkan, “Ketika Abdullah Bin Jubair telah dalam keadaan seperti itu, pasukan Muslim lainnya dan saya juga menyertai mereka menuju ke tempat jenazah beliau. فَلَقَدْ ضَحِكْت فِي مَوْضِعٍ مَا ضَحِكَ فِيهِ أَحَدٌ قَطّ، وَنَعَسْت فِي مَوْضِعٍ مَا نَعَسَ فِيهِ أَحَدٌ، وَبَخِلْت فِي مَوْضِعٍ مَا بَخِلَ فِيهِ أَحَدٌ Saya tertawa ketika tidak ada orang yang tertawa.” (beliau menceritakan keadaannya sendiri) “Saya mengantuk ketika tidak ada orang yang mengantuk. Saya kikir ketika tidak ada orang yang kikir.” (Tidaklah mungkin ketiga kondisi tersebut dialami oleh manusia.)
“Ditanyakan apakah itu? Saya (Hazrat Khawat) menjawab bahwa saya mengangkat Hazrat Abdullah dengan kedua lengan lalu Saya mengikat luka beliau dengan sorban saya.
Ketika kami tengah mengangkat jenazah beliau, terdapat pasukan Musyrik pada arah lain. Ikatan sorban saya di luka tubuhnya terbuka lalu jatuh. Usus Hazrat Abdullah Bin Jubair pun terkeluar. Kawan saya ketakutan karena mengira musuh semakin mendekat lalu melihat ke belakang. Melihat itu saya tertawa berpikir apa yang sedang ia lakukan?
Lalu ada seseorang yang maju dengan membawa tombaknya membawanya di hadapan. Rasa kantuk menyerang saya dan tombak itu pun dia lepas.” (Ini pun merupakan pertolongan dari Allah Ta’ala. Bagaimana ia mengantuk? Rasa kantuk itu dari Allah ta’ala Rasa kantuk menyerangnya dalam kondisi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, sebuah tombak benar-benar telah dekat leher namun tombak itu terlepas.)
Ketika saya telah menggali kuburan untuk Abdullah Bin Jubair, saya memegang busur panah. Tanah bukit mengeras bagi kami sehingga kami membawa jenazah dan turun di lembah. Lalu saya menggali kuburan dengan menggunakan ujung busur panah. Busur panah itu diikat dengan tali. Saya katakan bahwa saya tidak akan merusak talinya lalu saya membukanya. Saya menggali kuburan dengan menggunakan ujung busur. Setelah selesai menggali kuburan, kami menguburkan jenazah Abdullah bin Jubair di sana. Kemudian, kami pergi.”[14]
Sebagaimana Allah Ta’ala telah menjadikan Hazrat Abdullah Bin Jubair dan sahabat-sahabat lainnya sebagai orang yang memahami ruh perintah disertai ketaatan, semoga kita pun diberikan taufik untuk dapat memahami perintah dan taat sepenuhnya akan hal itu sehingga dapat terus menjadi pewaris karunia-karunia Allah Ta’ala.
Setelah shalat saya akan memimpin shalat jenazah ghaib, Almarhum Tn. Nadir Al-Husni yang wafat pada tanggal 20 Desember dalam usia 85 tahun di Kanada. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum seorang yang shalih, mukhlis dan pribadi yang baik. Pengorbanan harta beliau sangat luar biasa. Almarhum adalah seorang mushi. Keluarga yang ditinggalkan diantaranya istri dan anak yang bukan Ahmadi. Beliau adalah putera Tn. Abdur Rauf Husni yang baiat pada tahun 1938 mengikuti saudara beliau, Tn. Munirul Husni. Tn. Abdur Rauf juga adalah pribadi yang shalih, pendiam dan mutaqi. Ketika Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. melakukan lawatan ke Syam, pada satu malam beliau singgah di rumah Tn. Abdur Rauf Husni untuk makan. Di dalam diri Tn. Nadir Al-Husni pun terdapat kebaikan-kebaikan ayah beliau dan beliau pun menampilkan teladan yang tinggi dalam keikhlasan dan kesetiaan.
Tn. Amir Kanada menulis, “Sejak berdirinya Mesjid Baitul Islam beliau secara dawam selalu datang untuk shalat Jum’at setelah sebelumnya berkendara selama 4 jam dan pada hari itu juga beliau langsung pulang ke rumah beliau. Berulang kali telah dikatakan kepada beliau supaya setelah jum’atan beristirahat terlebih dahulu dan baru pulang pada keesokan harinya, namun dengan cara beliau yang khas selalu ada saja alasan yang beliau kemukakan dan tetap pulang sehingga tidak menyusahkan Jemaat dalam bentuk apapun. Cara seperti ini beliau terus lakukan hingga saat-saat sakit beliau yang terakhir.
Bertahun-tahun beliau menjadi muadzin shalat jum’at di mesjid Baitus Salam. Cara mengumandangkan adzan beliau pun memiliki suatu kekhasan dan ada suatu perasaan yang unik yang membuat orang-orang larut mendengarnya.
Istri almarhum yang seorang bukan Ahmadi Ny. Samiah menulis, “Semoga Allah Ta’ala menempatkan Tn. Nadir Al-Husni di surga-Nya yang luas. Beliau adalah pribadi yang tulus, jujur dan mukhlis bagi keluarga dan Jemaat. Beliau berusaha memenuhi kebutuhan setiap orang yang membutuhkan dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Beliau secara diam-diam memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan kepada seorang wanita ghair Ahmadi yang miskin. Ketika kami datang untuk menemuinya, Almarhum Tn. Nadir terlebih dahulu pergi ke pasar untuk membeli barang-barang kebutuhan lalu pergi ke rumahnya. Rutinitas ini beliau lakukan hingga sebelum kewafatan beliau.
Sepanjang hidup, saya tidak pernah melihat orang yang sesabar beliau dalam menghadapi penyakit yang seperti itu. Setiap waktu kalimat alhamdulillah selalu terucap dari lisan beliau. Beliau bermunajat kepada Allah Ta’ala dengan hati yang penuh dengan rasa takut kepada-Nya. Beliau melaksanakan shalat lima waktu dan tahajud dengan disiplin. Setiap orang yang mengenal beliau mengakui sifat baik beliau.”
Tn. Mu’tazil Qazaq dari Kanada menulis, “Pada saat masih tinggal di Syiria saya telah mendengar mengenai Tn. Nadir Al-Husni. Keluarga Husni dikenal dengan keikhlasannya kepada Jemaat dan hubungannya dengan Khilafat. Setelah tiba di Kanada saya bertemu dengan Tn. Nadir Al-Husni di mesjid. Beliau seseorang yang berfitrat baik dan periang. Pada saat saya berbincang dengan beliau, saya terkesan dengan kecintaan beliau kepada khilafat dan kesenangan beliau bertemu dengan kawan-kawan di mesjid. Bagi kami kedisiplinan beliau dalam shalat merupakan suatu teladan yang harus kami ambil pelajaran darinya. Setelah kewafatan beliau, istri dan anak beliau datang ke Toronto, dan sesuai kepengurusan di Jemaat, saya mendapatkan taufik untuk mengkhidmati beliau, membantu mengafani dan menguburkan beliau.
Istri beliau menceritakan kepada saya, ‘Di daerah kami ada tiga mesjid, semuanya menanyakan mengenai pengurusan jenazah beliau dan sebagainya, meskipun mereka ghair Ahmadi. Akan tetapi saya katakan kepada mereka bahwa almarhum akan dishalatkan di mesjid di mana beliau biasa melaksanakan shalat.’
Ketika peti jenazah beliau diturunkan ke dalam kuburan saya menangis karena teringat dengan suatu perkataan paman saya, Almarhum Tn. Sami’ Qazaq. Saya di dekat beliau ketika beliau sakit yang terakhir. Suatu hari sambil menangis beliau mengatakan kepada saya, ‘Sampaikanlah kepada Hadhrat Amirul Mukminin tercinta, bahwa saya sangat mencintai beliau dan saya tetap setia kepada Khilafat hingga akhir hidup saya.’ Kira-kira beliau wafat pada masa Khalifah ketiga. Inilah perkataan beliau. Ini jugalah kesan saya mengenai pribadi Almarhum Tn. Nadir. Beliau memiliki hubungan yang penuh keikhlasan dan kesetiaan dengan Khilafat.”
Orang-orang seperti ini menjadi penggenapan firman Allah Ta’ala berikut ini, مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا (23) Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (Surah al-Ahzaab, 33: 24)
Kemudian Tn. Qazaq mengatakan bahwa almarhum memiliki banyak kenangan dengan para Khalifah. Ketika Hadhrat Muslih Mau’ud r.a datang ke Syiria pada tahun 1955, beliau mendapatkan karunia untuk menyertai Huzur, dan pada tanggal 3 Mei 1955 diadakan suatu majlis di sana bersama dengan para Ahmadi Syiria. Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. dalam majlis tersebut berbicara kepada mereka dalam bahasa Arab.
Mengenai pertemuan yang bersejarah ini Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda, “Majlis yang dilaksanakan pada hari ini adalah bersejarah, dikarenakan lebih dari setengah abad yang lalu, ketika beberapa diantara hadirin sekalian bahkan belum lahir, Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), يدعون لك أبدال الشام وعباد الله من العرب ‘yad’uuna laka abdaalusy Syaami wa ‘ibaaduLlahi minal ‘Arab.’ – ‘Akan ada Abdaalusy Syaam (para wali dari negeri Syam, yaitu Suriah, Palestina dan sekitarnya) dan para hamba Allah yang salih dari antara orang-orang Arab yang akan mendoakan engkau.’ Dan hari ini dengan keberadaan anda sekalian firman Allah Ta’ala ini telah tergenapi.”
Almarhum Tn. Nadir Al-Husni memiliki beberapa foto kenangan beliau bersama dengan Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. pada kesempatan lawatan ini.”
Keponakan beliau, Tn. Ammar Al-Musqi yang di sini berkhidmat di bagian Tabshir dan tinggal juga di London mengatakan, “Beliau memiliki hubungan yang akrab dengan Hadhrat Choudry Zafrullah Khan. Almarhum juga menerjemahkan satu buku Hadhrat Choudry Zafrullah Khan ke dalam bahasa Arab. Beliau memiliki hubungan yang erat dengan Jemaat.
Beliau tidak bisa tahan mendengar kata-kata yang tidak patut mengenai sosok Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan para Khalifah. Suatu kali beliau pergi bersama dua orang saudaranya untuk takziah ke seorang bukan Ahmadi. Di sana hadir juga seorang ulama ternama Syiria, Syekh Albani bersama dengan beberapa orang muridnya. Mereka mengetahui Almarhum Tn. Nadir Al-Husni dan saudara-saudara beliau adalah Ahmadi. Mengetahui hal ini mereka mulai memperbincangkan perkara-perkara yang bertentangan antara para Ahmadi dengan para maulwi lainnya.
Ketika salah seorang diantara mereka menggunakan kata-kata yang tidak patut mengenai Hadhrat Masih Mau’ud (as), paman saya Almarhum Tn. Nadir Al-Husni berdiri dengan marah dan berkata, ‘Jika di antara kalian ada yang berani, ayo berdebat dengan saya.’ Padahal mereka hanya bertiga, sedangkan jumlah murid Syekh Albani lebih dari lima belas orang. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang berani untuk berdebat. Bahkan bukannya berdebat, mereka malah memulai perkelahian dan berusaha untuk menyerang mereka bertiga. Tetapi, orang lain yang hadir dalam takziah (kunjungan untuk pernyataan duka) tersebut melerai mereka.”
Di masa pendidikan, beliau tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyampaikan pesan Hadhrat Masih Mau’ud (as) Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah, beliau pergi ke Amerika untuk mengambil Study Mechanical Engineering. Di tahun terakhir beliau berdiskusi dengan orang-orang dari suatu firqah Yahudi. Mereka kehabisan dalil. Lalu mereka datang kepada Principal dan memintanya untuk mengeluarkan beliau dari College. Singkatnya, atas permintaan Principal tersebut beliau berpindah College dan pergi meninggalkan Amerika menuju Kanada.
Fokus perhatian beliau sepenuhnya senantiasa tertuju pada buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan para Khalifah. Beliau membaca buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud yang berbahasa Arab dengan suara beliau dan merekamnya. Beliau juga selalu berusaha untuk mempelajari bahasa Urdu dan menerjemahkan syair-syair Farsi Hadhrat Masih Mau’ud (as) ke dalam bahasa Arab. Seluruh kemampuan bahasa Arab dan Inggris beliau, beliau curahkan untuk pekerjaan menerjemah. Beliau juga tergabung dalam tim penerjemah ke dalam bahasa Arab jilid pertama lima volume tafsir berbahasa Inggris.
Beliau juga menulis beberapa buku dalam bahasa Arab sebagai jawaban atas para penentang Islam. Dengan mengambil faedah dari buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) diantaranya beliau menulis suatu buku yang berjudul, “Nubuatan-nubuatan Terdahulu Mengenai Pengutusan Rasul Agung Muhammd s.a.w.” Beliau memiliki satu perpustakaan pribadi yang besar yang berisi buku-buku Islami. Beliau berwasiyat mengenainya supaya sepeninggal beliau diserahkan kepada Jemaat.
Tn. Abdul Qadir Audah mengatakan, “Beliau juga menulis beberapa buku mengenai Jemaat. Kemudian buku-buku tersebut beliau terbitkan dengan biaya sendiri. Beliau adalah sosok yang mukhlis dan sangat mencintai Khilafat. Beliau juga selalu menjelaskan kepada orang-orang mengenai pentingnya candah.”
Seorang mubaligh yang juga dosen Jamiah Kanada, Tn. Abdur Razzaq Faraz mengatakan, “Beliau seorang yang sangat sabar dan senantiasa bersyukur. Beberapa tahun terakhir disebabkan oleh penyakit beliau, beliau tidak bisa memasukkan makanan melalui mulut. Beliau makan dengan bantuan mesin. Dalam kondisi seperti ini pun ketika keadaan beliau membaik, beliau datang ke mesjid untuk shalat Jum’at.
Ketika para Ahmadi Arab datang ke Kanada dikarenakan kondisi kekacauan di Syiria (Suriah), beliau menemui mereka dengan penuh kasih sayang dan kehangatan, dan beliau menasihatkan supaya senantiasa menjalin hubungan dengan Jemaat. Beliau mengatakan bahwa di negeri ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan anak-anak kita adalah dengan senantiasa menjalin hubungan dengan Jemaat dan Masjid.”
Seorang Mubaligh di Kanada, Tn. Muslihuddin Syamur mengatakan, “Tn. Nadir Al-Husni selalu menulis kepada saya. Setelah mendengarkan khutbah beliau memprintnya dan membacanya lagi. Kemudian beliau menyimpannya dalam satu file. Beliau merekam dengan suara beliau buku-buku berbahasa Arab karya Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan terjemahan bahasa Arab sepuluh jilid Tafsir Kabir [karya Hazrat Khalifatul Masih II], kemudian menyimpannya dan mendengarkannya berulang-ulang ketika dalam perjalanan pulang-pergi untuk shalat Jumat, atau terkadang mendengarkan tilawat. Terjemahan bahasa Arab daras Al-Quran Hadhrat Khalifatul Masih AL-Rabi’ r.h. yang mulai ditayangkan di MTA pun beliau mulai rekam dan beliau simpan. Saya datang ke rumah beliau dan beberapa kali ketika singgah di sana, saya mendengar tangisan beliau ketika tahajud selama 1,5 – 2 jam sebelum shalat subuh. Jika beliau menonton TV, yang ditonton hanya MTA dan kadang-kadang berita. Suatu kali MTA beliau mengalami kerusakan, beliau segera memanggil teknisi untuk memperbaiki MTA, beliau katakan beliau tidak bisa hidup tanpa itu.”
Tn. Syamur juga menulis, “Di dalam tahajjud beliau selalu membaca doa, اللهم أتمم علينا نعمة الخلافة ‘Allahumma atmim ‘alainaa ni’matal khilaafah.’ Artinya, ‘Ya Allah! Berikanlah kami taufik untuk mengambil faedah sebaik-baiknya dari keberkatan-keberkatan Khilafat.’ Dan ketika beliau membaca doa ini beliau mulai menangis. Peristiwa seperti ini beberapa kali saya lihat.”
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat almarhum dan memberikan taufik kepada istri dan anak-anak beliau untuk baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan seluruh doa-doa yang beliau panjatkan untuk mereka dikabulkan.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Muhammad Hashim (Jakarta, Indonesia); Editor: Dildaar Ahmad Dartono (Indonesia). Referensi proof reading (baca ulang dan komparasi naskah) :http://www.islamAhmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Asadul Ghabah
[2] Kitab al-Maghazi karya Muhammad ibn Umar al-Waqidi.
[3] Syarh Nahjul Balaghah karya Ibn Abil Hadid (شرح نهج البلاغة – ابن أبي الحديد – ج ١٥ – الصفحة ٤٠)
[4] Kitab al-Maghazi karya Muhammad ibn Umar al-Waqidi. Di dalam kitab lain yaitu al-Bidayah wan Nihayah, Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Katsir dan Dalailun Nubuwwah al-Baihaqi tertulis, أَمَا وَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي غُودِرْتُ مَعَ أَصْحَابِ نُحْصِ الْجَبَلِ
[5] Sayyidatuna Fathimah putri Rasulullah (saw) (saw) saw di dalam Kitab tersebut juga disebutkan berziarah kubur paman ayah beliau, Hazrat Hamzah. وَكَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللّهِ ÷ تَأْتِيهِمْ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ وَالثّلاثَةِ فَتَبْكِى عِنْدَهُمْ وَتَدْعُو،
[6] Tarikh Islam karya adz-Dzahabi (تاريخ الإسلام – الذهبي – ج ٢ – الصفحة ٢٠٧); Dalailun Nubuwwah () karya Imam al-Baihaqi (دلائل النبوة للبيهقي), pengantar (الْمَدْخَلُ إِلَى دَلائِلِ النُّبُوَّةِ وَمَعْرِفَةِ), bab kumpulan bab perang Uhud (بَابُ جِمَاعِ أَبْوَابِ غَزْوَةِ أُحُدٍ), bab (بَابُ : مَا جَرَى بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَرْبِ وَذَهَابِ). Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين) karya Hakim Naisaburi (أبو عبد الله محمد بن عبد الله الحاكم النيسابوري), Kitab tentang Tafsir (كتاب التفسير), (قراءات النبي صلى الله عليه وآله وسلم مما لم يخرجاه وقد صح سنده), (زيارة قبور الشهداء ورد السلام منهم إلى يوم القيامة)
[7] Sirah Khataman Nabiyyin karya Hazrat Mirza Bashir Ahmad, mengutip dari Kitab Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d.
[8] Asadul Ghabah fi ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة في معرفة الصحابة)
[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d; Imta’ul Asma karya Al-Maqrizi (إمتاع الأسماع – المقريزي – ج ١٢ – الصفحة ١٦٧);
[10] Ibunda Abul ‘Ash ialah Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, ibunda Zainab, istri Rasulullah saw.
[11] Surah Ali Imran, 3:154-155: “(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah…”
[12] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), Bab perang Uhud (باب غزوة أحد). Fathul Bari syarh atau uraian atas Shahih al-Bukhari(فتح الباري شرح صحيح البخاري) karya Ibn Hajar al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر العسقلاني).
[13] Al-Maghazi karya Al-Waqidi (كتاب المغازي للواقدي) bab tentang perang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ); ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d (طبقات ابن سعد – ج 3 – الطبقة الأولى في البدريين من المهاجرين والأنصار – 23)
[14] Al-Maghazi karya Al-Waqidi (كتاب المغازي للواقدي) bab tentang perang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ); ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d (طبقات ابن سعد – ج 3 – الطبقة الأولى في البدريين من المهاجرين والأنصار – 23)