2. Menegakkan Shalat
Setelah itu perhatikanlah bahwa yang kedua adalah shalat, yang diwajibkan dan berulang kali ditegaskan oleh Al-Qur’an. Ingatlah juga bahwa Al-Qur’an menegur mereka yang menegakkan shalat tetapi tidak memahami makna daripadanya dan tetap saja bersikap kejam kepada sesama manusia. Shalat dalam realitasnya adalah permohonan kepada Allah swt agar Dia menjaga kita dari segala keburukan dan perbuatan jahat. Manusia sesungguhnya berada dalam keadaan menyedihkan dan kesepian dimana ia mendambakan kedamaian dan kepuasan kalbu yang merupakan hasil bawaan dari keselamatan. Namun keselamatan demikian tidak mungkin dicapai hanya dengan kecerdikan atau keterampilan seseorang. Sampai dengan Tuhan telah memanggil maka tidak ada yang bisa menghadap kepada-Nya, sampai dengan Dia mensucikan maka tidak ada orang yang disucikan.
Banyak yang menjadi saksi atas realita bahwa seringkali manusia menginginkan dirinya bersih dari segala dosa, namun tidak juga berhasil meski telah berulangkali berupaya melakukannya. Meski kesadaran dirinya, Nafs Lawwāmah, yaitu semangat yang menegur dirinya sendiri telah mengingatkan, tetapi tetap saja ia gagal dan tergelincir kembali. Dari sini bisa disimpulkan bahwa pensucian seseorang dari segala dosa adalah kinerja Tuhan adanya. Manusia tidak mungkin mencapai hal itu hanya atas dasar upayanya sendiri. Namun memang harus diakui bahwa upaya ke arah tersebut merupakan hal yang mutlak harus dikerjakan.
Shalat adalah untuk membasuh batin yang penuh dengan dosa serta telah melenceng jauh dari Tuhan. Adalah untuk mendekatkan ruh kepada Tuhan maka ada sarana yang bernama shalat, melalui apa kejahatan bisa dipupus dan kalbu diisi dengan perasaan dan emosi yang suci. Inilah yang mendasari pernyataan bahwa shalat memupus segala keburukan atau mencegah seseorang melakukan suatu yang tidak pantas atau tidak berakhlak.
Lalu apa yang dimaksud dengan shalat? Itu adalah laku doa yang penuh dengan kepedihan dan karena itu disebut shalat. Permohonan yang diajukan kepada Tuhan dilakukan dengan memelas dan kesedihan agar Tuhan mau mengangkat segala pikiran buruk, perasaan jelek dan emosi negatif dari kalbu seseorang dan Dia mau mensucikannya dari dalam dirinya dengan cara menciptakan kasih hakiki sebagai gantinya melalui berkat dan rahmat-Nya.
Kata shalat menunjuk kepada kenyataan bahwa doa tidak cukup hanya dengan lisan saja, karena haruslah kata-kata doa itu dilambari dengan perasaan gelisah dan khawatir. Tuhan tidak akan mendengarkan doa seseorang sampai yang bersangkutan mencapai tingkatan seperti akan mati rasanya (karena kegelisahan memohon di hadapan Tuhan). Sesungguhnya doa itu sulit dan kebanyakan orang tidak memahami hakikatnya. Banyak orang telah menyurati diriku mengatakan bahwa mereka telah berdoa untuk sesuatu tetapi doa mereka tidak membawa efek apa-apa sehingga akhirnya mereka berpandangan negatif terhadap Tuhan mereka dan mereka galau oleh perasaan putus asa. Mereka tidak memahami bahwa doa yang tidak diikuti persyaratan lainnya itu, sulit akan mendapat manfaatnya.
Salah satu persyaratan doa ialah hati itu harus demikian luluh sehingga mencair dan mengalir seperti air yang menuju ke kaki Tuhan yang Maha Agung, diikuti perasaan pedih dan gelisah. Yang bersangkutan jangan sampai tidak sabar dan mengharapkan hasil segera. Ia harus terus menerus berdoa dan kesabaran serta beristiqomah. Barulah setelah itu bisa mengharapkan doanya dikabulkan.
Shalat merupakan doa pada tingkat yang amat tinggi. Menyedihkan sekali bahwa manusia belum memahami nilainya dan mereka menganggapnya hanya sebagai gerakan-gerakan tegak, membungkuk dan sujud diikuti dengan bacaan rapalan seperti burung beo, mengerti atau tidak mengerti artinya. Yang menyedihkan juga ialah umat Muslim zaman ini tidak lagi mengenali fitrat hakiki daripada shalat dan malah tidak melakukannya secara teratur. Bahkan ada golongan yang malah meninggalkan shalat untuk diganti dengan beberapa rapalan atau pengulangan beberapa kata-kata. Dari antara golongan itu adalah Noshahi dan Chashti serta beberapa lainnya. Orang-orang seperti itu sebenarnya menyerang agama Islam dan ajarannya dari dalam, setelah itu karena telah menjauh dari disiplin Islam, lalu mencoba menciptakan syariah baru.
Ingatlah selalu dengan pasti bahwa kita ini tidak memerlukan adanya inovasi baru jika kita dan semua pencari kebenaran telah diberkati dengan Shalat. Setiap kali Hazrat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām dihadapkan pada kesulitan dan musibah, beliau pasti segera mendirikan shalat. Pengalaman kita sendiri dan mereka yang mencari kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada shalat untuk membawa seseorang mendekat kepada Tuhan.
Ketika seseorang berdiri dalam shalat, ia itu mengambil sikap hormat. Jika seorang sahaya berdiri di hadapan tuannya, tentulah ia berdiri dengan tangan bersidekap. Posisi membungkuk juga merupakan laku hormat yang lebih tinggi derajatnya dari berdiri tegak, sedangkan sujud menjadi bentuk penghormatan yang paling tinggi tingkatannya. Jika seseorang sedang dalam keadaan pasrah sepenuhnya, ia akan mengambil laku sujud. Celakalah orang-orang tolol dan duniawi yang ingin mempersingkat shalat serta berkeberatan untuk membungkuk atau pun sujud. Padahal justru hal-hal tersebut merupakan aspek yang terpuji. Sampai seseorang menyadari sepenuhnya akan kawasan dari mana shalat diturunkan maka selama itu juga ia tidak akan memperoleh apa-apa. Namun bagaimana mereka yang tidak beriman kepada Allah swt akan bisa meyakini manfaat shalat? (Malfuzat, vol. 9, h.108 – 110)
Selanjutnya beliau ‘alaihissalām menerangkan, “Apa yang dimaksud dengan shalat? Ia merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak paham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah swt. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Saya sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah subḥānahu wa ta’āla menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah subḥānahu wata’āla datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah subḥānahu wata’āla (Malfuzhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah subḥānahu wata’āla dengan sikap penuh sopan. Tatkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan itu adalah Ghāni (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah subḥānahu wa ta’āla. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak paham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah subḥānahu wa ta’āla memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berantakan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan, dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
Bahkan beliau ‘alaihissalām menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.
Beliau ‘alaihissalām bersabda:
فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَرْكَبٌ يُوْصِلُ الْعَبْدَ اِلىَ رَبِّ الْعِبَادِ
“Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” (I’jāzul-Masīh hal. 164)
Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan kesempatan dan sarana efektif yang bisa mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.
Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:
وَمِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ أَنْ يَكُوْنَ اْلإِنْسَانُ محُـَافِظًا عَلَى الصَّلَوَاتِ الخْـَمْسِ فيْ أَوَائِلِ أَوْقَاتِهَا
“Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktunya.” (I’jāzul-Masīh , hal. 163-164)
Pernyataan beliau ‘alaihissalām ini sesuai dengan sabda Hadhrat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallām dalam hadits beliau:
أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الصَّلاَةُ ِفيْ أَوَّلِ وَقْتِهَا
“Yang paling utama dari amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.” (HR Abu Daud, At-Turmudzi, dan Al-Chakim dalam Al-Mustadrak—dari Hadhrat Ummu Fardah radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz VII/18900)