Khotbah Jum’at
Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 26 November 2010
Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Dalam khutbah yang lalu, saya telah mengemukakan ajaran Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam, uswah hasanah beliau, dan beberapa contoh para sahabat ‘alaihimus salam terkait dengan pengamalan akhlak luhur sabar. Sabar merupakan akhlak luhur dimana Nabi shallAllahu ‘alaihi wa sallam telah menekankan kepada orang-orang yang meyakini beliau untuk memilikanya. Beliau telah memperlihatkan contoh pengamalannya lebih dari siapapun. Sebab itu, perintah Allah Ta’ala,
wasta’iinuu bish shobri wash sholah hendaklah diamalkan. Orang-orang yang menginginkan pertolongan Allah Ta’ala sambil memperlihatkan contoh kesabaran dan memanjatkan doa-doa adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Mereka beridiri di atas keyakinan bahwa Allah Ta’ala pasti akan menolong mereka karena mereka tunduk di hadapan-Nya dengan memperlihatkan kesabaran dan keihklasan. Jadi, siapakah orang yang dapat memahami, mengimani, serta meyakini hal ini melebihi Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam? Kemudian, karena Quwat Qudsiyyah beliau, para sahabat pun memperoleh pemahaman tentang ini. Karena mengamalkan hal ini, dalam berbagai kesempatan mereka melihat, betapa pertolongan Allah menyertai mereka.
Pada zaman ini, siapakah yang mengerti dan memahami hakikat dari ‘ista’inu bishobri wa sholah lebih dari pecinta sejati Nabi shallAllahu ‘alaihi wa sallam? Inilah hal yang telah Hadhrat Masih Mau’ud upayakan agar dapat tercipta di dalam diri para sahabat beliau. Guna memberikan tarbiyat kepada Jemaat, melalui berbagai macam sabda dan tulisan, beliau menekankan kepada Jemaat beliau untuk dapat mengamalkan akhlak sabar ini.
Jadi, dewasa ini Jemaat pecinta sejati Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam inilah, yang karena tarbiyat dari Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala seraya memperlihatkan contoh-contoh kesabaran dan istiqomah. Seraya tunduk di hadapan Allah Ta’ala, hanya dan hanya di hadapan-Nya semata mereka mengemukakan kondisi hatinya. Semua corak amalan ini telah diperlihatkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud kepada kita. Pengaruh dari tarbiyat tersebut sampai saat ini tetap berlangsung dalam Jemaat, sehingga Jemaat menegakkan contoh-contoh dan akhlak yang utama ini.
Setelah pendakwaan, Hadhrat Masih Mau’ud as harus menghadapi setiap jenis kekerasan, tetapi beliau tidak hanya senantiasa menunjukkan kegigihan dan kesabaran beliau sendiri, bahkan beliaupun mengatakan kepada para sahabat beliau bahwa jika ingin mengikuti beliau, maka mereka hendaklah menegakkan contoh seperti yang telah ditegakkan oleh Nabi shallAllahu ‘alaihi wa sallam, dan contoh yang ditegakkan para sahabat ra. dimana mereka telah berusaha menjalani kehidupan di atasnya.
Saat ini saya hendak mengemukakan beberapa peristiwa dalam kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud as kepada Anda sekalian. Betapa beliau as di dalam berbagai kesempatan telah memperlihatkan contoh kesabaran dari mulai hal yang kecil sampai hal yang besar. Beliau juga memberikan nasehat tentang sabar ini kepada para pengikut beliau dan dengan sangat keras menasehatkan untuk mengamalkannya. Allah Ta’ala juga dalam berbagai kesempatan secara langsung menarik perhatian beliau terhadap keutamaan perkara ini melalui ilham. Yakni hendaklah senantiasa memegang kesabaran dan akhlak-akhlak yang luhur. Hendaknya dalam keadaan apapun ketika para penentang melakukan hal-hal yang hina dan rendah, seberapapun mereka mencari cara untuk merugikan kita dan secara amalan nyata merugikan kita, jangan pernah melepaskan kesabaran dan istiqomah kalian. Teruslah memohon pertolongan Allah Ta’ala dengan perantara doa-doa dan teruslah nantikan pertolongan-Nya.
Kepada hamba-hamba Allah Ta’ala, datang cobaan dan ujian-ujian-Nya, tetapi hamba-hamba itu menanggung ujian tersebut karena-Nya. Oleh sebab itu, berkenaan dengan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as menyebutkan salah satu ilham di dalam buku Barahin-e Ahmadiyah,
Al-fitnatu haahunaa fashbir kamaa shobaro ulul azma. Alaa innahaa fitnatum minallohi liyuhibba hubban jamma. Hubbam minallohil ‘aziizil akromi. ‘athoo–an ghoiro majdzuudz.
(di tempat ini ada ujian. Karena itu bersabarlah sebagaimana para ulul ‘azmi bersabar. Ingatlah, ujian ini berasal dari Tuhan, agar Dia memberikan kecintaan yang merupakan kecintaan sempurna. Cinta Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Anugerah yang tidak akan pernah terputus. (yakni tidak akan pernah berakhir).[2]
Jadi, sebelum pendakwaan kenabian, sebelum pengambilan baiat, bahkan semenjak awalpun, pendzahiran dan pengamalan dari penekanan Allah Ta’ala mengenai akhlak luhur sabar itu terus berlangsung sampai detik-detik akhir kehidupan beliau. Sebagaimana telah saya katakan, beberapa contoh di antaranya akan saya kemukakan.
Syeikh Yakub ‘Alib Shahib Irfani ra menerangkan, “Suatu kali pada tahun 1898, Maulwi Muhammad Husein mengirimkan majalahnya yang dipenuhi dengan cacian kepada Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Dalam laporannya beliau menulis bahwa, “Saya telah menuliskan peristiwa itu dalam [Surat Kabar] Al-Hakam 27 Juli 1898. Saat ini, setelah kurang lebih berlalu 30 puluh tahun saya menelaah dan membaca [kembali] mengenai semangat, kekuatan jiwa dan tawajjuh ilalloh Hadhrat Masih Mau’ud, maka dengan sendirinya air mata saya menetes.”[3]
Dalam menjawab majalah yang dipenuhi dengan caci maki diluar batas itu beliau menunjukkan kelembutan, semangat, serta kesabaran dan ketabahan yang sempurna. Tidak ada yang dapat menyamai ketenangan dan kewibawaan beliau. Tabiat yang penuh dengan ketenangan. Tabiat yang penuh dengan wibawa. Beliau adalah pribadi yang agung. Gunungan kewibawaan. Hal ini menjadi bukti, bahwa caci maki seperti apapun tidak mempengaruhi beliau. Tidak pernah terjadi bahwa beliau memperlihatkan sikap tidak berwibawa dalam menjawab caci maki-caci maki tersebut. Ini merupakan bukti dari wahyu Allah Ta’ala yang turun kepada beliau dalam kata-kata,
‘fashbir kamaa shobaro ulul ‘azmi minar rusul’. (Al-Ahqaf : 36). Sungguh, berasal dari Allah Ta’ala lah dan Allah Ta’ala yang telah memberikan kepada beliau mukjizat dan fitrah luhur kesabaran serta semangat sebagaimana yang telah diberikan kepada para Rasul Ulul ‘Azmi. Sebelumnya Allah Ta’ala telah memberitahukan mengenai akan banyaknya jumlah fitnah/ujian. Dan fitnah-fitnah itu dengan sangat keras dan kuat telah dzahir pada waktunya masing-masing. Tetapi tidak dalam suatu kesempatanpun, ada yang dapat menyamai keteguhan beliau. [4]
Kemudian dalam menceritakan salah satu peristiwa lain, Hadhrat Syeikh Yakub ‘Ali Irfani lebih jauh menulis tentang peristiwa di rumah Mahbub Rayong, “Sejauh yang saya ingat, pada suatu pertemuan, seorang pemimpin Brahma (Mungkin Anbasy Mauzum Dar Babu), sedang bertanya kepada Hadhrat (Masih Mau’ud). Hadhrat Masih Mau’ud menjawab. Ketika itu datanglah seorang penentang dengan kata-kata yang buruk dan melakukan serangan kotor lagi menyesakkan hati di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud as. Pemandangan demikian terjadi saat itu di hadapan saya. Beliau meletakkan tangan di atas mulut beliau, sebagaimana kebiasaan beliau sering meletakkan salah satu ujung sorban pada mulut beliau. Atau kadang-kadang beliau hanya meletakkan tangan beliau [di atas mulut] sambil duduk.
Beliau as duduk diam, terus mendengarkan caci maki orang itu dan si pencaci terus-menerus gaduh mengoceh. Orang bertabiat rusak itu terus menerus berbicara. Beliau duduk seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa, atau seolah sedang terjadi percakapan dengan kalimat yang manis. Pemimpin Hindu itu ingin menghentikan orang tersebut, tetapi orang tersebut tidak memperdulikannya. Hadhrat (Masih Mau’ud) berkata kepada pemimpin Hindu itu, ‘Jangan Anda katakan apapun kepadanya, biarkan dia bicara.’ Setelah banyak berbicara, pada akhirnya orang tersebut menjadi lelah dengan sendirinya, ia berdiri lantas pergi.
Pemimpin Brahma itu sungguh terkesan, ia berkata, ‘Ini adalah mukjizat akhlak Anda yang sangat besar.’ Saat itu Hudhur membuatnya diam, dan membuat ia keluar dari rumah beliau [dengan sendirinya]. Sebenarnya dengan sedikit gestur beliau, ocehannya bisa dihentikan. Tetapi beliau memberikan bukti nyata kelembutan beliau yang sempurna dan kekuatan jiwa beliau.”[5]
Hadhrat Syeikh Yakub ‘Ali Shahib Irfani menulis bahwa Miir Abas Ali yang tinggal di Jalandhar sedang mengajukan keberatan sambil duduk di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Maulwi Abdul Karim Shahib ra juga ada dalam majlis itu, dan beliau sendiri yang menceritakan peristiwa ini kepada saya.
Beliau menceritakan, “Saya melihat Mir ‘Abas ‘Ali Sahib mengajukan keberatan. Hadhrat Masih Mau’ud as menjawabnya dengan penuh kasih dan dengan sangat lembut. Hadhrat Masih Mau’ud menjawab dengan lembut dan cinta kasih, namun suara Mir Shahib semakin meninggi, sehingga jelas-jelas memperlihatkan ketidakbermaluan dan ketidaksopanan. Ia memutuskan semua hubungan yang terjalin sebelumnya serta meninggalkan kesopanan, hingga sampai pada kondisi ‘kamu kamu, saya saya’.
Saya menyaksikan, dalam kondisi serupa itu Hadhrat Masih Mau’ud as berkata kepadanya, ‘Mir Shahib yang terhormat, berjalanlah Anda bersama saya, tinggallah di dekat saya, maka Allah Akan mendzahirkan tanda kepada Anda dan akan membimbing Anda. Tetapi kemarahan dan kelancangan Mir Shahib semakin membuncah. Dengan menyaksikan kelembutan dan kekuatan jiwa Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, saya tidak lagi sanggup melihat ketidaksopanan Mir Shahib yang di luar batas itu. Saya tidak tahan. Namun, meskipun demikian, Hadhrat Masih Mau’ud as tetap memperlihatkan kesabaran dan kelembutan beliau.
Saya sejak tadi merasa marah, dan menganggap diri saya sendiri tidak punya rasa malu karena Hadhrat Masih Mau’ud as diserang sedemikian rupa di hadapan saya tetapi saya hanya diam saja. Saya tidak bisa tinggal diam, terpaksa saya menyuruhnya pergi dan berseru dengan suara yang keras kepadanya. Hasilnya, dia berdiri dan pergi. Saya menyaksikan contoh kekuatan jiwa dan kelembutan yang diperlihatkan Hadhrat Masih Mau’ud as, dan itu memberikan pengaruh terhadap tindakan saya. Saya juga senang, karena saya tidak menjadikan diri saya sendiri sebagai orang yang tidak mempunyai rasa malu karena orang itu mengatakan perkataan yang tidak sopan terhadap kemuliaan Hadhrat (Masih Mau’ud) di hadapan saya dan saya diam, hanya terus mendengarkan saja. Meskipun setelah itu, terbuka pengetahuan kepada saya bahwa seharusnya penghormatan kepada Hadhrat (Masih Mau’ud) mengungguli gejolak semangat saya.”[6]
Yakni, tuntutan dari penghormatan terhadap beliau adalah “Seharusnya saya duduk di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud as dan saya tetap diam. Meskipun memang di dalam hati saya gejolak hati saya menggebu.”
Bahkan, dalam beberapa kesempatan, terjadi juga beberapa peristiwa dimana beliau memperlihatkan ketidaksukaan dan kemarahan kepada sebagian sahabat yang karena tindakan berlebihan seseorang kemudian mereka bangkit dan menunjukkan semangat menggebunya [untuk menunjukkan kemarahan kepada pencaci], beliau mengatakan, hendaklah jangan seperti itu terhadap orang-orang ghair.
Hadhrat Maulwi Abdul Karim Shahib menceritakan, “Suatu hari, seorang Hindustani yang sangat sombong dengan ilmunya datang ke masjid dan menyatakan bahwa dirinya telah menyaksikan dan mengalami zamannya Jahanggir dan zaman dingin maupun panas (maksudnya, dia menganggap dirinya telah banyak berkeliling dan telah menyaksikan banyak zaman serta mengetahui segala sesuatu). Ia menyatakan pengakuannya itu kepada Hadhrat (Masih Mau’ud) dengan sangat tidak sopan. Setelah percakapan pendek, ia beberapa kali mengatakan, ‘Anda berdusta dengan pendakwaan Anda.’ Ia mengatakan di hadapan wajah Hadhrat Masih Mau’ud bahwa pendakwaan beliau adalah dusta, dan dia telah sering melihat makar seperti demikian. (Na ‘udzubillah). Pendeknya, ia mengucapkan kata-kata yang lancang. Tetapi [Hadhrat Masih Mau’ud] tidak marah, beliau mendengarkan dengan sangat tenang dan pada giliran beliau, beliau as mulai berbicara dengan sangat lembut.
Seberapapun tidak sopan dan tidak tepatnya perkataan seseorang, atau seberapa tidak berhubungan dan tidak seimbang tulisan seseorang di dalam syair atau puisi, pada saat mendengarnya ataupun sesudahnya, beliau tidak pernah memperlihatkan kebencian dan kemarahan. Kadang-kadang beberapa orang yang mendengar terganggu dengan perkataan sia-sia yang menyakitkan hati ini dan saling berbisik satu sama lain mencela [perkataan itu]. Setelah majlis bubar, setiap orang mengeluarkan gejolak hati dan kehendaknya, bahwa betapa ketidaksopanan tengah terjadi. Tetapi pribadi yang merupakan penampakkan sifat halim (lembut) dan syakir (menghargai) Tuhan ini tidak pernah menunjukkan [bahwa perbuatan itu merupakan hal yang tidak sopan] sekalipun hanya dengan isyarat (sindiran). Artinya, Hadhrat Masih Mau’ud tidak pernah mengatakan bahwa seseorang telah mengatakan sesuatu yang buruk sekalipun hanya dengan isyarat.”[7]
Kemudian Syekh Yaqub Ali Irfani menuturkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 29 Januari 1904 :
Datang informasi kepada Hadhrat Masih Mau’ud berkenaan dengan sebuah surat kabar yang berisi caci maki kepada beliau. Beliau bersabda, “Hendaklah bersabar. Apalah artinya caci maki itu. Orang-orang di zaman Hadhrat Rasulullah saw seperti itu, mereka terus menghina beliau dan naudzubillah mereka mengatakan bahwa beliau adalah orang yang tidak baik. Beliau saw tersenyum dan bersabda bahwa apa yang akan saya lakukan terhadap caci maki itu. Allah Ta’ala telah menamai saya Muhammad saw.
[Hadhrat Masih Mau’ud] bersabda, “Demikian pula Allah Ta’ala juga telah mengutusku dan berkenaan dengan diriku Allah Ta’ala berfirman,
yahmadukallohu min ‘arsyihi, yakni Allah Ta’ala memuji engkau dari arasyi-Nya. Wahyu ini terdapat dalam Barahin Ahmadiyah. [8]
Kemudian Hadhrat Syekh Yaqub Ali SahibIrfani menulis, Serangan kotor terhadap Hadhrat Masih Mau’ud itu tidak saja terjadi dengan ucapan, serangan-serangan terhadap jiwa beliau as pun bahkan dianggap belumlah cukup, fatwa-fatwa dan rencana-rencana pembunuhan serta upaya untuk itu juga dianggap belum cukup. Ada fatwa pembunuhan, rencana-rencana untuk itu dibuat, upaya-upayanya pun dilakukan, bahkan tidak hanya itu, melalui surat kabar-surat kabar dan surat-surat pun caci maki dilancarkan.
Tidak cukup sampai di situ, pada umumnya surat-surat itu dikirimkan kepada beliau dengan tanpa prangko, yakni pada surat-surat itu tidak ditempelkan cap pos. Surat-surat itu dikirim melaui pos dan tidak dibubuhi prangko/stempel pos. Jika surat yang tidak dibubuhi prangko/stempel pos datang maka perangko/stempel pos surat-surat yang diterima itu dibayar oleh beliau. Demikianlah orang-orang mengirimkan surat-surat tanpa prangko/cap pos, lalu biayanya pun terpaksa beliau yang membayarkan. Orang pilihan Tuhan ini membayar pajak surat dari kantong beliau sendiri kemudian ketika beliau membuka surat itu maka dari awal sampai akhir isi surat itu tiada lain melainkan caci maki yang kotor dan keji. Untuk perbuatan-perbuatan jahat itu beliau berdoa kemudian beliau memasukkan surat-surat itu kedalam tas.
Pada hari-hari itu Maulwi Muhammad Husein Batalwi telah melampaui batas dalam penentangan terhadap beliau. Tidak merasa cukup dengan cacian dan makiannya, ia lantas menjadikan Sa’idullah Ludhianwi, Ja’far Zatli dan orang-orang lancang lainnnya sahabat dan pembantunya. Mereka melakukan segala macam penghinaan. Tetapi kalam Allah Ta’ala yang berbunyi Inni muhinun man aroda ’ihanataka memberikan ketenangan, beliau menghadapi semua tulisan kotor itu dengan kesabaran sempurna.
Suatu kali pada tahun 1898 dikirim kepada Hadhrat Masih Mauud as. sebuah majalah Maulwi Muhammad Husein yang dipenuhi dengan cacian dan makian. Syeikh Yaqub menerangkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud telah menulis tentang majalah itu dalam surat kabar Al Hakam tanggal 27 Juli 1898. Syekh Yaqub Ali Sahib Irfani mengatakan bahwa sampai sekarang pun, setelah 30 tahun berlalu, ketika saya membaca sambil merenungkan semangat dan keteguhan jiwa serta tawajuh beliau kepada Allah Ta’ala, maka air mata saya menitik dengan sendirinya. Beliau kemudian menulis syair,
Dil me ik dard utha aangkhong me aansu bhar ae hame kiya yad aya
Rasa pilu bangkit di dalam hati, air mata pun bercucuran
Atas apa yang teringat oleh kami
Beliau menulis mengenai peristiwa tanggal 25 Juli 1898 : Ketika seseorang bernama Muhammad Walid dari kaum Cao ghattha, penduduk Hamu ghagar, wilayah Syalkot memberikan majalah Maulwi sahib (Muhammad Husein Batalwi) ke hadapan Hadhrat Masih Mau’ud as, yang dikirimkan Muhammad Husein kepadanya, beliau menuliskan satu kalimat di atasnya. Orang yang membawa majalah itu lalu mengembalikannya, dan itulah yang merupakan jawaban beliau. (Hadhrat Masih Mau’ud menuliskan satu kalimat di atas majalah yang dikirimkan Maulwi Muhammad Husein itu lalu meminta majalah itu dikembalikan). Kemudian Maulwi Abdul Karim Syalkoti membacakan jawaban itu kepada para hadirin. Dan semua orang mengucapkan amiin. Jawaban Hadhrat Masih Mau’ud adalah,
“Robbi in kaana hadzar rojulu shodiqon fii qoulihi fa akrimhu wa in kaana kaadziban fa khudzhu, (Wahai Tuhanku, jikalau orang ini benar dalam perkataannya, maka muliakanlah ia. Dan jika ia pendusta, maka ambillah ia. Aamiin.” Tidak ada hal lain selain itu.[9]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Shahib ra menceritakan, “Chowdri Hakim ‘Ali Shahib mengatakan kepada saya bahwa suatu kali Hadhrat Shahib [Masih Mau’ud] sedang menyampaikan pidato di sebuah masjid yang besar. Seorang Sikh menyusup ke dalam masjid dan berdiri di hadapan Hadhrat Shahib lalu mulai mencaci maki Hadhrat Shahib dan Jemaat beliau dengan cacian yang sangat kotor. Demikianlah ia memulai cacian dan tidak mau berhenti. Hadhrat Masih Mau’ud terus mendengarkannya sambil tersenyum. Saat itu beberapa orang sahabat geram, dan berpikir bahwa seandainya Hadhrat Shahib mengizinkan maka mereka akan mengusir orang itu. Tetapi karena takut kepada beliau, maka semua orang diam saja. Ketika orang itu selesai mencaci dengan kata-kata kejinya, maka Hadhrat Shahib mengatakan, “Dua orang peganglah orang ini dengan lembut dan bawa keluar, tetapi jangan katakan apapun kepadanya. Jika ia tidak pergi, maka serahkan kepada Hakim ‘Ali [untuk membawa pergi].[10]
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra menceritakan, “Hafidz Rosyn Ali mengatakan kepada saya bahwa ketika telah siap untuk membangun Minaratul Masih, orang-orang Qadian mengajukan komplain kepada pemerintah bahwa pembangunan menara itu akan menjadikan rumah-rumah mereka tidak tertutup. Karena itu seorang deputi dari pemerintah datang ke Qadian dan bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud di ruangan di mesjid Mubarak. Saat itu beberapa orang Qadian yang mengajukan keberatan juga datang bersama sang Deputi. Deputi itu terus berbicara kepada Hadhrat Masih Mau’ud. Dalam percakapan itu Hadhrat Shahib mengatakan kepada Deputi, ‘Ini Budhamal (Seorang Hindu yang bernama Budhamal). Silakan Anda tanyakan kepadanya bahwa semenjak masa kanak-kanak sampai saat ini apakah pernah ia berkesempatan memberikan faedah kepada saya dan apakah saya kurang memberikan faedah kepadanya,’ (yakni tidak pernah orang Hindu tersebut sempat memberi manfaat kepada beliau dan beliau tidaklah kurang dalam memberikan manfaat kepadanya, bahkan selalu). Kemudian beliau mengatakan, ‘Tanyakanlah kepadanya apakah pernah saya menyusahkan nya lalu apakah pernah ia tidak menyusahkan saya?’ (yakni manakala ada kesempatan ia selalu memberikan kesusahan kepada Hadhrat Masih Mau’ud, tetapi Hadhrat Masih Mau’ud as selalu membalasnya dengan kebaikan). Hafidz Shahib menerangkan, “Waktu itu saya melihat ke arah Budhamal, karena malu orang itu menundukkan kepalanya dan melihat ke bahwah. Wajahnya memucat. Dan tidak mengatakan sesuatu apapun.[11]
Jika berhadap-hadapan dengan kebenaran seperti demikian, maka di dalam diri seseorang, meskpun ia seorang musuh yang memberikan kerugian, sedikitnya masih terdapat rasa malu dalam dirinya, sehingga ia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Tetapi orang-orang yang memusuhi saat ini sudah sangat rusak akhlaknya. Di dalam diri mereka sedikitpun sudah tidak ada rasa malu.
Hadhrat Syeikh Yaqub ‘Ali shahib Irfani menceritakan, “Pada tanggal 13 Februari 1903 datang seorang dokter dari Luknow. Berdasarkan pengakuannya, ia aslinya berasal dari Bagdad. Dan sudah beberapa lama tinggal di Lucknow. Beberapa orang sahabat mengirimnya ke hadapan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam dengan tujuan untuk mengajukan pertanyaan. Kemudian dimulailah rangkaian tanya jawabnya dengan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Perkataan-perkataannya jahat, menghina, dan lancang. Hadhrat Masih Mau’ud sedikitpun tidak meperdulikan hal itu dan beliau menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Dalam suatu kesempatan pada percakapan itu ia bertanya, “Anda mendakwakan bahwa tidak ada yang lebih fasih dari Anda dalam hal menulis bahasa Arab. (Orang yang bertanya mengatakan bahwa Anda menyatakan tidak ada orang yang bisa menulis bahasa Arab lebih fasih dari Anda). Hadhrat Masih Mau’ud as menjawab, ‘Ya, pendakwaan saya bahwa Allah Ta’ala mengajarkan bahasa Arab kepada saya. Tidak ada yang bisa menulis lebih baik dari saya.’
Atas hal itu, orang tersebut dengan sangat tidak sopan berkata dengan cara yang penuh penghinaan, ‘Dari mulut Anda bahkan huruf “Qof” pun tidak terucap dengan [fasih].’ (Di hadapan Hadhrat Masih Mau’ud ia mengatakan, ‘Anda mengaku bahwa Anda dapat menulis dalam bahasa Arab dengan sangat bagus. tidak ada orang yang dapat melebihi Anda. Tetapi dari mulut Anda bahkan tidak bisa mengucapkan huruf ‘Qof’). Syeikh shahib ‘Ali Irfani mengatakan, “Saya sendiri ada dalam majlis itu. Cara ia berbicara sangat menyakiti. Sedemikian menyakitinya sehingga kami tidak sanggup menahannya.
Tetapi karena kelembutan Hadhrat Masih Mau’ud maka kami diam saja. Namun, Hadhrat Shahibzada Maulana Abdul Latif shahib Syahid ra tidak dapat menahanya. Beliau juga ada dan duduk dalam majlis itu. Seketika beliau berkata kepada orang itu, bahwa ini adalah semangat Hadhrat Aqdas. Pembicaraan sedemikian meninggi (yakni pembicaraan antara Maulwi Abdul Latif Syahid dengan orang itu semakin sengit), diceritakan bahwa hampir-hampir terjadi perkelahian. Hadhrat Masih Mau’ud menghentikanya. Atas hal itu, orang tersebut mengatakan kepada Hadhrat masih Mau’ud bahwa mendengar penghinaan dan cacian adalah warisan para nabi. Hadhrat Aqdas berkata, ‘Aku tidak marah.’. [12]
Ini adalah kerendahan hati (yakni, kerendahan hati dari ku, aku tidak marah atas hal itu. Jika Maulwi Abdul Latif Shahib sedikit marah, itu karena beliau mengeluarkan gejolak di dalam hatinya, tapi kemudian aku mengehentikannya). Beliau kemudian menulis bahwa ketika orang itu menyerang dengan kata-kata tidak bisa mengucapkan huruf ‘qof’, maka Hadhrat Aqdas menjawab, ‘Saya bukanlah orang Luknow yang berlogat Luknowi. Saya ini orang Punjabi. Kepada Hadhrat Musa as juga diajukan keberatan, laa yakaadu yubiin – “Dia tidak pandai menjelaskan atau berbicara.” (az-Zukhruf : 53) dan berkenaan dengan Al-Mahdi pun tertera juga dalam hadis bahwa pada lidahnya ada kesukaran berbicara.’[13]
Setelah peristiwa ini terjadi pada Hadhrat Shahibzada Abdul latif shahib, maka Hadhrat Masih Mau’ud menyampaikan kepada jamaah yang hadir saat itu, “Sesuai dengan pendirian saya, jika ada tamu yang datang walaupun ia melakukan caci maki, maka hendaklah kita memakluminya, karena ia tidak termasuk sebagai murid. Apakah hak kita untuk menuntut penghormatan darinya sebagaimana kita menghendaki penghormatan dari para murid. Hal inipun dipandang sebagai bentuk ihsan kepada mereka, yakni kita berkata-kata dengan lembut. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa ada haq (kewajiban yang harus ditunaikan) atas engkau kepada orang-orang yang melakukan ziarat (kunjungan, bertamu). Aku memandang bahwa jika sedikit saja para tamu mengalami kesedihan, maka itupun termasuk kedalam maksiat.”[14]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad ra. Menceritakan, Mir Syafi’ Ahmad Sahib Muhaqiq Dhelwi menceritakan kepada saya melalui surat, “Ketika kali terakhir Hadhrat Masih Mau’ud as tinggal di Lahore, pada waktu itu saya adalah karyawan Khawaja Kamaludin Sahib. Saya biasa membawa dan menyampaikan surat untuk Hudhur. Di antara surat-surat itu ada beberapa surat tanpa prangko. (Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya surat-surat itu pada umumnya berisi caci maki dan beliau terpaksa menerima surat-surat itu setelah membayar biaya kirim dengan uang beliau). Suatu hari saya mengumpulkan surat-surat yang tidak berprangko itu di depan Khawaja Sahib, maka Khawaja Sahib menghentikan saya, agar saya tidak mengumpulkan surat-surat yang tidak berprangko itu. Saya mengatakan bahwa saya setiap hari mengumpulkannya dan menyampaikannya kepada Hadhrat Masih Mauud as dan Hadhrat Masih Mau’ud as tidak pernah melarang saya.
Kendati demikian, Khawaja Sahib dengan keras melarang saya agar tidak mengumpulkan surat-surat yang tidak berprangko itu. Ketika saya pergi untuk mengantarkan surat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as maka saya menceritakan kepada Hudhur, ‘Hudhur! Hari ini Khawaja Sahib melarang saya mengumpulkan surat-surat yang tidak berprangko itu dengan keras. Maka apakah sekarang juga saya harus berlari untuk mengambilnya ke kantor pos? Hadhrat Sahib tersenyum dan mengataka, ‘Isi surat yang tidak berprangko itu tiada lain melainkan cacian dan makian belaka dan surat-surat itu tidak diberi nama pengirimnya. Jika orang-orang ini menuliskan alamatnya maka kita akan mengetahuinya, tetapi mungkin orang-orang ini takut kalau-kalau kita memperkarakannya. Padahal pekerjaan kita bukan untuk memperkarakan ke pengadilan.’ Setelah hari itu saya kemudian tidak lagi mengumpulkan surat-surat yang tidak berprangko.”[15]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis bahwa Rasul Bibi Shahibah, janda dari Hafidz Hamid Ali Shahib, melalui Maulwi Abdur Rahman Shahib menceritakan kepada saya bahwa kadang-kadang ada orang yang ditunjuk oleh Mirza Nizamuddin Shahib untuk mencaci dan menghina Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaih salam. (Paman Hadhrat Masih Mau’ud as yang berpaling dari Islam, ia menunjuk seseorang untuk mencaci maki dan menghina beliau). Karena itu, kadang-kadang terjadi demikian, yakni sepanjang malam orang itu terus-menerus melancarkan caci makinya. (Orang yang ditunjuk itu, ia berdiri di depan rumah beliau, dan sepanjang malam terus menerus melancarkan caci maki dan hinaan dengan suara yang lantang). Dan ketika masuk waktu sahur, maka Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan kepada Dadi Shahibah, “Sekarang berikanlah beberapa makanan kepadanya, setelah sepanjang malam ia berteriak-teriak mencaci maki mungkin ia lelah. Tenggorokannya mungkin kering.” Dadi shahibah mengatakan kepada Hahdrat Shahib, janganlah hendaknya memberikan apapun kepada orang yang menyedihkan seperti itu. Beliau menjawab, “Jika kita melakukan keburukan, maka tentu Tuhan melihat. janganlah ada dari kita kata-kata [balasan].”[16]
Maulwi Abdul Karim Shahib ra menerangkan, “Di dalam majlis, beliau tidak biasa membahas tentang orang-orang yang memusuhi dan kalaupun dibahas karena suatu hal, maka beliau tidak mengingat mereka dengan nama yang buruk. (Pertama, beliau tidak membicarakan mengenai orang yang memusuhi, dan jika pun ada pembicaraan, maka tidak pernah terjadi bahwa beliau menyebutnya dengan nama yang buruk). Ini adalah bukti yang jelas bahwa di dalam hati beliau tidak ada api [dendam] yang membakar. Jika karena orang-orang yang menyakiti sebegitu rupa dan perlakuan para maulwi, lantas beliau merasakan seperti halnya orang-orang dunia pada umumnya, maka tentu siang malam beliau akan terus bersedih hati. Dan orang-orang yang menyakiti beliau akan dibicarakan di dalam majlis-majlis, beliau akan merasakan kegelisahan dan mengalami gangguan gangguan dalam pekerjaan-pekerjaan beliau.
Tetapi demi Allah, saya katakan bahwa tulisan-tulisan yang kotor itu tidak pernah menimbulkan gangguang terhadap waktu beliau yang berharga. Jika ada orang yang melihat pembahasan tentang caci maki berbahaya itu dalam tulisan, maka barangkali akan berpikiran bahwa mungkin siang malam beliau membicarakan tentang orang-orang yang berbuat kekacauan itu, maka dari itu ditulislah tentang mereka di dalam buku-buku beliau. (Jika ada di dalam tulisan menyinggung mereka terkait dengan suatu hal, maka mungkin terlintas dalam pikiran bahwa siang dan malam di dalam hati beliau terus terpikirkan tentang orang-orang itu. Tidak, tidak pernah seperti demikian) melainkan seperti seorang hakim yang telah selesai dari suatu tugas yang diserahkan kepadanya kemudian ia tidak lagi berhubungan dengan itu suatu vonis atau hukuman dijatuhkan. Seperti itulah yang beliau lakukan, yakni seperti yang dilakukan oleh seorang hakim. Apa saja yang termasuk ke dalam tugasnya, ia memutuskannya. Kemudian setelah itu ia tidak ada hubungan lagi dengan dengan hal tersebut. (Inilah keadaan beliau. Jika terpaksa menuliskan tentang mereka di dalam buku-buku, jika merasa perlu untuk menuliskan tentang mereka, maka belau menuliskannya. Tetapi tidaklah demikian, yakni beliau menyebut-nyebut tentang [apa yang mereka lakukan] terus-menerus di dalam majlis-majlis atau pertemuan-pertemuan). Dan seperti halnya seorang hakim, dalam hal itu tidak ada kehendak dan dorongan pribadi beliau. Begitu juga, di dalam tulisannya, Hadhrat Shahib menyatakan yang batil sebagai bathil dan yang benar sebagai benar. Beliau menulis itu semua karena Allah. (untuk menampakkan kebenaran atau untuk menyatakan suatu yang dusta sebagai kedustaan, serta untuk menjelaskan hakikatnya, beliau menuliskan semua itu demi Allah Ta’ala. Tidak lebih dari itu).
Dalam hal itu tidak ada keinginan pribadi beliau sendiri. Suatu hari beliau bersabda, “Sedemikian rupa aku dapat mengendalikan diriku dan Allah Ta’ala telah menjadikanku seorang muslim yang jika ada seseorang yang sepanjang tahun duduk dihadapanku dan mengucapakan caci maki kotor terhadap diriku, pada akhirnya dialah yang akan merasa malu. Dan terpaksa ia akan berikrar bahwa ia tidak bisa mencabut/ menggeserkan kakiku dari tempatnya.[17]
Hadhrat Mia Basyir Ahmad Shahib ra menulis, “Kebanyakan anggota Jemaat yang lama, mengetahui putra dari paman Hadhrat Masih Mau’ud yang bernama Mirza Imamuddin Shahib dan Mirza Nizamuddin Shahib. Karena ketidakberagamaan dan keduniawian kedua orang ini dengan sangat keras menentang Hadhrat Masih Mau’ud. Bahkan, sebenarnya mereka adalah musuh Islam. Suatu ketika, untuk menimbulkan kerugian bagi Hadhrat Masih Mau’ud alaihi salaam, mereka menutup jalan dari depan rumah Hudhur ke masjid Mubarak dengan membangun dinding tembok. Ini adalah peristiwa yang terkenal. Sebab itu, orang-orang yang hendak menunaikan shalat menjadi kesulitan. Orang-orang yang ingin bermulakat dengan Hadhrat Masih Mau’ud menjadi kesulitan saat datang dan pulang. Beberapa anggota Jemaat terkungkung dalam kesulitan yang luar biasa. Terkungkung dalam musibah yang sangat sulit seolah-olah mereka tahanan. Atas saran dari para pengacara, haruslah ditempuh upaya hukum. Terjadilah proses persidangan yang berlangsung dalam masa yang cukup panjang. Pada akhirnya, sesuai dengan kabar suka dari Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud memperoleh kemenangan dalam persidangan itu, lalu dinding itupun dirobohkan. Pengacara Hadhrat Masih Mau’ud tanpa meminta ijin kepada beliau, bahkan tidak pula memberitahu beliau, telah memutuskan bahwa Mirza Imamuddin shahib dan Mirza Nizamuddin Shahib harus membayar semua pembiayaan, yang karena hal itu turunlah surat perintah penyitaan harta benda mereka. Mereka tidak mempunyai apapun yang dapat diberikan. Meskipun sangat memusuhi, setelah keputusan pengadilan memenangkan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, maka mereka menulis surat dengan memohon-mohon, ‘Mengapa sebagai saudara engkau hendak menghinakan kami dengan penyitaan ini?’ Ketika Hadhrat Masih Mau’ud mengetahui keadaan ini, maka beliau sangat marah terhadap para pengacara, kapankah saya memerintahkan untuk memperkarakan mereka? ini hendaknya segera dikembalikan dan kirim jawaban kepada mereka, bahwa mereka hendaknya tenang, tidak ada penyitaan dan yang lain-lainnya. Semua proses ini di luar pengetahuan saya.[18]
Mengenai peristiwa ini, Hadhrat Khalifatul Masih Tsani ra menulis bahwa Hadhrat Masih Mau’ud’ as pada waktu isya telah diberitahukan oleh Allah Ta’ala melalui ilham atau mimpi bahwa beban ini sangat berat bagi mereka, oleh sebab itu keluarga yang menentang ini menjadi sangat kesusahan. Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan bahwa beliau sama sekali tidak bisa tidur. Karena itu segera beliau mengutus orang yang memberitahukan kepada mereka bahwa mereka dibebaskan dari semua biaya persidangan [yang dijatuhkan kepada mereka]. Tidak ada penyitaan dan yang lain-lainnya.[19]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis, “Saya terangkan bahwa pada zaman Hadhrat Sahib khususnya pada masa-masa awal, orang-orang Qadian menimpakan kesusahan yang luar biasa kepada Jemaat. Mirza Imamuddin Sahib dan Mirza Nizamuddin Sahib serta yang lainnya menghasut penduduk Qadian, khususnya orang-orang Sikh. Mereka memprovokasi orang-orang Sikh. Mereka menimpakan kesusahan luar biasa, khususnya kepada orang-orang Ahmadi atau kepada siapapun yang datang ingin bertemu dengan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam. Mereka menyakiti tidak sebatas hanya dengan perkataan, bahkan sampai melakukan huru-hara dan kekacauan serta penyerangan dan pemukulan. Sampai terjadi pemukulan. Jika ada Ahmadi muhajir yang karena tidak tahu, pergi ke ladang milik seorang tuan tanah untuk buang air besar (orang-orang penduduk kampung kita tahu bahwa disana tidak ada aturan tentang itu) maka orang-orang Sikh itu memaksa agar anggota Jemaat tersebut mengangkat kotorannya dengan tangannya. Beberapa kali orang Ahmadi yang terhormat juga dipukul oleh tangan-tangan mereka. jika ada orang Ahmadi yang mengambil sedikit tanah dalam dhaab, maka orang-orang ini merampas keranjang-keranjang dan cangkul dari para buruh dan mengusir mereka dari sana. Jika ada yang berbicara di depan, maka selain caci maki yang kotor dan keji, mereka juga bersiap untuk memukulnya. Diceritakan bahwa setiap hari pengaduan-pengaduan tentang hal ini selalu sampai kepada Hadhrat Sahib, tetapi beliau selalu mengatakan, ‘Bersabarlah’. Beliau selalu memberikan nasehat, ‘Dengarkanlah caci maki itu. Bahkan jikapun dipukul, cukuplah bersabar.’ Beberapa Ahmadi datang kepada Hadhrat Sahib dan mengatakan, ‘Hudhur! Kami hanya meminti izin untuk melawan mereka, maka kami sendiri yang akan menghadapi mereka.’ Hudhur menjawab, ‘Tidak, bersabarlah.’ Suatu kali Sayyid Ahmad Nur, muhajir dari Kabul, memperlihatkan penderitaannya dan meminta izin, waktu itu beliau dalam keadaan marah. Hadhrat Sahib mengatakan, ‘Dengarlah, jika bisa tinggal di sini dengan aman dan sabar, maka tinggallah di sini. Jika ingin bertengkar dan tidak mampu bersabar, maka pulanglah ke Kabul.’ Karena itulah, sebagai buah dari ajaran ini, orang-orang Ahmadi terhormat yang biasanya karena sedikit kata-kata [hinaan] saja tidak sanggup menanggungnya, mereka menanggung penderitaan dan penghinaan dari orang-orang yang hina dan rendah itu, dan mereka tidak menyebut-nyebutnya. Sekali waktu secara kebetulan seorang Ahmadi miskin menganggkut sedikit tanah untuk rumahnya, maka orang-orang Sikh dan yang lainya membuat sebuah kelompok besar dan mempersenjatai diri dengan tongkat kemudian menyerang rumah Ahmadi yang miskin itu. Awalnya, para Ahmadi ini menghindar tetapi ketika mereka mulai memukuli orang-orang yang tidak bersalah dan mulai merusak rumah juga, maka beberapa Ahmadi akhirnya melawan juga, yang karena itu dari kedua belah pihak ada yang terluka, pada akhirnya para penyerang itu lari. Karena itu, inilah untuk kali pertamanya orang-orang ghair Ahmadi mengetahui bahwa orang-orang Ahmadi itu tidak takut kepada mereka, melainkan kepada Imamnya. Setelah itu, polisi mulai menyelidiki kasus ini dan karena orang Ahmadi yang menjdi korban penganiayaan, dan karena orang ghair Ahmadi membentuk suatu kelompok besar dan mempersenjatai diri dengan tongkat kemudian melakukan serangan terhadap rumah para Ahmadi, maka meskipun bertentangan terpaksa polisi harus meneruskan kasusnya ke pengadilan. Ketika orang-orang itu melihat bahwa sekarang mereka akan diborgol/ditangkap, maka orang-orang mereka berlari mendatangi Hadhrat Masih Sahib dan mengatakan, ‘Kami telah melakukan kesalahan. Hudhur, maafkanlah kami.’ Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud ‘alihi salaam memaafkan mereka.[20]
Hadhrat Yaqub ‘Ali Sahib ‘Irfani menulis, “Dari Mirth, Ahmad Husein Syaukat menerbitkan surat kabar Syahna-e-Hind. Orang ini selalu menyebut dirinya sebagai Mujadid Al-sanatu al-Masyriqiyyah. Dalam penentangannya terhadap Hadhrat Masih Mau’ud, ia menerbitkan sebuah appendix (lampiran) dalam surat kabarnya, yang di dalamnya telah dicetak segala macam artikel kotor untuk penentangan. Hal itu menyakiti hati Jemaat. Khususnya Jemaat di Mirth, mereka tersakiti. Karena dari sanalah surat kabar yang kotor itu diterbitkan. Peristiwa tanggal 2 Oktober 1902, Presiden Jemaat Mirth, Syeikh Abdur Rasyid Sahib, seorang pemilik tanah dan pedagang terkemuka datang [kepada Hadhrat Masih Mau’ud]. Di hadapan Hadhrat Aqdas beliau mengemukakan bahwa beliau berniat untuk memperkarakan artikel-artikel penuh penghinaan dalam appendix Sahna-e-Hind itu ke pengadilan. Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan, ‘Bagi kita, pengadilan Tuhan sudah cukup. Akan termasuk sebagai dosa apabila kita mendahului pengadilan Tuhan. Karena itu, perlulah untuk bersabar dan bertahan.’ (karena merupakan literatur yang sedemikian kotor, maka orang yang mengetahui kekotoran/kekasaran literature itu akan mengatakan bahwa ini harus diperkarakan ke pengadilan).[21]
Kemudian Hadhrat Mirza Basyir Ahmad ra menuliskan sebuah nasehat Hadhrat Masih Mau’ud kepada Jemaat beliau, “Mufti Muhammad Sadiq sahib menerangkan kepada saya bahwa suatu kali Mia Ilahi Din Sahib seorang filsuf bijak yang bahasanya cukup liberal berkata kasar kepada Maulwi Abdul Karim Sahib. Karena itu Mulwi Sahib menjadi marah. Beliau menampar Filsuf Sahib. Karena itu Filsuf Sahib semakin marah dan berkata-kata buruk. Atas hal itu, beberapa orang memukul filsuf. Karena itu, ia berdiri di tengah dan mulai menangis. Suaranya keras sehingga terdengar di telinga Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam. Beliau datang ke mesjid sebelum shalat magrib, nampak tanda kemarahan di wajah beliau dan beliau berjalan mondar-mandir di dalam masjid. saat itu Maulwi Abdul karim Sahib juga ada. Hadhrat Masih Mau’ud mengatakan, memukul seseorang seperti demikian itu adalah perbuatan yang sangat tidak disukai itu adalah perbuatan yang buruk. Maulwi Sahib menceritakan mengenai perlakuan filsuf sahib yang tidak sopan dan sikap liberalnya. Dengan sangat marah beliau menjawab, ‘Bagaimanapun, merupakan hal yang tidak boleh, manakala rasul Tuhan ada di antara kalian, lalu kalian melakukan sesuatu berdasarkan pendapat kalian sendiri. Hendaklah bertanya dulu kepada saya.’ Diceritakan bahwa karena hal itu, Maulwi Sahib menangis dan meminta maaf kepada Hadhrat Shahib lalu setelah itu, semua orang yang melakukan pemukulan pergi dan meminta maaf kepada filsuf yang dipukul. Ia menerima, bahkan tertulis bahwa ia juga memberikan minuman susu dan yang lainnya.[22]
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Wahai semua orang! Dengarlah. Ini merupakan nubuatan Dia yang telah menciptakan langit dan bumi. Ia akan menyebarkan Jemaat-Nya ke seluruh negeri, serta akan menganugerahkan keunggulan kepadanya dari segi hujah dan bukti-bukti. Hari itu datang, bahkan sudah dekat, ketika di dunia hanya ada satu mazhab ini, yang akan dikenang dengan penghormatan. Tuhan akan memberikan derajat yang tinggi dan berkat yang luar biasa dalam mazhab dan Jemaat ini. Setiap orang yang berpikiran untuk menghancurkannya tidak akan berhasil. Kemenangan ini akan bertahan selamanya, sampai hari kiamat. Jika saat ini orang-orang memperolok-olok ku, maka apa pula kerugian bagi ku karena perolokan itu? Tidak pernah ada nabi yang tidak diperolok-olokan. Maka dari itu, pasti Masih Mau’ud juga diperolok-olokan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
Jadi, ini merupakan tanda dari Tuhan, yakni setiap nabi diperolok-olokan. Tetapi orang yang turun dari langit di hadapan semua orang dan malaikat pun bersama degan nya, siapakah yang akan memperolok-oloknya?” (ini adalah pandangan para ghair Ahmadi, bukanya [benar-benar] nabi Isa as akan turun dari langit dan para malaikat akan turun dengan tangan pada pundak beliau. Maksud Beliau adalah, jika turun dengan cara demikian maka siapakah yang akan memperolok-olokan beliau?). “Jadi, dengan dalil ini saja orang bijak akan dapat memahami bahwa turunnya Masih yang dijanjikan dari langit hanyalah khayalan dusta. Hendaklah diingat, tidak akan ada yang turun dari langit. Para penentang kami yang sampai sekarang masih hidup, mereka semua akan mati dan tidak ada di antara mereka yang akan melihat Isa ibnu Maryam turun dari langit. Dan keturunan-demi keturunan mereka akan mati, dan merekapun tidak akan melihat putra Maryam turun dari langit. Kemudian Tuhan akan memasukan ke dalam hati mereka kekhawatiran, yakni kemenangan zaman salib sudah beralu dan dunia telah sampai pada coraknya yang lain, tetapi Isa putra Maryam sampai saat ini tidak juga turun dari langit. Maka orang-orang bijak pada suatu saat akan jemu dengan akidah seperti itu. Dan belum genap 3 abad dari hari ini, orang-orang yang menunggu-nunggu Nabi Isa baik orang muslim maupun Kristen akan berputus asa dan berburuk sangka kemudian akan meninggalkan akidah yang dusta itu. Di dunia ini hanya akan ada satu mazhab dan hanya ada satu pemimpin nya. Aku datang untuk menyemai benih. Maka, benih itu telah ditanam dengan tanganku dan sekarang ia akan tumbuh berkembang dan berbunga. Tidak ada yang bisa menghentikannya.”[23]
Sekarang, yang mengatakan ini kepada orang-orang Ahmadi, mereka berkeberatan. Dan beberapa orang yang lemah tabiatnya termakan oleh perkataan-perkataan orang-orang ghair itu, yakni perkataan, “Sampai kapan kalian akan terus bersabar?”. Pada khutbah yang lalu juga telah saya bahas. Tidak tahu mengapa orang yang menyebut bersimpati kepada kita ini begitu mengkhawatirkan kita? Hendaknya mereka menjaga diri mereka sendiri dan memikirkan kesudahan mereka, jangan sampai kesudahan mereka buruk. Hadhrat Masih Mau’ud as tidak mengatakan bahwa kesulitan-kesulitan dan penentangan-penentangan ini akan sirna dalam waktu singkat, dan sebagian besar dunia dalam waktu 30 atau 4o atau 100 tahun akan menjadi Ahmadi, melainkan beliau bersabda bahwa belum genap tiga abad semenjak hari ini (sumber yang telah beliau tulis ini ada dalam Tadzkiratusy Syahadatain yang ditulis pada tahun 1903, yakni 107 tahun yang lalu).
Saat ini, seraya melewati semua penentangan ini dengan penuh kesabaran dan doa, berkat karunia Allah Ta’ala Jemaat Ahmadiyah telah sampai ke 198 negara. Hari demi hari Jemaat ini terus berkembang dan saat ini kita dapat melihat Jemaat Ahmadiyah di seluruh penjuru dunia. Kemajuan inilah yang menyebabkan orang-orang yang memusuhi menjadi khawatir. Penentangan-penentangan yang sedang meningkat, musuh-musuh yang tengah bertambah, rencana-rencana untuk menentang Jemaat yang sedang meningkat terjadi hanya karena nampak kepada mereka Jemaat terus menyebar. Alhasil, benih yang telah ditanam oleh Hadhrat Masih Mau’ud as ini, sebagaimana dikatakan beliau, benih ini sedang berkembang dan berbuah.
Ya, berdasarkan hukum qudrat, pohon-pohon yang menghijau ranau dan berbuah pun, pada pohon itu terdapat beberapa dahan yang nampak mulai mengering, yang oleh karena itu sang pemilik pohon memotong dan membuang dahan seperti itu. Dahan kering itu tidak berpengaruh terhadap produktivitas buah. Jadi, pohon menghijau ranau yang telah ditanam oleh Hadhrat Masih Mau’ud ini tengah disirami dengan sabar dan doa, serta insya Allah Ta’ala akan terus berkembang dan berbuah. Dahan yang tidak mengambil manfaat dari air itu, keadaannya akan seperti dahan yang mongering dan ia akan terpotong.
Jadi, dalam kondisi dimana penentangan terhadap Jemaat sedang mengencang seperti yang telah saya katakan, penentangan terus bertambah banyak, bahkan di beberapa tempat di negara-negara Afrika, dimana [penentangan] itu telah berkurang, penentangan itu akan dimulai kembali. Sebab itulah, setiap Ahmadi hendaknya meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan sabar dan doa lebih dari sebelumnya, dan menjadi bagian dari pohon yang menghijau ranau, berbunga serta berbuah. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua.
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Barahiin Ahmadiyah, bagian 3, Ruhani Khazain jilid awal, halaman 609-610, Catatan kaki dari catatan kaki nomor 3
[3] Sirat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihi shalatu wa salaam dari Maulana Yakub ‘Ali ‘Irfaani Shahib, Hal. 462-463
[4]Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as, dari Maulana Yakub ‘Ali Shahib ‘Irfani ra, Hal. 463-464
[5] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam, ditulis oleh Syeikh Yaqub ‘Ali Shahib ‘Irfaani ra, hal. 443-444
[6] dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaih shalatu wa salaam, ditulis oleh Syeikh Yaqub ‘Ali ‘Irfaani, hal. 444-445
[7] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as, dari Maulana Andul karm Shahib Syalkoti, halaman 44, penerbit : Abul Fazal Mahmud, Qadian
[8] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as, tulisan Syekh Yaqub Ali Irfani shahib, halaman 450
[9] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam, tulisan Syeikh Yaqub ‘Ali ‘Irfaani ra, hal. 462-463
[10] Siratul Mahdi, jilid awal, bagian awal, hal. 257-258, riwayat nomor 281, Edisi baru, terbitan Rabwah
[11] Siratul Mahdi, jilid awal, bagian awal, hal. 138-139, riwayat nomor 148, edisi baru, terbitan Rabwah
[12] Dikutip dari Siratul Mahdi, bagian awal. Hal. 138-139, riwayat nomor 148. Edisi baru, terbitan Rabwah
[13] “Dan Firaun mengumumkan kepada kaumnya dengan berkata, ‘Hai, kaumku! Bukanlah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan sungai-sungai ini mengalir dibawahku? Maka apakah kamu tidak melihat? Bukankah aku lebih baik daripada orang yang hina ini (yang dimaksudnya ialah Nabi Musa as) dan ia tidak dapat menjelaskan?’” (Surah az-Zukhruf; 43 : 52-53)
Diriwayatkan dari Abu ath-Thufail bahwa Rasulullah Saw. Menyebutkan mengenai sifat al-Mahdi, عن أبي الطفيل أن رسول الله :(( وصف المهدي فذكر ثقلا في لسانه, وضرب بفخذه اليسرى بيده اليمنى إذا أبطأ عليه الكلام, اسمه اسمي, واسم أبيه اسم أبي )) ‘Washafa al-Mahdi wa dzakara tsaqilan fi lisanihi wa dharaba bifakhidzihil yusra bi yadihil yumna idza Abtha’a ‘alaih al-Kalam..’ “Ia sukar berbicara, dan memukul paha kirinya dengan tangan kanannya bila ia mengalami kesulitan dalam berkata-kata…” Hadis ini diriwayatkan oleh Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab al-‘Arf al-Wardi fii Akhbaril Mahdi (Tradisi Indah berkenaan dengan kabar-kabar tentang al-Mahdi) hadits nomor 136, yang sanadnya ia hubungkan dengan Na’im bin Hammad, dan termasuk hadis yang disebutkan oleh Ibn Hajar al-Makki al-Haitami dalam ‘Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazhar (Kata-kata ringkas tentang tanda-tanda al-Mahdi yang ditunggu): Yudhribu Fakhidzah al-Yusra bi Yadih al- Yumna idza Abtha’a ‘alaih al-Kalam.
Dalam sebuah hadis lainnya tentang Imam Mahdi, disebutkan bahwa, “Setiap ia ingin berbicara, lidahnya terasa berat. Kemudian ia memukul pahanya, dan meluncurlah ucapan-ucapannya…” Yakni bahwa Imam Mahdi sulit berbicara, lalu memukul pahanya, dan meluncurlah berbagai hikmah darinya. Teks ini terdapat di dalam manuskrip tulisan-tangan yang tersimpan di Dar al-Kutub al- Mishriyyah dengan judul Kullu Ma Utsira fi Akhbar al-Mahdi al-Muntazhar yang disusun oleh ‘Allamah Ibn Hajar al-Asqallani, dengan nomor 944/Turats.
[14] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as., tulisan Syeikh Yaqub ‘Ali Sahib ‘Irfani ra, hal. 451-453.
Hadits yang dimaksud diatas tercantum dalam Shahih Bukhari, tentang puasa Ramadhan, bab haqqul jismi fish shaum (hak tubuh atas puasa), nomor 1975. وَ اِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا Orang yang berkunjung kepadamu mempunyai haq yang harus kamu tunaikan.
[15] Dikutip dari Siratul Mahdi jilid awal, Bag 2, riwayat nomor 455, hal. 434, edisi baru terbitan Rabwah.
[16] Siratul Mahdi jilid 2, bagian 4, riwayat nomor 1130, hal 102, Edisi Baru, Terbitan Rabwah
[17] Dikutip dari Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as danri Maulana Abdul Karim ra shahib Syalkoti, hal. 51-52, Penerbit Abul Fazl Mahmud Qadian
[18] Dikutip dari Sirat Thayibah Hadhrat Mirza Basyir Ahmad ra Shahib MA, Hal. 59-60, Cetakan Ziaul Islam Press
[19] Dikutip dari Tarikh Ahmadiyat, Jilid 2, hal 81, Terbitan Rabwah
[20] Dikutip dari Siratul Mahdi, jilid awal, bagian awal, Riwayat nomor 140, halaman 129-131, Terbitan Rabwah
[21] Dikutip dari Sirat Hadrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam, tulisan Syeikh Yaqub ‘Ali Sahib Irfani ra, hal. 113-114
[22] Dikutip dari Siratul Mahdi, bagian 2, jilid awal, Riawayat nomor 437, hal. 394-395, Terbitan Rabwah
[23] Tadzkiratusy Syahadatain, Ruhani Khazain jilid 20, hal. 66-67