Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 71)
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 03 April 2020 (Syahadat 1399 Hijriyah Syamsiyah/09 Sya’ban 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sehubungan keadaan saat ini dan berdasarkan aturan yang dibuat oleh Pemerintah di sini (Inggris), kita tidak dapat menyampaikan khotbah resmi seperti biasa dengan mendudukkan para jamaah di depan. Di hari ini saya mengatur bagaimana supaya dapat menyampaikan khotbah dari masjid ini sesuai dengan aturan yang diizinkan oleh Pemerintah. Hal demikian karena dengan begitu dapat mencapai para penyimak khotbah Jumat di seluruh dunia hingga ribuan bahkan ratusan ribu baik terdapat jamaah ataupun tidak di hadapan saya. Kita harus berusaha untuk selalu menegakkan persatuan ini. Senantiasa panjatkanlah doa semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan yang terjadi dan menjauhkan wabah ini. Demikian juga semoga masjid dapat makmur kembali.
Saya akan lanjutkan topik khotbah lalu. Telah saya sampaikan khotbah pada dua Jumat yang lalu mengenai Hadhrat Thalhah Bin Ubaidillah (ra). Sebelum ini telah saya katakan bahwa saya akan melanjutkan membahas berkenaan dengan syahidnya beliau pada saat perang Jamal. Maka dari itu, akan saya sampaikan hari ini tentang hal tersebut. Dalam penyampaian nanti sampai batas tertentu akan menjawab beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan perang Jamal. Sebelum kewafatannya, Hadhrat Umar membentuk sebuah Tim Formatur Khilafat. Berkenaan dengan hal itu kita dapatkan keterangan lengkap dalam satu riwayat Shahih al-Bukhari sebagai berikut: Ketika menjelang kewafatan Hadhrat Umar (ra), orang-orang memohon, أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ. “Wahai Amirul Mu-minin! Berikanlah wasiyat dengan menetapkan seseorang yang akan menjadi Khalifah berikutnya.”
Beliau (ra) bersabda, مَا أَجِدُ أَحَقَّ بِهَذَا الأَمْرِ مِنْ هَؤُلاَءِ النَّفَرِ أَوِ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ عَنْهُمْ رَاضٍ. “Saya tidak mendapati orang yang lebih berhak daripada beberapa orang ini untuk menjadi Khalifah. Mereka ialah orang-orang yang diridhai oleh Rasulullah (saw) ketika beliau (saw) wafat.
فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ Hadhrat Umar menyebut nama Hadhrat Ali, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Zubair, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Sa’d, Hadhrat Abdurahman Bin Auf (radhiyallahu ‘anhum).
Hadhrat Umar berkata lagi, يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ “Abdullah Bin Umar akan ikut dalam komite ini namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi Khalifah.”[1]
كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ Seolah-olah hal ini dikatakan untuk menentramkan Abdullah.
فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهْوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ “Jika Sa’d terpilih, dialah yang akan menjadi Khalifah. Jika tidak, siapapun diantara kalian yang ditetapkan sebagai yang berwenang [sebagai Khalifah], mintalah selalu bantuan dari Sa’d karena saya pernah memakzulkan dia [memberhentikan dari jabatan Amir Kufah] bukanlah karena ia tidak mampu untuk melakukan tugas atau telah berkhianat.”
Selanjutnya bersabda: أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ، وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ، وَأُوصِيهِ بِالأَنْصَارِ خَيْرًا، الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ، أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ، وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ، “Saya berwasiyat kepada Khalifah yang terpilih setelah kematian saya: pertama, mengenai kaum Muhajirin, perhatikanlah hak-hak mereka dan hormatilah mereka.
Saya pun mewasiyatkan agar memperlakukan para Anshar dengan perlakuan mulia karena mereka ‘yaitu orang-orang yang telah memiliki negeri dan beriman sebelum kedatangan muhajirin – QS. Al-Hasyr [59]: 9′ sehingga terimalah orang yang berbuat baik diantara mereka dan maafkan orang yang berbuat buruk diantara mereka.
وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الإِسْلاَمِ، وَجُبَاةُ الْمَالِ، وَغَيْظُ الْعَدُوِّ، وَأَنْ لاَ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلاَّ فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ، وَأُوصِيهِ بِالأَعْرَابِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الإِسْلاَمِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ، وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَلاَ يُكَلَّفُوا إِلاَّ طَاقَتَهُمْ. Saya wasiyatkan juga kepada Khalifah terpilih nanti supaya memperlakukan para warga ‘amshaar (wilayah-wilayah permukiman para petugas dan tentara utusan Khalifah) secara baik karena mereka merupakan para pelindung Islam, sumber kekayaan dan dapat menimbulkan kegentaran bagi pihak penentang. Ambillah sesuatu pungutan dengan persetujuan mereka apa-apa yang merupakan kelebihan yang tidak diperlukan oleh mereka.
Saya wasiyatkan [kepada Khalifah terpilih nanti], perlakukanlah kaum Arab Badui dengan baik karena mereka merupakan akar dan jasad bagi bangsa Arab. Mereka juga bahan mentah umat Islam. Ambillah harta dari orang-orang berkelebihan diantara mereka lalu berikanlah kepada orang-orang yang membutuhkan dari antara mereka.
Saya juga mewasiatkan kepadanya mengenai mereka yang berada dalam perlindungan dengan jaminan Allah dan jaminan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam [yaitu kaum dzimmi – non Muslim yang berada dalam perlindungan pemerintah Islam sesuai perjanjian], hendaklah ia memenuhi perjanjian dengan mereka dan berperang untuk melindungi mereka [dari serangan musuh] serta janganlah ia membebani mereka di luar batas kesanggupan mereka.”
فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ. قَالَتْ أَدْخِلُوهُ. فَأُدْخِلَ، فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ “Setelah Hadhrat Umar wafat, kami (para Sahabat) membawa jenazah beliau dan mulai berjalan. Hadhrat Abdullah Bin Umar mengucapkan salam kepada Hadhrat Aisyah dan berkata, ‘Umar putra al-Khaththab telah meminta izin.’
Hadhrat Aisyah menjawab, ‘Bawalah jenazahnya masuk.’
Jenazah beliau dimasukkan ke dalam rumah lalu dikuburkan di sana bersama dua Sahabatnya [yaitu Nabi (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra)].
فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلاَثَةٍ مِنْكُمْ. Setelah penguburan beliau selesai, orang-orang yang namanya disebut oleh Hadhrat Umar (ra) berkumpul. Hadhrat Abdurahman bin Auf berkata [kepada anggota Tim Formatur pemilihan Khalifah]: ‘Serahkan urusan [pilihlah calon Khalifah] kepada tiga orang diantara kalian.’
فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ. فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ. وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ. Hadhrat Zubair berkata, ‘Saya berikan wewenang saya kepada [Saya memilih] Hadhrat Ali.’ Hadhrat Thalhah berkata, ‘Saya memilih Hadhrat ‘Utsman.’ Hadhrat Sa’d berkata, ‘Saya memilih Abdurrahman Bin Auf.’
فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ، وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالإِسْلاَمُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ. Hadhrat Abdurrahman berkata kepada Hadhrat Ali dan Hadhrat ‘Utsman, ‘Siapa pun diantara anda berdua yang lepas tangan dari urusan ini, akan kami serahkan urusan ini kepada orang tersebut. Semoga Allah dan Islam akan menjadi pengawas baginya. Dia akan mengusulkan sesuatu yang menurut-Nya utama, yakni yang dalam pandangan Allah Ta’ala utama.’
فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَىَّ، وَاللَّهُ عَلَىَّ أَنْ لاَ آلُوَ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالاَ نَعَمْ، فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْقَدَمُ فِي الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ، وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ. Ucapan ini telah membuat kedua wujud suci ini terdiam yakni beliau-beliau tidak menjawab apa-apa. Hadhrat Abdurrahman lalu berkata: ‘Apakah kalian rela menyerahkan pemilihan ini kepada saya sehingga maka saya memiliki tanggungjawab terhadap Allah untuk tidak meninggalkan orang yang paling mulia diantara kalian?’
Keduanya (Ali dan Utsman) menjawab: ‘Ya, kami rela.’
Maka Abdurrahman bin Auf memegang tangan salah satu dari keduanya [Ali bin Abi Thalib] dan berkata kepadanya: ‘Anda memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan Anda terdahulu dalam masuk Islam. Kewajibanmu atas Allah seandainya saya mengangkat Anda sebagai pemimpin, hendaklah Anda berbuat adil dan seandainya saya mengangkat Ustman sebagai pemimpin maka Anda harus mendengar dan menaatinya.’
ثُمَّ خَلاَ بِالآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ. فَبَايَعَهُ، فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ، وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ. Abdurrahman bin Auf lalu memegang tangan calon lainnya [Utsman] dan mengatakan hal serupa kepadanya. Setelah Abdurrahman bin Auf selesai mengambil perjanjian, ia berkata, ‘Utsman! Julurkanlah tangan anda!’ Hadhrat Abdurrahman lalu baiat kepada Hadhrat ‘Utsman diikuti Hadhrat Ali. Penghuni rumah yang lainnya pun masuk kemudian baiat kepada Hadhrat ‘Utsman (riwayat Bukhari).[2]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda mengenai pemilihan Khalifah ‘Utsman, “Ketika Hadhrat Umar terluka dan merasa saat-saat terakhir beliau telah tiba, beliau membuat wasiat berkenaan dengan enam orang yang akan memilih salah satu diantara mereka sendiri untuk menjadi Khalifah. Keenam orang itu adalah Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurahman Bin ‘Auf, Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash, Hadhrat Zubair dan Hadhrat Thalhah.[3]
Seiring dengan itu Hadhrat Umar pun memerintahkan supaya Hadhrat Abdullah Bin Umar dimasukkan dalam komite tersebut namun meminta supaya Hadhrat Abdullah tidak dicalonkan. Beliau mewasiatkan supaya komite tersebut memutuskan dalam tiga hari dan beliau menetapkan Suhaib bin Sinan sebagai imam shalat dalam waktu tiga hari tersebut.
Beliau juga menetapkan Miqdad Bin Aswad sebagai pengawas komite lalu memerintahkan padanya: وَأَدْخِلْ عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَطَلْحَةَ إِنْ قَدِمَ، وَأَحْضِرْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَلا شَيْءَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ، وَقُمْ عَلَى رُءُوسِهِمْ، فَإِنِ اجْتَمَعَ خَمْسَةٌ وَرَضُوا رَجُلا وَأَبَى وَاحِدٌ فَاشْدَخْ رَأْسَهُ- أَوِ اضْرِبْ رَأْسَهُ بِالسَّيْفِ- وَإِنِ اتَّفَقَ أَرْبَعَةٌ فَرَضُوا رَجُلا مِنْهُمْ وَأَبَى اثْنَانِ، فَاضْرِبْ رُءُوسَهُمَا، فَإِنْ رَضِيَ ثَلاثَةٌ رَجُلا مِنْهُمْ وَثَلاثَةٌ رَجُلا مِنْهُمْ، فَحَكِّمُوا عَبْدَ اللَّهِ ابن عُمَرَ، فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ حَكَمَ لَهُ فَلْيَخْتَارُوا رَجُلا مِنْهُمْ، فَإِنْ لَمْ يَرْضَوْا بِحُكْمِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَكُونُوا مَعَ الَّذِينَ فِيهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَاقْتُلُوا الْبَاقِينَ إِنْ رَغِبُوا عَمَّا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. ‘Kumpulkan para anggota komite tersebut di satu tempat. Tegaskan pada mereka untuk memutuskan. Kamu sendiri berjaga di dekat pintu dengan membawa pedang. Siapapun yang mendapat suara terbanyak, para anggota komite lainnya harus baiat pada orang terpilih itu. Jika ada anggota komite yang menentang keterpilihannya, bunuhlah ia. Namun jika suara terbagi dua dan berjumlah sama yaitu masing-masing tiga suara, Abdullah Bin Umar boleh memberikan saran mengenai siapa yang menjadi Khalifah. Jika keputusan tersebut tidak disetujui para anggota komite, maka siapapun yang dipilih oleh Abdurahman Bin Auf-lah yang akan menjadi Khalifah.’[4]
Akhirnya, kelima sahabat tadi bermusyawarah karena saat itu Thalhah sedang berada di luar Madinah. Namun tidak menghasilkan satu keputusan.
Setelah berdiskusi panjang, Abdurahman Bin Auf berkata, ‘Siapa yang ingin menarik namanya [dari pencalonan], silahkan.’
Ketika semuanya terdiam, Hadhrat Abdurahman Bin Auf berkata, فَأَنَا أَنْخَلِعُ مِنْهَا، فَقَالَ عُثْمَانُ: أَنَا أَوَّلُ مَنْ رضى ‘Saya adalah orang pertama yang akan menarik nama.’ Hal ini lalu diikuti Hadhrat ‘Utsman dan kedua sahabat lainnya. Hadhrat Ali tetap terdiam.
Akhirnya, para anggota komite mengambil janji dari Hadhrat Abdurahman Bin Auf bahwa beliau tidak akan berat sebelah dalam memutuskan nanti. Hadhrat Abdurrahman berjanji demikian. Para anggota komita menyerahkan semua tugas dan tanggungjawab kepada Hadhrat Abdurahman bin Auf dalam hal keputusan penetapan siapa yang akan menjadi Khalifah.
Selama tiga hari Hadhrat Abdurahman Bin Auf berkeliling Madinah mengunjungi tiap rumah. Beliau menanyakan kepada setiap penduduk, baik pria maupun wanita mengenai siapa yang paling tepat mendapatkan jabatan Khalifah. Semuanya memperlihatkan persetujuannya atas Khilafat Hadhrat ‘Utsman. Selanjutnya, beliau (Hadhrat Abdurahman Bin Auf) memberikan keputusannya terhadap Hadhrat ‘Utsman sebagai Khalifah dan Hadhrat ‘Utsman pun menjadi Khalifah.”[5]
Itu adalah penjelasan dari Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) dari berbagai referensi sejarah.
Dalam Fathul Bari, Syarah Sahih Bukhari tertulis, Hadhrat Thalhah tidak hadir ketika Hadhrat Umar berwasiyat. Mungkin saja beliau hadir ketika Hadhrat Umar wafat.
Dikatakan juga dalam sebuah riwayat bahwa beliau hadir pada saat musyawarah telah selesai. Berdasarkan satu riwayat lainnya yang dianggap lebih sahih, Hadhrat Thalhah hadir setelah prosesi baiat kepada Hadhrat ‘Utsman. Alhasil, Hadhrat ‘Utsman terpilih sebagai Khalifah lalu nizam normal kembali.
لما قتل عثمان جاء الناس كلهم إلى علي يهرعون أصحاب محمد وغيرهم كلهم يقول أمير المؤمنين علي حتى دخلوا عليه داره فقالوا نبايعك فمد يدك فأنت أحق بها فقال علي ليس ذاك إليكم انما ذاك إلى أهل بدر فمن رضى به أهل بدر فهو خليفة فلم يبق أحد الا أتى عليا فقالوا Ketika Hadhrat ‘Utsman Syahid, semua orang datang berlari menuju Hadhrat Ali. Diantara mereka adalah para sahabat dan tabiin. Semuanya mengatakan, Ali Amirul Mukminin, sampai-sampai mereka datang ke kediaman Hadhrat Ali.
Mereka mengatakan kepada Hadhrat Ali, نبايعك فمد يدك فأنت أحق بها “Kami akan baiat kepada anda, silahkan julurkan tangan anda karena anda adalah yang paling layak diantara semua.”
Hadhrat Ali berkata, ليس ذاك إليكم انما ذاك إلى أهل بدر فمن رضى به أهل بدر فهو خليفة “Ini bukanlah tugas kalian, melainkan tugas para Sahabat veteran perang Badr. Siapa yang dipilih oleh para Sahabat veteran perang Badr nanti, orang itulah yang akan menjadi Khalifah.”
فلم يبق أحد الا أتى عليا فقالوا Lalu semua sahabat Badar datang kepada Hadhrat Ali.
Mereka mengatakan, ما نرى أحدا أحق بها منك فمد يدك نبايعك “Kami memandang tidak ada yang lebih layak dari Anda. Silahkan julurkan tangan Anda, kami akan baiat di tangan anda.”
Hadhrat Ali bersabda: أين طلحة والزبير “Dimana Thalhah dan Zubair?”
فكان أول من بايعه طلحة بلسانه وسعد بيده فلما رأى على ذلك خرج إلى المسجد فصعد المنبر فكان أول من صعد إليه فبايعه طلحة وتابعه الزبير وأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ورضي عنهم أجمعين Yang paling pertama mengikrarkan baiat secara lisan adalah Hadhrat Thalhah. Yang baiat di tangan beliau adalah Hadhrat Saad. Ketika Hadhrat Ali melihat hal itu, beliau pergi ke masjid lalu naik ke mimbar. Yang paling pertama datang menghampiri beliau lalu baiat adalah Hadhrat Thalhah. Setelah Hadhrat Zubair lalu sahabat lainnya baiat kepada Hadhrat Ali.[6]
Apakah Hadhrat Thalhah, Hadhrat Zubair dan Hadhrat Aisyah baiat kepada Hadhrat Ali? Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda terkait hal itu dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan ketika menanggapi keberatan yang dilontarkan oleh Khawajah Kamaludin. Penjelasan ini sangat perlu, karena itu saya sampaikan saat ini. Beliau (ra) bersabda: “Tidak baiatnya Hadhrat Aisyah, Hadhrat Thalhah dan Zubair, jangan anda (Khawajah kamaludin) jadikan sebagai hujjah. [Hal Pertama’ Mereka tidaklah menolak Khilafat [Hadhrat ‘Ali], melainkan yang menjadi masalah adalah bagaimana menangani para pembunuh Hadhrat ‘Utsman.
[Hal Kedua] Perlu saya sampaikan kepada anda bahwa orang yang mengatakan kepada anda bahwa ketiga sahabat tersebut tidak baiat kepada Hadhrat Ali, adalah keliru. Hadhrat Aisyah telah mengakui kesalahannya [dalam perang Jamal di dekat Bashrah] lalu pergi ke Madinah sedangkan Zubair dan Thalhah tidaklah wafat sebelum terlebih dulu baiat.
Dalam hal ini disampaikan beberapa referensi dari Khasais Kubra jilid kedua: Hakim meriwayatkan, (saya lewati tulisan Bahasa Arabnya) bahwa Tsaur Bin Majza-ah (ثَوْرِ بْنِ مَجْزَأَةَ) mengatakan kepada saya, مَرَرْتُ بِطَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ يَوْمَ الْجَمَلِ وَهُوَ صَرِيعٌ فِي آخِرِ رَمَقٍ ، فَوَقَفْتُ عَلَيْهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ ، فَقَالَ : ‘Pada saat perang Jamal saya lewat di dekat Hadhrat Thalhah. Saat itu beliau tengah meregang nyawa. Beliau lalu bertanya kepada saya, “Kamu berasal dari kelompok mana?”
Saya berkata, مِنْ أَصْحَابِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيٍّ “Saya berasal dari kelompok Hadhrat Ali, Amirul Mukminin.”
Beliau berkata: ابْسُطْ يَدَكَ أُبَايِعُكَ ، فَبَسَطْتُ يَدِي وَبَايَعَنِي “Kalau begitu julurkan tanganmu, supaya saya dapat baiat di tanganmu.”
فَفَاضَتْ نَفْسُهُ ، فَأَتَيْتُ عَلِيًّا فَأَخْبَرْتُهُ بِقَوْلِ طَلْحَةَ ، فَقَالَ : Hadhrat Thalhah lalu baiat di tangan saya kemudian wafat. Saya sampaikan kejadian ini kepada Hadhrat Ali.
Hadhrat Ali berkata: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَى اللَّهُ أَنْ يَدْخُلَ طَلْحَةَ الْجَنَّةَ إِلَّا وَبَيْعَتِي فِي عُنُقِهِ “Allahu Akbar! Sabda Rasul telah tergenapi dengan begitu jelasnya bahwa Allah Ta’ala menolak Thalhah masuk surga kecuali dengan terlebih dahulu berbaiat kepada saya.”’
[Hal ketiga:] Beliau termasuk kedalam 10 sahabat yang dijanjikan surga.”[7]
Suatu hari disebut-disebut mengenai perang Jamal kepada Hadhrat Aisyah. Hadhrat Aisyah bersabda: والناس يقولون: يَوْم الجمل؟ apakah orang-orang menceritakan prihal perang Jamal. Ada yang menjawab: نعم Benar, orang-orang menceritakannya. Hadhrat Aisyah bersabda: وددت أني لو كنت جلست كما جلس صواحبي، وكان أحب إليَّ من أن أكون ولدت من رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بضع عشرة، كلهم مثل عَبْد الرَّحْمَن بْن الحارث بْن هشام، أَوْ مثل عَبْد اللَّه بْن الزُّبَيْر. “Seandainya saya duduk terus-menerus di rumah saya seperti orang-orang lainnya yang tetap duduk daripada ikut pergi ke arah Bashrah saat perang Jamal maka hal itu akan lebih membuat saya bahagia dibandingkan melahirkan 10 anak dari Rasulullah (saw) yang diantara setiap anak seperti Abdurahman Bin Harits Bin Hisyam.”[8]
Hal berikutnya adalah, Thalhah dan Zubair termasuk sahabat yang tergolong dalam Asyrah Mubasyarah yang mengenainya Rasulullah telah memberikan kabar suka akan surga dan tergenapinya kabar suka Rasulullah adalah suatu hal yang pasti. Tidak hanya itu mereka juga bertaubat dari khuruj (memisahkan diri) (referensi dari Hadhrat Muslih Mauud).”
Menjelaskan berkenaan dengan syahidnya Hadhrat ‘Utsman, baiatnya Hadhrat Ali dan perang jamal, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Kelompok pembunuh menyebar ke berbagai arah sembari melontarkan tuduhan kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari tuduhan. Ketika mereka mengetahui bahwa umat Muslim telah baiat kepada Hadhrat Ali, mereka mendapatkan kesempatan baik untuk melontarkan tuduhan kepada Hadhrat Ali. Memang benar, telah berkumpul di sekitar Hadhrat Ali beberapa orang dari antara para pembunuh Hadhrat ‘Utsman. Dengan cara itu, orang-orang munafiq tersebut mendapatkan kesempatan baik untuk melontarkan fitnah.
Demikian pula, ada juga kelompok mereka yang berangkat ke Makkah menekan Hadhrat Aisyah untuk mengumumkan jihad membalas kewafatan Hadhrat ‘Utsman. Lalu Hadhrat aisyah mengumumkannya dan meminta bantuan dari para sahabat.
Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair baiat kepada Hadhrat Ali dengan syarat jika Hadhrat Ali segera menghukum para pembunuh Hadhrat ‘Utsman. Sedangkan Hadhrat Ali berpandangan bahwa sikap tergesa-gesa untuk membalas dendam seperti itu dampaknya tidak akan baik. Hadhrat Ali berfikir supaya pertama tama pemerintahan di seluruh daerah dikokohkan terlebih dahulu lalu selanjutnya berfikir untuk menghukum para pembunuh Hadhrat ‘Utsman karena yang utama adalah perlindungan terhadap Islam. Tidaklah mengapa jika terlambat dalam menangani para pembunuh Hadhrat ‘Utsman.
Berkenaan dengan penentuan siapa saja para pembunuh Hadhrat ‘Utsman juga, ada beda pendapat. Pertama, mereka (Para pembunuh Hadhrat ‘Utsman) datang menjumpai Hadhrat Ali dengan menampilkan raut wajah sedih lalu menyampaikan kekhawatiran akan terjadinya perpecahan dalam Islam. Hadhrat Ali tidaklah menaruh curiga kepada mereka bahwa mereka adalah biang kekacauan. Yang menaruh curiga terhadap mereka adalah orang lain.
Disebabkan perbedaan itulah sehingga Thalhah dan Zubair beranggapan Hadhrat Ali telah berpaling dari janjinya. Sebagaimana mereka baiat bersyarat kepada Hadhrat Ali dan beranggapan bahwa Hadhrat Ali tidak menepati janji tersebut untuk itu secara hukum syariat mereka menganggap diri mereka tidak terikat dengan baiat. Ketika pengumuman dari Hadhrat Aisyah sampai kepada mereka (Hadhrat Thalhah dan Zubair) lalu mereka berdua bergabung dengan Hadhrat Aisyah. Mereka bersama sama menuju Bashrah.
Amir (Gubernur) Bashrah (‘Utsman bin Hunaif) menghalangi orang-orang untuk bergabung dengan mereka. Namun ketika orang-orang mengetahui Thalhah dan Zubair baiat kepada Hadhrat Ali dengan satu syarat, maka kebanyakan orang bergabung bersama dengan beliau (Hadhrat Aisyah).
Ketika Hadhrat Ali mengetahui perihal lasykar tersebut, beliau pun menyiapkan lasykar juga lalu berangkat ke Bashrah. Sesampainya di Bashrah, Hadhrat Ali mengutus seseorang [yaitu Qa’qa bin Amru, القعقاع بن عمرو] kepada Hadhrat Aisyah, Thalhah dan Zubair. Orang tersebut terlebih dahulu pergi menemui Hadhrat Aisyah dan bertanya, أَيْ أُمَّهْ، مَا أَشْخَصَكِ وَمَا أَقْدَمَكِ هَذِهِ الْبَلْدَةَ؟ ‘[Wahai Bunda], Apa tujuan Anda datang ke negeri ini?’
Hadhrat Aisyah menjawab, أَيْ بُنَيَّ، إِصْلاحٌ بَيْنَ النَّاسِ ‘Nak, kami hanya mengharapkan terciptanya ishlaah (perbaikan) diantara orang-orang.’[9]
Setelah itu orang tersebut pun meminta dipanggilkan Thalhah dan Zubair lalu bertanya, ‘Apakah anda juga memiliki tujuan sama?’
Mereka berdua menjawab, ‘Ya, sama tujuannya.’
Orang itu menjawab, ‘Jika yang menjadi harapan anda adalah islah, maca caranya bukanlah seperti ini, karena peperangan akan menyebabkan kekacauan. Keadaan negeri saat ini sedang tidak baik. Jika anda membunuh seseorang, maka seribu orang akan bangkit untuk menuntut balas dan orang yang akan mendukungnya akan lebih banyak lagi. Demi terciptanya ishlah, pertama ikatlah negeri dengan tali persatuan. Setelah itu, barulah menghukum para penjahat itu. Jika tidak, menghukum orang dalam keadaan yang mencekam seperti ini dapat menimbulkan kekacauan dalam negeri. Hal pertama, kokohkan dulu pemerintahan, setelah itu baru menghukum mereka.’
Setelah mendengarkan hal itu mereka berkata: قد أصبت وأحسنت فارجع، فإن قدم علي وهو على مثل رأيك صلح هذا الأمر jika memang rencana Hadhrat Ali seperti ini, maka kami siap berjumpa dengan beliau. Lalu utusan tersebut mengabarkan kepada Hadhrat Ali dan perwakilan kedua belah pihak bertemu lalu dibuat suatu keputusan bahwa berperang tidaklah baik, hendaknya ditempuh jalan damai.[10]
Ketika kabar ini sampai ke telinga kelompok Abdullah Bin Saba (عبد الله بن سبأ) dan para pembunuh Hadhrat ‘Utsman, mereka sangat khawatir. Lalu sebuah kelompok dari antara mereka mengadakan rapat tertutup. Setelah rapat mereka memutuskan, ‘Jika tercipta perdamaian di kalangan umat Muslim, akan menimbulkan bahaya besar bagi kita. Sebaliknya jika umat Muslim terus berselisih satu sama lain maka kita akan dapat terhindar dari hukuman atas pembunuhan Hadhrat ‘Utsman. Jika terjalin perdamaian diantara umat Islam, maka tidak ada tempat bersembunyi lagi bagi kita, untuk itu bagaimanapun caranya supaya jangan sampai tercipta perdamaian diantara umat Muslim.’[11]
Tidak lama kemudian datanglah Hadhrat Ali. Pada hari berikutnya Hadhrat Ali bertemu dengan Hadhrat Zubair.
Ketika berjumpa, Hadhrat Ali bertanya, لعمري قد أعددتما سلاحاً وخيلاً ورجالاً إن كنتما أعددتما عند الله عذراً، فاتقيا الله ولا تكونا (كالتي نقضت غزلها من بعد قوةٍ أنكاثاً) النحل: 92، ألم أكن أخاكما في دينكما تحرمان دمي وأحرم دمكما، فهل من حدث أحل لكما دمي؟ ‘Anda berdua telah mempersiapkan pasukan untuk bertempur dengan saya? Apakah Anda juga telah mempersiapkan alasan yang akan disampaikan kepada Allah Ta’ala nanti? Kenapa kalian bersikeras untuk menghancurkan Islam yang pengabdiannya telah dilakukan melalui banyak penderitaan. Apakah saya bukan saudara kalian, lantas apa sebabnya, sebelum ini menumpahkan darah satu sama lain dianggap haram, namun sekarang dihalalkan? Jika tidak ada hal baru lantas kenapa bisa terjadi pertempuran ini?’
Hadhrat Thalhah yang saat itu bersama dengan Hadhrat Zubair berkata kepada Hadhrat Ali: ألبت على عثمان ‘Anda telah menghasut orang-orang untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman.’
Hadhrat Ali berkata: (يومئذٍ يوفيهم الله دينهم الحق) النور: 25. يا طلحة، تطلب بدم عثمان فلعن الله قتلة عثمان! ‘Saya melaknat orang-orang yang ikut dalam pembunuhan Hadhrat ‘Utsman.’[12]
Hadhrat Ali berkata: أَمَا تَذْكُرُ يَوْمَ كُنْتُ أَنَا وَأَنْتَ فِي سَقِيفَةِ قَوْمٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ” أَتُحِبُّهُ؟ ” فَقُلْتَ: وَمَا يَمْنَعُنِي؟ قَالَ: ” أَمَا إِنَّكَ سَتَخْرُجُ عَلَيْهِ وَتُقَاتِلُهُ وَأَنْتَ ظَالِمٌ ” ‘Tidakkah kamu ingat, Rasulullah pernah bersabda, “Demi Tuhan! Kamu akan berperang melawan Ali dan dalam keadaan demikian kamu akan menjadi orang zalim.”’[13]
Mendengar hal itu, Hadhrat Zubair kembali kepada lasykarnya dan bersumpah bahwa ia sekali-kali tidak akan berperang melawan Hadhrat Ali lalu berikrar bahwa dirinya telah keliru dalam ijtihadnya.[14]
Ketika kabar tersebut menyebar di kalangan para pasukan, semuanya merasa tenang karena tidak akan terjadi peperangan melainkan perdamaian.
Namun kabar tersebut membuat para pengacau merasa cemas. Ketika tiba malam, untuk menghentikan perdamaian ini, mereka menempuh makar dengan cara menghasut sebagian orang dari antara pasukan Hadhrat Ali untuk menyerang pasukan Hadhrat Aisyah, Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair pada malam hari. Begitu juga mereka menghasut sebagian pasukan Hadhrat Aisyah untuk menyerang pasukan Hadhrat Ali. Hal ini mengakibatkan kegaduhan. Kedua belah pihak saling beranggapan telah ditipu oleh pihak selainnya. Padahal sebenarnya ini merupakan rencana busuk kelompok Abdullah Bin Saba.
Ketika peperangan dimulai, Hadhrat Ali bersuara: Informasikan kepada Hadhrat Aisyah, mungkin melalui beliau, Allah Ta’ala akan menjauhkan kekacauan ini. Lalu unta Hadhrat Aisyah dikedepankan, namun akibatnya malah lebih berbahaya lagi.
Melihat hal itu para pengacau berpikir bahwa upaya rencana busuk mereka akan berbalik kepada mereka, lalu para pengacau mulai menghujani unta Hadhrat Aisyah dengan anak panah. Hadhrat Aisyah mulai berteriak, ‘Wahai manusia! Tinggalkanlah peperangan! Ingatlah Tuhan dan hari penghisaban! Namun, para pengacau tidak menghentikannya malah terus melontarkan panah pada unta Hadhrat Aisyah.
Penduduk Bashrah bersama dengan lasykar yang berkumpul di sekitar Hadhrat Aisyah melihat kejadian tersebut naik pitam. Mereka marah melihat kelancangan yang dilakukan kepada Hadhrat Ummul Mukminiin. Dengan marah besar mereka menarik pedang dan menyerang pasukan lawan. Keadaan saat itu adalah unta Hadhrat Aisyah menjadi markas peperangan. Sahabat dan para pejuang pemberani, berkumpul di sekitarnya dan terbunuh satu per satu, namun para pengacau tetap tidak meninggalkan serangannya pada unta Hadhrat Aisyah.
Hadhrat Zubair tidak ikut serta pada perang tersebut. Beliau (ra) pergi ke suatu tempat, namun ada seorang kurang ajar yang mengikutinya lalu mensyahidkan beliau dari arah belakang ketika beliau tengah shalat. Sementara itu, Hadhrat Thalhah terbunuh di tangan para pengacau itu di medan perang.
Ketika melihat perang semakin berkecamuk, berpikiran bahwa perang tidak akan berakhir sebelum Hadhrat Aisyah dipindahkan dari tempatnya lalu sebagian orang memotong kaki unta Hadhrat Aisyah lalu menurunkan tandu Hadhrat Aisyah ke tanah. Setelah itu peperangan terhenti. Melihat kejadian tersebut wajah Hadhrat Ali diliputi kesedihan namun tidak berdaya atas apa yang telah terjadi. Ketika ditemukan jenazah Hadhrat Thalhah diantara para korban paska perang, Hadhrat Ali sangat menyesalkan.
Dari seluruh kisah tersebut jelas bahwa tidak ada campur tangan sahabat dalam peperangan tersebut, melainkan perang itu ialah ulah para pembunuh Hadhrat ‘Utsman jugalah. Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair wafat dalam keadaan baiat kepada Hadhrat Ali karena mereka telah kembali pada iradahnya dan berikrar untuk menyertai Hadhrat Ali namun mereka terbunuh di tangan para penjahat. Hadhrat Ali melaknat para pembunuh itu.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda berkenaan dengan perang Jamal dan syahidnya Hadhrat Thalhah, “Ketika para Nabi datang ke dunia orang-orang yang beriman pada masa awal itulah yang dianggap terkemuka. Umat Muslim mengetahui bahwa orang-orang yang dianggap terkemuka setelah Nabi Muhammad (saw) ialah Hadhrat Abu Bakar, Hadhrat Umar, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Ali Hadhrat Thalhah, Hadhrat Zubair, Hadhrat Abdurrahman Bin Auf, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash dan Hadhrat Said. Akan tetapi, mereka dianggap terkemuka bukan karena mereka lebih banyak mendapatkan ketenangan melainkan disebabkan mereka lebih banyak menanggung derita demi agama lebih dari orang lain.
Hadhrat Thalhah masih tetap hidup paska kewafatan Rasulullah (saw). Ketika timbul pertentangan di kalangan umat muslim paska syahidnya Hadhrat ‘Utsman. Satu kelompok mengatakan, ‘Kita harus membalas orang-orang yang telah membunuh Hadhrat Utsman (ra).’ Pemimpin dari kelompok ini adalah Hadhrat Thalhah (ra), Hadhrat Zubair (ra) dan Hadhrat ‘Aisyah (ra).
Namun kelompok yang kedua mengatakan, ‘Kaum muslimin telah terpecah-belah, banyak orang yang tewas, sekarang juga kita harus menyatukan orang-orang Islam supaya wibawa dan keagungan Islam menjadi tegak, setelah itu barulah kita menuntut balas terhadap orang-orang itu.’ Pemimpin dari kelompok ini adalah Hadhrat Ali (ra).
Perselisihan ini menjadi sedemikian rupa meruncing, sehingga Hadhrat Thalhah (ra), Hadhrat Zubair (ra) dan Hadhrat Aisyah (ra) melayangkan tuduhan bahwa Hadhrat Ali (ra) ingin memberikan perlindungan kepada orang-orang yang telah mensyahidkan Hadhrat Utsman (ra), sedangkan Hadhrat Ali (ra) menuduh bahwa mereka lebih mengutamakan tujuan-tujuan pribadi mereka dan tidak mengindahkan faedah bagi Islam.
Perselisihan ini mencapai puncaknya dan kemudian terjadi perang satu sama lain. Sebuah perang yang mana Hadhrat Aisyah (ra) menjadi pemimpin pasukan di dalamnya. Hadhrat Thalhah (ra) dan Hadhrat Zubair (ra) juga ikut serta di dalamnya.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, pada awalnya mereka tergabung di pihak yang berseberangan, kemudian Hadhrat Zubair (ra) mendengar perkataan Hadhrat Ali (ra), lalu memisahkan diri serta menginginkan ishlah (perbaikan), namun para penentang, yakni orang-orang munafik atau para pembuat keonaran membuat fitnah. Bagaimanapun ada dua kelompok dan mereka ikut serta dalam peperangan, dan berlangsung perang diantara kedua belah pihak.
Lalu ada seorang sahabat datang kepada Hadhrat Thalhah (ra) dan berkata kepada beliau, ‘Thalhah! Apakah engkau ingat bahwa pada suatu kesempatan aku dan engkau duduk di majlis Hadhrat Rasulullah (saw) dan beliau (saw) bersabda, “Thalhah! Akan datang suatu masa dimana engkau akan berada dalam satu lasykar dan Ali akan berada dalam lasykar lain, dan Ali berada di atas kebenaran sedangkan engkau berada di atas kekeliruan.”’
Setelah mendengar ini mata Hadhrat Thalhah (ra) menjadi terbuka dan berkata, ‘Ya! Saya baru ingat lagi akan hal ini sekarang.’ Kemudian, beliau keluar dari lasykar itu dan pergi.[15]
Ketika beliau pergi meninggalkan peperangan supaya sabda Hadhrat Rasulullah (saw) tersebut terpenuhi, maka seseorang yang keji yang adalah seorang prajurit dari lasykar Hadhrat Ali (ra), menebaskan Khanjar (pedang pendek) kepada beliau dan mensyahidkan beliau.
Hadhrat Ali (ra) sedang duduk di tempatnya. Pembunuh Hadhrat Thalhah (ra) tersebut dengan pemikiran bahwa ia akan mendapatkan hadiah yang besar datang dengan berlari dan berkata kepada Hadhrat Ali (ra), “Wahai Amiirul Mu’miniin! Aku membawa khabar mengenai terbunuhnya musuh anda.”
Hadhrat Ali (ra) bertanya, “Musuh yang mana?”
Orang itu berkata “Wahai Amiirul Mu’miniin! Aku telah membunuh Thalhah.”
Hadhrat Ali (ra) berkata, ‘Wahai manusia! Aku juga ingin mengabarkan kepadamu dari Hadhrat Rasulullah (saw) bahwa kamu akan dimasukkan ke dalam neraka, karena suatu kali ketika Thalhah dan aku tengah duduk, Rasulullah (saw) bersabda, “Wahai Thalhah! Pada suatu waktu engkau akan menanggung penghinaan demi kebenaran dan keadilan, dan seseorang akan membunuh engkau, namun Allah Ta’ala akan memasukkan orang itu ke dalam jahanam.”
Pada peperangan itu, ketika barisan lasykar Hadhrat Ali (ra), Hadhrat Thalhah (ra) dan Hahdrat Zubair (ra) saling berhadapan, Hadhrat Thalhah (ra) menyampaikan argumentasi-argumentasi yang mendukung pendapat beliau. Peristiwa ini terjadi sebelum seorang sahabat mengingatkan sebuah hadits kepada beliau, yang kemudian beliau meninggalkan peperangan. Ketika Hadhrat Thalhah (ra) sedang menyampaikan argumentasi-argumentasinya, ada seseorang dari antara lasykar Hadhrat Ali (ra) yang berkata, “Hai buntung! Diamlah!”. Salah satu tangan Hadhrat Thalhah (ra) sama sekali lumpuh dan tidak bisa digunakan.
Ketika orang itu mengatakan, “Hai buntung! Diamlah!”, maka Hadhrat Thalhah (ra) berkata, “Kamu mengatakan “Hai buntung, diamlah!”, namun kamu juga mengetahui dengan cara seperti apa aku menjadi buntung. Dalam perang Uhud ketika umat Islam tercerai berai dan hanya tersisa 12 orang sahabat bersama Hadhrat Rasulullah (saw), maka 3000 lasykar orang-orang kafir mengepung kami dan menghujani Hadhrat Rasulullah (saw) dengan anak panah dari keempat penjuru. Dengan pemikiran bahwa jika Hadhrat Rasulullah (saw) terbunuh maka semua urusan akan selesai, maka pada waktu itu para komandan lasykar orang-orang kafir melontarkan anak panah ke arah wajah Hadhrat Rasulullah (saw). Lalu aku menempatkan tanganku di hadapan wajah Hadhrat Rasulullah (saw) dan semua panah lasykar orang-orang kafir itu mengenai tanganku ini hingga tanganku menjadi benar-benar tidak berdaya dan buntung. Namun aku tidak menyingkirkan tanganku dari hadapan wajah Hadhrat Rasulullah (saw)”
Berkenaan dengan riwayat Hadhrat Thalhah (ra) pada kesempatan perang Jamal, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ada seseorang yang mengatakan, ‘Orang yang buntung itu telah terbunuh.’
Seorang sahabat yang mendengar ini mengatakan, ‘Kurang ajar! Apakah kamu tidak tahu bagaimana beliau menjadi buntung? Pada kesempatan perang Uhud, ketika dikarenakan suatu kesalahpahaman lasykar para sahabat meninggalkan medan peperangan dan orang-orang kafir mengetahui Hadhrat Rasulullah (saw) tertinggal di medan perang hanya dengan beberapa gelintir sahabat saja, maka sekitar 3000 lasykar orang-orang kafir mengepung beliau (saw) dari empat arah dan ribuan pemanah mengangkat busur mereka dan menjadikan wajah Hadhrat Rasulullah (saw) sebagai sasaran supaya dengan hujanan anak panah itu bisa menembus wajah beliau (saw).
Pada saat itu, orang yang berdiri untuk melindungi wajah penuh berkat Rasulullah (saw) adalah Hadhrat Thalhah (ra). Hadhrat Thalhah (ra) mengangkat tangan beliau di depan Hadhrat Rasulullah (saw). Setiap anak panah yang menghujam tidak mengenai wajah beliau (saw), melainkan mengenai tangan Hadhrat Thalhah (ra). Sedemikian rupa anak-anak panah menghujam sehingga luka beliau pun bukan luka biasa Dikarenakan begitu banyaknya luka, otot tangan Hadhrat Thalhah (ra) menjadi mati dan tangan beliau lumpuh. Jadi, orang yang kamu hina dengan sebutan buntung itu, kebuntungannya adalah suatu nikmat yang setiap kami menginginkan keberkatan seperti itu.’”[16]
Diriwayatkan dari Rib’i Bin Hirasy (رِبْعِيُّ بْنُ حِرَاشٍ), “Saya sedang duduk di samping Hadhrat Ali (ra), kemudian datanglah Imran Bin Thalhah (Imran putra Thalhah). Beliau mengucapkan salam kepada Hadhrat Ali (ra). Hadhrat Ali (ra) mengatakan kepadanya, ‘Selamat datang Imran Bin Thalhah, selamat datang.’
Imran Bin Thalhah berkata, تُرَحِّبُ بِي يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَقَدْ قَتَلْتَ وَالِدِي وَأَخَذْتَ مَالِي؟ ‘Wahai Amiirul Mu’miniin! Anda mengatakan selamat datang kepada saya padahal telah membunuh ayah saya dan mengambil hartanya.’
Hadhrat Ali (ra) berkata, أَمَّا مَالُكَ فَهُوَ مَعْزُولٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ. فَاغْدُ إِلَى مَالِكَ فَخُذْهُ ‘Hartamu disimpan terpisah di Baitul Maal. Ambillah di pagi hari esok.’”[17]
Dalam satu riwayat lain dikatakan bahwa Hadhrat Ali (ra) bersabda, يَا ابْنَيْ أَخِي ، انْطَلِقَا إِلَى أَرْضِكُمَا فَاقْبِضَاهَا ، فَإِنِّي إِنَّمَا قَبَضْتُهَا لِئَلاَّ يَتَخَطَّفَهَا النَّاسُ ، إِنِّي لأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا وَأَبُوكُمَا مِمَّنْ ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ “Tujuan saya mengambilnya dalam penguasaan saya adalah supaya orang-orang tidak mencurinya. Mengenai perkataanmu bahwa aku membunuh ayahmu, aku berharap bahwa aku dan ayahmu termasuk diantara orang-orang yang mengenai mereka Allah Ta’ala berfirman, {وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ} ‘Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.’”[18]
(عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ ، عَنْ مُحَمَّدٍ الْأَنْصَارِيِّ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :) Muhammad al-Anshari meriwayatkan dari ayahnya, جَاءَ رَجُلٌ يَوْمَ الْجَمَلِ فَقَالَ : ائْذَنُوا لِقَاتِلِ طَلْحَةَ ، قَالَ : فَسَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ : “Pada hari perang Jamal seseorang datang kepada Hadhrat Ali (ra) dan ia berkata, ائْذَنُوا لِقَاتِلِ طَلْحَةَ ‘Izinkanlah orang yang membunuh Hadhrat Thalhah (ra) untuk masuk.’”
Perawi mengatakan, فَسَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ: بَشِّرْهُ بِالنَّارِ “Saya mendengar Hadhrat Ali (ra) berkata, “Sampaikanlah kabar mengenai neraka kepada pembunuh itu.”[19]
لما قتل طلحة ورآه علي مقتولًا، جعل يمسح التراب عن وجهه، وقال Ketika Hadhrat Thalhah (ra) syahid dan Hadhrat Ali (ra) melihat beliau telah terbunuh, maka beliau menyeka tanah dari wajah Hadhrat Thalhah (ra) dan bersabda, عَزيزٌ عليَّ، أَبا محمد، أَن أَراك مُجَدّلًا تحت نجوم السماءِ ‘Aziizun ‘alayya, Aba Muhammad, an araaka mujadallan tahta nujuumis samaa-i.’ “Wahai Abu Muhammad! Betapa sangat menderita aku melihatmu berlumuran tanah di bawah bintang-bintang di langit.”[20]
Kemudian Hadhrat Ali (ra) bersabda, إِلَى اللَّه أشكو عجري ويجري “Aku serahkan kelemahanku dan kedukaanku di hadapan Allah Ta’ala.” kemudian beliau memanjatkan doa memohon rahmat untuk Hadhrat Thalhah (ra) dan bersabda, ليتني مت قبل هذا اليوم بعشرين سنة ‘Laitani mittu qabla haadzal yauma bi-‘isyriina sanah.’ – “Andai saja saya sudah mati 20 tahun yang lalu sebelum hari ini.” وبكى هو وأصحابه عليه Hadhrat Ali (ra) dan para sahabat beliau menangis sedih.[21]
Suatu kali Hadhrat Ali (ra) membacakan syair ini kepada seseorang, فَتًى كَانَ يُدْنِيَهُ الْغِنَى مِنْ صَدِيقِهِ *** إِذَا مَا هُوَ اسْتَغْنَى وَيُبْعِدُهُ الْفَقْرُ Seorang pemuda pada saat bergelimang harta tinggal berbaur dengan para sahabatnya. Dalam keprihatinan memilih untuk mengasingkan diri.
Hadhrat Ali (ra) berkata, ذاك أَبُو مُحَمَّد طلحة بْن عبيد اللَّه رحمه اللَّه “Orang yang menjadi penggenapan syair ini adalah Abu Muhammad Thalhah Bin Ubaidullah (ra).”[22]
Riwayat mengenai beliau berakhir sampai di sini.
Sekarang, saya akan membacakan satu kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) berkaitan dengan siatuasi saat ini. Pada suatu kesempatan beliau (as) bersabda kepada Mufti Sahib, “Hendaknya terangilah rumah dengan lampu dan di hari-hari ini – saat itu adalah hari-hari ketika terjadi wabah tha’un – jagalah kebersihan rumah dengan baik, jagalah juga kebersihan pakaian.”
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sekarang ini adalah hari-hari yang sangat sulit dan udara juga beracun, dan kebersihan juga adalah merupakan sunnah. Di dalam Al-Quran pun tertulis: وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ * وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ ‘Dan jagalah kebersihan pakaianmu dan hindarilah kekotoran.’”
Kemudian, dalam kesempatan lain beliau (as) bersabda, “Orang-orang yang di kota atau desa mereka tha’un telah menyebar dengan hebat, janganlah mereka meninggalkan kota mereka. Mereka harus menjaga kebersihan rumah-rumah mereka dan menjaganya tetap hangat, serta melakukan upaya-upaya pencegahan yang diperlukan. Dan yang terpenting adalah, mereka harus melakukan taubat yang hakiki, dengan melakukan perubahan suci, mereka harus mencari kedamaian dengan Allah Ta’ala, bangun di malam hari dan memanjatkan doa-doa dalam tahajud.”
Kemudian beliau (as) bersabda, “Perubahan sejati pada diri seseorang-lah yang dapat menyelamatkannya dari azab ini. Dan hal ini sungguh benar.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada setiap Ahmadi untuk memperbanyak doa secara khusus pada hari-hari ini. Amalkan juga berbagai himbauan pemerintah. Jagalah kebersihan rumah, lakukanlah juga fumigasi (pengasapan), lakukan penyemprotan dengan Dettol dan lain-lain secara rutin. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan karunia dan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Alhasil, pada hari ini perbanyaklah doa secara khusus. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk dapat mengamalkannya.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Muhammad Hasyim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
[1] Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) menjadi anggota Tim Formatur bukanlah murni tunjukan Khalifah ‘Umar (ra) menjelang wafatnya layaknya ayah menunjuk anaknya di suatu jabatan bersifat kekeluargaan. Sebelum itu, sebagian Sahabat telah menyebut-nyebut dan mengusulkan Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) sebagai calon Khalifah. Para Sahabat menyebutkan nama calon pun setelah ditanya oleh Khalifah ‘Umar (ra) yang saat itu tengah mengalami masa menjelang maut setelah diserang seseorang Persia, Abu Lu-lu saat shalat Shubuh. Sumber referensi: Khilafat Rashida karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra).
[2] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab megenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا).
[3] Al-Kamil fit Tarikh, Vol. 2, p. 66, by ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Abul Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Ash-Shibani, known as Ibnil Athir, publisher Daru Sadir, Dar Beirut, AH 1385, AD 1965.
[4] Tarikh ath-Thabari.
[5] Khilafat Rashida. Pemilihan Khalifah pengganti Khalifah ‘Umar (ra) terjadi deadlock karena masing-masing Sahabat menjatuhkan pilihan kepada selain mereka. Sekali terjadi suara mayoritas, yang terpilih malah memilih orang lain. Zubair bin ‘Awwam pernah mendapatkan 3 suara pada rapat malam pertama yang dihadiri 5 orang, namun beliau tidak menerima keputusan itu dan malah memilih ‘Abdurrahman bin ‘Auf. ‘Abdurrahman sendiri juga menolak dijadikan Khalifah dan malah menjatuhkan dua pilihan, antara ‘Ali atau ‘Utsman. Hadhrat ‘Utsman memilih Hadhrat ‘Ali dan Hadhrat ‘Ali memilih Hadhrat ‘Utsman (ra). Pada malam terakhir, suara deadlock lagi. ‘Abdurrahman dan ‘Ali memilih ‘Utsman. ‘Utsman, Sa’d dan Zubair memilih ‘Ali. Finalisasi keputusan terjadi setelah ‘Abdurrahman melakukan survey ke penduduk Madinah yang mayoritas lebih menyukai Hadhrat ‘Utsman sebagai Khalifah.
[6] Usdul Ghaabah (أسد الغابة – ابن الأثير – ج ٤ – الصفحة ٣٢).
[7] Khashais al-Kubra (الخصائص الكبرى) karya Imam Suyuthi (عبد الرحمن بن أبي بكر، جلال الدين السيوطي (المتوفى: 911هـ)): وَأخرج الْحَاكِم عَن ثَوْر بن مجزاة قَالَ مَرَرْت بطلحة يَوْم الْجمل فِي آخر رَمق فَقَالَ لي مِمَّن أَنْت قلت من أأصحاب أَمِير الْمُؤمنِينَ عَليّ فَقَالَ إبسط يدك أُبَايِعك ; Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah radhiyallahu ‘anhum (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ), (ذِكْرُ مَنَاقِبِ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ التَّيْمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).
[8] Ibn Manẓūr (d. 1311 CE) dalam karyanya Mukhtaṣar Tārīkh Dimashq ابن منظور – مختصر تاريخ دمشق; Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) – Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن الأثير – أسد الغابة; Al-Mustarsyid karya Muhammad bin Jarir ath-Thabari (المسترشد – محمد بن جرير الطبري ( الشيعي) – الصفحة ٦٦٢): قَالَ أَبُو معشر، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قيس: ذكر لعائشة يَوْم الجمل; Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: لَأَنْ أَكُونَ قَعَدْتُ فِي مَنْزِلِي عَنْ مَسِيرِي إِلَى الْبَصْرَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ عَشَرَةٌ مِنَ الْوَلَدِ كُلُّهُمْ مِثْلُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ
[9] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-36 Hijriyyah atau 656 Masehi (سنة ست وثلاثين), bab (منزول أَمِير الْمُؤْمِنِينَ ذا قار).
[10] al-Kaamil fit Tarikh (الكامل في التاريخ) karya Ibnul Atsir (ابن الأثير). Nihaayatul Arab fii Funuunil Adab (نهاية الأرب في فنون الأدب – ج٢٠) karya Ahmad bin ‘Abdul Wahhaab an-Nuwairi (أحمد بن عبد الوهاب النويري).
[11] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), bahasan kejadian yang terjadi pada tahun ke-36 Hijriyyah atau 656 Masehi (سنة ست وثلاثين), bab (منزول أَمِير الْمُؤْمِنِينَ ذا قار) menceritakan pidato Abdullah ibn Sauda’ atau bin Saba’, tokoh pemberontakan dan pembunuhan Khalifah ‘Utsman (ra) di hadapan para pimpinan 2.500 komplotannya: يَا قَوْمُ، إِنَّ عِزَّكُمْ فِي خُلْطَةِ النَّاسِ، فَصَانِعُوهُمْ، وَإِذَا الْتَقَى النَّاسُ غَدًا فَأَنْشِبُوا الْقِتَالَ، وَلا تُفَرِّغُوهُمْ لِلنَّظَرِ، فَإِذَا مَنْ أَنْتُمْ مَعَهُ لا يَجِدُ بُدًّا مِنْ أَنْ يَمْتَنِعَ، ويشغل اللَّهُ عَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَمَنْ رَأَى رَأْيَهُمْ عَمَّا تَكْرَهُونَ فَأَبْصِرُوا الرَّأْيَ، وَتَفَرَّقُوا عَلَيْهِ وَالنَّاسُ لا يَشْعُرُونَ. “Wahai kaum, sesungguhnya kewibawaan kalian adalah di dalam pembauran dengan manusia. Jika manusia saling berhadapan, maka kobarkanlah peperangan dan pembunuhan di antara manusia serta jangan biarkan mereka bersatu. Dengan bersama siapa pun kalian, janganlah berusaha untuk mencegah. Semoga Allah menyibukkan Thalhah dan Zubair serta orang yang bersama mereka berdua dari hal yang tidak diinginkan dengan mendatangkan apa-apa yang mereka benci. Maka perhatikanlah pendapat ini, kemudian berpisahlah kalian.” Disebutkan hal serupa juga dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah 7/265-266, al-Hafizh Ibnu Katsir.
[12] Taarikh Ibnu Khaldun (تاريخ ابن خلدون 1-7 المسمى كتاب العبر وديوان المبتدأ والخبر ج2) karya ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Hadhrami Ibnu Khaldun (عبد الرحمن بن محمد الحضرمي/ابن خلدون); Imta’ul Asma (إمتاع الأسماع بما للنبي (ص) من الأحوال والأموال والحفدة والمتاع 1-15 ج13) karya al-Maqrizi (أبي العباس تقي الدين أحمد بن علي/المقريز); al-Kaamil fit Taarikh karya Ibnul Atsir.
[13] Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), bab kembalinya Zubair dari perang Jamal (رُجُوعُ الزُّبَيْرِ عَنْ مَعْرَكَةِ الْجَمَلِ); Siyaar A’lamin Nubala (سير أعلام النبلاء): عَنِ الأَسْوَدِ بنِ قَيْسٍ، حَدَّثَنِي مَنْ رَأَى الزُّبَيْرَ يَقْتَفِي آثَارَ الخَيْلِ قَعْصاً بِالرُّمْحِ، فَنَادَاهُ عَلِيٌّ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ! َأَقْبَلَ عَلَيْهِ حَتَّى الْتَفَّتْ أَعْنَاقُ دَوَابِّهِمَا، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللهِ، أَتَذْكُرُ يَوْمَ كُنْتُ أُنَاجِيْكَ، فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ: (تُنَاجِيْهِ! فَوَاللهِ لَيُقَاتِلَنَّكَ وَهُوَ لَكَ ظَالِمٌ) .
[14] Tarikh Islam (تاريخ الإسلام – ج 3 – عهد الخلفاء الراشدين – 11 – 40); Muruuj adz-Dzahb karya Al-Mas’udi (المسعودي مروج الذهب ومعادن الجوهر 1 / 652 (بيروت 1982)); Al-Imamah wa Ahlul Bait (الإمامة وأهل البيت – محمد بيومي مهران – ج ٢ – الصفحة ٢٩٩)
[15] Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), bab Thalhah mengundurkan diri pergi dari peperangan Jamal (انْصِرَافُ طَلْحَةَ عَنْ مَعْرَكَةِ الْجَمَلِ) hal mana terjadi setelah Hadhrat ‘Ali (ra) mengingatkan sebuah sabda Nabi Muhammad (saw) yang menyebutkan Nabi (saw) beserta Ali dan berada di pihak Ali bila ada pihak lain yang menentangnya. Ketika Ali menanya kenapa Thalhah datang disertai pasukan dan siap berperang melawannya, Thalhah menjawab telah lupa sabda itu lalu beliau pergi dari medan perang. : 5647- أَخْبَرَنِي الْوَلِيدُ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ قُرَيْشٍ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدَةَ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ إِيَاسٍ الضَّبِّيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: كُنَّا مَعَ عَلِيٍّ يَوْمَ الْجَمَلِ، فَبَعَثَ إِلَى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنِ الْقَنِي فَأَتَاهُ طَلْحَةُ، فَقَالَ: نَشَدْتُكَ اللَّهَ، هَلْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ؟ يَقُولُ: ” مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَلَاهُ، وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ ”؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَلِمَ تُقَاتِلُنِي؟ قَالَ: لَمْ أَذَكُرْ، قَالَ: فَانْصَرَفَ طَلْحَةُ.; hal serupa tercantum dalam Kitab Muruuj adz-Dzahb (مروج الذهب) karya Al-Mas’udi (أبو الحسن على بن الحسين بن على المسعودي): ثم نادى علي رضي الله عنه طلحَةَ حين رجع الزبير: يا أبا محمد، ما الذي أخرجك؟ قال: الطلب بدم عثمان، قال علي: قتل اللهّ أولانا بدم عثمان، أما سمعت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يقول: ” اللهم وال من والاه، وعاد من عاداه ” وأنت أولُ من بايعني ثم نكثت، وقد قال اللهّ عز وجل: ” ومن نكث فإنما ينكث على نفسه ” فقال: أستغفر اللّه، ثم رجع
[16] Pengantar Mempelajari Al-Qur’an.
[17] Mustadrak (نام کتاب : المستدرك على الصحيحين نویسنده : الحاكم، أبو عبد الله جلد : 2 صفحه : 385).
[18] Ath-Thabaqaat al-Kubro.
[19] Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال 1-10 ج6) karya (علاء الدين علي بن حسام الدين/المتقي الهندي); Tarikh Madinah Dimashq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٢٥ – الصفحة ١١٦); Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d (طبقات ابن سعد – ج 3 – الطبقة الأولى في البدريين من المهاجرين والأنصار); Fadhailush Shahaabah (فضائل الصحابة), Imam Ahmad ibn Hanbal (الأمام أحمد بن حنبل): [ 1270 ] حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا محمد بن بشر عن مسعر عن سنبلة عن مولاتها قالت جاء قاتل الزبير وأنا عند علي جالسة يستأذن فجاء الغلام فقال هذا قاتل الزبير فقال ليدخل قاتل الزبير النار قالت وجاء قاتل طلحة يستأذن فقال الغلام هذا قاتل طلحة يستأذن فقال ليدخل قاتل طلحة النار.
[20] Usdul Ghaabah; disebut juga dalam Iqdul Farid (العقد الفريد) karya (ابن عبد ربه الأندلسي) menceritakan kata-kata Hadhrat ‘Ali kala menyaksikan jenazah Hadhrat Thalhah (ra) menggeletak di tanah berdebu dan membersihkan wajahnya: ومن حديث سُفيان الثّوري قال: لما انقضى يومُ الجمل خرج علي بن أبي طالب في ليلة ذلك اليوم ومعه مولاه وبيده شَمعة يتصفّح وجوه القتلى، حتى وَقف على طلحة بن عُبيد الله في بَطن وادٍ مُتعفّراً فجعل يمسح الغبار عن وجهه وبقول: أعزِزْ علي يا أبا محمد أن أراك متعفراً تحت نجوم السماء وفي بطون الأودية، إنا لله وإنا إليه راجعون. شَقيت نفسي وقَتلتُ معشري، إلى اللهّ أشكو عُجَري وبُجري. ثم قال: واللهّ إني لأرجو أن أكون أنا وعثمان وطلحة والزبير من الذين قال الله فيهم: ” ونَزَعنا ما في صُدورهم من غِلٍ إخوانَاً عَلَى سُرُرٍ مُتقابِلين “
[21] Usdul Ghaabah; disebut juga dalam al-Iklil (الاكليل على مدارك التنزيل وحقائق التاويل للإمام النسفي) karya (محمد عبد الحق/ابن شاه الهندي الحنفي) dan Mausu’ah Rijal haulan Nabiyy (موسوعة رجال حول النبي) karya (محمد عرفة).
[22] Mustadrak.