Seorang Muslim meyakini bahwa setiap orang dilahirkan suci dan bebas dari dosa. Dosa adalah pelanggaran secara sadar terhadap beberapa perintah Allah yang dijelaskan oleh seorang Nabi, atau oleh kemampuan akal seseorang, suatu kemampuan sebagai anugerah dari Tuhan. Seseorang hanya akan bertanggung jawab terhadap perbuatannya jika ia telah mencapai kematangan pemikiran dan mampu membedakan antara benar dan salah.
Seorang Muslim meyakini bahwa Allah tidak akan menetapkan seseorang bertanggung jawab, kecuali Allah telah menunjukkan kepadanya jalan yang benar. Itulah sebabnya mengapa Allah telah mengirim banyak sekali utusan dan wahyu-Nya. Tuhan selalu mengirimkan bimbingan-Nya dan peringatan sebelum menjatuhkan hukuman-Nya pada manusia.
Seorang Muslim meyakini bahwa keimanan tidak bermakna jika diikuti secara membabi buta, tanpa penalaran atau pemahaman. Seseorang harus menggunakan kemampuan penalarannya dan melaksanakan perintah-perintah Allah.
Seorang Muslim meyakini bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan bahwa tidak ada yang memikul beban orang lain (وَلاتَزِرُوَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى – Q.S. Bani Israil: 16). Pada hari kiamat, syafaat tidak akan diterima atas nama orang lain dan setiap jiwa akan diganjar sesuai dengan apa yang telah diamalkannya.
Seorang Muslim meyakini bahwa semua nabi diutus oleh Allah dan bahwa ia dalam hal ini tidak boleh membeda-bedakan mereka.
Manusia adalah arsitek bagi nasibnya
إِنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِوَكِيلٍ
“Sesungguhnya, Kami telah menurunkan Kitab ini kepadamu dengan kebenaran untuk manfaat manusia, barangsiapa mendapat petunjuk, maka untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa sesat, maka kesesatannya menimpa dirinya sendiri, dan engkau bukanlah penjaga atas mereka.” (Q.S. Az-Zumar: 42)
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan usaha tanganmu. Dan Dia memaafkan banyak dosa.” (Q.S. Asy-Syura: 31)
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Barangsiapa beramal shaleh, tentu bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa berbuat buruk, maka kerugian menimpa dirinya, kemudian kepada Rabb-mu kamu akan dikembalikan.” (Q.S. Al-Jatsiah: 16)
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَـكِن ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Dan bukanlah Kami yang menganiaya mereka, melainkan merekalah yang menganiaya diri sendiri, maka tidaklah berfaedah sedikit pun kepada mereka tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah swt., apabila datang perintah azab Tuhan engkau. dan itu tidak menambahkan kepada mereka selain kebinasaan.” (Q.S. Hud: 102)
Al-Qur’an berulang kali menekankan bahwa Tuhan tidak pernah menghukum suatu kaum dengan tidak adil, dan bahwa perbuatan-perbuatan buruk mereka sendirilah, yang menyebabkan turunnya azab atas mereka. Al-Qur’an menolak teori suratan takdir atau bahwa manusia itu korban nasib buta. Al-Qur’an menolak pula pendangan bahwa Tuhan telah membuat bangsa-bangsa bangkit dan jatuh sekehendak-Nya tanpa adanya sebab yang adil dan benar. Itulah sebebnya, mengapa bila pun Al-Qur’an membicarakan azab, maka senantiasa ditambahkannya (penjelasan), bahwa siksaan dan ganjaran itu adalah akibat perbuatan manusia sendiri.
مَّا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
“Tiada satu umat yang mendahului ajalnya, dan tidak dapat pula mereka memperlambatnya.” (Q.S. Hijr: 6)
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً
“Yang kepunyaan-Nya kerajaan seluruh langit dan bumi. Dan Dia tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan; dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan telah menetapkan dengan ketetapan yang sebaik-baiknya.” (Q.S. Furqan: 3)
Anak kalimat “dan telah menetapkan ukurannya dengan sebaik-baiknya“ mengandung arti, bahwa ada batas tertentu bagi kekuatan-kekuatan dan pekerjaan-pekerjaan atau perkembangan segala sesuatu yang tidak dapat dilanggar atau dilampaui. Batas-batas ini menunjuk kepada satu hukum bekerja di seluruh jagat raya, dan dari sini menunjuk kepada satu Perancang, Pencipta dan Pengatur – Sang Pencipta Yang kekuasaan-Nya – tidak terbatas, tetapi telah mengadakan pembatasan terhadap segala benda.
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan tiadalah bagi manusia melainkan apa yang ia usahakan.” (Q.S. An-Najm: 40)
Dalam beberapa hadits berkenaan dengan Qadha dan Qadar tertera sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ حَدَّثَناَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ قاَلَ إٍنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْماً ثُمَّ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ مَلَكاً فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعٍ بِرِزْقِه وَأَجَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَاللهِ إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ الرَّجُلَ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى ماَ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ باَعٍ أَوْ ذِراَعٍ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتاَبُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهاَ وَإِنَّ الرَّجُلِ لَيَعْمْلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ماَ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِراَعٍ أَوْ ذِراَعَيْنِ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتاَبُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهاَ قاَلَ ادَمُ إِلاَّ ذِرَاعٌ ؛بخاري كتاب قدر باب في القدر
“Dari Abdullah, beliau mengatakan: Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām telah menceritakan kepada kami sedangkan beliau adalah seorang yang jujur lagi diakui kebenarannya, beliau bersabda: ‘Sungguh salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu, kemudian menjadi segumpal daging seperti itu, kemudian Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat hal: rezekinya, ajalnya, sengsara ataukah bahagia, demi Allah, sungguh salah seorang di antara kalian, atau sungguh ada seseorang yang mengamalkan amalan-amalan penghuni neraka, sehingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta atau sejenggal, tetapi ketetapan mendahuluinya sehingga ia mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya. Dan, sungguh ada seseorang yang mengamalkan amalan-amalan penghuni surga, sehingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta atau dua hasta, lantas kententuan mendahuluinya sehingga ia melakukan amalan-amalan penghuni neraka sehingga ia memasukinya.’ Sedang Adam mengatakan dengan redaksi ‘kecuali tinggal sehasta’.” (HR. Bukhori)
عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ وَكَّلَ اللهُ بِالرَّحِمِ مَلَكاً فَيَقُولُ أَيْ رَبِّ نُطْفَةٌ أَيْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَيْ رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يَقْضِيَ خَلْقَهاَ قاَلَ أَيْ رَبِّ أَذْكَرٌ أَمْ أُنْثَى أَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ فَماَ الرِّزْقٌ فَماَ الْأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ؛بخاري كتاب قدر باب في القدر
“Dari Ubaidillah bin Abu Bakar bin Anas bin Malik ra, dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām bersabda: ‘Allah mengutus malaikat pada setiap rahim, kemudian malaikat tersebut mengatakan: ‘Ya Rabbi, ataukah sebatas segumpal mani? Ya Rabbi, ataukah sebatas segumpal darah? Ya Rabbi, ataukah sebatas segunpal daging?’ Dan jika Allah berkehendak menetapkan penciptaan-Nya, malaikat mengatakan: ‘Ya Rabbi, ataukah laki-laki ataukah perempuan? Sengsarakah ataukah bahagia? Seberapa rezekinya, kapan ajalnya? Lantas ditulis demikian dalam perut ibunya” (HR. Bukhori)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قاَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ماَ مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تُنْتِجُوْنَ الْبَهِيْمَةَ هَلْ تَجِدُونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعاَءَ حَتَّى تَكُونُواأَنْتُمْ تَجْدَعُونَهَا قاَلُوا ياَ رَسُولَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيْرٌ قاَلَ اللهُ أَعْلَمُ بِمَا كاَنُوا عاَمِلِيْنَ ؛بخاري كتاب قدر باب الله أعلم بما كانوا عاملين
”Dari Abu Hurairah ra mengatakan, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām bersabda: ‘Tak ada bayi yang dilahirkan selain dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani. Sebagaimana kalian memperanakkan hewan, adakah kalian dapatkan di antaranya ada yang terpotong hidungnya hingga kalian yang memotongnya sendiri? Mereka bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda perihal mereka yang mati saat masih kecil?’ Nabi menjawab: ‘Allah lebih mengetahui yang mereka kerjakan.’” (HR. Bukhori)
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalām bersabda:
“Kalian mengajukan keberatan, menyatakan Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia itu bertingkah-laku di bawah paksaan dan tidak memiliki kebebasan memilih. Rupanya kalian melupakan ayat yang jelas mengindikasikan kebebasan pilihan manusia dan perolehan baik buruknya seperti:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Manusia tidak akan memperoleh sesuatu selain yang apa yang telah diusahakannya” (Q.S. An Najm: 40).
Kemudian dinyatakan:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ
“Sekiranya Allah akan menghukum manusia atas apa yang diusahakan mereka, tentu Dia tidak akan meninggalkan satu makhluk hidup pun di permukaan bumi ini”. (Q.S. Al Fathir: 46).
Begitu pula di tempat lain:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya (Q.S. Al Baqarah: 287).
Begitu juga dengan:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا
“Barangsiapa beramal saleh maka amal salehnya itu bagi kemanfaatan dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat kejahatan maka bebannya akan menimpa atas dirinya sendiri” (Q.S. Ha Mim Sajdah: 47).
Kemudian lagi:
فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ
“Bagaimanakah halnya apabila suatu musibah menimpa mereka disebabkan oleh apa yang telah diperbuat tangan mereka” (Q.S. An Nisa: 63).
Semua ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam pilihan tindakan yang akan diambilnya. Berkaitan dengan ini Sdr. Abdullah Atham2 mengemukakan ayat:
يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ
“Berkata mereka: Adakah bagi kami sesuatu bagian dalam urusan itu?” (Q.S. Ali Imran: 155)
Dan mengemukakan argumentasi bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya paksaan. Jelas bahwa ia salah paham. Dalam ayat ini kata Amr yang dimaksud adalah penatalaksanaan atau pemerintahan. Ayat ini mengemukakan pandangan dari seseorang yang menyatakan: Jika kami punya peranan dalam masalah penatalaksanaan, tentunya kami akan merencanakan agar kesulitan yang muncul dalam perang Uhud ini bisa dihindari. Guna menjawab mereka maka Allah s.w.t. menyatakan:
قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya kepunyaan Allah’. (Q.S. Ali Imran: 155).
Pasukan Muslim (pada saat perang Uhud tersebut) ditegur untuk mematuhi Hazrat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām dalam segala situasi. Ayat ini tidak ada kaitannya dengan masalah kebebasan pilihan atau paksaan. Ayat tersebut merujuk pada pemikiran beberapa orang yang menyatakan bahwa mereka akan mengusulkan suatu yang berlainan, jika saja mereka diajak konsultasi. Allah s.w.t. menegur mereka bahwa hal itu bukan suatu yang bisa dikonsultasikan tetapi sepenuhnya merupakan firman Tuhan. Perlu dipahami dengan baik bahwa Takdir adalah suatu ukuran atau parameter sebagaimana dinyatakan Allah s.w.t.:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً
“Dia telah menciptakan segala sesuatu dan telah menetapkan ukurannya yang tepat” (Q.S. Al Furqan: 3).
Ayat ini tidak menunjukkan kalau manusia tidak mempunyai hak untuk memilih apa yang akan dikerjakannya. Sesungguhnya memilih itu sendiri merupakan bagian dari ukuran. Allah s.w.t. setelah mengukur fitrat dan kapasitan manusia, lalu menetapkannya sebagai Taqdir dan dalam ruang lingkup tersebut Dia menentukan sejauh mana manusia mempunyai pilihan dalam segala tindakannya.
Keliru jika menganggap Taqdir sebagai pengertian bahwa manusia dipaksa untuk tidak memanfaatkan segala fitrat yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Keadaan ini bisa digambarkan dengan melihat mekanisme sebuah jam yang tidak bisa bekerja melampaui parameter yang telah ditentukan pembuatnya. Begitu pula dengan manusia yang tidak akan bisa mencapai tujuan yang berada di luar kemampuan fitrat yang dimilikinya, dan juga ia tidak bisa hidup melampaui batas umur yang telah ditetapkan baginya.
Takdir Ilahi terdiri dari dua jenis, yang satu bisa dikatakan sebagai suatu yang ditangguhkan, sedangkan yang lainnya bersifat mutlak atau absolut. Pelaksanaan takdir yang ditangguhkan masih mungkin dihindari berkat rahmat Tuhan melalui doa dan sedekah. Adapun takdir yang bersifat mutlak tidak bisa dihindari kemunculannya melalui doa atau pun sedekah, meskipun Allah s.w.t. tetap akan mengganjarnya dengan kemaslahatan lain. Dalam beberapa hal, Allah s.w.t. akan menangguhkan terjadinya suatu takdir. Pengetahuan mengenai kedua bentuk takdir Ilahi ini bisa diperoleh dari Kitab Suci Al-Qur’an. (Malfuzat, vol. I, hal. 157-158).
Al-Qur’an telah menetapkan beberapa hal guna penegakkan prinsip utama bahwa Allah yang Maha Agung adalah Maha Esa dan merupakan sumber dan tujuan dari segala hal dimana beberapa kritikus yang bodoh telah mengartikan hal ini sebagai akidah paksaan. Dia adalah kausa dari segala kausa dan Penyedia segala sarana. Itulah sebabnya maka Allah s.w.t. dalam beberapa kejadian, mengutarakan Wujud-Nya dalam Al-Qur’an sebagai Kausa dari segala kausa tanpa menyebutkan adanya sarana yang memperantarai. Penelitian atas Al-Qur’an mengungkapkan bahwa di beberapa tempat dijelaskan mengenai sarana dimaksud agar manusia memperhatikannya. Disamping itu, Al-Qur’an juga menyatakan penghukuman atas laku dosa dan menetapkan bentuk hukumannya. Jika dikatakan bahwa sistem takdir Ilahi tidak bisa diubah dan manusia harus sepenuhnya tunduk di bawah paksaan yang absolut, lalu apa gunanya diadakan penghukuman dan penalti tersebut?
Takdir Ilahi mempunyai hubungan yang dekat dengan doa. Melalui doa dapat dihindari terlaksananya suatu takdir yang ditangguhkan. Doa jelas amat bermanfaat menghadapi segala kesulitan. Mereka yang mengingkari efektivitas doa sesungguhnya salah pengertian. Al-Qur’an menyatakan adanya dua aspek daripada doa. Aspek yang pertama adalah Tuhan akan memaksakan kehendak-Nya, sedangkan aspek yang lainnya menyatakan bahwa Dia menanggapi doa dari hamba-Nya. Dalam ayat: ‘Sesungguhnya akan Kami beri kamu cobaan dengan sedikit ketakutan’ (S.2 Al-Baqarah:156)
Makna daripada ayat ini ialah agar sikap manusia dalam menghadapi takdir Ilahi yang bersifat absolut tersebut haruslah menyatakan: ‘Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali’ (S.2 Al-Baqarah: 157). Saat lain adalah ketika terdapat luapan gelombang rahmat dan kasih Ilahi sebagaimana dinyatakan dalam: ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu’. (Q.S.40 Al-Mumin: 61). Seorang mukmin harus memahami kedua aspek doa tersebut. Para Sufi mengatakan bahwa ketergantungan absolut seorang manusia kepada Tuhan belum akan sempurna jika ia belum bisa membedakan tempat dan saat mengajukan suatu doa. Dikatakan kalau seorang Sufi itu tidak akan berdoa sampai diketahuinya sudah saatnya berdoa. Sayid Abdul Qadir Al-Jailani r.1 a. menyatakan bahwa melalui doa maka seorang yang tidak beruntung akan menjadi beruntung. Beliau bahkan lebih jauh lagi menyatakan bahwa hal-hal yang amat tersembunyi yang menyerupai takdir absolut, juga bisa dihindari melalui doa. Singkat kata, perlu kiranya selalu diingat berkaitan dengan doa bahwa Allah s.w.t. terkadang meminta kepatuhan seorang hamba terhadap kehendak-Nya dan pada saat lain Dia akan mengabulkan permohonan dari hamba-Nya. Dengan kata lain, Dia memperlakukan hamba-Nya sebagai seorang sahabat. Doa dari Hazrat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām telah dikabulkan dalam skala yang demikian besar dan sejalan dengan itu beliau juga amat luhur derajatnya dalam penyerahan diri kepada takdir Ilahi serta menerimanya dengan hati yang suka. Beliau kehilangan sebelas orang putra-putri, namun beliau tidak pernah menanyakan kepada Tuhan: ‘Mengapa?’ (Malfuzat, vol. III, hal. 224-226).