Potret Pengorbanan Ideal Keluarga Ibrahim dan Nabi Agung yang Dijanjikan

Khotbah Idul Adhha

Potret Pengorbanan Ideal Keluarga Ibrahim dan Nabi Agung yang Dijanjikan dan kontrasnya dengan umat Islam di masa Kontemporer

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullahu Ta’ala bi nashrihil ‘aziiz

Tanggal 17 Nubuwwah 1389 HS/November 2010

Di Masjid Baitul Futuh, London.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ () فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ () وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ () قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ () إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ () وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ () وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ ()

‘Falammaa balagha ma’ahus sa’ya qaala yaa bunayya innii araa fil manaami anni adzbahuka fanzhur maadzaa taraa qaala yaa abatif ‘al maa tu-mar satajidunii insyaa Allahu minash shaabiriin () falammaa aslamaa wa tallahu lil jabiini () wa naadainaahu ay yaa ibraahiimu () qad shaddaqtar ru-ya innaa kadzaalika najzil muhsiniina () inna haadzaa lahuwal balaa-ul mubiinu () wa fadainaahu bidzibhin ‘azhiim () wa taraknaa ‘alaihi fil aakhiriin’ ()

“Dan ketika anak itu telah berusia cukup untuk dapat berlari-lari bersama dia, berkatalah ia, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu sebagai korban. Maka pikirkanlah apa pendapatmu ?’ Ia berkata, ‘Hai, bapakku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau; insya Allah engkau akan mendapatiku, di antara orang-orang yang sabar.’

Dan, ketika keduanya telah rela berserah diri dan ia, Ibrahim, telah menelungkupkan anak-nya pada dahinya. Maka Kami berseru kepadanya, ‘Hai Ibrahim, sungguh engkau telah menyempurnakan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi ganjaran orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan, Kami telah menebus dia, Ismail dengan pengorbanan yang besar. Dan, Kami meninggalkan nama baik baginya, Ibrahim, di antara umat-umat yang akan datang.” (Ash-Shaffaat, 37: 103 -109)

Inilah terjemahan ayat-ayat ini, “Ketika beliau (Nabi Ibrahim ‘alaihissalam) bersama (putra)nya (Nabi Ismail as) yang telah sampai pada usia yang layak untuk berlari-lari, dia berkata, ‘Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku tengah menyembelih engkau. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu.’ Dia menjawab, ‘Wahai bapakku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau. Sesungguhnya jika Allah menghendaki maka engkau akan mendapatiku termasuk diantara orang-orang yang sabar.’

Ketika mereka berdua telah ridha (rela dan ikhlas) dan dia telah menelungkupkannya pada keningnya, Kami menyerunya, ‘Wahai Ibrahim! engkau telah menyempurnakan mimpi engkau.’ Sungguh! Seperti itulah kami memberikan ganjaran kepada orang-orang yang melakukan kebaikan. Sesungguhnya ini satu ujian yang sangat terang dan jelas dan Kami telah menyelamatkannya dengan menggantikannya dengan pengorbanan yang agung dan Kami telah meninggikan nama baiknya untuk orang-orang yang akan datang sesudahnya.”

Hari ini kita merayakan hari raya Idul Adhha, yakni Id sedemikian agung yang merupakan Id pengorbanan-pengorbanan; merupakan Id dalam rangka mengenang pengorbanan yang terjadi empat ribu tahun lalu dari hari ini, yang mana untuk menegakkan standar baru pengorbanan dua orang pilihan atau kekasih Tuhan telah mempersembahkan pengorbanan di hadapan Tuhan dari mereka berdua.

Tetapi pada saat itu Tuhan mencegah memotong dan terpotongnya leher di jalan-Nya lalu berfirman قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡیَا ۚ  ‘shaddaqtar ru-ya’, “Engkau telah menyempurnakan rukya atau mimpi engkau itu.” Dengan firman-Nya itu seolah-olah Dia mengumumkan terkabulnya pengorbanan penyembelihan. Itu artinya, sebagai ganti satu leher (satu sembelihan) yang tadinya siap untuk disembelih itu, Allah Ta’ala ingin menegakkan teladan pengorbanan yang besar dan agung. Pengorbanan agung tersebut sedemikian rupa mutu dan nilainya akan lebih luhur dari sekedar menyembelih seorang anak manusia.

Ketika Nabi agung itu lahir (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau saw tidak hanya siap dan sedia setiap saat untuk mengorbankan dirinya di jalan Allah; bahkan di kalangan orang-orang yang akan mengimaninya pun dia akan meniupkan ruh pengorbanan, yaitu ruh yang setiap saat terus-menerus menegakkan standar-standar baru pengorbanan demi pengorbanan. Kemudian dunia menyaksikan bahwa corak unik pengorbanan-pengorbanan telah terus berdiri tegak. Contoh-contoh unik standar pengorbanan mulai bermunculan.

Dalam upaya berlomba dalam pengorbanan-pengorbanan itu para sahabat Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpikir supaya Tuhan yang kita cintai itu ridha dengan amal kita itu. Mereka ini bersamaan dengan berusaha berjalan sesuai dengan contoh majikan, mereka setiap saat siap jika ingin memberikan pengorbanan kesabaran dan semangat. Jika tiba saatnya harus mengorbankan harta, pribadi-pribadi yang telah mendapat pendidikan dari Rasul Tuhan itu siap saling berlomba satu dengan yang lain.

Manakala tiba saat melakukan pengorbanan jiwa, contoh terpampang sedemikian rupa sehingga manusia menjadi heran karenanya. Dengan melihat kegembiraan mereka dalam mengorbankan jiwa, Allah berfirman dalam Al-quran, وَّ اَعۡیُنُہُمۡ تَفِیۡضُ مِنَ الدَّمۡعِ حَزَنًا اَلَّا یَجِدُوۡا مَا یُنۡفِقُوۡنَ ‘…wa a’yunuhum tafiidhu minad dam’i hazanan an-laa yajiduu ma yunfiqun.’ – “…dan mata mereka berurai air mata akibat sedih karena mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa mereka belanjakan.” (At-Taubah, 9: 92)

Pengorbanan ini bukan semata-mata menyerahkan harta-benda. Lebih dari itu, bahkan ketika mereka diseru untuk jihad di jalan Allah yang pada saat itu kondisi mereka seperti digambarkan berikut ini, “Saat itu [untuk berjihad harus menempuh] perjalanan jauh. Diperlukan kendaraan yang tidak tersedia pada mereka. Mereka adalah orang-orang miskin. Bahkan kondisi miskin mereka sedemikian rupa sehingga alas kaki (sandal atau sepatu) pun mereka tidak punya.

Terbukti dari sebagian riwayat permintaan mereka adalah: ‘Sekiranya kami mendapatkan hanya sepatu saja, maka kami pun akan menempuh perjalanan yang panjang itu dengan berjalan kaki. Kami tidak meminta kuda sebagai tunggangan, atau pun unta, kami hanya memohon sekedar sepatu semata yang bila kami mendapatkannya kami akan ikut serta dalam perjalanan.’”[1]

Tetapi pada zaman permulaan itu taufik sesederhana itu pun tidak ada, sehingga kepada semua sahabat, kepada para sahabat yang miskin seperti itu sampai hanya untuk disediakan sepatu-sepatu saja tidak ada bagi mereka yang resah dan gelisah ingin mengorbankan jiwa-jiwa mereka. Allah Ta’ala berfirman, sungguh inilah orang-orang beriman yang memiliki kegemaran dan kecintaan (syauq) untuk berkorban.

Ketika mereka mengetahui Nabi saw tidak mampu memenuhi permintaan mereka, “Secara Jemaat kami tidak bisa menyediakan alas-alas kaki untuk Anda sekalian dan tidak pula kendaraan macam apapun. Jika Anda sekalian bisa mengurus (menyediakan) sendiri sediakanlah!”

Atas jawaban itu air mata mereka terurai atau mereka meneteskan air mata, “Wahai! Kiranya seandainya kami layak atau mampu, kami pun akan membuktikan bahwa kami bukan orang-orang yang takut pada pengorbanan macam apapun. Harta dan jiwa ini merupakan milik Allah. Kami sesungguhnya setiap saat gelisah ingin mengorbankan itu.”

Dan pada saat mendapat kesempatan orang-orang itu telah membuktikan bahwa mereka itu tidak salah, mereka bukanlah orang-orang yang membuat-buat alasan. Pendek kata, tekad-tekad dan amal praktis untuk melakukan pengorbanan itulah yang membawa mereka pada kedudukan yang mana Allah memberikan gelar radhiyallahu anhum, Allah ridha kepada mereka.

Dengan demikian, ketika Hadhrat Ibrahim dan Hadhrat Ismail as meraih kesukaan dari Allah Ta’ala berupa kalimat قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡیَا ۚ  qad shaddaqtar ru’ya, engkau telah menyempurnakan mimpi engkau; maka Nabi agung yang lahir dari generasi beliau as setelah menegakkan teladan agung pengorbanan besar itu lalu beliau menegakkan standar pengorbanan itu juga dalam diri para pengikutnya sehingga beliaulah yang telah menjadi faktor pendorong dianugerahkannya gelar dari Allah (kepada para sahabat) radhiyAllahu ‘anhum’ – “Semoga Allah meridhai mereka”.

Ladang fana dan kesetiaan inilah yang terus menerus tumbuh berkembang bersamaan dengan mempertahankan dan menegakkan standar pengorbanan-pengorbanan. Allah Ta’ala sebagai ganti dari pengorbanan itu Dia telah menyediakan sarana dan prasarana duniawi sesudahnya. Dia juga telah menganugerahkan karunia kekuasaan kepada mereka dengan menjadi pemimpin negara dan pemerintahan.

Jika hari ini kita perhatikan, memang pada sebagian umat Islam kekayaan dunia ada pada pemerintahan-pemerintahan Islam namun kedudukan ridha Allah Ta’ala yang dari itu dapat diketahui kedekatan dengan Allah Ta’ala tidak tampak. Walaupun dalam keberadaan harta bendapun mereka tetap berjalan dibawah isyarat-isyarat pemerintahan bukan Islam (negara-negara Muslim yang kaya dibawah pengaruh atau perintah negara-negara non Muslim yang kuat).

Dahulu, orang-orang Islam bersamaan dengan menikmati buah hasil pengorbanan mereka, mereka menjadikan dunia sebagai orang-orang yang menyembah Allah, mereka telah mengibarkan bendera Muhammad saw di Eropa, namun ketika mereka telah melupakan mutu pengorbanan itu, mereka pun harus kehilangan sebagian negara-negara yang tadinya mereka telah kuasai. Ketika mereka bukannya menyampaikan tabligh Islam malah justru kerakusan pada dunia yang menguasai hati mereka sehingga pemerintahan-pemerintahan menjadi lemah dan kehormatan pun lenyap. Akhirnya semuanya hilang dari tangan dan kini kehormatan negara-negara Islam dan kemuliaan serta wibawa tidak lagi bertahan.

Dewasa ini jika ada kekuatan [umat Islam] yang berusaha untuk muncul ke permukaan sebagai reaksi, mereka miliki pandangan bahwa mereka berusaha untuk menegakkan sistim pemerintahan Islam. Maka, mereka itupun merupakan orang-orang yang sedemikian rupa tidak mempunyai tarbiyat (pendidikan keislaman) yang memadai sehingga bukannya mencemerlangkan nama Islam malahan akibat dari pemikiran mereka yang keras itu, mereka merusak nama Islam di belahan dunia yang bukan Islam. Orang-orang Islam lainnya yang tak berdosa pun dengan cara yang aniaya mereka habisi dengan pembunuhan, perampokan dan pembantaian. Jadi pemerintahan-pemerintahan negara-negara Islam dan para ulama juga harus merubah pola pikir mereka.

Pada kesempatan haji ini benar apa yang telah dikatakan Mufti Besar Saudi Arabia dalam khotbahnya bahwa akibat ketidakadilan akan timbul kekacauan. Jika pemerintahan-pemerintahan Islam tidak memerhatikan hak-hak umat Islam maka akan terjadi kerusakan. Sama sekali benar apa yang beliau katakan bahwa darah umat Islam tengah ditumpahkan dan di dalam Islam tidak ada celah untuk melakukan tindakan terorisme. Benar juga apa yang beliau katakan bahwa bangsa-bangsa lain ingin membuat umat Islam berperang melawan sesama umat Islam. Itupun benar apa yang beliau katakan bahwa di antara umat Islam perlu ada kesepakatan.

Tetapi, sang mufti dan para ulama Islam lainnya serta para pemuka Islam lainnya tidak bersedia mengakui bahwa untuk menegakkan ruh Islam di zaman ini adalah dengan menyatakan kesetiaan kepada pribadi yang Allah telah kirim pada zaman ini. Dengan mengimaninya orang-orang Islam mengembalikan kembali kemuliaan mereka, dengan berkumpul di tangan Al-Masih dan Al-Mahdi, umat Islam memperlihatkan pemandangan umat yang satu. Dengan menjadi pengikut setia pencinta sejati Rasulullah saw mereka menegakkan standar pengorbanan-pengorbanan dan meninggikan standar kerohanian mereka seraya menyatu bergabung dengan Masih Muhammadi yang menjadi sarana untuk meraih ridha Allah.

Walhasil, hari ini jika ingin meneruskan mata rantai yang mulai dari pengorbanan Hadhrat Ibrahim dan Hadhrat Ismail alahimassalam sampai kedudukan pengorbanan agung yang mana mereka pergi (meninggalkan dunia) setelah menegakkan standar segala macam pengorbanan, maka suatu keharusan dengan menjadi sosok pembenar nubuatan Nabi yang benar itu lalu harus bergabung dengan al-Masih dan al-Mahdi, yang merupakan pencinta sejati Baginda Nabi saw.

Seandainya umat Islam bersatu dan bukan melakukan penentangan terhadap Imam Zaman, justru menjadi yang memperkuat tangan beliau as maka mereka akan menjadi yang memperlihatkan kembali kepada dunia pemandangan pamor kaum Muslim yang telah hilang. Insya Allah.

Dengan sangat jelas saya menasehatkan sembari menekankan, dewasa ini yang akan berguna untuk menyatukan umat Islam bukanlah nasehat seorang mufti dan nasehat seorang alim besar; dan tidak pula kekayaan minyak raja manapun yang dapat menyatukan umat Islam di bawah satu tangan dan tidak pula dengan menegakkan sistem kekuasaan yang penuh dengan kekerasan dapat ditegakkan standar pengorbanan–pengorbanan zaman awal. Ya, beberapa orang hanya untuk beberapa hari saja setelah mengetahui nasehat tersebut pasti akan menekankan pentingnya mengamalkannya. Dengan menggunakan nama Islam, raja dan pemerintahan-pemerintahan dengan harta mereka bisa meraih keuntungan-keuntungannya.

Atas nama agama dan dengan cara yang salah, organisasi-organisasi garis keras menggunakan anak-anak dari keluarga yang miskin dan keluarga yang mati karena kelaparan dan kemiskinan; dan mencuci otak mereka (brain washing) untuk melakukan bom bunuh diri atas nama pengorbanan. Namun, anak-anak yang telah mereka cuci otaknya itu manakala dikeluarkan dari lingkungan [organisasi pembom bunuh diri] akan berpikir untuk menyelamatkan jiwa. Seolah-olah ini bukan merupakan suara hati mereka.

Banyak anak yang seperti itu telah muncul ke permukaan [diketahui dan diberitakan oleh media ke publik]. Setelah ditangkap polisi dan ketika mereka diberikan jaminan keselamatan maka mereka memberikan keterangan dan mereka menghindar [dari apa yang mereka sebut] pengorbanan itu. Jadi apabila orang-orang ini, anak-anak ini menjadi sadar maka pola pikir mereka menjadi berubah. Kini adakanlah pemeriksaan atau survei maka kebanyakan anak-anak yang melakukan bom bunuh diri itu juga merupakan anak-anak yang tidak memiliki pola pikirnya sendiri. Anda sekalian tidak akan melihat bahwa orang-orang yang sudah berpikir dewasa terlibat dalam serangan-serangan bunuh diri semacam itu.

Pengorbanan yang dilakukan secara sadar adalah pengorbanan yang pernah dilakukan oleh dua remaja (bernama) Muawwidz dan Mu’adz yang seperti harimau di jantung musuh lalu mengirim Abu Jahal ke neraka. [2] Tetapi orang-orang yang mempersembahkan jiwanya itu melakukannya untuk melindungi agamanya. Mereka pergi ke medan perang untuk menjawab serangan musuh. Jika tidak [melakukan jihad menahan serbuan musuh], maka waktu untuk menahan kesulitan-kesulitan dengan sabar dan ridha bukan masa yang pendek [akan mengalami penderitaan berkepanjangan].

Namun, dewasa ini betapa [menyedihkannya gambaran] peperangan-peperangan umat Islam yang terjadi dimana mereka ini melakukan penyerangan atas nama membela Islam; dan kemudian penyerangan itu pun mereka lakukan kepada penduduk negara-negara mereka sendiri yang Muslim dan itu dilakukan dengan menginjak-injak undang-undang negara. Jadi pengorbanan yang hanya sekedar nama ini bukanlah pengorbanan yang diterima dihadirat Tuhan.

Benar apa yang dikatakan oleh mufti Besar Saudi Arabia bahwa kita perlu merubah keadaan-keadaan kita. Wahai kiranya beliau juga mengatakan, “Carilah seorang pilihan Allah untuk merubah kondisi-kondisi itu!” Sembari melihat tanda-tanda langit dan bumi, hendaknya beliau sampaikan jugalah pengumuman, “Kendati tanda-tanda sesungguhnya nampak dan itu semua sedang nampak tetapi kita ada sedikit menahan diri atau kehati-hatian pada orang yang mendakwakan diri itu.

Pada saat haji khususnya orang-orang yang melakukan haji dan umumnya umat Islam marilah berdoa seperti ini, ‘Wahai Tuhan! jika orang yang menyatakan diri ini benar, janganlah jauhkan kami dari kebenaran. Bimbinglah kami supaya kami menerima amanat yang telah Engkau berikan melalui Rasulullah saw dan kami menjadi peeraih ridha Engkau.’” Jika mereka dengan hati yang tulus dan niat yang benar berdoa seperti ini, Tuhan pasti akan memberikan bimbingan. Insya Allah.

Dengan baiat di tangan Masih dan Mahdi ini mereka juga akan mengetahui apa cara-cara atau mekanisme Jihad dan akan timbul juga pemahaman mengenai standar-standar pengorbanan. Pada zaman ini mereka juga akan mengetahui keagungan segi sifat Ahmad dari yang mulia Rasulullah saw karena pada zaman ini keagungan sifat Ahmad dari Rasulullah saw-lah yang akan menciptakan revolusi di dunia. Hal inilah yang akan membawa dunia atau umat manusia ke pangkuan Muhammad Mustafa saw; mengumpulkan dunia di bawah bendera Muhammad saw dengan kelemahlembutan, kesabaran, kecintaan dan doa.

Pendeknya, sekarang ini merupakan takdir mubram Allah bahwa yang akan melaksanakan tugas ini adalah Imam pada zaman ini, Masih Muhammadi dan para pelayannya. Selanjutnya, tugas itu mereka lakukan bersamaan dengan memahami ruh kesabaran, doa dan pengorbanan dan menegakkan standar pengorbanan. Sejarah Jemaat Ahmadiyah memperlihatkan kepada kita mutu tinggi kesabaran, doa dan pengorbanan itu. Standar pengorbanan itu tidak akan tegak dengan melenyapkan diri sendiri dalam serangan bom bunuh diri atau memberi nama serangan-serangan bunuh diri itu dengan nama pengorbanan untuk menipu dunia.

Melainkan, standar pengorbanan itu diraih dengan kesabaran dan ridha serta dengan meraih ketaatan, yaitu ketaatan kepada amanat yang diletakkan oleh utusan Allah di depan para pengikutnya. Ketika Rasulullah saw – khusus zaman al-Masih dan al-Mahdi – telah menekankan untuk yadha’ul harb (mengakhiri peperangan), maka merupakan tuntutan iman supaya [sabda Nabi saw] itu ditaati.

Dewasa ini para Ahmadilah yang sejak 120 tahun lalu terus-menerus mempersembahkan jiwa, harta, waktu dan kehormatan mereka. Sejarah Jemaat Ahmadiyah tidak pernah melupakan pengorbanan jiwa yang pernah dilakukan oleh Syahzadah Abdul Latif syahid di masa kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud (as). Kendati sekian banyak macam iming-iming [tawaran-tawaran mengggiurkan] dan kendati mendapat kesempatan beberapa hari untuk berpikir, beliau dengan kesabaran dan kerelaan luar biasa seraya memperlihatkan keimanannya telah mengorbankan jiwanya dalam lemparan hujan batu dari orang-orang aniaya.

Berkaitan dengan [pensyahidan beliau] itu Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Contoh keyakinan sempurna telah diperlihatkan oleh Syahzadah Maulwi Abdul Latif. Tidak ada perkara yang lebih besar dari pengorbanan jiwa. Dengan mengorbankan jiwa secara teguh seperti itu beliau tengah memberitahukan dengan jelas bahwa beliau telah melihatku turun dari langit.”

Kemudian beliau bersabda, “Syahid marhum memberikan sebuah contoh kepada Jemaatku dan pada dasarnya Jemaatku memerlukan sebuah contoh yang besar.”

Jadi, pengorbanan yang Imam Zaman saat itu telah menyatakannya sebagai sebuah contoh, itu tidak akan pernah bisa keluar atau lepas dari sejarah Jemaat Ahmadiyah. Ya, dengan memperhatikan contoh itu orang-orang yang bergabung dalam Jemaat Hadhrat Masih Mau’ud as sesudahnya, mereka pasti mempersembahkan jiwa mereka dengan berusaha menegakkan atau mempertahankan standar pengorbanan dan mereka telah lakukan dan sampai hari ini mereka terus menerus mepersembahkannya.

Tahun ini yang merupakan tahun 2010, di dalamnya sungguh dari antara orang-orang yang mengimani beliau, mengakui kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud as dari kedalaman lubuk hati terdapat 98 orang (Ahmadi) yang telah mempersembahkan jiwanya (disyahidkan). Mereka telah memberitahukan kepada dunia dengan mempersembahkan persembahan ini, “Standar pengorbanan yang kami persembahkan, akar-akarnya tengah diairi dengan ruh yang Rasulullah saw telah ciptakan dalam diri para sahabat beliau. Jadi, sesuatu [pohon pengorbanan] yang akar-akarnya sedemikian dalamnya bahkan sampai pada pengorbanan Hadhrat Ibrahim dan Hadhrat Ismail as, akar-akar itu bagaimana bisa angin-angin perlawanan musuh dan angin-angin kencang para penentang bisa menggoyahkannya?”

Benih yang ditanam oleh tangan Masih Muhammadi itu kini dengan karunia Allah telah menjadi pohon yang kokoh dan kuat dan cabang-cabangnya telah tersebar di 198 negara [kini 210 negara-penerjemah] di setiap benua besar di dunia. Bagaimana bisa angin-angin perlawanan dapat menggoyahkan akar-akar itu. Sesungguhnya inilah sesuatu yang telah kita lihat dalam sejarah Jemaat Ahmadiyah bahwa setiap perlawanan, setiap pengorbanan mendatangkan buah dan mendatangkan buah lebih dari sebelumnya.

Sampai kini di dalam sejarah pengorbanan-pengorbanan Jemaat Ahmadiyah, sebelum tahun ini, pada tahun 1974 paling banyak terjadi kesyahidan, hampir ada 30 puluh orang yang syahid. Tetapi sesudah tahun 1974 pengembangan yang diperoleh Jemaat, sebagaimana Jemaat berkembang, tidak ada contohnya sebelumnya. Orang yang mendapat kerugian dari segi harta benda kondisi harta bendanya atau ekonominya lebih baik dari sebelumnya. Setelah melihat puncak karunia-karunia Allah, orang-orang yang memberikan pengorbanan-pengorbanan itu sendiri menjadi heran betapa Allah memperlihatkan tanda kekuasaan-Nya. Kemudian tiba zaman ordonansi yang sangat buruk pada 1984, yang lebih keras (memperketat) lagi keputusan Parlemen tahun 1974[3]

Kehidupan orang-orang Ahmadi dipersempit. Penjara-penjara dipenuhi oleh orang-orang Ahmadi. Akibat undang-undang aniaya itu yang puncaknya adalah orang-orang Ahmadi sampai menyampaikan salam kepada orang lain pun tidak boleh, bahkan sampai memberi nama pun tidak bisa. Khalifah-e-Waqt (khalifah masa itu) terpaksa harus hijrah dari Pakistan, maka Allah untuk memperluas Jemaat telah membuka jalan yang tidak pernah tergambarkan sebelumnya.

Akibat [positif] dari undang-undang itu, Jemaat menjadi dikenal di seluruh penjuru bumi. Kemudian undang-undang inilah yang kini terus menciptakan kesulitan demi kesulitan kepada orang-orang (Ahmadi) yang tinggal di Pakistan. Orang-orang Ahmadi terus menghadapi kesulitan-kesulitan itu. Bagi mereka ini, kapan saja aparat merasa gerah maka tindak kekerasan dilakukan terhadap orang-orang Ahmadi. Oleh karena itu akibat dari undang-undang itu orang-orang Ahmadi yang kini berada di Pakistan mereka menegakkan kembali standar mata rantai pengorbanan.

Sebagaimana saya telah katakan, setiap kali pada mereka ada power atau seberapa kemampuan yang mereka miliki dari kalangan aparat, bahkan dari kalangan mullah sekalipun, mereka menimpakan kesulitan-kesulitan bagi para Ahmadi. Kemudian pengorbanan jiwa yang dipersembahkan orang-orang Ahmadi pada masa itu bukanlah pengorbanan biasa. Tetapi (corak) cara Tuhan memberikan anugerah pun sedemikian rupa tidak bisa ada tolok ukurnya (bandingannya).

Para penentang berkata, “Berhentilah dan keluarlah dari Ahmadiyah kalau tidak kami akan melakukan ini dan itu” sehingga sebagaimana saya telah katakan akibat dari kezaliman-kezaliman mereka orang-orang Ahmadi mempersembahkan jiwa mereka dan meraih kedudukan syahid.

Tapi satu pun dari keluarga terdekat mereka yang syahid yang bersimpuh di hadapan musuh memperlihatkan kelemahannya [menyerah dan mengikuti kemauan penentang]. Mereka tidak memelas untuk dikasihani hidupnya. Mereka tidak mengemis untuk diselamatkan dari kerugian-kerugian harta benda. Mereka telah menegakkan contoh keteguhan yang akan ditulis dengan tinta emas.

Baru-baru ini saja terjadi kesyahidan yang terhormat Syekh Mahmud Syahid di Mardan, sedangkan putra beliau, yang terhormat Arif Mahmud terluka. Sebagaimana telah saya beritahukan di khotbah Jumat ketika Nazir Umur Amah berbicara [dengannya] melalui telpon, dia yang tengah terluka berkata kepada beliau, “Walau dalam keadaan terluka, saya sangat semangat. Insya Allah tidak akan ada yang dapat menggoyahkan iman kami.”

Jadi suatu kaum yang mana ada orang-orang yang memberikan pengorbanan seperti itu; ada pemuda seperti itu yang berbicara dengan menantang maut di depan matanya; menakut-nakutinya dengan kematian apa artinya?

Iman di dalam diri mereka terjadi karena akibat bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani adalah Masih dan Mahdi. Ridha Allah kini berada dalam hal ini, yaitu menyatu dengan Masih dan Mahdi; baru ridha-Nya akan diraih dan dapat menjadi pewaris karunia-karunia-Nya. Firman Allah ini memperteguh hati mereka dan memberikan ketenteraman pada mereka نَحۡنُ اَوۡلِیٰٓؤُکُمۡ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَشۡتَہِیۡۤ اَنۡفُسُکُمۡ وَ لَکُمۡ فِیۡہَا مَا تَدَّعُوۡنَ ‘Nahnu auliyaaukum fil hayatid dunya wa fil aakhirah wa lakum fiihaa maa tasytahii anfusukum wa lakum fiiha maa tadda’uun.’ “Kami adalah teman-temanmu di dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Dan bagi kamu di dalamnya apa yang diinginkan diri kamu dan bagi kamu di dalamnya apa-apa yang kamu minta.” Surah Fushshilat (Haa Mim as-Sajdah), 41: 32)

Pendeknya, yang menjadi Wali (pelindung) atau yang menjadi temannya di dunia dan di akherat adalah Allah. Maka dari itu, apa yang dia hiraukan dengan orang-orang dunia dan siapa yang bisa mencegahnya untuk melakukan pengorbanan-pengorbanan. Jadi pemuda itu ketika mengatakan, “Satu dua peluru, ini tidak ada artinya. Jika kami diberondong dengan banyak sekali peluru sekalipun kami tidak hiraukan.” Ringkasnya, tekad ini terlahir didalam diri orang-orang yang demi untuk ridha Allah siap sedia mengorbankan segala sesuatu miliknya.

Dengan demikian, manakala kita telah mengikat tali perjanjian setia dengan Imam Zaman maka janji itu kita ikat untuk meraih ridha Allah. Kita mengikat itu dengan pemahaman bahwa hubungan dengan Tuhan itu harus dipelihara hingga pada titik kesempurnan. Dengan memahami akan hal tersebut kita telah mengikat perjanjian itu bahwa ladang cinta dan kesetiaan tidak bisa subur tanpa dialiri aliran darah.

Kita mengikat janji itu dengan tegak pada keyakinan bahwa janji kemenangan yang dijanjikan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as itu pasti akan sempurna karena banyak sekali janji yang kita lihat telah sempurna. Janji-janji Allah Ta’ala bersama [kepada] Hadhrat Masih Mau’ud as tidak terbatas dengan suatu zaman atau tidak pula bahwa ada beberapa janji saja yang akan sempurna dan beberapa yang tidak akan sempurna.

Nubuatan-nubutan yang beliau telah nubuatkan dengan mendapat pemberitahuan dari Allah Ta’ala atau apa yang telah Allah Ta’ala sampaikan kabar suka kepada beliau itu adalah untuk menjadi sempurna. Allah Ta’ala tidak pernah menarik kembali atau mundur dari janji-Nya.

Ya, untuk mengambil bagian dari (sempurnanya janji) itu perlu berjalan pada jalan-jalan yang telah diberitahukan oleh Allah Ta’ala. Perlu menegakkan standar ketaatan dan pengorbanan kita. Selama kita terus melakukan ini maka pertolongan Allah akan terus bersama kita, Insya Allah. Jika kita menyaksikan sampai ke kedalaman, janji kebangkitan Islam yang kedua kali di zaman Masih Mau’ud as, telah Allah janjikan kepada Rasulullah saw dan kemajuan Islam melalui Ahmadiyah merupakan janji Allah yang diterangkan dalam ayat وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ    ‘wa aakhariina minhum lamma yalhaquu bihim “Dan, Dia akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka…” (Al-Jumuah, 62: 4).

Bahkan, kalau kita tambah renungkan dan kita perhatikan dengan teliti, keyakinan sempurnanya janji-janji Allah akan cukup dari kalimat qad shaddaqtar ru’ya, “engkau telah menyempurnakan mimpi engkau.” Dalam menyempurnakan mimpi itu bukanlah hanya andil bapak semata, melainkan ketika anak mengatakan ‘satajiduni insya Allahu minash shaabirin’ “Jika Allah menghendaki maka engkau akan mendapatkan aku diantara orang-orang yang bersabar”. Jadi perjanjian untuk sabar itu telah memberi tekad meraih standar pengorbanan bagi generasi yang akan datang. Hanya dengan terputusnya leher apa kesabaran yang akan terjadi.

Mutiara kesabaran akan terbuka pada saat tegaknya pengorbanan yang permanen (terus-menerus); ketika tanpa keluhan dalam bentuk apapun setiap waktu demi Allah semata mempersembahkan diri sendiri untuk setiap pengorbanan dan (pengorbanan) itu tegak setelah melewati sepanjang kehidupan (umur) dari masa kecil sampai akhir hayat di padang tandus yang tidak ada air. Ketika Allah berfirman inna kadzaalika najzil muhsinin, “Sesungguhnya Kami memberikan ganjaran yang seperti itu kepada orang yang berbuat kebaikan”.

Setelah mendapati keduanya siap untuk pengorbanan itu, Dia telah menghitungnya sebagai termasuk diantara orang yang berbuat kebaikan. Tetapi penghitungan sejati muhsinin orang-orang yang berbuat baik itu akan mulai bersama-masa pengorbanan yang agung itu. Ketika dengan (perantaraan) kekuatan daya penyucian (quwwat qudsiyyah) Rasulullah saw, Allah Ta’ala telah menciptakan ratusan ribu muhsinin, orang-orang yang berbuat kebaikan. Dia telah menciptakan ratusan ribu orang-orang yang melakukan kebaikan; yang telah menegakkan contoh kesabaran dan kesetiaan. Sebagaimana saya telah beritahukan, pada zaman akhirin ini Allah Ta’ala telah ikat dengan zaman yang di dalamnya mulai lagi tegak contoh kesabaran dan kesetiaan.

Perumpamaan contoh kesetiaan hanya Allah Ta’ala berikan kepada Ibrahim (as) وَ اِبۡرٰہِیۡمَ الَّذِیۡ وَفّٰۤی ﴿ۙ﴾ Wa ibraahiima lladzii waffa “Ibrahim yang telah menyempurnakan janji kesetiaan sempurna.” (Q. Surah An-Najm, 53: 38) Hadhrat Masih Mau’ud dengan refrensi ayat ini memberikan komentar bahwa ketika dia siap untuk mengorbankan putranya maka suara ini terdengar. Dengan demikian, ketika kesetiaan bapak dan kesabaran anak menyatu maka Allah Ta’ala tidak hanya – demi melestarikan kenangannya – telah menetapkan kewajiban ibadah haji untuk orang-orang Islam.

Kemudian, dari generasi itu Dia membangkitkan Nabi agung yang telah menegakkan standar fana fillah yang unik dan agung. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran, قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ Qul inna shalaatii wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi rabbil alamin, “Engkau katakanlah kepada mereka bahwa shalatku, pengorbananku, kehidupanku dan matiku adalah hanya untuk Allah Rabb sekalian alam.” (Al-An’am, 6: 163).

Dan kemudian, Allah berfirman kepada kita, “Berjalanlah atau ikutilah sesuai dengan contoh Rasul itu. Karena kini contoh inilah yang akan menegakkan standar untuk kamu, dan juga menegakkan standar peribadahan untuk kalian. Bahkan standar setiap akhlak, setiap standar perbuatan baik adalah berada dalam diri Rasulullah saw.”

Jadi standar kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan Hadhrat Ibrahim dan Hadhrat Ismail-lah yang telah menegakkannya, dan puncaknya berakhir setelah datang kepada Hadhrat Muhammad Mustafa saw. Mulai dari standar-standar permulaan hingga contoh-contoh standar yang tertinggi setelah menyuguhkan kepada kita Allah lalu memerintahkan kita, “Standar yang tertinggi merupakan contoh terbaik untuk kalian!”

Untuk meraih standar yang tetinggi ini dalam diri sahabat Rasulullah saw ribuan Ismail-Ismail telah lahir. Yang demi untuk meninggikan nama Allah, demi untuk membela Islam, demi untuk menyebarkan ajaran Rasululah saw di dunia mereka menyuruh memotong leher-leher mereka atau merelakan leher-leher mereka untuk dipotong di jalan Allah dan mereka telah mempersembahkan jiwa mereka. Mereka telah memperlihatkan contoh kesabaran dan kesetiaan.

Dan sebagaimana yang telah saya terangkan, disebabkan kesetiaan dan kesabaran mereka Allah telah menganugerahkan kepada mereka gelar radhiyallahu ‘anhum. Jadi hari inipun inilah pekerjaan murid-murid Masih Muhammadi bahwa mereka terus menjadi pendekar kesabaran dan kesetiaan.

Pada tahun ini pengorbanan-pengorbanan yang hampir seratus untuk mengairi ladang-ladang cinta dan kesetiaan yang telah diberikan oleh murid-murid Masih Muhammdi ini sesungguhnya merupakan bukti bahwa kita di dalam medan kesetiaan dan kesabaran itu bukanlah merupakan orang-orang yang mundur kebelakang. Jadi orang-orang yang melakukan pengorbanan itu mereka telah meraih ridha Allah. Karena ini merupakan janji Allah.

Surat-surat yang dikirim kepada saya yang terdapat pernyataan siap untuk mempersembahkan pengorbanan yang mana termasuk di dalam kelompok yang berkenaan dengan itu Al-Quran telah sebutkan, مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ رِجَالٌ صَدَقُوۡا مَا عَاہَدُوا اللّٰہَ عَلَیۡہِ ۚ فَمِنۡہُمۡ مَّنۡ قَضٰی نَحۡبَہٗ وَ مِنۡہُمۡ مَّنۡ یَّنۡتَظِرُ ۫ۖ وَ مَا بَدَّلُوۡا تَبۡدِیۡلًا  Minal mu-miniina rijaalun shadaquu maa ‘ahadullaha ‘alaihi faminhum man qadhaa nahbahu waminhum may yantazhir wa maa badaluu tabdiilaa, “Di antara orang-orang yang beriman, ada orang-orang yang benar-benar telah menepati apa yang dijanjikan mereka kepada Allah. Maka sebagian dari mereka telah menyempurnakan niatnya, meninggal, dan di antara mereka ada yang masih menunggu, dan mereka tidak merubah sedikit pun.” Itu artinya, “dari kalangan mereka ada juga yang kini tengah menunggu bahwa kapan kami mendapat kesempatan, kami pun akan memperlihatkan benar janji setia kami.” (Al-Ahzab, 33: 24).

Jadi Id ini dalam rangka mengenang pengorbanan-pengorbanan orang-orang yang melakukan pengorbanan hal mana itu merupakan Id memperbaharui janji وَ مِنۡہُمۡ مَّنۡ یَّنۡتَظِرُ  waminhum may yantazhir, diantara mereka masih ada yang menunggu. Ini Tuhan yang Maha mengetahui dari mana saja dan dari siapa saja Dia akan mengambil pengorbanan itu.

Tetapi jika sembari memenuhi janji setia kita dengan sabar dan doa, kita terus menjalin ikatan kuat kita dengan Tuhan dan orang-orang yang kita cintai yang telah pergi menjadi milik Tuhan, jika dengan meletakkan contoh mereka kita terus menciptakan keteguhan dalam iman kita maka kita pasti akan menjadi waris dari karunia-karunia Allah. Perasaan tenang dan puas ini Tuhanlah yang berikan itu kepada kita, bahwa Dia akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang ikhlas melakukan kebaikan-kebaikan.

Allah Ta’ala sedemikian rupa menganugerahkan (penghargaan) kepada pengorbanan-pengorbanan orang-orang kita yang melakukan pengorbanan, hingga mulai dari hutan-hutan dan padang belantara Afrika yang sejauh-jauhnya hingga di kota-kota nan penuh keramaian di benua Eropa dan Amerika tidak hanya pesan atau amanat Ahmadiyah yang sampai ke sana bahkan jumlah orang-orang yang baiat pun bertambah.

Pada saat saya sedang memeriksa laporan satu per satu negara-negara Afrika dimana pada tahun kemarin jumlah yang baiat itu adalah 1000 orang namun sesudah pensyahidan itu di sana dalam beberapa bulan ini saja telah baiat sejumlah mendekati 5 ribu orang.

Kemudian seorang murabbi kita yakni seorang muballigh kita menulis dalam laporannya, “Saya pergi ke satu tempat dimana situasi dalam keadaan paceklik berat. Dan tanaman-tanaman mereka pun tengah nengalami kehancuran. Orang-orang disana tengah keluar untuk melakukan shalat istisqa. Maka saya bertanya kepada imamnya yang bukan Ahmadi, ‘Bagaimana Anda akan mengimami shalat? Cara sebenarnya adalah ini.’ Dia mengatakan, ‘Anda yang mengimami shalat.’

Beliau (Muballigh kita) mengimami shalat dan beliau mengatakan, “Pada saat itu keadaan saya terjadi seperti ini (berdoa), ‘Allah Yang Mahaluhur, kini baru berlalu beberapa hari ketika terjadi peristiwa di Lahore ketika 85 atau 86 orang Ahmadi telah memberikan pengorbanan. (Ya Allah,) Hari ini perlihatkanlah oleh Engkau (suatu) pemandangan ini bahwa sebagai penerimaan atas pengorbanan-pengorbanan mereka itu anugerahkanlah kepada kami jemaat yang besar di sini.’”

Dan Allah Ta’ala kemudian memperlihatkan pemandangan yang mengherankan di saat panas yang terik tidak lama kemudian datang awan mendung dan hujan pun turun, sehingga di kampung itu menjadi masyhur, “Ini merupakan berkat doa orang-orang Ahmadi, tanaman kita menjadi subur” dan di sana lebih dari seribu orang yang telah baiat. Jadi inilah pemandangan yang Allah Ta’ala tengah perlihatkan.

Begitu juga dari negara-negara Arab tengah datang banyak surat yang menyatakan perhatian mereka mulai tertarik. Di Ghana ada dua pimpinan umat Islam yang sebelumnya selalu terdepan dalam melakukan penentangan kini keduanya telah baiat. Jadi inilah angin yang Allah Ta’ala tengah hembuskan yang mencondongkan hati manusia tertarik kepada Ahmadiyah. Ini merupakan sebuah bukti bahwa Allah telah mengabulkan pengorban-pengorbanan itu yang tanda-tanda lahiriahnya juga tengah nampak.

Ahmadiyah bukanlah agama atau golongan atau kelompok lokal, tetapi (Ahmadiyah) ini merupakan gambaran Islam yang hakiki dan Islam adalah agama universal (alamgiri madzhab) yang kemenangannya di dunia merupakan janji Allah. Jadi, apakah dengan penentangan Pakistan atau dengan penentangan beberapa negara Islam amanat yang universal itu bisa dihentikan? Ini merupakan keluguan para penentang.

Bahkan, di negara-negara Islam pun perhatian tengah tertuju kepada Ahmadiyah. Ini bukan karena persoalan pribadi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian tetapi merupakan janji Tuhan Yang Mahaluhur kepada Rasulullah saw yang mana tidak ada kekuatan dunia yang dapat mencegah (janji itu) menjadi sempurna. Hari ini di seluruh permukaan bumi ini, hanya satu Jemaat yang merupakan Jemaat para ghulam (pelayan) Hadhrat Masih Muhammadi yang setelah menjadi bagian dari janji Ilahi dan menjadi bagian dari takdir Ilahi mereka tengah menjalankan kewajiban menyampaikan amanat Islam ke seluruh penjuru dunia.

Walhasil, hanya Jemaat Ahmadiyah-lah yang tengah menyampaikan amanat ini yang merupakan amanat dari Rasulullah saw dan untuk itu pengorbanan-pengorbanan orang-orang Ahmadi itu tengah memperlihatkan dan membukakan jalan-jalan baru. Jadi kecerdasan dan ketangkasan yang Rasulullah saw telah tanamkan, pemahaman mengenai ‘dzibh azhim’ (penyembelihan atau pengorbanan agung) yang ada di dalam diri kita, Rasulullah saw yang telah menanamkannya.

(Perihal) ini pada hari ini, dalam diri ghulam-ghulam (pelayan-pelayan) Masih Muhammadi, di setiap orang-orang Muslim Ahmadi dari berbagai bangsa sedang terlihat muncul dengan sebuah tanda. Baik dia sebagai Ahmadi Pakistan atau Ahmadi India atau sebagai Ahmadi Bangladesh atau Ahmadi Indonesia atau sebagai orang Ahmadi di suatu negera Afrika atau di negara Arab harus mulai memperhatikan sungguh-sungguh standar dari pengorbanan-pengorbanan supaya kita segera menyaksikan muncul dan berkibarnya bendera Islam dan Ahmadiyah di seluruh penjuru dunia.

Semoga Allah menjadikan (Hari Raya) Id ini sarana bagi kita untuk selalu mengenang pengorbanan-pengorbanan orang-orang yang kita kasihi dan kita tidak akan duduk dengan tenang sebelum kita melihat bendera Muhammad Mustafa saw tertancap di seluruh penjuru dunia lalu kita melihat cinta dan kasih sayang, kesabaran, kesetiaan dan sebanyak mungkin orang-orang di dunia ini yang beribadah kepada Tuhan. Dan manakala ini yang terjadi maka ini merupakan Id hakiki pengabulan pengorbanan-pengorbanan kita. Semoga Allah menganugerahkan taufik (untuk melakukan hal) ini kepada kita. (aamiin)

Khotbah II: Doa dan Id Mubarak

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

            Kini marilah kita berdoa. Di dalam doa-doa kita ingatlah keluarga para syuhada; ingatlah para muballigh Jemaat; ingatlah semua mereka yang telah memberikan pengorbanan-pengorbanan yang dalam corak apapun mereka tengah memberikan pengorbanan untuk Jemaat. Semoga Allah memberkati Id ini untuk kita dari segala segi. Dan sambil mengabulkan akan pengorbanan kita yang hina ini, Dia memperlihatkan kepada kita pemandangan kemenangan. Dan bersama itu saya menyampaikan kepada Anda sekalian pesan “Id Mubarak” kepada semua dan kemudian kepada semua orang-orang Ahmadi di dunia. Semoga Allah dari segala segi memberkati Id ini untuk setiap orang, untuk setiap orang Ahmadi.”

Kemudian Hudhur ayyadahullah mengangkat tangan untuk memimpin doa bersama [jamaah shalat Id yang berjumlah) ribuan orang dan jutaan orang-orang Ahmadi di seluruh benua besar yang dengan melalui MTA menyimak secara langsung khutbah Hudhur Anwar ayyadahullah merekapun ikut serta dalam doa bersama itu.

Hudhur ayyadahullah mengimami shalat idul-adha di mesjid Baitulfutuh, London (Inggris) dan beliau menyampaikan khutbah yang mencerdaskan pikiran dengan penuh gelora dan semangat. Di mesjid Baitul Futuh dan aula-aula di sekelilingnya kurang lebih 10.000 pria wanita dan anak-anak yang melakukan shalat Id mengikuti Huzur dan mendengarkan khutbah Hudhur ayyadahullah. Ringkasan khutbah Hudhur ayyadahullah ini disuguhkan pada para pembaca atas tanggung jawab redaksi [Mingguan Al-Fazl International terbit tiap Jum’at, London-UK, 3 Desember 2010). (Penerjemah: Mln. Qamaruddin Syahid)

[1] Mereka itu ialah Salim bin Umair, Ulbah bin Zaid, ‘Abdur Rahman bin Ka’ab, ‘Amr bin Humam, ‘Abdullah bin Mughaffal, Haramiy bin ‘Abdullah dan ‘Irbadl bin Sariyah. Peristiwa ini terjadi menjelang keberangkatan pasukan Muslim saat perang Tabuk yang terjadi pada 9 Hijriyah. Mendengar kabar pasukan Romawi sedang bergerak menuju Madinah, Nabi saw bersama 30.000 orang sahabat (20.000 pejalan kaki dan 10.000 berkuda) menyongsongnya bergerak menuju Tabuk yang memakan waktu sekitar satu bulan perjalanan. Mengetahui hal ini, pasukan Romawi mundur. Nabi saw tidak mengejar pasukan tersebut. Beliau berdakwah dan mengikat perjanjian penduduk di wilayah perbatasan Jazirah Arab dan wilayah yang dikuasai Romawi. Saat itu Syam (saat ini Suriah, Lebanon, Yordania, Palestina, Israel), Turki, Mesir, Afrika Utara dan Laut Tengah ada di bawah Bizantium (Romawi Timur).

[2] Keduanya berumur 14-15 tahun, bekerjasama membunuh Abu Jahal dalam perang Badr. Keduanya mengincar Abu Jahal karena ‘…dia telah banyak menganiaya kaum Muslimin dan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam’.

[3] Pada tahun 1974 Parlemen Pakistan sepakat menyatakan Ahmadiyah sebagai bukan Islam (sepertinya baru pertama kali terjadi ada sebuah dewan rakyat dalam sebuah negara demokrasi menyatakan perihal Islam tidaknya sebuah golongan agama). Ordonansi 1984 yang dikeluarkan pemerintah Presiden Zia ul Haq mempersempit dan lebih menekan lagi gerak kehidupan orang Ahmadi dalam banyak segi sehingga pada masa inilah terjadi perpindahan besar-besaran orang Ahmadi Pakistani ke berbagai negara di dunia seperti negara-negara di Eropa, Amerika dan Afrika.

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.