Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Berbagai Ekspedisi dalam Kehidupan Rasulullah saw.



Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 9 Mei 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ۝٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ۝٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۝٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۝٦
 صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ۝٧

Rincian lebih lanjut tentang Perang Mu’tah adalah sebagai berikut. Hazrat ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i r.a. menuturkan: “Aku bergabung dalam perjalanan bersama orang-orang yang berangkat dengan Hazrat Zaid bin Haritsah r.a.. Aku lalu bertemu dengan seorang pria dari Yaman; ia hanya membawa pedang. Kemudian ada seorang Muslim yang menyembelih unta. Orang yaman itu meminta sedikit kulit darinya dan ia memberikannya; kulit itu lalu dibuat seperti perisai.”

Kemudian beliau menuturkan: “Kami lalu berangkat melanjutkan perjalanan. Kami lalu berhadapan dengan pasukan Romawi. Di antara mereka ada seorang pria yang menunggangi kuda cokelat. Ia di atas pelana emas dan dengan senjata emas. Orang Romawi itu mulai menantang kaum Muslimin. Orang Yaman itu mendekatinya dari belakang batu. Ia memotong pelana kuda musuh. Terjadilah pertempuran. Orang Romawi itu jatuh ke bawah. Ia mengambil pedang dan menaikinya, lalu membunuhnya.” Orang Islam itu membunuhnya, lalu mengambil kuda dan senjatanya.

Ketika Allah Taala memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin, Hazrat Khalid bin Walid r.a. mengirim pesan kepada orang tersebut, yaitu kepada orang yang telah membunuh tentara Romawi itu, bahwa ia harus mengumpulkan barang yang didapatkannya itu. Hazrat Auf r.a. menuturkan: “Aku datang kepada Hazrat Khalid r.a. dan berkata, ‘Apakah Anda tahu apa putusan Allah Taala mengenai barang itu?’ Hazrat Khalid bin Walid r.a. saat itu baru saja masuk Islam; karena itu, Hazrat Auf r.a. berpikir mungkin beliau tidak tahu putusan Allah Taala bahwa itu menjadi milik yang telah membunuh, yaitu harta ganimah dari musuh itu menjadi miliknya. Hazrat Khalid bin Walid r.a. berkata, ‘Ya, aku tahu. Tapi aku menganggap bahwa yang ada padanya adalah lebih.’ Yakni barang yang ia ambil lebih banyak dari yang seharusnya ia dapatkan. Hazrat Auf r.a. menuturkan, “Aku berkata kepada beliau untuk mengembalikan barang itu kepada orang tersebut, jika tidak maka akan dilaporkan kepada Rasulullah saw.. Hazrat Khalid r.a. menolak untuk mengembalikan barang tersebut.”

Hazrat Auf r.a. menuturkan, “Kemudian aku menghadap Rasulullah saw.. Aku menceritakan kejadian itu dan juga sikap Hazrat Khalid. Rasulullah saw. bertanya kepada Hazrat Khalid r.a., ‘Apa yang telah engkau lakukan?’. Beliau menjawab, ‘Aku menganggapnya sebagai harta yang berlebih, karena itu aku mengambil kembali sebagian darinya’. Beliau saw. bersabda, ‘Kembalikan apa yang telah engkau ambil darinya.’ Hazrat Auf r.a. menuturkan: ‘Aku berkata kepada Hazrat Khalid, ‘Sekarang ambillah darinya.’ Maksudnya, ‘Sekarang bagaimana engkau akan mengambilnya. Kembalikanlah, karena Rasulullah saw. telah memberikan keputusan. Bukankah aku telah mengatakan kepada engkau untuk mengembalikannya?’. Kemudian, ketika Hazrat Auf r.a. sedang mengatakan ini kepada Hazrat Khalid r.a., Rasulullah saw. mendengarnya. Beliau saw. bertanya, ‘Apa yang terjadi?’ Hazrat Auf r.a. kemudian menceritakan seluruh kejadian. Sebelumnya beliau tidak menceritakan semuanya; sekarang beliau menjelaskan bahwa dirinya telah meminta Hazrat Khalid r.a. untuk mengembalikannya tetapi Hazrat Khalid r.a. tidak melakukannya. Mendengar ini, Rasulullah saw. menjadi tidak senang. Beliau saw. bersabda, “Khalid, jangan kembalikan semua barang itu kepadanya.” Sebelumnya beliau saw. memerintahkan untuk mengembalikannya, tetapi sekarang memerintahkan untuk tidak mengembalikannya.

Kemudian Rasulullah saw. bersabda untuk tujuan tarbiyat, “Apakah kalian ingin meninggalkan para pemimpinku (amir) dalam keadaan seperti itu, sehingga bagian yang baik dari suatu urusan menjadi milik kalian, sedangkan bagian buruknya dibebankan kepada mereka? Ketika seseorang menjadi pemimpin, kalian mengatakan bahwa keputusannya benar, lalu segala kebaikan dan kebersihannya kalian ambil, namun jika ada sisi buruknya, itu kalian bebankan kepada para pemimpin. Ini adalah perbuatan yang sangat keliru. Sekarang setelah kalian memberitahuku hal yang sebenarnya, maka aku mencabut perintahku yang pertama. Apa yang telah dilakukan oleh Khalid adalah benar.”

Jadi, di sini, martabat pemimpin harus ditegakkan; maka beliau saw. bersabda, “Dengan cara ini kalian sedang mencela pemimpin bahwa ia sebelumnya telah melakukan kesalahan.” Karena itu, beliau saw. menarik kembali keputusan yang pertama.

Diriwayatkan dari Hazrat Jabir r.a., “Dalam Perang Mu’tah beberapa Muslim syahid. Kaum Muslimin mendapatkan sebagian harta ganimah dari kaum musyrik. Di antara barang-barang itu ada sebuah cincin. Seseorang mempersembahkannya kepada Rasulullah saw.. Aku berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah menghadiahkan cincin itu kepadaku.”

Hazrat Khuzaimah bin Tsabit r.a. menuturkan, “Aku ikut serta dalam Perang Mu’tah. Seorang pria dari pasukan Romawi menantangku untuk bertarung. Aku berhasil mengalahkannya. Ia mengenakan pelindung kepala yang dihiasi dengan batu permata yakut. Aku menginginkan permata yakut tersebut dan aku pun mengambilnya. Ketika aku menghadap Rasulullah saw., aku mempersembahkan permata itu kepada beliau saw.. Rasulullah saw. menghadiahkannya kembali kepadaku.” Hazrat Khuzaimah r.a. menuturkan, “Pada masa Hazrat Utsman Ghani r.a., aku menjual permata yakut itu seharga seribu dinar. Dengan uang itu aku membeli sebuah kebun kurma.”

Allamah Ibnu Katsir menulis: Dari riwayat-riwayat ini jelas bahwa kaum Muslimin juga mendapatkan harta ganimah, dan bukan mengalami kekalahan. Di sini, Mereka memperoleh harta ganimah, jadi tidak mungkin ada kekalahan. Ini hanyalah strategi militer bahwa mereka memilih untuk kembali. Singkatnya, disebutkan bahwa mereka mengambil harta dari para pemimpin musuh dan membunuh mereka.

Hazrat Khalid bin Walid r.a. menuturkan, “Pada hari perang Mu’tah, sembilan pedang patah di tanganku dan hanya tersisa satu pedang Yaman yang lebar di tanganku.” Allamah Muhammad bin Yusuf mengatakan, “Dari riwayat ini diketahui bahwa kaum Muslimin telah membunuh banyak orang musyrik; jika tidak mereka tidak akan bisa selamat dari orang-orang musyrik. Jumlah kaum Muslimin hanya tiga ribu sedangkan jumlah orang-orang musyrik lebih dari 200.000. Ini saja sudah merupakan bukti nyata keunggulan kaum Muslimin, wallāhu a’lam.”

Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Hazrat Kutbah bin Qatadah r.a. adalah panglima sayap kanan pasukan Muslim. Beliau menyerang Malik bin Rafilah yang merupakan pemimpin Badui Kristen dan membunuhnya. Hazrat Kutbah r.a. dengan bangga melantunkan syair Arab yang artinya: ‘Aku menikam anak Rafilah bin Arasy dengan tombak yang menembus jauh ke dalam tubuhnya, kemudian tombak itu patah. Ketika aku menghantam lehernya dengan pukulan mematikan, ia tertunduk seperti pohon berduri ketika cabangnya tertekuk. Kami menggiring para wanita mereka seperti gembala menggiring ternak.’”

Hazrat Asma binti Umais r.a. menuturkan: “Pada hari ketika Hazrat Ja’far r.a. dan rekan-rekannya gugur syahid, Rasulullah saw. datang ke rumah kami. Beliau saw. bersabda, ‘Bawalah anak-anak Ja’far kepadaku.’ Aku membawa mereka ke hadapan beliau. Rasulullah saw memeluk mereka dan air mata beliau mulai mengalir. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah saw., demi ayah dan ibuku, mengapa engkau menangis? Apakah engkau telah menerima kabar tentang Ja’far dan rekan-rekannya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Ya, hari ini mahkota kesyahidan telah menghiasi kepala mereka.’”

Hazrat Asma r.a. menuturkan: “Aku bangkit dan mulai menangis. Para wanita berkumpul di sekitarku. Rasulullah saw. pergi ke rumah keluarganya. Beliau saw. bersabda, ‘Janganlah lalai terhadap keluarga Ja’far, buatkanlah makanan untuk mereka. Hari ini kewafatan suaminya telah membuatnya gelisah dalam duka.’” Yakni, beliau saw. memerintahkan orang-orang untuk mengirimkan makanan ke rumah mereka pada hari itu.

Hazrat Anas r.a. meriwayatkan: “Rasulullah saw. naik ke mimbar dan memberitakan syahidnya Hazrat Zaid r.a., Hazrat Ja’far r.a., dan Hazrat Ibnu Rawahah r.a.. Mereka telah gugur syahid pada hari itu, meskipun secara lahiriah berita kesyahidan mereka belum sampai. Rasulullah saw. bersabda, ‘Sekarang Zaid r.a. telah mengangkat bendera Islam. Ia kemudian syahid, lalu Ja’far r.a. mengangkat bendera Islam. Ia pun syahid. Lalu Abdullah r.a. memegang bendera Islam. Ia juga syahid.’ Air mata mengalir dari mata beliau; kemudian, bendera Islam diambil oleh salah satu di antara pedang Allah Taala.’” Allah Taala lantas memberikan kemenangan kepada umat Islam.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hazrat Ya’la bin Umayyah r.a. datang menghadap Rasulullah saw. untuk memberikan kabar tentang pertempuran Mu’tah. Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, engkau bisa memberitahuku. Atau jika engkau mau, aku bisa memberitahumu tentang mereka.” Rasulullah saw. bersabda, “Allah Taala telah memberitahuku juga. Apakah engkau ingin memberitahu lebih dulu atau aku yang memberitahumu apa yang terjadi?” Ia berkata, “Wahai Rasulullah saw., mohon engkau beritahukan kepadaku.” Rasulullah saw. kemudian menceritakan seluruh kejadian kepadanya. Ia berkata, “Demi Zat yang mengutus engkau dengan kebenaran, engkau tidak melewatkan satu kata pun dalam menyebutkan kejadian-kejadian itu.” Beliau saw. bersabda, “Allah telah mengangkat bumi untukku sehingga aku dapat melihat medan pertempuran mereka. Aku melihat mereka dalam mimpi, mereka berada di atas ranjang-ranjang emas. Aku melihat tempat tidur Abdullah bin Rawahah r.a., ada sedikit kemiringan di tempat tidurnya. Aku bertanya apa penyebabnya. Aku diberitahu bahwa keduanya pergi dengan segera, tetapi Abdullah r.a. sedikit ragu-ragu sebelum maju.” Tentang keraguan beliau telah disebutkan dalam khotbah sebelumnya. Beliau sendiri mengatakan bahwa awalnya terlintas dalam pikirannya untuk tidak berperang.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ja’far r.a., Zaid r.a. dan Ibnu Rawahah r.a. dihadapkan kepadaku, mereka berada dalam tenda mutiara. Aku melihat Zaid r.a. dan Ibnu Rawahah r.a., leher mereka tampak tertunduk, tetapi Ja’far tampak tegak, tidak menunduk. Aku diberitahu bahwa ketika kematian datang menjemput mereka, mereka keberatan terhadapnya, seolah-olah berpaling darinya, namun Ja’far r.a. tidak melakukan hal itu. Allah Taala menganugerahkan dua sayap kepadanya sebagai ganti lengannya, dengan sayap itu ia terbang ke mana saja yang diinginkan di surga.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan: Hazrat Abdullah bin Umar r.a. ketika memberi salam kepada Abdullah, putra Hazrat Ja’far r.a., beliau berkata,

السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا ابْنَ ذِي الْجَنَاحَيْنِ

Terkait:   Khutbah Idul Fitri: Ied Hakiki dapat Dirayakan Setiap Hari

yang artinya “Semoga keselamatan atasmu, wahai putra dari orang yang memiliki dua sayap.”

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan dalam sebuah uraian tentang bahasan beberapa masalah:

“Adapun masalah-masalah yang sulit, sebagian orang memahaminya dan sebagian lagi tidak memahaminya. Oleh karena itu, siapa saja yang memiliki pengetahuan harus menjelaskan masalah-masalah tersebut kepada mereka, baik karena mereka sendiri tidak merenungkannya sehingga tidak memahaminya, atau karena hati mereka belum siap untuk menarik karunia Allah Taala disebabkan suatu dosa.”

“Masalah-masalah yang sulit ini umumnya terbagi menjadi dua jenis. Pertama, masalah-masalah ilmiah yang didasarkan pada filsafat yang mendalam. Misalnya, tauhid. Setiap orang dapat memahami hal mendasarnya bahwa Tuhan itu Esa. Namun, untuk memahami kehalusan atau tasawufnya lebih lanjut, seperti bagaimana tauhid Allah Taala mempengaruhi setiap perbuatan manusia, diperlukan seorang yang arif/telah meraih makrifat. Dan untuk menjelaskan masalah-masalah ini kepada orang lain, dibutuhkan seorang alim/yang memahami. Tidak setiap orang dapat mengungkap kehalusan ini, tetapi setidaknya manusia dapat memahami bahwa Al-Qur’an tidak menerima adanya tuhan lain. Allah Taala berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Tuhan itu Esa.”

“Kedua, kesulitan-kesulitan ini muncul bukan karena hal itu bersifat ilmiah, tetapi karena diungkapkan dalam bahasa kiasan dan metafora. Terkadang ini bukan masalah keilmuan. Beberapa ungkapan penting adalah bahasa kiasan yang tidak dapat dipahami orang. Jika disampaikan, sebagian orang mungkin salah menafsirkannya.”

Beliau menjelaskan: “Orang awam yang tidak memahami bahasa kiasan ini sering menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Sebagai contoh, Ada sebuah kejadian pada masa Rasulullah saw. Ketika dalam perang di Syam, Rasulullah saw mengutus Hazrat Zaid bin Haritsah r.a. sebagai panglima pasukan dan bersabda, “Jika Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib r.a. akan mengambil alih komando, dan jika Ja’far r.a. gugur, maka Abdullah bin Rawahah r.a. akan memimpin”. Peristiwa itu terjadi persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw.. Hazrat Zaid r.a., Hazrat Ja’far r.a., dan Hazrat Abdullah r.a., ketiganya gugur sebagai syahid, lalu Hazrat Khalid bin Walid r.a. mengambil alih komando pasukan dan membawanya kembali dengan selamat. Ketika berita itu sampai di Madinah, para wanita yang suaminya gugur atau para orang tua yang anaknya syahid dalam peperangan itu mulai menangis sejauh yang diizinkan oleh syariat.”

“Semata sebagai ungkapan belasungkawa, bukan agar para wanita berkumpul dan menangis, Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak ada yang menangisi Ja’far.’ Beliau saw. adalah kerabat Hazrat Ja’far r.a., maka beliau saw. mengungkapkan kesedihan.” Hazrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda: “Menurut saya, maksud dari kalimat ini sama sekali bukanlah agar ada yang menangisi Ja’far, melainkan maknanya adalah bahwa ada saudara kami yang juga gugur dalam perang ini. Jika kami tidak menangisinya, maka kalian juga harus bersabar. Di sini Rasulullah saw. ingin menjelaskan hal ini, karena kerabat Hazrat Ja’far r.a. hanyalah Rasulullah saw. sendiri atau Hazrat Ali r.a., dan mengingat kedudukan mereka berdua, tidak mungkin menangis tersedu-sedu. Yakni Rasulullah saw. maupun Hazrat Ali r.a. tidak mungkin menangis keras, karena telah paham akan hal ini. Jadi, Rasulullah saw. kemungkinan besar mengucapkan hal ini untuk mengungkapkan bahwa saudara beliau Ja’far r.a. juga telah gugur, namun beliau saw. tidak menangisinya. Beliau saw. bersabda, ‘Tidak ada yang menangisi Ja’far.’ Ketika kaum Ansar mendengar hal ini, karena mereka memiliki semangat tinggi untuk memenuhi setiap sabda Rasulullah saw., mereka pulang ke rumah masing-masing dan mulai memberitahu para wanita, ‘Berhentilah menangis di sini dan pergilah menangis di rumah Ja’far r.a..’ Maka, ketika semua wanita berkumpul di rumah Hazrat Ja’far r.a. dan menimbulkan keriuhan, Rasulullah saw mendengar suara tersebut dan bertanya, ‘Apa yang terjadi?’ Kaum Ansar menjawab, ‘Wahai Rasulullah saw.! Engkau telah bersabda bahwa tidak ada yang menangisi Ja’far, maka dari itu kami mengirim para wanita ke rumah Hazrat Ja’far r.a. dan kini mereka sedang menangis.’ Beliau saw. bersabda, ‘Bukan itu maksudku. Pergilah dan hentikan mereka. Maksudku adalah kami tidak menangis, sehingga kalian pun harus bersabar.’

Maka, seseorang pergi dan mencoba menghentikan. Para wanita itu berkata kepadanya, ‘Siapa Anda untuk menghentikan kami? Rasulullah saw. hari ini telah bersabda seraya sedih bahwa tidak ada yang menangisi Ja’far, sementara Anda melarang kami.’ Mendengar jawaban ini, ia kembali menghadap Rasulullah saw., (karena ada saja sebagian orang yang senang melaporkan apa saja ucapan orang lain).” Hazrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda, “Karena mereka (para wanita) mengatakan hal ini, maka ia segera menghadap Rasulullah saw. dan berkata, ‘Mereka tidak mematuhi perkataanku.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Taburkan tanah di atas kepala mereka.’ Ini ungkapan kiasan (Arab). Maksudnya adalah biarkan mereka dan jangan katakan apa-apa kepada mereka, mereka akan berhenti menangis dengan sendirinya. Namun orang ini, semoga Allah memberinya petunjuk, mengisi kainnya dengan tanah dan mulai menaburkannya di atas kepala para wanita itu. Para wanita berkata, ‘Apa yang kamu lakukan, Apakah kamu sudah gila?’ Ia menjawab, “Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk menabur tanah, maka tentu aku akan menaburkannya.” Ini adalah ungkapan kiasan yang ia jalankan secara harfiah.”

“Ketika Hazrat Aisyah ra.. mengetahui hal ini, beliau menegurnya dan berkata, ‘Engkau sama sekali tidak memahami maksudnya. Tujuan Rasulullah saw. sebenarnya adalah agar engkau membiarkan mereka dan meninggalkan mereka. Mereka akan diam dengan sendirinya. Maksudnya bukan engkau menaburkan tanah.’ Jadi, ini adalah ungkapan kiasan dari Rasulullah saw., tetapi orang itu benar-benar mulai menaburkan tanah. Jadi terkadang ada yang tidak berusaha untuk memahami kiasan. Di sini, ia tidak memahaminya karena ia tidak memiliki pemahaman yang cukup, lalu Hazrat Aisyah r.a. menjelaskannya kepadanya.”

Jadi, terkadang orang mengambil makna harfiah yang justru bertentangan dengan kenyataan, sehingga maksud perkataan menjadi jauh menyimpang. Kejadian ini juga menunjukkan kecintaan para sahabat kepada Rasulullah saw., yang mana Hazrat Muslih Mau’ud r.a. di tempat lain menyebutkan kejadian ini sebagai berikut.

“Ketika para sahabat mengirim istri-istri mereka ke rumah Hazrat Ja’far r.a. untuk menangis meratap, kejadian ini menunjukkan kecintaan yang ada di hati para sahabat terhadap Rasulullah saw.. Para sahabat sama sekali tidak menyempatkan diri untuk berpikir, memahami apa sabda Rasulullah saw., dan  apa yang diinginkan beliau saw., melainkan mereka segera berkata kepada para wanita untuk melupakan kesedihan mereka sendiri dan ikut dalam kesedihan Rasulullah saw.. Dari hal ini Anda dapat memahami betapa besar kecintaan dalam hati mereka kepada Rasulullah saw., sehingga hanya dengan mendengar sabda bahwa tidak ada suara tangisan yang terdengar dari rumah Ja’far r.a., mereka langsung berpikir bahwa mereka telah melakukan kesalahan dengan menangisi syahidnya kerabat mereka, dan kesedihan yang sebenarnya adalah yang dialami oleh Rasulullah saw..”

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda: “Secara lahiriah ini adalah satu peristiwa yang kecil, namun sangat jarang ada kejadian yang lebih baik dari ini dalam mengungkapkan gejolak kecintaan (kepada beliau saw.). Mereka adalah orang-orang yang mengabdi di hadapan Muhammad saw., yang setiap saat berkorban di hadapan dan di depan mata Rasulullah saw., dan mereka memiliki kecintaan kepada Rasulullah saw. yang tak ada bandingannya dengan hubungan duniawi manapun. Sementara itu, jika dilihat dari sudut pandang duniawi dan dari segi gejolak perasaan, seharusnya Muhammad saw. lebih menjaga perasaan mereka (yakni para sahabat) dan kecintaan Rasulullah saw. kepada kita seharusnya lebih sedikit. Artinya, kita yang lahir di zaman setelah zaman beliau, seharusnya kecintaan (beliau) kepada kita jauh lebih sedikit, karena mereka (para sahabat) selalu menunjukkan kecintaan, dan mereka berada di hadapan beliau saw.. Namun kecintaan Muhammad saw. yang tak terbatas–sejauh mana kecintaan manusia bisa tak terbatas–tidak menyukai bahwa semangat kalian menjadi lemah. Yakni, beliau saw. tidak membiarkan semangat orang-orang di zaman ini menjadi lemah. Bahkan, kecintaan Rasulullah saw. tidak menghendaki bahwa beliau saw. membiarkan semangat umat pertengahan (umat Islam) melemah.”

“Oleh karena itu, dalam suatu majelis, beliau saw. menyebutkan mengenai orang-orang yang akan datang setelah beliau dengan kata-kata ini, ‘Saudara-saudaraku yang akan datang setelahku akan seperti ini.’ Para sahabat merasa cemburu mendengar ini dan berkata, ‘Mereka menjadi saudara [engkau], sementara kami tidak? Kami tinggal bersama engkau, namun engkau tidak menyebut kami saudara, dan engkau menyebut mereka yang akan datang setelah ini sebagai saudara.’ Beliau saw. bersabda, ‘Kalian adalah sahabat, dan mereka adalah saudara-saudaraku. Kalian adalah sahabatku, sedangkan mereka adalah saudara-saudaraku. Bukankah ini nikmat yang cukup besar bagi kalian bahwa kalian melihatku dan mengkhidmati agama bersamaku? Ini adalah nikmat yang sangat besar yang telah diberikan kepada kalian, dan orang-orang yang tidak akan melihatku adalah mereka yang akan datang setelahku, dan untuk orang-orang yang akan datang setelahku, izinkanlah aku mengucapkan beberapa kata tentang mereka juga. Izinkanlah aku mengatakan sesuatu tentang mereka juga, kata-kata apa yang harus aku gunakan untuk mereka agar mereka juga merasa terhibur dan semangat mereka juga meningkat.’’’

“Dengan cara ini, Rasulullah saw. mengangkat semangat orang-orang yang datang setelah beliau saw.. Jadi, lihatlah betapa Rasulullah saw. telah meninggikan semangat Anda sekalian dengan bersabda, ‘Aku tidak tahu apakah bagian pertama dari umatku yang lebih baik atau bagian terakhir yang lebih baik.’’’

Mengenai para syuhada Mu’tah, ada beberapa riwayat lebih lanjut. Dalam kitab Al-Bidāyah wan-Nihāyah karya Allamah Ibnu Katsir, setelah menyebutkan para syuhada Mu’tah, tertulis bahwa jumlah syuhada tersebut adalah 12. Dalam beberapa riwayat, jumlah syuhada disebutkan lebih banyak. Alhasil, ini adalah mukjizat yang sangat besar karena dua pasukan telah saling berhadapan, dan mereka berperang di jalan Allah. Pasukan muslim berjumlah 3.000 orang sementara pasukan lawan berjumlah 200.000 orang yang terdiri dari 100.000 orang Romawi dan 100.000 orang Kristen. Mereka bertempur satu sama lain. Meskipun demikian, hanya 12 orang Muslim yang mati syahid, atau hanya sedikit sekali yang mati syahid, sementara sejumlah besar orang musyrik masuk neraka. Hazrat Khalid r.a. sendiri menuturkan bahwa pada hari itu sembilan pedang beliau patah, dan hanya satu pedang Yaman yang bertahan di tangan beliau. Jadi, berapa banyak musyrikin yang masuk neraka oleh semua pedang itu.

Terkait:   Hadhrat Masih Mau’ud a.s. : Kedudukan dan Kemuliaan Al-Qur’an

Mengenai kembalinya kaum Muslimin ke Madinah dan penyambutan Rasulullah saw., tertulis bahwa dalam perjalanan pulang, kaum Muslimin melewati sebuah pemukiman yang memiliki benteng. Saat berangkat, penduduk tempat itu telah mensyahidkan seorang Muslim. Kaum Muslimin mengepung tempat itu hingga berhasil menaklukkannya. Hazrat Khalid r.a. membunuh para pemimpinnya. Ketika kaum Muslimin kembali dari Mu’tah, Rasulullah saw. dan para sahabat menyambut mereka. Ketika kembali, beberapa orang sangat marah dan bertanya mengapa mereka tidak kembali sebagai syuhada, karena ini bukanlah suatu kemenangan. Beberapa orang mulai melemparkan tanah berdebu ke arah pasukan dan berkata, “Wahai orang yang berlari, kalian telah melarikan diri dari jalan Allah.” Orang-orang mencela mereka. Menanggapi hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Mereka bukanlah farrār , melainkan karrār, yaitu orang-orang yang akan kembali untuk menyerang.”

Abdullah bin Umar menerangkan bahwa ketika kaum Muslimin kembali dari Mu’tah, beliau juga kembali. Dalam riwayat lain, beliau menuturkan: “Kami merasa malu karena telah memilih untuk mundur. Kami merasa seolah-olah kami telah meninggalkan (medan perang), padahal musuh sendirilah yang telah mundur dari sana, dan mereka (pasukan Muslim) tidak mengejar mereka, melainkan memanfaatkan kesempatan itu dan kembali. Ini adalah strategi yang baik, tetapi beberapa orang menganggapnya sebagai melarikan diri.”

Beliau menuturkan, “Kami merasa malu karena telah memilih untuk mundur. Seorang berkata bahwa jika kami pergi ke Madinah, kami akan dibunuh. Kami lalu memasuki Madinah pada malam hari dan bersembunyi. Beberapa orang begitu malu sehingga mereka masuk pada malam hari dan bersembunyi. Namun kami berpikir bahwa andai saja kami bisa menghadap Rasulullah saw. dan meminta maaf kepada beliau saw.. Jika taubat kami diterima, itu lebih baik. Jika tidak, kami akan pergi. Maksudnya, kami akan bersiap untuk berperang lagi atau pergi dari sana. Kami menghadap beliau saw. sebelum salat subuh. Beliau saw. bertanya, ‘Siapa ini?’ Kami menjawab, ‘Orang-orang yang telah melarikan diri.’ Kami malu dan langsung berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang lari dari sana.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak, kalian adalah orang-orang yang kembali untuk menyerang. Aku adalah kelompok kalian,’ atau beliau bersabda, “Aku dalam kelompok setiap Muslim.” Mendengar ini, kami mencium tangan beliau. Beliau saw. memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang.

Kemudian adalah sebuah sariyyah yang disebut Sariyyah Hazrat Amr bin Al-‘As r.a.. Sariyyah ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 8 Hijriah. Ada juga yang mengatakan bahwa sariyyah ini terjadi pada tahun 7 Hijriah. Selain Ibnu Ishaq, semua sepakat bahwa sariyyah ini terjadi setelah Perang Mu’tah, dan Perang Mu’tah terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun 8 Hijriah. Latar belakang sariyyah ini adalah Rasulullah saw. mendapat kabar bahwa ada kelompok dari  Bani Qudha’ah sedang berkumpul untuk menyerang daerah sekitar Madinah. Bani Qudha’ah adalah suku dari Qahtani yang tinggal sepuluh hari perjalanan dari Madinah, melewati Wadiul-Qura.

Lebih lanjut diterangkan bahwa Rasulullah saw. mengutus Hazrat Amr bin Al-‘As r.a. untuk mengatasi mereka. Hazrat Amr bin Al-‘As r.a. adalah putra dari seorang pemimpin Makkah bernama ‘As bin Wa’il. Beliau masuk Islam pada tahun 7 Hijriah, atau menurut riwayat lain pada tahun 8 Hijriah. Hazrat Amr r.a. menuturkan, “Rasulullah saw. mengirim pesan kepadaku agar menyiapkan pakaian dan senjata. Beliau saw. bersabda, ‘Wahai Amr, aku ingin mengutusmu sebagai pemimpin pasukan. Allah akan memberimu harta ganimah dan juga akan melindungimu.’ Hazrat Amr r.a. menjawab, “Aku tidak masuk Islam karena menginginkan harta.” Nabi saw. bersabda, “Alangkah baiknya harta yang halal bagi orang yang saleh. Engkau memang tidak menginginkannya, tetapi jika Allah memberikannya, itu sangat baik.”

Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 300 orang Muhajirin dan Ansar di bawah pimpinan Hazrat Amr r.a., di antaranya ada 30 penunggang kuda. Beliau memberi bendera putih dan juga bendera hitam untuk Hazrat Amr r.a.. Rasulullah saw. menasihati Hazrat Amr r.a. agar dalam perjalanan, jika ada orang dari Bani Bali’, ‘Udzrah, atau Balqin yang melewati mereka, berusahalah untuk mengajak mereka bergabung. Hazrat Amr r.a. memiliki keahlian khusus dalam peperangan dan juga memahami ilmu perang. Rasulullah saw. mengangkatnya sebagai pemimpin karena keahlian perangnya. Salah satu alasan Hazrat Amr r.a. dikirim untuk misi ini adalah karena neneknya berasal dari suku Bali’, sehingga beliau bisa menjadi perantara yang baik untuk menjalin hubungan baik dengan Banu Bali’.

Pasukan Islam pun berangkat. Mereka melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari hingga tiba di dekat sebuah mata air bernama Salasil di wilayah suku Juzam. Karena kedekatannya dengan mata air ini, misi ini juga disebut Sariyyah Dzatus-Salasil. Ada juga disebutkan tentang permintaan bantuan tambahan dari Madinah; yakni ketika tiba di dekat mata air, kaum Muslimin mengetahui bahwa pasukan musuh sangat besar. Hazrat Amr r.a. mengirim Hazrat Rafi’ bin Muqis r.a. kepada Rasulullah saw. untuk meminta bantuan tambahan. Rasulullah saw. menyiapkan bendera untuk Hazrat Abu Ubaidah bin Jarrah r.a. dan mengirimkan pasukan yang terdiri dari 200 Muhajirin dan Ansar bersamanya. Hazrat Abu Bakr r.a. dan Hazrat Umar r.a. juga termasuk di dalamnya. Ketika melepas Hazrat Abu Ubaidah r.a., Rasulullah saw. menasihati, “Setelah tiba segeralah bergabung dengan Hazrat Amr r.a. dan menjadi satu pasukan, dan jangan berselisih satu sama lain”. Tujuannya adalah agar keduanya tetap bersatu dan tidak terjadi perselisihan di antara mereka, dan Hazrat Amr r.a. tetap menjadi pemimpin.

Rincian tentang hal ini adalah sebagai berikut. Pada suatu kesempatan, beberapa orang Islam mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api agar mereka bisa menghangatkan diri dari dingin, namun Hazrat Amr r.a. melarang mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Hazrat Amr r.a. melarang menyalakan api, Hazrat Umar r.a. menjadi marah dan ingin mendatanginya, tetapi Hazrat Abu Bakar r.a. mencegahnya dan menjelaskan bahwa Rasulullah saw. telah menjadikannya pemimpin karena keahlian perangnya. Ketika Hazrat Amr r.a. kembali, (Hazrat Umar) melaporkan kepada Rasulullah saw. bahwa Hazrat Amr r.a. melarang menyalakan api karena khawatir musuh akan melihat jumlah pasukan mereka yang sedikit dan memanggil bala bantuan tambahan untuk menyerang mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah saw. memujinya.

Bagaimanapun, dalam penjelasan tertulis bahwa kaum Muslimin berangkat dari sana hingga tiba di wilayah musuh, menghancurkan dan mengalahkan mereka. Ketika kaum Muslimin tiba di tempat di mana mereka mendapat kabar berkumpulnya musuh, ternyata musuh telah melarikan diri dan berpencar setelah mendengar kedatangan kaum Muslimin. Kaum Muslimin mengejar mereka dan berhadapan dengan sekelompok kecil musuh. Mereka menyerang dan mengalahkan kelompok tersebut, sementara sisanya melarikan diri. Kaum Muslimin tinggal di sana selama beberapa hari dan di mana pun mereka mendengar tentang keberadaan kelompok musuh, mereka mengirim pasukan berkuda untuk menghadapi mereka. Pasukan tersebut bertempur dengan musuh dan kembali membawa kambing dan unta. Lalu kaum Muslimin berangkat untuk kembali ke Madinah. Hazrat Amr r.a. mengutus Auf bin Malik Al-Asyja’i kepada Rasulullah saw. untuk memberitahukan beliau saw. tentang kepulangan dan keselamatan mereka serta rincian peperangan.

Kemudian ada sebuah sariyyah yang dipimpin oleh Hazrat Abu Ubaidah bin Jarrah r.a.. Sariyyah ini terjadi pada bulan Rajab tahun 8 Hijriah. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. a mencantumkan judul-judul yang ada di bagian akhir buku beliau, yang berdasarkan itu, sariyyah Hazrat Abu Ubaidah r.a. terjadi pada bulan Rajab tahun 8 Hijriah, bertepatan dengan November 629 M. Sariyyah ini memiliki nama-nama lain juga. Sariyyah ini juga disebut Sariyyah Saiful-Bahr dan Sariyyah Khabath. Saiful-Bahr berarti pantai laut. Karena dalam sariyyah ini para sahabat singgah di pantai Laut Merah, maka disebut Sariyyah Saiful-Bahr. Disebut Sariyyah Khabath yang artinya pasukan pemakan daun karena selama sariyyah ini para sahabat terpaksa memakan daun-daun pohon pada suatu waktu. Amir dari sariyyah ini adalah Hazrat Abu Ubaidah bin Jarrah r.a.. Rasulullah saw. mengirim beliau dengan pasukan yang terdiri dari 300 sahabat Muhajirin dan Ansar ke arah salah satu cabang Bani Juhainah. Hazrat Umar r.a. juga termasuk dalam pasukan ini. Bani Juhainah bermukim di daerah Qabliyah. Qabliyah adalah suatu tempat dekat pantai laut yang berjarak lima malam perjalanan dari Madinah.

Tujuan sariyyah ini disebutkan bahwa ada kekhawatiran serangan dari salah satu kabilah Juhainah terhadap kafilah Quraisy Makkah yang sedang membawa bahan makanan dari Syam menuju Makkah melalui jalur pantai. Ini adalah masa Perjanjian Hudaibiyah. Karena Juhainah adalah sekutu Rasulullah saw., maka beliau saw. dengan bijaksana mengirim pasukan pengamanan ke arah mereka sebagai tindakan pencegahan  agar tidak terjadi gangguan terhadap kafilah Quraisy yang datang dari Syam dan agar Quraisy tidak mendapat alasan untuk melanggar perdamaian dan perjanjian. Beliau saw. mengirim pasukan untuk melindungi kafilah Quraisy agar kabilah yang bermukim di sana tidak menyerang mereka di tengah jalan, karena Perjanjian Hudaibiyah telah dibuat dan melindungi mereka juga menjadi kewajiban untuk mematuhi perjanjian yang baru. Oleh karena itu, beliau saw. mengirim pasukan dari sini. Beliau saw. mengirim delegasi yang terdiri dari 300 orang untuk melindungi kafilah Quraisy agar mereka dapat melewati daerah itu dengan aman. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat ini tidak pergi untuk berperang dengan siapa pun, karena selama lebih dari 15 hari mereka tinggal di sana, tidak ada catatan tentang pertempuran apa pun.

            Mengenai keberangkatan sariyyah ini dan habisnya bekal perjalanan, sebuah rincian dijelaskan sebagai berikut. Mengenai Sariyyah ini, Hazrat Jabir r.a. meriwayatkan, “Rasulullah saw. mengutus kami. Kami berjumlah 300 penunggang kuda. Amir kami adalah Hazrat Abu Ubaidah bin Jarrah r.a.. Kami berangkat dan baru menempuh sedikit perjalanan ketika bekal kami habis. Hazrat Abu Ubaidah r.a. memerintahkan, ‘Kumpulkan semua perbekalan. Kumpulkan semua persediaan makanan yang kalian miliki.’ Maka semua perbekalan dikumpulkan dan ternyata hanya terkumpul menjadi dua kantong kurma. Hazrat Abu Ubaidah r.a. membagikan sedikit-sedikit kepada kami setiap hari sampai habis. Kemudian kami hanya mendapat satu kurma per orang.”

Perawi bertanya kepada Hazrat Jabir r.a., ‘Bagaimana satu kurma bisa menghilangkan rasa laparmu?’ Beliau menjawab, “Ketika kurma itu pun habis, barulah kami merasakan ketiadaannya. Saat tidak ada apa-apa lagi, satu kurma itu pun terasa sebagai harta yang berharga bagi kami.” Menurut sebuah riwayat, Hazrat Jabir r.a. menuturkan bahwa mereka mengisap satu kurma itu sepanjang hari lalu minum air. Itu cukup bagi mereka sampai malam.

Terkait:   Riwayat 'Umar bin Khattab (Seri 13)

Hazrat Jabir r.a. menuturkan, “Kami duduk mengawasi untuk melindungi kafilah dagang Quraisy. Kami tinggal di tepi laut selama setengah bulan dan kami mengalami kelaparan yang sangat parah sampai-sampai kami memakan dedaunan. Itulah sebabnya pasukan ini diberi nama Jaisyul-Khabath, yang artinya pasukan pemakan dedaunan.”

Beliau menuturkan, “Karena makanan kami ini, kami menjadi sangat lemah dan bibir serta sekitar mulut kami terluka, sampai-sampai seseorang berkata bahwa jika dalam keadaan seperti ini kami harus berhadapan dengan musuh, kami bahkan tidak akan mampu bergerak ke arah mereka karena kesulitan yang kami alami, apalagi melawan mereka.”

Untuk makanan, di satu tempat juga disebutkan tentang penyembelihan unta. Hazrat Jabir r.a. menceritakan bahwa ada seorang pria di pasukan yang menyembelih tiga unta selama tiga hari untuk memberi makan orang-orang. Kemudian Hazrat Abu Ubaidah r.a. menghentikannya. Dari Kitab Siyar diketahui bahwa orang ini adalah Hazrat Qais bin Sa’d r.a.. Hazrat Qais bin Sa’d r.a. berkata, “Siapa yang akan membeli kurma dariku sebagai ganti seekor unta? Unta akan saya sembelih di sini, tetapi harganya akan saya bayar setelah tiba di Madinah.” Yakni, melihat kondisi kelaparan para sahabat, beliau berkata bahwa beliau akan membeli unta dan menyembelihnya di sini untuk menyediakan makanan bagi mereka. Hazrat Umar r.a. yang hadir berkata, “Sungguh mengherankan anak muda ini, ia tidak memiliki harta apa pun namun menggunakan harta orang lain. Dari mana ia akan membayarnya setelah pulang nanti, ia bahkan tidak memiliki kebun sendiri.” Hazrat Qais r.a. bertemu dengan seseorang dari suku Juhainah. Beliau berkata kepada orang itu, “Juallah unta kepadaku.” Kemudian beliau membeli unta dari suku yang ada di sana dengan mengatakan bahwa beliau akan membayar harganya di Madinah dalam bentuk kurma. Orang itu berkata, “Saya tidak tahu siapa Anda.” Hazrat Qais r.a. menjawab, “Saya adalah Qais bin Sa’d bin Ubadah.” Orang itu berkata, “Betapa banyak Anda telah memperkenalkan diri kepada saya melalui garis keturunan Anda. Saya memiliki hubungan persahabatan dengan Sa’d, pemimpin Yatsrib. Kami berdua bersahabat.” Hazrat Qais r.a. membeli lima ekor unta darinya dengan imbalan lima wasaq kurma, yang setara dengan sekitar 750 kg kurma. Orang itu berkata, “Berikan saya saksi. Juga harus ada penjamin.” Atas hal ini, beberapa sahabat Muhajirin dan Ansar menjadi saksi bagi mereka. Hazrat Umar r.a. menolak untuk menjadi saksi, dengan mengatakan bahwa harta ini bukan milik beliau, melainkan milik ayah beliau, karena beliau berbicara tentang kurma. Kebun-kebun kurma adalah milik ayah beliau, bagaimana beliau akan memberikannya.

Bagaimanapun, ketika pasukan ini kembali ke Madinah, Hazrat Sa’d r.a. bertanya kepada Hazrat Qais r.a., “Apa yang engkau lakukan ketika para sahabat lapar?” Beliau menjawab, “Saya menyembelih unta.” Hazrat Sa’d r.a. bertanya, “Lalu apa yang engkau lakukan?” Hazrat Qais r.a. menjawab, “Saya menyembelih unta lagi.” Hazrat Sa’d r.a. bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Hazrat Qais r.a. menjawab, “Saya menyembelih unta lagi.” Hazrat Sa’d r.a. bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Hazrat Qais r.a. menjawab, “Kemudian saya dilarang untuk melakukannya lagi.” Hazrat Sa’d r.a. bertanya, “Siapa yang melarangmu?” Hazrat Qais r.a. menjawab bahwa Hazrat Abu Ubadah r.a. yang melarangnya. Kemudian beliau bertanya lagi, “Mengapa ia melarangmu?” Hazrat Qais r.a. menjelaskan bahwa menurut Hazrat Abu Ubadah r.a., “Ini bukan hartaku, melainkan milik ayahku.” Hazrat Sa’d r.a. berkata, “Aku akan memberimu empat kebun.” Ayah Qais [yakni Hazrat Sa’d r.a.] menjadi senang mendengar hal ini. Beliau berkata, “Aku akan memberimu empat kebun. Dari kebun yang paling rendah kualitasnya pun, engkau akan mendapatkan 50 wasaq kurma.” Ini adalah jumlah yang cukup besar, setara dengan beberapa ratus kilogram. Hazrat Sa’d r.a. menulis sebuah surat dan menjadikan Hazrat Abu Ubaidah dan lainnya sebagai saksi. Orang dari Bani Juhainah juga datang ke Madinah bersama Hazrat Qais r.a.. Hazrat Sa’d r.a. memberinya kurma, kendaraan, dan pakaian. Hazrat Jabir r.a. berkata bahwa ketika berita ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau saw. bersabda, “Kedermawanan memang sudah menjadi sifat bawaan keluarga ini.”

Hazrat Sayyid Zainul Abidin Waliullah Shah menulis tentang peristiwa ini dalam penjelasannya bahwa kesabaran luar biasa para sahabat dalam menghadapi kelaparan yang parah dan tidak mengganggu kafilah atau pemukiman untuk mencari makanan membuktikan bahwa misi tersebut tidak terkait dengan peperangan, dan jiwa-jiwa suci mereka tidak menganggap pemaksaan sebagai hal yang dibenarkan. Artinya, mereka yang berjiwa suci tidak menganggap kezaliman dan pemaksaan sebagai hal yang dibenarkan. Bagaimanapun, Allah Taala juga mengatur cara untuk menghilangkan rasa lapar mereka pada saat itu. Tentang hal ini tertulis bahwa Hazrat Jabir r.a. menceritakan lebih lanjut tentang rincian misi ini. Beliau sendiri menceritakan, “Laut memuntahkan untuk kami seekor ikan besar seperti bukit yang disebut ‘anbar.” ‘Anbar ini adalah ikan besar, bisa disebut ikan paus. Allamah Azhari mengatakan bahwa ‘anbar adalah ikan laut yang sangat besar yang panjangnya bisa mencapai 50 yard.

Hazrat Jabir r.a. mengatakan, “Kami memakan dagingnya selama setengah bulan, dan menurut riwayat lain selama 18 hari atau satu bulan. Kami terus memakannya selama tinggal di sana dan dalam perjalanan pulang. Kami juga mengoleskan lemaknya ke tubuh kami sehingga tubuh kami kembali segar seperti semula dan kelemahan akibat kelaparan pun hilang.” Hazrat Jabir r.a. mengatakan, “Mata ikan itu sebesar tempayan besar. Kami mengambil beberapa tempayan minyak darinya dan memotong bagian-bagian besar dari tubuhnya. Kami juga menjual sebagian dagingnya di pasar. “Mengenai duduk di mata ikan tersebut, ada dua jenis riwayat. Hazrat Jabir r.a. mengatakan, “Kami berenam duduk di mata ikan itu,” sementara dalam riwayat lain disebutkan bahwa “tiga puluh orang duduk di dalamnya.” Hazrat Abu Ubaidah r.a. mengambil salah satu tulang rusuk ikan tersebut, dan menurut riwayat lain dua tulang rusuk, lalu mendirikannya. Kemudian beliau mendudukkan orang yang paling tinggi, yaitu Hazrat Qais r.a., di atas unta yang paling tinggi, dan keduanya bisa melewati di bawah tulang rusuk itu tanpa menyentuhnya sama sekali.

Mengenai kepulangan ke Madinah, Hazrat Jabir r.a. mengisahkan, “Ketika kami tiba di Madinah, kami menceritakan tentang ikan itu kepada Nabi saw. Beliau saw. bersabda, ‘Makanlah rezeki yang Allah Taala telah keluarkan untuk kalian, dan jika kalian masih memiliki sebagian, berilah kami juga untuk dimakan.’ Salah seorang dari mereka memberikan sebagian kepada beliau saw. dan beliau saw. memakannya. Di sini berakhir kisah tentang itu. Saya berusaha untuk segera menyelesaikannya agar bisa memulai topik-topik lain, namun ada beberapa penyebutan tentang jenazah para syuhada, sehingga masih ada beberapa bagian yang tersisa. Kemudian di akhir nanti akan ada pembahasan tentang Fatah Makkah.

Bagaimanapun, pembahasan ini masih berlanjut saat ini, tetapi hari ini saya juga ingin menyerukan, seperti yang saya sampaikan Jumat lalu, bahwa kita harus banyak berdoa mengenai keadaan perang antara Pakistan dan India, agar tercipta suasana kedamaian di antara mereka. Karena senjata yang digunakan dalam peperangan saat ini juga menewaskan rakyat umum, dan mereka sedang terbunuh. Sekarang sedang muncul situasi perang yang baru. Oleh karena itu, kita harus berdoa agar kedua belah pihak setuju untuk berdamai dan terhindar dari kerugian besar. Sehubungan dengan hal ini, kita juga harus ingat bahwa saat ini di media sosial atau di berbagai media internet, media elektronik, pesan-pesan, setiap orang dengan bebas memberikan komentar dan mengatakan apa pun yang mereka inginkan sesuai keinginan mereka sendiri, yang mana ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Mereka menyampaikan dengan bebas apa yang mereka inginkan. Orang-orang Ahmadi harus menghindari hal ini karena hal semacam itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Jika seseorang sangat ingin menyampaikan pesan, hendaknya mereka menyampaikan pesan perdamaian dan keselamatan. Hazrat Masih Mau’ud a.s.  juga menulis buku “Paigam-e-Sulh (Pesan Perdamaian)” di akhir hidup beliau, di dalamnya beliau a.s. menyampaikan pesan yang sama yaitu pesan perdamaian dan persaudaraan. Oleh karena itu, setiap Ahmadi harus mengingat ini dan berusaha menjalankannya.

Semoga Allah Taala melindungi jiwa-jiwa yang tidak bersalah dari kerugian. Tampaknya beberapa kekuatan besar juga berusaha untuk menyulut api. Mereka ingin kedua kekuatan saling berperang dan melemah serta untuk menjual senjata mereka. Semoga Allah Taala melindungi dari kejahatan mereka juga. Demikian pula, berdoalah untuk rakyat Palestina. Semoga Allah Taala menciptakan kemudahan bagi mereka dan mereka dapat hidup dengan damai di negara mereka sendiri. Namun, tampaknya tidak ada kemungkinan perdamaian, bahkan upayanya adalah untuk mengusir mereka dari sana dengan cara apa pun, dan semua kekuatan terlibat dalam hal ini.

Semoga Allah Taala memberikan akal kepada negara-negara Muslim dan menyatukan mereka. Jika mereka bersatu, banyak masalah dapat diselesaikan. Jika terjadi perang dunia, anggapan beberapa orang dan beberapa negara bahwa mereka akan selamat adalah keliru. Perang yang terjadi akan melumat semua pihak. Oleh karena itu, setiap orang harus menghindari anggapan keliru ini. Semoga Allah Taala melindungi semuanya. Bagaimanapun, jalan keluarnya hanyalah seperti yang selalu saya sampaikan, yaitu kembali kepada Allah Taala dan inilah satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan mereka. Tidak ada jalan lain selain ini. Semoga Allah Taala memberi taufik kepada semua untuk melakukannya.[1]

Khotbah II:

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.