Hakikat Nabi
عالِمُ الغَيبِ فَلا يُظهِرُ عَلىٰ غَيبِهِ أَحَدًا * إِلّا مَنِ ارتَضىٰ مِن رَسولٍ فَإِنَّهُ يَسلُكُ مِن بَينِ يَدَيهِ وَمِن خَلفِهِ رَصَدًا * لِيَعلَمَ أَن قَد أَبلَغوا رِسالاتِ رَبِّهِم وَأَحاطَ بِما لَدَيهِم وَأَحصىٰ كُلَّ شَيءٍ عَدَدًا
“Dia-lah yang mengetahui segala yang gaib; dan Dia tidak menyatakan rahasi-rahasia-Nya kepada siapapun, kecuali kepada Rasul-Nya yang diridhai-Nya. Dan kemudian Dia menyebabkan barisan penggiring, terdiri dari malaikat-malaikat pengawal, berjalan di hadapannya dan juga di belakangnya, supaya Dia mengetahui, bahwa mereka –Rasul-rasulnya – telah menyampaikan amanat Tuhan mereka. Dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan tentang segala sesuatu.” (QS Al-Jinn, 72: 27-29)
Pengertian Nabi dan Rasul
“Nabi” menurut bahasa Arab adalah bentuk mufrad (tunggal), sedang jamaknya adalah anbiyaa’ atau nabiyyuun. Nabi artinya orang laki-laki yang menyampaikan kabar gaib yang telah diterima dari Allah swt. Ahmad Warsan Munawwir menulis.
اَالنَّبِيُّ (ج) اَنْبِيَأءُ: الْمُخْبِرُ عَنِ اللهِ
Artinya, nanti bentuk jamaknya anbiyaa, yaitu orang laki-laki yang menyampaikan berita dari Allah swt.
Nabi juga disebut Rasul sebab jika dia bukan rasul tidak akan mendapat kabar gaib yang bersih dari Allah dan akan berlawanan dengan firman Allah swt (QS 72: 27-29)[1] di atas. Jadi setiap nabi dan rasul itu dipilih oleh Allah swt (QS 22:76) seperti Nabi Adam as, Nuh as, para nabi keturunan Ibrahim dan keturunan Imran (QS 3: 34). Nabi atau rasul itu wajib menyampaikan risalah Allah swtkepada umatnya, disamping itu ia juga mengumumkan bahwa dirinya seorang nabi dan rasul, meskipun ia seorang Nabi dan Rasul yang tidak membawa syariat. Dan setelah pendakwahan itu, kebanyakan umatnya yang tidak mau memahami akan memusuhinya, baik mereka tokoh masyarakat maupun kaum awam (QS 6: 113), atau umatnya yang suka berbuat dosa (QS 25: 32)
Menurut ajaran Islam, kenabian atau kerasulan itu ada dua macam yaitu nabi atau rasul yang membawa syariat (Nabi Tasyri’i), seperti Nabi Adam as, Nuh as, Nabi Ibrahim asm Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw. Dan nabi atau rasul yang tidak membawa syariat, seperti Nabi Ismail, Ishak, Ya’qub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa ‘alaihimus-salaam.
Allah swt berfirman:
وَاذكُر فِي الكِتابِ إِسماعيلَ ۚ إِنَّهُ كانَ صادِقَ الوَعدِ وَكانَ رَسولًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Quran). Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar-benar setia pada janjinya. Dan ia seorang Rasul, lagi seorang Nabi.” (QS Maryam, 19: 55). Jadi seorang Nabi adalah seorang Rasul juga.
Sedang nabi atau rasul yang tidak membawa syariat itu ada yang mustaqil (berdiri sendiri/tidak terikat) seperti para nabi yang diutus sesudah Nabi Musa as sampai sebelum Nabi Muhammad saw; Dan Nabi Ghairu Mustaqil (terikat) dengan kenabian Muhammad saw sebagai khaataman-nabiyyin, seperti Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as.
Nabi Palsu Pasti Dihukum
Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa Allah swttelah menyatakan dengan tegas bahwa Dia akan menghukum setiap orang yang mengaku dirinya telah dipilih oleh Allah swt sebagai nabi atau rasul. Dia akan menangkap dengan Tangan kanan-Nya dan memotong urat nadinya dan tidak akan ada seseorang yang mampu memberikan pertolongan untuk menghalangi hukuman-Nya itu (QS 69: 45-48).
Dalam sejarah umat Islam ada tiga puluh orang yang pernah mengaku sebagai nabi, dan mereka itu semuanya telah dibinasakan oleh Allah swt karena pengakuan yang mereka buat sendiri. Mereka itu adalah:
- Musailamah AL-Kadzdzaab
- Aswad Anshi (Shahih Bukhari)
- Ibnu Shayad (Shahih Muslim)
- Thulaihah Khuwailid
- Bahbud
- Laqid bin Malik ‘Azdi (Futuhatil-Islamiyati)
- Ustadz Syeis
- Mukhtar
- Laa
- Muchammad bin Faraj
- Abdullah bin Mainun
- Ghozali Syahir
- Faris bin Yahya
- Ishak Ihris (Khujajul-Kiraama)
- Ahmad Muslim Mutanabbi (Ibnu Khalqoon)
- Al-Basandi
- Nawakh Nabi (Kitab Taarikh Khulafaa)
- Abu Manshur (Kitaabul-Fikri fil-Firooq)
- Thoriq
- Sholeh bin Thorif (Kitab Ibnu Khaldun)
- Banan bin Sam’an (Kitaab Minhaajus-Sunnah)
- Kabi (Kitaab Iftiroosah)
- Mughiroh bin Sa’iid (Kasyful-Ghimmah)
- Shooleh bin Muhammad
- Ibrohim bin Kholaf bin Masyhur
- Abdullah bin Khafsh Al-Wakil
- Yahya bin Zakaria
- Yahya bin Anbasah Al-Quroisy (Miznul-I’tidaal)
- Khasan bin Ibrohim (Kitaab Itsnaa Mathlab)
- Malik bin Nuwairoh Banu Tamim (Kitaab Khoolid bin Waalid)[2]
Adanya para nabi palsu diatas itu merupakan bukti penggenapan kebenaran sabda Rasulullah, Muhammad saw dalam Hadis berikut ini:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَخْرُجَ ثَلَاثُوْنَ كَذَّابًا, كُلُّهُمْ يَزْعَمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ
“Masa peristiwa besar tidak akan terjadi hingga tiga puluh pendusta keluar, setiap mereka menyangka bahwa sesungguhnya ia adalah seorang nabi..”[3]
Maksud dari peristiwa besar itu adalah berupa kedatangan Imam Mahdi atau Masih Mau’ud as yang terjadi setelah 30 orang pendusta tersebut mendakwahkan dirinya sebagai nabi.
Jumlah Nabi atau Rasul
Nabi atau Rasul itu dibangkitkan oleh Allah swt pada setiap bangsa (QS 16: 37; 35:25). Mereka diberi tugas untuk menyatukan bangsa yang dipimpinnya dengan membawa berita baik yang menggembirakan dan berita buruk sebagai peringatan, menghakimi perselisihan diantara umatnya berdasarkan kitab dan memberi petunjuk umatnya ke jalan yang benar (QS 2:214), maka dari itu setiap Nabi wajib ditaati (QS 4:64).
Jumlah nabi itu banyak sekali. Menurut sabda Rasulullah saw ada 124.000,[4] namun tidak semua nama mereka itu disebutkan dalam kitab Al-Quran (QS 4:165; 40: 79). Adapun nama-nama nabi atau rasul yang disebutkan dalam Al-Quran itu sebagai berikut:
Adam (QS 3:34), Idris (QS 19:57), Nuh (QS 3:34; 4:164; 6:86), Hud (QS 26: 125), Sholeh (QS 11:62), Ibrahim (QS 3:34; 4:164; 38: 46), Luth (QS 11:78), Isma’il (QS 4:164; 6:88; 38: 49), Ishaq (4: 164; 6:86; 38:46), Yakub (4: 164; 6:86; 38: 46), Yusuf (6: 86), Dzulkifli (QS 38: 49), Syu’aib (QS 7: 86; 11: 85), Yunus (4: 164), Musa (4: 165; 6: 86), Harun (4: 164; 6: 86), Ilyas (QS 6: 87), Ilyasa (QS 6: 87), Daud (QS 4: 164; 6: 86; 38: 18), Sulaiman (QS 4: 164; 6: 86), Zakaria (QS 6: 87), Yahya (6: 87), Isa (QS 4: 164; 6: 86; 61: 7) ‘alaihimus-salam dan Muhammad (QS 3: 145; 48: 30) atau Ahmad saw (QS 61: 7)
Muhammad saw Khaatamun-Nabiyiin
Khaatam berasal dari kata “khatama” artinya mematerai, mencap, mengesahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah “ia mencap ujung benda itu atau menutupi benda itu atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan, dengan memberi tanda atau mencapkan secerca tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah materai jenis apapun. Khaatam berarti juga “sebentuk cincin stempel, sebuah segel atau materai dan sebuah tanda, ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda”. Kata itupun berarti “hiasan atau perhiasan terbaik atau paling sempurna”. Kata-kata khaatam, khatam dan Khaatim hampir sama artinya. [5] Maka, kata khaataman-nabiyyin akan berarti “materai para nabi, terbaik dan paling sempurna dari antara nabi nabi, hiasan dan perhiasan nabi-nabi”. Arti kedua adalah “nabi terakhir”. [6]
Maksud “Materi Para Nabi” ialah semua Nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw diakui kebenaran dan kesuciannya oleh beliau saw – dengan menegaskan bahwa mereka itu adalah para Nabi (QS 2: 286; 5: 48) dan Allah swt masih memilih Nabi-nabi lagi yang akan di bangkitkan sesudah Nabi Muhammad saw (QS 7: 36) dikarenakan mereka menaati Nabi Muhammad saw dengan sempurna (QS 4: 70). Terutusnya pada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw itu merupakan penggenapan doa Nabi Muhammad saw dan para pengikut beliau dalam shalawat atas Nabi pada tasyahud yang selalu dibaca dalam shalat.[7] dan doa dalam surat Al-Fatihah yang selalu dibaca setiap rakaat shalat.
Pengakuan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as Sebagai Nabi dan Rasul
Pada bulan November 1901 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as menegaskan kembali pendakwahannya bahwa Allah swt telah memberikan wahyu kepada beliau yang didalamnya mengandung kata-kata Rasul, Mursal, dan Nabi yang tidak hanya sekali atau dua kali saja, tetapi sampai beratus-ratus kali.[8]
Diantara pengakuan beliau as ialah:
اِنَّ اللهَ سَمَّانِيْ نَبِيًّا بِوَحْيِهِ وَكَذٰلِكَ سُمِّيْتُ مِنْ قَبْلُ عَلٰى لِسَانِ رَسُوْلِنَا الْمُصْطَفٰى
“Sesunggunya Allah telah menamakan Nabi kepadaku dengan Wahyu-Nya, demikian juga dia telah menamakan (Nabi) sebelum itu melalui sabda Rasul kita Al-Mushthofa (Muhammad saw).[9]
وَبِا لحَقِّ اُرْسِلْتُ فَمَالَكُمْ تَعْرِفُوْنَ
“Dan dengan benar aku telah diutus (sebagai Rasul) maka apa yang menyebabkan kamu tidak mengerti”. [10]
لَقَدْ اُرْسِلْتُ مِنْ رّبِّ الْعِبَادِ
“Sungguh aku telah diutus (sebagai Rasul) dari Tuhannya para hamba”. [11]
Namun perlu diingat bahwa kenabian atau kerasulan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as itu adalah kenabian ghoiru tasyri’i (kenabian tanpa syariat) dan ghoiru mustaqil (tidak berdiri sendiri, tapi terkait kepada Nabi Muhammad saw), sebagaimana pernyataan beliau:
“Tetapi aku tahun dan yakin bahwa Allah swt sesungguhnya akan menolong aku, sebagaimana dahulu kala Dia menolong Rasul-Nya seorang pun tiada dapat melawanku, sebab pertolongan Allah swt tidak bersama mereka. Dan kapan saja dan dimana saja aku mengingkari panggilan sebagai Nabi dan Rasul, maka artinya adalah tidak lain kecuali aku bukan seorang Nabi atau Rasul yang berdiri sendiri (mustaqil) atau nabi yang membawa syariat baru (syari’ah jadidah), tetapi dengan makna bahwa aku ini menerima karunia-karunia kerohanian dari Rasulullah saw karena aku menaati beliau saw serta dianugerahi nama dari yang mulia saw; maka dari itu aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah swt. Dengan demikian memang aku adalah Rasul dan Nabi, tetapi tidak membawa syariat baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari, malah dengan makna inilah Allah swt selalu memanggilku Nabi dan Rasul. Jadi sekarang ini juga aku tidak mengingkari kerasulan dan kenabianku secara makna yang aku sebutkan di atas.”[12]
Di antara bukti nyata bahwa pendakwahan diri beliau itu benar ialah adanya wujud Khilafat ‘alaa minhaajin-nubuwwah sebab Allah swt itu tidak pernah mengutus seorang Nabi atau Rasul kecuali diteruskan oleh khilafat.[13] Kini tahun 2017, Khilafatul-Masih genap memasuki 109 tahun. Dan Jamaah Islam Ahmadiyah yang telah didirikan pada tahun 1889 oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Al-Mau’uud as, kini sedang dipimpin Khalifatul-Masihnya yang kelima. Dan Jamaah ini telah menyebar ke seluruh dunia, benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika dan Australia serta di kepulauan-kepulauan, misalnya Indonesia, Filipina, Jepang, Fiji, Madagaskar, Papua Nugini, Mauritius dan lain-lain. Semoga Allah swt memberi taufik untuk bergabung ke dalam Jamaah Islam Ahmadiyah yang diridhai Allah swt dengan “menyatakan bai’at” kepada Imam yang sekarang sedang memimpin kaum Mukmin, dengan mengakui Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang telah dijanjikan – semata-mata hanya mengikuti sabda Rasulullah, Muhammad saw. Semoga Allah swt ridha kepada kita. Aamiin.
Sektab PB JAI, Cet. 1. 2017
[1] Penulisan nomor ayat Al-Quran dalam brosur ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammadsaw. riwayat sahabat, Ibnu Abbasra yang menunjukkan bahwa setiap Basmalah pada tiap awal surah adalah ayat pertama dari surah itu.
كَنَا لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتّٰى يَنْزِلَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Nabi Muhammadsaw. tidak mengetahui pemisahan antara surah itu sehingga bismillaahirrahmaanirrahiim turun kepada beliausaw..” [HR. Abu Daud, “Kitab Shalat” dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”]
[2] Majalah Sinar Islam, No. 1, tahun X, Januari 1960
[3] Ath-Thabrani dalam “Al-Kabir” dari Nua’aim bin Mas’ud ra; dan Kanzul-Umal, Juz XIV, Hadits no. 38372, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989
[4] Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, As-Sunan dari Abu Dzar dan Kanzul-Umal, Juz XI, Hadits no. 32276, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989
[5] Arabic-English Lexicon oleh E.W. Lane, Mufradat, Fath, & Zurqani
[6] Al-Quran Dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, editor Malik Ghulam Farid, dialih-bahasakan oleh Panitia Penerjemahan Tafsir Al-Quran Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jilid III – 1997, halaman 68)
[7] Ahmad bin Hambal dalam “Musnad”-nya, Ibnu Khibbab dalam “Shahih”-nya, Ad-Daruqutni dalam “As-Sunan”, Al-Baihaqi dalam “As-Sunan” – dari Abi Mas’ud Uqbah bin Amir ra; dan Kanzul-Ummal, Juz VII, Hadits no. 19888, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989
[8] Eik Ghalthy Ka Izalah, halaman 1
[9] Al-Istifta’, halaman 18
[10] Al-Istifta’ halaman 46
[11] Tuhfatu Baghdad, halaman 11
[12] Eik Ghalthy Ka Izalah, halaman 14
[13] Kanzul-Umal, Juz XI, Hadits no. 32246, ‘Allamah ‘Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi, Cet. Muassisah Al-Risalah, Bairut, Libanon 1989