Latar Belakang Fatah Makkah
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 23 Mei 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Pada khotbah sebelumnya, saya menyebutkan tentang seorang Muslim yang membunuh seseorang meskipun orang tersebut mengucapkan salam, dan saya juga menyebutkan Surah An-Nisā ayat 95 yang di dalamnya menyatakan,
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰىٓ اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا
Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin.’ (An-Nisā: 95)
Rincian lebih lanjut belum disebutkan sebelumnya. Rinciannya adalah sebagai berikut. Saya telah sampaikan sekilas bahwa Hazrat Rasulullah saw. mencegahnya, tetapi juga disebutkan bahwa beliau saw. memperlihatkan kemarahan yang luar biasa dan menjauhinya. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau saw. berdoa buruk untuknya. Bagaimanapun, Hazrat Rasulullah saw. sangat sedih karena masalah kisas untuk orang yang terbunuh lantas diajukan oleh kerabatnya kepada Rasulullah saw. setelah Perang Hunain, oleh karena itu rinciannya akan dijelaskan pada kesempatan ini, Insya Allah. Pada akhirnya, Hazrat Rasulullah saw. menganggap itu sebagai kejahatan yang sangat keji. Andai saja para mullah di masa ini dan orang-orang yang mengaku sebagai pelindung agama di Pakistan bisa memahami hal ini dan berhenti melakukan kezaliman terhadap para Ahmadi sehingga mereka bisa selamat dari azab Allah.
Sekarang saya akan berbicara tentang gazwah Fatah Makkah yang terjadi pada tahun 8 Hijriah. Gazwah ini juga disebut Fatḥun ‘Aẓīm (kemenangan yang agung). Ini terjadi pada bulan Ramadan tahun 8 Hijriah, seperti yang telah saya sampaikan. Ini adalah kemenangan agung yang kabar sukanya telah diberikan oleh Allah Taala sebelumnya, dan sebagai hasilnya, orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan kabar gembira tentang Fatah Makkah dari Al-Qur’an dengan bersabda:
وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
Dan katakanlah, “Wahai Tuhan-ku! Masukkanlah aku dengan cara masuk yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang baik. Dan jadikanlah bagiku dari hadirat Engkau suatu kekuatan yang menolong.” (Banī Isrā’īl: 81)
Ini adalah ayat yang diturunkan kepada beliau saw. sebelum hijrah dalam Surah Banī Isrā’īl, yang memberikan kabar suka tentang hijrah dan kemudian Fatah Makkah. Dalam Surat Al-Fatḥ, kabar gembira tentang penaklukan Makkah dijelaskan sebagai berikut:
لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًا
Sungguh Allah telah rida kepada orang-orang mukmin ketika mereka baiat kepada engkau di bawah pohon itu, dan Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menurunkan ketentraman kepada mereka, dan Dia mengganjar mereka dengan kemenangan yang dekat. (Al-Fatḥ: 19)
Kenyataannya, pada hari ketika Hazrat Rasulullah saw. hijrah dari Makkah, Allah Taala memberi kabar gembira kepada beliau saw., yaitu, “Janganlah bersedih, suatu hari Aku akan membawamu kembali ke tempat ini.” Ada juga riwayat yang menyebutkan mengenai turunnya ayat ini saat beliau saw. hijrah:
اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ
Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Al-Qur’an kepada engkau pasti akan mengembalikan engkau ke tempat kembali. (Al-Qaṣaṣ: 86)
Imam Fakhruddin Razi dalam tafsir ayat ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ma‘ād (tempat kembali) dalam ayat ini adalah Makkah, dan alasannya adalah karena ini mengacu pada kembalinya Hazrat Rasulullah saw. ke Makkah pada hari Fatah Mekkah. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. berada di antara Makkah dan Madinah pada saat hijrah, beliau saw. mengungkapkan kecintaan kepada Makkah. Maka Jibril turun dan bertanya, “Apakah engkau menginginkan kampung halaman dan tempat kelahiran engkau?” Beliau saw. menjawab, “Ya!” Lalu Jibril berkata, “Allah Taala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ
Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Al-Qur’an kepada engkau pasti akan mengembalikan engkau ke tempat kembali. (Al-Qaṣaṣ: 86)
Yakni, Dia akan membawamu kembali ke Makkah dengan memberikan kemenangan atas Quraisy. Alhasil, Hazrat Rasulullah saw. yang berada di Makkah, lalu meninggalkannya, dan kemudian kembali ke sana, dan hal ini tidak dapat berlaku untuk tempat lain selain Makkah. Menurut para peneliti, nubuatan Al-Qur’an ini adalah bukti kenabian Hazrat Rasulullah saw. karena beliau saw. menyampaikan kabar gaib dari Allah Taala dan ini terjadi persis seperti yang telah beliau saw. kabarkan.
Di tempat lain dalam Al-Qur’an, ada juga nubuatan tentang Fatah Makkah yang seolah-olah mengingatkan semua Muslim, termasuk Hazrat Rasulullah saw., bahwa ke mana pun mereka pergi, hendaknya jangan lupa bahwa Makkah akhirnya harus ditaklukkan, dan mereka harus berusaha, bekerja keras, dan berdoa untuk itu. Berdasarkan nubuatan Qurani ini, kita dapat mengatakan bahwa tujuan utama dari semua peperangan dan misi Hazrat Rasulullah saw. adalah penaklukan Makkah. Nubuatan Al-Qur’an yang agung ini disebutkan dalam ayat:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
“Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” Ini adalah ayat dari Surah Al-Baqarah. Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menafsirkannya dengan bersabda:
“Para mufasir telah menjelaskan arti مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ bahwa: “Di mana pun kalian berada, dalam keadaan apa pun, jadikanlah kiblatmu hanya Masjidil Haram”, dan alasan yang mereka berikan adalah bahwa dari perintah sebelumnya bisa muncul pemikiran bahwa mungkin kiblat ini hanya untuk penduduk Madinah dan bukan untuk orang lain, maka Allah Taala menyatakan, “Di mana pun kalian berada, arahkanlah wajah kalian ke Masjidil Haram.”
Beliau bersabda, “Kenyataannya, entah itu dialamatkan kepada Muhammad Rasulullah saw. atau kepada semua Muslim, ayat ini tidak mungkin berarti menghadapkan wajah ke arah kiblat. Pertama, karena salat yang dilakukan saat tinggal di tempat, baik itu kota atau desa, umumnya lebih banyak daripada salat yang dilakukan saat meninggalkan tempat, baik itu kota atau desa. Dalam hal seperti seperti itu, perintahnya seharusnya mencakup salat yang lebih banyak, bukan perintah yang dilaksanakan untuk di dalam perjalanan, yang kemungkinannya sangat kecil. Misalnya, seseorang biasanya meninggalkan kota pada pukul 10 pagi, atau antara Asar dan Magrib, atau tengah malam, dan semua waktu ini adalah waktu di mana tidak ada lagi pertanyaan tentang salat. Jadi, dalam hal ini, perintah yang berbunyi
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
menjadi tidak berarti karena jarang ada kesempatan untuk salat saat meninggalkan kota. Umumnya, seseorang telah melakukan salat sebelum berangkat, atau jika harus melakukan salat, itu bisa dilakukan setelah beberapa saat. Bagaimanapun, tidak ada hubungan antara khurūj (keberangkatan) dan salat. Kemudian, tafsir ini juga bisa saja dianggap benar jika ada salat tertentu yang secara khusus berhubungan dengan waktu keberangkatan, tetapi semua orang tahu bahwa tidak ada salat yang berhubungan dengan waktu keberangkatan. Maka dari itu, menerapkan ayat ini pada keberangkatan dari rumah dengan maksud bepergian, dengan cara apa pun tidak bisa dianggap benar.”
“Bukti lebih lanjut bahwa وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ tidak berarti menghadapkan wajah ke arah kiblat dalam salat adalah bahwa karena dalam perjalanan, terkadang pertanyaan tentang arah juga menjadi tidak ada dan seseorang bisa salat menghadap ke arah mana pun wajahnya. Misalnya, ketika seseorang tidak bisa turun dari kendaraan, maka Al-Qur’an dan sunah Hazrat Rasulullah saw. membuktikan bahwa dalam keadaan tersebut, ke arah mana pun, salat diperbolehkan. Jika seseorang sedang salat dalam perjalanan, ke arah mana pun dirinya menghadap adalah diperbolehkan. Entah wajahnya menghadap ke arah kiblat atau ke arah lain. Pada saat itu, tidak ada lagi pertanyaan tentang arah. Timur, barat, utara, selatan semuanya sama, hanya perhatian hati kepada Ka’bahlah yang diperlukan. Saat salat, yang penting hanya bahwa perhatian saya tertuju pada Ka’bah. Saat ini, ketika seseorang duduk di kereta api, juga tidak ada penentuan arah karena kereta api terkadang berbelok ke utara, terkadang ke selatan, terkadang ke timur, dan terkadang ke barat. Demikian juga dalam perjalanan pesawat yang merupakan perjalanan panjang yang juga kita lihat, seseorang yang duduk di dalamnya dan salat, tidaklah ada masalah dalam salatnya. Jadi, jika tafsir para mufasir dianggap benar, maka perintah ini tidak bisa diikuti oleh orang yang naik kendaraan atau kereta api.”
“Maka ketika dalam kata khurūj (keluar), penentuan arah pun tidak lagi berlaku, lalu bagaimana mungkin benar mengambil makna dari ayat ini bahwa dari mana pun kalian keluar, salatlah dengan menghadap ke Ka’bah. Kemudian, makna ini juga tidak benar karena arti harfiah dari ayat ini adalah “dari mana pun kamu keluar, arahkan wajahmu ke Masjidil Haram” atau “dari mana pun engkau keluar, arahkanlah wajahmu ke Masjidil Haram.” Sekarang, setiap orang dapat memahami bahwa salat tidak dapat dilakukan saat berjalan, tetapi hanya dapat dilakukan saat diam. Ya, jika ayat ini berbunyi “di mana pun kamu berada, arahkan wajahmu ke Masjidil Haram”, maka makna ini bisa benar, tetapi di sini dikatakan “dari mana pun kamu keluar, arahkan wajahmu ke Masjidil Haram.” Artinya, wahai Muhammad Rasulullah saw. atau wahai umat Muslim, dari mana pun engkau keluar, arahkan wajahmu ke Masjidil Haram. Sekarang, jelas bahwa salat tidak dilakukan saat keluar, tetapi dilakukan saat berada di suatu tempat. Jadi, jelas bahwa menafsirkan ayat ini sebagai perintah salat tidak benar dalam kondisi apa pun.”
Para mufasir mengatakan bahwa jika hubungan antara salat dan keluar tidak diterima, maka akan terjadi kontradiksi, padahal ini juga keliru. Mereka melihat adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an karena mereka tidak memahami makna sebenarnya dari Al-Qur’an dan keterkaitan yang ada di dalamnya. Di mana pun mereka melihat keberatan, mereka segera memulai perkara nasikh dan mansukh, dan dengan menyatakan satu ayat sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh, mereka berupaya lepas dari keberatan, padahal jika hakikat Al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh Hazrat Masih Mau’ud a.s. diingat oleh manusia, maka tidak akan ada kontradiksi di dalam Al-Qur’an dan tidak ada ayat yang perlu dinyatakan sebagai mansukh.
Kenyataannya adalah, ketika Rasulullah saw. diusir dari Makkah, musuh-musuh Islam mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan keberatan bahwa jika beliau saw. adalah yang sosok dijanjikan dalam doa Nabi Ibrahim a.s. dan memiliki hubungan dengan Ka’bah, mengapa beliau saw. diusir dari Makkah? Ketika beliau saw. telah diusir dari Makkah, bagaimana beliau saw. bisa menjadi perwujudan dari doa Ibrahim a.s.? Inilah pertanyaannya. Sebagai jawaban atas keberatan ini, Allah Taala berfirman:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
yakni, “Wahai Muhammad Rasulullah saw.! Kepergianmu dari Makkah ini bersifat sementara, Kami berjanji kepadamu bahwa Kami akan memberimu kesempatan lagi dan kamu akan menguasai Makkah.” Kendati demikian, di mana saja ada janji-janji dari Allah Taala kepada orang-orang mukmin, di sana juga Tuhan mengharapkan mereka agar berusaha untuk memenuhi janji itu, bukan berarti bahwa Allah telah berjanji kepada mereka dan lantas mereka duduk berpangku tangan dan tidak berusaha memenuhi janji itu, dan menganggap bahwa karena Allah telah berjanji, maka Dia akan memenuhinya sendiri, dan manusia tidak perlu memenuhinya. Inilah yang dipikirkan oleh mereka. Allah Taala telah berjanji kepada kaum Hazrat Musa a.s. bahwa mereka akan diberikan tanah negeri Kanaan. Hazrat Musa a.s. lalu berangkat membawa kaumnya. Ketika tanah itu tampak di hadapan mereka, beliau a.s. berseru kepada kaumnya, “Pergilah dan berperanglah untuk menguasai tanah itu.” Kaum Hazrat Musa a.s. keliru berpikir bahwa karena Allah telah berjanji untuk memberikan tanah ini kepada mereka, mereka berpikir bahwa Dia sendiri akan memenuhi janji itu dan memberikan tanah itu kepada mereka. Mereka berpikir, “Jika kami menaklukkan tanah ini, apa gunanya janji itu? Janji itu dibuat oleh Allah, jadi biarlah Dia sendiri yang memenuhinya; kita tidak perlu berusaha untuk itu.” Maka mereka berkata kepada Hazrat Musa a.s.:
فَاذْهَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَآ اِنَّا هٰهُنَا قٰعِدُوْنَ
“Pergilah engkau bersama Tuhan engkau, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.” (Al-Maidah: 25)
Yakni, “Wahai Musa! Engkau selalu mengatakan bahwa Allah akan memberikan tanah ini kepada kami. Sekarang semua tanggung jawab ada padamu atau pada Tuhanmu. Jika kami menaklukkan tanah ini, apa gunanya janji-janjimu dan Tuhanmu? Kini, karena engkau selalu memberitahu kami bahwa ini adalah janji Allah bahwa tanah ini pasti akan menjadi milik kami, sekarang pergilah engkau dan Tuhanmu berdua berperang, sementara kami akan duduk di sini, kami tidak akan melakukan apa pun. Ketika engkau berdua menaklukkan tanah ini dan memberikannya kepada kami, kami akan memasukinya.” Di sini, secara lahiriah, perkataan mereka tampak ada benarnya, bahwa jika seseorang berkata kepada orang lain bahwa ia akan memberikan sesuatu, lalu orang-orang datang dan memintanya, kemudian orang yang menjanjikan itu lantas menyuruh mereka untuk membelinya dari pasar, maka semua orang akan berkata bahwa jika dia harus membeli barang itu dari pasar, apa gunanya berjanji? Jadi, secara lahiriah, ini tampak masuk akal; akan tetapi, dalam sistem-sistem ilahiah, ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal. Oleh karena itu, Allah Taala tidak memuji Bani Israel. Tuhan tidaklah mengatakan bahwa mereka tidak perlu berperang karena itu adalah tanggung jawab-Nya untuk mengambil tanah itu dan memberikannya kepada mereka, akan tetapi Allah Taala berfirman: “Kalian telah menghina Kami (yakni Tuhan), oleh karena itu kalian dijauhkan dari tanah ini. Pergilah, mengembaralah di padang gurun selama 40 tahun. Kalian tidak bisa menjadi pewaris tanah ini, generasi baru kalian lah yang akan menjadi pewaris tanah ini, karena kalian telah menghina Kami. Kalian lihatlah, hal ini mungkin dianggap benar dan masuk akal dari sudut pandang manusia, tetapi dari sudut pandang sistem ilahi, ini sangat tidak masuk akal dan menjadikan manusia layak untuk dihukum. Alasannya adalah, ketika manusia berjanji, ia tidak memiliki kendali atas pergerakan langit dan bumi, yaitu ia tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi di langit dan bumi, jadi ketika manusia berjanji, ia berjanji (hanya) tentang sesuatu yang ada dalam kendalinya, tetapi janji dari Allah Taala akan berarti bahwa meskipun pencapaian hal ini tidak mungkin bagi kalian, tetapi kalian akan dapat mencapainya dengan bantuan Kami.”
Jadi, Bagaimana mungkin suatu bangsa yang telah menjadi budak Firaun selama ratusan tahun, yang hanya membuat batu bata, memotong kayu, dan melakukan pekerjaan yang paling hina, bisa menguasai tanah yang sangat agung di mana kaum ‘Ad berkuasa? Mendapatkan tanah ini tidaklah mudah bagi mereka, tetapi Allah berfirman, “Mendapatkan tanah itu tampaknya tidak mungkin bagimu, tetapi Kami berjanji bahwa Kami akan memberikan tanah ini kepadamu, dan kamu akan mendapatkannya dengan bantuan Kami.”
Jadi, janji Allah tidaklah berarti bahwa karena Dia telah berjanji, maka manusia tidak perlu berusaha; akan tetapi artinya adalah bahwa ketika kalian mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan sesuatu, Allah akan membantumu dan kalian akan berhasil. Jadi, janji-janji Allah berbeda dari janji-janji hamba. Dalam janji-janji Allah, di dalamnya ada usaha-usaha yang harus dijalankan, hamba-hamba Tuhan harus menjalankan perannya dan berusaha untuk memenuhinya. Jika mereka tidak berperan dan tidak berusaha memenuhinya, maka akan menjadi layak dihukum. Akan tetapi tidak demikian dengan janji manusia. Manusia tidak bisa berkata, “Aku akan mengubah takdir Allah untukmu”, karena hal ini tidak dalam kendalinya. Jika ia berkata demikian, Tuhan akan bertanya kepadanya, “Siapa kamu yang dapat mengubah takdir Tuhan?”. Akan tetapi Allah Taala bisa berkata, “Jika kamu melakukan ini, Aku akan membantumu, jika kamu mengambil langkah-langkah sesuai dengan perintah-Ku, Aku akan mengubah takdirmu”, karena takdir adalah sesuatu yang ada dalam kendali-Nya, dan Dia bisa mengubahnya kapan pun Dia kehendaki.
Ketika Rasulullah saw. diberikan janji tentang kemenangan Makkah, pada saat yang sama umat Muslim diberitahu, “Wahai umat Muslim, jangan kalian berpikir seperti kaum Musa bahwa Allah telah berjanji untuk memberikan Makkah, dan lantas Dia sendiri yang akan memenuhinya, dan kita tidak perlu melakukan usaha-usaha untuk itu. Sebaliknya, kalian juga harus berusaha untuk memenuhinya. Arti dari suatu janji ilahi adalah bahwa sesungguhnya kalian lemah; jika kalian tidak lemah, mengapa kalian meninggalkan Makkah? Meninggalkan Makkah berarti kalian lemah sementara musuh kuat dan berkuasa, tetapi Allah akan memberikan kekuatan, dan kalian akan merebut Makkah dari musuh.”
Jadi, arti dari
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
(dari mana pun kamu keluar, arahkan wajahmu ke Masjidil Haram) adalah bahwa dari mana pun kamu keluar atau dari tempat mana pun kamu keluar, tujuanmu haruslah untuk penaklukan Makkah. Kemudian, makna ‘keluar’ juga bisa berarti berperang. Dalam hal ini, ayat ini berarti bahwa di mana pun kamu pergi untuk berperang, baik kamu keluar ke timur, selatan, barat, atau utara, tujuanmu haruslah bahwa kepergianmu ini menjadi pondasi untuk kemenangan di Makkah.
Misalnya, jika tujuanmu adalah ingin menyerang musuh di selatan tetapi kamu mengetahui bahwa di sebelah barat negerinya ada teman-temannya, dan ada kekhawatiran bahwa mereka mungkin menyerang dari belakang, sehingga kamu terlebih dahulu menyerang ke barat untuk mengalahkan mereka, itu berarti serangan ke barat ini sebenarnya adalah pendahuluan untuk serangan ke selatan. Demikian pula, jika sekutu bangsa itu tinggal di utara dan kamu menyerang mereka terlebih dahulu, serangan ini sebenarnya juga akan bertujuan ke arah selatan karena tujuan utamamu adalah menyerang musuh-musuh di selatan. Menunjuk pada prinsip inilah Allah Taala berfirman, “Wahai umat Islam! Ke arah mana pun, kepada bangsa, negara, atau wilayah mana pun kalian mengadakan serangan, arah seranganmu haruslah menuju ke Makkah karena Allah ingin memenangkannya melalui tanganmu.”
Oleh karena itu, ketika kita melihat peperangan Nabi Muhammad saw., kita menemukan bahwa corak ini menonjol di dalamnya, dan tujuan tertinggi dari semua peperangan beliau saw. adalah kemenangan Makkah. Dalam perang apa pun yang di dalamnya beliau melihat bahwa tujuan ini tidak ada, atau peperangan terhadap bangsa mana pun yang beliau saw. rasakan bahwa peperangan dengan mereka akan menyebabkan penundaan dalam mewujudkan penaklukan Makkah, maka beliau saw. lantas memilih diam dan mengabaikannya meskipun akan mendapat tekanan. Demikianlah, banyak kaum yang bangkit melawan Rasulullah saw. dan mereka mengadakan perlawanan, tetapi beliau saw. tidak terlalu menghiraukannya; akan tetapi, ketika ada suatu bangsa mana pun yang bangkit, yang dengan mengalahkannya akan terbuka jalan menuju kemenangan Makkah, beliau saw. pasti ikut berperang di dalamnya.
Jika semua peperangan Islam dikaji, akan terlihat bahwa di dalamnya ada corak kebijaksanaan, terutama perang-perang sebelum Fatah Makkah; tujuan dari semuanya hanyalah untuk membersihkan jalan untuk Fatah Makkah.
Jika makna ayat ini adalah bahwa dari mana pun kamu keluar, arahkan wajahmu ke kiblat, maka seperti yang telah dijelaskan, kata-kata مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ (dari mana pun kamu keluar) tidak akan ada dalam ayat ini, tetapi yang ada adalah kata-kata “di mana pun kamu berada, arahkan wajahmu ke kiblat.” Untuk menghadap ke arah kiblat, kata-katanya seharusnya adalah “di mana pun”, bukan “dari mana pun kamu keluar, arahkan wajahmu ke kiblat”, karena seorang tidaklah salat saat mereka keluar dari suatu tempat. Saat keluar, orang biasanya berjalan.
Jadi, ayat ini tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan salat, tetapi maknanya hanyalah bahwa dari mana pun kamu keluar, baik dari tempat yang menghadap ke timur, atau dari tempat yang menghadap ke barat, atau dari tempat yang menghadap ke utara, atau dari tempat yang menghadap ke selatan, bagaimanapun juga, wajahmu harus menghadap ke Makkah, yaitu perhatianmu, pikiranmu, dan benakmu harus tetap pada hal ini yakni engkau harus menaklukkan Makkah dan menegakkan Islam di sana untuk membawa seluruh Arab di bawah pengaruhmu. Wujūh juga bisa berarti “perhatian-perhatian”.
Jadi, artinya adalah bahwa engkau harus memiliki satu tujuan saja, yaitu menaklukkan Ka’bah dan menjadikannya sebagai pusat Islam; karena selama Islam tidak tersebar di Makkah, selama Makkah tidak berada di bawah kendali Muslim, maka seluruh Arab lainnya tidak bisa menjadi Muslim. Inilah program yang telah ditetapkan untuk umat Muslim, dan tidak ada keraguan bahwa program ini jauh di atas kemampuan yang mereka miliki. Memang, pemerintahan-pemerintahan yang ada di Arab saat itu bukanlah pemerintahan yang solid, dan juga bukan berbentuk monarki. Berbagai kerajaan memiliki hubungan dan perjanjian satu sama lain. Demikian pula, meskipun Makkah saat itu tidak sepenuhnya solid, tapi bagaimanapun juga itu adalah ibukota negara yang berpenduduk sekitar 1,5 hingga 2 juta jiwa. Semua suku di sekitarnya memandang ke arahnya dan menganggap keputusan dan perintahnya wajib dipatuhi. Kemudian, menurut standar di zaman itu, Makkah adalah kota yang sangat besar dengan populasi sekitar 15-16 ribu, dan lebih dari itu, tidak hanya kota ini, namun semua yakni 1,5-2 juta orang penduduk di negeri ini seluruhnya adalah tentara. Mereka sangat terampil dalam seni perang. Mereka adalah prajurit yang ahli dan berani, dan bagi umat Islam, menghadapi mereka bukanlah tugas yang mudah.
Pada saat ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw., umat Islam hanya memiliki 400 atau 500 tentara, paling banyak anggap saja 1000, dan jika termasuk wanita dan anak-anak, total jumlah mereka mungkin sekitar 11.000-12.000, tidak lebih dari itu jumlah umat Islam, dan kekuatan militer mereka bagaimanapun juga tidaklah berarti. Tetapi dalam keadaan seperti ini, ketika umat Islam sangat lemah, ketika jumlah mereka tidak sebanding dengan orang-orang kafir, ketika mereka tidak memiliki perlengkapan perang, dan ketika kekuatan militer mereka tidaklah berarti dibandingkan dengan orang-orang kafir, Allah Taala memberi tantangan kepada orang-orang kafir bahwa meskipun umat Islam ini tampak sedikit bagimu, mereka tampak lemah dan tidak berdaya, tetapi umat Islam inilah yang suatu hari akan menaklukkan negerimu, menguasai ibukotamu, dan akan menang di sana sehingga mereka akan menerapkan hukum Islam di sana dan akan sepenuhnya menghapus kekufuran dari tanah Arab.
Ini adalah pengakuan yang tampak gila mengingat keadaan umat Islam saat itu, dan bahkan pengakuan ini tidak terbatas pada wilayah tertentu, tetapi dampak dari pengakuan ini semakin luas, karena tidak hanya menubuatkan tentang penaklukan Makkah, tidak hanya mengumumkan keunggulan atas seluruh Arab, tetapi juga menantang orang-orang Kristen, Yahudi, dan Majusi, dan dengan lantang mengumumkan bahwa Islam akan menang di seluruh dunia dengan mengalahkan semua agama ini. Pernyataan ini tampak gila, dan itulah sebabnya orang-orang kafir menyebut Rasulullah saw., na’ūżubillāh, adalah gila, dan mereka juga menganggap para sahabat gila karena para sahabat pun membuat pernyataan yang untuk memenuhinya mereka tampak tidak memiliki sarana duniawi apapun. Akan tetapi, hakikatnya adalah bahwa sampai keadaan yang disebut dalam istilah medis sebagai “monomania” (yaitu, fokus hanya pada satu hal) muncul dalam diri setiap orang untuk suatu tugas-tugas yang luar biasa, yakni sampai ia melupakan semua tujuan lainnya, sampai ia selalu merasa gelisah dan tidak sabar untuk itu, dan sampai semacam kegilaan demi tugas-tugas luar biasa itu terlahir di dalam dirinya, maka tidak akan ada keberhasilan dalam tugas-tugas besar itu. Oleh karena itu, Al-Qur’an telah mengarahkan perhatian terhadap hal ini dalam ayat ini yakni lupakanlah oleh kalian semua tujuan lain dan utamakanlah oleh kalian hanya tujuan ini, yakni kalian harus menaklukkan Makkah demi Islam. Selama kalian belum bisa mendapatkan pusat dan benteng ini, kalian tidak akan bisa mengungguli seluruh Arab dan kemudian seluruh dunia.
Di sini muncul pertanyaan, mengapa Allah Taala menyebutkan “dari tempat mana pun engkau keluar, arahkan perhatianmu ke Masjidil Haram” dan tidak mengatakan “ke arah mana pun kamu menyerang, arahkan perhatianmu ke Masjidil Haram”? Jawabannya adalah bahwa pada saat keberangkatan lah keputusan dibuat tentang apa tujuan suatu misi. Seseorang tidaklah memulai perang terlebih dahulu, lantas memikirkan tujuannya. Jadi, karena di sini yang dimaksudkan adalah mengarahkan perhatian pada tujuan Fatah Makkah, maka diperintahkanlah bahwa saat engkau bergerak keluar, lihatlah senantiasa, apakah perang ini akan memberi pengaruh untuk menaklukkan Makkah? Jika perang itu tidak memberi dampak untuk penaklukan Makkah, maka tinggalkanlah. Tetapi ini tidak boleh dipahami bahwa Islam mengizinkan pengikutnya untuk melakukan perang yang ofensif, karena sejarah telah membuktikan bahwa pertempuran-pertempuran dengan orang-orang kafir telah dimulai sejak sebelum turunnya ayat-ayat ini.
Perlu juga diingat bahwa dalam مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ (dari mana pun engkau keluar), hanya ditujukan bagi Nabi saw., dan alasannya adalah bahwa setelah Rasulullah saw., kebutuhan untuk menaklukkan Makkah dalam corak ini tidak akan tetap ada, karena setelah beliau saw., tidak akan ada serangan terhadap Makkah, melainkan akan tetap sepenuhnya di bawah kendali umat Islam. Jadi, dalam hal ini, tampak adanya suatu nubuatan untuk masa depan bahwa tidak akan ada lagi penaklukan Makkah, karena akan muncul suatu jemaat yang siaga untuk menegakkan keagungan Makkah, dan itu akan selalu berada di bawah kendali umat Islam. Oleh karena itu, latar belakang untuk berperang pun menjadi hilang.
Pengantar dan latar belakang penafsiran ini diperlukan agar peristiwa Fatah Makkah yang akan disebutkan nanti dapat lebih mudah dipahami dengan latar belakang ini. Sisanya akan saya jelaskan di lain waktu, In syā’allāh.
Sekarang saya juga akan menyebutkan tentang seorang syahid dan juga akan memimpin salat jenazahnya setelah salat, yaitu Tn. Dr. Syeikh Muhammad Mahmood dari Sargodha, putra dari Tn. Syeikh Mubasshir Ahmad Dehlavi. Beliau dibunuh oleh para penentang Ahmadiyah pada tanggal 16 Mei dengan ditembak. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.
Rincian kejadian adalah, setelah menunaikan salat Jumat, Dokter Sahib bersama keluarganya tiba di Rumah Sakit Fatima di Sargodha, tempat beliau praktik. Setelah memasuki rumah sakit, saat melewati area resepsionis dan saat berada di koridor di depan Unit Gawat Darurat menuju ruangannya, seorang pria tak dikenal yang telah ada di sana dan mengikutinya, mengeluarkan pistol dari tas belanja dan menembak dari belakang. Beliau terkena dua peluru yang menembus tubuhnya, dan segera dibawa ke Rumah Sakit Sipil, tetapi tidak dapat bertahan dari luka-luka beliau dan Tn. Dr. Mahmood pun menjadi syahid. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.
Setelah kejadian, penyerang melarikan diri dengan mengacungkan senjata bersama temannya yang menunggu di luar rumah sakit dengan sepeda motor. Saat syahid, usia almarhum adalah 59 tahun. Ahmadiyah masuk ke keluarga almarhum syahid melalui kakek buyut beliau, Tn. Babu Ijaz Hussain, yang merupakan saudara Hazrat Sarfraz Hussain Dehlavi r.a., yang mendapat kehormatan bergabung dengan Ahmadiyah dengan berbaiat kepada Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Kemudian, kakek buyut syahid almarhum, Tn. Babu Ijaz Hussain Dehlavi Sahib, berbaiat melalui perantaraan saudaranya. Kakek buyut syahid almarhum, Tn. Babu Ijaz Hussain, dan kakeknya, Tn. Babu Nazir Ahmad, keduanya mendapat kehormatan untuk berkhidmat sebagai Amir Jemaat Ahmadiyah Delhi secara berturut-turut.
Almarhum syahid menyelesaikan studi F.Sc. dari FC College Lahore, kemudian masuk ke Rawalpindi Medical College dan mendapatkan gelar MBBS dari sana pada tahun 1990. Setelah MBBS, beliau lulus ujian Punjab Public Service Commission. Beliau bekerja selama empat tahun di Rumah Sakit Services dan Rumah Sakit Jinnah di Lahore. Pada tahun 1998, beliau mendapatkan keanggotaan Royal College of Physicians UK, dan pada tahun 2021, beliau mendapatkan kehormatan Fellowship dari sana. Almarhum pindah ke Sargodha pada tahun 2001. Latar belakang kepindahannya ke Sargodha adalah untuk mengkhidmati kemanusiaan. Beliau adalah dokter spesialis penyakit hati dan lambung pertama di distrik Sargodha. Di Sargodha, beliau bergabung dengan rumah sakit swasta yang pemiliknya memiliki hubungan baik dengan beliau, tetapi ia memiliki latar belakang politik. Pada pemilihan calon legislatif tahun 2018, beliau juga akan ikut serta; beliau adalah orang politik. Para mullah/ulama penentang mengancamnya, mengatakan bahwa mereka akan melakukan ini dan itu. Temannya lalu berkata kepada almarhum, “Silakan tinggalkan rumah sakit, ini adalah keharusan bagiku, Anda tidak bisa bekerja denganku lagi.” Alhasil, Tuan Dokter meninggalkan tempat itu dan kemudian bergabung dengan rumah sakit lain.
Sejak beliau pindah ke Sargodha pada tahun 2001, beliau secara teratur memberikan waktu sebagai dokter kunjungan di Rumah Sakit Fazl-e-Umar di Rabwah, dan Allah Taala telah memberikan kesembuhan melalui tangan beliau, banyak pasien mendapatkan manfaat dari beliau. Selain pengetahuan duniawi, beliau juga memiliki banyak pengetahuan agama. Beliau memiliki pengetahuan luas tentang tafsir Al-Qur’an, Tażkirah, Rūhānī Khazāin, dan buku-buku Jemaat lainnya, serta buku-buku tentang masalah kontroversial. Almarhum juga mendapat kehormatan berkhidmat sebagai Naib Amir distrik Sargodha. Setelah pendirian Asosiasi Medis, beliau menjadi anggotanya, dan pada tahun 2024, beliau ditunjuk sebagai Naib Sadr Asosiasi medis dan juga Ketua Cabang Sargodha.
Selama tiga tahun terakhir, beliau juga menderita kanker, meskipun demikian, beliau selalu mengutamakan penyakit orang lain daripada penyakitnya sendiri dan selalu siap untuk berkhidmat. Sifat menonjolnya adalah simpati dan kasih sayang terhadap pasien dan pengobatan gratis bagi yang membutuhkan. Selain pengobatan gratis untuk pasien yang membutuhkan, beliau juga memberikan uang transportasi untuk perjalanan pulang mereka, bahkan melakukan beberapa tes secara gratis dan membayar biayanya. Seperti yang telah disebutkan, beliau adalah dokter spesialis penyakit hati dan lambung pertama di distrik Sargodha. Beliau sangat membantu anak-anak perempuan yang lemah secara keuangan untuk pernikahan mereka secara diam-diam. Beliau secara rutin memberikan bantuan keuangan kepada orang yang membutuhkan untuk waktu yang lama. Awalnya, orang itu datang sekali atau dua kali sebulan, kemudian ia mulai datang setiap dua atau tiga hari, tetapi beliau tetap membantunya. Suatu hari, orang itu mungkin terlalu menuntut tentang sesuatu, dan Tuan Dokter, yang umumnya tidak pernah marah dan sangat lembut hati, mengatakan sesuatu yang keras, tetapi kelembutan dan kebaikan sifat beliau sedemikian rupa sehingga beliau terus gelisah dan khawatir sepanjang malam bahwa mengapa beliau mengatakan kata-kata keras kepada orang itu. Keesokan harinya, beliau memanggil orang itu, meminta maaf, dan kemudian memberinya bantuan finansial yang cukup besar.
Beliau memiliki hubungan yang penuh hormat dengan para sesepuh Jemaat. Jika diperlukan, beliau pergi ke Rabwah untuk memeriksa pasien dan memberikan pengobatan secara khusus.
Ibu almarhum, Ny. Amatul Hayy, mengatakan, “Almarhum sangat menghormati kedua orang tua. Tidak ada kebutuhan yang tidak dipenuhinya tanpa diminta. Kami tidak pernah meminta, tetapi beliau selalu memenuhinya. Sejak kecil, beliau memiliki banyak keistimewaan. Beliau menyibukkan diri dengan pekerjaan beliau, beliau sangat mencintai Khilafat, sangat memerhatikan orang miskin dan pasien. Beliau selalu mencatat dengan lengkap segala urusan keuangan dan transaksi. Beliau menjaga semua anggota keluarga tetap bersatu.”
Istri beliau, Ny. Nur, mengatakan, “Beliau selalu menasihati anak-anaknya untuk tetap menjalin hubungan erat dengan Nizam Jemaat. Beliau memiliki kecintaan yang mendalam terhadap Khilafat dan secara teratur mendengarkan khotbah, serta mencatat poin-poin dalam buku hariannya.” Sangat sedikit orang yang melakukan hal seperti ini, bahkan para Waqifin Zindegi pun tidak melakukannya seperti itu. “Beliau mencatat poin-poin khotbah agar dapat memberikan manfaat. Pembayaran candah beliau juga patut dicontoh. Pada saat syahid, catatan candah wasiat beliau untuk tahun 2025 semuanya bersih.”
Beliau memiliki empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Salah satunya adalah dokter. Putra beliau, dr. Bashir, mengatakan, “Beliau selalu menasihati kami untuk tetap dekat dengan Khilafat.” Putri beliau, Saima, mengatakan, “Beliau adalah ayah yang sangat penyayang. Pada kesempatan pernikahan saya, beliau menasihati, “Anakku, setelah pergi ke rumah mertuamu, selalulah dekat dengan Nizam Jemaat. Jika suatu hari kamu mendapat karunia untuk berkhidmat di Jemaat dalam hal apa pun, jangan pernah menolak.” Secara umum, mereka mengatakan bahwa ayah mereka selalu meluangkan waktu untuk pengkhidmatan terhadap Jemaat dalam kesibukan-kesibukan umumnya.
Salah satu menantu perempuan beliau mengatakan, “Beliau sangat menekankan sikap tawakal kepada Allah. Setiap kali dimintai bimbingan dalam suatu masalah, beliau selalu memulai dan mengakhiri perkataannya dengan doa.”
Saudari perempuan beliau mengatakan, “Beliau sangat khawatir tentang gerakan penentangan terhadap Jemaat. Beliau sering bangun di malam hari untuk melakukan salat nawafil dan tahajud, dan ini adalah rutinitas harian beliau.”
Amir Distrik Sargodha, Tn. Khalid Mahmood, mengatakan, “Beliau dicintai orang-orang miskin dan merupakan sosok yang luar biasa. Selain memberikan manfaat bagi orang lain, sifat kerendahan hati dan kesederhanaan beliau sangat menonjol. Beliau sering mengembalikan biaya kepada pasien yang miskin. Sifat pengorbanan untuk Jemaat juga menonjol. Selain membayar candah sesuai dengan perjanjian, beliau juga memberikan perhatian khusus untuk candah yang lainnya. Beliau sangat menghormati para pengurus Jemaat.
Mubalig Jemaat Sargodha, Tn. Zubair, mengatakan, “Beliau adalah sosok yang sangat kami cintai, pengkhidmat kemanusiaan, perwujudan kasih sayang dan belas kasih, penyelamat jutaan orang, pencinta Khilafat, malaikat dalam wujud manusia yang telah meninggalkan kami. Almarhum adalah orang yang bersahaja. Setiap sisi kehidupan beliau patut dicontoh. Setiap kali seorang pengurus atau Waqif Zindegi datang kepada beliau, beliau berdiri dari kursinya, dan saat mereka pergi, beliau mengantar mereka sampai ke pintu.”
Pak Mubalig mengatakan, “Ketika perhatian beliau tertuju pada kenyataan bahwa situasi beliau kini berbahaya dan beliau harus mempekerjakan penjaga keamanan atau khadim sebagai tindakan kewaspadaan, dr. Mahmood selalu menjawab, “Saya bisa mempekerjakan penjaga atau khadim untuk keamanan saya, tetapi saya tidak bisa terima bahwa jika, na’udzubillah, seseorang datang untuk membunuh saya, maka nyawa orang lain bisa hilang karena saya.”
Meskipun para penentang telah menyebarkan selebaran melawan beliau di seluruh distrik yang mengatakan bahwa beliau adalah wajib dibunuh dan dihukum ini dan itu, beliau tidak pernah khawatir. Dalam daftar yang dibuat oleh para penentang terhadap orang-orang Ahmadi, nama dr. Mahmood berada di urutan teratas di antara para dokter Ahmadi yang akan dijadikan target. Bahkan seorang mullah bernama Akram Toofani telah mengeluarkan fatwa bahwa beliau wajib dibunuh dan kemudian menyebarkan fatwa itu, tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun.
Staf TU Rumah Sakit Fatimah, yang juga merupakan rumah sakit Kristen dan seorang pendeta, mengatakan, “Seorang pelayan kemanusiaan telah meninggalkan kami. Hati kami sangat sedih.” Bahkan, orang Kristen ini, TU Rumah sakit dan para stafnya, bersama dengan rekan-rekan lainnya, juga datang ke Rabwah untuk pemakaman jenazah almarhum syahid.
Media sosial dan cetak juga meliput syahidnya dr. Mahmood. Seorang Asisten Komisioner menulis di postingannya – tetapi orang-orang ini hanya bisa menulis dan tidak bisa melakukan apa-apa karena mereka tidak memiliki keberanian untuk berdiri melawan mullah atau mengambil keputusan melawan mereka – tetapi bagaimanapun juga, ini juga merupakan keberaniannya bahwa meskipun ia adalah seorang wanita, ia menulis di postingannya, “Sheikh Mahmood tidak kurang dari juru selamat orang-orang miskin. Beliau adalah spesialis medis terbaik. Terkadang beliau bahkan melakukan tes berbiaya mahal secara gratis kepada orang miskin. Mungkin tidak ada keluarga di seluruh distrik yang belum mendapatkan pengobatan dari Pak Dokter.” Orang ini bukan Ahmadi tetapi tetap memuji beliau. Wanita itu mengatakan, “Beliau sering memberikan pengobatan gratis, dan ini adalah pekerjaan yang sangat besar. Saya juga mengetahui hal ini karena saya sendiri adalah seorang dokter. Jika dr. Mahmood pergi ke negara lain, beliau bisa menghasilkan banyak uang dan menjalani kehidupan yang nyaman, tetapi beliau memilih untuk mengutamakan pengkhidmatan kepada kemanusiaan di Sargodha.” Ia mengatakan, “Hari ini, untuk pertama kalinya, saya menangis atas kepergian seseorang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya, hanya hubungan kemanusiaan. Beliau sangat baik terhadap para hamba Allah. Jika Anda bertanya apa kejahatan yang beliau lakukan, jawabannya adalah bahwa kejahatannya adalah menjadi seorang Ahmadi.”
Seorang dokter lain menulis, “dr. Mahmood adalah dokter spesialis pertama di Sargodha yang memiliki PRCP. Meskipun sangat kompeten dan senior, beliau masih melakukan operasi dengan tarif terendah di Sargodha. Beliau dibunuh karena memiliki keyakinan yang berbeda. Apakah masih ada hukum di negara ini?”
Seorang pembawa berita dari saluran televisi swasta menulis, “Saya tidak memiliki kata-kata lagi untuk mengutuk tindakan kebrutalan yang sangat menyedihkan dan patut dikutuk ini.” Seorang jurnalis menulis, “Sudah cukup! Untuk menyelamatkan Pakistan, kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi ekstremis harus dihentikan. Penting untuk melarang organisasi ekstremis untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia dan kegiatan semacam ini terhadap para Ahmadi. Akan tetapi ketakutan terhadap mereka yang menyebut diri seolah para penjaga agama ini sudah begitu besar sehingga bahkan pemerintah pun tidak berdaya. Lembaga-lembaga penegak hukum juga tidak berdaya, dan bahkan pengadilan pun tidak berdaya.
Semoga Allah Taala segera menurunkan sarana untuk mencengkeram mereka, dan untuk menyelamatkan negara ini, penting untuk menyingkirkan mereka, karena orang-orang yang mengaku orang yang islami ini, mereka sebenarnya adalah teroris, yang melakukan terorisme atas nama agama serta bertekad untuk menghancurkan negara dan menyerang siapa pun di mana pun yang menentang mereka. Bagaimanapun, rintihan permohonan kita hanyalah ke hadapan Allah Taala, dan kita harus berusaha untuk memenuhi hal ini dengan sekuat tenaga. Semoga Allah Taala meninggikan derajat almarhum, memberikan kesabaran dan ketabahan kepada keluarga almarhum. Ibu almarhum sudah lanjut usia, semoga Allah Taala meringankan kesedihannya. Semoga Allah Taala menjaga istri dan anak-anak keturunan beliau dalam perlindungan-Nya.[1]
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim