Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad,
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
14 April 2017 di Masjid Baitul Afiyat, Jerman
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Sebelum membahas hal lain, saya ingin mengatakan sesuatu berkaitan dengan tempat ini yang mana telah Jemaat dapatkan untuk melaksanakan Shalat Jumat dan mereka mengatakan Shalat Jumat juga akan dilaksanakan minggu depan di sini. Karena letak tempat ini yang berdekatan dengan Bandar Udara, dengan datang dan perginya pesawat-pesawat, mungkin akan banyak kebisingan dan terkadang suaranya bisa sangat bising dan keras sekali.
Meskipun dengan kebisingan tersebut, saya akan terus berusaha untuk berbicara cukup keras sehingga setiap yang hadir dapat memahami kata-kata saya. Jika suara dari pesawat yang lewat tetap seperti dalam kadar suara saat ini yang dapat kita dengarkan sekarang, maka tidak apa-apa dan dapat ditoleransi. Masalahnya ialah arah angin, jika itu mengarah ke sini maka suara bisang bertambah, jika ke arah lain maka lemah.
Bagaimanapun juga, Shalat Jumat tidak dapat dilakukan di Baitus Sabuh (بيت السبوح) karena tempatnya yang terlalu sempit. Lebih lanjut para pengurus berkata bahwa mereka tidak bisa mendapatkan tempat lain untuk disewa dengan harga sesuai. Namun, saya meyakini sebuah aula sebenarnya dapat dicari dan ditemukan jika pengaturannya dilakukan tepat waktu. Tapi, para pengurus di kalangan kita memiliki kebiasaan untuk memulai pekerjaan di waktu-waktu terakhir dan berharap agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan pada akhir hari.
Dengan karunia Allah Ta’ala, banyak pekerjaan diselesaikan dalam Jemaat seringkali dalam situasi gawat darurat dan cara kita menyelesaikan tugas-tugas yang demikian ialah kurang lebih tidak tertandingi oleh yang lainnya. Namun ini tidak berarti kita harus meninggalkan perencanaan sama sekali. Karena angan-angan, kelalaian dan kegagalan untuk memprioritaskan yang penting, kita masih belum mendapatkan izin [dari pemerintah setempat] untuk melaksanakan Shalat Jumat atau program-program lain di Baitul Afiyah (بيت العافية), sebuah gedung yang baru dibeli di seberang Baitus Sabuh.
Pada tahun lalu, ketika saya datang untuk Jalsah Salanah, saya mengimami shalat Jumat di Baitus Sabuh dan karena sempitnya ruang, kaum Wanita Ahmadi terpaksa dilarang ikut menghadiri Jumat. Saya telah mengatakan kepada para pengurus untuk segera setelah gedung Baitul Afiyah dibeli, pekerjaan serius seharusnya langsung sudah dimulai untuk mendapatkan izin atau membuat perubahan-perubahan apapun yang diperlukan agar gedung tersebut dapat digunakan. Jika pekerjaan ini telah dilakukan dengan segera, kita tidak akan menghadapi rintangan yang demikian besar ini saat ini. Dalam pandangan saya atau sedikitnya sebagaimana tampak dari laporan mereka, mereka akan berusaha bersungguh-sungguh dalam waktu itu namun Dewan Kota masih menentang dalam persoalan remeh-temeh.
Hal-hal ini menjadi bahan pemikiran mereka (para pengurus) ke depan. Dewan kota tidaklah bekerja pada mereka dan tidak mengikuti kalian sehingga kalian yang harus datang pada mereka dan meminta persetujuan segera. Mereka seharusnya segera setelah pembelian bangunan mulai serius berupaya kearah penggunaan bangunan dan perubahan terencana harus dibuat nanti, jika mereka mulai maka kita takkan menghadapi masalah ini saat ini. Meskipun mereka telah menyewa tempat besar ini – karena potensi kehadiran sejumlah besar orang saat liburan Paskah, dan mereka menghitung itu akan cukup – tetapi tampaknya sempit karena orang datang dalam melimpah. Kesempitan ini dapat terjadi di Baitul Afiyah juga, tapi salat Jumat umumnya bisa dilakukan di dalamnya.
Tn. Amir dan para pengurus berkata penyebabnya bukanlah ini, melainkan hal ini tidak dapat dihindari. Namun, saya katakan ini adalah kelambanan dari pihak mereka dan karena mereka memiliki kebiasaan menunda suatu perkara hingga nanti, yang mana merupakan sebab mengapa kita menghadapi kesulitan saat ini. Semoga Allah Ta’ala mengaruniai kebijakan dan pengertian serta kesadaran kepada para pengurus, semoga Dia menyelamatkan mereka dari asyik berangan-angan yang bukan pada tempatnya dan semoga Dia memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas mereka secara layak dengan memahami fakta-fakta dan realitanya. Karena kalian telah memilih mereka menjadi pengurus kalian, maka tugas kalian untuk terus mendoakan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan mereka dengan tepat dan berakal.
Bagaimana pun, dalam beberapa menit semua orang dari kita mendengar suara beberapa pesawat. Karena itu, Anda sekalian dapat menoleransinya. Kemungkinan yang bisa dilakukan ialah sejumlah orang dengan jumlah yang dibatasi dipanggil untuk melaksanakan Shalat Jumat dan kaum wanita dilarang untuk datang. Di Pakistan dan di tempat lain yang terdapat penentangan terhadap Jemaat Ahmadiyah dan situasi pun sulit, kaum wanita dilarang untuk datang ke Shalat Jumat di beberapa tempat yang ditentukan tapi bukan di Markas. Di Aljazair sama sekali secara mutlak dilarang melaksanakan shalat Jumat baik di kantor-kantor Jemaat maupun di rumah-rumah. Di sana terjadi demikian dikarenakan kerasnya undang-undang dan khawatir akan adanya permusuhan.
Ada pun di sini (di Jerman), ada kebebasan beragama; sehingga jika pun ada pembatasan dan pelarangan, hal tersebut karena kemalasan, kegagalan dan ketidaktahuan kita tentang berbagai perkara penting. Maka dari itu, berdoalah kepada Allah supaya penggunaan Baitul Afiyah diperbolehkan pada Jumat mendatang – maksud saya ketika saya datang lagi tahun depan insya Allah – atau Allah menyediakan bagi kita tempat lain yang luas untuk berkumpul dengan mudah. Ruangan sempit ini dapat kita perbaiki di Baitul Afiyah untuk sementara saja, maka Jemaat insya Allah akan maju sebagaimana itu keadaan yang terjadi sehingga tiap tempat yang didapat akan menjadi sempit. Adapun jika kita telah membeli sebuah tempat lalu tidak mampu menggunakannya selama beberapa tahun karena kemalasan kita bahwa itu menjadi sempat maka perkataan ini tidak masuk akal sedikit pun.
Sebenarnya, untuk Khotbah Jumat hari ini awalnya saya memilih topik berbeda. Namun, karena saya akan mengimami shalat jenazah untuk beberapa Almarhum (orang yang telah wafat) dan saya mempelajari beberapa sifat dan kualitas para Almarhum ini, saya memutuskan untuk menceritakan beberapa hal tentang mereka. Para almarhum yang wafat ini seorang syahid, seorang mubaligh dan seorang cucu Hadhrat Masih Mau’ud as. Beberapa kualitas karakter yang mereka miliki adalah contoh ketakwaan bagi semua segmen dalam Jemaat. Dalam sifat-sifat itu terkandung suri tauladan bagi banyak dari kita yang pantas untuk diikuti. Jadi, saya menganggap tepat untuk membicarakan secara rinci mengenai para almarhum ini alih alih hanya menyebutkan mereka secara singkat.
Segi-segi kehidupan setiap orang dari mereka yang saya munculkan di sini dan saya sendiri mengenal mereka secara pribadi, menjadikan mereka pembenaran ayat, مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”, (Surah Al-Ahzab, 33:24) Mereka adalah orang-orang yang telah memenuhi janji, niat dan tekad mereka. Mereka memberikan keutamaan pada keimanan daripada dunia dan kembali kepada Tuhan mereka dalam keadaan yang demikian ini.
Almarhum pertama adalah saudara kita yang syahid, Profesor Doktor Tn. Asyfaq Ahmad, yang disyahidkan Jumat lalu. Beliau adalah putra Tn. Sheikh Sultan Ahmad dari Lahore dan berusia 68 tahun. Seminggu lalu ketika beliau dalam perjalanan di mobil beliau menuju Masjid Baitut Tauhid untuk menunaikan shalat Jumat, seorang penentang Ahmadiyah di atas sepeda motor menembak beliau dan kemudian beliau syahid di jalan. إنا لله وإنا إليه راجعون
Beliau pergi untuk shalat Jumat dengan mengendarai mobil bersama cucu beliau tersayang, Syah Zaib yang berumur 12 tahun dan seorang Ahmadi lain yang berasal dari wilayah Sabzah Zar, Tn. Zhahir Ahmad. Almarhum sendiri yang mengemudikan mobil tersebut dan cucu beliau berada di depan di samping beliau. Seorang Ahmadi lainnya berada di belakang beliau. Saat sampai dari Sabzah Zar ke jalan Multan, saat banyak kendaraan macet karena pekerjaan pembangunan jalan. Saat telah menghentikan mobil dan beliau bergegas turun ke sisi mobilnya, seorang penumpang sepeda motor bertopeng, mendekati pengemudi (Almarhum Syahid) dan menempatkan pistolnya ke pelipisnya lalu menembaknya. Kemudian, penembak melarikan diri. Peluru tembakan itu tembus hingga ke sisi lain kepala beliau sehingga beliau syahid dengan segera. Sementara itu, dua penumpang lainnya yang selamat menangis.
Ahmadiyah bermula dalam keluarga beliau lewat kakek dari pihak Ayah beliau yaitu Tn. Sheikh Abdul Qadir, ketika Hadhrat Masih Mau’ud as sedang berada di Ludhiana. Keluarga beliau berasal dari Sangroor, Punjab Timur, yang sekarang termasuk wilayah India. Setelah sesepuh daerah itu, Tn. Pir Meeran Baksh menerima Ahmadiyah, beliau mengundang kakek Almarhum untuk melakukan hal yang sama. Sang kakek sekeluarga kemudian bergabung ke dalam Ahmadiyah. Kakek Almarhum wafat sebelum kemerdekaan Pakistan maka nenek Almarhum, Yth. Aisyah pindah bersama keluarganya ke Pakistan setelah kemerdekaan. Setelah tinggal sementara di Mukhim, mereka tinggal di Sant Naghar, Lahore.
Almarhum lahir di sana pada 1949. Setelah beberapa tahun keluarga ini tinggal di Rabwah. Di sana beliau menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya. Lalu, beliau mendaftar kuliah kedokteran hewan di Lahore. Karena itu, keluarga beliau pindah lagi ke Lahore. Setelah mendapat gelar Magister di bidang kedokteran hewan, beliau bekerja di Universitas sebagai dosen dan terus naik hingga jabatan Profesor. Ayah Syahid, Sheikh Sultan Ahmad ialah Asisten Inspektur di kepolisian Punjab, dan kemudian ketika dibentuk FSF (Federal Security Force), sebuah batalion. Beliau menyajikan layanan sebagai seorang inspektur.
Dengan karunia Allah Ta’ala, Almarhum adalah seorang Musi. Beliau memiliki kecintaan yang sedemikian besar sekali untuk Khilafat. Beliau dengan teratur mengerjakan shalat Tahajud. Beliau sangat ramah dan membantu dalam pelayanan pada kemanusiaan. Beliau selalu taat pada pengurus dan seorang yang sangat takwa dan tulus. Beliau selalu berada di garis depan dalam melayani Jemaat dan memiliki standar akhlak yang tinggi. Beliau antusias dalam menyeru orang lain kepada Tuhan. Karena standar akhlak beliau yang tinggi dan beliau sangat ramah dan bersosialisasi, beliau selalu diterima oleh murid-murid beliau dan sesama profesor.
Beliau sering mengundang rekan profesornya ke rumah untuk makan, dimana beliau akan memperkenalkan Jemaat Ahmadiyah dengan sangat efektif. Untuk hal ini beliau terkadang mendapatkan ancaman; namun beliau tidak peduli terhadap hal-hal semacam itu. Sejak kecil, beliau memiliki semangat yang luar biasa untuk melayani Jemaat. Beliau dapat bekerja pada berbagai departemen badan Jemaat dan juga pada organisai badan. Setelah menetap di Sabsazaar, beliau melayani dengan gemilang sebagai Sadr (ketua) Jemaat lokal dan Naib Zaeem-a-Aala Majlis Ansharullah. Beliau ditunjuk tahun ini sebagai Sekretaris Dawat ilaLlahh di Alama Iqbal Town, Lahore. Dengan cara yang sangat baik, beliau memulai tugas ini dan membentuk program-program.
Istrinya menderita untuk waktu yang lama dari nyeri sendi dan Almarhum merawatnya dengan senang hati. Istrinya meninggal Desember lalu. Beliau tidak memiliki anak dan telah mengadopsi seorang putra, yang melahirkan dua anak laki-laki, Shah Zeb dan Shah Zain dan mereka tinggal bersamanya di Lahore. Salah satu cucu ini yang bersamanya saat kesyahidannya.
Salah satu saudaranya yang terhormat Tn. Ilyas yang berada di Birmingham, ia berkata: “Saudara saya sangat penyayang. Beliau mengurus adik-adiknya bagaikan ayah mereka bukan seperti kakak sulung atas mereka. Beliau berperan penting dalam pendidikan kami. Kami telah belajar dari dia terjemahan arti shalat dan terjemahan Al-Qur’an juga. Beliau sangat perhatian dalam mengurus adik-adiknya. Beliau telah mengarahkan kami dan membantu kami dalam pembelajaran kami juga sampai-sampai beliau mengunjungi guru kami di sekolah dan menunjukkan minat dalam diri kami.
Beliau membawa kami ke acara-acara Jemaat dengan semua perhatian, seperti mempersiapkan kami untuk berpartisipasi dalam kompetisi ilmiah, mendampingi kami ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah, (di sini saya ingin mengatakan: Jika para kakak sulung atau yang lebih berumur mengajak saudara-saudara muda mereka dan anak-anak mereka ke Masjid maka pasti jumlah jamaah meningkat banyak di masjid kita) beliau ini menyertai kami untuk sukarela bekerja di Jemaat lebih awal.”
Almarhum Syahid telah melihat sebuah mimpi di masa Hadhrat Khalifatul Masih IV ra. Saudara Almarhum mengirimkan kabar lewat surat soal ini ketika tiba-tiba ia teringat mimpi tersebut dua hari setelah pensyahidan Almarhum, “Almarhum pernah berkata, ‘Saya melihat sebuah pengumuman telah dibuat di sebuah masjid di daerah Non-Ahmadi, bahwa Hadhrat Khalifatul Masih IV ra telah wafat. Saya melihat sebuah pisau dalam sebuah kotak surat di dalam rumah kami.’
Almarhum sejak awal menginterpretasikan pada saat itu bahwa melihat pisau disimpulkan sebagai pengorbanan yang harus dipersembahkan bagi Jemaat. Pengumuman kewafatan Hadhrat Khalifatul Masih IV ra dalam mimpi beliau dapat berarti Jemaat akan maju pada derajat yang sedemikian rupa selama masa beliau sehingga kewafatan beliau secara khusus dan resmi diumumkan lewat pengeras suara. Dalam pandangan Almarhum ini, mimpi tersebut terpenuhi lewat pengumuman-pengumuman yang dibuat di MTA dan pisau dalam mimpi menandakan kesyahidannya sendiri.” Inilah ta’bir (penjelasan) atas mimpi Almarhum oleh saudara Almarhum. Menurut saya penafsirannya benar dalam hal ini. Itu juga telah sempurna.
Ia berkata, “Saudara kami telah melampaui kami jauh. Keluarga telah disinari oleh namanya dengan kesyahidannya. Sebagai syahid pertama dalam keluarga kami, beliau meninggalkan teladan abadi.” Semoga Allah meninggikan derajat Almarhum. Beliau mempunyai 6 saudara dan 1 saudari yang semuanya tinggal di luar Pakistan.
Almarhum kedua yang akan saya bicarakan adalah yang terhomat Tn. Nashiruddin, Muballigh yang bertugas di Godavari Timur, India, yang wafat pada 7 April 2017 karena tenggelam di Sungai Godavari pada usia 42 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون
Pada hari kejadian, Almarhum menemani Amir Jemaat Sikandarabad bersama para anggota Jemaat di Bangal Puri hingga siang hari setelah shalat Shubuh. Beliau menyukai berenang tapi hilang dari teman-temannya saat berenang dan kemudian mayatnya ditemukan di tepi sungai setelah pemeriksaan dan pencarian selama satu jam dengan bantuan para nelayan.
Ayah Almarhum, yang terhormat A. Syahil Hamid, adalah Ahmadi pertama di daerahnya di Kavashri, Kerala dan Jemaat Ahmadiyah didirikan lewat beliau di daerah ini. Sementara Ibu beliau, yang terhormat Chila Kerobi, juga salah satu perintis Ahmadiyah di daerah tersebut. Almarhum lulus pada tahun 2000 dari Jamiah Ahmadiyah Qadian dan berkhidmat di berbagai daerah di provinsi Telangana dan Andhra Pradhesh sebagai muballigh yang berhasil. Beliau juga berkhidmat dalam salah satu Jemaat yang lebih besar di Shana Konta. Beliau menjaga dan mengurus semua Jemaat yang ditugaskan kepada beliau dengan melatih mereka dengan kebijaksanaan agung. Pada saat kewafatan beliau, beliau sedang melayani sebagai Muballigh di distrik Godavari Timur.
Istri beliau berkata, “Kami harus tinggal di tempat-tempat tertentu dimana hanya ada sebuah pusat Jemaat (rumah misi). Karena itu, beliau bersama saya dan anak-anak beliau saja yang mengerjakan shalat berjamaah di sana dibawah imam beliau lalu membaca Dars Quran. Dan beliau terus melakukan hal ini sampai hari sebelum beliau wafat.
(Di sini terdapat pelajaran yang sangat berharga bagi para Mubaligh – yaitu bahkan meskipun jika para anggota Jemaat berada pada lokasi sangat jauh dan tidak ada yang datang untuk shalat berjamaah, shalat berjamaah harus dilaksanakan dengan mengumpulkan keluarga di rumah mereka.)
Saat tugas di wilayah Kamaridi, terjadi penentangan yang sedemikian parah karena penyebaran selebaran sampai-sampai beliau ditangkap dan dipukuli keras namun Allah menyelamatkan hidupnya. Saya mengatakan setelah kejadian itu, ‘Keadaan di sini begitu membahayakan. Penentangan sampai sangat keras sehingga engkau pun hendaknya menulis surat kepada Pusat untuk memindahtugaskan ke Kerala.’
Beliau berkata, ‘Perkataanmu benar. Jika saya menulis surat ke Pusat dengan corak itu sembari menyebutkan penentangan yang kita hadapi di sini mungkin Pusat akan menerima desakan saya dan akan memindahkan kita ke Kerala. Namun, kemana kita akan pindahkan para Ahmadi lokal yang tinggal di sini? Penentangan dan permusuhan akan tetap terjadi terhadap mereka dalam kondisi ini.’
Lalu beliau berkata, ‘Perpindahan kita dari sini karena takut penentangan bukan hal yang benar. Maka, kita harus tetap di sini. Kita harus menunaikan kewajiban janji menazarkan diri sebab saya seorang Waqif Zindegi. Oleh karena itu, kita harus menghadapi keadaan-keadaan ini meski terdapat kekerasan.’
Itulah pandangannya senantiasa dan beliau juga berkata, ‘Jika telah ditetapkan kesyahidan bagi saya maka itu termasuk karunia agung. Maka dari itu, kita harus tetap di sini.’
Beliau seorang yang sederhana. Sampai-sampai beliau tidak pernah membeli furnitur dan tidak memiliki furnitur pribadi di rumah kami. Beliau selalu berkata, ‘Kita telah mewakafkan hidup kita. Kita akan pergi kemanapun Jemaat menginstruksikan kita. Karena itu, furnitur ataupun barang-barang pribadi kita tidak seharusnya menjadi halangan ketika kita dipindahtugaskan ke tempat lain. Karena itu, kita harus membuat dan mengatur apapun persediaan yang disediakan dan diberikan oleh Jemaat kepada kita.’”
Hal ini juga merupakan contoh bagi para Waqifin Zindagi. Tahun lalu, beliau dipindahkan ke tempat yang bernama Amla Porum dan di sana beliau begitu berkomitmen untuk mengajari anak-anak Al Quran sehingga beliau bepergian sejauh 1 km setiap harinya dengan berjalan kaki atau bersepeda dan mengajari mereka Al Quran dan kemudian kembali ke rumah misi. Ini juga merupakan contoh baik bagi para mubaligh.
Istri beliau berkata, “Keramahan terhadap tamu ialah sifat utama beliau. Jika ada para tamu datang dalam keadaan saya tidak di rumah – saya terkadang pergi ke Kerala saat liburan sekolah anak-anak – beliau tidak pernah menampakkan keresahan bahkan memasak sendiri dan menyajikannya kepada para tamu. Beliau amat mencita-citakan kesyahidan sebagaimana telah saya sebutkan. Beliau banyak melihat Hadhrat Mushlih Mau’ud ra dan ayah beliau Almarhum dalam mimpi. Ayah beliau memberikan tanda pada beliau dan memanggil beliau. Karena itu, beliau meraih kesyahidan dari sudut pandang sedang dalam perjalanan mengkhidmati agama – dan selama berlangsungnya ini beliau wafat sehingga hal ini juga adalah sebuah bentuk Syahid. Beliau teratur melakukan shalat Tahajud, berakhlak sopan dan merupakan seorang Mujahid yang sangat pemberani dalam pertablighan. Lebih dari sekali para penentang menangkap beliau dan secara fisik menganiaya beliau.”
Saya telah menceritakan kejadian Syahid Almarhum yang menanggung pukulan keras dari para Mullah dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa segi ini dalam pidato-pidato saya dalam Jalsah. Ayah Almarhum sudah berusia lanjut.
Almarhum meninggalkan istrinya yang telah menjadi janda, dua putra dan dua saudara yang telah dewasa. Salah satu saudaranya ialah Tn. Sulaiman, Amir Jemaat wilayah Palghat di Negara bagian Kerala. Saudara keduanya adalah Tn. Shams al-Din dan bekerja di lembaga percetakan dan penerbitan di Qadian (Nazharat Thiba’ah wan Nasyr) seksi bahasa Malayalam.
Tn. Nawid al-Fath Syahid, selah seorang Muballigh yang bekerja dengannya berkata, “Tn. Nashiruddin penduduk asal Kerala dan berkhidmat di wilayah Andhra Pradesh dan Telangana selama 18 tahun: berdasarkan pekerjaan kami dalam satu wilayah, kami bertemu pada interval yang sering. Syahid Almarhum biasa duduk dalam pertemuan dengan kerendahan hati sekali dan selalu siap untuk setiap tindakan dalam rangka memberikan kemajuan bagi Jemaat.
Beliau seorang yang penyayang, cendekia dan berdisiplin, komitmen tahajud, pengajaran dan pendidikan setiap hari tanpa putus. Beliau menetapkan waktu tertentu untuk pekerjaan kantor setiap hari. Beliau biasa menghormati orang yang lebih tua dan memperlakukan dengan baik mereka yang lebih muda. Itu merupakan kualitasnya yang luar biasa. Beliau pergi keluar untuk bertabligh setiap hari tanpa takut permusuhan.
Jangkauan wilayah pertemanan beliau amat luas sebab beliau bergaul dengan mereka secara bersahabat dan ramah senantiasa. Beliau seorang yang penyayang kepada semua. Tidak pernah saya lihat beliau bermuka masam atau marah-marah. Beliau biasa memperlakuan rekan sejawat sesama Muballigh dengan baik, menghormati dan perhatian terhadap mereka, menyayangi semua sampai tingkat semua orang akan dipenuhi kecintaan kala berjumpa beliau. Beliau biasa menelaah buku Hadhrat Masih Mau’ud as dengan teratur dan perhatian. Beliau telah menetapkan waktu untuk hal ini. (Ini juga pelajaran sangat penting bagi tiap Dai dan Muballigh). Beliau tidak lalai membaca Al-Qur’an.
Beliau menulis catatan harian (diari) secara teratur dan merupakan kebiasaan tetapnya memperhatikan sabda-sabda Khalifah. Beliau mendengarkan khotbah dengan perenungan khusus dan mengamalkan semua yang dikatakan di dalamnya sesuai kemampuannya tanpa menafsirkannya sedikit pun, melainkan berusaha keras untuk mengamalkannya secara harfiah. (Ini pelajaran bagi mereka yang mewakafkan diri)
Beliau sangat menyintai Khilafat. Kecintaannya kepada Nabi Muhammad saw dan Hadhrat Masih Mau’ud as mencapai puncaknya. Keistimewaan-keistimewaan ini tampak dari kepribadiannya dengan corak cemerlang. Suatu kali terjadi beliau ditangkap penentang di wilayah Kamaridi dan membawa beliau ke Masjid Bilal dan dipukuli keras namun beliau menanggung itu semua dengan sabar dan teguh dan seujung rambut pun tidak berubah pendirian. “
Kawan beliau tersebut mengatakan, “Setelah pemukulan tersebut beliau masuk rumah sakit – setelah diselamatkan dari tangan para penentang oleh polisi – saya pergi mengunjunginya di sana dan menemukannya dengan luka serius dan dibungkus perban, tetapi beliau tersenyum dan tenang di wajahnya, dan mulai menceritakan insiden itu, beliau berkata: ‘Para penentang menanyai saya perihal klaim Mirza Ghulam Ahmad, saya mengatakan beliau mengklaim sebagai nabi zhilli. Para penentang pun mulai memukuli saya. Ketika saya akan ditinggalkan dalam keadaan seperti hampir mati sebagai akibat banyaknya dan kerasnya pemukulan, mereka bertanya lagi: “Apa itu kenabian secara zhilli?” Saya mengatakan: “Kenabian yang diperoleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah hasil dari kecintaan beliau as terhadap Nabi Muhammad saw.” Para penentang mulai memukuli saya lagi.’
Singkatnya, Almarhum Syahid menceritakan semua peristiwa itu dengan penuh gairah syukur kepada Allah yang menciptakan baginya kesempatan untuk menunaikan pengkhidmatan agama, yaitu mendapat pukulan di jalan Allah.”
Perawi melanjutkan, “Saat pergantian tugas di wilayah itu, beliau berkata kepada saya, ‘Saya hendak melakukan perjalanan dari sini dalam waktu dekat namun Anda harus bekerja dengan bijaksana di wilayah yang tengah tersebar penentangan dan akan Anda dapatkan kesempatan banyak untuk berkhidmat.’”
Lalu beliau melanjutkan penjelasan tentang tingkat penentangan dan bagaimana berTabligh di sana. Begitulah, yang beliau lakukan supaya orang yang akan bertugas di sana memiliki kekuatan himmah (tekad kuat) dan tidak merasa takut. Dengan keberanian Syahid Almarhum bertabligh menyampaikan pesan Ahmadiyah di wilayah itu.
Seorang Mualim, yaitu Tn. Wazir berkata, “Beliau melaksanakan shalat Tahajud secara teratur, melakukan shalat beliau dengan kerendahan hati dan semangat yang amat sangat, membaca Quran setiap hari, beliau bersifat amat baik dan suri tauladan. Beliau memiliki kecintaan yang khusus untuk Khilafat dan menjaga pelaksanaan shalat berjamaah. Beliau sangat ramah tamah, menyukai kesederhanaan dan menahan diri dari menghabiskan (uang) secara boros.
Beliau gemar menelaah – telah disebutkan – Tiap kali satu pertanyaan diajukan kepada beliau, beliau menanggapinya dengan cara yang indah. Tiap kali berada di majelis pertemuan dan khususnya selama perjalanan bersama anggota Majlis Khuddamul Ahmadiyah, percakapan beliau selalunya tentang Jemaat dan peristiwa-peristiwa yang menambahkan keimanan. Beliau menemui semua orang dengan akhlak yang baik. Hasilnya, semua orang akan senang dekat dan duduk-duduk beserta beliau.
Suatu kali para penentang merancang rencana menyerang beliau di Kamaridi karena luasnya penyebaran selebaran tabligh beliau. Itu pada 20 Februari, yang merupakan Hari Mushlih Mau’ud. Waktu itu, beliau telah sampai di pusat Jemaat (rumah misi lokal). Sejumlah 100 orang non Ahmadi mencari-cari beliau namun mereka tidak menemukan beliau di jalan karena beliau telah berada di rumah misi. Kemudian, para Mullah menghentikan Muballigh kita, Tn. Muhammad Umar, istri beliau dan kedua putra beliau di perjalanan mereka menuju Markas untuk menghadiri Jalsah. Mereka berkata, ‘Kami takkan menghalangi jalan kalian bila Nashiruddin tidak datang.’ Ketika Syahid Almarhum mengetahui hal ini, bersegeralah beliau ke tempat kejadian itu dan berkata, ‘Saya Nashiruddin.’ Para penentang setelah itu barulah membuka jalan bagi Tn. Muhammad Umar, istrinya dan kedua anaknya.
Mereka menangkap Tn. Nashiruddin, membawanya lalu memukulinya keras-keras sehingga untuk menyelamatkannya dari tangan mereka diperlukan bantuan Polisi. Para penentang menuntutnya agar mengingkari Hadhrat Masih Mau’ud as dan mendustakan beliau as. Kita berdoa semoga Allah Ta’ala meningkatkan derajat beliau dan mengaruniai kesabaran dan keteguhan kepada anak-anak beliau.
Jenazah selanjutnya ialah yang terhormat Sahibzadi Amatul Wahid Begum, yang merupakan istri Tn. Sahibzada Mirza Khurshid Ahmad. Beliau wafat pada 10 April 2017 sekitar pukul 10 malam. Beliau wafat di usia 82 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون
Beliau putri bungsu Hadhrat Mirza Sharif Ahmad ra dan juga bibi saya dari sisi Ayahnya [Hadhrat Mirza Mansur Ahmad, ayah Hudhur V atba ialah kakak Almarhumah]. Beliau adalah cucu Hadhrat Masih Mau’ud as dari sisi Ayah dan juga cucu Hadhrat Nawab Muhammad Ali Khan dari sisi Ibu. Beliau dikuburkan di kompleks pekuburan Bahisthi Maqbrah, Rabwah.
Beliau telah menanggung penyakit berbahaya dua kali namun bertahan dengan sabar dan tabah. Putranya, Dr. Nuri telah menuliskan berkaitan dengan Almarhumah, “Beliau telah sakit selama kurang lebih 20 tahun terakhir dan menderita kanker. Namun beliau menjalani penyakit-penyakit ini dengan kesabaran dan kekuatan yang luar biasa sebagaimana saya saksikan. Beliau menanggung sakit itu dengan kesabaran agung dan keberanian. Beliau menderita kanker hingga hari-hari terakhir beliau yang mencapai tingkat membahayakan tubuh dan otak beliau. Artinya penyakit ini berbahaya bagi tubuh dan otak beliau juga dan pengobatannya menyakitkan.
Namun, beliau meneruskan aktivitas-aktivitas beliau dengan ceria tanpa rasa takut apapun dan ridha dengan berkat Allah Ta’ala. Sampai dengan hari-hari terakhir penyakit beliau, beliau terus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan juga merawat suami beliau.
Hubungan beliau dengan suami adalah hubungan yang patut dijadikan contoh. Meskipun beliau sendiri sedang sakit, namun ketika suami beliau, Tn Sahibzada Mirza Khurshid Ahmad menjalani angioplasty (bedah jantung untuk melebarkan pembuluh darah yang menyempit atau tersumbat), beliau benar benar mengabaikan penyakit beliau dan membantu merawat suami beliau.”
Keramahan terhadap tamu merupakan sifat istimewa beliau sehingga beliau akan membantu tamu-tamu yang datang kapan saja mereka datang. Para tamu dari bukan kerabat datang kepada mereka juga dalam jumlah banyak pada kesempatan Jalsah dan Majelis Syura dan beliau mengkhidmati mereka.
Setelah menderita sakit, Almarhumah datang di London dua kali dan bertemu saya sebagaimana pada 2005 beliau bertemu saya untuk pertama kalinya di Qadian setelah saya mendapat amanah Khilafat. Perhubungannya dengan Khilafat didasari dengan kecintaan dan keikhlasan. Meskipun lebih senior dalam hubungan keluarga dan usia, Almarhumah selalu bertemu saya dengan sangat rendah hati. Ibu saya adalah istri saudara (ipar) beliau, dan dari segi umur, beliau adalah putri bungsu Hadhrat Mirza Sharif Ahmad dan karena itu beliau hampir seusia saudara perempuan saya yang tertua. Dari segi ini, Ibu saya selalu memperlakukan beliau sebagai anaknya sendiri dan Ibu saya juga tidak pernah menganggap beliau sebagai ipar. Malah, saya melihat beliau selalu menunjukkan kepada Ibu saya rasa hormat yang amat tinggi dan sangat menghargai Ibu saya. Ini merupakan hubungan yang patut dijadikan contoh.
Hadhrat Khalifah II ra mengumumkan akad pernikahan beliau pada tanggal 26 Desember 1955 pada kesempatan yang sama dengan akad pernikahan Tn. Mir Mahmud Ahmad dengan Sayyidah Amalut Matin putri Khalifatul Masih II ra dan pernikahan putrinya Sir Caudri Zafrullah Khan dengan Tn. I’jazul Haq. Hadhrat Khalifatul Masih II ra pada 26 Desember itu sebelum pembukaan Jalsah Salanah bersabda, “Sebelum kalimat pembukaan dan doa, saya ingin mengumumkan beberapa Akad pernikahan. Biasanya akad pernikahan diumumkan setelah Jalsah Salanah pada 29 Desember namun akad-akad ini luar biasa. Salah satunya ialah pernikahan putri saya Amatul Matin yang ditetapkan dengan Tn. Mir Mahmud Ahmad putra Tn. Mir Ishaq. Pernikahan kedua ialah putri Tn. Caudri Zhafrullah Khan.
Ketiga, Sayyidah Amatul Wahid Begum putri Sharif Ahmad yang mana ditetapkan menikah dengan Tn. Mirza Khursyid Ahmad, seorang Waqif Zindegi. Dia (Mirza Khurshid) masih belajar dan akan mendedikasikan diri setelah selesai pelajaran.” Hadhrat Mushlih Mau’ud ra berdoa yang diantaranya, “Semoga Allah memberkahi akad-akad pernikahan ini semuanya dari segi agama dan duniawi. Semoga Dia memajukan Jemaat dan meneguhkan hasil akad-akad nikah ini.”[1]
Allah Ta’ala mengaruniai 6 putra dan 4 diantara mereka mewakafkan diri untuk mengkhidmati agama. Dua diantaranya adalah dokter yang sedang berkhidmat di Rumah Sakit Fadhl Umar. Seorang dari mereka memiliki gelar PhD doktorat dan bekerja di kantor Nazharatut Ta’lim Tahir. Seorang mereka ialah pengacara dan bekerja di kantor penasehat hukum di lembaga Sadr Anjuman Ahmadiyah di Rabwah.
Pengkhidmatan beliau di badan Lajnah berlangsung selama lebih dari 29 tahun yang mana beliau melayani sebagai Sekretaris Industri dan Perdagangan (Shana’ah o Dastkari). Beliau juga adalah Naibah Sadr LI. Beliau senantiasa taat pada atasan, tidak perduli itu hubungan keluarga dibawah beliau atau apapun itu. Istri saya menyampaikan sewaktu di Rabwah, bahwa beliau sebagai Naib Sadr Lajnah tapi senantiasa dengan senang hati mengerjakan apa yang saya minta.
Putra beliau menulis bahwa pada masa Jalsah beliau dengan senang hati menghidmati tamu, seratus lebih tamu yang ke rumah beliau. Sewaktu di Rabwah beliau selalu membuatkan saya manisan khas buatan beliau sendiri. Beliau sangat memperhatikan orang miskin dan para karyawan. Beliau senantiasa membantu saya, tapi setelah saya jadi Khalifah beliau tidak pernah menuntut apapun dari saya dan apapun yang saya katakan beliau senantiasa taat.
Karena itu perhatian beliau ke sana maka beliau menjabat di kantor industri dan perdagangan sehingga para perempuan miskin didayagunakan dalam pekerjaan manual seperti bordir, menjahit, sehingga dapat membantu yang miskin. Hal kedua, kantor Lajnah Imaillah juga mendapatkan keuntungan dalam keuangan yang bagus dalam pameran tahunan.
Almarhumah mematuhi para pengurus yang lebih tinggi tanpa memandang itu kerabat atau perbedaan usia. Istri saya (Hudhur atba) mengatakan kepada saya, “Ketika saya adalah Ketua LI Rabwah selama dua tahun, saya bekerja dengan Almarhumah sebagai sekretaris Perindustrian dan Perdagangan dan Wakil Sadr. Beliau selalu berkhidmat dengan sangat rendah hati, ketaatan dan keterbukaan pikiran dan menunaikan tiap perintah yang didelegasikan kepadanya dengan kebahagiaan.”
Suami beliau, Tn. Mirza Khurshid Ahmad menyatakan: “Beliau melaksanakan tanggung jawab beliau dengan baik sebagai seorang istri Waqif-e-Zindagi. Beliau tidak pernah menuntut apapun dari saya. Beliau memastikan bahwa anak-anak dibesarkan dengan baik dalam tarbiyat dan karena pendidikan mengenai akhlak yang baik yang diberikan olehnya dan juga rahmat dari Allah Ta’ala sehingga dari 6 putra yang kami miliki, 4 orang telah mengabdikan hidup mereka menjadi Waqif-e-Zindagi untuk mengkhidmati agama.
Selain dari anak-anaknya sendiri, beliau juga merawat anak-anak para pembantu di rumah dengan perhatian dan kepedulian yang amat besar. Jika ada dari mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar membaca al Quran, beliau akan mengajarkan anak-anak tersebut bersamaan dengan anak-anaknya sendiri. Ada sejumlah anak anak di usia tertentu yang belajar membaca Al-Quran dan juga terjemahan dan maknanya dari beliau sesuai umur mereka.
Saat beliau masih kuliah, beliau bermimpi melihat Tn. Miyan Abdur Rahman dari Malerkotlah mengirimkan seorang perempuan bersama dengan gelang cantik dari emas yang padanya terdapat surat tertulis ’65 dan 82’. Ketika perempuan itu menyerahkan gelang itu, ia berkata, ‘Paman engkau berkata, “65 dan 82”.’ Maka Almarhumah bertanya sekali meminta penegasan tentang angka itu. Almarhumah tidak paham maknanya hingga saat wafatnya Khalifah II ra pada 1965 dan Khalifah III rha pada 1982.”
Putra beliau, Tn. Adil menulis, “Lebih dari 100 orang tamu datang kepada kami saat Jalsah Salanah. Beliau mengkhidmati mereka dengan hati terbuka. Saat Khalifah IV rha hijrah, Almarhumah mendapat kehormatan menghidangkan cae dan hal-hal lain untuk perjalanan beliau, dan setelah itu, beliau mempersiapkan untuk Hudhur IV rha dan dengan penghormatan di bawah pengawasan beliau apa-apa saja makanan dan minuman yang Hudhur IV rha suka untuk dikirim kepada Hudhur IV rha.”
Demikian pula perlakuan beliau dengan saya. Saya biasa dikirimi halwa (manisan, makanan penutup) khusus yang dibuat oleh tangan beliau atau di bawah pengawasannya. Beliau sangat menghormati saya. Beliau sangat berkhidmat kepada ibunya sebagaimana juga kepada bapak mertua dan ibu mertua. Saudari-saudari suami diperlakukan seperti adik-adik perempuannya sendiri. Beliau sangat teratur dalam shalatnya dan secara konsisten membaca Al-Qur’an. Beliau memastikan anak-anaknya mengembangkan kebiasaan shalat dan berdoa serta mengirim mereka ke masjid. Setelah shalat Subuh, beliau akan mendesak anak-anak beliau untuk membaca Al-Qur’an dan memastikan mereka melakukannya.
Beliau juga memperhatikan sangat pada orang-orang miskin dan orang-orang yang bekerja pada beliau. Antara saya dan beliau tidak ada rasa canggung karena kami [dulu] tinggal di rumah yang sama sebagaimana telah saya katakan. Namun, setelah saya menjadi Khalifah, beliau berkata sebagaimana yang ditulis oleh putranya, “Saya dulu biasa meminta kepada beliau beberapa hal namun sekarang bagaimana dapat diselesaikan urusan-urusan itu?”
Dulu saya (Hudhur atba) melakukan beberapa pekerjaan untuk Almarhum sebagaimana saya menaruh perhatian pada soal pertanahan dan pertanian. Saya pun menentramkan beliau. Setelah itu, Almarhumah tidak pernah minta apa-apa dari saya dan beliau melakukan sesuai dengan yang saya arahkan tentang itu dan puas dengan apa yang saya putuskan.
Salah seorang saudari suaminya yang juga istri saudara saya menulis, “Hubungan kami dengan beliau seperti hubungan antara putri-putri dan ibu mereka. Setelah kewafatan ibu kami, beliau sangat perhatian pada kami. Saat pernikahan kami, beliau memberi perbekalan berupa pakaian dan perhiasan serta hal-hal lainnya sebagaimana seorang ibu kepada putrinya. Demikian pula, beliau masih saja mengirimi kami hadiah pada kesempatan Id sebagaimana seorang ibu mengirimkan kepada putri-putrinya.
Di rumah beliau, beliau menanggung banyak anak perempuan yang berlatar belakang kurang beruntung dan menyediakan sarana-sarana untuk pendidikan akademis mereka dan juga memastikan pendidikan akhlak mereka. Beliau juga membesarkan anak perempuan dari pembantu beliau. Pada saat pernikahan anak perempuan ini, beliau (Almarhumah) mengirimkan pesan kepada seluruh ipar perempuan beliau bahwa jika mereka tidak menghadiri pernikahan ini, beliau tidak akan datang ke pernikahan anak-anak mereka. Ini adalah kadar dari kedekatan hubungan beliau yang beliau tunjukkan dengan mereka yang berkekurangan.”
Adik ipar perempuan beliau yang bungsu menulis: “Suatu kali saya bertanya kepada beliau pada usia berapa beliau mulai secara teratur melaksanakan shalat Tahajud. Pada awalnya beliau tidak menjawab dan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Namun setelah saya berkeras menanyakan hal tersebur, beliau berkata telah secara teratur melakukan shalat Tahajud sejak beliau berusia 12 tahun.
Sebagai tambahan hal ini, beliau sendiri membiayai pendidikan bagi banyak anak perempuan miskin dan saat pernikahan mereka, beliau mengambil tanggung jawab untuk membayar jehaz (perlengkapan pernikahan) mereka juga. Beliau juga sering meminta kantor LI bidang Dana Dastktari untuk membantu mereka. Dalam beberapa kesempatan pernikahan, beliau dapati tidak ada yang memberi perhatian maka Almarhum mendatangkan makanan dari rumah untuk Ronaq (pertemuan dan perkumpulan yang diadakan sebelum pernikahan untuk calon mempelai wanita) bagi para gadis dengan latar belakang miskin yang tidak memiliki sarana-sarana untuk mengatur hal ini dan akan menyediakan makanan dari rumah beliau sendiri.”
Putra saudari Tn. Mirza Khursyid Ahmad menulis sebuah peristiwa tentang keikhlasan Almarhumah terhadap Khilafat, “Suatu kali pada beliau ada sebotol madu. Saya pun meminta itu dari beliau. Beliau berkata, ‘Saya tidak dapat memberimu ini karena ini datang dari Khalifah. Namun, saya bisa memberikan sebotol madu lainnya yang dapat kamu ambil.’”
Dengan karunia Allah, beliau memiliki enam menantu perempuan dan berlaku baik terhadap semuanya. Beliau memperlakukan mereka seperti anak sendiri. Menantu perempuan paling bungsu ialah putri Dr. Hamidullah yang tinggal di London dan istinya yang tengah sakit hari-hari ini. Karena hal ini, menantu yang dipanggil Athiyah ini dideask agar datang ke London karena ibunya sakit. Almarhumah berkata kepadanya, ‘Pergilah ke ibumu tanpa kekhawatiran. Biarkan anak-anak saya yang urus. Saya akan merawat mereka sendiri.’ Beliau mengerjakan semua pekerjaan dengan sabar bahkan dalam keadaan sulit.”
Adik perempuan bungsu saya menulis: “Ketika beliau mempekerjakan karyawan wanita, beliau memperlakukan mereka dengan kesantunan. Dalam beberapa kasus, kekurangan terjadi selama pameran tahunan. Almarhumah berlaku tidak keras kepada mereka tetapi memperlakukan kesantunan besar sehingga membuat mereka senang bekerja dengan beliau. Beliau berkomitmen untuk ajaran Islam, dan setiap kali seorang pekerja menemui kesulitan maka beliau berusaha untuk menghapusnya segera.
Adik perempuan bungsu saya, Amatul Quddus menulis: “Tidak ada keraguan bahwa manusia kadang-kadang lalai dalam pekerjaannya, tetapi beliau terkait dengan Al-Quran dan Hadits secara alami, seolah-olah kebaikan dicetak dalam dirinya, dan setiap kali melihat sesuatu terjadi yang bertentangan dengan ajaran dan tradisi Jemaat, maka beliau berbicara menentangnya dengan terus terang.”
Beliau manja sejak masih kecil karena bungsu diantara saudara-saudaranya, namun demikian sangat sederhana dan selalu bertemu orang dengan rendah hati. Kakak perempuan saya, Amatur Ra’uf menulis: “Setelah pembagian India dan Pakistan, sementara kami tinggal dengan Hadhrat Mirza Sharif Ahmad di Model Town, Lahore, beliau pernah mengumpulkan semua orang dan memberi mereka pelajaran Al-Qur’an dan Hadits. Sejak saat itu, Amatul Wahid (Almarhumah) sibuk dalam mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada anak-anaknya dan anak-anak lainnya. Jika seorang anak memiliki aksen atau masalah dalam melafalkan maka beliau akan duduk bersamanya selama berjam-jam dan mengulang-ulang pelajaran hingga mengajarinya aksen huruf Al-Qur’an dan tidak lagi memiliki masalah dalam pengucapan.”
Saudari saya menambahkan bahwa Almarhumah setelah terdaftar sekolah menengah di Rabwah maka beliau mulai belajar setelah Tahajud dan selalu perhatian dengan shalat-shalat senantiasa.
Demikian pula orang-orang lain juga menulis mengenai keistimewaan Almarhumah. Putranya menulis: “Ikatan beliau dengan Anda (Hudhur) berbeda tapi setelah Hudhur menduduki Khilafat, Almarhum mengatakan: ‘Hubungan bibi dan keponakan telah berakhir dan yang tetap hanya hubungan Khilafat.’”
Ketika beliau datang ke sini untuk bertemu dengan saya, beliau berdiri segera ketika saya datang. Saya berkata kepadanya: “Bibi sedang sakit. Tetap duduklah.” Istri saya juga mengatakan hal ini, tapi beliau berdiri segera. Beliau sangat bertawakkal. Suatu kali terjadi kebetulan anak bungsu beliau menikah sebelum anak sulungnya. Mereka telah mengkhususkan di rumah sebuah tempat bagi putra sulung. Suami almarhum mengatakan untuk memberikan tempat ini kepada adiknya yang telah menikah itu karena tidak mampu mendirikan sebuah rumah untuknya. Almarhumah mengatakan, “Tidak, apa yang telah kita khususkan untuk si sulung maka tetaplah untuknya. Allah akan mengaturkan bagi sang adik suatu tempat.”
Allah Ta’ala menakdirkan suatu hari selama pembacaan Al-Qur’an sampai ke suatu ayat dan beliau berkata kepada suaminya, “Saya mengerti dari ayat ini bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan kita.” Beliau telah membeli beberapa Prize Bonds (suatu jenis obligasi) lalu mendapat keuntungan dari itu sebagai hadiah sebesar 100.000 di waktu itu. Kemudian, beliau membangun sebuah rumah untuk anak mereka yang bungsu.
Putra Almarhumah menulis, “Ketika kabar kewafatan Khalifah IV (4) rha sampai kepada kami, kami telah sampai di Masjid untuk shalat. Beliau sangat bersedih maka salah satu keluarga kami, yaitu istri saudara Almarhumah yang sulung menangis keras. Ibu saya berkata: ‘Hendaknya Anda diam. Jemaat sedang dalam musibah maka ini waktunya untuk banyak berdoa. Fokuslah pada doa.’”
Putra Almarhumah menulis, “Ketika Khalfah III rha wafat saat itu saya berumur 9 tahun. Karena masih kecil tidak sengaja saya tertawa karena suatu hal, lalu beliau memarahi saya dengan sangat keras mengatakan, ‘Tidakkah kau tahu apa keadaan Jemaat sekarang?’ Beliau menumbuhkan gejolak emosi akan pentingnya Jemaat sejak saya kecil.”
Almarhumah mendidik anak-anaknya menghapalkan beberapa surah al-Qur’an juga. Seorang gadis yang berasal dari rumah beliau dan suaminya bekerja di kantor Sekretaris Khas di Pakistan berkata, ”Saya tinggal di rumahnya sejak umur 4 atau 5 tahun. Beliau membiayai pendidikan saya, mendidik saya dan mengatur pernikahan saya. Setelah saya menikah, beliau mengundang saya ke rumahnya untuk suatu keperluan. Suatu kali beliau datang ke rumah saya dan melihat sofa lama di sebuah ruangan. Lalu, beliau bertanya dari mana sofa itu. Saya jawab bahwa salah seorang tetangga kami yang menghadiahkan bagi kami. Beliau lalu meminta sofa lama itu untuk dikeluarkan dan menghadiahkan saya sofa yang baru.
Almarhumah bahkan memperhatikan pendidikan kedua anak saya juga dan sampai-sampai saat sakitnya menghadiahkan perhiasan untuk pernikahan anak saya. Beliau sangat perhatian. Beliau sangat memperhatikan kerabat sesusuan termasuk cucu ibunya yang tinggal di Swiss. Beliau perhatian sekali pada ibu saya tiap kesulitan dan kesempitan. Begitu juga salah seorang kerabat saudari Almahumah sesusuan menulis bahwa Almarhumah sangat perhatian padanya pada hari-hari sakitnya.”
Ringkasnya, beliau miliki banyak sifat dan karakter baik. Semoga Allah Ta’ala memungkinkan anak-anak beliau untuk menerapkan sifat-sifat ini dan semoga mereka selalu merawat ikatan kecintaan dan kesetiaan dengan Khilafat. Semoga Allah Ta’ala meningkatkan derajat beliau. Setelah shalat Jumat dan Ashar dijamak, saya akan memimpin shalat-shalat jenazah bagi semua Almarhum dan Almarhumah yang telah saya sebutkan ini.
[1] Khuthbaat-i-Mahmud, jilid 3, h. 672, 675, 676