Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 1 Syahadat 1390 HS/April 2011
Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Beberapa Jumat sebelumnya, dalam khotbah pada Jumat terakhir di bulan Februari, saya telah [menganjurkan] gerakan untuk berdoa bagi dunia Islam dan menarik perhatian para Ahmadi agar memahami tanggung jawabnya. Kita ini tidak mempunyai sarana-sarana, tidak memiliki kekuatan, tidak dapat langsung menyampaikan suara kepada raja-raja (pimpinan-pimpinan) negara Islam agar mereka memahami bahwa sebagai raja atau sebagai pemimpin, hendaknya mereka memenuhi kewajiban mereka dengan benar. Di beberapa tempat, melalui beberapa sarana suara disampaikan, tetapi tidak diketahui apakah pesan yang disampaikan itu jelas atau tidak. Karena itulah saya katakan bahwa para Ahmadi — yang memiliki keyakinan terhadap doa — hendaklah memberikan perhatian yang khusus terhadap doa. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesadaran kepada para pemimpin itu, sehingga negara-negara Islam terhindar dari setiap jenis kekalahan. Demikian pula ada pesan bagi rakyat, yakni hendaklah mereka memahami tanggung jawab mereka dan janganlah menjatuhkan negara-negara mereka menjadi mangsa bagi para ekstrimis dan orang-orang luar (kekuatan asing).
Dalam khotbah ini saya juga kembali memberi pesan kepada para Ahmadi yang tinggal di negara-negara itu — sebelum ini pun sudah berpesan — agar memberikan perhatian terhadap doa dan sebatas mana bisa memberikan pemahaman kepada kedua belah pihak, maka berikanlah pemahaman, bahwa ekstrimisme (anarkisme) bukanlah jalan keluar untuk suatu permasalahan, dan senjata yang paling besar (ampuh) adalah doa. Kebanyakan Ahmadi telah memahami pesan ini dan berkat karunia Allah Ta’ala para Ahmadi secara umum tidak ambil bagian dalam protes-protes keras itu, karena itu, secara umum mereka tidak ambil bagian dalam kerusuhan, pertikaian, dan perbantahan.
Tetapi ada beberapa orang yang di dalam pikiran mereka timbul pertanyaan, bahwa sampai batas mana kita harus memperlihatkan kesabaran dalam menghadapi pemimpin yang otoriter dan zalim, serta kebijakan-kebijakan kelirunya ini? Seperti apakah reaksi kita seharusnya? Apakah reaksi yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi orang-orang yang menghalangi peralihan kekuasaan di negara-negara Afrika? Sebagai contoh, seperti yang tengah terjadi di Ivory Coast (Pantai Gading), kekuasaan tidak beralih [karena presiden yang kalah pemilu menggunakan senjata untuk mempertahankan kekuasaannya], dan sejauh manakah hendaknya para Ahmadi bersama-sama dengan rakyat yang lain dalam hal ikut serta dalam ekstrimisme itu? Karena sebagian orang terpelajar pun tidak memahami ruh dari pesan saya ini dan terus-menerus bertanya.
Kadang-kadang mereka menginginkan jawaban yang jelas. [mereka mengatakan] “Jelaskan kepada kami, bolehkah kami ambil bagian dalam upaya mendapatkan hak kami dengan kekerasan? Dan sampai batas mana kami harus bersabar atas kezaliman-kezaliman?”
Terkait hal ini saya telah mengadakan pertemuan dengan Arabic Desk dan Hani Tahir Sahibah mengenai negara-negara Arab, atau negara-negara Afrika berbahasa Arab, dimana Arabic Desk telah berdiri. Saya telah memberikan pemahaman dengan sangat jelas dan sangat terperinci kepada mereka mengenai reaksi dan tindakan yang seharusnya [diambil] oleh para Ahmadi dalam situasi ini dan apakah positif serta negatifnya?
Kita harus memperhatikan hal ini. Kemudian saya katakan bahwa hendaklah perkara (petunjuk/pesan) ini dicatat, lalu disampaikan kepada negara-negara bersangkutan dan kepada anggota-anggota kita yang memiliki hubungan dengannya, agar para Ahmadi bisa memahami keadaan yang sebenarnya dewasa ini.
Tetapi, dari beberapa surat dan pertanyaan, saya merasa bahwa sebagian orang tidak memahami secara jelas sudut pandang Jemaat Ahmadiyah, yang berdasar pada Quran dan hadits serta sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. Perlu diberikan penjelasan mengenai itu. Karena itu saya telah mengumpulkan beberapa bahan terkait hal itu. Saya sampaikan kepada Anda, agar segala macam keragu-raguan menjadi sirna.
Hal yang paling mendasar adalah Al-Qur’an al-Karim. Di dalamnya kita juga akan melihat bagaimana perintah untuk membantu dan taat kepada pemegang kekuasaan (ulil-amri), dan apakah reaksi yang seharusnya dilakukan oleh kaum Muslimin dalam kekisruhan-kekisruhan yang umum ini. Seberapa jauh hendaknya mereka terlibat dalam upaya menentang pemerintah untuk menuntut hak mereka. Kemudian, apa kata hadits? Dan apakah nasehat-nasehat dari Hadhrat Masih Mau’ud as?
Dalam Al-Qur’an al-Karim Allah Ta’ala berfirman: …وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ … (٩٠) — ayat ini adalah bagian ayat yang dibaca setiap jumat dalam khotbah bahasa Arab — artinya adalah, “Dan Dia melarang kamu berbuat keji dan munkar, serta pemberontakan.”
Hadhrat Masih Mau’ud as memberikan penjelasan mengenai kata “baghyun”. Beliau menulis, “Baghyun dikatakan kepada hujan yang turun melebihi batas sehingga menghancurkan ladang-ladang. Kurang dalam hak dan kewajiban disebut baghyun, atau berlebihan dalam hak dan kewajiban juga disebut baghyun.”[2]
Inilah keelokan ajaran Al-Qur’an al-Karim, yakni terdapat perintah bagi setiap pihak dan setiap kalangan. Dalam perintah-perintah itu tidaklah terbersit bahwa perintah itu untuk satu kalangan saja, dan untuk kalangan lain tidak. Saat ini tidak diuraikan tafsir lengkap mengenai ayat ini, saya hanya menjelaskan maksud kata baghawat. Seperti yang dituliskan Hadhrat Masih Mau’ud as, baik mengurangi dalam hal hak dan kewajiban atau berlebihan, Allah Ta’ala melarang keduanya. Yakni, ketika hakim (yang memerintah) dan mahkum (yang diperintah) diperintahkan [oleh Allah], maka keduanya diperintahkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya masing-masing. Bukannya sang hakim mengurangi atau berlebihan dalam kewajiban-kewajiban dan wewenangnya. Bukan pula rakyat mengurangi atau berlebihan dalam kewajiban-kewajibannya. Dan siapapun yang berlaku demikian, maka ia akan melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala, dan melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala dapat membawa pada hukuman-Nya. Allah Ta’ala sangat tidak suka.
Jadi, dewasa ini karena rakyat memiliki gejolak untuk mengangkat langkah (tindakan) dengan radikal (kekerasan) dalam menghadapi pemerintahan-pemerintahan, karena itu hari ini saya akan membatasi uraian saya pada [permasalahan] terkait rakyat. Berkenaan dengan itu ada beberapa hadits yang memerintahkan untuk menekankan kesabaran kepada rakyat secara umum dan kepada kaum mukminin.
Dalam hadits Bukhari, Kitabul Fitan (Kitab tentang Fitnah), terdapat salah satu bab dimana Hadhrat Rasulullah saw bersabda kepada kaum Anshar, “Sepeninggalku kalian akan melihat hal-hal yang tidak kalian sukai.” ‘Abdullah bin Zaid bin Amir berkata, bahwa Hadhrat Rasulullah saw juga mengatakan hal ini kepada kaum Anshar: “Teruslah kalian bersabar dalam pekerjaan-pekerjaan itu sampai berjumpa denganku di telaga Kautsar.”
Zaid bin Wahab berkata: Saya mendengar dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan: Rasulullah saw bersabda kepada kami: “Kalian akan menyaksikan hak-hak kalian diambil dan diberikan kepada orang lain, kemudian kalian akan menyaksikan perkara-perkara yang kalian pandang buruk.” Setelah mendengar hal ini, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah! Dalam masa seperti itu, apakah yang engkau perintahkan?” Bersabda : “Penuhilah hak para pemimpin pada masa itu dan mintalah hak kalian kepada Allah.”[3]
Kemudian tertera dalam sebuah hadits: Hadhrat Ibnu ‘Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Hadhrat saw bersabda: “Orang yang tidak menyukai sesuatu hal dari pemimpinnya maka hendaknya ia bersabar. Karena orang yang keluar dari ketaatan kepada amir (pemimpin) meskipun hanya sejengkal, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.”[4]
Kemudian riwayat dari Usaid bin Hudhoir, Seseorang datang menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata : “Wahai Rasulullah (saw), engkau telah menjadikan si fulan sebagai gubernur, tetapi tidak memberikan jabatan kepada saya.” Beliau bersabda: “Engkau akan melihat sepeninggalku orang lain akan lebih diutamakan daripada engkau, karena itu bersabarlah engkau sampai hari pertemuan denganku.”[5]
Salman bin Yazid al-Ju’fi bertanya kepada Rasul Karim saw: “Wahai Rasulullah! Jika atas kami berkuasa pemimpin yang meminta haknya kepada kami tetapi tidak memberikan hak kami, maka dalam keadaan itu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasul karim saw berpaling darinya. Ia kemudian mengulang pertanyaannya, kemudian beliau saw berpaling lagi. Ia kemudian mengulang pertanyaannya dua sampai tiga kali. Karena hal itu Asy’at bin Qais menariknya ke belakang – yakni berusaha membuatnya diam, karena Hudhur saw tidak senang terhadap pertanyaan tersebut — Rasulullah sa.w. bersabda: “Dalam kondisi demikian, dengarkanlah pemimpin-pemimpin kamu dan taatlah kepadanya. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggung jawab yang diberikan kepada mereka dan kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggung jawab yang diberikan kepada kamu.”[6]
Junadah bin Umayah mengatakan, “Kami pergi menengok Ubadah bin Shamit yang sedang sakit. Kami berkata : ‘Semoga Allah Ta’ala membuat engkau baik. Terangkanlah kepada kami sebuah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah saw Semoga karena hal itu Allah Ta’ala memberikan faedah kepada engkau.’ Ia mengatakan, bahwa “Rasulullah saw memanggil kami, kami berbaiat kepada beliau…..beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa yang menjadi pemimpin, maka kamu tidak boleh berselisih dengannya, kecuali kamu dengan nyata melihatnya melakukan kekafiran, yang untuk menentangnya kalian memiliki bukti dari Allah”.[7]
Dalam hadits-hadits itu diisyaratkan mengenai perbuatan-perbuatan para pemimpin yang tidak adil dan bertentangan dengan syari’at, tetapi tetap saja beliau saw bersabda, “Kalian tidak mempunyai hak melakukan pemberontakan untuk menentang mereka.” Cara-cara orang yang melakukan demonstrasi-demonstrasi, pengrusakan, dan kebiasaan yang bersifat pemberontakan itu bertentangan dengan syariat.
Saya ingin menambah penjelasan tentang hadits yang terakhir. Dalam kalimat terakhir di hadits itu, wa an laa nunazzi’al amro ahlahuu illaa an tarou kufron bawwaahan ‘indakum minalloohi fiihi burhaanun — yakni beliau saw juga mengatakan bahwa “Barangsiapa yang menjadi pemimpin, maka kalian tidak boleh berselisih dengannya, kecuali kalian dengan nyata melihatnya melakukan kekafiran, yang untuk menentangnya kalian memiliki bukti dari Allah.”
Salafi, Wahabi, dan golongan atau kelompok-kelompok agama radikal lainnya mengartikan kalimat akhir dalam hadits ini bahwa tidak boleh memerangi para penguasa itu hanya ketika tidak nampak kekafiran yang nyata dari mereka, jika nampak kekafiran yang nyata dari pemimpin, maka wajib untuk merebut pemerintahannya.
Inilah kelompok-kelompok radikal yang menjadikan hal ini dalil bahwa untuk melawan pemerintah bisa dilakukan pemberontakan. Bahkan sebagian berusaha untuk memperkuat fatwanya sendiri, sehingga orang yang memberikan fatwa itu mengatakan, “Orang yang tidak menganggap kafir kepada mereka yang kami fatwakan kafi maka mereka juga adalah kafir. Orang yang tidak memandang kafir kepada orang kafir, ia juga adalah kafir.” Inilah mata rantai pengkafiran yang terus mereka jalankan.
Bagaimana pun kalimat sebenarnya dari hadits itu adalah, “Kalian harus taat, kecuali dilakukan perbuatan yang merupakan perkara kekafiran atau kalian dipaksa untuk menjadi kafir.” Selain itu, dalam setiap perkara hendaknya kalian taat, dan dalam keadaan itupun tidak boleh memberontak, tetapi jangan mengikuti perkataannya. Bagaimanapun, ini (hal membolehkan pemberontakan) adalah pandangan orang-orang itu, bukan pandangan Ahmadiyah.
Ya, salah satu contoh ketaatan dalam berbagai kondisi — selain ketika kita dipaksa untuk menjadi kafir — yang nampak dari salah satu contoh di dalam Jemaat adalah ketika di Pakistan dan di negara-negara lain dikatakan, “Kalian jangan menyebut diri kalian sebagai Muslim.” Maka kami tidak mau menerima hal itu. Kami mengatakan bahwa kami adalah Muslim. Atau dikatakan, “Janganlah mengucapkan Syahadat”, maka kami [tetap] mengucapkannya. Atau dikatakan, “Jangan mengucapkan salam kepada lain, jangan membaca Al-Qur’an”. Ini semua adalah muamalah agama kami.
Mengenai hal ini, sebagaimana jelas dalam hadits, kita tidak perlu menaatinya, tetapi kita pun tidak boleh melakukan pemberontakan. Hanya dalam perkara-perkara inilah kita tidak pernah bisa menerima suatu undang-undang karena ini adalah perkara syari’at. Perkara yang menyangkut perintah-perintah Allah Ta’ala dan Rasul. Sejauh berkenaan dengan undang-undang dalam hal lainnya, meskipun [pemerintah seperti itu], setiap Ahmadi mematuhi tiap undang-undang.
Untuk mendukung pandangan kami, saya juga mengemukakan satu rujukan dari para Imam terdahulu. Dalam syarah (penjelasan) hadits tersebut, Imam Nawawi menulis, “كُفْرًا بَوَّاحًا (kufran bawwaahan) maksudnya kekafiran yang nyata, dan maksud kafir dalam hadits tersebut adalah dosa.”[8]
Lebih lanjut beliau menerangkan, “Setelah kalian tinggal di dalam pemerintahan para penguasa, kalian jangan menyelisihi dan melakukan protes. Kecuali jika kalian melihat keburukan yang jelas terbukti, dimana kalian mengetahui keburukan hal itu dalam pandangan qaidah Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits, maka pandanglah itu buruk dan katakanlah kebenaran di manapun kalian berada. Tetapi menentang pemerintahan demikian dengan melakukan pemberontakan dan memeranginya adalah haram menurut ijma (kesepakatan) kaum Muslimin. Meskipun pemerintahan itu fasiq dan zalim.”[9]
Beliau menulis lagi, “Makna yang saya jelaskan dari hadits tersebut didukung juga oleh hadits-hadits yang lain. Ahli sunah berijma’ (sepakat) bahwa tidaklah jaiz (tidak dibenarkan) melengserkan pemimpin meskipun ia fasiq….para ulama mengatakan, bahwa janganlah memakzulkan (memecat atau menggulingkan) pemimpin yang fasiq dan zalim. Alasan untuk tidak menggulingkan dan memerangi pemerintahan yang fasiq dan zalim itu karena hal demikian akan menimbulkan lebih banyak fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan satu sama lain. Jadi, dengan tetap memegang kekuasaannya, pemimpin yang fasiq dan zalim akan menimbulkan lebih sedikit kerusakan dibandingkan dengan akibat yang timbul karena usaha untuk memakzulkannya.”[10]
Dewasa ini kita melihat bahwa hal ini benar-benar terbukti. Tengah terjadi peperangan antara kedua belah pihak. Senapan-senapan ditembakkan, nyawa-nyawa melayang sia-sia. Muslim memerangi Muslim.
Tertera dalam salah satu hadits Bukhari: Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan seseorang yang tetap berada dalam batas-batas Allah dan yang menerjangnya [melanggar batas-batas hukum yang ditetapkan-Nya] adalah semisal satu kaum yang mengundi pada sebuah kapal, maka sebagian mereka mendapatkan tempat di bagian atas kapal dan sebagiannya mendapatkan bagian di bagian bawah kapal.
Orang-orang yang berada pada bagian bawah kapal, jika mengambil air mesti melewati orang-orang yang berada di bagian atas, lalu mereka berkata: ‘Kalau saja kita membuat lubang pada jatah (tempat) kita, sehingga kita tak mengganggu yang di atas kita, maka, jika mereka membiarkan maksud membuat lubang itu, niscaya seluruh penumpang kapal akan celaka, dan jika mereka memegang tangan yang bermaksud membuat lubang itu, niscaya mereka yang bermaksud membuat lubang selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal.’[11]
Sebagian orang menjadikan hadits itu sebagai dalil bahwa rakyat [boleh] melakukan tindakan kekerasan untuk menghentikan orang-orang yang berbuat keburukan dan pelaku keburukan atau pekerjaan-pekerjaan yang salah. Ini tidak benar, karena dengan begitu akan timbul perselisihan satu sama lain dan kerusakan.
Jika hadits itu diartikan sebagai [legitimasi/pembenaran] untuk pemberontakan melawan pemerintah, maka ini pun bertentangan dengan sabda-sabda Hadhrat saw. Saya akan menjelaskan kembali hadits tersebut, jika penumpang perahu memegang tangan orang yang ingin membuat lubang itu, maka mereka akan menyelamatkannya dan juga menyelamatkan diri mereka sendiri. Jika membiarkannya maka bagian bawah perahu akan berlubang, sehingga ia sendiri akan celaka dan mereka [penumpang perahu] juga akan celaka.
[Menurut mereka] salah satu makna bisa diambil, yakni jika sedang timbul kerusakan atau kerugian, maka untuk menghentikan kerusakannya dibolehkan dengan kekerasan. Tetapi hal ini bertentangan dengan hadits-hadits lainnya. Ini bukan untuk perkara pemerintahan.
Untuk mendukung hal tersebut, dikemukakan salah satu hadits Hadhrat saw yang lain, serta dari hadits itu diambil kesimpulan bahwa Hadhrat saw sendiri tidak memerintahkan kekerasan. Rasulullah saw tidak mungkin dapat mengatakan perkara yang bertentangan dengan Al-Qur’an al-Karim. Sungguh, orang-orang telah keliru dalam memahami hadits itu. Riwayatnya adalah sebagai berikut, Abu Sa’id al-Khudri r.a. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman”.[12]
Dalam syarah (penjelasan) hadits tersebut, Imam Mula ‘Ali Qari menulis, yang terjemahannya sebagai berikut : “Sebagian ulama kita mengatakan bahwa mengubah perkara yang tidak disukai dengan tangan itu adalah perintah untuk pemerintahan, mengubah dengan lisan adalah untuk para ulama, dan tidak menyukai perkara yang buruk dengan hati adalah perintah untuk kaum mukminin secara umum.”[13]
Jadi, ini merupakan penjelasan yang indah dari hadits tersebut. Ada tiga perkara dalam hadits itu, tetapi tiga perkara tersebut adalah untuk tiga tingkatan dan tiga pemilik wewenang yang berlainan. Di sini juga, perintah untuk menghentikan dan menyelamatkan perahu ini adalah perintah bagi pemegang wewenang. Sebab jika setiap orang sedemikian rupa berusaha untuk menghentikan, maka akan timbul kekacauan yang luar biasa. Dan berkenaan dengan kekacauan serta ketidakamanan, Allah Ta’ala berfirman: وَ اللّٰہُ لَا یُحِبُّ الۡفَسَادَ — (wallahu laa yuhibbul fasaad — “Allah tidak menyukai kerusakan..(QS. Al-Baqarah: 206).
Kalau diartikan bahwa jika rakyat tidak senang dengan beberapa perkara dari pemerintah maka mereka diperbolehkan berdiri untuk menentang pemerintah dan mulai melakukan kerusakan, pembunuhan, kekacauan dan pemberontakan, maka mafhum (pemahaman) ini bertentangan dengan petunjuk syariat. Perintah dan keputusan Al-Al-Qur’an al-Karim dalam hal itu, sebagaimana telah saya kemukakan, adalah:
وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ
“Dan Dia melarang melakukan fakhsya, munkar dan baghy” (QS. An-Nahl: 91).
Bagaimana contoh ketaatan para nabi terhadap pemerintahan? Tertera dalam sebuah hadits, bahwa datang 124.000 nabi ke dunia.[14]
Al-Qur’an al-Karim telah menguraikan mengenai keadaan hampir dua lusin nabi-nabi, sekitar 20-25 nabi. Tetapi tidak disebutkan mengenai salah satu nabi pun yang tidak taat atau memberontak kepada pemerintah di wilayahnya dalam urusan-urusan duniawi, atau melakukan demonstrasi dan pengrusakan bersama para pengikut untuk menentangnya. Semua nabi secara terbuka menolak akidah-akidah keliru para pemimpin di wilayahnya masing-masing, dan dengan kerja keras menyampaikan akidah-akidah yang benar.
Saya ambil contoh [kisah] Nabi Yusuf a.s, yang sudah biasa diterangkan. Hadhrat Khalifatul Masih Awal, Hadhrat Masih Mau’ud as, dan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani juga telah menerangkannya. Pada permulaan sekali Allah Ta’ala telah berfirman:
نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَیۡکَ اَحۡسَنَ الۡقَصَصِ بِمَاۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ ٭ۖ وَ اِنۡ کُنۡتَ مِنۡ قَبۡلِہٖ لَمِنَ الۡغٰفِلِیۡنَ
“Kami ceritakan kepada engkau sebaik-baiknya kisah dengan mewahyukan kepada engkau Al-Qur’an ini, walaupun engkau sebelumnya termasuk orang-orang lalai” — QS. Yusuf: 4).
Yakni, melalui Quran yang Kami wahyukan kepada engkau ini, Kami menjelaskan dengan cara yang terbaik sebagian dari hakikat sejarah yang telah terbukti. Walaupun sebelumnya engkau termasuk orang yang ghafil (lalai, tidak menyadari) mengenainya.
Apakah hakikat-hakikat bersejarah yang telah terbukti yang sedang diuraikan oleh Al-Qur’an al-Karim? Surah Yusuf sebagian besar terdiri dari [uraian] mengenai keadaan Nabi Yusuf as, ringkasan dari keadaan tersebut sebagai berikut:
Hadhrat Yusuf bekerja sebagai menteri pengawas harta kekayaan di kabinet seorang raja kafir, yakni Fir’aun. Jika Raja ini menganggap bahwa Nabi Yusuf as ini tidak setia dan — na’uudzubillaah — tidak taat kepadanya hanya berkedok kemunafikan, maka sama sekali raja ini tidak akan memasukkan beliau ke dalam kabinetnya.
Jadi, termasuk tindakan tidak hormat terhadap Nabi Yusuf as jika ada yang berpikir bahwa — na’uudzubillaah — dalam hati beliau terdapat permusuhan dan penentangan terhadap Fir’aun, tetapi secara lahiriah beliau taat dan memperlihatkan kesetiaan dalam corak kemunafikan. Allah Ta’ala berfirman : …كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ … — “Demikianlah telah Kami rencanakan untuk Yusuf. Ia tidak dapat menahan saudaranya menurut undang-undang kerajaan, kecuali jika Allah swt. Menghendaki. — QS.12:77).
Yakni, sesuai dengan undang-undang raja Mesir, Nabi Yusuf as tidak memiliki wewenang untuk menahan saudara kandung beliau di Mesir. Karena itu, Allah Ta’ala merencanakan hal ini, yakni membuat Nabi Yusuf terlupa dan meletakkan alat takar [milik] kerajaan dalam barang saudara beliau, ketika dicari alat takar itu ada dalam barang perbekalan saudara beliau. Dari hal ini nampaklah bahwa Nabi Yusuf as mematuhi undang-undang seorang raja yang musyrik dan kafir. Meskipun dalam urusan-urusan duniawi Nabi Yusuf as mematuhi undang-undang raja yang kafir dan menaatinya dengan kesetiaan, tetapi dalam perkara agama beliau tidak mematuhi dan tidak menaati akidah-akidahnya yang salah.
Di tempat lain dalamAl-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ اَطِیۡعُوا الرَّسُوۡلَ وَ اُولِی الۡاَمۡرِ مِنۡکُمۡ ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ فَرُدُّوۡہُ اِلَی اللّٰہِ وَ الرَّسُوۡلِ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰلِکَ خَیۡرٌ وَّ اَحۡسَنُ تَاۡوِیۡلًا ﴿٪﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya.” (QS. An-Nisa: 60).
Mengenai [ayat] ini Hadhrat Masih Mau’ud as menulis: “Yakni, taatlah kepada Allah, Rasul, dan raja-raja kalian.”[15]
Kemudian beliau bersabda : “Yakni taatlah kalian kepada Allah, Rasul, dan negara-negara kalian.” Taatlah kepada raja-raja kalian”.[16]
Kemudian beliau menulis: “Wahai kaum Muslimin! Jika diantara kalian terjadi perselisihan mengenai suatu perkara, maka untuk menyelesaikannya ambilah rujukan dari Allah dan Rasul. Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, maka lakukanlah ini, karena ini adalah yang paling baik dan paling bagus.”[17]
Beliau menulis, “Jika kalian berselisih tentang suatu perkara, maka keputusannya kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Jadikanlah hanya Allah dan Rasul sebagai hakim, jangan sesuatu yang lain.”[18]
Keputusan Allah dan Rasul, sebagaimana telah saya terangkan sebelumnya, yakni dalam hal keadaan-keadaan dunia pada umumnya, apa pun keadaan yang terjadi kepada seorang mukmin, janganlah melakukan pemberontakan. Jika melihat [pemimpin] kafir atau mendengar perintah [pemimpin] kafir maka ketaatan itu wajib sebatas berkenaan dengan urusan-urusan itu [dunia], tetapi dalam perkara-perkara ini (agama) janganlah taat. Tetapi melakukan pemberontakan tetap saja tidak boleh.
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud as menulis di suatu tempat : “Terdapat perintah dalam Al-Qur’an al-Karim أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ. (taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri) Di sini, perintah taat kepada ulil amri tertera dengan jelas. Jika ada orang yang mengatakan, bahwa pemerintah tidak termasuk ke dalam minkum (di antara kamu) maka jelas-jelas ia salah. Pemerintah yang memerintah sesuai dengan syariat, maka ia masuk ke dalam kata minkum (di antara kamu). Contoh: “orang yang tidak menentangku maka ia termasuk dari antaraku”. Sebagai nash petunjuk, telah terbukti dari Al-Qur’an bahwa hendaklah taat kepada pemerintah dan mematuhi perintahnya.”[19]
Bersabda: “Jika pemimpin bersikap zalim, maka jangan kesana kemari mengatakan keburukannya, melainkan perbaikilah keadaan kalian sendiri, maka Allah akan mengubahnya, dan akan memperbaikinya. Kesulitan yang datang itu muncul disebabkan amalan-amalan buruk kalian sendiri, jika tidak, naungan Tuhan bersama dengan orang mukmin, Allah Ta’ala sendiri akan menyediakan sarana-sarana untuk orang mukmin. Nasehat saya adalah, dengan segala cara jadilah kalian contoh dalam kebaikan. Jangan merusak hak-hak Tuhan dan jangan pula mengingkari hak-hak makhluk.”[20]
Inilah contoh yang seharusnya ditegakkan oleh orang-orang Ahmadi. Maksud dari ulil amri minkum bukan hanya pemerintah Muslim saja. Mengenai itu Hadhrat Khalifatul Masih Tsani r.a. menjelaskan: “Sebagian kaum Muslimin memahami ayat itu dengan keliru. Mereka menganggap bahwa ini hanya perintah berkaitan dengan pemerintah Muslim, yakni mereka hendaknya ditaati. Tetapi hal ini salah dan bertentangan dengan pokok Al-Qur’an al-Karim. Memang benar, disini terdapat kata ‘minkum’, tetapi ‘minkum’ disini bukan berarti orang yang sama agamanya, tetapi orang diantara kalian yang ditunjuk sebagai pemimpin. Kata ‘min’ digunakan dalam makna itu. Dalam Al-Qur’an al-Karim Allah Ta’ala berfirman, ditujukan kepada orang kafir :أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ — “tidakkah telah datang rasul-rasul dari antara kamu” QS. Al-An’aam: 131).
Jika kita mengartikan kata minkum dalam ayat itu sebagai “agama yang sama”, maka arti ayat itu, na’uudzubillaahi min dzaalik, bahwa Rasul sama agamanya dengan orang orang kafir. Jadi, tidak mesti kata minkum itu diartikan “agama yang sama”. Ini juga digunakan dalam makna lain, dan dalam ayat ini artinya adalah pemerintah/pemimpin di negara kalian — bukannya setiap pemimpin kamu harus taati — melainkan “taatilah mereka yang merupakan pemimpin kalian”.
Dan maksud dari فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ — “dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalilah kepadanya” – bukan artinya “Ambilah keputusan oleh kalian berdasarkan Quran dan hadits”, melainkan maknanya adalah apabila terjadi perselisihan dengan para pemimpin maka kembalikanlah itu kepada hukum-hukum Allah dan Rasul. Dan hukum (perintah) itu adalah beritahukanlah kepada pemerintah mengenai kesalahan mereka. Jika mereka tidak mau menerima, maka serahkanlah urusannya kepada Allah Ta’ala, Dia sendiri akan memutuskan, dan akan memberikan hukuman kepada orang yang zalim atas perilakunya.”
Sebagaimana peristiwa Nabi Yusuf as yang telah diterangkan, beliau juga mengemukakan dalil ini.
Kemudian bersabda, “Peristiwa Nabi Yusuf as yang diterangkan di dalam Al-Qur’an, itu juga menunjukkan bahwa apa pun agamanya, pemimpin itu harus ditaati. Bahkan jika perintah-perintahnya bertentangan dengan perintah syari’ (syariat) sekalipun, dan yang pelaksananya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetap saja harus taat kepadanya. Karena itu berkenaan dengan nabi Yusuf as, Allah Ta’ala berfirman bahwa ketika saudaranya datang kepada beliau membawa saudara kecilnya, maka beliau tidak bisa menahan mereka bersama beliau karena undang-undang raja di sana. Karena itu Tuhan membuat perencanaan lain untuk itu.”
Lebih lanjut beliau menerangkan, “Mengenai ayat اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (jadikanlah aku bendahara negeri ini karena aku seorang penjaga yang baik lagi sangat memahami” – QS. Yusuf: 56).
Di bawah ayat tersebut, dalam tafsir Fathul Bayan terdapat penjelasan tafsirnya. Ayat ini dijadikan dalil bahwa, “Menerima jabatan dari raja yang zalim, atau bahkan kafir dibolehkan bagi orang-orang yang yakin terhadap dirinya bahwa ia akan dapat menegakkan kebenaran. Hendaklah diingat, menegakkan kebenaran bukan maksudnya ia dapat memberlakukan syariatnya, karena sebagaimana nampak dari perkara saudara laki-laki Nabi Yusuf, bahwa untuk bekerja dibawah orang-orang kafir, bukanlah merupakan syarat bahwa orang mukmin menjalankan pemikiran pribadinya. Jadi, maksud dari melindungi kebenaran adalah janganlah hendaknya ikut serta dalam perkara-perkara yang zalim. Jadi, nampak jelaslah dari peristiwa Nabi Yusuf as, yakni meskipun pemerintahnya kafir, maka kesetiaan kepadanya adalah perlu.”[21]
Penjelasan lebih lanjutnya: Apa yang hendaknya dilakukan dalam kondisi [terjadi] penentangan terhadap pemerintah? Sebagaimana telah dibahas juga sebelumnya, bahwa apakah hanya pemerintahan orang Muslim saja yang harus ditaati atau perintah [taat] ini untuk keduanya [pemerintahan yang bukan Islam juga]. Apa yang disabdakan Nabi Muhammad saw mengenai hal itu?
Berkenangan dengan khulafa beliau saw bersabda: “Aku mewasiyatkan kepada kalian, agar kalian bertakwa kepada Allah, jadikanlah ketaatan dan kepatuhan sebagai kebiasaan kalian, meskipun [terhadap] budak negro yang memerintah atas kalian. Orang yang hidup sepeninggalku, mereka akan melihat banyak perselisihan di antara manusia. Maka dalam kondisi demikian, wasiyatku adalah, ‘Kerjakanlah sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin. Tamassakuu bihaa yakni kalian peganglah kuat-kuat sunnah itu. Sebagaimana suatu benda yang digigit dengan gigi-geligi, seperti itu pulalah harus [kalian] ikuti sunnah itu, dan jangan pernah melepaskan jalan yang merupakan jalanku dan jalan para khulafaur rasyidinku”[22]
Apakah ajaran bagi para pemimpin duniawi? Ada tertera dalam Bukhari. Beliau [saw] bersabda: “Sepeninggalku kalian akan menyaksikan keadaan-keadaan demikian, yakni bersama kalian akan ada ketidakadilan. Hak-hak kalian akan ditekan, orang-orang lain akan diutamakan. Dan kalian akan melihat perkara-perkara yang kalian tidak sukai. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Dalam kondisi seperti itu apa perintah Anda untuk kami?’ beliau menjawab, ‘Berikanlah hak-hak mereka, yakni para pemimpin itu. Dan mintalah hak kalian kepada Allah’”[23]
Dalam kitab Muslim juga terdapat sebuah hadits yang mirip dengan itu, terjemahannya adalah, “Meskipun pemimpin sangat zalim dan perampas kekuasaan, taatilah ia.”[24]
Jadi, kewajiban untuk taat kepada pemimpin yang zalim juga hendaknya dilaksanakan. Janganlah hendaknya melakukan pemberontakan untuk melawannya dan jangan ingkar dari ketaatan kepadanya, melainkan hendaklah berdoa dengan penuh tadharru (kerendahan hati) kepada Allah Ta’ala untuk menghilangkan kekejaman, keburukannya serta agar terjadi ishlah (perbaikan).
Seorang Ahmadi hendaknya juga ingat bahwa atas syarat-syarat apakah ia baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as? Syarat yang kedua contohnya: Akan menghindari segala corak bohong, zina, pandangan yang buruk, dan setiap jenis perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khiyanat, mengadakan huru-hara dan memberontak, serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.”
Syarat yang keempat adalah, “Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apapu juga.”[25]
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud menerangkan ayat وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ‘wal fitnatu asyaddu minal qatli’ – “Dan, fitnah lebih besar [dosa dan bahayanya] daripada pembunuhan.” (Surah Al-Baqarah; 2:218) sebagai: “…dan menyebarkan pemberontakan atau mengganggu keamanan (al-fitnatu) adalah lebih dari pada pembunuhan”[26]
Beliau menulis: “Maksud dari Ulil Amri, secara jasmaniah adalah Raja, dan secara rohaniah adalah Imam Zaman. Orang yang secara jasmani tidak menentang maksud-maksudku, dan darinya kami mendapatkan faedah-faedah dalam agama maka ia adalah dari antara kami.”[27]
Kemudian beliau bersabda: “Na’uudzubilluahi min dzaalik, jika wabah tha’un (pes) menyebar di suatu tempat dimana kalian berada, maka aku memberikan petunjuk kepada kalian agar kalian menjadi orang yang paling pertama menaati undang-undang pemerintah. Di beberapa tempat terdengar ada perlawanan terhadap polisi. Menurut saya, menentang undang-undang pemerintah merupakan pemberontakan, yang merupakan dosa berbahaya. Memang, tidak diragukan lagi bahwa kewajiban pemerintah untuk menunjuk petugas yang berakhlak baik, religius, dan mengetahui adat kebiasaan di negeri ini serta para pengikut agama. Pendek kata, kalian sendiri amalkanlah undang-undang ini dan beritahukanlah manfaat dari undang-undang ini kepada teman-teman dan tetangga-tetangga kalian.”[28]
Suatu kali di perguruan tinggi dan di universitas terjadi hartal. Mengenai itu beliau bersabda: “Cara yang ditempuh dengan ikut serta bersama para mahasiswa yang membuat kerusuhan ini sangat bertentangan dengan ajaran dan pendapat kami. Karena sejak hari itu, mereka ikut serta dalam pemberontakan. Ketika para mahasiswa di Lahore melakukan pemogokan dalam rangka menentang profesor-profesor mereka, maka saya memerintahkan kepada para pemuda yang termasuk dalam Jemaat ini untuk tidak ikut serta dalam perlawanan itu, dan mintalah maaf kepada guru-guru kemudian segera masuk. Karena itu, mereka mematuhi perintah saya, dan mereka masuk ke universitas mereka, mereka memperlihatkan contoh yang baik sehingga mahasiswa yang lain pun segera masuk.”[29]
Apa penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih Awal r.a mengenai hal ini? Beliau menjelaskan, “Bagi setiap orang, taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan ulil amri merupakan keharusan bagi setiap Muslim. Jika Ulil Amri nyata-nyata menentang firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi [saw], maka sesuai dengan kemampuan, orang Islam hendaknya tidak menuruti perintah mereka dalam perkara-perkara pribadi mereka. wa athi’ulloha wa athi’ur rosula wa ulil amri minkum merupakan nash yang jelas. [maksud[ ulil amri itu, yang pertama adalah para pemegang kekuasaan dan raja, tingkatan kedua adalah para ulama dan orang arif bijaksana.”[30]
Sekarang, sebagian orang juga mengajukan pertanyaan ini, yakni berkenaan dengan [perjuangan] orang-orang Kasymir, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersama-sama dengan orang Muslim Hindustan telah mengadakan pertemuan dan pawai, serta memberikan izin untuk itu.
Orang-orang menganggap bahwa cara ini jugalah [yang dilakukan] untuk memberontak melawan pemerintahan saat ini, dan karena itu hal ini diperbolehkan. Padahal ini adalah suara [dari] luar. Pawai dan pertemuan-pertemuan itu agar hak-hak mereka diberikan. Tidak ada perselisihan. Tidak ada tindakan pengrusakan. Pemerintah diingatkan bahwa hak-hak orang Kasymir yang tengah dirampas dengan kekerasan hendaklah itu diberikan, harta kekayaan mereka, pemcemaran nama baik mereka, dan seluruh pendapatan kekayaan mereka mengalir kepada penguasa, maka ke arah hak-hak itulah (pemerintah) diingatkan, agar hendaknya hak-hak mereka diberikan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. ditanya mengenai hartal pada 29 November 1929 itu, yakni berkenaan dengan itu, apakah seharusnya peran orang-orang Ahmadi? Beliau menjawab, “Hendaknya janganlah ikut serta dalam hartal. Ya, dalam pertemuan-pertemuan dan pawai hendaknya ikut serta.”
Untuk [memperjuangkan] hak-hak, sejauh menyangkut pertemuan-pertemuan dan pawai maka baik, karena sampai batas tertentu pemerintah pun memberikan izin. Tetapi, hartal atau menutup toko-toko dan mengadakan huru-hara, hal ini tidak boleh.
Kemudian, “Seorang sahib (teman) mengatakan bahwa karena di kota-kota toko-toko orang Ahmadi sangat sedikit, karena itu jika ia tetap buka maka ada bahaya terkena serangan, dan orang-orang menutupnya secara membabi buta.” Atas pertanyaan itu beliau menjawab, “Jika ada yang [memaksa] menutup secara membabi buta, maka lakukanlah, lalu beritahukan kepada polisi bahwa “kami ingin membuka toko, tetapi si fulan tidak membiarkan kami untuk membukanya.” Jika polisi bertanggung jawab untuk memberi perlindungan, maka bukalah, jika tidak sebaiknya jangan.”
Seseorang bertanya, apakah hartal itu dilarang secara undang-undang? Dalam menjawab itu beliau ra mengatakan, “Bukan persoalan undang-undang, ini merupakan hal yang sia-sia, yang karenanya baik pembeli maupun pemilik toko akan mendapatkan kerugian. Sekarang, pada tanggal 29, orang-orang Muslim yang datang dari luar, Lahore, atau kota-kota terdekat yang ingin membeli barang-barang keperluan atau yang lainnya, terpaksa mereka akan membeli dari toko-toko milik orang Hindu. (karena orang-orang Muslim melakukan hartal), yang karenanya orang-orang Muslim mengalami kerugian.[31]
Kemudian suatu kali beliau ra mengatakan, “Kami tidak pernah akan membantu orang-orang yang menekankan untuk merusak undang-undang. Sebagian kelompok ada yang demikian, yaitu yang diajarkan untuk memberontak. Sebagian ditekankan untuk [melakukan] pembunuhan dan kerusuhan. Sebagian menganggap tidak perlu menaati undang-undang. Dalam semua perkara itu kami tidak akan dapat membantu suatu golongan manapun, karena ini merupakan perkara yang bertentangan dengan ajaran agama kami. Dan taat kepada agama merupakan keharusan, meskipun seluruh pemerintahan memusuhi kami, dan ketika melihat orang Ahmadi mereka mulai memancangnya di salib, tetap saja keputusan kami ini tidak bisa berubah, bahwa jangan pernah merusak hukum syariat dan hukum negara. Jika karena hal itu kami dianiaya dengan cara yang paling keras sekalipun, tetaplah, tidak boleh kita berjalan menentangnya.”[32]
Jadi, berkenaan dengan hartal ini, seluruh hukum-hukum telah dikemukakan dengan jelas. Sebelumnya saya juga telah menyampaikan sebagian penjelasan QS. Al-Baqarah: 206 dari hadits. Yakni وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ wallaahu laa yuhibbul fasaad — “dan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan”. Ketika pemaksaan dengan keras mulai dilakukan, maka terciptalah kerusakan. Dan ketika itu terjadi, sungguh malang dalam keadaan kerusakan itu, yang paling banyak berada dalam goncangannya adalah orang-orang Islam.
Secara lengkap ayat tersebut berbunyi, وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ () — “Dan apabila ia berkuasa, berkeliaranlah ia di muka bumi untuk membuat kekacauan di dalamnya dan membinasakan sawah-ladang dan keturunan, dan Allah tidak menyukai kekacauan.(QS.2:206).
Jadi, ketika ada pemegang kekuasaan yang zalim, maka dengan tanpa rasa sesal ia berusaha untuk merugikan harta kekayaan, hasil panen, dan keturunan orang-orang yang menentangnya. Sekarang, secara lengkap ayat ini juga sedang memberikan peringatan kepada para pemegang kekuasaan, karena salah satu firman Allah Ta’ala yang bersifat umum juga yaitu, wallaahu laa yuhibbul fasaad. – “dan Allah tidak menyukai kerusakan” Oleh karena itu perintah inipun [berlaku] bagi orang-orang yang melakukan pemberontakan.
Jadi, seperti telah saya katakan di awal, perintah Al-Qur’an ini tidak hanya untuk orang-orang awam, melainkan dikatakan juga kepada para pemegang kekuasaan, bahwa “Janganlah karena wewenang kalian lalu kalian membuat kekacauan di negeri kalian dengan takabur. Janganlah kalian memakan hak rakyat, janganlah membesar-besarkan perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, sehingga timbul kegelisahan dalam diri rakyat, yang akibatnya kemudian timbul kondisi-kondisi untuk terjadinya pemberontakkan. Demikianlah, karena amal kalian itu juga kalian akan dicengkram oleh Tuhan.”
Sekarang, perhatikanlah kondisi-kondisi yang sedang terjadi. Tanpa terkecuali, di semua tempat sedang timbul suara bahwa kekayaan bangsa telah dirampas, dan rakyat diluputkan dari hak-hak mereka. Sungguh malang, di antara orang-orang yang secara khusus mendapatkan nasihat dan peringatan dari Allah Ta’ala itu, justru yang paling depan dalam melakukan kesalahan-kesalahan tersebut adalah para pemegang kekuasaan di negara-negara Muslim. Melindungi nyawa dan harta benda rakyat adalah tanggung jawab pemerintah, kesejahteraan ekonomi mereka juga merupakan tanggung jawab pemerintah, kesehatan dan seluruh hak-hak yang lainnya juga merupakan tanggung jawab pemerintah.
Pendek kata, ini semua merupakan tugas pemerintah (pemegang kekuasaan), hendaklah mereka melaksanakannya. Dengan tidak melaksanakan tugas-tugas ini berarti mereka sedang menciptakan kekacauan, dan dalam pandangan Allah Ta’ala, sebagaimana Dia berfirman bahwa Dia sangat tidak menyukai kekacauan. Oleh karena itu, sambil menghargai kenikmatan-kenikmatan dari Allah Ta’ala, hendaklan para pemerintah kita berusaha untuk berjalan di atas asas-asas dan uswah (contoh) yang telah kami kemukakan. Ketika Hadhrat Umar r.a. memerintah, betapa beliau telah menegakkan keadilan, sehingga ketika pemerintahan Kristen tegak kembali maka orang-orang Kristen berdoa sambil menangis, “Semoga orang-orang Muslim kembali yang memerintah kami.”
Namun, keadaan di sini adalah, rakyat Muslim bangkit untuk menentang pemerintahan Muslim karena tidak tegaknya keadilan. Oleh karena itu, ketakwaan yang saat ini telah habis dan lenyap dari kaum Muslimin haruslah dicari kembali. Baik pemerintah ataupun rakyat, jika keduanya memegang asas itu, maka akan berhasil.
Jadi, untuk orang-orang Ahmadi ada perintah yang jelas, yakni hindarkanlah diri sendiri dari dari kekacauan itu. Berdoalah. Jika ada doa-doa yang terpanjat dari lubuk hati maka suatu saat — ketika Allah Ta’ala menghendaki — doa itu akan dikabulkan, dan akan mendapatkan keselamatan dari kezaliman-kezaliman jika ada pemerintahan yang zalim, sebagaimana sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. Ke depan pun, keadaan yang nampak setelah pergantian-pergantian (pemimpin), mungkin menghadirkan keamanan untuk sementara waktu, ttetapi bukanlah keamanan untuk selamanya. Demikianlah, pergantian-pergantian yang terjadi, yang merebut kekuasaan setelah melakukan tindakan zalim, atau membawa revolusi, maka di antara mereka pun setelah beberapa waktu akan mulai muncul lagi pemerintahan yang zalim.
Setelah kepergian seorang (pemimpin) yang zalim, kemudian datang (pemimpin) zalim yang lain. Oleh karena itu berdoalah juga semoga Allah Ta’ala tidak menjadikan pemerintahan yang zalim berkuasa atas kita. Semoga Allah menjadikan orang-orang Muslim secara umum dan para pemegang kekuasaan dapat mengenal kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka, kemudian mereka berusaha menunaikannya, dan dapat mengemukakan ajaran Islam yang indah ke hadapan dunia.
Shalat Jenazah Gaib: (1) Amatul Wadud Shahibah; (2) Muhammad Sa’id Asyraf Shahib; (3) Na’imah Begum Shahibah dan (4) Na’iim Ahmad Washim
Saat ini, setelah shalat Jumat saya juga akan memimpin shalat jenazah gaib. Jenazah yang pertama adalah Amatul Wadud shahibah, istri dari Mukaram Sayyid Abdul Hay Syah shahib, Nazir Isya’at Anjuman Ahmadiyah Rabwah. Dua hari yang lalu secara tiba-tiba terjadi tekanan darah tinggi dan masuk rumah sakit. Beliau wafat pada tanggal 25 maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Usia beliau 72 tahun. Beliau putri dari Muhtarom Syeikh Mahbub Ilahi Shahib, penduduk Srinagar. Dahulu merupakan seorang Brahman, kemudian meninggalkan agama Hindu, dan dengan sendirinya menjadi Ahmadi. Nama beliau sebelumnya Radha Krishan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. memanggil beliau ke Qadian dan mengajarkan ilmu agama, kemudian beliau menjadi pengkhidmat agama. Ibunda almarhum, Muhtaromah Khawaja Abdul Aziz Dar Shahib bin Hadhrat Haajii Umar Dar Shahib, putri dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as. Baik dan sabar terhadap keluarga. Setelah menikah dengan wakfin zindegi, maka beliau menyempurnakan wakafnya dan melewati setiap kondisi dengan gembira. Beliau ramah dan menghargai orang-orang miskin. Beliau mengadopsi dan merawat seorang anak perempuan berusia 6 tahun. Mentarbiyatinya, mengurusnya, memberikan pendidikan, dan membiayai pernikahannya. Beliau adalah ibunda dari Anggota Ahmadi kita yaitu Ahmad Yahya, yang merupakan ketua Humanity First.
Jenazah yang kedua adalah Muhammad Sa’id Asyraf Shahib bin Chowdry Muhammad Syarif Shahib dari Lahore. Ketika beliau menyebrang sebuah jalan, pada tanggal 27 Maret beliau menjadi korban sebuah kecelakaan. Tiga pengendara sepeda motor menabrak beliau. Beliau dan istri beliau keduanya sedang bepergian. Istri beliau mengalami luka-luka. Beliau terjatuh ke pinggir, dan sepeda motor melindas di atas beliau. Kemudian dibawa ke rumah sakit. Namun sesampainya di rumah sakit, ketika almarhum dibalut perban, maka belum berlalu 10 menit, nafas beliau kemudian berhenti. Dan beliau wafat. Innaa lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Kakek beliau adalah Hadhrat Fazl Diin shahib r.a. dan nenek beliau Husn Bibi Shahibah ra, keduanya merupakan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud alaihis salaam, dan sangat setia kepada Jemaat serta memiliki hubungan kesetiaan dan keikhlasan luar biasa dengan khilafat. Terbiasa ambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan Jemaat.
Beliau memiliki seorang putra yang merupakan muballigh Jemaat, bernama Muhammad Ahsan Sa’id Shahib, berkhidmat sebagai pengajar di Jamiah Ahmadiyah Jerman. Ketika beliau akan pergi, ibunda beliau mengatakan, “Tuntutan wakaf adalah begini, yakni janganlah engkau datang kemari dan selesaikanlah kewajiban-kewajiban engkau.”
Jadi jenazah yang kedua adalah jenazah beliau (Muhammad Sa’id Asyraf Shahib).
Jenazah yang ketiga adalah Na’imah Begum Shahibah. Beliau wafat di Ohio, Amerika. Beliau adalah putri dari Dokter Hasymatullah Khan Shahib, yang merupakan dokter khusus Hadhrat Khalifatul Masih Tsani r.a., dan semenjak masa kekhalifahan yang kedua, sampai sekarang, memiliki hubungan yang kuat dengan Khilafat. Hubungan secara pribadi juga, dan sangat setia serta ikhlas.
Atas saran dari Hadhrat Khalifatul Masih Tsani, beliau mengambil MA dalam bidang sejarah. Beberapa lama beliau mengajar di Jamiah Nushrat. Belakangan ini beliau tinggal bersama putra beliau di Amerika. Di sanapun beliau ambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan Lajnah. Berkat karunia Allah Ta’ala, beliau adalah Mushiyah. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau.
Kemudian ada satu jenazah lagi. Yaitu Na’iim Ahmad washim. Beliau meninggal di Amerika pada tanggal 6 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Beliau adalah putra dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud yang bernama Haajii Muhammad Diin Shahib Thalwi r.a., yang di Qadian terkenal dengan nama “Du’aong ki Machine” (Mesin doa). Beliau sangat mukhlis, tawakal, dan merupakan khadim Jema’at yang siap berkorban. Beliau ambil bagian di dalam semua pekerjaan-pekerjaan Jema’at.
Ketika Hadhrat Khalifatul Masih Tsani menyerahkan tugas perlindungan markas kepada Hadhrat Khalifatul Masih Tsalits, Hadhrat Mirza Nashir Ahmad (sebelum menjadi khalifah), pada saat itu pun beliau bekerja bersama. Beliau juga ikut serta dalam acara peletakkan batu pondasi Rabwah. Setelah itu beliau pergi ke Amerika. Di sana juga beliau berkhidmat sebagai Qaid Maal Ansharullah. Beberapa bulan yang lalu, terkena serangan jantung dan kondisi beliau menjadi cukup kritis. Waktu itu pun, beliau sedang mengumpulkan iuran dari Anshar untuk mesjid. Ketika beliau tersadar [setelah terkena serangan jantung], maka pertanyaan pertama beliau adalah, “Apakah buku perhitungan iuran untuk mesjid sudah dibetulkan atau belum? beberapa tagihan yang harus dibayar apa sudah dibayar atau belum?”
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat semua almarhum, dan kebaikan-kebaikan mereka terus mengalir kepada keturunan-keturuan mereka. Shalat jenazah akan dilaksanakan setelah shalat Jumat.
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Islami Ushul ki Filasafi (Filsafat Ajaran Islam), Ruhani Khazain jilid 10, halaman 354, Computerized edition
[3] Shahih al-Bukhari kitaabul fitan, bab Qoulun nabi shalallohu ‘alaihi wa salaam satarouna ba’di umuron tunkiruunaha, hadits no. 7052
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ، سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ، قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا”. قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ” أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ ”.
[4] Shahih al-Bukhari kitaabul fitan, bab Qoulun nabi shalallohu ‘alaihi wa salaam satarouna ba’di umuron tunkiruunaha, hadits no.7053
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ ـ رضى الله عنهما ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ”.
[5] Shahih al-Bukhari kitaabul fitan, bab Qoulun nabi shalallohu ‘alaihi wa salaam satarouna ba’di umuron tunkiruunaha, hadits no. 7057
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ، أَنَّ رَجُلاً، أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي. قَالَ ” إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي ”.
[6] Shahih Muslim kitabul imaaroh, bab fii thoo’atil umarooi wa in mana’ul huquuq (bab mengenai ketaatan kepada para amir (penguasa) kendati pun mereka menghambat atau mencabut hak-hak), hadits no. 4782
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ: «اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ».
4889- وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ».
[7]Shahih Shahih Muslim, kitaabul Imaaroh, bab wujuubu tho’athil umaro fiighoiri ma’shiyati, hadis no. 4771
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنِي بُكَيْرٌ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقُلْنَا حَدِّثْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
فَقَالَ دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: «إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ».
[8] Dikutip dari Kitab Al-Minhaaj bi syarhi Shahih Muslim, kitabul imaaroh, bab wujuubu tho’athil umaroo fi ghoiri ma’shiyatin, hal. 1430; ditulis oleh Abu Zakariya Yahya ibn Syarf ibn Mara an-Nawawi; penerbit Dar ibn Hazm, 2002. “وَالْمُرَاد بِالْكُفْرِ هُنَا الْمَعَاصِي.
[9] Kitab Al-Minhaaj bi syarhi Shahih Muslim
ثم يقول: لا تُنَازِعُوا وُلاة الأُمُور فِي وِلايَتهمْ، وَلا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الإِسْلام، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ، وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ. وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَةً ظَالِمِينَ.
[10] Kitab Al-Minhaaj bi syarhi Shahih Muslim
وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الأَحَادِيث بِمَعْنَى مَا ذَكَرْتُه، وَأَجْمَعَ أَهْل السُّنَّة أَنَّهُ لا يَنْعَزِل السُّلْطَان بِالْفِسْقِ….قَالَ الْعُلَمَاء: وَسَبَبُ عَدَمِ انْعِزَاله وَتَحْرِيم الخُرُوج عَلَيْهِ مَا يَتَرَتَّب عَلَى ذَلِكَ مِن الْفِتَن، وَإِرَاقَة الدِّمَاء، وَفَسَاد ذَات البَيْن، فَتَكُون الْمَفْسَدَة فِي عَزْله أَكْثَر مِنْهَا فِي بَقَائِهِ.”
[11] Shahih Bukhari, kitaabusy syahadat (tentang kesaksian), bab al-Qor’atu fil musykilaat (mengundi dalam hal-hal yang membingungkan), hadits no. 2686
حَدَّثَنِي الشَّعْبِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُدْهِنِ فِي حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا مَثَلُ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا سَفِينَةً فَصَارَ بَعْضُهُمْ فِي أَسْفَلِهَا وَصَارَ بَعْضُهُمْ فِي أَعْلَاهَا فَكَانَ الَّذِي فِي أَسْفَلِهَا يَمُرُّونَ بِالْمَاءِ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَتَأَذَّوْا بِهِ فَأَخَذَ فَأْسًا فَجَعَلَ يَنْقُرُ أَسْفَلَ السَّفِينَةِ فَأَتَوْهُ فَقَالُوا مَا لَكَ قَالَ تَأَذَّيْتُمْ بِي وَلَا بُدَّ لِي مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَنْجَوْهُ وَنَجَّوْا أَنْفُسَهُمْ وَإِنْ تَرَكُوهُ أَهْلَكُوهُ وَأَهْلَكُوا أَنْفُسَهُمْ
An Nu’man bin Basyir radliallaahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Perumpamaan orang yang menerjang hukum Allah dan orang berada padanya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di bagian bawah dan sebagian lagi di atas perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas sehingga mengganggu orang yang di atas. Lalu salah seorang yang di bawah mengambil kapak untuk membuat lubang di bawah kapal. Maka orang-orang yang di atas mendatanginya dan berkata: “Apa yang engkau lakukan?” Orang yang di bawah berkata: “Kalian telah terganggu karena aku sedangkan aku memerlukan air”. Maka bila orang yang berada di atas mencegah dengan tangan mereka maka mereka telah menyelamatkan orang tadi dan menyelamatkan diri mereka sendiri, namun apabila mereka membiarkan saja apa berarti dia telah membinasakan orang itu dan diri mereka sendiri”.
[12] Shahih Muslim, Kitabul Iman, bab bayaan kaunin nahyi ‘anil munkar minal iiman, hadits no. 177. فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ».
[13] Mirqatul Mafaatih, syarah (komentar atas kitab) Misykatul Mashaabih, juz 9, Kitabul adaab, bab al-amri bil ma’rufi, fashlul awal, hadits no. 5137, hal. 324, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut 2001. وقد قال بعض علمائنا الأمر الأول للأمراء والثاني للعلماء والثالث لعامة المؤمنين Mirqat al-Mafatih adalah Syarh (komentar dan penjelasan atas) kitab Misykat al-Masabih ditulis oleh al-Malla (al-Mulla) Ali al-Qari al-Harwi, asal Herat, Iran yang wafat pada 1014 H/1605 M.
Misykat al-Masabih ditulis oleh Waliyuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Khatib al-‘Amri al-Tabrizi. Digelarkan al-Tabrizi kerana dinisbahkan kepada Tibriz, yaitu satu kampung yang terletak di Azerbaijan sekarang ini. 737 H. Misykat al-Masabih adalah syarh (komentar dan penjelasan atas) atas kitab Mashabih as-Sunnah karya Imam Abu Muhammad al-Husayn bin Mas’ud bin Muhamad bin al-Farra’ al-Baghawi. Beliau dilahirkan pada 433H di satu kampung bernama ‘Bagh’ yang terletak di Khurasan (sekarang masuk Iran). Beliau akhirnya meninggal dunia pada bulan Syawwal tahun 510H.
[14] Kanzul Ummal, kitabul fadhoil, bab al-tsani, fii fadhoili saairul anbiya…al-fashlu al-tsani al-akmal, jilid 6, hal. 219; No. 32276-32277, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut 2004
32276 – النبيون مائة ألف وأربعة وعشرون ألف نبي والمرسلون ثلاثمائة وثلاثة عشر وآدم نبي مكلم
32277 – مائة ألف وأربعة وعشرون ألفا الرسل من ذلك ثلاثمائة وخمسة عشر جما غفيرا
( حم طب حب ك وابن مردويه هق في الأسماء – عن أبي أمامة ) قال قلت : يا رسول الله كم عدة الأنبياء ؟ قال : فذكره
[15] Syahadatul Quran, Ruhani Khazain, Jilid 6, hal. 332
[16] Al-Hakam, 10 Februari 1901, jilid 5, No. 5, hal. 1
[17] Izalah Auham, Ruhani Khazain jilid 3, hal. 596
[18] Al-Haqq Mubahatsah Dhelwi, Ruhani Khazain jilid 4, hal. 184
[19] Malfuzhat, jilid 1, hal. 171, Cetakan Rabwah
[20] Al-Hakam, 24 Mei 1901, No. 19, Jld. 5, hal. 9, kalam no 2
[21] Tarakal mualaat (meninggalkan kesetiaan) dan ahkaamul Islam (hukum-hukum Islam), dengan rujukan dari Anwarul Ulum, Jilid 5, hal. 259-260
[22] Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Penduduk Syam, Musnadil ‘Irbaadhi bin Saariyah, jilid 5, hal. 842. Hadis no. 17275, ‘Alamul kutub Beirut 1998
فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ حَدَّثَنَا
[23] Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qoulun Nabi satarowuuna ba’dii umuuron tunkiruunahaa, hadis no. 7052
[24] Shahih Muslim, Kitabul Imaaroh, Bab fii tho’atil umaro wa in mana’ul huquuq, hadis no. 4782
[25] Majmu’ah Isytiharaat, Jilid Awal, Hal. 159, Cetakan Rabwah
[26] Jang-e-Muqaddas, Ruhani Khazain jilid 6, hal. 255
[27] Zaruratul Imam, Ruhani Khazain jilid 13, hal. 493
[28] Malfuzhat, jilid awal, hal. 134, Edisi Baru
[29] Malfuzat, jilid 5, hal. 172-173, Edisi Baru
Hartal [secara harfiah berarti menutup toko] adalah istilah dalam bahasa-bahasa di Asia Selatan untuk aksi mogok, pertama kali digunakan selama Gerakan Kemerdekaan India. Ini adalah protes massa yang sering mencakup berhenti secara total di tempat kerja, kantor, toko, pengadilan sebagai bentuk pembangkangan sipil. Selain menjadi pemogokan umum, hartal juga melibatkan penutupan sukarela sekolah dan tempat usaha. Ini adalah cara menarik simpati dari pemerintah supaya mengubah keputusan yang tidak populer atau tidak dapat diterima.
[30] Al-Badar no. 8, jilid 9, 16 Desember 1909, halaman 4, kalam ke 2
[31] Dikutip dari surat kabar Al-Fazl Qadian, tanggal 10 Desember 1929, Nomor 47, jilid 17, halaman 6, kolom 1
[32] Al-Fazl, 6 Agustus 1935, jilid 23, nomor 31, halaman 10, kolom 3