Khotbah

Hakikat Doa dan Adab-adab Berdoa

Perlunya berdoa dan tanggungjawab kita mengenainya

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan nasehat-nasehat yang menyegarkan keimanan dari Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu wassalaam (علیہ الصلوٰۃ و السلام) mengenai hakikat doa, adab-adab berdoa, perlunya berdoa dan tanggungjawab kita mengenainya.

Prinsip Doa & Perlunya Kerendahan Hati & Ketabahan; Keraguan Tentang Doa; Doa Harus Dilakukan di Saat Nyaman dan Kesusahan; Berdoa kepada Tuhan Memerlukan Adab Penghormatan

Adab Shalat; Seseorang Harus Bertekun dan tidak Terburu-buru dalam Doa; Tautan Tubuh dengan Jiwa dalam Hubungannya dengan Doa; Mengorbankan Kenyamanan untuk Mencapai Kenikmatan dalam Shalat

“…pada saat keadaan baik dan nyaman pun kita hendaknya tetap mengarahkan perhatian pada doa…”


Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 Desember 2022 (Fatah 1401 Hijriyah Syamsiyah/ 22 Jumadil Awwal 1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford (Surrey), Britania Raya.

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ * (آمين)

Banyak orang bertanya mengenai doa. Akhir-akhir ini, secara khusus muncul pertanyaan berkenaan dengan Allah Ta’ala dan doa, sementara para pendukung atheisme (tidak percaya adanya Tuhan) di bawah suatu perencanaan sedang terus melancarkan serangan penuh terhadap Dzat Allah Ta’ala dan agama. Melalui berbagai sarana, mereka melakukan upaya untuk menjauhkan manusia dari Tuhan dan agama. Setan dengan mengenakan jubah ketulusan dan rasa kasihan kepada manusia, berusaha untuk memalingkan umat manusia dari agama dan Allah Ta’ala.

Dalam keadaan yang seperti ini, di beberapa tempat dan di berbagai kesempatan, pemikiran setan ini juga mempengaruhi orang-orang kita, atau perkataan orang-orang duniawi dan mereka yang menentang agama mulai menimbulkan kegelisahan-kegelisahan pada diri mereka berkenaan dengan agama dan Allah Ta’ala. Keraguan mulai muncul di hati mereka yang kurang pengetahuan.

Jika mengalami suatu musibah atau menghadapi kegagalan-kegagalan, mereka yang lemah iman dan kurang pengetahuan segera mulai berpikir bahwa apakah agama yang mereka anut itu salah dan sebenarnya tidak mengandung kebenaran, atau Dzat Allah Ta’ala tidak sedemikian rupa bersikap pengasih dan mendengar doa-doa serta mengeluarkan mereka dari musibah dan ujian. Atau keadaan yang tengah mereka alami itu menunjukkan bahwa, na’uudzubillah, Allah Ta’alatelah berbuat kejam pada mereka. Meskipun mereka berdoa, kegelisahan-kegelisahan tersebut tidak menjadi hilang.

Singkatnya, banyak pertanyaan seperti ini muncul dalam benak sebagian orang, khususnya orang-orang yang pandangan mereka selalu hanya tertuju pada hal-hal duniawi. Sebagian orang juga menulis kepada saya atau bertanya seraya menceritakan keadaan mereka, maka tampak bahwa di dalam hati mereka tidak terdapat keimanan pada Dzat Allah Ta’ala yang sebagaimana mestinya, dan di lingkungan tempat mereka tinggal, jika ada sedikit saja musibah menimpa mereka, maka timbul pemikiran-pemikiran buruk atau keraguan mulai muncul. Padahal semestinya mereka merenungkan keadaan diri mereka sendiri. Lihatlah, sejauh mana kita tengah berusaha untuk menunaikan hak Allah Ta’ala. Sejauh mana kita tengah berupaya untuk memperbaiki ibadah-ibadah kita. Sejauh mana kita telah meningkatkan tolok ukur doa-doa kita. Bagaimana keadaan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Pendek kata, hari ini saya akan menjelaskan tema doa dalam sudut pandang sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as). Kita banyak melihat tulisan-tulisan dan sabda-sabda beliau (as) berkenaan dengan hal ini. Banyak didapati dalam literatur. Bagaimanapun, saya akan menjelaskan beberapa hal, yang dengan itu hakikat doa, adabnya, tanggung jawab kita, kepentingannya dan berkenaan dengan keyakinan kepada Allah Ta’ala akan menjadi jelas, bahkan menjadi jelas secara meyakinkan.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda seraya menarik perhatian bahwa dalam keadaan yang baik pun hendaknya kita memberikan perhatian terhadap ibadah kepada Allah Ta’ala dan doa-doa sehingga doa-doa kita didengar dalam keadaan kesulitan, “Kasih sayang Allah Ta’ala turun kepada orang-orang yang dalam keadaan tentram merasa takut sebagaimana ia merasa takut ketika datang suatu musibah. Siapa yang dalam keadaan tentram tidak melupakan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala tidak akan melupakannya di kala musibah dan siapa yang melewati keadaan tentram dengan berleha-leha, dan baru mulai berdoa pada saat musibah, maka doa-doanya tidak akan dikabulkan. Ketika azab ilahi turun, maka pintu taubat menjadi tertutup. Alhasil, sungguh beruntung ia yang sebelum turunnya azab ilahi, sibuk dalam berdoa, memberikan sedekah, menghormati perintah ilahi dan menunjukkan kasih sayang terhadap makhluk Allah. Ia melaksanakan amalan-amalannya dengan memperindahnya. Inilah tanda-tanda keberuntungan”. Beliau (as) bersabda, “Pohon dikenali dari buahnya. Demikian pula, mudah untuk mengenali orang yang beruntung dan merugi.”

Dengan demikian, telah menjadi kewajiban seorang beriman sejati untuk tidak pernah melupakan hak Allah Ta’ala dan hak makhluk-Nya dalam keadaan yang baik dan jika ia menunaikan hak tersebut maka Allah Ta’ala sendiri akan mengeluarkannya dari masa-masa kesulitan dan mengabulkan doa-doanya. Alhasil, inilah pokok bahasan mendasar, bahwa kita hendaknya jangan malas dalam ibadah-ibadah dan doa-doa kita. Kesibukan-kesibukan duniawi janganlah menjadikan kita luput dari menunaikan hak Allah Ta’ala.

Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda seraya menjelaskan mengenai apa persyaratan ketika berdoa kepada Allah Ta’ala dan bagaimana adabnya (tata cara atau sopan santun) dan bagaimana Allah Ta’ala sendiri mengajarkan kita adab tersebut, “Sangatlah penting untuk memperhatikan adab  dalam melakukan permohonan kepada Allah Ta’ala. Ketika orang-orang yang berakal memohon sesuatu kepada raja, maka mereka selalu melakukannya dengan memperhatikan adab. Oleh karena itu, dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala telah mengajarkan mengenai bagaimana hendaknya permohonan dilakukan dan di dalamnya diajarkan:  الحمد للہ رب العالمین۔ artinya, segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam.” (artinya, pertama, sampaikanlah pujian pada Allah Ta’ala) “yang mana Dia adalah Ar-Rahmaan, yakni Yang Maha Memberi tanpa dimohon dan diminta. Kemudian Ar-Rahiim, yakni memberikan buah-buah yang baik atas kerja keras yang sungguh-sungguh dari manusia.” Kerja keras yang sungguh-sungguh, ini adalah kata-kata yang hendaknya direnungkan. Ar-Rahiim adalah, Allah Ta’ala menganugerahkan buah atas kerja keras yang sungguh-sungguh, dan tolok ukur dari kerja keras yang sungguh-sungguh adalah yang dijelaskan sendiri oleh Allah Ta’ala. Seseorang harus berjuang keras di jalan Allah Ta’ala.

Kemudian beliau (as) bersabda, Dia (Allah) adalah Maaliki yaumid-diin, artinya, ganjaran dan hukuman berada di tangan-Nya. Dia memberi kehidupan atau memberi kematian sesuai dengan kehendak-Nya. Pemberian ganjaran dan hukuman di akhirat maupun di dunia ada di tangan-Nya.”

Bukan hanya pemberian ganjaran dan hukuman di akhirat saja, di dunia ini pun, keputusan atas dampak-dampak perbuatan-perbuatan yang manusia lakukan ada di tangan Allah Ta’ala.

Beliau (as) bersabda, “Ketika manusia menyampaikan puji sanjung sedemikian rupa dalam corak ini maka ia akan menyadari betapa agungnya Tuhan, Dia adalah Rabb, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Ia mempercayai-Nya sebagai Yang Ghaib dan kemudian menyeru-Nya sebagaimana Dia hadir dan ada di hadapannya. Kemudian, ia menyadari bahwa Allah Ta’ala hadir dan setelah menyadari kehadirannya, apa yang ia serukan ialah, إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (artinya, Ya Allah! Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah, kami ingin beribadah dan untuk itu memohon pertolongan kepada Engkau) kemudian, ia berkata, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (artinya, jalan yang benar-benar lurus, tiada kebengkokan di dalamnya). Ada satu jalan yang merupakan jalan orang-orang buta, yang setelah melakukan kerja keras kemudian akan merasa lelah dan tidak membuahkan hasil apa pun dan ada satu jalan yang dengan bekerja keras akan mendapatkan hasil.

Kemudian selanjutnya yang ia katakan adalah: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ [yaitu, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka] dan itu adalah Shiraath Mustaqim – jalan lurus – yang dengan manusia menapakinya maka tersedia nikmat-nikmat. Kemudian: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan وَلَا الضَّالِّينَ dan bukan pula jalan orang-orang yang telah pergi jauh dan tersesat.”

Beliau (as) bersabda: “Maksud dari اھدنا الصراط المستقیم adalah, baik itu jalan pekerjaan-pekerjaan duniawi maupun agama. Misalnya ketika seorang tabib mengobati seseorang, jika ia tidak memperoleh suatu shiraath mustaqiim, maka ia tidak bisa melakukan pengobatan. Demikian juga semua pengacara dan setiap profesi serta disiplin ilmu memiliki satu shiraath mustaqiim, yang ketika mereka mendapatkannya, maka pekerjaan akan dengan mudah dilakukan.”

Oleh karena itu, dalam urusan-urusan duniawi pun, shiraath mustaqiim hendaknya dicari, dan ini hanya bisa dilakukan ketika terdapat hubungan dengan Allah Ta’ala. Di Majlis tempat beliau menyampaikan penjelasan ini, seseorang mengajukan keberatan, apa perlunya para nabi terhadap doa yang semacam ini? Ini adalah doa bagi orang-orang awam. Mengapa Hadhrat Rasulullah (saw) melakukannya? Padahal sejak awal beliau telah berada pada shiraath mustaqiim. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Mereka memanjatkan doa ini untuk peningkatan derajat dan kedudukan mereka. Bahkan, doa:  اھدنا الصراط المستقیم ini akan dipanjatkan oleh orang-orang mukmin di akhirat, karena sebagaimana Allah Ta’ala tidak memiliki suatu batasan, demikian juga kenaikan derajat dan kedudukan mereka pun tidak memiliki suatu batasan.”[1]

Alhasil, inilah adab yang apabila ketika melaksanakan salat atau berdoa diperhatikan, maka manusia akan menjalani suatu keadaan di mana ia meraih kedekatan dengan Allah Ta’ala dan pemahaman yang benar dalam mengungkapkan keperluan-keperluannya.

Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan lebih lanjut mengenai doa dan adabnya, “Doa adalah suatu hal yang sangat menakjubkan. Sayang sekali mereka yang berdoa tetapi tidak memahami cara berdoa yang benar, apalagi mengetahui cara-cara pengabulan doa. Bagi mereka ini, realitas doa merupakan suatu hal yang asing. Bahkan ada dari antara mereka yang sama sekali menyangkal kemujaraban doa. Ada pula mereka yang tidak menyangkal, namun karena doa mereka tidak dikabulkan, akibat dari kurangnya pemahaman cara berdoa dan bahkan bukan seorang pendoa yang benar maka sebenarnya keadaan mereka lebih buruk lagi dari mereka yang menyangkal kemujaraban doa. Keadaan seperti itulah yang telah mendorong banyak dari mereka ke arah ilhaad (atheisme).

Persyaratan pertama untuk berdoa adalah si pemohon jangan sampai jemu dan putus asa karena tidak ada suatu apa pun yang terjadi. Terkadang ada yang mendoa terus sampai sudah akan dikabulkan, tetapi si pemohon kemudian menjadi jemu dan hasilnya mengecewakan serta menimbulkan frustrasi. Frustrasi muncul sebagai akibat dari keraguan atas efektivitas suatu doa dan berakhir menjadi penyangkalan terhadap Tuhan. Mereka menyatakan, jika memang ada Tuhan yang menerima doa-doa manusia, kenapa doa mereka tidak dikabulkan padahal mereka sudah lama memohonkannya? Kalau saja mereka yang berfikir demikian itu mau merenungi kurangnya keteguhan hati mereka, mereka akan menyadari bahwa frustrasi mereka itu adalah hasil dari ketergesa-gesaan dan ketidaksabaran mereka sendiri.”

Jika seseorang tidak ada keteguhan, mudah goyah, tergesa-gesa, maka itu adalah kesalahan orang itu sendiri. Jika ada keteguhan, tidak tergesa gesa dan keimanan kuat, maka keadaan demikian tidak akan pernah muncul. Jadi jika doanya tidak dikabulkan, itu disebabkan oleh ketergesa-gesaannya. Kemudian beliau bersabda, “hal itu yang pada akhirnya menimbulkan pandangan salah terhadap kekuatan Allah Ta’ala dan berakhir dengan keputus-asaan. Karena itu janganlah pernah jemu.”[2]

Beliau as memberikan permisalan dalam kehidupan dunia dalam hal kesabaran yang harus dimiliki oleh pemohon doa dengan bersabda: “Berdoa itu sama seperti petani yang menebar benih. Ia menyesapkan benih yang bagus ke dalam tanah dan pada saat itu siapa yang bisa memperkirakan apakah benih itu akan tumbuh baik dan memberikan hasil? Orang luar dan si penanam itu sendiri tidak bisa melihat bagaimana benih itu di dalam tanah mengambil bentuk sebagai tanaman. Realitasnya dalam waktu beberapa hari, benih itu berubah dan mengambil bentuk sebagai tanaman yang tunasnya menyembul ke permukaan tanah, itulah keistimewaan benih, pertama akarnya menancap ke tanah lalu tunasnya muncul dan terlihat oleh siapa pun. Sejak saat ditanam sebenarnya benih itu telah mengadakan persiapan untuk menjadi tanaman, namun mata kita yang hanya bisa melihat suatu yang kasat mata tidak menyadarinya sampai kecambah benih muncul di atas permukaan tanah, semua orang dapat melihatnya. Namun, seorang anak yang awam pada tahapan demikian tidak bisa memahami bahwa tanaman tersebut akan memberikan hasil hanya pada saatnya berbuah.” Tanaman telah muncul dari benihnya dan buahnya muncul nanti pada tahapan selanjutnya, namun seorang anak kecil menyangka tanaman itu tidak berbuah. Ia menginginkan tanaman tersebut langsung menghasilkan buah.

“Ia berkata, ‘Mengapa tanaman ini tidak mengeluarkan buahnya segera?’ Seorang penanam yang cerdas lebih mengetahui bila saatnya tanaman itu akan memberikan hasil. Ia akan menjaganya secara tekun dan merawatnya hingga waktunya tanaman itu menghasilkan buah sampai saat masaknya.

Begitu juga halnya dengan berdoa yang harus dirawat dengan cara sama sampai membuahkan hasil. Mereka yang selalu tergesa-gesa akan cepat jemu dan menyerah, sedangkan mereka yang tekun akan berteguh hati yakni mereka yang bersabar akan terus tekun dalam menempuhnya disertai doa hingga akhirnya mencapai sasaran.” Maksudnya, mereka yang berpandangan jauh ke depan dan menunggu hasil dengan sabar tetap sibuk dengan pekerjaan mereka dan berdoa, dan mereka akhirnya mencapai tujuannya.

Selanjutnya dalam menjelaskan standar kesabaran si pemohon doa, beliau as lebih lanjut bersabda: “Sesungguhnya ada beberapa tahapan dalam cara berdoa yang jika tidak diketahui akan meluputkan si pemohon dari buah hasil doanya. Mereka selalu merasa tergesa-gesa dan tidak sabar menunggu, padahal kinerja Allah Swt selalu mengikuti proses tertentu. Tidak pernah terjadi ada manusia yang menikah hari ini lalu keesokan harinya sudah mendapat seorang anak. Meski pun Tuhan itu Maha Kuasa dan bisa melakukan apa pun yang diinginkan-Nya, namun tetap saja Dia akan mengikuti kaidah dan sistem yang telah diterapkan-Nya sendiri.

Pada tahapan awal dari proses kandungan seorang anak, tidak ada suatu apa pun yang terlihat seperti halnya perawatan tanaman.” (beliau (as) menjelaskan sebagaimana pertumbuhan tanam tanaman, pada awalnya tidak ada kepastian, begitupun proses kelahiran manusia atau hewan manapun beliau (as) mengajukan gambaran penciptaan manusia dan bersabda), “Selama empat bulan pertama belum ada kepastian. Baru kemudian terasa ada gerakan dan setelah waktunya yang penuh barulah anak itu lahir dengan cara yang sulit.”

Dokter di masa sekarang ini pun men-scan kandungan setelah dua belas minggu berlalu dan menyampaikan apa yang ada dalam kandungan. Jadi, meskipun dengan semua teknologi modern, para dokter mengetahui dengan baik kelahiran bayi dan juga melakukan scan kandungan ketika telah berlalu dua belas minggu. Pada masa ketika beliau (as) menjelaskan ini, saat itu belum ada teknologi seperti itu – tetapi, meskipun demikian, beliau (as) menjelaskan mengenai suatu hukum alam. Beliau (as) bersabda, “Kelahiran seorang anak juga merupakan kelahiran baru seorang ibu.” Maksudnya, ketika seorang anak itu lahir, ia pun tidaklah dilahirkan dengan keadaan yang nyaman. Itu penuh kesakitan. Sama halnya dengan kelahiran kembali si ibunya.

“Susah bagi seorang laki-laki membayangkan kesulitan yang harus dialami seorang wanita selama masa mengandung, tetapi nyatanya kelahiran anak tersebut seolah memberi kehidupan baru bagi sang ibu. Sekarang silahkan renungkan, pertama, ia bersedia mati guna kegembiraan telah melahirkan anaknya.

Begitu juga halnya dengan seorang pendoa dimana ia harus meninggalkan ketergesaan dan bersedia menanggung semua kesulitan, jangan tergesa gesa dan bersabarlah dalam menghadapi penderitaan terus menyibukkan diri untuk berdoa dan jangan pernah membayangkan bahwa doanya tidak diterima. Pada saatnya yang tepat nanti hasil doa akan mewujud sebagaimana seorang anak yang menjadi dambaan telah lahir. Suatu doa harus terus ditekuni sampai memberikan hasil yang diharapkan.” Maksudnya, berdoa hingga ke titik puncak tertentu.

Kalian tentunya tahu jika sepotong perca kain ditaruh di bawah kaca pembesar di bawah sinar matahari, sinar yang terkonsentrasi akan menaikkan suhu sampai suatu titik yang membakar perca tersebut. Begitu juga caranya dalam membawa doa sampai kepada titik yang memberikan kekuatan yang membakar segala kegagalan dan frustrasi serta mencapai hasil yang diharapkan.”

Alhasil, setiap orang yang berdoa akan mengetahui berdasarkan perkiraannya sendiri, apakah dia telah meraih standar tersebut ataukah tidak. Dengan mengutip satu bait perumpamaan dalam bahasa parsi, beliau (as) bersabda berkenaan dengan Allah Ta’ala: پیدا است ندارا کہ بلند است جنابت Terbukti dari doa bahwa singgasana Engkau amatlah tinggi.

Beliau (as) bersabda: “Kalian harus berdoa dalam waktu yang panjang, barulah Tuhan akan mengadakan hasilnya. Pengalaman saya sendiri yang juga sama dengan pengalaman para muttaqi di masa lalu bahwa biasanya jika diawali dengan kesunyian untuk jangka waktu lama maka ada harapan permohonan doa itu dikabulkan.” Maksudnya, ada kesempatan untuk memanjatkan doa lebih banyak. “…dan Allah akan menganugerahkan keberhasilan. Tetapi, suatu perkara yang dijawab segera maka hasilnya tidak pasti menguntungkan si pemohon.

Sebagaimana kita melihat dalam kehidupan dunia manakala seorang pengemis mendatangi seseorang dan memohon dengan rendah hati dan tekun serta tidak pindah dari tempatnya duduk meski telah diusir dan terus saja memohon maka yang dimintai walaupun ia bersifat kikir pada akhirnya akan tergugah untuk memberikan sesuatu. Tidakkah sepatutnya seorang pemohon doa juga memiliki ketekunan sebagai seorang pengemis?

Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih melihat hamba-Nya yang lemah bersujud demikian lama di hadirat-Nya, Dia pasti tidak akan membiarkan hamba-Nya itu merugi.”

Selanjutnya, beliau bersabda, “Bila seorang wanita hamil setelah empat atau lima bulan menjadi tidak sabaran untuk melihat anaknya dan mengupayakan melahirkan cepat dengan bantuan obat-obatan, tidak saja anaknya tidak akan lahir hidup tetapi ia sendiri juga akan mengalami kekecewaan berat. Begitu pula dengan orang-orang yang tidak sabar melihat hasil sebelum waktunya, bukan saja ia akan merugi tetapi juga membahayakan keimanannya sendiri. Dalam keadaan demikian itu orang lalu menjadi atheis.

Dulu ada seorang tukang kayu di desa kami yang isterinya sakit dan kemudian meninggal dunia. Ia mengatakan bahwa jika ada Tuhan, tentunya semua doanya akan dikabulkan dan isterinya tidak harus mati. Karena itulah ia kemudian menjadi atheis.

Seorang saleh yang melaksanakan kesetiaan dan ketulusan, maka keimanannya menjadi bertambah baik dan ia akan mencapai hasil yang diharapkan. Kekayaan duniawi ini tidak ada artinya dalam pandangan Allah Yang Maha Perkasa. Dia bisa melakukan apa pun setiap saat.”

Beliau (as) bersabda, “Tidakkah kalian melihat bagaimana Dia telah menjadikan umat yang tadinya sama sekali tidak dikenal sebagai raja-raja? Apalah keadaan bangsa Arab dulu selain kaum Badui saja? Namun, mereka (bangsa Arab) pernah memerintah dunia dan Dia menjadikan kerajaan-kerajaan besar tunduk kepada mereka serta Dia telah menjadikan hamba sahaya menjadi raja-raja? Jika seorang bertakwa dan menjadikan dirinya milik Tuhan semata, niscaya akan memperoleh kehidupan luhur sepanjang ia tulus dan bersiteguh hati. Hatinya tidak boleh guncang atau riya (memegahkan diri) atau pun syirik. Apa yang menyebabkan Nabi Ibrahim as diakui sebagai bapak agama-agama dan bapak kaum Hunafa (hanif, orang-orang tulus lagi saleh) serta dianugrahi demikian banyak berkat tidak terhitung atas dirinya? Itu adalah ketakwaan dan ketulusan beliau. Coba perhatikan, Nabi Ibrahim as telah mengajukan permohonan doa kepada Tuhan agar muncul seorang Nabi di Arab dari antara keturunan beliau. Apakah permohonannya dikabulkan secara langsung dan seketika? Tidak! Melainkan, setelah sekian lama sepeninggal Nabi Ibrahim as dan orang tidak ada lagi yang mengingat doa itu, nyatanya Tuhan kemudian mengabulkan permohonannya dengan menurunkan Hadhrat Rasulullah Saw yang menunjukkan betapa agungnya pengabulan doa tersebut.”

Alhasil, sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya, manusia janganlah hanya berdoa ketika dalam kesulitan, melainkan harus terus berdoa bahkan ketika Allah Ta’ala memberikan kelapangan. Seraya menjelaskan bahwa hendaknya ada hubungan satu sama lain antara tubuh dan ruh untuk pengabulan doa dan bagaimana hendaknya hubungan tersebut, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: Jika pelaksanaan shalat dan puasa tidak diiringi dengan keikhlasan dan ketulusan, maka ibadah itu tidak mengandung kebaikan apapun. Jika shalat banyak dijalankan, namun jiwanya tidak kunjung luluh, maka shalat itu tidaklah berfaidah baginya. Yogi dan Sanyasi/’Pendeta Hindu’ mereka pun menjalankan berbagai pertapaan. Sering tampak bahwa sebagian diantara mereka bahkan membiarkan tangan mereka hingga kurus kering. mereka mengangkat tangan mereka dan membiarkannya di atas sampai berhari-hari sehingga tangan mereka menjadi kurus kering. Mereka menempuh latihan-latihan sulit, dan sengaja memasukkan diri mereka ke dalam berbagai kesukaran dan musibah, tetapi kesulitan-kesulitan ini tidak akan menurunkan nur bagi mereka, dan mereka tidak akan dapat meraih ketenangan dan ketentraman jiwa, dan justru keadaan diri mereka sendiri yang akan menjadi rusak. Mereka melakukan latihan-latihan lahiriah yang kurang memiliki keterkaitan dengan batin manusia, dan tidak berpengaruh pada kerohanian mereka. Mereka dapat memperlihatkan latihan lahiriah mereka, mereka menempuh kesukaran demi kesukaran, mereka bahkan hidup dalam kelaparan dan menanggung penderitaan, tetapi mereka tidak dapat memperlihatkan contoh kerohanian. Oleh karena itulah Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran Syarif bahwa: لن ینال اللہ لحومھا ولا دماؤھا ولٰکن ینالہ التّقوی مِنکُم yakni daging dan darah dari pengorbanan-pengorbanan kalian tidak akan sampai kepada Allah Ta’ala, tetapi hanya takwa lah yang sampai kepada-Nya. Pada hakikatnya, Allah Ta’ala tidak menyukai hal yang tampak, tetapi Dia menghendaki kandungan di dalamnya. Kini yang menjadi pertanyaan adalah, jika daging dan darah tidak sampai pada-Nya dan hanya takwa lah yang sampai, maka kini apa perlunya untuk berkorban? Demikian pula, jika shalat dan puasa hanyalah ruh semata, maka apa perlunya hal yang zahir? jika ada yang melakukan shalat yang berdoa di dalam hati saja, lalu ia menangis, maka kini apa perlunya lagi [gerakan] memanjatkan doa di hadapan Allah Ta’ala seperti halnya [juga] berbagai corak shalat dalam agama terdahulu, yaitu berdiri, ruku, dan sujud.

Beliau (as) bersabda: Jawabnya adalah, merupakan hal yang pasti bahwa siapa saja yang meninggalkan penghambaan dengan perantaraan tubuhnya, maka ia tidak memahami keadaan rohnya. Dengan itu, ia tidak dapat menimbulkan kerendahan dan penghambaan yang merupakan tujuan utama dari ibadah. Lalu mereka yang hanya mengutamakan gerakan lahiriah, yaitu mereka yang tidak menyertakan ruh di dalamnya, sesungguhnya mereka pun jatuh ke dalam kesalahan yang berbahaya. Yogi pun termasuk dalam corak ini, yaitu mereka yang mempergunakan gerakan tubuhnya, dimana hal demikian tidaklah memiliki keterkaitan dengan roh manusia. Allah Ta’ala telah mengadakan suatu hubungan antara roh dan tubuh manusia, dan gerakan tubuh memberikan pengaruh kepada rohnya. Sebagai contoh: Jika ada seseorang yang hendak menangis dengan disengaja, maka pada akhirnya ia pun pasti akan sungguh menangis. Demikian juga seseorang yang ingin tertawa dengan disengaja, maka dengan sendirinya pun ia akan sungguh tertawa. Jadi, sebagaimana banyaknya gerakan-gerakan shalat yang melibatkan tubuh manusia, seperti berdiri, ruku’, maka seiring dengan ini, gerakan ini pun akan memberi pengaruh kepada ruhnya. kemudian sebagaimana tubuh memperlihatkan bentuk penghambaan, maka demikian dengan ini terlahir penghambaan yang serupa di dalam ruhnya. Betapapun sikap kerendahan dan penghambaan yang diperlihatkan dirinya, hal serupa akan lahir di dalam ruhnya, namun Tuhan tidak menerima gerakan sujud yang kosong. jika ia hanya melakukan sujud, dan di dalamnya tidak ada kerendahan hati, tidak ada penghambaan, ruhnya tidak selaras dengan gerakannya, maka Allah Ta’ala tidak akan mengabulkan sujudnya, karena sujud memerlukan suatu hubungan dengan ruh, dan karena inilah derajat yang tertinggi di dalam shalat adalah sujud. Tatkala manusia tiba di tingkatan yang paling tinggi dalam penghambaan, maka saat itu ia hanya ingin melakukan sujud. Ini adalah suatu hal fitrati dimana [saat itu] manusia berkehendak untuk memperlihatkan keadaan merendah yang paling puncaknya, yakni ia menunduk lalu bersujud.

Hudhur (as) bersabda: Keadaan ini pun dapat disaksikan dalam dunia hewan. Ketika anjing ingin memperlihatkan kecintaannya kepada majikannya, maka ia datang lalu meletakkan kepalanya di kaki majikannya, dan menampakkan gejolak kecintaannya dengan gerakan sujudnya. Dengan hal ini, maka jelas bahwa tubuh memiliki hubungan istimewa dengan ruh. Demikian pula pengaruh dari keadaan-keadaan ruh memberi warna kepada gerakan tubuhnya. Tatkala ruh mengalami kesedihan, maka ia pun menzahirkan pengaruhnya kepada tubuhnya, yakni linang air mata dan rasa sesak tampak darinya. Tabiatnya mulai berubah menjadi murung. Jika di dalam ruhnya terdapat kepedihan, jika kalbu manusia diliputi dengan kesedihan, maka tubuhnya pun akan tampak lesu dan lunglai, dan tabiatnya akan berubah menjadi murung. Keadaannya akan tampak pada orang lain, dan mereka merasakan tengah ada perubahan dalam dirinya. Ia tidak ingin untuk duduk di dalam suatu majlis, karena orang-orang akan bertanya apa gerangan yang terjadi padanya.

Hudhur (as) bersabda: Seandainya tidak ada keterkaitan antara ruh dan jisim, maka mengapa ini dapat terjadi?. Jantung pun memiliki tugas dalam hal peredaran darah, namun tidak dipungkiri juga bahwa jantung laksana suatu mesin untuk pengedaran [darah] ke seluruh tubuh. Darah berputar dengan perantaraan jantung, dan jantung berjalan seperti halnya sebuah mesin. Segala sesuatu berjalan dengan pengaturannya. Yakni dari tugas memompa darah oleh jantung inilah maka semua sistem lantas berjalan. Jadi, keduanya baik silsilah jasmani dan rohani berjalan bersama. Jantung memompa darah lalu berkontraksi, lalu kembali memompa dan berkontraksi, dan sistem inilah yang menggerakkan pengaturan jasmani manusia, yakni peredaran darah bersumber di sini.

Bersabda: Silsilah jasmani dan rohani pun berjalan serupa seperti demikian. Tatkala lahir sikap merendah di dalam ruh manusia, maka hal ini pun tampak dalam tubuh manusia. Maka dari itu, tatkala di dalam kalbu sungguh lahir sikap merendah dan penghambaan, maka pengaruhnya pun serta merta akan muncul pada tubuhnya. Demikian pula ketika tubuh menerima suatu respon, maka ruh pun akan menjadi terpengaruh darinya. Oleh karena itu adalah penting bahwa ketika manusia berdiri di hadapan Allah Ta’ala di dalam shalat, maka hendaknya ia pun di dalam dirinya menzahirkan sikap penuh kerendahan dan pengharapan. Meskipun saat itu hal ini merupakan satu corak kesengajaan, yakni ini termasuk dalam corak kesengajaan karena bukan hatinya yang berkehendak. Meski demikian, ia harus memaksa dirinya untuk menampilkan sikap merendah dan ia harus menjalankannya, karena dengan perlahan pengaruhnya akan menjadi nyata dan akan menjadi terbiasa menjalankannya, lalu ruh dan tubuh keduanya mulai bekerja bersama. Bersabda: Lalu secara pasti di dalam ruh pun menjadi terlahir sikap merendah dan penuh penghambaan. Kemudian ketika telah muncul keadaan seperti ini, maka kelezatan dalam shalat pun akan datang dalam diri manusia. Ia hadir di hadapan Allah Ta’ala tidak hanya demi tujuan dirinya, tetapi bahkan ia mencondongkan dirinya dalam ibadah dengan tujuan demi menjalin hubungan dan kecintaan kepada Allah Ta’ala.

Kemudian dalam menjelaskan lebih dalam beliau (as) bersabda, “Sebagian orang mengatakan, ‘Kami tidak mendapat kelezatan dalam shalat.’ Sesungguhnya ia tidak mengetahui bahwa kelezatan tidaklah ada dalam genggamannya dan kelezatan itu memiliki suatu kedudukan tertentu. Kemudian, tingkat kelezatan juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketika seseorang jatuh dalam kepedihan yang sangat tinggi, ia menganggap bahwa kesulitan itu pun merupakan suatu kelezatan.”

Beliau (as) menerangkan hal ini saat tengah terjadi perang kemerdekaan di Transvaal.[3] Beliau (as) bersabda: “Orang-orang yang bertempur di Transvaal, (beliau sampaikan sebagai contoh). Meskipun mereka kehilangan banyak nyawa, para wanita menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim, namun semangat membela bangsa dan tanah air menjadikan mereka menghadang maut dengan kelezatan dan kesenangan. Mereka melakukan pengorbanan demi bangsa mereka. Semangat membela bangsa dan tanah air membuat mereka siap menghadapi maut dengan rasa gembira. Bangsa mereka lalu menghargai kerja keras dan pengorbanan mereka. Mereka memiliki satu tujuan bangsa. tujuan mereka hanya satu. Segolongan melakukan berbagai pengorbanan dan ada golongan lain yang menghargai pengorbanan mereka. Di sini, mengapa perjuangan mereka harus dihargai? Hal itu karena kepedihan dan kesulitan yang mereka hadapi. karena mereka menghadapi berbagai kesukaran dan karena itulah mereka dihargai. Mereka dihormati karena kerja keras dan pengorbanan mereka, yaitu kesulitan-kesulitan yang mereka pikul dalam meraih kemerdekaan negara mereka.

Jadi, segenap kelezatan dan kenikmatan adalah datang setelah kepiluan. Karena itulah Allah Ta’ala mengajarkan asas اِنَّ مَعَ الْعسر یُسرًا Jika sebelum kemudahan tidak ada kesulitan, maka kemudahan itu bukanlah benar kemudahan. Demikian pula tatkala orang-orang berkata, ‘Kami tidak mendapat kelezatan dalam beribadah’, mereka pertama-tama harus merenungi keadaan mereka, betapa besar kesukaran dan kepayahan yang telah mereka tempuh untuk beribadah. Jika tidak ada kelezatan, maka pertama-tama lihat dan renungkanlah apakah ia telah memikul kesulitan demi ibadah. Betapa besar kedukaan dan kesulitan yang akan ditempuh oleh manusia, maka demikian pula besarnya kelezatan yang ia dapatkan sebagai gantinya.”

Beliau (as) bersabda: “Maksud kesulitan itu menurut saya bukanlah berarti manusia memasukkan dirinya ke dalam kesengsaraan yang tidak pada tempatnya lalu menyatakan bahwa dirinya telah memikul kesukaran yang luar biasa, namun yang dimaksud di sini adalah berupaya melaksanakan shalat dengan penuh persiapan, yaitu dengan tepat waktu dan dengan memenuhi segala kewajibannya, mengorbankan rasa kantuknya, mengorbankan usaha dan perniagaannya, lalu berupaya menjalankan shalat pada waktunya. Tanamkanlah rasa takut kepada keberadaan Allah Ta’ala. Ada sebagian orang yang juga tidak menanggung kesulitan apapun, atau ia tidak ingin menanggung kesulitan, atau ia menganggap cukup memohon doa kepada orang lain lalu berpikir bahwa masalahnya akan selesai. Tanyakanlah kepada mereka, terkadang jawaban yang diterima adalah mereka pun tidak mendirikan shalat lima waktu secara teratur.”

Satu ketika, ada seorang yang memohon doa kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) untuk ayahandanya, dimana doa ini bukanlah untuk kehendak pribadi tetapi untuk kemajuan agamanya. atas hal ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Berdoalah Anda dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana doa seorang ayah untuk putranya adalah makbul, demikian pula doa seorang anak kepada ayahnya adalah makbul.

Beliau bersabda: “Anda pun berdoalah dengan sungguh-sungguh (Hudhur bersabda kepadanya): Jika Anda pun berdoa dengan sungguh sungguh, maka saat itulah doa kami pun akan memberikan hasil. Jika Anda sendiri pun berdoa, maka saat itulah doa-doa saya pun akan terkabul. Jika tidak, maka tidak akan ada pengaruhnya. Alhasil, bagi orang-orang yang memohon doa, hendaknya mereka tidak tergantung pada doa-doa orang lain, tetapi mereka pun harus berdoa dengan sungguh-sungguh.”

Dalam menjelaskan mengenai jalan untuk meraih kelezatan dalam ibadah, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Ingatlah, tatkala manusia meninggalkan hal-hal yang ia cintai, (yang dalam pandangan Allah Ta’ala adalah dibenci dan bertentangan dengan kehendak-Nya) lalu memasukkan diri mereka dalam kesulitan-kesulitan maka pengaruh dari tubuh yang memikul berbagai kesulitan ini akan membekas juga pada ruhnya. Yakni kesulitan apa saja yang telah ia lalui. jadi, ini telah ia alami sebelumnya, bukan [dikatakan kemudian] hendaknya menanggung kesulitan. Menanggung kesulitan yakni hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang makruh/dibenci Tuhan, yang bertentangan dengan kehendak Allah. Mereka menanggung kesulitan dalam meninggalkannya, jadi tinggalkanlah itu. Pengaruh tubuh yang menanggung banyak kesulitan ini akan membekas pada ruhnya. Dengan adanya pengaruh pada ruh, maka bersamaan dengan itu muncul perubahan dalam dirinya, hingga kemudian ia dengan penuh kerendahan lantas tertunduk sujud di hadapan Singgasana Ilahi. Demikianlah tatkala kalian menanggung kesulitan-kesulitan, meninggalkan berbagai perkara demi Allah, maka hal ini akan membekas pada ruh. Tatkala ini membekas pada ruh, maka ruh itu akan sujud di hadapan Allah Ta’ala dalam shalatnya, sujudnya, dan ruku’nya. Inilah jalan untuk meraih kelezatan dalam ibadah.”

Hudhur (as) bersabda: “Kalian mungkin melihat banyak orang yang memahami bahwa jalan meraih kelezatan beribadah adalah dengan mendendangkan lagu, atau membunyikan perkusi dan inilah yang menjadi ibadah mereka. Mereka menutup mata dan pergi ke tempat tarian sufi lalu menganggap telah beribadah, atau mereka mendengar lantunan dan menganggap telah beribadah.”

Beliau bersabda: “Janganlah tertipu akan hal itu. Hal-hal ini mungkin memberi kelezatan pada hawa nafsunya, tetapi hal ini sama sekali tidak memberi kelezatan kepada ruhnya. Sifat kerendahan hati dan ketidakberdayaan tidak dapat dilahirkan dalam ruh dengan perantaraan hal tersebut dan maksud utama ibadah akan menjadi hilang.”

Beliau bersabda: “Di dalam tempat tarian pun seorang dapat meraih sedemikian rupa kesenangan. Jika seorang pria mendapat kelezatan seperti itu bahkan dalam lingkungan para pelacur maka apakah itu dianggap sebagai kelezatan ibadah? Ini adalah hal halus yang tidak dapat dipahami oleh bangsa lain karena mereka belum memahami maksud dan tujuan ibadah yang sebenarnya.

Dalam memberikan contoh kesetiaan Hazrat Ibrahim (as) dan menempatkan dirinya dalam kesulitan demi Allah Ta’ala dan sebagai akibatnya, bagaimana perlakuan Allah Ta’ala, beliau as bersabda: “Cara mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah dengan menunjukkan keikhlasan kepada-Nya. Inilah alasan kedekatan yang dicapai oleh Hazrat Ibrahim (as). Sebagaimana difirmankan, وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى Wa ibraahiimalladzii waffaa. Ibrahim adalah Ibrahim yang menunjukkan kesetiaan. Menunjukkan kesetiaan dan ketulusan serta keikhlasan hati kepada Tuhan menuntut suatu maut. Sebelum seseorang siap untuk melepaskan dunia dan semua kesenangan dan kegembiraannya, dan siap untuk menerima setiap penghinaan, kesulitan dan kedukaan demi Tuhan, kualitas ini tidak dapat tercipta. Penyembahan berhala tidak hanya berarti seseorang menyembah pohon atau batu, melainkan segala sesuatu yang menghalangi kedekatan dengan Allah Ta’ala dan mendapatkan keutamaan adalah berhala, dan manusia menyimpan begitu banyak berhala dalam dirinya sehingga dia bahkan tidak menyadari bahwa saya sedang melakukan penyembahan berhala.

Jadi, sebelum seseorang mengikhalaskan dirinya semata mata untuk Allah Ta’ala dan sebelum siap menanggung setiap kesulitan di jalanNya, maka akan sulit untuk mengembangkan warna ketulusan dan keikhlasan. Apakah Ibrahim (as) menerima gelar tersebut begitu saja? tidak. Suara yang mengatakan وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى  Ibrahimulladzii waffa datang ketika beliau bersedia mengorbankan putranya. Allah menginginkan tindakan dan dengan tidakanlah Dia akan senang, Adapun tindakan berasal dari penderitaan, tetapi ketika seseorang siap menderita untuk Tuhan, Allah tidak akan membuatnya menderita. Lihatlah, ketika Ibrahim ingin mengorbankan putranya untuk mematuhi perintah Allah Ta’ala dan mempersiapkan semuanya, Allah Ta’ala menyelamatkan putranya. Beliau dilemparkan ke dalam api tetapi api tidak dapat berpengaruh apa apa.

Jika Anda bersedia menderita di jalan Allah, maka Allah menyelamatkan Anda dari penderitaan. Di tangan kita adalah tubuh, bukan jiwa. Tubuh ada di tangan kita, bukan jiwa, tetapi tidak diragukan lagi bahwa jiwa (ruh) berhubungan dengan tubuh dan perkara jasmani berpengaruh pada jiwa. Oleh karena itu, jangan pernah berpikir bahwa tubuh tidak berpengaruh pada jiwa.

Sedemikian banyak tindakan yang dilakukan oleh manusia, dilakukan dengan gabungan yang sama. Yaitu, dengan menggabungkan tubuh dan jiwa. Tubuh atau jiwa tidak melakukan kebaikan atau kejahatan secara terpisah. Inilah sebabnya hubungan antara keduanya telah diperhitungkan dalam hukuman dan ganjaran.

Sebagian orang, karena tidak memahami rahasia ini, berkeberatan dengan mengatakan bahwa surga umat Islam adalah bersifat jasmani, namun mereka bahkan tidak memahami bahwa ketika tubuh itu menyertai pada saat melakukan perbuatan lantas mengapa tubuh harus dipisahkan pada saat hukuman.

Pendek kata, Islam memberikan jalan adil dan seimbang dengan meninggalkan kedua cara yang belebihan (الإفراط والتفريط). Kedua hal tersebut merupakan hal yang berbahaya dan harus dihindari. Penyiksaan yang terpisah tidak menghasilkan apa-apa dari tubuh dan dengan menuntut kenyamanan belaka tidak menghasilkan apa-apa. Menempatkan tubuh saja dalam keadaan tersiksa tidak ada gunanya dan jika engkau hanya mencari kesenangan maka tidak akan ada gunanya.” Artinya, tidak ada gunanya menjadikan tubuh saja dalam kesenangan dan kenyamanan melainkan, penting untuk menyatukan jiwa dan tubuh.

Cobaan juga datang pada saat berdoa. Hadhrat Masih Mau’ud as, memberikan contoh kaum Nabi Musa, bagaimana mereka menderita ujian dan cobaan begitu lama. Beliau as bersabda: “Untuk setiap pekerjaan ada masanya dan orang yang baik akan bersabar menunggunya. Dia yang tidak menunggu dan menginginkan hasilnya segera dan tergesa-gesa maka tidak akan berhasil. Menurut hemat saya, mungkin juga dan memang terjadi bahwa pada masa penantian doa, cobaan terus bermunculan sebagai bentuk ujian. Seperti ketika Hazrat Musa as datang untuk membebaskan Bani Israel dari perbudakan Firaun. Mereka (Bani Israel) sudah diberi tugas [oleh Firaun] untuk meletakkan batu bata selama setengah hari dan melakukan pekerjaannya sendiri selama setengah hari lainnya di Mesir. Mereka biasa libur setengah hari. Setengah hari untuk melakukan pekerjaan Firaun.

Tetapi ketika Hazrat Musa as berusaha memerdekakan mereka, mereka malah bertambah keras kepalanya dibandingkan sebelumnya sebagai akibat keburukan mereka maka pekerjaan bani Israil ditingkatkan disebabkan oleh kejahatan mereka. Sebagai hukuman, mereka disuruh membawa batu bata selama setengah hari dan mengambil rumput selama setengah hari.” Itu untuk mengerjakan pekerjaan Firaun. Mereka tidak punya waktu untuk diri mereka sendiri.

Ketika Hazrat Musa menerima perintah ini dan menyampaikannya kepada bani Israil, mereka sangat marah dan berkata, ‘Musa, semoga Tuhan memberimu penderitaan seperti yang telah kami terima.’ Mereka melontarkan doa-doa buruk lainnya juga untuk Nabi Musa namun Nabi Musa memberi tahu mereka untuk bersabar. Seluruh cerita ini tertulis dalam Taurat bahwa ketika Musa (as) menghibur mereka, mereka menjadi semakin marah. Akhirnya, diusulkan untuk melarikan diri dari Mesir, diusulkan untuk bermigrasi dari sana, dan mereka membawa serta pakaian dan perkakas orang Mesir. Mereka membawa apa pun yang mereka temukan. Ketika Hazrat Musa as berangkat bersama kaumnya, Firaun mengejarnya dengan pasukannya. Ketika Bani Israel melihat tentara Firaun di dekat mereka, mereka sangat cemas, sehingga tertulis dalam Al-Qur’an bahwa pada saat itu mereka berteriak dan berkata, إنا لمدركون Innaa lamudrokuun. ‘Hai Musa, kita akan tertangkap!’ Tetapi, Musa as yang melihat akhir dengan mata kenabian, memberinya jawaban ini, كلا إن معي ربي سيهدين ‘Kalla inna Ma’iya Rabbi Sayahdiin.’ – ‘Tidak mungkin. Tuhanku bersamaku.’

Tertulis dalam Taurat bahwa mereka juga bertanya apakah tidak ada kuburan bagi kami di Mesir dan kekhawatiran ini muncul karena pasukan Firaun berada di belakang dan Sungai Nil di depan.” Mereka mengatakan bahwa jika kita tinggal di Mesir, kita akan mati juga di sana, kita akan dikuburkan juga di sana. Mereka sekarang dalam kesulitan besar karena ada sungai di depan sementara pasukan di belakang mereka yang akan membunuh mereka semua. Mereka sangat khawatir.

Beliau (as) bersabda, “Mereka menyaksikan bahwa mereka tidak dapat melarikan diri dengan mundur ataupun maju. Tapi Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka menemukan jalan melalui Sungai Nil dan semua orang Israel menyeberang dengan mudah, sedangkan pasukan Firaun tenggelam. Ini merupakan mukjizat agung bahwa Allah Ta’ala menciptakan jalan bagi mereka pada saat seperti itu dan inilah yang terjadi pada orang yang bertakwa bahwa dia mendapat kemudahan dan jalan dari setiap kesulitan. يجعل له مخرجا Yaj’al lahuu makhrajaa

Alhasil, sepanjang waktu jeda di antara pengajuan permohonan doa dengan pengabulannya, seseorang terkadang ditimpa cobaan demi cobaan, beberapa di antaranya bisa mematahkan pinggangnya. Seorang pemohon yang bersiteguh dan berfitrat baik akan mencium keharuman karunia Ilahi dalam masa cobaan dan kesulitan tersebut dan fikirannya menyadari bahwa cobaan tersebut akan diikuti oleh pertolongan Ilahi.

Salah satu aspek dari cobaan demikian adalah lebih tingginya hasrat berdoa. Tambah berat kegalauan yang diderita si pemohon, tambah mencair kalbunya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pengabulan doa.” Timbulnya ratapan, rintihan tangis dan bertambahnya perhatian akan doa-doa merupakan bukti bahwa Allah Ta’ala ingin mengabulkan doa doa. “Karena itu janganlah patah hati dan jangan berprasangka buruk terhadap Tuhan hanya karena ketidak-sabaran dan kegelisahan. Jangan pernah berfikir bahwa doanya tidak dikabulkan atau tidak akan dikabulkan. Pandangan demikian merupakan penyangkalan terhadap fitrat Ilahi bahwa Dia مجيب الدعوات – Maha Pengabul doa.”

Jika terjadi mulai timbul pemikiran dalam diri manusia perihal menolak keberadaan Tuhan dalam corak ini, maka dapat mengantarkan pada atheisme. Sebagaimana telah saya sampaikan pada masa ini segenap fokus para penolak keberadaan Allah dan agama ialah bagaimana menggelincirkan hati dengan pemikiran, apa yang sudah Tuhan berikan kepadamu, apa manfaat agama, agama membuat kita malas, agama menimbulkan ilusi dalam benak kita.

Dalam keadaan seperti ini setiap Ahmadi bertangsung jawab untuk menciptakan jalinan yang kuat dengan Allah Ta’ala, jangan hanya bersifat sementara atau ketika perlu saja bahkan lakukanlah ibadah dan jalinlah hubungan dengan Allah Ta’ala walau dalam keadaan damai dan nyaman dan jagalah ibadah ibadah kita dan timbulkanlah keyakinan akan doa. Jadi, inilah tanggung jawab seorang Ahmadi, inilah hak baiat yang harus dipenuhi, Hazrat Aqdas Masih Mauud as bersabda, “Jemaat kita perlu meningkatkan keimanannya. Semoga tercipta keyakinan dan makrifat akan Allah Ta’ala. Jangan lengah dan lelah dalam beramal saleh, karena jika malas maka berwudhu juga akan dianggap sebagai suatu kesulitan, terlebih tahajud.” Bangun untuk Tahajud merupakan hal yang luar biasa, wudhu untuk shalat lima waktupun akan dirasa sulit. Beliau as berkata, “Jika kekuatan amal saleh tidak tercipta dan tidak ada semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Jika itu tidak ada dalam diri kalian, maka percuma saja menjalin hubungan denganku.”

Jadi, kita harus berusaha untuk meningkatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala dengan mengerahkan segenap perhatian. Jika hubungan hakiki ini terscipta, maka kitapun akan menyaksikan pemandangan terkabulnya doa doa. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita Taufiq untuk itu.

pada hari-hari ini Banyak berdoa khususnya bagi para Ahmadi di Pakistan. Upaya sedang dilakukan untuk menciptakan lebih banyak kesulitan bagi para Ahmadi disana. Demikain pula, doakan juga untuk para Ahmadi Aljazair, disanapun saat ini para penentang tengah memanas dan menimbulkan banyak masalah. Demikian pula di tempat-tempat lain di mana para Ahmadi menghadapi kesulitan, semoga Allah SWT melindungi setiap Ahmadi di mana pun dan menyelamatkan mereka dari setiap masalah dan menghancurkan para musuh.[4]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Suratkabar al-Badr, 13-2-1903.

[2] (الملفوطات ج4)

[3] Perang antara kaum Boer (orang-orang keturunan Belanda di Afrika Selatan yang kebanyakan peladang dan petani) dan merasa sudah bertanah air dan bernegara lebih dulu di bagian Afrika tersebut demi mempertahankan kemerdekaannya melawan orang-orang Inggris yang dianggap ingin menjajah. Pada saat itu Inggris mendatangkan tentara juga dari tanah jajahannya untuk bekerja di bawahnya, seperti orang-orang India.

[4] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Referensi: www.IslamAhmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).

Tim Ahmadiyah.Id