Riwayat Baiat Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam

Khotbah Jum’at

Sayyidina Amirul Mu’minin 

Hadhrat  Mirza Masroor Ahmad

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Tanggal 12 Ikha 1391 HS/Oktober 2012

Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

Manakala saya menyampaikan berbagai peristiwa dalam kehidupan beberapa Shahabi (sahabat) Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, anak keturunan Shahabi yang sedang diceritakan itu menulis surat kepada saya, untuk memberitahukan betapa bahagianya mereka atas penyampaian saya itu.

Mereka pun mohon didoakan dengan mengatakan, “Doakanlah kami agar kami dan generasi demi generasi mendatang kami dapat melanjutkan menjaga kemuliaan ini, yang didapatkan dengan baiatnya kakek kami, kakek buyut kami, nenek kami, nenek buyut kami secara langsung di tangan beberkat Imam Zaman ini, seorang pecinta sejati Hadhrat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; atau, beliau-beliau yang telah mendapat karunia hidup sezaman dengan beliau a.s., serta memperoleh faidh (manfaat dan berkat) dari pergaulan bersama Imam-e-Waqt (Imam Zaman) a.s..”

Namun, suatu kali saya pun sangat heran mendengar ada diantara mereka (keturunan sahabat) yang berkeberatan terhadap kakek moyang mereka sendiri dengan mengatakan, “Mereka telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan orang tuanya sendiri dan memilih bergabung dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s..” Itulah kesalahan pikiran mereka yang timbul disebabkan tidak mengetahui riwayat dan keterangan yang sebenarnya tentang para pendahulu mereka.

Sejak belum lama ini saya mulai menyampaikan berbagai peristiwa yang dialami oleh para sahabat [Hadhrat Masih Mau’ud a.s.], seorang dari mereka yang telah mempunyai pemikiran salah tersebut menghubungi saya dan menyampaikan, “Setelah tuan (Hudhur atba) menjelaskan sahabat Fulan (yang itu), maka tuan telah mengakhiri beberapa tanda-tanya yang timbul dalam pikiran saya mengenai [riwayat kehidupan] seorang sahabat tertentu.’ Jadi, mengenang kembali berbagai peristiwa dalam kehidupan para sahabat tersebut dapat menghilangkan berbagai kesalahpahaman yang kadangkala timbul dalam pikiran orang-orang dari keluarga mereka itu yang membuat mereka menjauh dari Jemaat, sehingga mereka pun menjadi lebih dekat lagi kepada Jemaat.

Inilah mengapa sebabnya Hadhrat Khalifatul Masih ar-Raabi’ (IV) رحمه الله تعالى (rahimahullahu ta’ala, r.h.a.) [2] memulai pembahasan secara berangkai mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami para sahabat r.anhum, yang setelah sampai batas tertentu beliau jelaskan lalu berhenti. Oleh karenanya, saya selalu mengatakan begitu pula khulafa (para khalifah) sebelum saya, khususnya Hadhrat Khalifatul Masih ar-Raabi’ (IV) bersabda, “Generasi demi generasi mendatang haruslah senantiasa mempelajari dengan penuh perenungan tentang Tarikh (sejarah), peri keadaan dan peristiwa-peristiwa para Sahabat sehingga hal ini memperteguh hubungan generasi baru tersebut dengan Jemaat  dan membantu tarbiyat mereka.”

Perlu pula saya sampaikan di sini, bahwa beberapa orang dari keluarga para sahabat telah menjauh dari Jemaat, mereka menjauh disebabkan menyaksikan [sikap mengecewakan] sebagian anggota Jemaat dan para pengurus dan lain-lain, sayangnya, mereka demikian kecewa sampai-sampai mengatakan, “Leluhur (kakek buyut) kami telah melakukan kesalahan.”

Pendek kata, daripada cepat-cepat memperlihatkan kemarahan karena hal-hal kecil maupun besar, sebaiknya mereka juga harus berdoa kepada Tuhan agar selalu menegakkan petunjuk untuk diri mereka sendiri dan mendoakan pula orang-orang yang menyebabkan mereka menjadi demikian. Dan juga mendoakan mereka yang menimbulkan dampak negatif tersebut. Hendaknya senantiasa diingat, bahwa para pendahulu kita itu menerima Ahmadiyah adalah setelah bersusah payah menelaahnya, atau, mereka menerima Ahmadiyah setelah mereka mendapat petunjuk hidayah langsung dari Allah Ta’ala kepada jalan kebenaran.

Generasi sekarang bisa jadi menjadi salah karena hubungan mereka dengan Allah yang tidak seperti yang dimiliki para pendahulu mereka, para kakek buyut mereka, akan tetapi, para pendahulu itu jelas tidak salah. Ingatlah selalu hal ini. Tuntutan bersikap adil adalah, setelah menjadikan pikiran masing-masing kosong (dari emosi dan prasangka), lalu hendaknya berdoa kepada Allah, supaya Dia senantiasa memperjalankan kita di atas jalan yang lurus, dan jangan sampai terjadi suatu kondisi yang dapat menyebabkan mereka atau diri kita menjadi jauh dari keimanan [agama] atau dari jalan yang dapat membawa kita kepada ridha Ilahi. Seandainya orang-orang itu mau meneliti dan menganalisa situasi dirinya, maka mereka pun akan menyadari bahwa ego dirinya, atau kekurangpahaman mereka sendirilah yang menyebabkan berbagai masalah sepele menjadi penyebab menentang agama atau jauhnya diri mereka dari keimanan.

Oleh karenanya, sebagian anak keturunan para sahabat yang telah jauh dari agama karena sesuatu hal, atau jauh dari Nizam Jemaat, atau mereka yang memiliki pandangan-pandangan yang salah dan pikiran-pikiran yang keliru, atau karena ananiyyah (egoisme, keakuan telah menguasai diri mereka); maka, hendaklah mereka berdoa, semoga Allah memperjalankan mereka selalu di jalan lurus.

Hendaknya mereka senantiasa mengingat kebaikan-kebaikan para pendahulu masing-masing, kebaikan yang paling besar adalah beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, dan Allah Ta’ala menjadikan karunia-karunia tersebut mengalir dalam darah kita masing-masing. Semoga Allah Ta’ala menjadikan anak keturunan para sahabat senantiasa tegak di atas agama dan doa-doa harus dipanjatkan bagi mereka (para sahabat). Bukan malah menimbulkan berbagai keberatan dalam hati mengenai mereka.

Pada hari ini, setelah pernyataan ringkas ini, saya akan menyampaikan lagi berbagai peristiwa dalam kehidupan beberapa sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini.

[1] Peristiwa dan riwayat pertama adalah dari kehidupan Hadhrat Muhammad Fadhil Shahib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu walad (putra) Nur Muhammad Shahib. Beliau menuturkan, “[Suatu malam[ setelah Salat Isya, saya bertanya kepada Maulwi Shahib (Maulwi Sultan Hamid Shahib), ‘Bagaimana mengenai da’wa (pernyataan kepada khalayak ramai) Mahdawiyyat (Ke-Almahdi-an, sebagai Mahdi) dan Masihiyyat (ke-Almasih-an) oleh Hadhrat Mirza [Ghulam Ahmad] Shahib? Bagaimana nasib kita jika da’wa beliau itu sungguh benar, yakni, Allah Ta’ala telah mengutusnya di negeri kita ini sedangkan kita mahrum (luput) menerimanya. Bukankah kita pun tak perlu bersusah payah untuk pergi menjumpainya?’ (yakni, Allah Ta’ala telah mengutus beliau di negeri kita namun bila kita tidak menerimanya padahal tidak susah untuk menjumpainya. Maka)

Maulwi Shahib yang saliimul qalb (berhati  baik, berakal sehat) dan haliimuth thab’i (bertabiat santun) ini menjawab, ‘Ya, tentu saja tuan harus menjumpainya.’ Maka saya mengambil janjinya. Setelahnya, Maulwi Shahib pergi dari pertemuan itu dan pulang ke rumah. Saya pun pergi tidur. Ketika tidur, saya mendapat mimpi. Saya melihat sebuah rumah besar indah yang memiliki 4 buah pintu menghadap arah Selatan, dan di sebelah timurnya terdapat lapangan dimana ada sekumpulan besar orang yang sangat mulia  yang memiliki sifat-sifat samawi (langit, rohaniah) memakai baju putih-putih berjumlah sekitar seratus, sambil duduk melingkar. Saya pun duduk di tengah-tengah mereka.

Sejurus kemudian pintu rumah yang berada di sebelah timur terbuka, lalu keluarlah seorang insan yang bercahaya, mengenakan jubah sangat putih dan bersorban putih, sinar terangnya sampai-sampai memenuhi pandangan mata saya. Beliau datang ke kumpulan jemaah yang saya ada di dalamnya. Saya telah bangun berdiri. Kemudian, insan bercahaya pun menunjuk kepada diri saya dengan jari telunjuk beliau sambil berkata, ‘Semua dosa-dosamu terampuni.’

Terbesit di dalam pikiran saya, bahwa insan mulia ini adalah Hadhrat Rasulullah saw. Lalu mulut saya secara otomatis mengucapkan Shalawat dan kemudian saya pun terbangun. Demikian gembira hati saya sehingga saya tidak mengantuk. Lalu saya salat Tahajjud, dan hati saya berkata, ‘Saat tepat Shubuh nanti saya akan menyampaikan mimpi ini kepada Maulwi Shahib.’ Maka pada waktu Shubuh, saya ceritakan kepadanya mengenai mimpi saya itu setelah salat Subuh. Ia berkata, ‘Engkau sungguh sangat beruntung.’” [3]

[2] Hadhrat Syekh Asghar Ali Shahib r.a. menuturkan, “Hadhrat Aqdas alaihissh shalaatu was salam biasa bersabda, ‘Dalam rangkaian tabligh yang begitu bermanfaat, yaitu, mengarahkan pada hal ini, setelah shalat Isya dan sebelum tidur, berwudhu segar yang baru terlebih dahulu, kemudian Salat Nafal dua rakaat, dan dalam salat memohon kepada Allah demikian, “Wahai Maula (Tuhan Yang Maha Mengayomi), apabila silsilah [Jemaat Ahmadiyah] ini adalah benar, tunjukkan hakikat kebenarannya kepada kami.”’

Katanya lagi, “Saya berangkat ke Afrika Timur pada tahun 1900, saya beserta seorang teman yang sudah senior bernama Neik Muhammad Shahib, penduduk Sarae Alamgiri daerah Gujarat. Sewaktu saya berkesempatan bertabligh kepadanya, saya sarankan untuk menjalankan kiat tersebut.

Beliau (Tuan Naeik Muhammad) ini mengamalkannya, dan setelah itu, Allah Ta’ala memperlihatkan dalam mimpi pemandangan berikut ini, ‘Beliau ada di dalam sebuah ruangan kecil di Sarae Alamgiri, di situ ada almarhum ayahnya juga, secara tiba-tiba ruangan itu penuh diterangi dengan cahaya, terlihat seberkas cahaya terang turun dari langit lalu masuk ke dalam ruangan. Tiba-tiba, muncul seorang laki-laki saleh tampan indah perawakannya. Kemudian beliau mendengar suara ayahnya yang berkata, “Lihatlah anakku! Lihatlah beliau itu adalah Imam Mahdi.” Kedua bapak dan anak pun menjumpai Hudhur.’

Ia demikian senang menyaksikan pemandangan ini. Rasa kantuknya pun hilang. Keesokan paginya ia menyampaikan mimpinya itu kepada saya, seraya memohon bantuan untuk menuliskan surat pernyataan baiat untuknya. Dengan karunia Tuhan, seluruh keluarganya kini menjadi orang Ahmadi.”[4]

[3] Hadhrat Master Maula Baksh Shahib r.a. walad (putra) Umar Baksh Shahib menuturkan, “Saya adalah Kepala Sekolah ‘Sanghoni School’ di Negara Bagian Patiala. Ketika sedang liburan di Musim panas [setelah musim penghujan di bulan Agustus]. Saya berhasrat untuk pergi menemui Hudhur. Anak saya, Abdul Ghaffar almarhum pada waktu itu masih berusia 2 tahun. Ia sedang sakit. Dari seluruh tubuhnya muncul lepuhan-lepuhan. Tetapi saya tidak membatalkan rencana saya. Bersama Maulwi Sarhindi, Muhammad Taqi Shahib saya menghadap Hudhur dan baiat. Setelah satu bulan perjalanan pergi dan pula, saya kembali ke rumah, saya menyaksikan anak saya itu telah sehat wal-afiat. Istri saya mengatakan bahwa ia menghentikan memandikannya; lepuhan hilang dan anak itu sembuh.”[5]

[4] Hadhrat Qadhi (Urdu: Qazi) Muhammad Yusuf Shahib r.a. menuturkan, “Pada tahun 1898 saya bermimpi melihat diri saya sedang berdiri di puncak gunung yang menghadap ke arah Timur. Kedua tangan saya ulurkan setinggi bahu. Di tangan kanan saya ada matahari keemasan yang menerangi semuanya dengan penuh kekuatan laiknya kristal. Sedangkan di atas tangan kiri saya terdapat bulan purnama, tetapi posisinya lebih tinggi sekitar tiga kaki. Sementara di bawahnya [di bawah gunung] ada sungai panjang yang mengalir dari atas bukit di Timur dan melewati selatannya, dan diantara gunung dan sungai membelah indah lembah luas berumput hijau menawan.

Beberapa waktu kemudian saya memahami ta’bir mimpi tersebut, gunung menunjukkan kepada kehormatan dan kemuliaan. Matahari merujuk kepada Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw, sedangkan bulan purnama (bulan sempurna penuh sinarnya) merujuk kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.,. Adapun sungai yang mengalir dari arah Timur adalah ilmu-ilmu langit (rohaniah) yang datang dari Timur dan bermanfaat bagi Barat. Sedangkan ketinggian sinar bulan purnama yang sekira tiga kaki, adalah saya setelah tiga tahun sejak mimpi itu menerima kebenaran Ahmadiyah.” Beliau melihat mimpi ini pada 1898 dan mendapat taufik menerima Ahmadiyah pada 1901.”[6]

[5] Hadhrat Syeikh Muhammad Afdhal Shahib r.a., purnawirawan Inspektur Polisi Patiala mengisahkan, “Pada tahun 1900, saya berangkat ke Qadian dengan maksud untuk baiat, bersama dengan teman saya, Doktor Hashmatullah Shahib. Menjelang waktu magrib kami tiba di sana. Setelah menyimpan barang bawaan di Mehman Khanah (Guest House, Wisma Para Tamu) yang dibangun dari tanah kami pun ke masjid Mubarak. Hadhrat Mirza Shahib datang untuk salat Magrib dari dalam ruangan beliau. Masjid itu gelap. Saya tidak melihat dengan jelas sehingga saya pikir orang-orang yang saya lihat gemuk-gemuk. Sementara saya adalah seorang yang dibesarkan di kota.

Pikiran-pikiran buruk kepada Hadhrat Masih Mau’ud tersebut muncul karena saat itu [masjid] gelap [jaman dulu lampu-lampu tidak seterang sekarang ketika listrik sudah umum, red.] sehingga tidak dapat jelas melihat beliau. Setan memasukkan pikiran dalam diri saya, ‘Kenapa mereka gemuk-gemuk. Boleh jadi beliau ini menggunakan dana-dana sumbangan dari orang-orang.’ Kemudian terdengar pula suara-suara wanita dari arah rumah itu, sehingga, dipengaruhi pikiran su’uzh zhann, saya pun berprasangka, bahwa beliau ini bukan orang yang baik. Dalam diri saya sedang terjadi usaha dan upaya keras [pertentangan batin] sehingga seluruh tubuh saya berkeringat. Timbul sangkaan demi sangkaan yang kotor mengenai Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Saya berdoa dalam salat, ‘Wahai Tuhan, bila orang ini benar. Janganlah Engkau pulangkan aku dari pintunya dalam keadaan kecewa dan merugi.’ Namun hati tidak jua menjadi benar-benar lurus. Setelah salat saya kembali ke Mehmaan Khanah, dan saya memutuskan bahwa baiat dalam kondisi demikian adalah tidak benar.

Saya bahkan tidak ingat apakah saya sungguh-sungguh mendirikan Salat Isya ataukah tidak ataukah salat dimana. Saya tertidur dalam kondisi cemas dan sedih. Sekitar jam 2 atau 3 dini hari ada seorang kuat mencengkeram leher belakang saya lalu mengangkatnya dengan kasar sedemikian rupa hingga tubuh saya berdiri. Yakni, saya menyaksikannya dalam mimpi. Saya merasa tercekik dan hampir mati. ‘Orang’ itu menghardik, ‘Apakah kamu tak tahu, siapakah Mirza Shahib ini? Ia adalah seorang yang tidak pernah berdusta. Segala pendakwaannya adalah benar. Jangan sekali-kali kamu berpikiran selain itu!’ Lalu ia melempar kembali tubuhku ke tempat tidur. Saya terbangun karena demikian dahsyat menakutkannya pengaruh mimpi itu kepada saya, air mata saya pun menangis. Leher terasa sakit seolah-olah dalam kejadian yang sebenarnya seseorang telah mencekik saya. Padahal semuanya ini adalah mimpi. Lalu saya bertanya kepada diri saya sendiri, ‘Apakah kamu masih meragukan kebenaran Hadhrat Shahib?’ Dan hatiku menjawab, ‘Tidak! Benar-benar tidak!’

Keesokan paginya, saya menyaksikan Mirza Shahib saya pun menyadari, bahwa penampilan jasmani beliau wajar saja [tidak gemuk], beliau nampak bagai malaikat yang turun dari langit, dan mengamati gerak-gerik beliau, timbul rasa kecintaan saya kepada beliau dan bertekad akan mengorbankan jiwa raga saya kepada beliau. Tatkala Hudhur ‘alaihis salaam lewat di depan saya, saya pun menangis tanpa sadar seolah-olah beliau-lah kecintaan saya sedangkan saya adalah seorang pecinta yang tidak berarti apa-apa. Lalu saya pun baiat dengan qalbu yang terbuka, dan merasa beruntung, bahwa Allah Ta’ala telah menyelamatkan diriku dari pengaruh Syaitan.” [7]

[6] Hadhrat Qaimuddin Shahib r.a. meriwayatkan, “Saya pernah melihat dalam mimpi, sepulang Salat di masjid kampung, sekumpulan orang yang berkata, ‘Suatu sosok menakutkan telah datang yang nanti akan memangsa seluruh dunia.’ Mendengar hal itu saya berpikir bahwa sosok menakutkan ini akan memangsa kami semua. Ketika saya lihat, makhluk menakutkan itu seperti kayu hitam berbentuk serangga (bug) yang memenuhi semua lahan pertanian. Maka saya berseru kepada orang-orang, ‘Saudara-saudara! Tentu kita akan dimangsanya. Sedikitnya ingatlah Allah.’

Di waktu itu satu atau dua dari kawanan makhluk menakutkan tersebut menangkap jari telunjuk tangan saya dan saya berpikir takkan dilepaskannya. Kemudian saya bertanya kepada kawanan serangga itu, ‘Apakah kalian [datang[ dari Tuhan?’ Makhluk itu menangkap jari saya dan menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah da’wa tuan Mirza Ghulam Ahmad itu benar?’ Ia  menjawab, ‘Ya, dia itu benar! Jika engkau tidak beriman kepadanya, kami akan memangsa kamu!’

Tiga kali terdengar suara keras, ‘Tuan Mirza benar!‘ Lalu saya pun bangun tidur. Keesokan paginya, saya bertanya kepada ibu saya, ‘Bilakah hari Jumat tiba?’ Ibunda menjawab, ‘Lusa.’ Pada hari Jumat itu, saya pun [pergi ke Qadian dan] baiat kepada Hadhrat Shahib.” [8]

[7] Hadhrat Allah Rakha Shahib r.a. walad Amir Baksh Shahib r.a., kedua orang ini adalah Shahabi Hadhrat Masih Mau’ud a.s., beliau menyampaikan, “Saya melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam suatu mimpi. Dalam rangka mengkonfirmasi kebenaran mimpi itu saya pun bersama Maulwi Ahmad Din Shahib, penduduk Narawal untuk pergi ke Qadian. Saat itu musim panas. Saya tidak ingat bulan apa tepatnya. Setelah salat Shubuh, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. duduk di masjid Mubarak. Maulwi Ahmad Din Shahib r.a., penduduk Narawal membacakan sebuah Qasidah mengenai da’wa mubarak Hadhrat Muhammad s.a.w. dan keburukan orang-orang di zaman itu.

Disebutkan dalam Qasidah itu, Hadhrat Abu Bakar r.a. menggendong Hadhrat Rasulullah saw dan membawanya ke Gua Tsaur, hal ini disampaikan dalam kehadiran Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. lalu beliau a.s. bersabda, ‘Maulwi Shahib, Hadhrat Abu Bakar tidak menggendong Hadhrat Rasulullah Saw, melainkan beliau-beliau itu pergi dan masuk ke dalam Gua Tsaur dengan berjalan kaki.’ Kemudian Hadhrat Shahib memberi izin untuk mencetak tulisan itu dan beliau a.s. pulang ke rumah.” [9]

[8] Hadhrat Muhammad Fadhil Shahib r.a. menuturkan, “Tatkala dalam diri saya timbul hasrat sangat keras untuk baiat dan sebelumnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menimbulkan perubahan luar biasa dalam kerohanian saya yang mana saya tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Saya bertanya kepada Hadhrat Makhdumul Millat (Tuan Pemimpin Agama, julukan untuk Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin r.a.), ‘Saya memohon untuk direkomendasikan (diantar) menghadap Hudhur untuk baiat kepada beliau.’ Tiap sore setelah salat Ashar saya berkata kepada Hadhrat Makhdumul Millat memohon untuk baiat. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberi jawaban [melalui Hadhrat Hakim Nuruddin r.a.], ‘Besok.’

Hal itu mengungkapkan api hasrat dalam diri saya lebih dari sebelumnya. (membacakan syair dalam Bahasa Persia), ‘washli cun syod nazdiik. Aatisyi syauq tez gardid.’ – “Tatkala waktu untuk berjumpa kekasih semakin mendekat, maka hasrat itu pun bertambah menyala-nyala.” [Terjemahan bahasa Arab, عندما يكون الوصال وشيكا يشتد الشوق أكثر terjemahan sama.]

Namun, setelah menunggu selama seminggu tiada kabar, ia pun pulang tanpa seizin Hudhur Aqdas [alaihis salam]; dengan pemikiran bahwa ia sudah baiat dalam mimpi. Tetapi sesampainya di rumah, ia merasa tak enak hati. Ia ingin kembali lagi ke Qadian. Maka sebulan kemudian, ia pun sudah berada kembali di Qadian. Ketika ia masuk ke Klinik Hadhrat Hakim Nuruddin r.a., beliau menyambut dengan tersenyum seraya berkata: ‘Begitulah mereka yang meninggalkan Qadian tanpa sepengetahuan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. merasa resah seperti diri tuan.’ Maka ia pun mengerti, bahwa meninggalkan Qadian tanpa seizin beliau a.s., adalah tidak jaiz. Maka ia pun tinggal di Qadian tanpa memaksakan diri untuk segera baiat. Baru setelah 22 hari kemudian, yakni, pada hari Kamis petang, Hudhur Aqdas [alaihis salam] berkata kepadanya: ‘Muhammad Fazil, sekarang engkau boleh baiat.’ Namun ia tak ingat pasti apakah waktu itu adalah hari terakhir di tahun 1899, ataukah hari pertama pada tahun baru 1900 ketika ia baiat.[10]

[9] Hadhrat Mian Ghulam Ahmad Shahib r.a. Bafanda menuliskan, “Mulanya saya adalah pengikut madzhab Hanafi. Kemudian menjadi orang Wahabi. Akan tetapi tetap tak mendapatkan kepuasan rohani. Dalam hati saya selalu berharap, ‘Semoga Tuhan mengutus Hadhrat Imam Mahdi dan saya menjadi tentaranya.’ Pada suatu waktu, saya melihat sosok penuh berkat dari Hadhrat Aqdas dalam suatu mimpi. Tak lama kemudian saya ke Qadian dan menyaksikan langsung sosok beliau a.s., saya pun baiat [masuk ke dalam Jemaat  Ahmadiyah].” [11]

[10] Hadhrat Hakim Abdur-Rehman Shahib r.a. menyampaikan, (seperti biasa dikisahkan oleh ayahandanya), bahwa peristiwa baiat beliau adalah demikian, “Di sini tinggal seorang Maulwi bernama Alauddin. Ia mempunyai masjid di dekat sini. Ayah saya menjadi murid beliau. Pada waktu Isya, ketika beliau sedang berwudhu bersama gurunya, ayah saya bertanya kepada Maulwi Shahib, ‘Mengapa sekarang ini terlihat banyak bintang jatuh (meteor)?’ Ia menjawab, ‘Karena kinilah saatnya kedatangan Imam Mahdi dan bintang berjatuhan itu sebagai sambutan atas kedatangannya.’”

Ayahanda biasa menceritakan, “Beberapa hari setelah itu, saya mendengar mengenai Hadhrat Aqdas lalu saya pergi ke Qadian, kemudian baiat. Ketika kembali dan bertemu dengan Maulwi Shahib, saya berkata, ‘Saya telah baiat. Bagaimanakah pendapat tuan?’ Ia terdiam. Beberapa waktu kemudian dengan pelan ia menjawab, ‘Mian, yang engkau katakan benar. Akan tetapi sekarang ini kami adalah dunyadaar (orang-orang duniawi).’” (yakni, ia seorang Ulama dan juga seorang yang mengutamakan keuntungan duniawi.)[12]

[11] Hadhrat Mian Rahim Baksh Shahib r.a. menceritakan, “Hari ketika terjadi Mubahalah antara antara Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dengan Abdul Haq Ghaznawi di Amritsar, ayah saya ada di sana. Beliau biasa menceritakan, ‘Pada waktu Hadhrat Shahib berdoa sedemikian rupa. Hadhrat Hakim Nuruddin r.a. pun rebah pingsan tatkala beliau tidak mampu menanggung diri.’ (yakni, beliau juga semikian tekun dan keras berdoa yang membuat keadaan diri beliau demikian melelahkan dan sakit hingga pingsan.)

Ayahanda menceritakan, ‘Menyaksikan Hadhrat Shahib hati saya bersaksi bahwa beliau bukanlah manusia bumi, melainkan manusia langit.‘ Maka ketika beliau kembali ke kota Condah, beliau ceritakan rangkaian kisah itu kepada kabilah (suku) beliau dan mengatakan, ‘Itu rangkaian peristiwa ajaib. Mereka manusia-manusia malaikat.’ Oleh karena itulah, saya, ayah saya dan paman saya bahkan seluruh anggota keluarga saya pun baiat.” [13]

[12] Hadhrat Choudhry Rahmat Khan Shahib menjelaskan, “Peristiwa baiat saya adalah demikian, dalam mimpi, saya ke luar rumah, lalu melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersama-sama dengan Coudhri Maula Baksh Bhatti, Coudhri Ghulam Husain, Maulwi Rahim Bakhsy, Maulwi Syamsuddin, Maulwi Alf Din, Maulwi Inayatullah, Rahmat Khan Jatt dan yang lainnya, semuanya sedang berdiri di situ dan baru pulang dari pasar. Kemudian Chaudhri Maula Baksh Shahib berkata, ‘Baiatlah sekarang! Karena kinilah waktunya yang tepat dan kapan lagi mengingat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah datang kemari.’ Saya pun ikut bergabung dengan mereka. Kami semua pergi ke sumur milik Chaudhry Maula Baksh. Kemudian kami pergi ke sumur kami, dimana Hadhrat Shahib mengimami Salat. Setelah salat, saya pun terbangun. Sosok wajah Hudhur terpatri dalam kalbu saya sehingga tak terlupakan lagi. Keesokan paginya saya pulang ke rumah, mengambil uang untuk ongkos perjalanan lalu pergi ke Qadian. Saya baiat, lalu tinggal di sana selama tiga hari.” [14]

Simaklah peristiwa-peristiwa tersebut tadi, sebagian orang, bahkan banyak orang [Jemaat] yang kita saksikan, bahwa Allah Ta’ala memperlakukan mereka seperti itu, Dia menuntun mereka baiat melalui jalan mimpi-mimpi yang benar.

[13] Hadhrat Maulwi Abdullah Shahib r.a. mengisahkan, “Saya membaca ‘Barahin-Ahmadiyah’ sekira tahun 1892 atau 1893 yang sangat mengesankan jiwa saya. Setelah itu, saya membanding-bandingkan tulisan-tulisan Hadhrat Shahib dan tulisan-tulisan Muhammad Husain Batalvi. Saya pun menjadi paham bahwa dalil-dalil Muhammad Husain Batalwi begitu lemah. Tidak memberikan kesan kedalam jiwa saya. Dalil-dalil Hadhrat Shahib begitu kuat dan nampak sekali kesan-kesan rohaniahnya. Maka hari demi hari kecintaan saya kepada Hudhur (as) pun semakin meningkat dan kesan-kesan pengaruhnya membekas dalam jiwa saya. Pendalaman dan penelitian selalu saya lakukan. Serangkaian mimpi pun mulai saya saksikan.

Saya melihat mimpi pada tahun 1897. Saya melihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ada di depan saya. Saya sedang menghadap ke arah Timur. Wajah mubarak Hadhrat Aqdas mengarah ke saya. Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani (II) r.a. berada di sebelah kanan saya. Pada waktu itu dalam pikiran saya Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani (II) r.a. masih berusia 8 atau 9 tahun.

Hadhrat Aqdas menunjuk kepada Khalifah Tsani. Beliau bersabda, ‘Ahmad yang itu adalah Nabi, akan tetapi beliau bukan muttabi’ peyambar (beliau bukan nabi yang mengikut kepada siapapun juga.] dan, Ahmad yang sekarang (atas hal itu, Hadhrat Aqdas a.s. bertanya kepada Khalifah Tsani siapakah yang dimaksud dengan Ahmad yang sekarang? Beliau menjawab seraya menunjuk kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., ‘Tuanlah itu.’) adalah muttabi’ peyambar (nabi pengikut). (Yakni, Ahmad yang sekarang adalah pengikut dari Ahmad yang pertama, yang hidup di masa dulu, Nabi Muhammad s.a.w.). Tak lama setelah itu, saya pun mengirim Surat Pernyataan Baiat kepada beliau a.s.. Lalu, beberapa waktu kemudian ketika saya mengunjungi Qadian, saya pun baiat lagi secara langsung.”[15]

[14] Hadhrat Nizamuddin Shahib menuturkan, “Ucapan salam “السلام عليكم ورحمة الله وبركاته” ‘Assalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh untuk Hudhur (Hadhrat Masih Mau’ud a.s.) dan disampaikan banyak-banyak oleh Janab Sarwar-i-Kainaat (Nabi saw) datang dari tempat nan jauh lagi terpencil. (Yakni, berdasarkan hadits disebutkan bahwa Hadhrat Muhammad Rasulullah saw bersabda [sebagai perintah bagi seluruh umat beliau s.a.w.], ‘Sampaikanlah “Assalamu ‘alaikum” dari saya untuk Masih.’ Pesan yang datang dari tempat nun jauh di sana, yaitu Arab, dari masa yang telah lampau. Orang-orang pun dari tempat-tempat yang jauh menyampaikan salam beliau s.a.w. ini kepada beliau a.s.).

Namun, saya dulu biasa beranggapan, (beliau membacarakan bait kalimat dalam bahasa Persia) ‘Peeran nami yarand muriidaan me yara nand.’ [Terjemahan bahasa Arabnya المرشدون لا يقولون شيئا ولكن المريدين يقوِّلونهم ادعاءات كثيرة ‘Al-mursyiduuna laa yaquuluuna syai-an wa laakin al-muriidiina yuqawwiluunahum id’aa-aat katsirah.’ (“Para Pir (guru) tidak berkata apa-apa, melainkan para murid berkata-kata berlebihan untuk mengangkat mereka.” Maksudnya, dalam diri mereka tidak ada keistimewaan apa-apa, tetapi orang-orang berkumpul di hadapan mereka sehingga dengan demikian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjadi penting [pikiran beliau tentang Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebelum beliau baiat, na’udzu billaah]. Ia berkata,)

“Akhirnya, ketika saya banyak-banyak berdoa dengan intens di masjid Aqsa, bersedekah karena Allah, Dia berkenan membukakan satu khazanah gaib kepadaku yang bila dituliskan memerlukan kertas sejumlah satu set. Segera setelah saya baiat, saya pun merasakan keamanan dan ketenangan.” (Beliau berkata, “Ketika saya berdoa dengan intens, Allah Ta’ala demikian membukakan hati saya sehingga saya merasa tenteram lalu saya pun baiat. Pikiran-pikiran setani dan keraguan pun menjauh.)[16]

 [15] Hadhrat Sayyid Wilayat Shah Shahib menceritakan, “Pada tahun 1897 saya menjadi murid kelas ke-5 di American Mission High School (Sekolah Menengah Misi Amerika) di Sialkot. Saya tinggal di asrama. Tetapi kemudian atas rekomendasi guru bahasa Inggris saya, saya diminta Tuan Agha Muhammad Baqir Qazalbash untuk bekerja sebagai tutor bagi kedua adiknya. Saya disediakan sebuah kamar di rumah beliau. Pada waktu itu saya sudah mengetahui adanya pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., namun tidak tertarik menelitinya karena bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan lama yang kuanut. Selain itu, saya juga mendengar penentangan masyarakat terhadap pandangan-pandangan beliau a.s. sehingga dengan mendengar beliau saja hati saya timbul rasa benci. Beberapa hari kemudian, berkecamuk wabah penyakit pes di kota. Banyak orang yang tewas.

Suatu hari ketika saya sedang berdiri di tepi jalan belakang pasar, saya menyaksikan banyak jenazah orang Muslim dan agama lain yang melintas diiringi ratapan isak tangis keluarga yang ditinggalkan. Terbersit dalam pikiran saya melihat pemandangan menyedihkan itu, ‘Pes ini adalah wabah penyakit yang menular. Boleh jadi pula akan menerjang diri saya hingga tewas. Bila maut – dengan ijin Allah – menerkam saya, maka saya yang adalah hamba yang lemah, amal saleh apa yang dapat dipersembahkan di hadirat Tuhan?’ Amal saleh pun satu segi saja, yaitu pernah belajar membaca Al-Quran saat masih anak-anak di masjid kampung saya, dan hal ini pun saya sudah lupa karena saya tidak membacanya lagi. Adalah benar bahwa saya di kelas saya sendiri termasuk peringkat pertama, akan tetapi saat di akhirat, tidak ditanyakan, ‘Kamu meraih peringkat berapa dalam bahasa Inggris dan Matematik serta yang lainnya?’

Memikirkan hal ini menimbulkan penyesalan dalam hati yang menguatkan tekad saya untuk harus belajar dengan benar membaca Al-Quran. Mula-mula saya membuka sendiri Al-Quran dan membacanya Tetapi lama-lama merasa tak pasti apakah saya  sudah membacanya sesuai dengan kaidah yang benar atau tidak. Maka timbullah dalam pikiran saya, baiklah belajar kepada seorang Mullah di suatu masjid. Tetapi terganggu oleh pikiran dan beban mental [bila orang-orang mempertanyakan], ‘Mengapa baru sekarang Anda mulai belajar? Anda kan sudah dewasa.’ Maka timbul lagi pikiran, ‘Bila dimana saja sedang disampaikan Dars Kalam Allah (pengajian), maka saya akan ke sana untuk menyimaknya sekaligus saya dapat belajar Qira’at dan juga terjemahannya.

Kesana kemari saya bertanya-tanya, saya mendapat informasi, bahwa Dars semacam itu hanya ada di Masjid [Jemaah] Ahmadiyah. Dalam hati saya berkata, ‘Tak apalah, saya hanya akan mendengarkan pembacaan Al-Quran-nya saja. Saya tidak akan memperhatikan akidah dan pelajaran-pelajarannya. Tetapi ketika saya akan berjalan keluar Agha Shahib, tuanku mengatakan, ‘Jika engkau pergi ke sana [Masjid Ahmadiyah], maka niscaya engkau pun akan menjadi Mirzai!’ Saya meyakinkannya, ‘Saya tidak akan menjadi Mirzai. Saya pergi ke sana dengan tekad hanya akan mendengarkan pembacaan Al-Quran saja.’ Beliau tidak melarang.

Maka keesokan harinya saya datang ke Masjid itu. Hadhrat Mir Hamid Shah Shahib almarhum saat itu biasa memberikan Dars. Ternyata kemudian saya merasa senang dan hadir setiap hari untuk menyimak Dars dan makrifat-makrifat serta hakikat-hakikat kebenaran yang disampaikan di sana. Suatu kali, Hadhrat Maulwi Abdul Karim Shahib r.a. datang dari Qadian, dan beliau memberikan Dars. Dikarenakan ru’b (wibawa, karisma kerohanian) yang dimiliki beliau r.a., beberapa ustad ghair/non Ahmadi ikut hadir dalam Dars tersebut. Adapun saya sekali-kali tidak pernah ditablighi [didakwahi soal Ahmadiyah, melainkan hanya mendengarkan daras Al-Quran], namun, semua keraguan keberatan saya pun lenyap sudah, dan saya pun menjadi tahu bahwa semua tuduhan terhadap Ahmadiyah adalah tidak berdasar. Tidak ada sedikit pun kebenaran di dalam tuduhan-tuduhan itu. Akhirnya, saya mengirimkan surat pernyataan baiat ke hadapan Hadhrat Aqdas. Beberapa hari kemudian jawaban menggembirakan pun datang, dan saya dengan penuh suka cita masuk menjadi anggota Ahmadiyah.

Dalam rangka Tahdits Ni’mat (penyebutan karunia-karunia Allah), saya hendak menyampaikan bahwa, Allah Ta’ala telah menjadikan saya lahir di kalangan keluarga mulia (syarif khandan). Dia juga memberi saya taufik untuk mempelajari pekerjaan mulia yaitu kedokteran. Banyak sekali doa-doa saya yang terpenuhi pengabulannya. Semua cita-cita saya tercapai dengan sempurna. Dia mengaruniakan saya rezeki dan anak keturunan, dan yang paling utama adalah, Dia telah menjadikan saya mengenali Nabi Akhiruz Zaman, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan mendapat kemuliaan bergabung dengan Jemaatnya [menjadi seorang Ahmadi.] Maka sempurnalah apa-apa yang telah dikatakan oleh Tuan Agha (beliau mengatakan, ‘Kamu akan menjadi Mirzai!’), akan tetapi saya bersyukur kepada Allah bahwa Dia telah menuntun saya di jalan yang lurus.”  [referensi Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 1, halaman 173-176, riwayat Hadhrat Sayyid Walayat Syah Shahib r.a.]

Itulah beberapa riwayat [para sahabat] yang mengisahkan mereka menerima kebenaran [Islam] Ahmadiyah.

Kemajuan Jemaat disertai Peningkatan Penentangan Dan Keharusan Banyak-Banyak Berdoa

Sekarang ini saya hendak menyampaikan suatu hal bahwa manakala Jemaat sedang menaiki jenjang kemajuan, maka upaya-upaya para pendengki dan pembuat kerusuhan semakin meningkat dan mereka berusaha untuk mencelakai atau merugikan Jemaat dengan berbagai cara. Kadangkala mereka melakukan penyerangan secara sembunyi-sembunyi dan kadangkala secara terang-terangan. Terkadang juga mereka berupaya untuk melakukan penyerangan dengan menjadi simpatisan. Oleh karena itu, setiap Ahmadi perlu memperbanyak berdoa demi terhindar dari segala macam kejahatan musuh: “اللهم إنا نجعلك في نحورهم ونعوذ بك من شرورهم” ‘Allahumma inna najaluka fii nuuhurihim wa na’uudzubika min syuruu-rihim’, yakni, “Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai tameng dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung kepada Engkau dari segala kejahatan mereka.”  [17]

“رب كل شيء خادمك ربّ فاحفظني وانصرني وارحمني” Rabbi kullu syai’in khadimuka, rabbi fahfazhni wanshurni warhamni, yakni, “Ya Tuhanku, segala sesuatu adalah khadim Engkau, Ya Tuhanku, jagalah aku, tolonglah aku, dan sayangilah aku.”[18]

Demikian pula doa-doa lainnya. “ربنا أفرع علينا صبرا وثبت أقدامنا وانصرنا على القوم الكافرين” ‘Rabbanaa afrigh alaina shabra(n)w wa tsabbit aqdaamanaa wan-shurna alal qaumil kaafiriin.’, yakni, “Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran kepada kami, teguhkanlah langkah-langkah kami, di atas orang-orang yang kafir.” [19]

Semua doa ini dan shalawat yang juga saya sampaikan, hendaknya harus banyak-banyak membacanya supaya kita dijaga dari segala jenis kejahatan para musuh. [20]

Fitnah Via Facebook: Mengadu Sikh versus Ahmadiyah

Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang mem-posting dua gambar di Facebook.com, satu bergambar Hadhrat Guru Bawa Nanak Shahib rahmatullahi ‘alaihi, dan satunya lagi gambar Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Dengan menuangkan pemikiran yang sangat kotor dan busuk, orang yang memosting itu menggunakan kata-kata yang sangat salah dan sangat menghina berkenaan dengan Hadhrat Bawa Nanak Shahib r.h.a. dan menuliskannya di atas gambar tersebut serta gambar tersebut juga dalam keadaan tersobek-sobek. Sedangkan berkaitan dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., dia menuliskan kalimat-kalimat pujian dan membandingkan bahwa ini adalah asli, begini dan begini.

Pada kenyataannya, dengan perbuatan tersebut tujuan dan niatnya adalah buruk dan hendak menimbulkan fitnah dan pertentangan. Menerangkan pujian dan kedudukan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bukanlah tujuannya, bahkan semata-mata hanya untuk menimbulkan kebencian dan amarah di kalangan masyarakat Sikh.

Kemudian ada sebuah surat kabar di sana (sekitar Qadian) yang melakukan kezhaliman lebih daripada itu. Surat kabar tersebut menerbitkan gambar tersebut, sehingga timbul ketegangan di kalangan masyarakat Qadian dan sekitarnya. Sebetulnya, ini merupakan karunia Allah Ta’ala bahwa para pemuka kaum Sikhs memahami keadaan, lalu menyelesaikan perkara dengan bijak dan meredam emosi kaumnya  [dengan mengatakan], “Orang-orang Ahmadi tidak mungkin melakukan tindakan demikian. Kejahatan dan unsur yang berfitrat buruk ini sesungguhnya telah dilakukan untuk mengadu domba kita.”

Beberapa keluarga pemuka Sikh dari Qadian mengirim surat kepada saya mengenai masalah ini, “Kami yakin bahwa seseorang telah melakukan kejahatan dan ini dikait-kaitkan (dituduhkan) kepada Jemaat Ahmadiyah.” Yakni, kelihatannya demikian, bahwa itu dilakukan seolah-olah seperti ditulis oleh seorang Ahmadi dan Jemaat telah menerbitkan pengumuman ini, akan tetapi Jemaat tidak akan pernah melakukan tindakan buruk seperti ini. Alhasil, orang-orang itu (Sikhs) dan berbagai departemen mereka juga menuntut pemerintah, dan Jemaat juga menuntut kepada pemerintah supaya dilakukan penyelidikan dan orang jahatnya harus dihukum berat.

Pendirian Ahmadiyah Tentang Tokoh-Tokoh Agama Lain

Ini senantiasa menjadi pendirian Jemaat Ahmadiyah, yaitu, tidak pernah mempermainkan perasaan siapa pun, dan dari segi tokoh-tokoh agama-agama, kita adalah orang-orang yang mengamalkan ajaran “Jangan mencaci berhala-berhala orang lain” sesuai dengan ajaran-ajaran Alquran. Kedudukan dan kehormatan Hadhrat Baba Nanak Shahib r.h. yang terdapat dalam literatur Jemaat Ahmadiyah, mengenai hal ini Hadhrat Masih Ma’ud a.s. mengemukakan kalimat-kalimat pujian dengan sangat terang. Tidak ada seorang Ahmadi sejati yang berpikir untuk mengemukakan kalimat-kalimat yang merugikan dan kotor mengenai beliau (Hadhrat Bawa Nanak Shahib r.h.a.).

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di satu tempat bersabda mengenai Hadhrat Baba Nanak Shahib r.h.a., “Pada suatu waktu demikian, Allah Ta’ala telah menganugerahkan ruh kebenaran dan pencarian kebenaran kepada Baba Shahib r.h. ketika di Punjab kerohanian sedang sangat berkurang. Dari hal ini terbukti bahwa beliau tak diragukan lagi termasuk diantara orang-orang arif yang batin dan kepribadiannya sedalam-dalamnya ditarik kepada Tuhan Yang Mahaesa.” [21]

Selanjutnya, di satu tempat beliau a.s. bersabda, “Setiap orang beriman lagi muttaqi berkewajiban memandang dengan hormat kepada beliau (Hadhrat Bawa Nanak Shahib r.h.a.) dan memperhitungkan beliau termasuk kedalam Jemaat [golongan orang-orang] yang suci.”[22] Lalu, beliau a.s. bersabda, “Kita harus menyatakan bahwa Baba Shahib r.h.a. telah menolong menyebarluaskan cahaya suci lagi benar yang untuk itu kita sedang mengkhidmatinya sehingga bila kita tidak menghargai beliau, maka tak diragukan lagi kita akan termasuk orang-orang yang tidak berhasil (merugi).”[23]

Pendek kata, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menetapkan bahwa pekerjaan beliau dan pekerjaan Hadhrat Bawa Nanak r.h.a. adalah satu macam [da’wah ilallah]. Karenanya, celakalah orang yang menggunakan kata-kata yang salah terhadap Hadhrat Bawa Nanak r.h.a.

Kemudian, di satu tempat beliau a.s. bersabda, “Sebagai bentuk keadilan [obyektifitas] kita, kita harus menyatakan bahwa Hadhrat Bawa Nanak Shahib r.h. termasuk diantara hamba-hamba yang maqbul, yang telah ditarik oleh Allah Ta’ala ke arah cahaya dengan tangan-Nya sendiri.”[24] Kemudian beliau a.s. bersabda, “Saya setuju dengan pendapat kawan-kawan Sikh bahwa Bawa Nanak Shahib r.h.a. pada hakikatnya adalah termasuk hamba Allah yang maqbul.”

Kemudian beliau a.s. bersabda dan kini pengumuman ini telah diterbitkan oleh Jemaat: “Bawa Nanak Shahib r.h.a pada hakikatnya adalah termasuk hamba Allah yang maqbul dan dari antara orang-orang yang kepada mereka turun berkat-berkat Ilahi dan disucikan oleh tangan Tuhan. Saya mengganggap tercela dan kurang ajar bagi mereka yang menyebut-nyebut beliau dengan nada menghina dan menggunakan kata-kata tidak suci.”[25]

Rajah Raam Chandra Ji Maharaja (Maharaja yang Mulia Rajah Rama Candra), Krisyna Ji Maharaja (Maharaja Yang Mulia Krishna) adalah wujud-wujud suci utusan Ilahi.

Walhasil, publikasi yang disebarluaskan atau yang dilakukan dengan memposting gambar dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan permusuhan dan kedengkian di antara para penganut agama. Pengurus [Jemaat] di Qadian sana telah menyatakan penolakan kerasnya di suratkabar-suratkabar dan realitanya memang demikian. Seperti telah jelas dari kutipan-kutipan karya tulis Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bahwa di mata kita kedudukan Hadhrat Bawa Nanak Shahib r.h. adalah sangat tinggi dan kita memandang beliau dengan penuh hormat lagi memuliakan. Semoga Allah Ta’ala melindungi para Ahmadi Qadian dan lingkungan sekitarnya dari berbagai jenis kejahatan dan kerusuhan dan pihak musuh senantiasa gagal dalam kejahatannya.

Dzikr Khair dan Shalat Jenazah Gaib untuk Para Almarhum/ah

Sekarang ini, saya juga ingin menyampaikan beberapa orang yang sudah meninggal dan saya akan memimpin shalat jenazahnya setelah shalat Jumat. Jenazah pertama ialah Mukarram Abdur Razzaq Butt Shahib yang wafat pada tanggal 6 Oktober 2012 di usia 65 tahun. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun. Beliau seorang muballigh Jemaat dan seorang musi. Shalat jenazahnya telah dilaksanakan di halaman Sadr Anjuman Ahmadiyah. Dikarenakan salah penggunaan obat, jantung beliau terserang sehingga beliau wafat. Dengan karunia Allah beliau adalah orang yang sehat. Ayahanda beliau bernama Ghulam Muhammad Kasymiri, penduduk Gujarat dan sejak kanak-kanak ayahanda beliau telah sangat rajin shalat sehingga di wilayah itu dipanggil ‘Maulwi’.

Beliau baiat pada tahun 1930. Ketika beliau baiat, istri beliau meninggalkan beliau. Saat itu seorang teman perempuannya (teman istrinya) yang bukan Ahmadi bertanya, “Apakah setelah menjadi Ahmadi, ia [suami kamu] juga meninggalkan shalat?” Maka istri beliau, yakni ibunda dari Abdur Razzaq Butt Shahib berkata kepadanya, “Tidak. Ia mengerjakan shalat lebih rajin dari sebelumnya.” Ia pun bertanya, “Bagaimana mungkin ia menjadi kafir.” Alhasil, beliau pun (sang istri) datang kembali [kepada suaminya, ayahanda almarhum Razzaq Butt]. Beliau adalah seorang yang berfitrat baik.

Abdur Razzaq Butt Shahib menempuh pendidikan dasar di Alimgarh Gujarat. Kemudian beliau lulus dari Jamiah pada tahun 1971 dan berkhidmat sebagai Murabbi Jemaat di beberapa tempat di Pakistan. Kemudian pada tahun 1975, beliau ditugaskan di Ghana. Di sana, beliau tinggal di beberapa tempat. Dari tahun 1979 sampai tahun 1989, beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Principal (Kepala) Ahmadiyah Missionary Training College [Tempat Pelatihan Mubaligh Ahmadiyah, cikal-bakal Jamiah Ahmadiyah] dan kembali lagi ke Pakistan pada tahun 1989. Beliau menjadi Murabbi di beberapa tempat di Pakistan. Kemudian, beliau berkhidmat dalam bidang tarbiyat mubayiin baru di bawah bidang Ishlah-o-Irsyad. Beliau menjadi anggota Komite Ishlah dan sangat berhasil dalam Komite Ishlah. Cara beliau menyampaikan penjelasan dan pemahaman sangat indah.

Saudara istri beliau, Mubarak Tahir Ahmad Shahib yang merupakan sekretaris Nusrat Jahan, menulis, “ketika Butt Shahib datang untuk menjalin hubungan perjodohan dengan kakak saya, Nn. Amatun Nur Tahir, maka bapak saya, Hadhrat Maulana Muhammad Munawwar Shahib meminta saran kepada Syeikh Mubarak Ahmad Shahib yang pada saat itu menjabat sebagai sekretaris Hadiqatul Mubasyirin, ‘Tolong beritahu, bagaimana tugas beliau (Butt Shahib) di lapangan?‘ Maka Syeikh Shahib berkata, ‘Beliau bekerja sangat bagus. Laporan-laporan beliau sangat menyenangkan dan memuaskan hati.‘ Konon, hanya dengan laporan-laporan tersebut saja, bapak memberikan keputusan menerima atas hubungan tersebut.”

Pekerjaan beliau di lapangan, memang saya [Hudhur] saksikan sendiri. Di Ghana, saya tinggal bersama beliau. Beliau bekerja dengan tanpa egoisme. Jarang sekali mubaligh yang berlaku demikian. Hubungan beliau dengan anak istri sangat harmonis. Setiap Jumat, beliau mengundang semua anak-anak dan mereka duduk bersama mendengarkan khotbah di televisi. Beliau sangat mengkhidmati ibunda beliau. Beliau senantiasa memberikan kredit waqf beliau yang sukses kepada ibunda beliau. Beliau senantiasa menekankan anak-anak beliau untuk shalat dan berdoa. Anak-anak yang rajin mengerjakan shalat, beliau memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang dan memperlihatkan kegembiraannya kepada mereka.

Beliau memiliki sekitar 5 atau 6 anak perempuan. Ketika datang calon jodoh bagi anak-anak perempuan beliau, maka [dari antara anak-anak perempuan beliau] ada yang bertanya, “Siapa mereka?” Jawaban yang senantiasa beliau berikan kepada mereka dan di dalamnya juga terdapat pelajaran yang agung bagi orang-orang yang sangat mementingkan hal-hal duniawi ialah, “Mereka laki-laki yang dawam mengerjakan shalat dan membayar candah. Apalagi yang kalian inginkan?” Beliau juga mengatakan, “Apabila anak perempuan saya beruntung, maka dia akan mengisi rumah yang kosong, dan jika tidak beruntung, maka semua anak perempuan akan mengosongkan rumah yang berisi.”

Beliau memiliki kecintaan yang lebih terhadap khilafat. Manakala anak beliau kena hukuman karena suatu sebab, maka selama belum dimaafkan, beliau tidak berbicara kepadanya dan mengatakan, “Bagaimana aku dapat menyukai orang yang dimarahi oleh Khalifah-e-Waqt? Pada tahun 2009 juga beliau datang ke sini. Sedikit pun beliau tidak membicarakan tentang putri beliau yang sedang terkena sanksi kepada saya. Secara isyarah juga beliau tidak mengatakan, “Maafkanlah dia!” atau, “Apakah ia benar atau salah?” Beliau hanya mengatakan: “Doakanlah, semoga Allah Ta’ala memberikan pemahaman kepadanya.” Beliau senantiasa taat terhadap Jemaat dan Khilafat dan beliau juga senantiasa menekankannya kepada anak-anak.

Beliau adalah orang yang dawam mendengarkan khotbah, sebagaimana saya telah katakan. Pada saat itu pun, ketika ada anak yang ribut, beliau sangat memarahinya. Dalam keadaan sakit juga, beliau tidak biasa mengambil cuti. Seandainya pun ada cuti, maka beliau katakana, “Kalau saya pergi ke kantor, maka itu akan lebih bagus.” Seandainya anak-anak menuntut, “Adakanlah cuti, bawa kami rekreasi!” Maka beliau katakan, “Semua kehidupan saya telah diwakafkan untuk Jemaat”. Sesungguhnya kalimat ini bukanlah kalimat beliau yang sepele. Beliau mewakafkan setiap detik untuk mengkhidmati Jemaat dan itu pun telah beliau perlihatkan.

Di Afrika, sebagaimana telah saya singgung, saya [Hudhur] pernah tinggal bersama beliau. Kondisi pada saat itu bukanlah kondisi seperti sekarang ini. Kondisinya sangat memprihatinkan. Akan tetapi, beliau melewati hari-hari beliau di sana dengan sangat senang. Beliau sering sakit-sakitan. Beliau pernah terkena malaria. Beliau sering masuk rumah sakit. Akan tetapi, kapan pun kondisi beliau membaik, maka beliau langsung memulai pekerjaan beliau dan di sana juga beliau sangat diakui oleh orang-orang karena kecintaan dan kasih sayang beliau kepada mereka. Ketika saya pergi ke sana, beliau sudah menjadi muballigh. Setelah itu, beliau memberitahu saya tentang keadaan-keadaan di sana dan semua hal yang ada di sana.

Demikianlah, beliau memberikan cukup petunjuk kepada saya. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan kasih sayang dan magfirah, menurunkan rahmat dan berkat kepada beliau, menempatkan beliau diantara kekasih-kekasih-Nya dan menganugerahi anak-istri beliau dengan kesabaran, harapan dan semangat. Seorang putrid beliau tinggal di Sierra Leone, menjadi istri seorang Murabbi Jemaat. Beliau tidak dapat hadir dalam shalat jenazah. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi semuanya dengan kesabaran, semangat dan ketabahan.

 

Jenazah kedua yang akan saya bacakan adalah Mukarramah Dr. Fahmidah Munir Shahibah. Beliau wafat di Kanada di usia 75 tahun, pada tanggal 8 Oktober 2012. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un.

Pada tahun 1964, beliau meraih gelar MBBS dari Fatimah Jinnah Medical College. Setelah bekerja sebagai praktik pelatihan di rumah sakit, beliau mendapatkan beberapa kesempatan untuk maju dalam bidang beliau, akan tetapi Fazl-e-Umar Hospital (Rumah Sakit Fadhl Umar) di Rabwah memerlukan dokter di bidang ginekologi (ahli penyakit kewanitaan, kebidanan). Oleh karena itu, beliau pergi ke sana dan bergabung dengan Fazl-e-Umar Hospital dari tahun 1965.

Masa pengkhidmatan beliau sangat lama. Manakala kita membaca kisah-kisah mengenai pengkhidmatan-pengkhidmatan beliau, maka bisa menjadi satu khotbah, bahkan juga bisa lebih dari itu. Beliau bekerja sebagai praktik pelatihan di Lady Aitchison Hospital, Lahore pada tahun 1964, sehingga ketika itu beliau mengajukan lamaran kerja untuk satu pekerjaan di Inggris dan akhirnya beliau permohonan beliau diterima dan beliau mendapatkan pekerjaan. Tiket beliau sudah diatur [untuk berangkat ke Inggris]. Persiapan-persiapan untuk pergi ke Inggris sudah rampung, sehingga ketika hari selanjutnya suratkabar ‘Al-Fadhl‘ sampai di rumah, dimana terdapat iklan mengenai diperlukannya dokter wanita Ahmadi untuk berkhidmat di Fazl-e-Umar Hospital, Rabwah. Bersamaan dengan itu, ada juga pesan dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. bahwa jika tidak ada dokter wanita Ahmadi, maka seorang Dokter Kristen akan diusahakan untuk dipekerjakan di Fazl-e-Umar Hospital. Beliau membatalkan program untuk pergi ke London.

Meskipun keadaan materi dalam keluarga beliau termasuk terbatas dan beliau 10 bersaudara. Kendatipun ayah beliau adalah seorang section officer (semacam kepala dinas), akan tetapi beliau secara keuangan termasuk sempit, ayah beliau juga sampai berutang untuk menyelesaikan kuliah beliau guna mencapai gelar MBBS. Meskipun keadaannya demikian, hari itu beliau tetap saja siap sedia untuk datang ke Rabwah dari Lahore.

Rumah sakit beliau, dimana beliau bekerja sebagai house job (magang, latihan praktik), di sana beliau meminta izin kepada MS (kepala rumah sakitnya, seorang wanita). Kepala rumah sakit itu bertanya, “Kenapa pergi? Berapa gaji yang akan kamu terima di sana?“ Dr. Fahmidah Shahibah menjawab, “Mungkin saya akan mendapatkan tunjangan per bulan sebesar 230 rupe.“ MS berkata, “Saya akan memberimu 550 rupe. Jangan pergi tinggalkan Lahore. Masa depanmu sangat berkaitan erat dengan house job ini.“ Akan tetapi, beliau tidak menerima permintaan tersebut dan berkata, “Saya pergi bukan demi uang. Saya sudah melamar pekerjaan di Inggris dan diterima, tiket sudah diatur dan untuk masuk ke sana pun sudah tersedia. Akan tetapi, saya akan meninggalkan semua ini dan pergi ke Rabwah.“ Atas hal itu, MS menjawab, “Saudari adalah wanita yang sangat mulia. Saudari telah menjual masa depan saudari demi Jemaat saudari.“ MS memberi sertifikat House Job Assistant terbaik kepada beliau.

Akhirnya, beliau tiba di Rabwah pada tahun 1964 dan mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Dokter wanita di Fazl-e-Umar Hospital sampai tahun 1984. Di Rabwah pada saat itu tidak ada dokter wanita. Bahkan di daerah sekitar juga tidak ada dan menangani area yang sangat luas yang beliau tanggung sendiri saat itu. Baik malam yang dingin ataupun panas, 2 atau 3 jam, kapanpun ada pasien yang datang, maka beliau langsung meninggalkan ranjang dan pergi untuk memeriksa pasien.

Ada juga penjelasan mengenai beliau bahwa pada saat hari walimah, beliau duduk di kursi sebagai pengantin, tiba-tiba ada telepon dari rumah sakit bahwa ada gawat darurat. Beliau beranjak dari sana dengan pakaian tersebut (pakaian pengantin) dan pergi ke rumah sakit dan para tamu undangan makan-makan sesudahnya tanpa kehadiran beliau. Pada dasarnya, ini merupakan ruh pengorbanan. Dan beliau telah memenuhi janji pengkhidmatan beliau tersebut dengan ruh wakaf. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada para wakafin yang lain untuk menegakkan teladan ini.

Beliau senantiasa menolong orang-orang miskin. Beliau mengobatinya dengan pengobatan gratis. Di daerah sana, ada kebiasaan, orang-orang menjelaskan kesulitannya dengan berbohong. Beliau tidak pernah mengatakan, “Kamu berbohong. Saya akan selidiki.“ Siapapun yang berkata, beliau percayai. Beliau beri pengobatan gratis dan juga disertai dengan obat-obatan. Suami beliau mengatakan, “Beliau sering melewati malam di rumah sakit.“ Suami pagi-pagi pergi bekerja dan beliau baru saja pulang dari rumah sakit.

 Suatu kali Hadhrat Khalifatul Masih III r.h. memberikan permisalan tentang pardah beliau dalam Majelis Syura bahwa kalau seseorang ingin belajar bekerja dengan menggunakan pardah, belajarlah dari Dr. Fahmidah. Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. bersabda mengenai beliau bahwa beliau adalah seorang perempuan yang banyak berkorban dan sangat jarang sekali orang-orang yang mendapatkan kesempatan seperti ini.

Ketika beliau bergabung ke rumah sakit pada tahun 1964, maka beliau pergi untuk menemui Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dan Hadhrat Choti Apa Ummu Amatul Matin Shahibah, (istri Hudhur II r.a.) ada di sana. Beliau (Hadhrat Choti Apa) mengatakan, “Seorang dokter wanita (lady doctor) telah datang di Fazl-e-Umar Hospital (Rumah Sakit Fadhl Umar),“ maka Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. langsung mengucapkan Alhamdulillah  dan banyak mendoakan beliau.

Suatu kali, beliau mengatakan ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih III r.h. pada saat acara mulaqat, “Saya hendak beritikaf!“ Maka beliau r.h.a. bersabda, “Periksalah pasien-pasien saya!-Saya akan panjatkan banyak doa untuk engkau- sesungguhnya pengkhidmatan engkau itu itikaf engkau.“ Beliau sangat berhubungan erat dengan Khilafat dan beliau adalah seorang perempuan yang sangat berani.

Hadhrat Khalifatul Masih IV رحمه الله (rahimahullah, r.h.a) sangat menyukai gubahan syair beliau. Beliau bukan hanya seorang dokter, bahkan seorang penggubah syair dan penyair yang sangat bagus. Kalimat-kalimat syairnya bersifat spontan, mengandung kekuatan dan bergelombang bak ombak. Tujuh kumpulan syair beliau telah diterbitkan. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. telah hijrah datang ke sini (London), maka suatu kali beliau mengirimkan nazm-nya dan salah satu bait puisinya adalah, ‘Ghar peh taalaa paraa he muddat se, us se keh do, apne ghar ae‘ – “Sungguh! Rumah itu telah lama terkunci selama beberapa masa. Dapatkah seseorang katakan padanya, ‘Pulanglah ke rumahnya!‘

Hudhur r.h.a. sangat menyanjung syair tersebut. Beliau menjelaskan, “Saya sangat senang dengan cara Dr. Fahmidah saat memarahi orang-orang dewasa.“ Beliau senantiasa menasehati anak-anak beliau, menasehati saudara-saudari beliau, “Seandainya kalian menghendaki kehormatan di dunia, maka ikatkanlah diri dengan Khilafat, sehingga kalian meniadakan wujud kalian di jalan tersebut.“

Dr. Nusrat Jahan Shahibah yang saat ini menjabat sebagai Incharge Doctor di Fazl-e-Umar Hospital, mengatakan, “Beliau adalah dokter yang bertabiat sangat tabah dan berakhlak baik. Pada saat itu keadaannya tidak mendukung. Fasilitas pun tidak tersedia. Akan tetapi, beliau bekerja dengan penuh kecintaan dan kerja keras. Beliau memiliki kemahiran tingkat tinggi dalam pekerjaan beliau. Beliau memperlakukan para pasien dengan sangat baik dan penuh kecintaan dan sampai saat ini pun para pasien beliau masih ingat dengan beliau.“ Kini Dr. Nusrat Jahan ada di sana dan beliau juga dengan karunia Allah Ta’ala bekerja dengan standar wakaf yang lebih. Semoga Allah Ta’ala memberkati usia dan kesehatan beliau dan menyempurnakan kekurangan para dokter yang ada di Fazl-e-Umar Hospital dan menganugerahkan penyembuhan di tangan beberapa dokter yang ada di sana serta menganugerahkan semangat dan gejolak kepada mereka. Dr. Nusrat Jahan Shahibah juga membutuhkan doa-doa dari kita.

Suatu kali, di sana ada lomba gubahan syair, lomba menulis nazm-nazm dan diberikan satu bait. Di sana juga tertulis nama, alamat dan lain-lain. Kebiasaan beliau adalah merendahkan diri. Beliau menulis di tempat nama dan alamat berikut ini: “Khidmat Khalq, tulis menulis, … doa akhir yang baik.“

Ini bukan hanya kata-kata semata, bahkan sebagaimana saya telah katakan bahwa beliau adalah seorang perempuan yang tanpa mengedepankan egoisme dan beliau melakukan pengkhidmatan dengan tanpa pamrih. Ringkasan kehidupan beliau telah beliau jelaskan dan sesungguhnya beliau adalah perempuan yang selalu melakukan pengkhidmatan terhadap sesama makhluk, memenuhi tanggungjawab rumah tangga, memperhatikan akhirat, wujud yang sangat bermanfaat bagi umat manusia dan akhir kehidupan beliau, saya pahami, adalah akhir kehidupan yang baik. Sebabnya, sesuai dengan hadis, ketika orang-orang memujinya (orang yang sudah wafat), maka surga wajib atasnya dan beliau termasuk diantara orang-orang tersebut. Semoga Allah Ta’ala senantiasa meninggikan derajat almarhumah dan menganugerahkan taufik kepada anak-anak beliau untuk memiliki dan melangsungkan kebaikan-kebaikan beliau serta menganugerahkan kesabaran, semangat dan gejolak kepada suami beliau.

 

Jenazah ketiga yang akan dishalatjenazahkan setelah shalat Jumat adalah Mukarramah Nasirah binti Zhareef Shahibah, istri dari Mukarram Dr. Uqail bin Abdul Qadir Shahib Syahid dari Haidarabad, yang saat ini berada di Norwegia. Beliau wafat pada tanggal 23 September 2012. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un.

 Ibunda beliau adalah Fatimah Jamilah Shahibah, sepupu dari Hadhrat Sayyidah Sarah Begum Shahibah, istri dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. Ayahanda beliau, Mukarram Muhammad Zhareef Shahib almarhum telah diberikan taufik oleh Allah Ta’ala untuk menerima Ahmadiyah dalam usia 13 tahun. Karena hal inilah, beliau terpaksa menanggung banyak kesulitan dan kesusahan pada usia masih kecil.

Almarhumah menikah pada tahun 1949 dengan Muhtaram Dr. Uqail bin Abdul Qadir Shahib, yang merupakan putra dari Hadhrat Prof. Abdul Qadir Shahib, sahabat dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan kakak dari Hadhrat Sayyidah Sarah Begum Shahibah, istri dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.

Beliau adalah seorang perempuan yang sangat menghargai tamu. Beliau senantiasa melayani banyak tamu dan kerabat yang datang ke rumah suaminya, Dr. Uqail bin Abdul Qadir Shahib dengan hati yang lapang. Beliau dawam shalat 5 waktu, shalat Tahajud, bertabiat baik, berhati bersih, simpatisan orang-orang miskin dan perempuan yang sayang teman. Keluarga ini, masya Allah, penyayang teman. Beliau senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan orang-orang yang memerlukan, menolong mereka dan beliau lakukan itu semua bukan untuk pamer. Beliau hobi mempelajari setiap pekerjaan. Beliau telah lulus ujian sastra. Beliau senantiasa menganjurkan anak-anak untuk menempuh pendidikan tinggi.

Karena keadaan-keadaan yang muncul akibat syahidnya suami beliau pada tahun 1985, beliau terpaksa hijrah ke Norwegia pada tahun 1987. Meskipun usia beliau 60 tahun, berpenyakit tekanan darah tinggi, akan tetapi beliau berupaya untuk belajar bahasa Norwegia. Beliau sangat mencintai Jemaat dan Khilafat. Beliau setiap saat menelaah tulisan-tulisan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan literatur Jemaat. Beliau memperhatikan pembayaran candah tepat waktu. Beliau memiliki 2 orang anak laki-laki dokter dan seorang anak perempuan.

 Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada anak-anak beliau untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan beliau dan meninggikan derajat beliau, Amin.

 

Khotbah II

 

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya disingkat s.a.w. sedangkan ‘alaihish shalaatu was salaam selanjutnya di singkat a.s. Adapun rahimahullahu ta’ala dan rahmatullahi ‘alaihi disingkat r.h.a. Sedang singkatan r.a. untuk radhiyallahu ‘anhu

[3] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 229-230, riwayat Hadhrat Muhammad Fadhil Shahib ra.

[4] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 4, halaman 167-168, riwayat Hadhrat Syekh Asghar Ali Sahib ra.

[5] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 146, riwayat Hadhrat Maula Baksh Shahib ra.

[6] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 200-202, riwayat Hadhrat Qadhi Muhammad Yusuf Shahib ra.

[7] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 219-220, riwayat Hadhrat Syaikh Muhammad Afdhal Shahib r.a.

[8] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 367, riwayat Hadhrat Qaimuddin Shahib ra.

[9] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 151, riwayat Hadhrat Allah Rakha Shahib ra.

[10] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 7, halaman 233-234, riwayat Hadhrat Muhammad Fadhil Shahib ra.

[11] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 10, halaman 103, riwayat Hadhrat Mian Ghulam Muhammad Bafandah Shahib ra.

[12] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 10, halaman 121-122, riwayat Hadhrat Hakim Fadhlur Rahman Shahib ra.

[13] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 10, halaman 183, riwayat Hadhrat Mian Rahim Bakhsy Shahib ra.

[14] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 10, halaman 206, riwayat Hadhrat Coudhri Rahmat Khan Shahib ra.

[15] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 10, halaman 218-219, riwayat Hadhrat Maulwi Muhammad Abdullah Shahib r.a.

[16] Register Riwaayaat Shahabah (ghair mathbu’ah), jilid nomor 13, halaman 413-416, riwayat Hadhrat Nizhamuddin Shahib r.a.

[17] Doa ini adalah amalan Nabi Muhammad s.a.w. seperti tercantum dalam kitab hadits Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shalah, bab maa yaquulur rajulu idza khaufa qauman (apa yang sebaiknya diucapkan bila seseorang takut akan suatu kaum)

[18] Tadzkirah halaman 363, edisi ceharam (IV), terbitan Rabwah.

[19] (Surah Al-Baqarah, 2:251)

[20] Contoh duruud atau shalawat

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Di samping ini, juga ada lebih dari 5 redaksi shalawat yang berbeda-beda namun  berdasarkan Hadits-Hadits Rasulullah s.a.w..

[21] Sat Bacan, Ruhani Khazain, jilid 10, halaman 120

[22] Sat Bacan, Ruhani Khazain, jilid 10, halaman 120

[23] Sat Bacan, Ruhani Khazain, jilid 10, halaman 120

[24] Sat Bacan, Ruhani Khazain, jilid 10, halaman 111

[25] Sat Bacan, Ruhani Khazain, jilid 10, halaman 111

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.