Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 13 Juli 2018 (Wafa 1397 HQ/29 Syawal 1439 HQ) di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.
( آمين)
Berkenaan para sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, saya hendak sampaikan kisah dua orang sahabat, pertama, Hadhrat Abu Usaid Malik bin Rabiah as-Saidi (أَبو أُسَيد الساعدي، مالك بن ربيعة) radhiyAllahu ‘anhu. Hadhrat Malik bin Rabiah dikenal dengan julukannya yakni Abu Usaid. Sebagian ada yang menyebut beliau dengan nama Hilal bin Rabiah (هلال بن ربيعة). Beliau berasal dari kabilah Banu Sa’idah yang merupakan cabang Khazraj [di kalangan penduduk Madinah].[1]
Hadhrat Abu Usaid Bin Malik bin Rabiah bertubuh pendek. Rambut dan janggut beliau sudah putih. Rambut beliau lebat. Ketika berusia lanjut, beliau luput dari penglihatan.
Beliau wafat di usia 75 tahun pada masa pemerintahan Amir Muawiyah pada 60 Hijriyah (679 atau 680 Masehi, pada tahun itu Muawiyah juga wafat). Beliau adalah yang paling terakhir wafat diantara sahabat Anshar yang ikut perang Badr.[2]
Hadhrat Abu Usaid ikut dalam perang Badr, Uhud, Khandaq dan peperangan setelah itu menyertai Rasulullah (saw). Pada saat fatah Makkah beliau memegang panji kabilah Banu Sa’idah.[3]
Hadhrat Sahl Bin Sa’ad (سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ) meriwayatkan bahwa Hadhrat Abu Usaid Sa’idi mengundang Rasulullah (saw) pada pernikahan beliau. Pada saat itu istri beliau mengkhidmati Rasulullah (saw) dan para tamu, padahal sedang menjadi pengantin. Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana, mengundang orang-orang dan pengantin sendiri tengah memasak masakannya.
Hadhrat Sahl mengatakan kepada kaum beliau dengan gaya beliau – bertanya dan menjawab sendiri, هَلْ تَدْرُونَ مَا سَقَتْهُ “Tahukah kalian minuman apa yang dipersembahkan kepada Rasulullah (saw) ? أَنْقَعَتْ لَهُ تَمْرًا فِي تَوْرٍ مِنَ اللَّيْلِ، حَتَّى أَصْبَحَ عَلَيْهِ فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ Mereka merendam kurma di malam hari dalam wadah. Ketika Rasulullah (saw) menyantap makanan, dia mempersembahkan sirup itu kepada Rasulullah (saw).”[4]
Suatu ketika datang beberapa tawanan ke hadapan Rasulullah (saw) , beliau (saw) melihat seorang perempuan menangis diantara mereka. Rasulullah (saw) bertanya padanya, ما يُبْكِيكَ “Apa yang membuat kamu menangis?”
Dia menjawab, يعَ ابني في بني عبس “Dia telah memisahkan anak saya dari saya dengan menjualnya kepada Banu ‘Abs.”
Rasulullah (saw) memanggil pemilik tawanan, ternyata pemiliknya adalah Abu Usaid Saidi. Beliau bertanya, “Apakah kamu memisahkan dia dan anaknya?”
Beliau menjawab, “Perempuan ini tidak bisa berjalan. Dia tidak mampu lagi menggendongnya. Karena itu, saya menjual anak itu kepada Banu ‘Abs.”
Rasulullah (saw) bersabda, لَتَرْكَبَنَّ فَلَتَجِيئَنَّ بِهِ “Kamu sendiri pergi kepadanya, ambil lagi anak itu.”
Lalu, Abu Usaid mengambil anak itu kembali dan mengembalikannya kepada ibunya.[5]
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, لا يُفَرَّقُ بينَ والِدَةٍ وولَدِها “Apakah dia mampu atau tidak, namun seorang ibu tidak boleh dibuat menderita karena anaknya, apakah dia tawanan, hamba sahaya perempuan ataupun pelayan.”
Hadhrat Rasulullah (saw) suatu ketika mengadakan pacuan (balap) kuda dan unta. Unta betina Rasulullah (saw) yang dikendarai oleh Bilal terdepan dari antara unta lainnya. Begitu juga kuda beliau yang ditunggangi oleh Abu Usaid Saidi unggul dalam balapan.[6]
Hadhrat Sahl meriwayatkan ketika putra Hadhrat Abu Usaid yang bernama Mundzir ibn Abu Usaid lahir, dibawalah bayi itu ke hadapan Nabi Karim (Nabi yang mulia saw). Beliau (saw) mendudukkan bayi tersebut di atas pahanya. Pada saat itu Hadhrat Abu Usaid tengah duduk. Tidak lama kemudian Nabi yang mulia (saw) sibuk dengan urusan lain lalu Hadhrat Abu Usaid memerintahkan seseorang lain untuk mengambil bayi tersebut dari paha beliau. Setelah urusan Nabi yang mulia (saw) selesai, beliau bertanya, أَيْنَ الصَّبِيُّ “Kemana anak itu?”
Hadhrat Abu Usaid menjawab, قَلَبْنَاهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ “Ya Rasulullah (saw) , kami telah mengirimkannya pulang.”
Beliau bertanya, مَا اسْمُهُ “Apa nama yang diberikan untuk bayi itu?”
Abu Usaid menyebutkan namanya.
Beliau (saw) bersabda, وَلَكِنْ أَسْمِهِ الْمُنْذِرَ “Tidak! Namailah ia Mundzir.”[7]
Pada hari itu Rasul menamai anak itu Mundzir (منذر).
Para pentasyrih (pemberi komentar atau penjelasan atas suatu teks seperti Hadits dll) memberikan alasan perihal penamaan anak itu karena nama saudara sepupu Hadhrat Usaid adalah Munzir Bin Amru yang telah syahid di Bir Maunah. Jadi, nama itu diberikan karena terkesan dengan kebaikan sesorang supaya anak tersebut pun terbukti menjadi penerus yang baik.[8]
Hadhrat Sulaiman Bin Yasar (سُلَيْمَانَ بن يَسَارٍ) meriwayatkan sebelum syahidnya (terbunuhnya) Hadhrat Khalifah Utsman, penglihatan Hadhrat Abu Usaid Sa’di rusak sehingga tidak dapat melihat lagi. Atas hal itu, beliau selalu mengatakan, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي مَتَّعَنِي بِبَصَرِي فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَرَادَ اللَّهُ الْفِتْنَةَ فِي عِبَادِهِ كَفَّ بَصَرِي عَنْهَا “Saya bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan saya penglihatan pada masa Rasulullah (saw) sehingga saya dapat melihat seluruh keberkatan itu dan ketika Allah ta’ala ingin memasukkan orang-orang kedalam ujian, Dia mengambil penglihatan saya yang membuat saya tidak dapat melihat lagi sehingga saya tidak dapat melihat fitnah (keadaan yang buruk) ini.”[9]
Hadhrat Utsman Bin Ubaidullah (عثمان بن عبيد الله مولى سيدنا سعد بن أبي وقاص) yang merupakan hamba sahaya yang dimerdekaka Hadhrat Saad bin Abi Waqas meriwayatkan, رأيتُ أبا أُسيد وأبا هُريرة وأبا قتادة وابن عمر يمرّون بنا ونحن في الكُتّاب فنجد منهم ريح العبير وهو الخلوق ويصَفّرون به لحاهم “Saya melihat Hadhrat Abdullah ibnu Umar, Hadhrat Abu Hurairah, Hadhrat Abu Qatadah, Hadhrat Abu Usaid Saidi biasa lewat ketika kami berada di Kuttaab (tempat belajar, sekolah dasar), kami mencium wewangian Abir dari beliau-beliau, wewangian ini dibuat dari campuran za’faraan dan lain-lain.”[10]
Marwan bin Al-Hakam (gubernur, Amir atau Wali) pernah menunjuk Hadhrat Abu Usaid Saidi sebagai Amil sedekah (كَانَ مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ يَسْتَعْمِلُ أَبَا أُسَيْدٍ السَّاعِدِيَّ عَلَى الصَّدَقَةِ), yaitu petugas yang mengumpulkan sedekah dan membagikannya. Ketika Hadhrat Abu Usaid sampai di pintu, lalu mendudukan unta dan membagikan semuanya kepada orang-orang. Barang terakhir yang dibagikan adalah cambuk. Sambil mmberikannya beliau mngatakan, هُوَ مِنْ مَالِكُمْ “Ini adalah harta kalian.”
Suatu ketika Hadhrat Abu Usaid datang untuk membagikan harta, lalu beliau membagikan semuanya dan pulang lagi ke rumahnya. Ketika tidur beliau bemimpi ada seekor ular yang melilit leher beliau. Beliau ketakutan lalu bangun dan mananyakan kepada istri atau pembantu, يَا فُلَانَةُ هَلْ بَقِيَ شَيْءٌ ؟ “Wahai fulanah! Apakah diantara harta yang harus kubagikan masih ada yang belum terbagikan?”
Dia menjawab, “Tidak ada.”
Hadhrat Abu Usaid berkata, فَمَا شَأْنُ حَيَّةٍ تَأْخُذُ بِعُنُقِي ؟ انْظُرِ “Lantas kenapa saya bermimpi dililit ular? Coba periksa lagi mungkin masih ada yang tertinggal.”
Ketika diperiksa dengan seksama, orang itu mengatakan, “Iya, masih tersisa tali pengikat unta dengan kantong yang terikat.”
Lalu Hadhrat Abu Said pergi dan mengembalikan barang tersebut.[11]
Allah Ta’ala ingin menegakkan standar takwa yang paling halus dalam diri para sahabat dengan menegakkan tolok ukur tertinggi sifat amanah, untuk itu mereka mendapat bimbingan langsung melalui mimpi-mimpi.
Umarah Bin Ghaziyah (عُمَارَة بن غَزِيَّةَ) meriwayatkan dari ayah beliau bahwa ada beberapa pemuda bertanya kepada Abu Usaid berkenaan dengan kelebihan kaum Anshar menurut Rasulullah (saw). Beliau mengatakan: Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, خَيْرُ قَبَائِلِ الأَنْصَارِ دُورُ بني النَّجَّارِ، ثُمَّ بني عَبْدِ الأَشْهَلِ، ثُمَّ بني الْحَارِثِ بن الْخَزْرَجِ، ثُمَّ بني سَاعِدَةَ، وَفِي كُلِّ الأَنْصَارِ خَيْرٌ “Diantara seluruh kabilah Anshar yang terbaik adalah keluarga Banu Najjar lalu Banu Abdul Asy’al, lalu Banu Harits Bin Khazraj lalu Banu Sa’idah dan dalam keluarga-keluarga Anshar hanya ada kebaikan dan kebaikan.”[12]
Hadhrat Abu Usaid berkata atas hal itu, لَوْ كُنْتُ قَائِلا غَيْرَ الْحَقِّ لَبَدَأْتُ بِجَدِّي – “Jika saya harus menerima sesuatu selain kebenaran, maka mulai dari suatu keluarga dari antara keturunan kakek moyang saya (Banu Sa’idah).”[13]
Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (ra) pada suatu kesempatan bersabda mengenai sejarah sebagai berikut: Ketika Arab telah dikuasai umat Muslim dan Islam mulai menyebar, ada seorang perempuan dari Kabilah Kindah (كِندة) yang bernama Asma (أسماء) atau Umaimah (أميمة) yang disebut juga dengan sebutan Juniah (الجونية) atau Bintul Jun (بنت الجوْن), saudaranya bernama Luqman (لقمان) datang ke hadapan Rasulullah (saw) sebagai perwakilan kaumnya. Pada kesempatan itu ia menyampaikan keinginannya untuk menikahkan saudarinya kepada Rasulullah (saw) dan menyampaikan permohonan tersebut secara langsung kepada Rasulullah (saw) , ‘Saudari saya yang sebelumnya menikah dengan kerabat, sekarang menjanda, dia sangat cantik dan sesuai, mohon Hudhur (yang mulia) berkenan menikahinya.’
Karena Rasul Karim (Rasul yang mulia saw) sangat mendukung persatuan antar kabilah, beliau menerima tawaran itu dan bersabda, “Saya akan menikahinya dengan mahar senilai perak 12.5 Uqiyah.”
Dia mengatakan, يا رسول الله لا تقصر بها في المهر “Wahai Rasulullah (saw)! Kami adalah keluarga terpandang, kaya raya, mahar tersebut kurang.”
Beliau bersabda, ما أصدقت أحدا من نسائي ولا أصدقت أحدا من بناتي فوق هذا “Saya tidak pernah membayar mahar untuk istri saya manapun atau untuk diberikan kepada putri saya melebihi dari jumlah tersebut.”
Setelah menyampaikan persetujuannya, dia mengatakan, “Baiklah.”
Lalu dilakukan pernikahan.
Dia (kerabat pengantin perempuan) memohon Rasulullah mengirim seseorang untuk menjemput pengantin perempuan. Beliau (saw) mengutus Abu Usaid untuk tugas tersebut, lalu pergi. Juniah memanggilnya untuk masuk ke dalam rumah, Abu Usaid menjawab, أن نساء النبي صلى الله عليه وسلم لا يراهن أحد من الرجال “Telah turun perintah hijab atas para istri Rasul.”[14]
Abu Usaid meminta petunjuk dan perintah-perintah lainnya dari Nabi (saw) dan beliau (saw) memberitahukannya. Kemudian, Abu Usaid mempersilakan perempuan tersebut duduk di atas kendaraan dan berangkat ke Madinah. Selanjutnya, beliau menurunkannya di suatu rumah yang dikelilingi pohon kurma. Kerabat perempuan itu pun menyertakan seorang pelayan perempuan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Demikian pula di negeri kita pada zaman dulu biasanya orang-orang kaya mengirimkan pelayan perempuan untuk menyertainya, supaya pengantin perempuan jangan ada kesulitan apa-apa. Pada masa ini sudah tidak lagi. Karena perempuan yang dinikahi Rasulullah ini atau yang ditawarkan oleh saudara pengantin perempuan itu untuk dinikahi Rasulullah dan kemudian setelah dinikahkan, perempuan tersebut menjadi terkenal. Ia cantik sekali dan biasanya para perempuan suka sekali melihat pengantin perempuan.
Kedua, para perempuan yang berada di kampung sekitar ingin sekali melihat pengantin perempuan itu. Para perempuan Madinah datang untuk melihat sang pengantin perempuan. Pengantin perempuan tersebut sangat dikenal dengan kecantikannya. Berdasarkan penuturan pengantin perempuan tersebut, ada seorang perempuan lain yang telah mengajarkan terlebih dahulu supaya pada hari pertama pernikahan harus membuat pria tunduk, ‘Apabila Rasulullah menghampirimu nanti katakan pada beliau, “Aku memohon perlindungan kepada Tuhan dari Anda.” Dengan begitu Rasulullah akan semakin tertarik dan tunduk kepadamu.’
Atas hal itu Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Jika memang ide tersebut bukan buatan si pengantin perempuan, tidaklah mengherankan kalau ada orang munafik atau melalui seseorang dari kerabatnya yang membuat si pengantin yang merupakan istri Nabi melakukan keburukan tersebut. Walhasil, ketika Rasulullah mendapatkan kabar kedatangan sang pengantin, beliau beranjak ke rumah yang telah ditetapkan bagi perempuan tersebut. Tertulis dalam Hadits-Hadits ketika Rasulullah menghampiri sang pengantin perempuan, beliau bersabda, هَبِي نَفْسَكِ لِي “Hibahkanlah jiwa engkau bagi saya.”
Dia menjawab, هَلْ تَهَبُ الْمَلِكَةُ نَفْسَهَا لِلسُّوقَةِ ‘Apakah seorang Ratu menyerahkan dirinya kepada orang biasa?’
Abu Usaid mengatakan, ‘Mendengar hal itu Rasulullah (saw) meletakkan tangan beliau padanya untuk menentramkan, karena mungkin perempuan tersebut merasa takut karena asing. Baru saja Rasul meletakkan tangan beliau, dia mengatakan sesuatu ucapan yang tidak etis dan tidak elok yaitu, أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ “Saya memohon perlindungan kepada Allah dari Anda.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Karena seorang Nabi sangat hormat jika jika mendengar kata Tuhan diucapkan dan langsung mengingat keagungan-Nya, mendengar ucapan tersebut beliau (saw) langsung mengatakan, قَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ ‘Engkau telah menjadikan Dzat yang agung sebagai perantara dan memohon perlindungan-Nya yang merupakan Maha Pelindung. Untuk itu saya kabulkan permohonanmu.’
Lalu Rasulullah segera keluar ruangan dan bersabda, يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا “Wahai Abu Usaid! Berikan kepadanya dua kain cadar dan kembalikan ia kepada keluarganya.”[15]
Setelah itu beliau (saw) memerintahkan untuk selain menyerahkan maharnya Rasul juga memberikan dua kain cadar sebagai ihsan, supaya perintah Al Quran Karim, وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ walaa tansawul fadhla bainakum yang artinya janganlah melupakan untuk berlaku baik satu sama lain (Surah Al-Baqarah, 2:238), sesuai dengan ayat tersebut Rasul memberikan hal lebih sebagai ihsaan (kedermawanan).
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Perempuan itu ditalaq (dicerai) sebelum terjadi hubungan badan. Nabi (saw) memerintahkan untuk memulangkannya. Abu Usaid jugalah yang diperintah untuk mengantarkannya pulang. Hal tersebut sangat mengecewakan penduduk kabilahnya sehingga mereka memarahi perempuan itu, namun perempuan tersebut tetap menjawab, ‘Ini adalah kesialan saya.’ Terkadang dia mengatakan, ‘Saya telah dicelakakan dan disuruh, “Ketika Rasul menghampirimu, kamu menyingkirlah dan perlihatkan rasa tidak suka, dengan seperti itu ru’b (kekuatan sugestif) kamu akan menundukkan beliau.”’
Entahlah apakah hal itu penyebabnya atau ada hal lain. Pada intinya, perempuan itu menampakkan rasa tidak suka dan Rasulullah (Saw) meninggalkannya dan mengirimkannya pulang.”[16]
Tuduhan yang dilontarkan kepada Nabi (saw) ialah beliau (saw) beristri banyak dan hal itu karena beliau gandrung dengan perempuan cantik, naudzubillah. Kejadian tersebut cukup untuk membantah tuduhan tersebut. Hadhrat Abu Usaid mengatakan, “Kapan pun Rasul dimintai sesuatu, beliau tidak pernah menolaknya.”[17]
Sahabat kedua yakni Hadhrat Abdullah bin Abdul Asad. Nama beliau adalah Abdullah namun dipanggil dengan kunyah (panggilan) Abu Salamah. Ibunda beliau bernama Barah binti Abdul Muthallib. Beliau merupakan saudara sepupu Nabi karim (saw). وكان أخا رسول الله صلى الله عليه وسلم واخا حمزة من الرضاعة أرضعته ثويبة Beliau juga merupakan saudara sepesusuan Rasulullah (saw) dan Hadhrat Hamzah. Beliau disusui oleh hamba sahaya Abu Lahab yang bernama Tsuwaibah. Hadhrat Ummul Mukminin Ummu Salamah sebelumnya adalah istri beliau.[18]
Berkenaan dengan hal itu Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis dalam buku Sirat Khataman Nabiyyiin bahwa Abu Salamah Bin Abdul Asad adalah saudara sepesusuan Nabi (saw) dan berasal dari Banu Makhzum. Paska kewafatan beliau, janda beliau Ummu Salamah dinikahi oleh Rasulullah.[19]
Hadhrat Abdullah Bin Abdul Asad termasuk orang yang awal masuk Islam. Menurut Ibnu Ishaq, أبو سلمة زوج أم سلمة أسلم بعد عشرة أنفس setelah sepuluh orang pertama baiat selanjutnya adalah beliau. Itu artinya, beliau termasuk umat Muslim awwalin.[20]
Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Hadhrat Abu Ubaidah Bin Harits, Hadhrat Abu Salamah Bin Abdul Asad, Hadhrat Arqam Bin Abul Arqam dan Hadhrat Usman Bin Mazh’un datang ke hadapan Hadhrat Akram (Baginda yang amat mulia) shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Beliau (saw) menyeru mereka kepada Islam dan membacakan Al Quran, yang karenanya mereka baiat dan memberikan kesaksian bahwa Rasulullah berada diatas petunjuk dan kebenaran.
Hadhrat Abdullah bin Abdul Asad beserta dengan istri beliau, Hadhrat Ummu Salamah pada hijrah pertama ke Habsyah. Setelah kembali ke Makkah dari Habsyah, mereka hijrah ke Madinah.[21]
Terdapat keterangan perihal hijrah ke Habsyah dalam Sirah Khataman Nabiyyin sebagai berikut. Ketika penderitaan umat Muslim sudah sampai pada puncaknya dan Quraisy semakin menjadi-jadi dalam penganiayaan, Hadhrat Rasulullah memerintahkan umat Muslim, لو خرجتُم إلى أرض الحبشة فانّ بِها ملِكاً لا يُظلَمُ عِندهُ أحد وهي أرضُ صِدق حتى يجعلَ اللّه لكُم فرجاً مما أنتُم فيهِ “Jika kalian keluar untuk hijrah ke Habsyah, niscaya kalian temui di sana seorang Raja adil dan menyukai keadilan. Dalam pemerintahannya tidak ada kezaliman kepada siapapun.”[22]
Negeri Habasyah dalam Bahasa Inggris disebut Etiophia dan/atau Abbesinia, dikatakan letaknya berada di sebelah timur laut benua Afrika. Dari sisi letak terletak tepat berhadapan dengan Arabia bagian selatan. Di tengah-tengah keduanya selain Laut Merah, tidak ada lagi. Pada masa itu di Habsyah berdiri sebuah pemerintahan Kristen yang kuat dan rajanya disebut dengan gelar Najasyi (Negus), bahkan sampai saat ini penguasanya disebut dengan nama tersebut.
Habasyah dan Arabia memiliki hubungan dagang. Negeri yang tengah dibahas ini yakni Habasyah, ibukotanya Aksum yang saat ini letaknya berdekatan dengan kota Adowa dan sampai saat ini didiami dan dianggap sebagai kota suci. Aksum pada saat itu merupakan pusat satu pemerintahan yang sangat tangguh. Najasyi yang memimpin saat itu bernama Ashamah yang merupakan seorang raja yang adil, bijak dan amat powerful (berkuasa).
Ringkasnya, ketika penderitaan umat Muslim sampai pada puncaknya, Hadhrat Rasulullah bersabda kepada mereka bahwa bagi mereka yang mampu silahkan hijrah ke Habasyah. Mendengar sabda Rasul tersebut pada bulan Rajab 5 Nabawi (sekitar 615 Masehi) telah hijrah 11 pria dan 4 perempuan ke Habasyah. Diantara mereka sahabat yang terkenal adalah Utsman Bin Affan beserta istrinya Hadhrat Ruqayyah putri Rasulullah, Abdur Rahman Bin Auf, Zubair Bin Al Awam, Abu Huzaifah Bin Utbah, Utsman bin Maz’un, Mush’ab Bin Umair, Abu Salamah Bin Abdul Asad beserta istrinya, Hadhrat Ummu Salamah.
Merupakan hal aneh bahwa sebagian besar sahabat yang hijrah pada masa awal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan pembesar (keluarga kaya dan terpandang) kabilah Quraisy sedangkan kalangan yang lemah jumlahnya kurang yang dengannya dapat diketahui dua hal. Pertama, umat Muslim dari kalangan pembesar pun tidak luput dari penganiayaan kaum Quraisy. Kedua, orang-orang lemah misalnya hamba sahaya dan lain-lain keadaannya sedemikian lemah dan tak berdaya, sehingga untuk hijrah pun mereka tidak mampu.
Ketika para Muhajirin ini berangkat ke arah selatan dan sampai di Syuaibah yang pada saat itu adalah sebuah pelabuhan Arab, dengan karunia Allah Ta’ala, mereka menemukan sebuah kapal dagang yang tengah siap untuk berangkat ke Habsyah. Lalu mereka menumpang kapal tersebut dan sampai dengan selamat di tujuan. Ketika kaum Quraisy mengetahui kabar hijrah tersebut, mereka sangat marah karena incaran mereka telah lepas lalu mereka membuntuti supaya jangan sampai mereka berhasil meninggalkan, namun mereka telah pergi. Atas hal itu mereka mengejar para muhajirin, namun ketika pasukan Quraisy sampai di pantai, kapal laut telah berangkat. Akhirnya mereka kembali pulang dengan tangan kosong. Sesampainya di Habsyah, para muhajirin dapat hidup dengan sangat damai dan bersyukur atas terlepasnya mereka dari tangan Quraisy.[23]
Ibnu Ishaq mengatakan setelah Hadhrat Abu Salamah kembali dari Habsyah, beliau meminta perlindungan kepada Hadhrat Abu Thalib, lalu beberapa dari antara Banu Makhzum menemui Abu Thalib dan mengatakan, “Anda melindungi keponakan Anda, Muhammad (saw), namun kenapa juga melindungi saudara kami Abu Salamah?”
Abu Thalib berkata, “Dia meminta perlindungan kepada saya. Dia pun keponakan saya juga. Jika saya tidak melindungi keponakan saya Muhammad, Abu Salamah pun tidak akan saya lindungi.”
Abu Lahab mengatakan kepada orang-orang Banu Makhzum, “Abu Thalib adalah tokoh dan sesepuh kami. Kalian telah menyakiti tokoh kami dan mengatakan macam-macam tentangnya. Demi Allah! Hentikanlah ini, jika tidak kami akan ikut serta dengannya dalam segala hal sampai sampai dia dapat memenuhi keinginannya.”[24]
Mendengar itu mereka berkata kepada Abu Lahab, “Wahai Abu Utbah (ayahnya Utbah)! Apa yang tidak Anda sukai, kami pun menghindarinya.”
Karena Abu Lahab merupakan kawan dan pendukung Banu Makhzum dalam menentang Hadhrat Rasulullah (saw) , untuk itu mereka menghentikan penganiayaannya kepada Abu Salamah.
Ketika Abu Thalib mendengarkan kesepakatan Abu Lahab, beliau berpikiran, “Dia sepakat dengan perkataan saya. Dia menghentikan kabilah lain sehingga dia pun siap untuk menolong kami”, lalu beliau menulis beberapa syair yang di dalamnya terdapat pujian untuk Abu Lahab dan diyakinkan untuk menolong Rasulullah (saw).[25]
Namun hal itu tidak ada pengaruhnya dan semakin meningkat dalam penentangan.
Ibnu Ishaq mengatakan Ummul Mukminin Hadhrat Ummu Salamah meriwayatkan, “Ketika suami saya Abu Salamah berniat untuk pergi ke Madinah, beliau mempersiapkan unta kami lalu memberangkatkan saya dan putra saya bernama Salamah yang berada dalam pangkuan. Ketika di perjalanan kami dikepung beberapa orang Banu Mughirah (keluarga besar Ummu Salamah). Mereka berkata [kepada suami], ‘Ummu Salamah adalah putri kami. Kami tidak akan membiarkan dia pergi bersamamu pergi dari kota ke kota.’ Mereka memisahkan saya dari suami saya. [Ummu Salamah dan putranya direnggut dan dibawa paksa keluarga besarnya.]
Kabilah (keluarga besar) Hadhrat Abu Salamah – orang-orang Banu Abdul Asad – marah ketika mendengar hal itu dan mengatakan tentang putra saya, ‘Anak ini (Salamah) adalah putra Abu Salamah, kami tidak akan biarkan dia pergi dengan kalian!’ Lalu mereka merampas anak saya.” [Keluarga besar suaminya merebut paksa anaknya dan membawanya ke tempat mereka.] Kabilah Ummu Salamah membawa putri mereka itu – yaitu Ummu Salamah – sedangkan anak laki-laki Ummu Salamah diambil oleh kabilah suaminya. [Sementara suaminya tetap pergi ke Madinah menaati perintah hijrah dari Rasulullah (saw).]
Ummu Salamah mengatakan, “Saya benar-benar tinggal sendiri. Selama satu tahun saya terperangkap dalam musibah ini. Saya setiap hari pergi ke daerah Abtah untuk menangis. Suatu hari salah seorang dari antara anak-anak paman (atau sepupu) melihat saya menangis di sana. Dia merasa kasihan lalu pergi menuju kabilah saya, Banu Mughirah dan mengatakan, ‘Kenapa kalian menyakiti perempuan tidak berdaya ini? Kalian telah memisahkannya dari anak dan suaminya, lepaskan dia.’
Atas hal itu mereka berkata kepada saya, ‘Pergilah kepada suamimu!’”
Hadhrat Ummu Salamah mengatakan, “Setelah itu Bani Abdul Asad mengembalikan anak saya. Kemudian, saya siapkan unta dan membawa anak lalu berangkat. Setelah berangkat ke Madinah, tidak ada yang menolong saya. Ketika sampai di daerah Tan’im saya berjumpa dengan Hadhrat Utsman Bin Thalhah bin Abu Thalhah (عثمان بن طلحة بن أبي طلحة) – saat itu belum masuk Islam, karena beliau baiat pada tahun 6 Hijriyah.
Beliau berkata, إلى أين يا ابنة أبي أُمية ‘Wahai putri Abi Umayyah (Ummu Salamah)! Hendak kemana Anda pergi?’
Saya katakan, ‘Saya akan pergi ke Madinah menjumpai suami saya.’
Hadhrat Utsman bertanya, “Apakah ada yang menyertai Anda?”
Saya katakan, “Demi Allah, tidak ada yang menemani, hanya anak saya ini dan Tuhan yang menemani.”[26]
Usman berkata, “Demi Allah! Saya tidak biarkan Anda pergi sendiri, saya akan temani Anda.”
Lalu beliau memegang tali unta.
Hadhrat Ummu Salamah meriwayatkan, فوالله ما صحبت رجلا من العرب قطُّ أرى أنه كان أكرم منه “Demi Allah! Saya belum pernah melihat seorang laki-laki Arab yang mulia sepertinya. Jika tiba waktunya istirahat, ia merendahkan unta di dekat sebuah pohon dan menjauh, sehingga saya (Ummu Salamah) bisa turun dengan mudah.” (Mereka transit di berbagai tempat.) “Setelah akan berangkat lagi, ia merendahkan unta sampai saya naik, dan memegang lagi kendalinya ke arah Madinah.
Sesampainya di tempat istirahat, beliau mendudukkan unta, memisahkan diri lalu memasang kemah di suatu tempat. Ketika saya telah turun dari unta, beliau turunkan perbekalannya lalu mengikat unta ke pohon. Beliau istirahat tidur menjauhkan diri dari kami di bawah sebuah pohon [Ummu Salamah dan putranya ada di kemah/tenda tersebut].
Ketika akan mulai berangkat lagi, beliau menyiapkan unta lalu saya menaikinya dan berangkat sementara beliau sambil memegang tali kendali. Sehingga kami sampai di Madinah. Hadhrat Usman Bin Abu Talha melihat kampung Banu Amru Bin Auf di Qaba, mengatakan pada saya, ‘Wahai Ummu Salamah! Suami Anda Abu Salamah tinggal di sini, masuklah ke rumah tersebut dengan keberkatan Allah’, lalu Utsman kembali ke Makkah.[27]
Tahun kedua hijrah, ketika Hadhrat Rasulullah pergi untuk perang Asyirah, maka Abu Salamah ditetapkan sebagai Amir (pemimpin) di Madinah.[28]
Berkenaan dengan perang Asyirah Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis bahwa pada Jumadil Awwal setelah mendapatkan kabar dari Quraisy Makkah, Rasulullah (saw) pergi bersama dengan satu grup dari Madinah dan meninggalkan setelah menetapkan abu Salamah Bin Abdul Asad sebagai Amir. Pada perang itu Hadhrat Rasulullah (saw) setelah menempuh perjalanan jauh pada akhirnya sampai di dekat pantai laut sampai di Asyirah daerah Yanbu’ dan meskipun tidak bertempur dengan Quraisy, namun saat itu beliau menempuh satu perjanjian dengan Qabilah banu Mudlij seperti persyaratan yang telah ditempuh dengan Banu Zamrah, lalu pulang.[29]
Telah dicapai syarat-syarat perjanjian dengan Banu Zamrah (بنو زمرہ) bahwa Banu Zamrah akan menjalin hubungan persahabatan dengan Umat Muslim dan tidak akan membantu musuh dalam menentang umat Muslim. Apabila nanti Rasulullah (saw) memanggil mereka untuk membantu umat Muslim, mereka akan segera datang. Di sisi lain, Hadhrat Rasulullah (saw) berjanji mewakili umat Muslim bahwa umat Muslim akan menjalin persahabatan dengan Kabilah Banu Zamrah dan akan membantu mereka ketika diperlukan. Kesepakatan ini tertulis secara resmi dan ditandatangani oleh kedua pihak.[30]
Kemudian, dalam buku Sirah Khataman Nabiyyiin tertulis bahwa kekalahan yang dialami umat Muslim pada perang Uhud membuat kabilah-kabilah Arab lebih berani untuk memusuhi umat Muslim. Sebagaimana hal itu terjadi belum lama berlalu perang Uhud dan para sahabat pun belum sepenuhnya pulih dari luka-luka.
Pada bulan Muharram tahun ke-4 Hijriyah tiba-tiba Rasulullah (saw) di Madinah mendapatkan kabar bahwa pemimpin kabilah Asad, Thalhah Bin Khuwailid (طلیحہ بن خویلد) dan saudaranya Salamah Bin Khuwailid (سلمہ بن خویلد) tengah mempersiapkan orang-orang di daerahnya untuk berperang melawan Rasulullah. Karena Hadhrat Rasulullah (saw) sangat memahami bahayanya kabar seperti itu perihal kondisi negeri, untuk itu seketika mendengar kabar tersebut beliau langsung menyiapkan 150 pasukan yang tangkas dan menetapkan Abu Salamah Bin Abdul Asad sebagai Amir (komandan) untuk memimpinnya. Beliau (saw) menekankan untuk melakukan serangan tiba-tiba. Sebelum Banu Asad melampiaskan kebencian ini, pecahkanlah kekuatan mereka. Lalu dengan cepat dan diam-diam Abu Salamah bergerak dan sampai di daerah pertengahan Arab, Qatan, tapi tidak terjadi pertempuran. Namun ketika melihat pasukan Muslim penduduk Banu Asad berhamburan. Setelah beberapa hari tidak tampak, Abu Salamah kembali ke Madinah.
Disebabkan perjalanan yang berat tersebut, luka yang Abu Salamah alami paska perang Uhud yang tampaknya sudah hampir sembuh, kembali memburuk. Meskipun diobati, kondisinya semakin memburuk. Disebabkan keadaan itu, sahabat mukhlis, awwalin dan merupakan saudara sepesusuan Rasul tersebut wafat.[31]
Jenazah beliau dimandikan dengan air dari sumur Al-Yasirah (الیسیرۃ) yang berada di daerah Aliyah (tinggi) dan dimiliki oleh Banu Umayyah Bin Zaid. Pada masa jahiliyah sumur itu bernama Al-Abir (العبیر) lalu diganti oleh Rasulullah (saw) menjadi Al-Yasirah. Jenazah Abu Salamah dikuburkan di Madinah.[32]
Ketika beliau wafat, Hadhrat Rasulullah (saw) memejamkan mata almarhum yang terbuka lalu memanjatkan doa, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ . وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ ‘Allahumma ghfir li-Abi Salamata warfa’ darajatahu fil mahdiyyiina wakhlufhu fi aqibihi fil ghaabiriina waghfir lana wa lahu yaa Rabbal ‘alaamiina wafsah lahu fi qabrihi wa nawwir lahu fihi.’ – “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya ke dalam golongan hamba-hamba Engkau yang mendapat petunjuk kebenaran, berilah pengganti untuk keluarga yang ditinggalkannya dan ampunilah kami dan dia (wahai) Tuhan semesta alam. Ya Allah, luaskan dan terangilah alam kuburnya dengan nur.”[33]
Dalam satu riwayat, ketika kewafatan Abu Salamah sudah dekat, Abu Salamah berdoa, اللهم اجعل لأهلي خير خلف ”Ya Tuhan! Jadikanlah seorang pribadi terbaik sebagai pengganti hamba dalam keluarga hamba [suami yang lebih baik untuk istri yang ditinggalkannya karena ia akan wafat].” Doa tersebut dikabulkan dengan dinikahinya Hadhrat Ummu Salamah (istri beliau) oleh Rasulullah (saw).[34]
Putra Hadhrat Ummu Salamah menuturkan bahwa Hadhrat Abu Salamah datang kepada Hadhrat Ummu Salamah dan mengatakan, “Saya telah mendengar sabda Rasulullah (saw) sebagai berikut: ‘Seorang hamba yang mendapatkan musibah dan mengucapkan doa; إنا لله و إنا إليه راجعون اللهم آجرني في مصيبتي و اخلف لي خيرا منها Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun – Allahumma ajirnii fi mushiibatii wakhluf lii khoirom minha – “Sesungguhnya semua kami adalah milik Allah dan sesungguhnya semuanya akan kembali kepada Allah – Ya Allah! Berikanlah kepada hamba pahala dari musibah hamba ini dan anugerahkanlah pengganti yang lebih baik kepada hamba setelahnya.’ Maka Allah akan menggantikan musibahnya dengan pahala dan memberinya yang lebih baik.” [35]
Pada kesempatan ini terdapat sebuah hadits, Ummu Salamah (ra) menjelaskan: “Ketika Abu Salamah syahid, saya memanjatkan doa seperti itu, padahal hati saya enggan untuk berdoa, ‘Ya Allah! Anugerahkanlah hamba pengganti Abu Salamah.’
Lalu saya mengatakan dalam hati, ‘Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah? Bukankah beliau tidak begini dan tidak begitu – Maksudnya beliau memiliki banyak keistimewaan dan sifat-sifat mulia – Namun demikian, saya terus panjatkan doa tersebut.”[36]
Ketika masa iddah Ummu Salamah berakhir, datanglah lamaran dari Rasulullah (saw) kepada beliau dan akhirnya Rasulullah (saw) menikahi beliau.[37]
Berkenaan dengan pernikahan beliau, Hadhrat Sahibzada Mirza Basyir Ahmad menulis di dalam buku Sirah Khataman Nabiyyiin bahwa Hadhrat Rasulullah (saw) menikahi Ummu Salamah pada tahun 4 Hijriyah bulan Syawal. Ummu Salamah berasal dari keluarga pembesar Quraisy. Sebelum itu beliau adalah istri dari Abu Salamah Bin Abdul Asad yang sangat mukhlis dan sahabat awalin dan pada tahun itu jugalah suami beliau wafat. Ketika masa iddah Ummu Salamah yakni masa yang harus dilewati oleh seorang janda atau perempuan yang ditalaq berdasarkan syariat Islam yang mana sebelum berlalu masa iddah, seseorang belum dapat menikah lagi. Setelah masa iddah Ummu Salamah berakhir, karena Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang cerdas dan luar biasa, untuk itu Abu Bakr pun punya keinginan untuk melamarnya, namun Ummu Salamah menolaknya.
Akhirnya, Hadhrat Rasulullah (saw) sendiri berpikir untuk melamarnya dan yang menjadi salah satu sebabnya adalah selain memiliki keistimewaan pribadi yang dengannya sesuai untuk menjadi istri seorang Nabi, Ummu Salamah juga adalah mantan istri dari seorang sahabat yang sangat istimewa dan juga memiliki anak sehingga perlu untuk ada yang mengurusi. Selain itu, karena Abu Salamah Bin Abdul Asad adalah saudara sepesusuan Rasulullah (saw) maka Rasulullah (saw) lebih merasa bertanggung jawab untuk mengurusi keluarga yang ditinggalkannya. Ringkasnya, Rasulullah (saw) mengirimkan pesan lamaran kepada Ummu Salamah.
Awalnya, disebabkan beberapa kekurangan, Ummu Salamah menyampaikan keengganannya dan menyampaikan alasan bahwa umur beliau semakin bertambah sehingga tidak subur lagi. Namun karena tujuan lamaran Rasulullah (saw) adalah untuk hal lain, akhirnya Ummu Salamah menerima lamaran Rasul. Dalam hal ini, putra Ummu Salamah bertindak sebagai wali ibunya dan menikahkan beliau. Seperti yang telah disampaikan bahwa Ummu Salamah adalah perempuan istimewa dan selain cerdas, memiliki derajat tinggi dalam keikhlasan dan keimanan. Beliau juga merupakan salah seorang diantara umat Muslim yang memulai hijrah ke Habasyah atas perintah Rasul. Begitu juga ketika hijrah ke Madinah, beliau yang paling awal hijrah dari antara kaum perempuan Muslim.
Hadhrat Ummu Salamah mempunyai kemampuan dapat membaca dan memiliki andil memberikan talim dan tarbiyat kepada para perempuan Muslim. Sebagaimana dalam kitab hadits dan banyak sekali riwayat dan hadits yang diriwayatkan oleh beliau sehingga dari segi periwayatan Hadits ini – diantara para istri Nabi Muhammad (saw) – beliau menempati posisi kedua [posisi pertama Hadhrat Aisyah rha]; dan Hadhrat Ummu Salamah menempati posisi ke-12 diantara para sahabat pria.[38]
Demikianlah kisah para sahabat. Semoga Allah Ta’ala terus meninggikan derajat luhur para sahabat tersebut. Semoga kita diberikan taufik untuk mengamalkan kebaikan-kebaikan yang mereka kerjakan itu.
Sekarang saya hendak mengumumkan beberapa orang yang telah wafat dan setelah itu saya akan memimpin shalat jenazah ghaib mereka. Pertama, Rajah Nasir Ahmad Sahib Nasir (راجہ نصیر احمد صاحب ناصر), seorang waqif zindegi dan muballigh. Terakhir menjabat sebagai mantan Nazhir Ishlah wa Irsyad Markaziyah. Beliau wafat pada tanggal 6 juli, pukul 11 pagi pada usia 80 tahun di Tahir Heart Institute. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau sakit selama bertahun-tahun. Sejak tahun 2012 kesehatan beliau perlahan-lahan terus memburuk. Sejak tiga bulan terakhir beliau sama sekali tergeletak diatas tempat tidur disebabkan pendarahan otak. Beliau lahir pada tanggal 7 Mei 1938 di Bhera daerah Sargodha. Setelah menempuh pendidikan dasar, melanjutkan matrik lalu pergi ke Lahore dan bekerja di departemen irigasi sebagai juru tulis. Pada tahun 1958 beliau mewakafkan hidup dan masuk ke Jamiah Ahmadiyah. Pada tahun 1965 beliau mendapatkan gelar syahid.
Jemaat Ahmadiyah masuk dalam keluarga beliau melalui ayah beliau, Raja Ghulam Haidar Sahib yang baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih Tsani (ra) dan setelah itu beliau membaiatkan orang tua dan adik-kakak. Ayahanda Rajah Nasir Ahmad Sahib berkeinginan supaya salah satu putra beliau ada yang mewaqafkan diri. Untuk memenuhi keinginan tersebut Raja Sahib mengisi formulir waqaf pada tahun 1958 lalu formulir tersebut dibawa ke saudara beliau almarhum Raja Nazir Ahmad Sahib Zafar untuk ditandatangani. Saudara beliau mengatakan, “Pikirkan baik-baik, karena tugas seorang waqaf zindegi sangatlah berat dan menuntut kerja keras dan tanggung jawab.”
Raja Nasir Sahib menjawab, “Saya telah pikirkan matang matang, silahkan kakak tanda tangan.”
Pada saat itu orang tua beliau telah wafat. Setelah itu beliau waqaf, seperti yang saya sampaikan beliau masuk jamiah lalu lulus dan bertugas dilapangan. Setelah lulus jamiah beliau mendapatkan taufik untuk mengkhidmati Jemaat selama 47 tahun. Beliau bertugas sebagai Muballig di berbagai daerah di Pakistan. Ketika Bangladesh dan Pakistan masih satu, beliau mendapatikan taufik bertugas di Pakistan Timur (Bangladesh) sebagai Muballigh. Beliau juga pernah ditugaskan sebagai Muballigh di Uganda dan di Zaire. Di Indonesia, beliau pernah bertugas juga selama dua tahun di Jamiah Ahmadiyah sebagai dosen. Lalu menjabat sebagai Naib Nazhir pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Setelah itu sebagai Nazir Islah wa Irshad Markaz selama dua tahun, sebagai Additional Nazir Risytanata selama dua tahun, sebagai Additional Nazir Isyaat selama dua tahun. Pada akhirnya beliau retired (pension) pada tahun 2012. Istri beliau adalah sepupu beliau yang wafat mendahului beliau.
Beliau memiliki tiga putra yaitu Raja Muhammad Amad Sahib menetap di London, Raja Ataul Mannan, Muballigh bertugas di Wakalat Tasnif Rabwah dan Raja Muhammad Akbar juga menetap di Inggris. Beliau seorang figur yang bertawakal dan pendoa. Putra beliau menulis ketika bertugas di Bangladesh, suatu ketika terjadi kebakaran dan api sudah hampir mendekati rumah para Ahmadi. Melihat kejadian tersebut, beliau berdoa, “Ya Tuhan, Masih Mau’ud Engkau telah bersabda, ‘Api adalah hamba kami, bahkan hamba dari hamba’, untuk itu selamatkanlah kami dari api itu.” Dikisahkan api mendekat ke rumah para Ahmadi, menyentuh penjuru rumah lalu terhenti dan tidak melahap rumah Ahmadi, sehingga terhindar dari kerugian.
Ketika berkhidmat di Uganda, keadaan di sana kacau karena peperangan, namun beliau tetap pergi bertabligh. Dikisahkan, beliau biasa pergi pagi hari untuk bertabligh dan pulang pada sore hari. Karena tidak ada tempat untuk menginap sehingga beliau pergi ke daerah yang tidak jauh. Suatu ketika ada seseorang yang datang menghampiri beliau dengan menganggap beliau sebagai maulwi dari suatu jamaah tabligh. Orang itu berkata, “Saya punya sebuah mobil, saya mohon tuan bisa membelinya dengan harga 1400 dollar, namun setelah saling tawar turun ke harga 1150 dollar.”
Saat itu kondisi keuangan Jemaat tidak begitu baik untuk dapat membeli mobil tersebut, begitu juga kondisi keuangan raja Sahib. Namun beliau mengiyakan lalu beliau memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah berikanlah uang supaya saya dapat membeli mobil tersebut.”
Beliau berdoa demikian supaya ada kemudahan untuk bertabligh dengan mengendarai mobil yang mana bisa membawa serta kompor dan Kasur kecil. Beliau diliputi kekhawatiran, karena jual beli sudah disepakati dan masa pelunasan yang ditetapkan adalah beberapa hari.
Pada saat saat itu beliau membuka kotak pos di dalamnya terdapat satu surat yang dikirim oleh saudara ipar dari Kanada. Di dalam surat itu tertulis bahwa saudara iparnya bermimpi yang dalam mimpi itu dikatakan kakak ipar beliau (yakni almarhum) memerlukan uang sebesar 1150 dollar. Saudara ipar berkata, “Saya pun tidak tahu kenapa kakak (abang) memerlukan uang ini, untuk itu saya kirimkan sejumlah uang tersebut dalam bentuk cek.” Masih banyak lagi kisah pengabulan doa yang beliau alami.
Beliau sangat hobi Tilawat Al Quran. Putra beliau menulis bahwa ayah sangat hobi Tilawat. Beliau selalu berusaha menilawatkan Al Quran, apakah itu di laut maupun udara. Di darat seringkali beliau menamatkan Al Quran. Beliau pun telah mendapatkan taufik untuk menamatkan Al Quran diatas kapal laut. Meskipun perjalanan di atas pesawat bukan perjalanan panjang, namun sedapat mungkin beliau selalu membaca Al Quran. Putra beliau yang muballigh berkhidmat di kantor Wakalat Tasnif. Putra beliau Raja Ataul Mannan menuturkan, “Ayah selalu menasihatkan dua hal. Pertama, jangan pernah berbuat syirik dan kedua, dalam kondisi apapun jalinlah hubungan dengan Khilafat. Beliau sendiri telah menjadikan kedua point tersebut sebagai pegangan hidup.”
Penghormatan beliau kepada orang tua sedemikian rupa, dalam hal ini saudari ipar beliau menulis, “Begitu hormatnya beliau kepada mertua, sehingga meskipun mertua beliau mengatakan sesuatu sampai berkali-kali, maka setiap saat diucapkan, beliau bersikap seolah baru pertama kali mendengar. Tidak pernah mengatakan bahwa ibu sudah pernah bilang dulu.”
Menantu beliau yang merupakan istri muballigh menulis, “Selama hidup 18 tahun dalam rumah ini tidak ada hal lain yang diperoleh khususnya dari bapak ibu mertua selain kasih sayang dan rasa hormat. Almarhum selalu mengatakan kepada ibu saya, ‘Saya akan kirimkan putri anda kerumah anda, karena anak perempuan tidak akan melupakan ibunya.’ Ibu saya menjawab, ‘Tidak, jika mertua memperlakukan menantunya seperti anak sendiri, biasanya anak pun lupa ibunya.’ Walhasil, mereka memperlakukan menantu dengan penuh kasih sayang.
Menantu beliau menulis, “Almarhum ayah mertua adalah pecinta Tuhan, pecinta Rasulullah (saw) , pecinta Masih Mau’ud, pecinta para Khalifah dan pecinta Al-Quran. Beliau sangat mencintai Khilafat, memiliki ketaatan luar biasa, memahami permasalahan dan mempunyai ide cemerlang dan sangat lembut. Salah satu keistimewaan beliau juga adalah setiap bulan menamatkan Al-Quran.”
Kerabat almarhum pun menulis bagaimana Allah Ta’ala memenuhi segala kebutuhan beliau, selalu mengabulkan doa beliau dan luar biasa. Walhasil, beliau seorang Murabbi dan Muballig yang sukses, memiliki kemampuan dalam pengelolaan (manajemen dan administrasi Jemaat) dan hubungan beliau dengan Khilafat patut menjadi teladan. Berkenaan dengan beliau hubungan beliau dengan Khilafat dapat dikatakan beliau melangkah mengikuti Khilafat layaknya nadi berdenyut menyertai tubuh atau jantung.
Ketika Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi menetapkan saya (Hudhur) sebagai Nazir Ala (semacam Amir) di Pakistan, saya melihat jelas sekali sisi ketaatan dalam diri beliau yang semata-mata karena (Nazir Ala) telah ditetapkan Khalifah sebagai perwakilan Khalifah yang harus ditaati. Walhasil, beliau merupakan contoh ideal, taat dan tidak banyak dijumpai di dunia ini. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya atas beliau. Semoga putra-putri beliau diberikan taufik untuk dapat melanjutkan kebaikan dan keistimewaan beliau. Beliau memiliki banyak sekali keistimewaan, memperhatikan orang miskin, beliau selalu memperhatikan para Muballigh yang berkhidmat bersama dengan beliau, memperhatikan keperluan mereka dan berusaha untuk memenuhinya. Dalam hal ini banyak sekali para muballig yang menulis kepada saya.
Selain itu adalah dua jenazah ghaib yang syahid, meskipun kesyahidan bukan karena Jemaat, namun diawali perampokan di toko beliau lalu perampok itu menembak mereka sehingga syahid. Mereka ialah Mubin Ahmad sahib syahid Bin Mahbub Ahmad Sahib dan yang kedua adalah Muhammad Zafrullah Sahib Bin Liyaqat Ali Sahib yang terjadi pada tanggal 7 Juli 2018 sekitar pukul tiga sore di daerah Wetacok, area industry coranggi, Karachi. Para perampok menembaki tiga khudam yang bernama Mubin Ahmad Sahib Bin Mahbub ahmad Sahib, Zafrullah Ahmad sahib dan dan Muhammad Nasrullah sahib yang mengakibatkan syahidnya Mubin Ahmad Sahib dan Zafrullah Ahmad sahib, innaa lillaahi wa inaa ilaihi raajiuwn. Para perampok itu memasuki toko elektronik mereka lalu menembaki dengan kejam karena sang pemilik mempertahankan asset mereka dari perampasan akhirnya mereka berdua syahid.
Jemaat masuk dalam keluarga Yth Mubin Ahmad sahib syahid Bin Mahbub Ahmad Sahib melalui kakek buyut beliau Yth. Choudry Allahdad Sahib yang baiat melalui kakak laki-laki beliau bernama Abdul Aziz Patwari Sahib pada tahun 1940. Paska baiat, putra-putri beliau menentang beliau, di rumah pun beliau ditempatkan pada ruang terpisah begitu juga kasur dan wadah-wadah. Namun beliau menghadapinya dengan penuh kesabaran.
Kakek almarhum Yth. Ali Muhammad Sahib, sebelumnya merupakan penentang keras Jemaat. Beliau adalah murid seorang penentang keras Jemaat bernama Ataullah Syah Bukhari. Ketika terjadi peristiwa perpisahan India-Pakistan (1947), Ataullah Syah Bukhari mengucapkan kata yang tidak sesuai ditujukan kepada Qaid-e-Azam [Pemimpin besar Pakistan, Muhammad Ali Jinnah) dengan sebutan Kafir Azam dan menentang Liga Muslim, lalu kakek beliau memisahkan diri dari Ataullah Syah Bukhari.
Ketika terjadi pembagian anak benua, pemisahan Pakistan dan Hindustan dan Jemaat hijrah ke Lahore, beliau menjadi saksi tergenapinya nubuatan-nubuatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) berkaitan dengan Hijrah lalu timbul lagi kecenderungan beliau terhadap Jemaat. Setelah berdirinya Pakistan, keluarga ini pindah ke Nawabsyah. Pada saat kunjungan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) ke Sindh, ketika kakek almarhum di stasiun kereta api berpapasan dengan beliau dan memandang wajah Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), beliau mengatakan, “Wajah ini bukanlah wajah seorang pendusta”, lalu baiat masuk Jemaat.
Mubin Ahmad Sahib tengah menempuh gelar BA. Ketika syahid usia beliau 20 tahun. Beliau seorang pemuda yang berakhlak mulia, penyabar dan dermawan dan teguh pendirian. Beliau dawam shalat lima waktu. Di rumah pun paling penyayang. Beliau selalu semangat dalam pengkhidmatan Jemaat dan khadim yang aktif. Beliau tidak akan segan-segan untuk meninggalkan urusan pribadi demi urusan Jemaat. Beliau telah mendaftar wasiyat dan nomor dokumennya telah keluar, insya Allah akan diterima wasiyatnya. Beliau sangat akrab dengan lingkungan masyarakat. Orang yang mengenal beliau baik muda maupun dewasa selalu memuji beliau. Mubin Ahmad Sahib adalah sepupu dari syahid khadim kedua pada kejadian tersebut yakni Muhammad Zafrullah sahib. Kerabat yang ditinggalkan diantaranya: Ayah bernama Mahbub Ahmad Sahib, ibunda bernama Amatul Hafiz Begum sahibah, saudari-saudari yaitu Mubinah Mahbub 23 tahun, Kanzah Mahbub 16 tahun, adik Amin Ahmad 13 tahun.
Almarhum Syahid kedua yang akan dishalatkan jenazahnya adalah Muhammad Zafrullah Sahib Bin Liaqat Ali Sahib (محمد ظفر اللہ صاحب ابن لیاقت علی صاحب). Pada peristiwa perampokan tersebut beliau terkena tiga peluru yang menyebabkan luka berat pada ginjal beliau. Lalu, beliau dioperasi dan membaik, namun kondisinya memburuk lagi. Kemudian para dokter memutuskan untuk dioperasi lagi, namun pada malam harinya, yakni satu malam sebelumnya, wafat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Dalam keluarga beliau Jemaat bermula dari kakek buyut beliau, Ghulam Din Sahib, penduduk daerah Gurdaspur. Beliau biasa bekerja di sawahnya sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Abdul Aziz Patwari. Suatu hari beliau pergi ke Qadian bersama dengan sahabat tersebut lalu baiat setelah berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Muhammad Zafrullah Sahib Syahid lahir di Karachi pada bulan Oktober 1993. Beliau seorang khadim yang periang dan mukhlis. Senyuman senantiasa tampak pada bibir beliau. Beliau selalu tampil untuk mengkhidmati Jemaat, mengerjakan tugas-tugas majlis Khudam melalui berbagai bidang. Dengan karunia Allah beliau seorang musi. Ketika syahid beliau berusia 25 tahun. Kerabat yang ditinggalkan diantaranya ialah ayah Liyaqat Ali Sahib, ibunda Nasirah Begum Sahibah, lima saudara yaitu Wajahat Ahmad 33 tahun, Mansur Ahmad 31 tahun, Mustansar Ahmad 28 tahun, Syuja ahmad 27 tahun, Hafiz Muhammad Nasrullah 24 tahun.
Korban ketiga dalam tragedi tersebut, Hafiz Nasrullah Sahib, saudara beliau yang telah mengalami operasi dan tengah dirawat di Rumah Sakit. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesehatan sempurna kepada beliau juga, meninggikan derajat para almarhum, memberikan kesabaran kepada kerabat yang ditinggalkan. [Aamiin].
[1] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 5, h. 13, Abu Usaid as-Saidi, terbitan Darul Fikr, Beirut, 2003.
[2] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 5, h. 22, Abu Usaid as-Saidi, terbitan Darul Fikr, Beirut, 2003.
[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 286, Abu Usaid as-Saidi, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990
[4] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab persumpahan (كتاب الأيمان والنذور) bab (باب إِنْ حَلَفَ أَنْ لاَ يَشْرَبَ نَبِيذًا فَشَرِبَ طِلاَءً أَوْ سَكَرًا أَوْ عَصِيرًا، لَمْ يَحْنَثْ فِي قَوْلِ بَعْضِ النَّاسِ، وَلَيْسَتْ هَذِهِ بِأَنْبِذَةٍ عِنْدَهُ), 6685. Nabidz atau naqi’ ialah air rendaman di sebuah wadah tertutup berisi buah kurma dan/atau anggur semalaman atau dua hari. Rendaman ini tidak boleh selama tiga hari atau lebih karena sudah menjadi minuman keras.
[5] Syarf al-Mushthafa jilid 4, h. 400, bab-bab sifat akhlak dan adabnya, hadits 1649, Darul Basyairil Islamiyah, Makkah, 2003.
Al-Hakim (الحاكم) no. 6193
[6] Imta’ul Imta’, jilid 14, h. 254-256, penerbit Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1999
[7] Shahih al-Bukhari, Kitab Adab, bab penggantian nama, dengan nama yang lebih baik, hadits nomor 6191; juga dalam Shahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab tentang Adab (كتاب الآداب), bab mustahab men-tahnik bayi, membawanya kepada orang saleh dan menamainya. (بَاب اسْتِحْبَابِ تَحْنِيكِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ وَحَمْلِهِ إِلَى صَالِحٍ يُحَنِّكُهُ وَجَوَازِ تَسْمِيَتِهِ يَوْمَ وِلَادَتِهِ وَاسْتِحْبَابِ التَّسْمِيَةِ بِعَبْدِ اللَّهِ وَإِبْرَاهِيمَ وَسَائِرِ أَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَام). Menurut Kitab Ishabah, Mundzir putra Abu Usaid (المنذر بن أبي أسيد الساعدي) yang masih bayi pada zaman Nabi saw, ketika telah besar pada zaman Khalifah Ali ra, ia menyertai beliau menghadapi Muawiyah. Pada zaman pemerintahan Yazid putra Muawiyah (680-683), gubernur Ubaidullah ibn Ziyad mengirim Mundzir sebagai pejabat ke Sind, sebuah tempat di Pakistan-India sekarang. Sind telah menjadi wilayah kekuasaan Muslim.
[8] Fathul Bari syarh (komentar atas) Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, hadits no. 4094, Qadimi Kutub Khanah Aram Begh, Karachi.
[9] Al-Mustadrak ‘alash shahihain, Kitab Ma’rifatush Shahabah. المستدرك على الصحيحين – معرفة الصحابة
Al-Mustadrak ‘alash shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (معرفة الصحابة), jilid 3, h. 591, hadits 6189, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002.
[10] Mushannaf Abi Syaibah, jilid 6, h. 216, Kitab Adab, bab mustahab bagi kaum laki-laki memakai minyak wangi, Darul Fikr, Beirut; Siyaar A’lam an-Nubala, para Shahabat ridhwaanullah ‘alaihim
[11] Syi’bil Iiman (cabang-cabang Iman, شعب الإيمان), karya al-Baihaqi (أحمد بن الحسين بن علي بن موسى الخُسْرَوْجِردي الخراساني، أبو بكر البيهقي), no 3247, riwayat Ja’far bin Muhammad dari ayahnya (جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ); Marwan ibn al-Hakam ibn Abul Ash bin Umayyah, (lahir 2 H/624 M – w. 65 H/685 M) ialah Sahabat shighar (satu masa hidup dengan Nabi (saw) tapi ia masih anak kecil) atau Tabi’in, menantu Hadhrat Utsman, besan Hadhrat Ali karena Ramlah binti Ali bin Abu Thalib dinikahi oleh Mu’awiyah bin Marwan bin Al-Hakam; Ia adalah kakek Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan ibn Hakam dari jalur ayah. Ia kepala sekretariat Khalifah Utsman, baiat kepada Khalifah Ali selepas syahidnya Khalifah Utsman, baiat lagi kepada Khalifah Ali selepas perang Jamal (menentang pasukan Ali), baiat lagi kepada Khalifah Ali selepas perang Shiffin (menentang pasukan Ali pada 557); tinggal di Madinah; gubernur Madinah masa Muawiyah (661-680), penasehat gubernur Madinah masa Yazid (Yazid berkuasa pada 680 dan meninggal pada 683. Pada masa ini Gubernur Yazid, Ubaidullah bin Ziyad dan pasukannya melakukan pembunuhan Husain bin Ali di Kufah), Marwan menjadi penguasa Damaskus pada 684-685 selepas wafat Muawiyah II, anak Yazid bin Muawiyah. Setelah Muawiyah II wafat masih muda, keturunan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan tidak ada lagi yang menjadi Raja. Dinasti Umayyah berpindah ke Marwan dan keturunannya termasuk Abdur Rahman ad-Dakhil, satu-satunya keluarga Umayyah yang selamat dari pembantaian dinasti Abbasiyah. Ia pelanjut dinasti ini di Spanyol.
[12] Mu’jam al-Kabir karya ath-Thabrani (المعجم الكبير للطبراني); dalam Riwayat Shahih al-Bukhari, Kitab Manaqib Anshar (كتاب مناقب الأنصار) no. 3791 terdapat ‘protes’ pemuka Bani Sa’idah, Sa’ad ibn Ubadah (سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ) karena Nabi (saw) menempatkan kaumnya di jajaran terendah (urutan keempat) golongan terkemuka Anshar, يَا رَسُولَ اللَّهِ، خُيِّرَ دُورُ الأَنْصَارِ فَجُعِلْنَا آخِرًا.
Nabi (saw) menjawab, أَوَلَيْسَ بِحَسْبِكُمْ أَنْ تَكُونُوا مِنَ الْخِيَارِ “Bukankah hal pantas menempatkan kaum anda dalam jajaran terbaik?” Sa’ad bin Ubadah ialah pemimpin Anshar dalam peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah (tuntutan Khalifah harus dari kalangan Anshar) tatkala para Sahabat lain tengah berada di rumah Nabi (saw) yang baru wafat pada 632 M. Dalam buku ‘Khilafat Rashidah’ karya Khalifatul Masih II ra, Sa’ad bin Ubadah ialah tokoh Anshar yang tidak berbaiat kepada Khalifah Abu Bakr ra.
[13] Al-Mustadrak ‘alash shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (معرفة الصحابة), jilid 3, h. 592, dzikr al-Hubab ibn al-Mundzir, hadits 6194, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002.
[14] Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة) Al-Ishabah fi tamyizish shahabah, Nu-man ibn Abil Jun, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1995.
[15] Shahih al-Bukhari, Kitab perceraian (كتاب الطلاق), no. 5255, bab باب مَنْ طَلَّقَ وَهَلْ يُوَاجِهُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ بِالطَّلاَقِ
[16] Tafsir Kabir jilid 2, h. 533-535, Tafsir Surah al-Baqarah ayat 228.
[17] Majma’uz Zawaaid wa Manba’ ul-Fawaid (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد), Kitab ‘Alaamatun Nubuwwah (كتاب علامات النبوة) jilid 8, h. 429-431, nomor 14253, penerbit Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2001. Buku ini karya Syekh Imam ‘Ali bin Abi Bakar bin Sulaiman al Haitsami (Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman bin Abi Bakr bin Umar bin Saleh Nuruddin Abu Hasan al-Haithamiy al-Qahiriy, al-Syafi’i, al-Hafizh
[18] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 3, h. 295, Abdullah Bin Abdul Asad, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2003
[19] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 124
[20] Al-Isti’aab fi ma’rifatil ashhaab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب), jilid 3, h. 71, penerbit Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002;
[21] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 3, h. 153, Abu Salamah, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2003
[22] Sirah (السيرة النبوية: ج 1 ص 321، تاريخ الطبري: ج 2 ص 70، وبحار الأنوار: ج 18 ص 412 نقلاً عن مجمع البيان للطبرسي)
[23] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 146-147
[24] Abu Lahab nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. Ia saudara dengan Abu Thalib dan juga ayah Nabi saw, Abdullah bin Abdul Muththalib.
[25] Sirah an-Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi saw) karya Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), Kisah Abu Salamah, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[26] Jarak Makkah ke Madinah jalur perjalanan kaki pada masa itu sekitar 490-498 kilometer. Saat itu bisa memakan waktu 10 hari s.d. tiga minggu perjalanan. Hijrah ke Madinah terjadi pada 622 Masehi.
Pada saat ini perjalanan melewati udara, jarak terpendek 338 km = 210 miles. Perjalanan dengan menaiki bus, sekitar 6-7 jam. Dengan naik kereta api akan diperkirakan selama 2,5 jam. http://perjalananibadahhaji.blogspot.com/2013/02/foto-foto-perjalanan-dari-madinah.html
[27] Sirah an-Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi saw) karya Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), h. 333, Dzikr al-Muhajirin ilal Madinah, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2001.
[28] Al-Isti’aab fi ma’rifatil ashhaab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب), jilid 3, h. 71, Abdullah bin Abdul Asad, penerbit Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002;
[29] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 329
[30] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 1, h. 133, bab dzikr bi’tsah Rasulullah (saw) ar-rusul bi kutubihi, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.
[31] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 511
[32] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad. (الطبقات الكبرى لابن سعد), jilid 3, h. 128, Abu Salamah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.
[33] Shahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab tentang Jenazah (كتاب الجنائز), bab memejamkan mata orang yang sudah meninggal dan doanya (باب فِي إِغْمَاضِ الْمَيِّتِ وَالدُّعَاءِ لَهُ إِذَا حُضِرَ), 920. “Rasulullah (saw) masuk kepada jenazah Abu Salamah (pada hari kematiannya) dan sesungguhnya matanya terbuka, lalu baginda memejamkannya (yakni baginda menutup kelopak matanya dengan tangan baginda). Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya ruh ketika dicabut, diperhatikan oleh mata (yakni ketika ruh ditarik keluar dari badan, mata melihat ke mana ruh pergi)”. Lalu beberapa orang dari keluarganya berpekikan. Maka Nabi bersabda: “Janganlah kamu menyeru kepada mayat-mayat kamu melainkan dengan suatu kebaikan kerana sesungguhnya para malaikat mengaminkan apa yang kamu ucapkan” “Janganlah kalian mendoakan diri kalian kecuali doa yang baik. Sesungguhnya malaikat mengaminkan semua yang kalian ucapkan.” Kemudian beliau berdoa seperti doa tersebut.
[34] Asadul Ghabah fi Ma’rifatish Shahaabah (أسد الغابة), jilid 3, h. 296, Abdullah bin Abdul Asad, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.
[35] Al-Jaami li Syi’bil Iman (kumpulan cabang-cabang iman) karya Imam Abu Bakr Ahmad bin al-Husain Baihaqi, Jilid 12, Hal. 182, As-Sab’uuna min Syi’bil Aiman (Cabang ke-70 dari 77 cabang iman), Bab Fish Shobri ‘alal Mashoo-ibi (Sabar dalam musibah), Hadits 9697, Mathbu’ah Maktabatur Rusydi, 2004.
[36] Dalam riwayat-riwayat disebutkan Abu Salamah dan Ummu Salamah ialah pasangan suami-istri yang sangat saling menyintai. Ummu Salamah sampai-sampai meminta janji agar satu sama lain tidak menikah lagi bila salah satu meninggal lebih dulu. Abu Salamah tidak menyetujuinya dan bahkan meminta istrinya untuk menaatinya dengan membiasakan membaca doa diatas bila ia meninggal lebih dulu.
[37] Al-Ishabah (الإصابة في تمييز الصحابة) Al-Ishabah fi tamyizish shahabah, jilid 4, h. 132, Rabi’ah ibn Amru, terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2005.
[38] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 530-531