Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 102, Khulafa’ur Rasyidin Seri 08)

Baca juga:

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 22 Januari 2021 (Sulh 1400 Hijriyah Syamsiyah/09 Jumadil Akhir 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

.أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada hari ini saya akan mulai dengan Riwayat Hadhrat ‘Utsman ra yang akan berlangsung sampai beberapa minggu ke depan. Berkenaan dengan Hadhrat ‘Utsman, hal pertama perlu diingat bahwa beliau sendiri tidak ikut serta pada perang Badr. Beliau termasuk 8 sahabat yang beruntung yang ditetapkan oleh Rasulullah (saw) ikut serta pada perang Badr dan berhak mendapatkan bagian harta ghanimah. Nama lengkap beliau, (عُثْمَانُ بنُ عَفَّان بنِ أَبي العَاصِ بنِ أُمَيَّة بن عَبْدِ شَمْس بن عبد مناف بن قصي بن كلاب) ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushayy bin Kilab. Dengan demikian, mata rantai asal keturunan beliau (ra) bertemu dengan Hadhrat Rasulullah (saw) shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pada garis kelima yakni Abdu Manaf.[1] Ibunda Hadhrat ‘Utsman bernama Arwa binti Kuraiz (أَرْوَى بنت كرَيْز بن ربيعة بن حَبِيب بن عَبْدِ شمس). Nenek Hadhrat ‘Utsman bernama Ummu Hakim al-Baidha binti ‘Abdul Muththalib (أُمُّ حَكِيمٍ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ، وَهِيَ الْبَيْضَاءُ) yang merupakan saudari kandung ayahanda Rasulullah (saw), Hadhrat Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Berdasarkan satu riwayat ayahanda Rasulullah (saw) terlahir kembar dengan nenek Hadhrat ‘Utsman.

Ibu Hadhrat ‘Utsman bernama Arwa binti Kuraiz baiat masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah lalu hijrah dari Makkah ke Madinah dan terus menetap di Madinah sampai kewafatannya pada zaman kekhalifahan Hadhrat ‘Utsman. Ayahanda Hadhrat ‘Utsman wafat pada zaman Jahiliyah.[2]

Berkenaan dengan nama panggilan Hadhrat ‘Utsman diterangkan bahwa pada zaman jahiliyah Hadhrat ‘Utsman dipanggil Abu Amru. Ketika terlahir putra beliau bernama Abdullah dari kandungan Hadhrat Ruqayah binti Rasulullah (saw), sesuai dengan itu nama panggilan beliau yang dikenal di kalangan umat Islam menjadi Abu Abdullah.[3]

Menurut Ibnu Ishaq, Hadhrat Rasulullah (saw) menikahkan putri beliau, Hadhrat Ruqayyah (ra) dengan Hadhrat ‘Utsman ra, yang mana Hadhrat Ruqayyah (ra) wafat pada masa perang Badr. Setelah itu Rasulullah (saw) menikahkan putri kedua beliau, Hadhrat Ummu Kultsum dengan Hadhrat ‘Utsman. Karena itu Hadhrat ‘Utsman dijuluki dzun nurain (Pemilik Dua Cahaya).[4]

Diterangkan juga bahwa alasan lain beliau dijuluki Dzun Nurain adalah karena beliau banyak sekali menilawatkan Al Quran di malam hari ketika shalat tahajjud. Karena Al Quran merupakan Nur dan begitu juga ibadah malam merupakan nur sehingga beliau disebut dzun nurain yakni dikenal dengan sebutan pemilik dua nur. Itu adalah Riwayat lain.[5]

Berkenaan dengan kelahiran Hadhrat ‘Utsman, berdasarkan riwayat yang sahih, terlahir di Makkah 6 tahun setelah tahun gajah.[6] Dikatakan juga bahwa beliau lahir di Thaif. Beliau lebih kurang 5 tahun lebih muda dari Rasulullah (saw).[7]

Berkenaan dengan baiatnya beliau diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman (يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ) yang meriwayatkan, خَرَجَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ , وَطَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ عَلَى أَثَرِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ , فَدَخَلاَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم , فَعَرَضَ عَلَيْهِمَا الإِسْلاَمَ , وَقَرَأَ عَلَيْهِمَا الْقُرْآنَ , وَأَنْبَأَهُمَا بِحُقُوقِ الإِسْلاَمِ , وَوَعَدَهُمَا الْكَرَامَةَ مِنَ اللهِ , فَآمَنَا وَصَدَّقَا ، فَقَالَ عُثْمَانُ :  “Suatu ketika Hadhrat ‘Utsman dan Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah keduanya berangkat di belakang Hadhrat Zubair bin Awwam dan hadir di hadapan Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) menyampaikan pesan Islam kepada mereka berdua, memperdengarkan Al-Qur’an dan menjelaskan kepada mereka perihal hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam (ajaran) Islam. Beliau (saw) juga menjanjikan kepada mereka berdua kemuliaan yang akan didapatkan dari Allah Ta’ala. Keduanya lalu baiat masuk Islam dan membenarkan Rasulullah (saw).

Hadhrat ‘Utsman berkata, يَا رَسُولَ اللهِ قَدِمْتُ حَدِيثًا مِنَ الشَّامِ فَلَمَّا كُنَّا بَيْنَ مَعَانٍ وَالزَّرْقَاءِ “Wahai Rasulullah (saw)! Saya baru-baru ini pulang dari negeri Syam dan ketika saya tiba di Ma’aan dan Zarqa dalam perjalanan pulang.”

Ma’aan adalah sebuah kota yang terletak di Urdun (Yordania) bagian selatan dan di dekat perbatasan dengan Hijaz (Arab Saudi). Sedangkan Zarqa terletak di dekat Ma’aan.

Dikatakan oleh Hadhrat ‘Utsman, “Ketika kami sampai di antara Ma’aan dan Zarqa kami memasang tenda di sana untuk beristirahat. Ketika kami tengah tidur, ada seseorang yang mengumumkan, أَيُّهَا النِّيَامُ ، هُبُّوا ؛ فَإِنَّ أَحْمَدَ قَدْ خَرَجَ بِمَكَّةَ ‘Wahai orang-orang yang tidur! Bangunlah! Ahmad telah datang di Makkah.’ Sepulangnya kami dari sana, kami mendengar kabar perihal Anda (Rasulullah saw).”[8]

Hadhrat ‘Utsman termasuk yang baiat pada masa awal, sebelum Rasulullah (saw) memasuki Darul Arqam.[9]

Setelah baiat, beliau mengalami penganiayaan. Musa bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, “Setelah ‘Utsman bin Affan baiat masuk Islam, paman beliau Hakam bin Abul ‘Ash menangkap dan mengikat beliau dengan tali dan berkata, ‘Apakah kamu meninggalkan agama leluhurmu dan memilih agama yang baru? Demi Tuhan, tidak akan kubuka ikatan ini, sebelum kamu mau melepaskan agama baru ini.’

Hadhrat ‘Utsman menjawab, ‘Demi Tuhan! Saya tidak pernah meninggalkan agama ini dan tidak juga akan berpisah darinya.’ Ketika Hakam melihat kokohnya keimanan Hadhrat ‘Utsman atas Islam, terpaksa ia melepaskan Hadhrat ‘Utsman.”[10]

Ketika Hadhrat ‘Utsman menikah dengan Hadhrat Ruqayah, dijelaskan bahwa sebelum pendakwaan kenabian Rasulullah (saw), Hadhrat Ruqayah telah dijodohkan dengan putra Abu Lahab yang bernama Utbah sedangkan Hadhrat Ummu Kultsum dijodohkan dengan saudaranya Utbah.

Ketika surat al-Masad atau Al-Lahab turun, ayah mereka (Abu Lahab) berkata kepada mereka, “Jika kalian tidak tinggalkan putrinya Muhammad (saw), Ayah tidak akan menjalin hubungan lagi dengan kalian, tinggalkan perjodohan ini.” Sebelum Rukhstanah mereka (serah terima dan boleh berkumpul), kedua putra Abu Lahab menceraikan kedua putri Rasulullah (saw).[11]

Setelah Hadhrat ‘Utsman bin Affan menikahi Ruqayyah di Makkah lalu hijrah bersamanya ke Habsyah. Hadhrat Ruqayyah dan Hadhrat ‘Utsman keduanya sama-sama memiliki paras yang indah sebagaimana dikatakan, أَحْسَنُ زَوْجَينِ رَآهُمَا إِنْسَانُ رُقَيَّةُ وَزَوْجُهَا عُثْمَانُ ‘Ahsanu zaujaini ra’aa humaa insaanu Ruqayyata wa zaujuhaa Utsmanu’ – artinya, “Pasangan paling indah yang pernah dilihat oleh manusia adalah Hadhrat Ruqayyah dan suaminya yaitu Hadhrat Utsman radhiyaLlahu ‘anhuma.”[12]

Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi (عَبْدِالرَّحْمَنِ بن عُثْمَانَ الْقُرَشِيِّ) meriwayatkan, أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى ابْنَتِهِ وَهِي تَغْسِلُ رَأْسَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ: يَا بنيَّةُ ! أحْسِني إِلَى أَبِي عَبْدِاللَّهِ فَإِنَّهُ أَشْبَهُ أَصْحَابِي بِي خُلُقاً “Rasulullah (saw) berkunjung ke rumah putri beliau yang saat itu tengah membasuh kepala Hadhrat ‘Utsman. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Nak! Perlakukanlah Abu Abdillah dengan baik, sesungguhnya diantara sahabat Ayah yang paling mirip dengan Ayah dari sisi akhlak adalah ia.’”[13]

Ibnu Ishaq (مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ) berkata: “Ketika Rasulullah (saw) melihat para sahabat beliau mengalami ujian penganiayaan sedangkan beliau (saw) sendiri dalam keadaan relatif aman dan baik-baik saja disebabkan oleh maqom dan martabat beliau dalam pandangan Allah Ta’ala dan juga berkat bantuan perlindungan paman beliau bernama Abu Thalib, namun Rasulullah (saw) tidak mampu menghentikan keadaan teraniaya yang dialami para Sahabat. Rasulullah (saw) bersabda kepada para sahabat, ‘Alangkah baiknya jika kalian hijrah ke negeri Habsyah, di sana terdapat seorang Raja yang yang tidak menganiaya siapapun mereka yang dibawah kekuasaannya dan itu adalah negeri yang baik sehingga Allah Ta’ala akan memberikan kebebasan atas kalian dari penganiayaan ini.’ Setelah itu sebagian sahabat hijrah ke Habsyah karena khawatir akan penganiayaan dan untuk mencari Allah Ta’ala melalui agama-Nya meninggalkan Rasulullah (saw). Hijrah tersebut merupakan Hijrah pertama dalam Islam… Diantara yang hijrah ke Habsyah adalah Hadhrat ‘Utsman dan istrinya Hadhrat Ruqayyah binti Rasulullah (saw).” [14]

Hadhrat Anas meriwayatkan, “Hadhrat ‘Utsman hijrah ke Habsyah disertai oleh istri beliau Hadhrat Ruqayyah putri Rasulullah (saw). Namun, kabar tentang mereka belum juga sampai kepada Rasulullah (saw).” Maksudnya, belum ada kabar bagaimana keadaan mereka, sampai dimana dan sebagainya. “Selanjutnya, Rasulullah (saw) keluar dan mencari tahu kabar tentang mereka. Datanglah seorang wanita yang mengabarkan mengenai mereka kepada Rasulullah (saw) lalu Rasulullah (saw) bersabda, أَوَّلَ مَنْ هَاجَرَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِأَهْلِهِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ ‘Utsman adalah orang pertama setelah Nabi Luth yang hijrah di jalan Allah beserta keluarga.’”[15]

Hadhrat Sa’d meriwayatkan, “Ketika Hadhrat ‘Utsman bin Affan berrencana untuk hijrah ke negeri Habsyah, Rasulullah (saw) bersabda kepada beliau, ‘Bawa sertalah Ruqayyah, saya rasa, nanti kalian akan saling menyemangati satu sama lain.’ Selanjutnya, beberapa lama kemudian, Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Asma binti Abu Bakr, ‘Pergilah untuk mencari tahu kabar mengenai mereka berdua, bagaimana keadaan mereka, sudah sampai mana dan sebagainya.’ Sekembalinya Hadhrat Asma, Hadhrat Abu Bakr sedang bersama dengan Rasulullah (saw). Hadhrat Asma mengabarkan, ‘Hadhrat ‘Utsman mendudukkan Hadhrat Ruqayyah diatas hewan tunggangan baghal dan pergi menuju tepi laut.’[16] Rasulullah (saw) bersabda, يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّهُمَا لَأَوَّلُ مَنْ هَاجَرَ بَعْدَ لُوطٍ وَإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ ‘Wahai Abu Bakr! Mereka berdua adalah pasangan pertama yang hijrah setelah Nabi Luth dan Nabi Ibrahim (‘alaihimash shalaatu was salaam).’[17]

Dijelaskan pula berkenaan dengan kepulangan mereka dari Habsyah. Ibnu Ishaq mengatakan, “Para Sahabat yang telah hijrah ke Habsyah mendapatkan kabar bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam. Setelah mengetahui hal itu, para Muhajirin kembali ke Makkah. Ketika mendekati kota Makkah, mereka baru menyadari bahwa kabar itu adalah palsu, akhirnya mereka tetap memasuki Makkah secara diam-diam atau dengan meminta perlindungan dari para tokoh Makkah [yang karena bersimpati atau atas dasar adat dan kehormatan]. Diantara para Muhajirin tersebut sebagian ada yang kemudian hijrah ke Madinah dan ikut serta dengan Rasulullah (saw) dalam perang Badr dan Uhud. Sebagiannya lagi ada juga yang ditahan oleh orang Kuffar di Makkah sehingga tidak dapat ikut pada perang Badr dan yang lainnya. Dari antara para Muhajirin Habsyah yang selanjutnya hijrah ke Madinah ialah Hadhrat ‘Utsman (ra) dan istrinya, Hadhrat Ruqayyah putri Rasulullah (saw).”[18]

Tertulis dalam sebuah Kitab bahwa Hadhrat ‘Utsman beberapa tahun tinggal di Habsyah. Setelah itu, ketika para muhajirin mendapatkan kabar palsu mengenai baiatnya para penduduk Makkah, mereka kembali ke Makkah, begitu juga Hadhrat ‘Utsman. Sesampainya di Makkah diketahui bahwa kabar tersebut palsu sehingga sebagian sehabat tadi kembali lagi ke Habsyah, namun Hadhrat ‘Utsman tetap menetap di Makkah hingga ada kemudahan untuk hijrah ke Madinah. Rasulullah (saw) menghimbau para sahabat untuk hijrah ke Madinah, Hadhrat ‘Utsman pun hijrah ke Madinah bersama keluarganya.[19]

Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Hadhrat ‘Utsman hijrah lagi ke Habsyah.[20] Tetapi, kebanyakan buku sejarah tidak menyebutkan bahwa beliau hijrah lagi ke Habsyah. Dalam hal terkait latar belakang Hijrah kedua kali ke Habsyah yang disebutkan dalam buku-buku sejarah dan Hadits, para penulis sejarah yang berhati-hati dan sangat cermat (telilti) tidak membenarkan begitu saja karena secara dirayat (logika dan konteks isi riwayat) tidak mungkin.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad telah melakukan penelitian dalam menjelaskan perihal hijrah Habsyah. Meskipun uraian beliau (ra) ini sebagian telah saya sampaikan sebelumnya dalam topik sahabat lain, namun penting juga saya sampaikan pada kesempatan ini. Penelitian beliau sebagai berikut, “Ketika penderitaan umat Muslim sudah sampai pada puncaknya dan Quraisy semakin menjadi-jadi dalam penganiayaan, Hadhrat Rasulullah (saw) memerintahkan umat Muslim, ‘Jika kalian keluar untuk hijrah ke Habsyah, niscaya kalian temui di sana seorang Raja adil dan menyukai keadilan. Dalam pemerintahannya tidak ada kezaliman kepada siapapun.’[21]

Negeri Habasyah dalam Bahasa Inggris disebut Etiophia dan/atau Abbesinia, dikatakan letaknya berada di sebelah timur laut benua Afrika. Dari sisi letak terletak tepat berhadapan dengan Arabia bagian selatan. Di tengah-tengah keduanya selain Laut Merah, tidak ada lagi. Pada masa itu di Habsyah berdiri sebuah pemerintahan Kristen yang kuat dan rajanya disebut dengan gelar Najasyi (Negus), bahkan sampai saat ini penguasanya disebut dengan nama tersebut.

Habasyah dan Arabia memiliki hubungan dagang.[22] Negeri yang tengah dibahas ini yakni Habasyah, ibukotanya Axum (Aksum) yang saat ini letaknya berdekatan dengan kota Adowa dan sampai saat ini didiami dan dianggap sebagai kota suci. Axum pada saat itu merupakan pusat satu pemerintahan yang sangat tangguh.[23] Najasyi yang memimpin saat itu bernama Ashamah yang merupakan seorang raja yang adil, bijak dan amat powerful (berkuasa).[24]

Ringkasnya, ketika penderitaan umat Muslim sampai pada puncaknya, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada mereka bahwa bagi mereka yang mampu silahkan hijrah ke Habasyah. Mendengar sabda Rasulullah (saw) tersebut pada bulan Rajab 5 Nabawi (sekitar 615 Masehi) telah hijrah 11 pria dan 4 perempuan ke Habasyah.[25] Diantara mereka terdapat sahabat terkenal, yaitu Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayyah putri Rasulullah (saw), Abdur Rahman bin Auf, Zubair bin Al Awam, Abu Hudzaifah bin Utbah, Utsman bin Maz’un, Mush’ab bin Umair, Abu Salamah bin Abdul Asad beserta istrinya, Hadhrat Ummu Salamah.[26]

Merupakan hal aneh bahwa sebagian besar sahabat yang hijrah pada masa awal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan pembesar (keluarga kaya dan terpandang) kabilah Quraisy sedangkan kalangan yang lemah jumlahnya kurang yang dengannya dapat diketahui dua hal. Pertama, umat Muslim dari kalangan pembesar pun tidak luput dari penganiayaan kaum Quraisy. Kedua, orang-orang lemah misalnya hamba sahaya dan lain-lain keadaannya sedemikian lemah dan tak berdaya, sehingga untuk hijrah pun mereka tidak mampu.

Ketika para Muhajirin ini berangkat ke arah selatan dan sampai di Syuaibah yang pada saat itu adalah sebuah pelabuhan Arab, dengan karunia Allah Ta’ala, mereka menemukan sebuah kapal dagang yang tengah siap untuk berangkat ke Habsyah. Mereka lalu menumpang kapal tersebut dan sampai dengan selamat di tujuan. Ketika kaum Quraisy mengetahui kabar hijrah tersebut, mereka sangat marah karena incaran mereka telah lepas lalu mereka membuntuti supaya jangan sampai mereka berhasil meninggalkan, namun mereka telah pergi. Atas hal itu mereka mengejar para Muhajirin, namun ketika pasukan Quraisy sampai di pantai, kapal laut telah berangkat. Akhirnya mereka kembali pulang dengan tangan kosong.[27] Sesampainya di Habsyah, para Muhajirin dapat hidup dengan sangat damai dan bersyukur atas terlepasnya mereka dari kezaliman tangan bangsa Quraisy.[28]

Sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli sejarah bahwa belum lama mereka tinggal di Habsyah, sampai kabar burung kepada mereka yang menyatakan bahwa seluruh Quraisy telah baiat masuk Islam dan di Makkah telah tercipta kedamaian. Sebagai akibat dari kabar burung tersebut kebanyakan Muhajirin tanpa pikir panjang kembali pulang ke Makkah. Sesampainya mereka di dekat Makkah, mereka menyadari kabar tersebut adalah dusta sehingga itu menjadi kesulitan besar bagi para Muhajirin. Pada akhirnya, sebagian dari mereka ada yang kembali lagi ke Habsyah dan sebagiannya lagi ada yang sembunyi-sembunyi memasuki Makkah atau meminta jaminan dari tokoh Quraisy untuk memasuki Makkah.[29] Peristiwa itu terjadi pada bulan Syawal tahun ke-5 Nabawi.[30] Artinya, dari permulaan Hijrah ke Habsyah sampai kepulangan hanya terhitung dua setengah bulan atau tiga bulan. Seperti telah disebutkan, Hijrah (perpindahan) ke Habsyah terjadi pada bulan Rajab dan perkiraan mereka kembali ke Makkah telah disebut pada bulan Syawal.

Pada hakikatnya, meskipun kabar tersebut sama sekali palsu dan tidak berdasar yang mana dihembuskan Kuffar Quraisy yang mungkin bertujuan untuk membuat para Muhajirin kembali ke Makkah dan menempatkan mereka dalam kesusahan; bahkan, jika direnungkan lebih dalam kisah kabar burung dan kembalinya para Muhajirin tampak tidak berdasar, namun jika hal itu dianggap benar, mungkin saja itu didasari oleh riwayat yang terkandung pada berbagai Hadits.”

Jika kita menganalisa riwayat tersebut sembari memperhatikan beberapa Riwayat lain yang menyatakan bahwa Hadhrat ‘Utsman tinggal di Habsyah selama beberapa tahun maka Riwayat tersebut terbukti keliru. Namun, jika riwayat tersebut dianggap benar maka berarti para Muhajirin Habsyah kembali [dari Habsyah ke Makkah] setelah 3 atau 4 bulan saja. Namun demikian, berdasarkan penelitian Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, riwayat tersebut sepenuhnya terbukti keliru.

Beliau (ra) menulis, “Jika Riwayat tersebut dianggap benar, maka mungkin saja terdapat peristiwa seperti yang diterangkan dalam beberapa hadits. Sebagaimana terdapat dalam suatu riwayat hadits Bukhari bahwa suatu ketika Hadhrat Rasulullah (saw) menilawatkan surat An-Najm di depan Kabah, pada saat itu juga terdapat banyak para pemuka Quraisy begitu juga umat Muslim. Ketika Rasulullah (saw) selesai membacakannya, beliau lalu bersujud dan diikuti oleh seluruh umat Muslim dan kaum kuffar yang ada di sana.[31]

Di dalam Hadits-Hadits tidak dijelaskan alasan kenapa kaum kuffar melakukan itu, namun tampaknya ketika Rasulullah (saw) menilawatkan ayat Ilahi dengan suatu cara yang sangat syahdu menyentuh ke kedalaman hati mereka. Terlebih di dalam ayat-ayat tersebut tergambarkan tauhid Ilahi, kudrat dan keperkasaan-Nya dalam corak baligh dan fasih. Diingatkan pula akan ihsan-ihsan-Nya. Setelah itu, diperingatkan kepada bangsa Quraisy dengan firman yang penuh ru’b (wibawa) dan kemuliaan, jika mereka tidak menghentikan kejahatannya maka keadaan mereka akan seperti kaum-kaum terdahulu yang mendustakan Rasul-Rasul Tuhan. Pada akhirnya dalam ayat itu diperintahkan, ‘Marilah bersujud di hadapan Allah Ta’ala.’[32]

Setelah Nabi (saw) selesai menilawatkan ayat tersebut, beliau dan segenap umat Muslim langsung bersujud. Kalam Ilahi dan pemandangan tersebut sedemikian rupa berpengharuh secara luar biasa terhadap orang-orang Quraisy sehingga kaum Quraisy yang berada di sana secara spontan ikut bersujud bersama dengan umat Muslim.”

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “Hal ini tidak mengherankan bahwa dalam keadaan seperti yang telah baru saja dijelaskan terkadang kalbu manusia terpesona dan secara serta-merta melakukan gerakan yang sama padahal hal tersebut bertentangan dengan prinsip dan akidah agamanya.”

Tidaklah mesti dengan beriman baru akan tergerak untuk melakukan itu, dalam keadaan serta-merta (spontan) pun kadang tergerak.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “Sebagaimana kita saksikan juga terkadang ketika terjadi bencana secara tiba-tiba dan dahsyat, seorang Atheis (orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan) pun menyebut-nyebut nama Tuhan seperti ‘Allah! Allah!’ [bagi yang terdidik dalam lingkungan Islam] atau ‘Raam!’ Raam!’ [bagi yang terdidik dalam lingkungan Hindu].”

Saya (Hudhur atba) pun pernah menanyakan kepada beberapa orang Atheis, “Pada waktu kalian menghadapi suatu masalah, apakah di dalam pikiran kalian menyebut nama Tuhan ataukah tidak?” Mereka menjawab, “Benar sekali yakni meskipun kami tidak meyakini wujud Tuhan, namun jika kami mengalami keadaan yang genting secara tiba-tiba tanpa diduga keluar kata Tuhan dari mulut kami.”

Terkait:   Jalsah Salana UK - Sekilas tentang Keberkatan dari Pertemuan Rohani yang Luar Biasa dari Orang-orang Beriman

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “Bangsa Quraisy bukanlah Atheis. Mereka meyakini keberadaan Tuhan meskipun menyekutukannya dengan berhala. Jadi, ini merupakan pengaruh dari tilawat ayat Al-Qur’an dan amal perbuatan umat Muslim yang bersujud sehingga para pemuka Quraisy ikut serta bersujud bersama umat Muslim. Walhasil, umat Muslim langsung bersujud yang mana hal itu telah berdampak seperti sihir yang membuat kaum Quraisy yang ada di sana pun langsung ikut bersujud.

Namun pengaruh seperti itu sifatnya sementara dan biasanya manusia lekas kembali kepada keadaannya yang semula. Sebagaimana mereka pun yang semula penyembah berhala kembali pada keadaan sebagai penyembah berhala. Mereka tidak lantas jadi pemegang Tauhid. Bagaimana pun, ini merupakan peristiwa yang terbukti tercatat dalam Hadits-Hadits shahih.

Jika memang kabar kepulangan Muhajirin Habsyah itu benar, tampaknya setelah peristiwa tadi, kaum Quraisy yang berusaha untuk memulangkan kembali Muhajirin Habsyah karena Muhajirin Habsyah terlepas dari tangan mereka, memanfaatkan peristiwa tadi menyebarkan kabar burung Quraisy Makkah telah masuk Islam dan Makkah merupakan tempat yang aman bagi umat Muslim.

Ketika kabar burung tersebut sampai kepada Muhajirin Habsyah, tentunya mereka sangat gembira. Dalam kebahagiaannya itu tanpa berpikir panjang langsung memutuskan pulang ke Makkah. Namun ketika mereka sampai di Makkah, terbukalah hakikat sesungguhnya sehingga sebagian dari mereka hidup sembunyi-sembunyi. Sebagiannya datang ke Makkah dengan meminta perlindungan dari para tokoh Quraisy yang berpengaruh. Sebagiannya lagi kembali ke Habsyah.

Jadi, jika dalam kabar baiatnya kaum Quraisy terdapat kebenaran, itu semata-mata dilatarbelakangi kisah sebagian tokoh Quraisy yang bersujud ketika Tilawat surat An-Najm, seperti yang telah diterangkan. وَاللَّهُ أَعْلَمُ ‘Wallahu A’lam’ – ‘Allah Ta’ala lebih Maha Mengetahui’.

Jika diantara Muhajirin Habsyah itu ada yang kembali pulang ke Makkah lalu kebanyakan dari mereka kembali lagi ke Habsyah. Dikarenakan Quraisy semakin menjadi-jadi dalam penganiayaannya dan kezaliman mereka semakin meningkat hari demi hari, umat Muslim yang lainnya pun, atas perintah Rasulullah (saw), secara diam-diam melakukan hijrah ke Habsyah seketika mendapat kesempatan. Mata rantai hijrah ini terus meningkat sehingga jumlah Muhajirin menjadi 100 orang yang diantara mereka terdapat 18 wanita.[33] Mereka yang masih bertahan di Makkah bersama Rasulullah (saw) tinggal sedikit. Sebagian sejarawan menyebut hijrah tersebut dengan hijrah kedua ke Habsyah.”[34]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menyampaikan satu hasil penelitian beliau dengan sabdanya, “Ada satu hal lagi yang membuat kisah kabar burung dan kembalinya para Muhajirin dari Habsyah menjadi meragukan sepenuhnya, yaitu mengenai waktu permulaan Hijrah Habsyah yang tertulis dalam sejarah pada bulan Rajab tahun ke-5 Nabawi (setelah kenabian) sedangkan peristiwa sujud (di depan Kabah) terjadi pada bulan Ramadhan 5 Nabawi. Dalam sejarah pula diterangkan bahwa sebagai akibat kabar burung itu para Muhajirin kembali dari Habsyah pada bulan Syawal 5 Nabawi.[35] Dengan kata lain, waktu terjadinya permulaan hijrah dan kepulangan Muhajirin hanya berjarak dua sampai tiga bulan saja. Jika dihitung jarak waktu dari peristiwa sujud sampai kepulangan akan terhitung satu bulan saja.

Berdasarkan keadaan-keadaan masa itu, sama sekali tidak mungkin tiga perjalanan antara Makkah dan Habsyah dapat ditempuh dalam waktu yang sedemikian singkat. Maksudnya, pertama, perjalanan kaum Muhajirin dari Makkah ke Habsyah. Setelah itu, ada orang Quraisy dari Makkah yang datang ke Habsyah dengan membawa kabar burung bahwa bangsa Quraisy telah baiat masuk Islam. Kemudian, [perjalanan ketiga] para Muhajirin pulang dari Habsyah ke Makkah. Menyelesaikan tiga perjalanan, terlepas dari perkara tambahan yang terjadi seperti perlunya persiapan dan hal-hal lainnya sama sekali tidak mungkin dapat dilakukan dalam masa yang singkat seperti itu. Ditambah lagi tidak mungkin dua perjalanan dapat selesai pada waktu antara diperkirakan terjadi ‘peristiwa sujud’ dan waktu diperkirakan kembalinya para Muhajirin dari Habsyah tersebut. Sebab, untuk pergi dari Makkah ke Habsyah pada masa itu, pertama harus pergi ke pantai di selatan yang dari sana menumpangi kapal laut untuk menyeberangi laut Merah menuju pantai Afrika.” (kapal laut pun tidak setiap saat ada) “Setelah itu harus menempuh perjalanan dari pantai sampai pusat pemerintahan Habsyah yaitu Axum yang jaraknya terhitung jauh dari pantai. Jika dilihat dari lambatnya perjalanan pada masa itu, sama sekali tidak mungkin dapat menempuh perjalanan seperti itu dalam masa waktu kurang dari satu setengah bulan atau dua bulan. Berdasarkan fakta tersebut, kisah ini sama sekali keliru dan tidak berdasar. Namun, seandainya benar, tentu tidak lebih dari apa yang telah dijelaskan diatas. وَاللَّهُ أَعْلَمُ ‘Wallahu A’lam’ – ‘Allah Ta’ala lebih Maha Mengetahui’.”[36]

Alhasil, apapun alasannya, Hadhrat ‘Utsman kembali lagi dari Habsyah setelah beberapa masa.

Berkenaan dengan hijrah Hadhrat ‘Utsman ke Madinah dan persaudaraan beliau dijelaskan sebagai berikut. Muhammad bin Ja’far bin Zubair meriwayatkan bahwa ketika Hadhrat ‘Utsman hijrah ke Madinah dari Makkah, beliau tinggal di rumah Hadhrat Aus bin Tsabit saudara Hasan bin Tsabit dari kabilah Banu Najjar. Musa bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya bahwa Hadhrat Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat ‘Utsman dengan Hadhrat Abdurrahman bin Auf. Berdasarkan satu Riwayat lain, dijalinkan dengan ayahanda Hadhrat Syidad bin Aus bernama Hadhrat Aus bin Tsabit. Dikatakan juga bahwa beliau dijalinkan persaudaraan dengan Hadhrat Abu Ubadah Sa’d bin ‘Utsman.[37]

Berdasarkan satu Riwayat lainnya, Hadhrat Rasulullah (saw) menjalinkan diri beliau sendiri dengan Hadhrat ‘Utsman. Sebagaimana tertulis dalam kitab Tabaqatul Kubra bahwa Ibnu Labibah (ابْنِ لَبِيبَةَ) meriwayatkan, أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ لَمَّا حُصِرَ أَشْرَفَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُوَّةٍ فِي الطَّمَارِ فَقَالَ : أَفِيكُمْ طَلْحَةُ ؟ قَالُوا : نَعَمْ , قَالَ : أَنْشُدُكَ اللَّهَ ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَمَّا آخَى رَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ آخَى بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهِ ؟ فَقَالَ طَلْحَةُ : اللَّهُمَّ نَعَمْ ، فَقِيلَ لِطَلْحَةَ فِي ذَلِكَ ، فَقَالَ : نَشَدَنِي , وَأَمْرٌ رَأَيْتُهُ ، أَلَا أَشْهَدُ بِهِ ؟ “Ketika Hadhrat ‘Utsman bin Affan dalam keadaan dikepung oleh para penentang pada akhir hayat beliau dan beliau diboikot dari berbagai hal, beliau (ra) mengintip dari lubang cahaya rumah bertanya kepada orang-orang di luar, ‘Apakah ada Thalhah di sana?’

Mereka menjawab, ‘Ya, Thalhah ada.’

Beliau bersabda, ‘Saya bertanya pada Anda dengan bersumpah atas nama Tuhan, apakah Anda tahu pada waktu Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Muhajirin dan anshar, saat itu Rasul menjalinkan diri beliau sendiri dengan saya?’

Hadhrat Thalhah berkata, ‘Demi Tuhan, itu memang benar.’

Hadhrat Thalhah pada saat itu berada di sekitar para penentang yang mengepung rumah ‘Utsman.

Para penentang bertanya kepada Hadhrat Thalhah, ‘Apa yang sedang kamu lakukan ini?’

Thalhah menjawab dengan berani dengan mengatakan, ‘Hadhrat ‘Utsman bertanya kepada saya dengan mengambil sumpah dan hal yang ditanyakan kepada saya pun saya ketahui, lantas apakah saya tidak boleh memberikan kesaksian atas kebenarannya? Saya tidak bisa berdusta. Apapun yang ingin kalian lakukan pada saya, silahkan saja.’”[38]

Berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Ruqayyah dan pernikahan Hadhrat ‘Utsman dengan Hadhrat Ummu Kultsum diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mukannaf bin Haritsah Anshari meriwayatkan, ketika Rasulullah (saw) berangkat untuk perang Badr, Rasulullah (saw) meninggalkan Hadhrat ‘Utsman bersama putri beliau (saw), Hadhrat Ruqayyah yang saat itu tengah sakit. Hadhrat Ruqayyah wafat pada hari ketika Hadhrat Zaid bin Haritsah berangkat pulang ke Madinah membawa kabar suka kemenangan perang Badr kepada Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) menetapkan bagian harta ghanimah perang Badr untuk Hadhrat ‘Utsman. Bagian beliau sama banyaknya dengan sahabat lain yang ikut pada perang Badr. Setelah kewafatan Hadhrat Ruqayyah, Hadhrat Rasulullah (saw) menikahkan Hadhrat ‘Utsman dengan putri beliau Hadhrat Ummu Kultsum.[39]

Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ لَقِيَ عُثْمَانَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ Rasulullah (saw) bertemu Hadhrat ‘Utsman di pintu masjid dan bersabda, يَا عُثْمَانُ هَذَا جِبْرِيلُ أَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ قَدْ زَوَّجَكَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِمِثْلِ صَدَاقِ رُقَيَّةَ عَلَى مِثْلِ صُحْبَتِهَا “‘Utsman! Ini adalah Jibril, mengabarkan kepada saya untuk menikahkan Ummu Kultsum denganmu dengan besaran mahar seperti yang telah kauberikan kepada Ruqayyah dan seperti perlakuan yang telah kauberikan kepada Ruqayyah.”[40] Artinya, Allah Ta’ala memerintahkan Hadhrat Rasulullah (saw) untuk menikahkan putrinya yang selanjutnya dengan Hadhrat ‘Utsman.

Hadhrat Aisyah meriwayatkan, لما زوج النبي صلى الله عليه وسلم ابنته أم كلثوم من عثمان قال لأم أيمن: هيئي ابنتي، وزفيها إلى عثمان، واخفقي بين يديها بالدف، ففعلت ذلك، فجاءها النبي صلى الله عليه وسلم بعد الثالثة فدخل عليها فقال: يا بنية كيف وجدت بعلك؟ قالت: خير بعل “Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) menikahkan Ummu Kulstum dengan Hadhrat ‘Utsman, beliau (saw) bersabda kepada Ummu Aiman, ‘Persiapkanlah putri saya Ummu Kultsum lalu antarkan ia ke rumah ‘Utsman dan bunyikanlah duff (rebana) di hadapannya.’ Ummu Aiman melaksanakannya. Tiga hari kemudian Rasulullah (saw) berkunjung ke rumah Ummu Kultsum dan bersabda, ‘Wahai putriku tersayang, bagaimana kamu mendapati suamimu (‘Utsman)?’

Ummu Kultsum menjawab, ‘Ia adalah suami terbaik.’”[41]

Hadhrat Ummu Kultsum tinggal bersama Hadhrat ‘Utsman hingga tahun sembilan Hijriah. Setelah itu beliau (ra) jatuh sakit kemudian wafat. Rasulullah (saw) menshalatkan jenazahnya kemudian duduk di samping kuburan beliau. Hadhrat Anas menjelaskan, شَهِدْتُ دَفْنَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ، وَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ “Saya telah melihat Nabi yang mulia (saw) tengah duduk sedemikian rupa di samping kuburan Hadhrat Ummu Kultsum di mana air mata beliau mengalir deras.”[42]

Salah satu riwayat di dalam kitab Shahih Bukhari telah menjelaskan peristiwa ini sebagai berikut: Hilal telah meriwayatkan dari Hadhrat Anas bin Malik (ra) bahwa beliau mengatakan, شَهِدْنَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ، فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ “Kami ada di saat peristiwa penguburan jenazah putri Rasulullah (saw)”, kemudian beliau mengatakan, “Rasulullah (saw)tengah duduk di samping kuburan. Kemudian saya melihat air mata mengalir dari mata beliau.”[43]

Tertera di salah satu riwayat bahwa Rasulullah (saw)pada saat kewafatan Hadhrat Ummu Kultsum bersabda, لَوْ كَانَ عِنْدِيَ ثَالِثَةٌ زَوَّجْتُهَا عُثْمَانَ “Seandainya ada lagi putri ketiga yang saya miliki [setelah kedua putri yang wafat] maka saya akan menikahkannya juga dengan Utsman.”[44]

Hadhrat Ibnu Abbas menjelaskan, مر رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وإذا عثمان جالس يبكي على أم كلثوم بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال: ومع رسول الله صلى الله عليه وسلم صاحباه ـ يعني أبا بكر وعمر “Tatkala Rasulullah (saw)berlalu dari suatu tempat maka ia melihat Hadhrat Utsman tengah duduk di sana dan beliau tengah menangis karena kesedihan akibat kewafatan Hadhrat Ummu Kultsum binti Rasulullah (saw). Saat itu bersama beliau (saw) ada dua sahabat yakni Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar. Rasulullah (saw)bertanya, مَا يُبْكِيكَ يا عثمان؟ ‘Wahai ‘Utsman, apa yang membuat Anda menangis?’

Hadhrat ‘Utsman menjawab, أَبْكِي يا رسول الله أنه انْقِطَاعِ صِهْرِي مِنْكَ ‘Wahai Rasul Allah (saw), saya tengah menangis disebabkan hubungan saya dengan Anda sebagai menantu telah berakhir. Kedua putri Anda telah wafat.’[45]

Beliau bersabda, لا تبك ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ عِنْدِي مِائَةَ بِنْتٍ تَمُوتُ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ زَوَّجْتُكَ أُخْرَى حَتَّى لَا يَبْقَى مِنَ الْمِائَةِ شَيْءٌ ‘Janganlah menangis! Saya bersumpah demi Dzat yang jiwa saya ada dalam genggaman-Nya. Seandainya saya memiliki seratus putri dan setiap mereka bergantian wafat maka setelah kewafatannya, akan saya nikahkan setiap mereka dengan Anda hingga tidak ada satu pun yang tersisa dari seratus itu.”[46]

Bagaimanapun, ini adalah satu ungkapan kecintaan yang berasal dari kedua belah pihak. Pertama, Hadhrat ‘Utsman yang sedemikian sedih memikirkan hubungan itu, di mana Yang Mulia Rasulullah (saw) telah kembali menjaganya dan memberikan keyakinan kepadanya bahwa hubungan tersebut tetap berlangsung.

Pembahasan selanjutnya Insya Allah di kesempatan yang akan datang.

Sebagaimana yang akhir akhir ini saya sampaikan dan sering saya tekankan di setiap Jumat, yaitu agar memanjatkan doa-doa untuk para Ahmadi di Pakistan; teruslah panjatkan doa-doa untuk para Ahmadi. Para penentang memang terus berusaha untuk mempersempit ruang kita; namun mereka tidak mengetahui bahwa ada juga satu wujud di atas sana, ada juga satu wujud Allah Ta’ala, yang takdir-Nya pun tengah bekerja, dan ruang lingkup-Nya tengah semakin mengelilingi mereka; dan tatkala ruang lingkup-Nya itu semakin meliputi, maka tidak ada yang dapat lari dari-Nya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan pikiran kepada orang-orang tersebut, dan semoga sekarang pun orang-orang ini bekerja dengan menggunakan pikiran mereka, menjunjung keadilan, dan berhenti dari melakukan tindakan penekanan dan aniaya yang tidak beralasan. Kemudian, berdoalah juga untuk orang-orang Ahmadi di Aljazair, semoga mereka senantiasa aman dalam keyakinan mereka. Demikian juga di beberapa tempat lainnya pun permusuhan terhadap para Ahmadi tengah banyak berlangsung. Semoga Allah Ta’ala menjaga setiap Ahmadi di setiap tempat dari segala marabahaya.

Setelah shalat saya pun akan menshalatkan beberapa jenazah secara gaib di mana mengenai mereka saya sampaikan di sini. Yang pertama adalah yang terhormat Maulana Sultan Mahmud Anwar Sahib, mantan Nazir Islah-o-Irsyad Markaziyyah. Beliau pernah menjadi Nazir Khidmat-e-Darweshan, dan juga sebagai Nazir Islah-o-Irsyad bagian Rishta Nata. Pada 11 Januari, beliau wafat di usia sekitar 88 tahun. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Nama ayahnya adalah Choudhry Muhammad Din dan nama Ibunya adalah Rahmat Bibi. Ayahnya baiat masuk ke dalam Ahmadiyah pada tahun 1928 di tangan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani. Hadhrat Maulana Sultan Mahmud Anwar Sahib adalah anak satu-satunya beliau.

Setelah Maulana Sultan Mahmud Anwar Sahib menempuh pendidikan menengah, di bulan April beliau mewakafkan diri beliau dan pada tahun 1946 beliau mendaftarkan diri ke dalam Madrasah Ahmadiyah Qadian. Setelah berdirinya Pakistan beliau belajar di jamiah Ahmadiyah di Ahmad Nagar, kemudian pada tahun 1952 beliau mengambil ujian Maulwi Fazil dan pada bulan April 1956 beliau mendapat gelar Shahid dari Jamiah Ahmadiyah.

Beliau menikah dengan Mahmudah Shaukat Sahibah Binti Choudhri Sa’aduddin Sahib. Beliau dinikahkan oleh Maulana Jalaluddin Shams pada tahun 1960 di kesempatan Jalsah Salanah. Beliau memiliki empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Salah satu putra beliau adalah Ihsan Mahmud seorang Waqaf Zindegi yang sekarang tengah berkhidmat di kantor Tahrik Jadid Rabwah.

Penugasan pertama yang terhormat Maulana Sahib adalah di Gujarat. Setelah itu sebagai murabbi silsilah beliau berkhidmat di berbagai kota di Pakistan. Dari tahun 1974 sampai tahun 1978 beliau pun pernah bertugas di Ghana. Ini adalah masa diwaktu saya pun bertugas di sana, dan saya melihat bahwa beliau adalah sosok yang sangat ikhlas berkhidmat di sana. Dari tahun 1982 sampai 1983 beliau pernah menjadi Sekretaris Majlis Karpardaz, kemudian pada tahun 1983 beliau diangkat menjadi Sadr Majlis Karpardaz. Dari tahun 1983 sampai 1998 beliau berkhidmat sebagai Nazir Islah-o-Irshad Markaziyyah, kemudian setelah itu sampai dengan tahun 2011 beliau berkhidmat sebagai Nazir Khidmat-e-Darweshan. Kemudian dari tahun 2011 sampai 2017 beliau menjadi Nazir Rishta Nata dan karena menderita sakit maka pada tahun 2017 beliau pensiun.

Beliau memiliki kemampuan bertablig, kemampuan bercakap-cakap dengan orang lain dan kemampuan beliau menyampaikan ceramah pun sangat baik. Banyak sekali peristiwa tentang hubungan beliau dengan berbagai lapisan orang, tentang diskusi-diskusi beliau bersama para ulama perihal akidah dan bagaimana jawaban-jawaban ampuh yang beliau sampaikan. Beliau adalah sosok penceramah yang luar biasa sebagaimana telah saya sampaikan. Beliau menjadikan para pendengarnya larut dalam ceramah beliau.

Para murabbi yang bekerja bersama-sama beliau pun menuliskan demikian, “Beliau adalah sosok yang selalu merangkul kami dalam bertugas. Setiap mereka menuliskan bahwa beliau senantiasa memperlakukan mereka dengan sangat kasih sayang. Beliau sosok yang mendirikan tahajjud dan berbagai ibadah, dan kepada setiap orang, juga kepada para murabbi, beliau secara khusus selalu mengingatkan kepada tahajjud dan ibadah. Beliau memiliki standar yang sangat luar biasa dalam hal kesetiaan dan ketaatan terhadap khilafat. Ada juga ujian yang menimpa beliau, di masa Khilafat keempat, tetapi beliau melalui masa tersebut dengan ketaatan yang sempurna, dan beliau pun telah berkhidmat meski sebagai bawahan.”

Bahkan ada seseorang juga yang mengatakan, “Anda dulu adalah seorang Nazir namun sekarang Anda bekerja sebagai bawahan Nazir”, maka beliau mengatakan, “Beberapa murabbi pun menuliskan ini kepada saya dan salah satu putri saya pun menuliskan ini, maka saya menjawab, ‘Khalifa-e-waqt lebih mengetahui siapa dan dimana yang lebih dibutuhkan. Saya telah mewakafkan diri saya, jadi silahkan saja jika saya pun diperintahkan untuk menyapu. Saya akan melakukan apa saja yang khalifa-e-waqt perintahkan.’” Maka kemudian Allah Ta’ala pun memberikan keadaan yang lebih baik dan saya meyakini contoh kesetiaan dan ketaatan beliau yang sempurna telah sampai pada corak pengabulan. Kemudian beliau pun menjadi salah satu anggota Sadr Anjuman Ahmadiyah dan juga menjadi Nazir. Dimanapun beliau berkhidmat, beliau selalu memperlihatkan contoh pengkhidmatan dan ketaatan yang sempurna kepada Amir setempat; baik saat beliau di Karachi atau di tempat-tempat lainnya.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan ampunan dan belas kasih kepada beliau dan semoga keturunan beliau pun dianugerahkan taufik untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan beliau.

Beliau juga telah melakukan beberapa pekerjaan keilmuan di mana ada beberapa karya tulis beliau. salah satu buku karya beliau adalah “Mendirikan keagungan kalimat shahadat adalah identitas seorang Ahmadi”. Buku beliau yang kedua adalah “Keberadaan Allah Ta’ala, Hadhrat Muhammad Mustafa sallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Quran Karim, dan Ka’bah”. Kemudian ada satu buku beliau “tentang masalah jumlah anggota Jemaat”, kemudian buku “Sebab-sebab kegagalan dalam penerapan syariat”, kemudian satu buku beliau “Hukuman bagi penghina kenabian”.

Demikianlah tulisan-tulisan karya beliau. Beliau pun telah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan keilmuan. Sebagaimana telah saya katakan, beliau adalah sosok yang bekerja dengan sangat luar biasa. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan belas kasih dan ampunan.

Jenazah kedua adalah Maulana Muhammad ‘Umar Sahib yang pernah menjadi Nazir Islah-o-Irsyad Markaziyyah Qadian, yang merupakan putra P.K. Ibrahim Sahib. Pada tanggal 21 Januari beliau pun telah wafat di usia 87 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Almarhum berasal dari Kerala.

Ayah beliau yaitu Ibrahim Sahib, dahulu merupakan salah satu penentang dan musuh jemaat yang besar. Sepuluh tahun sebelum kelahiran Maulana Sahib, ayah beliau pindah ke Bombay [Mumbai] untuk berdagang. Pada masa itu, di kota Bombay banyak Ahmadi yang melakukan perdagangan. Di Bombay, ada beberapa Ahmadi yang berasal dari Malabar yang melakukan pertemuan dengan beliau sehingga terjadi pertukaran pikiran mengenai ajaran-ajaran Ahmadiyah, dan pada tahun 1924 tatkala Hadhrat Khalifatul Masih Tsani datang ke kota Bombay, beliau mendapatkan karunia untuk baiat masuk ke adalam silsilah jemaat ini di tangan Hudhur yang penuh berkat. Setelah itu, beliau pun mendapatkan taufiq untuk berziarat ke Qadian.

Maulana ‘Umar Sahib datang ke Qadian pada tahun 1954 di masa Madrasah Ahmadiyah kembali dibuka setelah peristiwa Partisi India. Pada 1955 beliau masuk ke Madrasah Ahmadiyah. di tahun 1961, setelah beliau lulus dari Madrasah Ahmadiyah dan ujian Maulwi Fazil dari Universitas Punjab, beliau mengajar hingga satu tahun lamanya di Madrasah Ahmadiyah. Saat masa pendidikan, atas keinginan dari sosok sahabat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalam, yaitu Hadhrat Bhai Abdurrahman Sahib Qadiani, beliau mendapatkan karunia untuk memperdengarkan Al-Quran Karim setiap hari di waktu subuh hingga sekitar satu tahun lamanya di rumah beliau (ra). Pada tahun 1962 beliau memulai rangkaian pengkhidmatan beliau di lapangan pertabligan. Beliau telah berkhidmat di banyak kota besar di Hindustan dan beliau terus berkhidmat sebagai seorang muballig yang sangat berhasil. Beliau banyak memberikan ceramah-ceramah di berbagai pertemuan pertabligan. Beliau ikut serta di perdebatan Yadgir. Kemudian sesuai dengan petunjuk khas dari Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi’ rahimahullah, beliau ikut dalam perdebatan bersejarah di Coimbatore yang berlangsung hingga sembilan hari berturut-turut, dimana Maulana Dost Muhammad Shahid Sahib dan wakil pusat Hafiz Muzaffar Sahib pun ikut serta saat itu; secara khusus beliau telah bekerja sangat baik dengan mereka.

Terkait:   Riwayat ‘Umar Bin Al-Khaththab (5)

Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi’ (keempat) rahimahullah yang dalam salah satu khotbah beliau pernah bersabda tentang hasil pekerjaan yang telah beliau jalankan di suatu tempat, “Ada beberapa Jemaat di mana hanya ada seorang Ahmadi yang dengan segera memikul segenap beban sendirian dan ia menerjemahkan kemudian menyebarkannya secara luas – yakni menterjemahkan khotbah-khotbah dan segera menyebarkannya – dan dengan karunia Allah Ta’ala di jemaat-jemaat yang seperti demikian telah terjadi kemajuan yang besar karena mereka [para anggota] mendapatkan khotbah Khalifa-e-Waqt secara cepat dan anggota jemaat kita pun segera mengetahui apa yang tengah terjadi.”

Di India selatan banyak Jemaat yang tidak mengerti bahasa Urdu dan di sana ada maulwi Muhammad ‘Umar Sahib mubalig silsilah kita di mana Allah Ta’ala telah sedemikian rupa menganugerahkan semangat kepadanya akan hal ini. Seketika telinga beliau mendengar, saat itu juga beliau segera menterjemahkannya dan langsung menyebarkannya hingga segenap anggota jemaat. Walhasil beliau melaksanakan pekerjaan ini dengan sangat kerja keras.

Beliau pun mendapatkan karunia untuk berkhidmat di Palestina hingga satu tahun lamanya.

Beliau terus mendapatkan taufik untuk menerjemahkan Al-Quran Karim dan banyak buku-buku Hadhrat Masih mau’ud ‘alaihissalam ke dalam bahasa Malayalam dan bahasa Tamil.

Di tahun 2007, tatkala saya mengangkat beliau sebagai Nazir Islah-o-Irsyad Markaziyyah – kemudian saya mengangkat beliau sebagai Additional Nazir Islah-o-Irsyad Ta’limul Quran dan Waqaf Arzi, kemudian beliau pun mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Naib Nazir A’la – beliau menjalankan seluruh pengkhidmatan dengan sangat baik.

Setelah lulus dari Madrasah Ahmadiyah, secara keseluruhan, beliau telah mendapatkan taufik untuk mengkhidmati jemaat ini hingga 53 tahun lamanya.

Di antara yang ditinggalkan antara lain empat orang putri dan menantu serta banyak cucu dan cicit. Beliau “gila” dalam pengkhidmatan terhadap Jemaat. Ketika melakukan perjalanan pribadi bersama keluarga pun selama perjalanan beliau terus sibuk dalam pekerjaan-pekerjaan Jemaat, khususnya penerjemahan dsb.

Bapak Amir Nasional Sri Lanka menulis, “Dalam sejarah Jemaat Ahmadiyah Srilanka beliau akan selalu dikenang sebagai masa keemasan. Ketika kedatangan beliau sebagai Mubaligh Markazi pada tahun 1978 di masa Kekhalifahan Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) dengan karunia Allah Ta’ala dengan semangat kerohanian baru, secara luar biasa nampak perbaikan dan perubahan suci dalam Jemaat dan Almarhum memberikan pengkhidmatan yang luar biasa di sana.

Pada 1994 di sebuah gedung besar milik Ramakrishna di Colombo, Almarhum menyampaikan sebuah pidato yang sangat luar biasa mengenai perdamaian dan persatuan yang mana lebih dari 400 orang hadir untuk menyimaknya. Khususnya, pemimpin nasional gerakan Ramakrishna dan Menteri Kebudayaan Hindu, yang terhormat Devaraj sangat terkesan setelah menyimak pidato Almarhum dan sangat memuji Almarhum karena dalam pidatonya Almarhum membuktikan kebenaran Hadhrat Rasulullah (saw) dengan membacakan kutipan referensi dari Gita sehingga pidato bersejarah beliau tersebut hari ini pun masih populer di kalangan mereka.[47]

Beliau menerjemahkan empat buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) ke dalam bahasa Tamil dan menulis tujuh buku dengan berbagai tema dalam bahasa Tamil. Di negara bagian Tamil Nadu beliau memulai penerbitan majalah Jemaat bernama ‘Samadana Waziri’ dan dari sana menyebarluaskannya ke negara-negara bagian yang lain hingga jangka waktu yang lama.

Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum dan meninggikan derajatnya. Semoga putra putri Almarhum diberikan taufik untuk dapat senantiasa menjalin ikatan dengan Jemaat dengan penuh kesetiaan.

Jenazah selanjutnya, yang terhormat Habib Ahmad Sahib, Mubaligh Jemaat yang merupakan putra Muhammad Ismail Sahib dari Fakri Area, Rabwah. Almarhum wafat pada 25 Desember di Islamabad disebabkan serangan jantung di usia 64 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Pada 1979 beliau lulus dari Jamiah. Setelah itu beliau mendapatkan taufik bertugas di beberapa kabupaten di Pakistan. Pada tahun 1989 hingga 2003 beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Nigeria. Di masa tersebut dari Septermber 1998 hingga Oktober 2000 beliau menjabat sebagai Amir dan Missionary In Charge Nigeria. Beliau menjalankan pengkhidmatannya dengan penuh kerendahan hati. Selain tugas-tugas kantor, beliau juga mengerjakan tugas-tugas tarbiyat di lingkungan beliau dengan sangat baik.

Di antara yang ditinggalkan selain istri terdapat juga tiga orang putri dan dua orang putra. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat selalu menegakkan hubungan dengan Jemaat dengan penuh kesetiaan.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Badruzzaman Sahib yang merupakan karyawan di Wakalat Mal UK dalam jangka waktu yang lama. Beliau wafat pada 3 Januari. Inna lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau seorang karyawan yang tulus dan pekerja keras. Beliau lahir di Amritsar pada 1944. Beliau seorang Ahmadi keturunan. Ketika masih bekerja di pemerintah beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di Khuddamul Ahmadiyah sebagai Qaid Daerah Quetta. Kemudian beliau juga menjadi Nazim Ansharullah Balocistan. Pada 1986 beliau juga menghadapi kasus persidangan dikarenakan kejemaatan beliau yang karenanya beliau juga dipenjara di jalan Allah. Beliau juga berkhidmat di Wakalat Mal Awwal Rabwah dari tahun 1995 hingga 1999.

Beliau pindah ke London lalu mendapatkan taufik berkhidmat di Raqim Press dan kemudian di Additional Wakalat Mal London selama 17 tahun. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Manshur Ahmad Tahsin Sahib, putra dari Maulwi Muhammad Ahmad Naim Sahib, Mubaligh dan karyawan Jemaat di departemen Ihtisab Nazarat Umur Amah Rabwah. Beliau datang kepada anaknya di London. Beliau wafat pada 30 Desember di usia 70 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Beliau mendapatkan taufik untuk mengkhidmati agama di berbagai kantor sebagai karyawan Jemaat selama kurang lebih 25 tahun. Seorang yang sangat ramah, saleh dan penuh kasih sayang. Seorang yang sangat mencintai Khilafat dan juga selalu menasihatkan mengenai hal ini kepada orang lain. Beliau biasa menyelesaikan berbagai urusan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Biasanya, urusan-urusan yang sulit diserahkan kepada beliau dan terkadang kedua belah pihak datang ke kantor dengan diliputi kemarahan, namun dengan kecintaan dan kasih sayangnya beliau mengendalikan emosi dan kemarahan mereka dan permasalahan dapat diselesaikan.

Beliau sedemikian rupa bersemangat dalam mengkhidmati Jemaat sehingga istri beliau menulis bahwa suatu ketika dilaksanakan walimah putri beliau, Dokter Fariah Manshur, pada hari tersebut pagi-pagi beliau bersiap untuk pergi ke kantor, istri beliau mengatakan bahwa hari ini di rumah ada pernikahan, ambillah cuti. Beliau menjawab, “Undangannya jam 2, apa perlunya menyia-nyiakan waktu. Sekarang saya akan pergi ke kantor dan pada waktunya nanti akan pulang.”

Beliau bersikap hormat kepada para atasan. Jika berbeda pendapat dalam suatu perkara maka beliau selalu menyampaikan pendapatnya dengan memperhatikan adab.

Diantara yang ditinggalkan antara lain istri beliau, Rakhshinda Sahibah, dua orang putra dan dua orang putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum.

Saya mengenal beliau sejak kecil. Beliau teman sekolah saya. Saya selalu melihat beliau sebagai seorang yang sangat sopan, humoris, tidak pernah marah, tidak pernah bertengkar dan hal-hal ini bertahan dalam diri beliau hingga akhir hayatnya yang karenanya kemudian sifat-sifat ini juga memberikan peranan penting dalam mendamaikan orang-orang.

Jenazah selanjutnya Dokter Idi Ibrahim Mawanga Sahib dari Tanzania yang wafat pada 9 Desember di usia 73 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau berhasil masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Makerere, Uganda dan dengan karunia Allah meraih kehormatan sebagai Dokter Ahmadi lokal pertama di Afrika Timur. Pak Dokter mendapatkan taufik baiat di usia masih muda. Sejak masa sekolah pun beliau biasa ikut serta dalam acara-acara keagamaan. Dikarenakan begitu banyaknya tuduhan-tuduhan terhadap Jemaat Ahmadiyah dari mereka yang menamakan diri Ulama, di dalam hati beliau timbul ketertarikan untuk mengetahui mengenai Jemaat. Pada waktu itu beliau bertemu dengan Mubaligh Jemaat Syekh Abu Thalib Sandi Sahib yang juga masih kerabat beliau. Ketika Almarhum berbincang dengan beliau mengenai tuduhan-tuduhan tersebut, Syekh Sahib tidak hanya menjawab tuduhan-tuduhan yang dibuat-buat tersebut, melainkan juga memperlihatkan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Swahili dan buku-buku lainnya yang diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah. Setelah mempelajari buku-buku tersebut Dokter Sahib baiat. Dengan karunia Allah beliau memenuhi janji baiatnya hingga nafas terakhir beliau.

Setiap saat beliau sibuk menyampaikan pesan Islam dan Ahmadiyah kepada orang-orang dari setiap golongan. Beliau sering membawa dalam tasnya buku-buku dan majalah-majalah Jemaat ke pasar lalu menjualnya. Orang-orang bertanya kepada beliau, “Anda ini seorang Dokter, mengapa berjualan buku di sini?”

Beliau memberikan jawaban dengan riang, “Ketika berada di rumah sakit, saya sedang mengobati tubuh, sedangkan saat ini saya sedang mengobati ruh. Keduanya itu tidak bisa dipisahkan dan tidak juga salah satu darinya bisa diabaikan.”

Beliau sangat mencintai Khilafat dan memiliki hubungan yang kuat dengannya. Beliau membesarkan anak-anaknya dengan cara Islami. Beliau memberikan perhatian khusus pada ta’lim dan tarbiyat dan juga memperhatikan pelaksanaan shalat berjamaah di rumah bersama anak-anak. Beliau membuat sebuah perpustakaan di rumah yang di dalamnya di samping buku-buku dari bidang keilmuan lain, tersimpan juga buku-buku Jemaat. Beliau selalu berdoa supaya anak keturunan beliau tetap tegak pada Ahmadiyah, yakni Islam hakiki dan menasihatkan hal ini juga kepada orang lain. Beliau sendiri melekat dengan Jemaat, demikian juga semua anak-anak beliau pun melekat dengan Jemaat dan mewarisi karakter baik ayahnya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melekatkan mereka dan memenuhi doa-doa dan keinginan-keinginan baik ayah mereka dan semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Dokter Sahib dan meninggikan derajatnya.

Jenazah selanjutnya Sughra Begum Sahibah, istri dari Din Muhammad Sahib Nangali, Darwesh Qadian. Beliau wafat pada 6 Januari di usia 85 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah putri dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Hakim Muhammad Ramadhan Sahib. Beliau seorang wanita salehah yang disiplin dalam shalat dan puasa, dawam melaksanakan tahajud, ramah terhadap tamu, penyabar, seorang yang bersyukur, pekerja keras, penuh simpati dan banyak lagi keistimewaan-keistimewaan lainnya. Beliau memiliki jalinan kecintaan yang kuat dengan Khilafat. Hingga bertahun-tahun beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Khidmat Khalq di Lajnah Imaillah. Almarhumah seorang Mushiah. Di antara yang ditinggalkan antara lain dua orang putra dan dua orang putri. Seorang putra beliau, Bashiruddin Sahib mendapatkan taufik berkhidmat hingga 40 tahun. Putra beliau lainnya, Muniruddin Sahib, saat ini berkhidmat di Nizam Ta’miraat di Qadian. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almahumah dan memberikan taufik kepada anak keturunan Almarhumah untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikannya.

Jenazah selanjutnya, yang terhormat Choudry Karamatullah Sahib yang wafat pada 26 Desember di usia 95 tahun. Almarhum adalah cucu dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Choudry Syah Din Sahib dari Ghatialia yang mendapatkan taufik baiat pada kesempatan kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud (as) ke Sialkot. Almarhum seorang yang berfitrat baik, tulus, penuh kecintaan, peduli dengan orang-orang miskin dan memperhatikan orang-orang yang membutuhkan. Dalam setiap keadaan beliau selau bersyukur. Beliau sosok yang tulus.

Putra beliau Sahil Sahib menulis, “Keramahan terhadap tamu merupakan sifat beliau yang menonjol dan ini khususnya nampak pada saat para Waqafin Zindegi datang ke Badin, Sindh dalam rangka kunjungan. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Furqan Force. Dari 1983 hingga 2018 beliau berkhidmat sebagai sukarelawan di kantor Alfazl International. Beliau memberikan rumahnya untuk digunakan acara-acara Jemaat dan di rumah beliau yang sekarang pun satu bagiannya dibangun sebagai Shalat Center. Putri-putri beliau pun melakukan pengkhidmatan mereka terhadap Jemaat, demikian juga putra-putra beliau. Seorang cucu beliau Farhad Ahmad adalah seorang mubaligh yang berkhidmat di UK di bidang Pers dan Media.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.

Jenazah selanjutnya, Chaudry Munawwar Ahmad Khalid Sahib dari Jerman yang wafat pada 20 Agustus di usia 85 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum memiliki ikatan yang mendalam dengan nizam Jemaat dan ikut serta dengan sekuat tenaga dalam upaya-upaya pertablighan dan tarbiyat dan di Jerman beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Ketua Jemaat dan Sekretaris Umum dalam periode yang berbeda-beda. Beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di Ansharullah pada berbagai jabatan kepengurusan. Selain itu, ketika beliau di Pakistan, di sana beliau mendapatkan taufik bekerja sebagai Manajer di lahan-lahan milik Tahrik Jadid. Beliau memiliki ikatan yang mendalam dan tulus dengan Khilafat. Di antara yang ditinggalkan, selain istri beliau terdapat 5 orang putra dan 6 orang putri.

Selanjutnya, Nashirah Begum Sahibah, istri Ahmad Shadiq Tahir Mahmud, sabiq Mubaligh Bangladesh yang wafat pada 28-27 November. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhumah adalah putri yang terhormat Maulwi Muhammad Shadiq Sahib, mantan Amir Nasional. Almarhumah disiplin dalam shalat dan puasa, rajin berdoa, ramah terhadap tamu, penyabar, banyak bersyukur, seorang wanita yang salehah. Pada bulan Ramadhan beliau biasa menilawatkan Al-Qur’an secara dawam dan mengkhatamkannya. Selain itu, beliau memiliki keistimewaan-keistimewaan dan kebaikan-kebaikan lainnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhumah.

Jenazah selanjutnya, Rafiuddin Bath Sahib. Beliau wafat pada 6 Desember di usia 92 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah putra dari Hadhrat Maulwi Khair Din Sahib, sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Dengan karunia Allah Ta’ala beliau mendapatkan taufik ikut serta dalam Nizam Wasiyat sejak masih muda. Beliau mendapatkan kesempatan mengkhidmati Jemaat di berbagai tempat. Beliau adalah Ketua Jemaat Baddomalhi, Kabupaten Narowal dan Amir Halqah Wah Cantt. Beliau tengah menjabat sebagai Amir Halqah dan juga Ketua Jemaat Wah Cantt. Beliau juga mendapatkan kehormatan pernah dipenjara di jalan Allah. Di antara yang ditinggalkan antara lain empat orang putri dan satu orang putra dan seorang menantu beliau, Nasim Ahmad Sahib tengah mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Mubaligh di Nigeria. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum, meninggikan derajat para Almarhum dan memberikan kepada mereka tempat di sisi orang-orang yang mereka cintai. Sebagaimana telah saya sampaikan, setelah salat saya akan melaksanakan shalat jenazah gaib mereka.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Fazli ‘Umar Faruk (Indonesia) dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Tarikh Yaqubi. ‘Abdu Manaf mempunyai putra Hasyim, Abdu Syams, al-Muththalib dan Naufal. Hasyim dan Abdu Syams sendiri saudara kembar. Keturunan al-Muththalib sering bersekutu dengan keturunan Hasyim sedangkan keturunan Naufal dengan keturunan ‘Abdu Syams. Kedua cabang keturunan ini nantinya memegang peranan penting dalam sejarah kota Makkah menjelang kehidupan Nabi Muhammad (saw), setelah kenabian beliau (saw) dan ratusan tahun setelah kewafatan beliau (saw). Banu (keturunan) Hasyim menurunkan yang diantaranya ialah Banu Abbasiyah dan Banu Alawi (keturunan ‘Ali dari beberapa istrinya). Banu Abbasiyah pernah memegang penguasa umum membawahi hampir seluruh wilayah Muslim lebih dari 400 tahun setelah kekalahan Banu Umayyah bin Abdu Syams yang hanya memegang kekuasaan selama kurang dari 100 tahun. Namun, di Spanyol, Banu Umayyah melanjutkan kekuasaan mereka selama lebih dari 200 tahun. Saat ini beberapa Raja Arab mengaku Banu Hasyim dan juga Syarif atau Sayyid seperti raja Maroko dan Yordania.

[2] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 4, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004], p. 377; Ali Muhammad al-Salabi, Sirat Amir al-Momineen Uthman (ra) bin Affan Shakhsiyyatuhu wa Asruh, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 15; Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 1 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], p. 154; Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 8 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], pp. 182, 183.

[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Tercantum juga dalam at-Tamhid karya Abu ‘Abdullah Muhammad al-Andalusi (التمهيد والبيان في مقتل الشهيد عثمان المؤلف: أبو عبد الله محمد بن يحيى بن محمد بن يحيى بن أحمد بن محمد بن بكر الأشعري المالقي الأندلسي (المتوفى: 741هـ)). Ali Muhammad al-Salabi, Sirat Amir al-Momineen Uthman (ra) bin Affan Shakhsiyyatuhu wa Asruh, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 15).

[4] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 4, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004], p. 377

[5] Taisiril Karimil Mannaan fi Sirah ‘Utsman ibni ‘Affaan – Syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu (تيسير الكريم المنان في سيرة عثمان بن عفان – شخصيته وعصره) karya ‘Ali Muhammad ash-Shallabi, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 16.. Riyaadhun Nadhirah (كتاب الرياض النضرة في مناقب العشرة) karya Muhibbuddin ath-Thabari (الطبري، محب الدين), pasal kedua tentang nama dan panggilannya (الفصل الثاني: في اسمه وكنيته): وحكى الإمام أبو الحسين القزويني الحاكمي في تسميته بذلك ثلاثة أقوال: أحدها، هذا، والثاني: لأنه كان يختم القرآن في الوتر، فالقرآن نور وقيام الليل نور، والثالث: لأنه كان له سخاءان، أحدهما قبل الإسلام والثاني بعده . Tercantum juga dalam ‘Abqariyatu ‘Utsman dan ‘Utsman bin ‘Affan Dzun nurain karya ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqaad.

[6] Al-Ishabah.

[7] Taisiril Karimil Mannaan fi Sirah ‘Utsman ibni ‘Affaan – Syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu (تيسير الكريم المنان في سيرة عثمان بن عفان – شخصيته وعصره) karya ‘Ali Muhammad ash-Shallabi, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 16; Shadiq Arjun dalam karyanya ‘Utsman bin ‘Affan (عثمان بن عفان، صادق عرجون، ص45). Tercantum juga dalam Fiqh Imam Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan (فقه الإمام أبان بن عثمان بن عفان) karya doktor Imaad Amuri Hamid Al Zahid (عماد أموري حميد آل زاهد ،الدكتور)

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, bab mengenai keislaman ‘Utsman (ذِكْرُ إِسْلاَمِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَنا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحٍ).

[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1996], p. 31; Mu‘jam al-Buldan, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], p. 320 & 472).

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-2)

[10] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1996], p. 31: موسى بن محمّد بن إبراهيم بن حارث التيميّ عن أبيه قال: لمّا أَسْلَمَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَخَذَهُ عَمُّهُ الْحَكَمُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ فَأَوْثَقَهُ رِبَاطًا وَقَالَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ آبَائِكَ إِلَى دِينٍ مُحْدَثٍ؟ وَاللَّهِ لَا أَحُلُّكَ أَبَدًا حَتَّى تَدَعَ مَا أَنْتَ عَلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّينِ، فَقَالَ عُثْمَانُ: وَاللَّهِ لَا أَدَعُهُ أَبَدًا وَلَا أُفَارِقُهُ، فَلَمَّا رَأَى الْحَكَمُ صَلَابَتَهُ فِي دِينِهِ تَرَكَهُ .

[11] Tentang kedua putri Nabi Muhammad ((saw)) yang telah diadakan perjodohan dengan kedua putra Abu Lahab lalu diceraikan sebelum mereka berkumpul, disebutkan dalam Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d: : رُقْيَةُ بنت رسول الله – صلى الله عليه وَسَلَّمَ وأمها خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قصي. كان تزوجها عتبة بن أبي لهب بن عبد المطلب قبل النبوة. فلما بعث رسول الله وأنزل الله «تَبَّتْ يَدا أَبِي لَهَبٍ» المسد: قال له أبوه أبو لهب: رأسي من رأسك حرام إن لم تطلق ابنته. ففارقها ولم يكن دخل بها . Ibnu Atsir dalam Usdul Ghaabah:وكان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قد زوج ابنته رقية من عتبة بن أبي لهب، وزوج أختها أم كلثوم عتيبة بن أبي لهب، فلما نزلت سورة ” تبت “، قال لهما أبوهما أبو لهب، وأمهما أم جميل بنت حرب بن أمية حمالة الحطب: فارقا ابنتي محمد ففارقاهما قبل أن يدخلا بهما كرامة من الله تعالى لهما وهوانا لابني أبي لهب .

[12] Sharh Zurqani ala al-Mawahib al-Laduniyyah, Vol. 4, pp. 322, 323, Bab fi Dhikr Awladuh al-Kiram, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1996; Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة 1-9 مع الفهارس ج8) karya Ibnu Hajar al-Asqalani (أبي الفضل أحمد بن علي/ابن حجر العسقلاني). Tercantum juga dalam Hadyul Qashid ila Ashhabil Hadits (هدي القاصد إلى أصحاب الحديث الواحد 1-7 ج6) karya Sayyid Kusruwi Hasan (سيد كسروي حسن); Ibnu Katsir (ابن كثير) dalam Al-Bidaayah wan Nihaayah (كتاب البداية والنهاية) bab pembahasan tahun ke-35 Hijriyyah dan uraian tentang keutamaan Amirul Mu-minin ‘Utsman bin ‘Affan (ثم دخلت سنة خمس وثلاثين ففيها مقتل عثمان بن عفان رضى الله عنه فصل في الإشارة إلى شيء من الأحاديث الواردة في فضائل أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضى الله عنه) menyebutkan mengenai kata-kata orang-orang di waktu pernikahan ‘Utsman dan Ruqayyah : أَحْسَنُ زَوْجٍ رَآهُ إِنْسَانٌ … رُقْيَةُ وَزَوْجُهَا عُثْمَانُ . ‘ahsanu zaujin ra-aahu insaanun Ruqyatu wa zaujuha ‘utsmaanu’- “Pasangan suami-istri paling elok yang pernah dilihat orang ialah Ruqayyah dan suami dia yang bernama ‘Utsman.” Para ahli sajak Muslim saat itu juga membuat doa berbentuk puisi untuk pernikahan keduanya.

[13] Al-Mu’jam al-Kabir (المعجم الكبير) karya ath-Thabrani (الطبراني) bahasan (نِسْبَةُ عُثْمَانَ بن عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ). Tercantum juga dalam Majma’uz Zawaaid (مجمع الزاوئد ومنبع الفوائد), Kitab al-Manaqib atau bahasan tentang keutamaan (كتاب المناقب), keutamaan ‘Utsman (باب ما جاء في مناقب عثمان بن عفان رضي الله عنه), pembahasan khusus tentang akhlaknya (باب ما جاء في خلقه رضي الله عنه). Tercantum juga dalam Mukhtashar Istidrak al-Hafizh adz-Dzahabi ‘ala Mustadrak al-Hakim (مختصرُ استدرَاك الحافِظ الذّهبي على مُستدرَك أبي عبد اللهِ الحَاكم) karya Sirajuddin Abu Hafash al-Syafi`i al-Mishri Umar Ibn Ali (عُمَر بن علي بن أحمَد الأنصاري ابن المُلَقن سِرَاج الدّين أبو حفص). Beliau terkenal dengan sebutan Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin (Lampu agama putra ahli bahasa) dan hidup pada 723 H/1323 M – 804 H/1401 M. Al-Mu‘jam al-Kabir li al-Tabarani, Vol. 1, p. 76, Hadith 98, Dar Ihya al-Turath al-Arabi, Beirut, 2002.

[14] Ibn Hisham, Al-Sirah al-Nabawiyyah, bab Dhikr al-Hijrah al-Ula ila Ard al-Habashah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001], pp. 237-238; Ibnu Katsir (ابن كثير) dalam Al-Bidaayah wan Nihaayah (كتاب البداية والنهاية) bab (بَابُ هِجْرَةِ مَنْ هَاجَرَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ إِلَى أَرض الْحَبَشَة): فَلَمَّا رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُصِيبُ أَصْحَابَهُ مِنَ الْبَلَاءِ، وَمَا هُوَ فِيهِ مِنَ الْعَافِيَةِ، بِمَكَانِهِ مِنَ الله عزوجل وَمِنْ عَمِّهِ أَبِي طَالِبٍ، وَأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَمْنَعَهُمْ مِمَّا هُمْ فِيهِ مِنَ الْبَلَاءِ، قَالَ لَهُمْ: لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَا يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ، وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ، حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ فَرَجَا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ فَخَرَجَ عِنْدَ ذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ وَفِرَارًا إِلَى اللَّهِ بِدِينِهِمْ فَكَانَتْ أَوَّلَ هِجْرَةٍ كَانَتْ فِي الْإِسْلَامِ.

[15] Majma al-Zawa‘id wa Manba al-Fawa‘id, Kitab al-Manaqib, Bab Hijratuh, Hadith 14498, Vol. 9, Da al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001; Riyaadhun Nadhirah (كتاب الرياض النضرة في مناقب العشرة) karya Muhibbuddin ath-Thabari (الطبري، محب الدين), pasal kelima tentang hijrahnya (الفصل الخامس: في هجرته): عن أنس قال: أول من هاجر إلى أرض الحبشة عثمان، وخرج بابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فأبطأ على رسول الله صلى الله عليه وسلم خبرهما فجعل يتوكف الخبر، فقدمت امرأة من قريش من أرض الحبشة فسألها فقالت: رأيتها، فقال على أي حال رأيتها؟ قالت رأيتها وقد حملها على حمار من هذه الدواب وهو يسوقها، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: صحبهما الله!! أن كان عثمان لأول من هاجر إلى الله عز وجل بعد لوط ; Tercantum juga dalam Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي), bahasan Surah al-Ankabut (سورة العنكبوت), (قوله تعالى فآمن له لوط وقال إني مهاجر إلى ربي ): قَالَ قَتَادَةُ: سَمِعْتُ النَّضْرَ بْنَ أَنَسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا حَمْزَةَ يَعْنِي أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: خَرَجَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَمَعَهُ رُقَيَّةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَأَبْطَأَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ خَبَرُهُمْ، فَقَدِمَتِ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ رَأَيْتُ خَتْنَكَ وَمَعَهُ امْرَأَتُهُ. قَالَ: “عَلَى أَيِّ حَالٍ رَأَيْتِهِمَا” قَالَتْ: رَأَيْتُهُ وَقَدْ حَمَلَ امْرَأَتَهُ عَلَى حِمَارٍ مِنْ هَذِهِ الدَّبَّابَةِ(١) وَهُوَ يَسُوقُهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “صَحِبَهُمَا اللَّهُ إِنَّ عُثْمَانَ لَأَوَّلُ مَنْ هَاجَرَ بِأَهْلِهِ بَعْدَ لُوطٍ“. Fathul Bari Ibnu Hajar jilid 11 halaman 195 (https://carihadis.com/Fathul_Bari_Ibnu_Hajar/5195).

[16] Bagal (berasal dari kata arab بغل – baghal) merupakan keturunan silang antara kuda betina dan keledai jantan. Karena hasil persilangan antar jenis, bagal tidak bisa menghasilkan keturunan (mandul). Bahasa inggrisnya ialah mule dan bahasa Urdunya Kachar. Baghal tidak secepat kuda namun kuat untuk mengangkut beban.

[17] Al-Mustadrak ala al-Sahihain, Vol. 4, p. 414, Kitab Marifat al-Sahabah, Bab Dhikr Ruqayyah bint Rasul (sa) Allah, Hadith 6999, Dar al-Fikr, Beirut, 2002 Mustadrak ‘alash Shahihain bab yang pertama hijrah sesudah Luth dan Ibrahim (ذِكْرُ أَوَّلِ مَنْ هَاجَرَ بَعْدَ لُوطٍ وَإِبْرَاهِيمَ), nomor 6933: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ‏:‏ وَحَدَّثَنِي سَعْدٌ، قَالَ‏:‏ لَمَّا أَرَادَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْخُرُوجَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-‏:‏ ‏”‏ اخْرُجْ بِرُقَيَّةَ مَعَكَ ‏”‏ قَالَ‏:‏ أَخَالُ وَاحِدًا مِنْكُمَا يَصْبِرُ عَلَى صَاحِبِهِ، ثُمَّ أَرْسَلَ النَّبِيُّ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- فَقَالَ‏:‏ ‏”‏ ائْتِنِي بِخَبَرِهِمَا ‏”‏، فَرَجَعَتْ أَسْمَاءُ إِلَى النَّبِيِّ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- وَعِنْدَهُ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَتْ‏:‏ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْرِجَ حِمَارًا مُوكَفًا، فَحَمَلَهَا عَلَيْهِ وَأَخَذَ بِهَا نَحْوَ الْبَحْرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-‏:‏ .

[18] Ibnu Hisham dalam karyanya Al-Sirah al-Nabawiyyah [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001], pp. 265-266 : (سَبَبُ رُجُوعِ مُهَاجِرَةِ الْحَبَشَةِ) :قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ: وَبَلَغَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، الَّذِينَ خَرَجُوا إلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، إسْلَامُ أَهْلِ مَكَّةَ، فَأَقْبَلُوا لِمَا بَلَغَهُمْ مِنْ ذَلِكَ، حَتَّى إذَا دَنَوْا مِنْ مَكَّةَ، بَلَغَهُمْ أَنَّ مَا كَانُوا تَحَدَّثُوا بِهِ مِنْ إسْلَامِ أَهْلِ مَكَّةَ كَانَ بَاطِلًا، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُمْ أَحَدٌ إلَّا بِجِوَارٍ أَوْ مُسْتَخْفِيًا فَكَانَ مِمَّنْ قَدِمَ عَلَيْهِ مَكَّةَ مِنْهُمْ، فَأَقَامَ بِهَا حَتَّى هَاجَرَ إلَى الْمَدِينَةِ، فَشَهِدَ مَعَهُ بَدْرًا (وَأُحُدًا) ، وَمَنْ حُبِسَ عَنْهُ حَتَّى فَاتَهُ بَدْرٌ وَغَيْرُهُ، وَمَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ مِنْهُمْ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيٍّ: عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ ابْن أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، مَعَهُ امْرَأَتُهُ رُقَيَّةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

[19] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 1 [Lahore, Pakistan: Idarah Islamiyyat Anar Kali, 2004], p. 178.

[20] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1996], p. 31.

[21] Dimuat dalam Sirah an-Nabawiyah ibnu Hisyam (السيرة النبوية: ج 1 ص 321) karya Abū Muḥammad ‘Abdul-Malik bin Hisyām, p. 237, Bābu Dhikril-Hijratil-Ūlā ilal-Arḍil-Ḥabashah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001): لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَا يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ، وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ حتى يجعلَ اللّه لكُم فرجاً مما أنتُم فيهِ ِ ; Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري: ج 2 ص 70) karya Abū Ja‘far Muḥammad bin Al-Jarīr Ṭabarī, Volume 2, p. 233, Bābu Dhikril Khabri ‘ammā kāna min Amri Nabiyyillāhi (saw) ‘inda Ibtidā’illāhi Ta‘ālā, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002) dan Biharul Anwar (بحار الأنوار: ج 18 ص 412 نقلاً عن مجمع البيان للطبرسي)

[22] Tārīkhuṭ-Ṭabarī, By Abū Ja‘far Muḥammad bin Al-Jarīr Ṭabarī, Volume 2, p. 233, Bābu Dhikril Khabri ‘ammā kāna min Amri Nabiyyillāhisa ‘inda Ibtidā’illāhi Ta‘ālā, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002).

[23] Chambers’ Encyclopedia (Ensiklopedia Chamber), Volume 1, Under the word: “Axum”, Edition 1871.

[24] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 1, p. 506, Bābul Hijratil Ūlā ilal Arḍil Ḥabashah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[25] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 1, p. 98, Bābu Dhikri Hijrati man Hājara min Aṣḥābi Rasūlillāhi (saw) ilā Arḍil-Ḥabashati fil-Marratil-Ūlā, Dārul-Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[26] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Malik bin Hisyām, p. 238, Bābu Dhikril-Hijratil Ūlā ilal-Arḍil-Ḥabashah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001). Anggota rombongan lain yang tidak disebut namanya dalam rujukan diatas ialah istri Abu Hudzaifah, yaitu Sahlah (سهلة ابنة سهيل). Di Habasyah beliau melahirkan Muhammad ibn Abu Hudzaifah (محمد بن أبي حذيفة). Setelah syahidnya Abu Hudzaifah di zaman Khalifah Abu Bakr, Muhammad diasuh dan dinafkahi oleh Utsman bin Affan. Pada masa Kekhalifahan Utsman, Muhammad juga mendapat peran dalam armada laut. Sayang sekali Muhammad bin Abu Hudzaifah ikut berperan melakukan penentangan dan provokasi terhadap Khalifah Utsman (rujukan Awal Mula Perpecahan dalam Umat Islam oleh Khalifatul Masih II ra). Muhammad bin Abu Hudzaifah dipenjara dan dieksekusi pada masa Muawiyah.

[27] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 1, p. 98, Bābu Dhikri Hijrati man Hājara min Aṣḥābi Rasūlillāhi (saw) ilā Arḍil-Ḥabashati fil-Marratil-Ūlā, Dārul-Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 1, p. 505, Bābul-Hijratil-Ūlā ilal-Arḍil-Ḥabashah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[28] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 146-147

[29] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 16, Bābu Dukhūlish-Sha‘bi wa Khabriṣ-Ṣaḥīfah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebehon, First Edition (1996).

[30] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 1, p. 99, Bābu Dhikri Sababi Rujū‘i Aṣḥābin Nabiyyi sa min Arḍi Ḥabashah, Dārul-Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[31] Shahih al-Bukhārī, Kitābut-Tafsīr, Sūratul-Qamar, Bābu Fasjudū lillāhi Wa‘budūhu, hadīth No. 4862

[32] Surah an-Najm, 53 di ayat terakhir atau ke-63 jika dengan basmalah: فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا ۩ () “Maka bersujudlah kepada Allah yang telah menurunkan al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia. Dan menyembahlah hanya kepada-Nya.”

[33] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘alal-Mawāhibil Ladunniyyah, By Muḥammad bin ‘Abdul-Bāqī Az-Zarqānī, Volume 2, p. 32, Bābul-Hijratith-Thāniyati ilal-Ḥabashata wa Naqḍiṣ-Ṣaḥīfah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebehon, First Edition (1996)

[34] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra), pp. 146-149

[35] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 1, pp. 98-99, Bābu Dhikri Sababi Rujū‘i Aṣḥābin-Nabiyyi sa ‘an Arḍi Ḥabashah, Dārul-Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[36] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 146-152.

[37] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ٥٦), Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1996], p. 31.

[38] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ٦٨) bahasan Dhikr ma Qila li Uthman fi al-Khud‘a (ذكر ما قيل لعثمان في الخلع ، وما قال لهم), Vol. 3, nomor 2724, p. 38 [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1996]. Tercantum juga dalam Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال), jilid ke-13 (المجلد الثالث عشر), bahasan keistimewaan Dzun Nurain ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu (فضائل ذي النورين عثمان بن عفان رضي الله عنه), nomor 36166; tercantum juga dalam Kitab As-Sunnah li Ibnu Abi ‘Ashim: عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ الْحِمْيَرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ فِيمَنْ حَصَرَ عُثْمَانَ فَأَشْرَفَ فَقَالَ أَهَهُنَا طَلْحَةُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ أَمَا تَعْلَمُ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَنَا ذَاتَ يَوْمٍ: «لِيَأْخُذْ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ بِيَدِ صَاحِبِهِ» وَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِي وَقَالَ: «هَذَا جَلِيسِي وَوَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ» فَقَالَ طَلْحَةُ اللَّهُمَّ نَعَمْ قَالَ الْحِمْيَرِيُّ فَقُلْتُ كَيْفَ أُقَاتِلُ رَجُلا قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هَذَا فِيهِ قَالَ فَرَجَعَ فِي سَبْعِ مِئَةٍ مِنْ قَوْمِهِ . Penulis kitab ini ialah Abu Bakar bin Abi ‘Ashim Ahmad bin ‘Amru bin Dhahhak bin Makhlad asy-Syaibani (أحمد بن عمرو بن أبي عاصم الضحاك بن مخلد الشيباني، أبو بكر بن أبي عاصم) atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi Ashim (ابن أبي عاصم) yang masa hidupnya pada tahun 822-900 M atau 206-287 Hijriah. Ia seorang ahli Hadits kelahiran Bashrah, Irak dan meninggal di Isfahan. Diantara gurunya adalah Imam Bukhari dan Abu Hatim ar-Razi.

[39] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’d, Vol. 3, Uthman (ra) bin Affan [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1996], p. 32.

[40] Sunan Ibni Maajah, Kitab al-Muqaddimah atau Iftitah al-Kitab, Fasl Uthman (ra), nomor 110. Al-Majaalisul Wa’zhiyyah Syarh Ahadits Khairil Bariyyah min Shahih al-Imam al-Bukhari (المجالس الوعظية في شرح أحاديث خير البرية من صحيح الإمام البخاري 1-3 ج2) karya Muhammad bin Umar as-Sufairi (محمد بن عمر السفيري‎).

[41] Ali Muhammad al-Salabi, Sirat Amir al-Momineen Uthman (ra) bin Affan Shakhsiyyatuhu wa Asruh, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 41; Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق 1-37 ج21) karya Ibnu Asakir ad-Dimasyqi (أبي القاسم علي بن الحسن/ابن عساكر الدمشقي). Anis as-Sari (أنيس الساري 1-11 – 2).

[42] Ali Muhammad al-Salabi, Sirat Amir al-Momineen Uthman (ra) bin Affan Shakhsiyyatuh wa Asruh, Ch. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ma‘rifah, 2006] p. 42; Dzakhair al-‘Uqba karya Ahmad bin ‘Abdullah Muhibbuddin ath-Thabari (ذخائر العقبى – احمد بن عبد الله الطبري – الصفحة ١٦٦): عثمان لما ماتت امرأته بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم بكيت بكاء شديدا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يبكيك قلت أبكى على انقطاع صهري منك قال فهذا جبريل عليه السلام يأمرني بأمر الله عز وجل أن أزوجك أختها. وعن ابن عباس معناه وفيه والذي نفسي بيده لو أن عندي مائة بنت تموت واحدة بعد واحدة زوجتك أخرى حتى لا يبقى بعد المائة شئ هذا جبريل أخبرني أن الله عز وجل يأمرني أن أزوجك أختها وأن أجعل صداقها مثل صداق أختها. أخرجهما الفضائلي الرازي .

(ذكر وفاة أم كلثوم رضي الله عنها) ماتت أم كلثوم في سنة تسع من الهجرة وصلى عليها أبوها صلى الله عليه وسلم ونزل في حفرتها على والفضل وأسامة بن زيد وروى أن أبا طلحة الأنصاري استأذن رسول الله صلى الله عليه وسلم في أن ينزل معهم فأذن له. ذكره أبو عمر. وعن أنس قال شهدنا بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورسول الله صلى الله عليه وسلم جالس على القبر فرأيت عينيه (1) تدمعان فقال هل فيكم من أحد لم يقارف الليلة فقال أبو طلحة أنا فقال أنزل في قبرها فنزل. خرجه البخاري.

[43] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jana‘iz atau tentang Jenazah, bab man Yadkhulu Qabr al-Mar‘ah (باب مَنْ يَدْخُلُ قَبْرَ الْمَرْأَةِ) atau siapa yang hendaknya masuk ke liang penguburan mayat perempuan, nomor 1342, Urdu Tarjumah Sahih al-Bukhari Vol. 2, p. 663, Nazarat Isha‘at: حَدَّثَنَا هِلاَلُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ أَنَسٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ

[44] Tuhfatul Ahwadzi (تحفة الأحوذي), Kitab Manaqib (كتاب المناقب), bab Manaqib ‘Utsman (باب في مناقب عثمان بن عفان رضي الله عنه); tercantum juga dalam Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: لَوْ كَانَ عِنْدَنَا ثَالِثَةٌ لَزَوَجَّنَاكَهَا يَا عُثْمَانُ . tercantum juga dalam Majma’uz Zawaid (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد), kumpulan bab keutamaan ‘Utsman (أبواب ما جاء في مناقب عثمان بن عفان رضي الله عنه) bab pernikahan beliau (باب تزويجه رضي الله عنه), nomor 14511: عن عصمة قال‏:‏ لما ماتت بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم التي تحت عثمان قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏”‏زوجوا عثمان، لو كانت عندي ثالثة لزوجته، وما زوجته إلا بوحي من الله عز وجل .

[45] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ج ٣٩) karya Ibnu Asakir (أبي القاسم علي بن الحسن ابن هبة الله بن عبد الله الشافعي [ ابن عساكر ]); Mirqaatul Mafaatih Syarh Misykaat Mashabih (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح), bab keutamaan ‘Utsman (بَابُ مَنَاقِبِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).

[46] Kanz al-Ummal, Vol. 13, p. 21, Bab Fadha‘il al-Sahabah, Fadha‘il Dhun-Nurain Uthman (ra) bin Affan, Hadith 36201, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2004; Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ج ٣٩) karya Ibnu Asakir (أبي القاسم علي بن الحسن ابن هبة الله بن عبد الله الشافعي [ ابن عساكر ])

[47] Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Sri Krishna [yang dalam pandangan Jemaat, beliau adalah utusan Tuhan] adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah “Nyanyian Sri Bhagawan” (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan tak terbatas, kemahsyuran abadi, kekuatan tak terbatas, kecerdasan tak terbatas, dan ketidakterikatan sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan). Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada “Bhismaparwa”. Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Sri Krishna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.