Sifat Pemaaf Rasulullah saw
Khotbah Jum’at
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 14 Januari 2011
Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-‘Araf [7]: 200)
Ucapan ‘Aisyah Radhiallaahu Ta’ala ‘anha mengenai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni kaana khuluquhul Quran – “Akhlak beliau adalah Al-Quran”, mengungkapkan [isyarat] mengenai penelusuran samudera luas akhlak luhur beliau s.a.w. yakni “Pergi dan carilah mutiara-mutiara berharga dari dalam samudera itu. Dan mutiara akhlak agung apapun yang kalian cari, di atasnya tertera stempel pengesahan dari junjunganku, Hadhrat Muhammad Mustafa shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Inilah kedudukan Khaataman Nabiyyiin yang nampak kepada kita dalam firman Allah Swt., اَلۡیَوۡمَ اَکۡمَلۡتُ لَکُمۡ دِیۡنَکُمۡ وَ اَتۡمَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ نِعۡمَتِیۡ ‘alyauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati….(Al-Maidah [5]:4). Jadi, Allah Ta’ala telah memenuhi kesempurnaan agama dan kesempurnaan nikmat dalam diri beliau s.a.w. dengan menurunkan kitab syariat terakhir kepada beliau s.a.w. Siapa yang dapat memahami kitab Ilahi itu dan mengerti kehendak Tuhan melebihi beliau? Setiap segi kehidupan Rasulullah s.a.w. yang merupakan gambaran pengamalan Quran karim, sesuai dengan perintah Allah Ta’ala, itupun merupakan uswah hasanah (contoh yang baik) bagi kita.
Sifat Pemaaf Rasulullah (‘Afwun)
Saat ini saya akan mengemukakan di hadapan Saudara-saudara sekalian, beberapa kilasan sisi menawan dari sirat (perjalanan hidup) beliau s.a.w., yang telah menjadikan orang-orang berfitrat baik bertambah kecintaannya kepada beliau. Dan seraya berpaling dari kekotoran orang-orang munafik, ketika beliau memperlihatkan khulq (akhlak) ini, yakni wa a’ridh ‘anil jaahiliin, maka fitrat orang-orang itu menjadi jelas terlihat kepada dunia. Khulq (akhlak) yang saya ingin terangkan itu adalah “afw” (sifat pemaaf).
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Orang-orang yang dekat dengan Tuhan dicaci-maki luar biasa. Diganggu dengan cara yang sangat buruk, tetapi mereka mendapat [nasihat] اَعۡرِضۡ عَنِ الۡجٰہِلِیۡنَ a’rid ‘anil jaahiliin’ (berpalinglah dari orang-orang jahil). Insan kamil, yakni Nabi kita s.a.w. sendiri mendapatkan penganiayaan yang sangat buruk, dicaci-maki, dihina, dan diperolok-olokan. Tapi apakah yang dilakukan oleh pribadi yang merupakan perwujudan akhlak ini untuk menghadapinya? Beliau berdoa untuk mereka, dan oleh karena Allah telah berjanji bahwa Dia akan menghindarkan beliau dari orang-orang jahil, maka Dia akan menyelamatkan kehormatan dan jiwa beliau, serta orang-orang ini tidak akan bisa menyerangnya. Oleh karena itu, demikianlah yang terjadi, para penentang Rasulullah s.a.w. tidak dapat mencemarkan kehormatan beliau dan mereka sendiri yang terhina lalu jatuh di kaki beliau atau hancur.”[2]
Kalau hanya di lisan, ini mungkin [nampak] sebagai suatu hal biasa. Tetapi beliau sendiri mengalami kezaliman-kezaliman yang terus-menerus dan menyaksikan para sahabat beliau melewati kezaliman itu. Namun ketika kekuatan (kekuasaan) diperoleh, beliau memperlihatkan contoh ‘afw (sifat pemaafan) dimana tidak nampak kepada kita contoh yang semisalnya semenjak dunia berdiri. Ini semata-mata merupakan keistimewaan Rasulullah s.a.w..
Kemudian, untuk menghadapi orang-orang munafik dan orang yang tidak mendapatkan pendidikan, beliau s.a.w. memperlihatkan kesabaran dan ketahanan (ketabahan). Inipun bukanlah sesuatu yang biasa. Jika ada ahli sejarah yang melihat dengan pandangan adil, maka meskipun agamanya berbeda ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa mengatakan bahwa contoh kesabaran, sifat pemaaf Rasulullah dan setiap akhlak beliau itu tidak ada bandingannya. Para penulis yang telah menulis pun, sebagian ada yang beragama Hindu dan sebagian ada yang Kristen.
Fitnah-fitnah Abdullah bin Ubay bin Salul
Jadi, saat ini saya akan menerangkan beberapa peristiwa yang menjelaskan akhlak agung sifat pemaaf Rasulullah s.a.w. Pertama, saya mengambil peristiwa Abdullah bin Ubay bin Salul, yang merupakan pemimpin orang-orang munafik. Meskipun secara lahiriah ia menerima untuk taat kepada Rasulullah s.a.w., tetapi ia tidak meninggalkan sesaatpun waktu untuk melakukan serangan-serangan kotor terhadap pribadi beliaus.a.w.. Semasa tinggal di Madinah, peristiwa ini terus-menerus terjadi. Permusuhannya sebenarnya karena sebelum Rasulullah s.a.w. hijrah ke Madinah, para penduduk Madinah berpikir bahwa ia (Abdullah bin Ubay bin Salul) adalah pemimpin mereka. Tetapi setelah kedatangan beliau s.a.w. di Madinah, beliau s.a.w. diterima oleh setiap suku dan setiap agama sebagai pemimpin. Maka, orang ini — tidak secara terang-terangan — tetapi dari dalam dirinya dan di dalam hatinya, menentang beliau s.a.w.. Penentangannya semakin meningkat, kedengkian dan kekotorannya semakin bertambah.
[Dikisahkan] dalam sebuah riwayat: Setelah beliau s.a.w. hijrah ke Madinah, dan sebelum perang Badar, ada sebuah peristiwa yang menggambarkan kedengkian Abdullah bin Ubay bin Salul, dan sebaliknya, memperlihatkan kesabaran beliau s.a.w. Penampakan [kesabaran] inilah yang sebenarnya merupakan ‘afw (sifat pemaaf). Sikap ‘afw (sifat pemaaf) ini lahir sebagai reaksi beliau s.a.w..
Tertera dalam riwayat: Imam Zuhri meriwayatkan,
“Urwah bin Zabir menceritakan kepada saya bahwa Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma menceritakan kepada saya: Sebelum perang Badar, Rasulullah s.a.w. menunggangi himar (keledai) dengan mengenakan salah satu kain penutup kepala khas wilayah Fadaq, beliau mendudukkan Usamah bin Zaid [saat itu masih anak-anak sekitar umur 8 atau 9 tahun] di belakang. Beliau sedang pergi untuk menjenguk Saad bin Ubadah (yang sedang sakit) di Banu Harits bin Khazraj.
Beliau melewati sebuah majlis yang di dalamnya Abdullah bin Ubay bin Salul duduk. Pada waktu itu ia belum masuk Islam.[3] Rasulullah s.a.w. melihat di dalam majlis itu ada juga orang Islam yang duduk, para penyembah berhala, orang-orang Yahudi, dan Abdullah bin Rawahah juga duduk dalam majlis itu.
Ketika debu dari kaki keledai yang terangkat mengenai majlis itu, maka Abdullah bin Ubay bin Salul menutup hidungya dengan kain penutup kepalanya. Kemudian berkata, ‘Jangan menyemburkan debu kepada kami.’ Kemudian Hadhrat s.a.w. mengucapkan salam kepada semua orang itu dan berhenti, lalu turun dari tunggangan beliau kemudian menyampaikan da’wah ilallaah dan memperdengarkan Al-Quran kepada mereka.
Atas hal itu Abdulah bin Ubay bin Salul berkata, “Hai Tuan! Yang sedang Anda katakan itu bukanlah hal yang baik. Kalaupun itu merupakan perkara yang benar, maka janganlah menyakiti kami dengan memperdengarkannya di dalam majlis kami. Pulanglah ke rumah Anda dan perdengarkanlah Quran kepada orang yang datang ke rumah Anda.”
Mendengar perkataan Abdullah bin Ubay bin Salul ini, Abdullah bin Rawahah r.a. berkata, “Mengapa tidak wahai Rasulullah! Datang dan perdengarkanlah Quran Karim di majlis-majlis kami, karena kami suka mendengarkan Quran.” Mendengar hal ini, orang Islam, orang musyrik, dan orang Yahudi bangkit dan berdiri lalu terlibat dalam perdebatan yang sedemikian rupa sehingga terasa seolah mereka saling mencengkram leher satu sama lain. Hadhrat s.a.w. terus menenangkan mereka dan mereka akhirnya diam.
Ketika mereka sudah diam, Hadhrat s.a.w. menaiki tunggangannya, dijalankannya dan sampailah di rumah Saad bin Ubadah r.a.. Beliau menghampirinya dan menceritakan apa yang telah dikatakan oleh Abu Habab, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka Saad bin Ubadah r.a. mengatakan, “Ya Rasulullah, perlakukanlah dia dengan maaf. Demi Dzat yang telah menurunkan Al-Quran sebagai kitab yang agung kepada Anda.”[4]
Allah Ta’ala telah membawa kebenaran yang diturunkan kepada beliau. Orang-orang di sana [Madinah} sebelumnya telah memutuskan untuk memakaikan mahkota kepada Abdulah bin Ubay bin Salul dan menjadikannya sebagai raja mereka, serta akan mengokohkan kekuasaannya. Lalu, ketika Allah Ta’ala menolak keputusan mereka itu karena kebenaran yang Dia anugerahkan kepada beliau s.a.w., maka Abdullah bin Ubay bin Salul sangat sedih karenanya. Itulah sebabnya ia memendam dengki terhadap beliau [s.a.w.]. Namun Rasulullah s.a.w. memperlakukannya dengan ‘afw (sifat pemaaf).
Sifat pemaaf Rasulullah saw terhadap Abdullah bin Ubay bin Salul bukanlah karena kata-kata Saad bin Ubadah yang telah mengatakan ‘Perlakukanlah ia dengan maaf’, melainkan beliau s.a.w. telah berkata kepadanya (Saad) untuk menceritakan hal ini, yakni, “Hari ini seperti itulah dia (Abdullah bin Ubay) telah memperlakukan saya, tetapi tetap saja saya akan terus memperlakukannya dengan penuh maaf.” Kemudian selanjutnya tertulis, bahwa sahabat-sahabat beliau s.a.w. bersikap pemaaf terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang ahli kitab, sebagaimana Allah Ta’ala perintahkan kepada mereka, dan mereka bersabar dalam menanggung penderitaan-penderitaan dari orang-orang itu.
Setelah beberapa waktu, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul secara lahiriah masuk Islam, ia terus saja berusaha memberi kesusahan kepada beliau s.a.w. dengan tipu daya munafiknya.
Mendamaikan Pertengkaran Seorang Muhajir Dengan Seorang Anshar
Tertera dalam sebuah riwayat: Dari Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhumaa meriwayatkan bahwa,
“Sekali waktu, ketika sedang pergi untuk suatu peperangan, salah seorang dari antara kaum Muhajirin telah memukul punggung seorang Anshar. Karena hal itu orang Anshar tersebut berkata dengan suara lantang, ‘Wahai kaum Anshar! Datanglah untuk membantu saya.’ Ketika melihat permasalahannya menjadi runyam, orang Muhajir itu berkata dengan suara lantang, ‘Wahai kaum Muhajirin! Datanglah untuk membantu saya.’
Rasulullah s.a.w. mendengar suara ini, maka beliau bertanya, ‘Suara apa yang sedang terdengar seperti [keributan] di zaman jahiliyah ini?’ Disampaikan kepada Rasulullah s.a.w., ‘Ya Rasulullah! Seorang Muhajir telah memukul punggung seorang Anshar.’ Beliau s.a.w. bersabda, ‘Tinggalkanlah perbuatan seperti itu, itu adalah hal yang tidak baik.’” Pertengkaran ini dimulai karena masalah minum, yakni yang seorang mengatakan, ‘Saya yang pertama akan minum’, yang lain mengatakan, ‘Saya yang pertama.’ Belakangan Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar peristiwa pertengkaran ini, ia berkata, ‘Seorang Muhajirin melakukan hal semacam itu? Demi Allah, jika kami kembali ke Madinah, maka orang yang paling terhormat akan mengusir orang yang paling hina” (Na’uudzubillaah).
Rasulullah s.a.w. mengetahui perkataan Abdullah bin Ubay bin Salul ini. Setelah mendengar hal ini Umar r.a. berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Izinkanlah saya memenggal kepala orang munafik itu.’ Mendengar perkataan Umar, Rasulullah s.a.w. bersabda, ‘Maafkanlah dia, jangan sampai ada orang yang mengatakan bahwa Muhammad s.a.w. membunuh sahabat-sahabatnya.”[5]
Meskipun ia (Abdullah bin Ubay bin Salul) melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu, Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa ia adalah sahabat beliau, karena sejauh itu, secara nampak dari luar, ia menampilkan dirinya sebagai Muslim. Tertera juga dalam riwayat-riwayat Rasulullah s.a.w., memanggil Abdullah bin Ubay dengan teman-temannya dan bertanya [untuk mengkonfirmasi kebenaran perkataan Abdullah bin Ubay], “Hal itu telah menjadi ramai dibicarakan, apakah masalah itu [benar]?” Mereka semua mengingkari hal itu [menolak telah pernah mengatakan hal itu]. Di antara mereka ada beberapa Anshar, mereka juga menyetujui dan berkata, “Mungkin Zaid yang masih kecil, yang melaporkan hal ini ke hadapan beliau bisa saja salah.” Rasulullah s.a.w. tidak bertanya lagi kepada mereka.
Ghairat ‘Abdullah, putra Abdullah bin Ubai
Ketika Allah Ta’ala juga telah memberitahukan kepada beliau s.a.w. melalui wahyu bahwa peristiwa itu benar, maka seluruh dunia dan orang-orang pada saat itu mengetahui bahwa hal itu benar. Mengenai hal itu tertera dalam Quran Karim:
یَقُوۡلُوۡنَ لَئِنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَی الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ لٰکِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا یَعۡلَمُوۡنَ
“Mereka berkata, ‘Jika kita kembali ke Medinah, tentulah orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina darinya.’ Padahal kemuliaan hakiki itu kepunyaan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin; akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9)
Sekarang, setelah turunnya wahyu ini siapa yang dapat lebih mengetahui dari pada beliau s.a.w. bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul adalah pendusta dan munafik. Bahkan firasat beliau sebelumnyapun sudah mengetahui bahwa Abdullah bin Ubay adalah orang munafik, tetapi beliau mengabaikannya.
Bahkan sebelum masuk ke Madinah, ketika putra Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan pemuda Muslim yang mukhlis mengatakan di hadapan beliau s.a.w.,
“Saya mendengar hal ini. Jika Anda menghendaki untuk membunuhnya, maka perintahkanlah saya. Saya akan memutuskan leher bapak saya, karena jika orang lain yang membunuh atau menghukumnya maka jangan-jangan darah zaman jahiliyah saya tersulut dan saya membunuh orang yang telah membunuh bapak saya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak apa-apa, saya tidak berniat untuk memberikan penghukuman jenis apapun. Saya akan memperlakukan bapak engkau dengan lembut dan baik. Tidak hanya itu, saya tidak akan menghukum, bahkan saya akan memperlakukannya dengan lembut dan baik.”[6]
Fitnah Terhadap ‘Aisyah r.a. dan Rasulullah S.a.w. Menyalati Jenazah Abdullah bin Ubay
Kemudian, dalam perjalanan saat Aisyah r.a. tertinggal di belakang dengan tidak sengaja. Ketika kafilah telah berangkat dari tempatnya, salah seorang sahabat yang setelah keberangkatan kafilah memeriksa tempat itu kalau-kalau ada yang tertinggal, melihat Hadhrat Aisyah r.a.. Saat itu Hadhrat Aisyah r.a. sedang tertidur. Sahabat itu mengucapkan Innaa lillaahi, yang karenanya Aisyah r.a. membuka mata. Segera beliau mengenakan cadarnya. Sahabat tersebut membawa untanya dan mendudukkan unta itu, kemudian Aisyah r.a. duduk di atas unta itu. Ketika orang ini berjumpa dengan kafilah, maka orang-orang munafik mulai menyebarkan berbagai macam desas-desus [terkait sahabat yang menuntun unta dan Aisyah menaiki unta itu].
Menuduh bahwa (na’uudzubillaah) Aisyah r.a. bersumpah palsu. Beliau s.a.w. menjadi sangat gusar mendengar hal ini. Tuduhan terhadap Hadhrat Aisyah r.a. ini sebenarnya merupakan usaha untuk memberikan kerugian terhadap Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Ketika hal ini mengemuka dan sampai ke Madinah, maka suatu hari beliau s.a.w., datang ke mesjid dan berpidato, yang kalimat pertamanya adalah, “Saya begitu tersakiti dengan [tuduhan] mengenai keluarga saya.” Tetapi beliau s.a.w. bertahan dari tuduhan-tuduhan orang kafir tersebut.[7]
Orang-orang yang menghembuskan tuduhan ini tidak dihukum secepatnya. Ketika turun wahyu Allah Ta’ala mengenai ketidakbersalahan Aisyah r.a. pun, tetap saja orang-orang itu tidak dihukum. Dari hal itu dapatlah diketahui bahwa tuduhan-tuduhan dilancarkan tetapi kemudian dimaafkan.
Bahkan tertera dalam riwayat ketika Abdullah bin Ubay meninggal, putranya — yang adalah seorang Muslim yang mukhlis — datang ke hadapan Hadhrat Rasulullah s.a.w. dan memohon agar Rasulullah s.a.w. memberikan kurtah (jubah) beliau agar dengan kurtah itu ia dapat menguburkan dan mengkafani bapaknya. Rasulullah s.a.w. memberikannya. Bahkan karena kasih sayang dan sifat pemaaf Rasulullah, beliau juga datang dan menshalatkan jenazahnya. Memimpin doa di pemakamannya. Umar r.a bertanya, “Ya Rasulullah, Anda mengetahui semuanya, bahwa dia adalah orang munafik, dan berkenaan dengan orang munafik Allah Ta’ala berfirman bahwa jika engkau beristighfar 70 kali untuk mereka dan memohon ampunan, maka mereka tidak akan terampuni.’[8]
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah Ta’ala juga memberikan izin dalam hal itu. Saya akan berusaha untuk beristighfar (memohonkan ampunan) lebih dari 70 kali”, yakni akan beristighfar banyak sekali. “Kalaupun saya harus memohon ampunan lebih banyak dari itu untuknya, maka saya akan melakukannya.”
Inilah uswah (contoh) beliau yang beliau tegakkan terhadap orang-orang munafik itu. Peristiwa yang saya sampaikan ini adalah mengenai sifat afw (pemaaf) dan pemberian ampunan kepada pemimpin orang munafik.
Memaafkan Tindakan Kasar Orang Arab Gurun
Sekarang saya akan mengemukakan beberapa contoh lain dari sifat pemaaf Rasulullah saw. Seperti perilaku yang tidak bertatakrama sebagian orang badwi (Arab gurun) yang tidak mendapatkan tarbiyat dan biasa melakukan perbuatan-perbuatan yang jauh dari adab sopan santun. Mereka tidak mengetahui kedudukan Hadhrat Rasulullah s.a.w. sedemikian rupa beliau memaafkan mereka.
Berkenaan dengan itu ada sebuah riwayat:
Hadhrat Anas r.a. meriwayatkan, “Pada suatu ketika saya sedang bersama Hadhrat Rasulullah saw dan beliau saw berselendangkan sehelai syal tebal pada leher beliau saw. Tiba-tiba seorang Badui dengan kuat sekali menarik syal itu sehingga membekaskan [goresan] pada leher beliau saw. Lalu Badui itu berkata kepada beliau saw, ‘Hai Muhammad saw! Dari antara harta yang telah Allah berikan kepada engkau, sekarang muatkanlah diatas onta saya ini, sebab engkau tidak akan memberi harta engkau sendiri kepada saya dan tidak pula dari harta yang telah bapak engkau wariskan kepada engkau.’ Mula-mula Hadrat Rasulullah saw terdiam. Kemudian bersabda, المال مالُ الله وأنا عبده ‘Al-maalu, maalullahi wa ana ‘abduhu!’ – “Harta itu semua milik Allah dan aku ini adalah hamba-Nya!” Kemudian beliau saw bersabda, ‘Engkau telah menyakiti aku, sekarang engkau akan dibalas.’ Badui itu berkata, ‘Tidak!’ Beliau saw bersabda, ‘Mengapa engkau tidak akan dibalas?’ Badui itu berkata, ‘Sebab engkau tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan lagi.’ Mendengar jawabannya itu Rasulullah saw pun tertawa, kemudian beliau memerintahkan agar setumpuk barley (semacam jawawut, biji-bijian yang bisa untuk dibuat sereal, minuman, tepung dsb) dimuatkan diatas seekor untanya dan setumpuk buah kurma dimuatkan diatas seekor unta yang lain milik orang Badui itu.”
(Asy-Syifaa karya Qadhi ‘Iyaadh juz awwal hlm. 74 bab 2 tentang takmilullah Ta’ala bagian wa ammal hilm, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2001, Al-Baihaqi Syi’bil Iman) عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَبَذَ بِرِدَائِهِ جَبْذةً شَدِيدَةً قَالَ أَنَسٌ: فَنَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ وَقَدْ أَثَّرَتْ بِهَا حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَبْذَتِهِ ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ. (متفق عليه))
Sifat Pemaaf Rasulullah kepada Para Penyerang dan Celaan Orang Yahudi
Kemudian sedemikian rupa beliau telah memaafkan para penentang Islam, bagaimana sikap beliau? Beberapa contohnya saya kemukakan. Hadhrat Anas r.a. meriwayatkan:
80 orang Quraisy Mekkah tiba-tiba menyerang Rasulullah s.a.w. dan para sahabat beliau dari arah Jabal Tan’im ketika sedang shalat shubuh. Mereka bermaksud ingin membunuh Rasulullah s.a.w., tetapi mereka tertangkap. Kemudian Rasulullah s.a.w. memaafkan dan melepaskan mereka. (Sunan at-Turmudzi, kitabu tafsiir al-Quran, Bab min Suurotil Fath, hadis no. 3264)
Adakah yang bisa memperlihatkan contoh sifat pemaaf seperti demikian? yakni ketika ada orang-orang bersalah yang menyukai permusuhan, beliau kemudian memberikan maaf dan mengatakan, “Pergilah tidak ada celaan atas kalian, tidak ada hukuman untuk kalian.”
Kemudian satu riwayat lagi:
Hisyam bin Zaid bin Anas meriwayatkan: “Saya mendengar Anas bin Malik berkata, ‘Suatu kali seorang Yahudi lewat di dekat Rasulullah s.a.w. dan bukannya mengucapkan assalaamu ‘alaika malah mengucapkan assaamu ‘alaika, yakni ‘kebinasaan atas engkau’. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabat, ‘Kalian tahu apa yang ia ucapkan?’ Rasulullah s.a.w. menerangkan bahwa orang itu mengucapkan assaamu ‘alaika (kehinaan atas engkau) Melihat perbuatan orang Yahudi itu, para sahabat ridhwanallaahi ‘alaihim ajma’in bertanya kepada Rasulullah s.a.w., ‘Haruskah kami membunuhnya?’ Beliau bersabda, “Tidak, jangan membunuhnya.”[9]
Riwayat ini juga memberikan sebuah pelajaran untuk kita, “Kasih-sayang saya hendaknya tidak hanya untuk orang-orang di pihak saya semata, melainkan untuk orang lain juga. Untuk orang-orang yang melakukan kezaliman kepada saya juga.“ Hukuman perlu diberikan hanya kepada orang-orang berdosa/bersalah seperti demikian, yang atas mereka timbul hukum hudud. Yang mengenai mereka Allah Ta’ala telah menetapkan hukuman, yang dengan jelas Dia perintahkan di dalam Quran Karim, atau yang mengenainya Allah Ta’ala memerintahkanya kepada beliau s.a.w..
Memaafkan Perempuan Pemberi Makanan Beracun dan Memaafkan Pembunuh Hamzah r.a.
Kemudian, seorang Yahudi berusaha untuk memberikan makan kepada beliau dan para sahabat beliau setelah mencampurkannya dengan racun. Meskipun telah melakukan kesalahan, beliau memaafkannya. Para sahabat marah, mereka bertanya untuk membunuhnya, beliau bersabda, “Jangan, sama sekali jangan.”[10]
Sebuah riwayat panjang:
Wahsyi menceritakan, “Setelah mensyahidkan (membunuh) Hadhrat Hamzah r.a. pada perang Uhud, saya pulang ke Mekkah…” — Ia telah mensyahidkan Hamzah, dan ia tetap hidup sampai saat Islam telah tersebar di seluruh Mekkah — “Kemudian saya pergi ke Thaif. Orang-orang Thaif mengirimkan perwakilannya/delegasinya kepada Rasulullah s.a.w. dan mengatakan kepada saya bahwa Rasulullah s.a.w. tidak membalas dendam kepada para delegasi. Oleh karena itu saya juga ikut bersama para delegasi orang-orang Thaif, sehingga saya hadir di hadapan Rasulullah s.a.w.. Ketika Rasulullah s.a.w. melihat saya, beliau bertanya, ‘Apakah engkau Wahsyi?’ Saya menjawab, ‘Ya, saya Wahsyi.’ Rasulullah s.a.w. bersabda, ‘Engkaulah yang telah membunuh Hamzah r.a.?’ Wahsyi mengatakan, saya mengatakan sebagaimana yang beliau s.a.w. telah dengar, seperti itulah yang terjadi.” Ia mengatakan, “Rasulullah s.a.w. memaafkan kesalahan-kesalahan saya dan bersabda kepada saya, ‘Apakah mungkin agar engkau tidak muncul lagi di hadapan saya?’ Wahsyi menjawab, “Setelah sabda Hudhur s.a.w. tersebut, saya pergi dari Madinah.”[11]
Tingkat sifat pemaaf Rasulullah s.a.w. lebih lanjut dapat diketahui dari hal ini, yakni ketika beliau s.a.w. bertanya lebih jauh terhadap Wahsyi mengenai pensyahidan Hamzah r.a., yakni bagaimana cara syahidnya, dan apa saja yang telah dilakukannya. Para sahabat mengatakan bahwa saat itu air mata menetes dari mata beliau s.a.w. mungkin air mata ini menetes karena teringat pada paman beliau. Paman yang menemani beliau menghadapi Abu Jahal dan berdiri membela beliau. Tetapi, meskipun beliau memiliki kuasa atas pembunuh Hadhrat Hamzah, beliau bersikap dengan kasih sayang dan memaafkan, dan beliau memaafkan Wahsyi.[12]
Memaafkan Ikrimah bin Abu Jahal
Setelah Fatah Mekkah, Rasulullah s.a.w. memberikan perintah untuk membunuh Ikrima (r.a.) bin Abu Jahal, sebab ia adalah orang berdosa yang suka permusuhan, karena itulah memerintahkah untuk membunuh. Sebabnya adalah karena ia dan bapaknya merupakan orang yang paling berusaha keras untuk menyakiti Nabi s.a.w. dan kaum Muslimin.
Ketika Ikrima mendapatkan kabar bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan untuk membunuhnya, maka ia melarikan diri ke Yaman. Istrinya, yang merupakan anak pamannya, yakni putri Harits bin Hisyam, setelah masuk Islam, ia pergi menyusulnya. Ia mendapati [suaminya] sedang menunggu kapal di pinggir laut. Ia menunggu dan berdiri, lalu datanglah kapal, ia akan naik dari sana. Dalam riwayat lain diceritakan pula bahwa istrinya mendapati Ikrimah di dalam kapal, dan setelah berbicara denganya, membawanya pulang.
Istrinya berkata, ‘Wahai putra pamanku! Aku telah datang kepada orang yang paling banyak melakukan silaturahmi, orang yang paling baik sikapnya dan orang yang terbaik di antara manusia (yakni Rasulullah s.a.w.). jangan engkau menghancurkan diri sendiri. Saya telah memohonkan keamanan untuk engkau. Pulanglah, Rasulullah s.a.w. akan memaafkan engkau.”
Ikrimah pulang bersama dengan istrinya. Ia berkata, ‘Wahai Muhammad, istriku mengatakan kepadaku bahwa Anda telah memberikan keamanan kepadaku? Rasulullah s.a.w. bersabda, “Ia berkata benar. Engkau diberi keamanan” Setelah mendengar itu, Ikrimah berkata, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu annaka ‘abduhu wa rasuuluhu – Saya bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa engkau (wahai Muhammad) adalah hamba-Nya dan rasul-Nya.”
Kemudian Ikrimah menundukkan kepalanya karena malu. Atas hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Wahai Ikrimah, jika engkau meminta apapun dari apa yang ada dalam kuasa saya, maka saya akan memberikannya.’” Ikrimah mengatakan, “Maafkanlah segala tindakan keterlaluan yang terus-menerus saya lakukan kepada Anda.” Atas hal itu, Nabi s.a.w. berdoa, ‘Allaahummaghfir li Ikrimata kullu ‘adaawatin ‘aadaaniihaa aw manthaqin takallama bihi.’ – “Ya Allah ampunilah Ikrimah atas segala permusuhan yang pernah dilakukannya untuk memusuhiku atau semua kata-kata yang diucapkan untuk menentangku.”[13]
Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘ala aali Muhammadin wa baarik wa sallim innaka hamiidum majiid.
Memaafkan Orang yang Berupaya Membunuhnya
Ketika beliau s.a.w. sedang bertawaf pada saat Fatah Mekah, seseorang bernama Fadhalah bin ‘Umair menghampiri beliau dengan niat ingin membunuh. Allah Ta’ala memberitahukan kepada beliau s.a.w. mengenai rencananya. Beliau melihatnya, kemudian memanggilnya, maka ia menjadi ketakutan. Kemudian beliau bertanya kepadanya, dengan niat apa dia datang. Nampak ketika ia tertangkap maka ia berkata dusta dan membuat-buat helah (alasan).
Beliau tersenyum dan dengan penuh cinta memanggilnya ke dekat beliau dan belpiau meletakkan tangan beliau di atas dadanya, tanpa merasa takut kalau-kalau dia membawa senjata, sesuai dengan niatnya. Fadhalah mengatakan bahwa ketika beliau meletakkan tangan di atas dadanya, maka segala kebenciannya menjadi hilang. [14]
Ia berkata, “Tangan orang yang saya keluar dengan niat untuk membunuhnya, dengan penuh cinta telah mengalirkan samudra kecintaan kedalam hati saya. Jadi, inilah perlakuan junjungan saya terhadap orang yang memusuhinya. Orang yang bersalah tertangkap, tetapi bukannya menghukum, bahkan beliau begitu berkasih sayang dengan panah kecintaan”, sehingga orang itu bahkan menjadi siap mengorbankan dirinya demi beliau. Apakah ada bandingan kasih sayang dan pemaaf) seperti demikian? Tetapi kita harus senantiasa mengingat firman Allah, “Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah uswah hasanah (teladan terbaik) bagi kalian.” Jadi, berjalan di atas teladan-teladan itu dan menaruh perhatian ke arah itu juga merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin. Andai mereka memahami.
Tidak Mendoakan Seperti Doa Nabi Nuh a.s.
Ummul Mu’minin, Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa jika ada dua hal yang Rasulullah s.a.w. diizinkan untuk melakukannya, beliau s.a.w. mengerjakan yang paling mudah, terkecuali jika melakukan hal itu menjadi dosa, dan jika melakukan hal itu dapat menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling dahulu menghindarinya dari pada orang-orang. Rasulullah s.a.w. tidak pernah menghukum demi untuk diri beliau, terkecuali jika [kesalahannya] termasuk ke dalam cara yang tidak jaiz dalam hudud (hukuman) yang ditetapkan Allah, maka Hudhur s.a.w. menghukumnya demi Allah Ta’ala. [15]
Riwayat mengenai Umar r.a.:
“Suatu kali di tengah perbincangan, beliau mengemukakan kepada Rasulullah s.a.w., ‘Wahai Rasulullah! Saya rela mengorbankan kedua orang tua saya demi engkau. Hadhrat Nuh as telah memanjatkan doa yang buruk untuk menghadapi kaumnya, رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَی الۡاَرۡضِ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ دَیَّارًا ‘Rabbi laa tadzar ‘alal ardhi minal kaafiriin dayyaara.’ (Surah Nuh, 71 : 27), “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan di atas bumi penghuni dari orang-orang kafir.” Ya Rasulullah! Jika engkau berdoa untuk kami seperti doa Nabi Nuh, maka kami semua akan hancur.”
Punggung beliau s.a.w. pernah ditimpakan beban, darah dialirkan dari wajah beliau, gigi depan beliau dipatahkan, tetapi yang beliau lakukah hanyalah kebaikan, dan beliau berdoa, ‘Allahumaghfir liqaumii fa innahum laa ya’lamuun.’ – “Ya Allah! Ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan.” [16]
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda,
“Hadhrat Khaatamul Anbiya s.a.w. mendapatkan kemenangan mutlak atas orang-orang Mekkah dan orang-orang selainnya, dan melihat mereka ada di bawah pedang beliau, tetapi kemudian memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan beliau hanya menghukum beberapa orang dari antara mereka yang untuk menghukum mereka telah ada perintah qath’i (jelas, pasti) dari Ahadiyat (Tuhan Yang Esa). Beliau juga memaafkan kejahatan setiap musuh, kecuali mereka sejak awal telah menjadi para mal’uun [terlaknat karena penentangan keras dan kejahatannya yang tidak jua melunak atau bertaubat. Red.]. Setelah memperoleh kemenangan, beliau mengatakan, لَا تَثۡرِیۡبَ عَلَیۡکُمُ الۡیَوۡمَ ‘Laa tatsriba ‘alaikumul yaum’ – “Pada hari ini tidak ada tuntutan atas kalian.” (QS. Yusuf [12]: 93). Karena pemberian maaf yang dalam pandangan para penentang merupakan suatu hal yang mustahil itu, dan ketika melihat kejahatan-kejahatan mereka, mereka berpikir bahwa diri mereka akan dihukum bunuh, maka dalam sesaat ribuan orang menerima Islam.” [17]
Jadi, inilah sifat pemaaf Rasulullah saw yang dalam pandangan para penentang nampak seperti sesuatu hal yang sangat sulit. Pernahkah bisa diperlihatkan sifat pemaaf yang seperti demikian? Tetapi ketika mereka melihat perlakuan yang baik dari beliau s.a.w., maka hasilnya mereka menerima Islam.
Andai orang-orang Muslim sekarang juga memahami poin bahasan ini, maka mereka dapat memberikan beberapa kali lipat kemajuan bagi Islam. Andai orang-orang ini keluar dari cengkeraman kelompok-kelompok yang menyukai kekerasan, lalu memperhatikan dengan seksama uswah (contoh) yang telah diletakkan di hadapan kita oleh Junjungan yang kita taati, Hadhrat Muhammad Mushtafa s.a.w. Semoga Allah Ta’ala membukakan akal mereka. Aamiin.
Sumber: https://www.alislam.org/friday-sermon/2011-01-14.html
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Report (Laporan) Jalsah salanah 1897, halaman 99
[3] Abdullah ibn Ubay ibn Salul menyatakan masuk Islam setelah kemenangan umat Islam dalam perang Badr, dua tahun setelah Nabi saw dan para Muhajir (pendatang) Muslim dari Makkah tinggal di Madinah. Jadi, kejadian diatas ialah sebelum perang Badr. Sebelum para Muhajir dari Makkah datang dan tinggal di Madinah, dua suku utama di Madinah, Aus dan Khazraj telah mencalonkannya menjadi pemimpin Madinah. Kedatangan Nabi saw. dan para sahabatnya dari Makkah membuyarkan impian dan ambisinya. Selain membawa pesan kenabian, karisma kewibawaan sebagai pemimpin juga melingkupi pribadi Nabi saw. Hal ini diakui berbagai suku di Madinah. Bahkan,
orang-orang Yahudi pun mengakui beliau sebagai pemimpin Madinah.
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Mardha, Bab ‘iyadatul Maridh (menjenguk orang sakit berjalan kaki dan berkendaraan)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari’Uqail dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bahwa Usamah bin Zaid mengabarkan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengendarai keledai milik beliau, di atasnya ada pelana bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah sebelum peristiwa Badar, lalu beliau berjalan dan sempat melintasi suatu majlis yang di majlis tersebut terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul, kejadian itu sebelum Abdullah masuk Islam, dan dalam majlis tersebut terdapat pula beberapa orang kaum Muslimin yang bercampur baur dengan orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi, terdapat pula Abdullah bin Rawahah, saat majlis itu dipenuhi kepulan debu keledai, ‘Abdullah bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata: “Jangan mengepuli kami dengan debu,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka menuju Allah lalu beliau membacakan Al-Quran kepada mereka.
‘Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau: “Wahai saudara! Sesungguhnya apa yang kamu katakan tidak ada kebaikannya sedikit pun, bila apa yang kau katakan itu benar, maka janganlah kamu mengganggu kami di majlis ini, silahkan kembali ke kendaraan anda, lalu siapa saja dari kami mendatangi anda, silahkan anda bercerita padanya.” ‘Abdullah bin Rawahah berkata; “Wahai Rasulullah, bergabunglah dengan kami di majlis ini karena kami menyukai hal itu.” Kaum muslimin, orang-orang musyrik dan orangorang Yahudi pun saling mencaci hingga mereka hendak saling menyerang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus menenangkan mereka hingga mereka semuanya diam, kemudian beliau naik kendaraan hingga masuk ke kediaman Sa’d bin ‘Ubadah lalu beliau bersabda: “Hai Sa’d! Apa kau tidak mendengar ucapan Abu Hubab?” maksud beliau tentang ucapan ‘Abdullah bin Ubay. Sa’ad berkata; “Maafkan dia wahai Rasulullah dan berlapang dadalah kepadanya, demi Allah, Allah telah memberi anda apa yang telah diberikan pada anda. Penduduk telaga ini (penduduk Madinah -red) bersepakat untuk memilihnya dan mengangkatnya, namun karena kebenaran yang diberikan kepada anda itu muncul, sehingga menghalangi ia menjabat sebagai pemimpin, maka seperti itulah perbuatannya sebagaimana yang anda lihat.”
[5] 5 Shahih al-Bukhari, Kitabut tafsir surah al-Munafiquun, Bab Qouluhu Sawaaun ‘alaihim istaghfirtu lahum am lam tastaghfirlahum, Hadis no. 4905
[6] Sirah Nabawiyah li ibni Hisyam gazwah bani al-mustaliq, talab Ibn Abdullah bin Salul an yatawalla qotlu abiihi…Halaman 672, Darul kutub al-‘alamiyyah, Beirut Edisi 2001
[7] Shahih al-Bukhari kitaabul maghazi, bab hadiitsu ifkun, hadis no. 4141
[8] Shahih al-Bukhari, kitabul janaiz, bab al kafnu fil qomiishi lladzi yakfu aula yakfu…hadits no. 1269
[9] Shahih al-Bukhari, Kitabu istitaabatul murtadin, Bab idza ‘arradha adz-dzimmi aw ghaira bisababin nabiyyi, hadis no. 6926
[10] Shahih al-Bukhari, Kitabul Hibati, Bab qubuulul Qadiyati minal Musyrikiin, hadis no. 2617
[11] Shahih al-Bukhari, Kitabul Maghozi, Bab Qotlu Hamzah bin Abdul Muthalib ra, hadis no. 4072
[12] al-Kaamil fii at-Taarikh li Ibni Atsiir, sanatun tsamaanun dzikru Fatha Makkah, sofhah 257-258, mathbu’ah Baitul Afkaar ad-dauliyah, Sa’udi Arab
[13] as-Sirah al-Halabiyyah karya al-‘Alamah Abul Farji Nuruddin, dzikru fatha makkati syarofahallohu Ta’ala, jilid 3, hal. 132, mathbu’ah Beirut 2002 Riwayat lain yang sama menyebutkan: Setelah bertemu dengan Ikrimah, Rasulullah saw. duduk. Ketika itu Ikrimah ditemani isterinya. Ikrimah berikrar, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Mendengar ikrar Ikrimah itu, Rasulullah saw. sangat gembira. “Wahai Rasulullah, ajarkanlah sesuatu yang baik yang harus aku ucapkan,” kata Ikrimah lagi. Rasulullah saw. menjawab, “Ucapkanlah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Ikrimah kembali bertanya, “Selepas itu apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Ucapkanlah sekali lagi, aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Ikrimah pun mengucapkan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika sekiranya pada hari ini kamu meminta kepadaku sesuatu sebagaimana yang telah aku berikan kepada orang lain, niscaya aku akan mengabulkannya.”
Ikrimah berkata, “Aku memohon kepadamu, ya Rasulullah, supaya engkau berkenan memohonkan ampunan untukku kepada Allah atas setiap permusuhan yang pernah aku lakukan terhadap dirimu, setiap perjalanan yang aku lalui untuk menyerangmu, setiap yang aku gunakan untuk melawanmu, dan setiap perkataan kotor yang aku katakan di hadapan atau di belakangmu.”
Maka Rasulullah saw. pun berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya atas setiap permusuhan yang pernah dilakukannya untuk bermusuh denganku, setiap langkah perjalanan yang dilaluinya untuk menyerangku yang tujuannya untuk memadamkan cahaya-Mu, dan ampunilah dosanya atas segala sesuatu yang pernah dilakukannya baik secara langsung berhadapan denganku maupun tidak.”
[14] as-Siirah an-Nabawwiyah karya Ibni Hisyaam, tahthimul ashnaam, hal. 747, Daarul Kutub al-’alamiyyah Beirut, Edisi 2001
[15] Shahih al-Bukhari, Kitabul Manaqib, Bab Sifatun Nabi saw, hadis no. 3560
[16] Asy-Syifa karya Qadhi Iyadh, al-baabu ats-tsani fii takmiilillahi Ta’ala…..al-fashlu wa amal hilmi, halaman 73, juz awal, Daarul Kutub al-‘alamiyah, Beirut 2002
[17] 7 Barahin Ahmadiyah, har shar hishas, Ruhani Khazain Jilid 1, halaman 286-287, sisa catatan kaki nomor 11