Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 02 Februari 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم
حم ()
تَنزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ()
غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ ()
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ()
Terjemahan dari ayat-ayat yang saya tilawatkan ialah sebagai berikut: “Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Haa Miim (Hamiid) Maha Terpuji, (Majiid) Maha Mulia. Diturunkan kitab ini dari Allah, Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui. Ghaafirudz dzanb (Pengampun dosa) dan Qaabilit taub (Penerima taubat), Syadiidul ‘iqaab (keras menghukum), Dzith Thaul (Yang mempunyai kelimpahan karunia). Tiada Tuhan selain dia. Kepada-Nya-lah tempat kembali.” (Surah al-Ghaafir atau Al-Mu-min, 40:1-4)
Ayat selanjutnya ialah ayatul Kursi dari Surah al-Baqarah: “Allah, tiada yang layak (berhak) disembah selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Tegak atas Dzat-Nya Sendiri dan Penegak segala sesuatu. Kantuk tidak menyerang-Nya dan tidak pula tidur. Kepunyaan Dia-lah apa yang ada di seluruh langit dan apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat menghadap kehadapan-Nya, kecuali dengan izin-Nya? Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka; dan mereka tidak meliputi barang sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki. Ilmu-Nya meliputi seluruh langit dan bumi; dan tidaklah memberatkan-Nya untuk menjaga keduanya; dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar.” (Surah al-Baqarah, 2:256)
Di dalam ayat-ayat ini disebutkan sebagian dari sifat-sifat Allah, keluhuran-Nya dan keagungan-Nya. Pentingnya ayat-ayat ini kita dapati dalam sabda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini diceritakan oleh Hadhrat Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, مَنْ قَرَأَ حم المُؤْمِنَ إِلَى {إِلَيْهِ المَصِيرُ} [غافر: 3] وَآيَةَ الكُرْسِيِّ حِينَ يُصْبِحُ حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ قَرَأَهُمَا حِينَ يُمْسِي حُفِظَ بِهِمَا حَتَّى يُصْبِحَ “Siapa yang membacakan dari ‘Ha Mim’ – sampai ke – ‘ilaihil mashiir’ dari Surah Al-Mu’min dan Ayatul Kursi di pagi hari, dia akan terlindungi melalui sarana kedua hal itu sejak pagi itu sampai petang hari itu, dan siapapun yang membacanya di petang hari, dia akan terlindungi dari malam itu sampai pagi hari.”
“Ha Mim” dalam Surah ini adalah ayat kedua dari Surah al-Mu’min, sedangkan ayat yang pertama adalah bi-smi llāhi r-Raḥmāni r-Raḥīm. Anda sekalian pernah mendengar terjemahan ‘ar-Rahmaan’ dan ‘ar-Rahiim’. ‘Ha Mim’ ialah termasuk huruf-huruf Muqaththa’aat. Itu berarti “Hamiid” dan “Majiid”.
Hamiid berarti Yang Maha Terpuji, Siapa saja yang pantas mendapat pujian sejati. Dengan kata lain, hanya Allah, Yang patut dipuji. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam bersabda menjelaskan kata ‘al-hamdu’: “اعلمْ أن الحمد ثناءٌ على الفعل الجميل لمن يستحق الثناء، ومدحٌ لمنعِمٍ أنعمَ من الإرادة وأحسنَ كيف شاء. ولا يتحقق حقيقةُ الحمد كما هو حقُّها إلا للذي هو مَبْدَأٌ لجميع الفيوض والأنوار، ومُحسِنٌ على وجه البصيرة، لا مِن غير الشعور ولا من الاضطرار، فلا يوجد هذا المعنى إلا في الله الخبير البصير، وإنه هو المحسن ومِنْه المِننُ كلها في الأول والأخير، وله الحمد في هذه الدار وتلك الدار، وإليه يرجع كلُّ حمد يُنسَب إلى الأغيار.” “Ketahuilah, الحمد ‘al-hamdu’ adalah pujian atas perbuatan indah yang patut dipujikan; dan juga pujian atas seseorang yang telah memberi hadiah-hadiah yang diberikannya dengan kehendak sendiri dan berbuat baik atas keinginannya sendiri. Dan tidak terbukti hakikat ‘al-hamdu’ sesuai haknya kecuali bagi Dia yang menjadi Sumber segala fuyuudh (karunia) dan semua nur; senantiasa memberikan ihsaan (kebaikan) atas dasar sebab bashirah; bukan berasal dari tanpa kesadaran pengetahuan ataupun karena keterpaksaan; maka dalam makna ini takkan dapat ditemukan kecuali pada Allah, Al-Khabiir (Maha Mengetahui) dan Al-Bashiir (Maha Melihat). Dan sesungguhnya Dia adalah Al-Muhsin (Maha Baik, Pemberi Kebaikan dan Anugrah). Dari Dia-lah segala karunia dari awal hingga akhir. Bagi Dia-lah segala puji di tempat ini (dunia) maupun di tempat itu (akhirat nanti). Semua pujian yang diberikan kepada [makhluk] yang lain, berpulang kembali kepada-Nya.”
Itu artinya, jika ada selain Dia dipuji maka itu sesungguhnya berasal dari karunia Ilahi yang menjadikannya pantas dipuji atau membuatnya kokoh melakukan perbuatan yang pantas dipuji sebab Allah Ta’ala-lah yang mengaruniakannya taufik untuk berbuat sesuatu yang menjadikannya dipuji.
Kemudian beliau as menjelaskan kalimat ‘al-hamdu’ ini lebih lanjut, [الْحَمْدُ للهِ]
هو الثناء باللسان على الجميل للمقتدر النبيل على قصد التبجيل، والكامل التام من أفراده مختصٌّ بالرب الجليل، وكل حمدٍ من الكثير والقليل، يرجع إلى ربنا الذي هو هادي الضال ومُعِز الذليل، وهو محمود المحمودين. ‘al-hamdu lillaahi, huwats tsanaa-u bil lisaani ‘alal jamiili lil muqtadirin nabiili ‘alaa qashdit tabjiil, wal kaamilit taami min ifraadihi mukhtashshun bir Rabbil Jaliil, wa kullu hamdin minal katsiiri wal qaliil, yarji’u ilaa Rabbinaa lladzii huwa Haadi dh-dhaalli wa mu’izidz dzaliil, wa huwa mahmuudul mahmuudiin’ – “[Al-hamdu lillaah] adalah pujian dengan lisan yang diberikan dengan niat sebagai pemuliaan kepada Yang Maha Berkuasa lagi Maha Mulia atas segala perbuatan-Nya yang baik. Pujian yang sempurna adalah hak khusus bagi Rabb al-Jaliil (Tuhan Yang Maha Perkasa); setiap pujian, baik yang banyak maupun yang sedikit; kembali kepada Tuhan kita, Yang memberi petunjuk kepada mereka yang tersesat; memuliakan mereka yang rendah; dan Yang Maha Terpuji dari segala yang terpuji.” Itu berarti bahwa mereka yang patut dipuji, semua sibuk dengan memuji-Nya.
Kemudian beliau as menulis, “في لفظ ‘الحمد’ إشارة أخرى وهي أن الله تبارك وتعالى يقول أيها العباد اعرفوني بصفاتي، وتعرّفوني بكمالاتي، فإني لست كالناقصين، بل يزيد حمدي على إطراء الحامدين، ولن تجد محامدًا لا في السماوات ولا في الأرضين إلا وتجدها في وجهي، وإن أردتَ إحصاء محامدي فلن تحصيها، وإن فكّرتَ بشقّ نفسك وكَلِفْت فيها كالمستغرقين. “Ada indikasi lainnya di dalam kata [الْحَمْدُ للهِ] ‘al-hamdu’, yakni Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai hamba-hamba-Ku, ketahuilah Diri-Ku melalui sifat-sifat-Ku dan kenalilah Aku dengan melalui kesempurnaan-Ku. Aku sama sekali tidak memiliki cacat maupun kekurangan. Segala puji bagi-Ku jauh melebihi batas pujian tertinggi yang dapat diungkapkan oleh mereka yang memuji-Ku. Kalian tidak akan menemukan sesuatu pujian di langit maupun di bumi ini yang tidak ada di dalam Wujud-Ku. Seandainya engkau mencoba dengan sekuat tenaga dan derita untuk menghitung-hitung kesempurnaan-kesempurnaan-Ku, engkau tak akan sanggup menyelesaikannya.
فانظر هل ترى مِن حمد لا يوجد في ذاتي؟ وهل تجد من كمال بُعِّدَ مني ومن حضرتي؟ فإن زعمت كذلك فما عرفتني وأنت من قوم عمين. بل إنني أُعرَف بمحامدي وكمالاتي، ويُرَى وابلي بسُحُبِ بركاتي، “Carilah dengan teliti apakah engkau menemukan satu saja sifat terpuji yang tidak ada pada Diri-Ku? Apakah engkau juga menemukan kesempurnaan yang jauh dari-Ku dan bukan daripada-Ku? Jika pun engkau sangka menemukannya, artinya engkau tidak mengenali-Ku dan engkau buta (pandangan engkau kabur). Aku dapat dikenali melalui keterpujian dan kesempurnaan-Ku. Betapa awan tebal yang menjenuh adalah disebabkan karunia-Ku, yang menunjukkan keberkatan-Ku yang tak terhingga.”
فالذين حسبوني مستجمِعَ جميعِ صفات كاملة وكمالات شاملة، وما وجدوا من كمال وما رأوا من جلال إلى جولانِ خيال، إلا ونسبوها إليَّ، وعزوا إليّ كل عظمة ظهرت في عقولهم وأنظارهم، وكلَّ قدرة تراءت أمام أفكارهم، فهم قوم يمشون على طرق معرفتي، والحق معهم وأولئك من الفائزين. “Mereka yang beriman kepada-Ku disebabkan memahami segala sifat dan kesempurnaan-Ku apapun kesempurnaan dan keagungan yang dapat mereka temukan atau bayangkan hingga ke tingkatan yang tertinggi, lalu mengaitkannya kepada Diri-Ku, bahwa setiap keagungan yang ada di dalam pikiran atau setiap kekuatan yang tercetus di dalam pikiran adalah berpulang kepada Diri-Ku, mereka itulah yang menapaki jalan menuju ke arah pengenalan Diri-Ku. Mereka telah memperoleh Kebenaran dan mereka itulah orang-orang yang berhasil.”
فقوموا، عافاكم الله، واستقرِئوا محامده عزَّ اسمه، وانظروا وأمعِنوا فيها كالأكياس والمتفكرين. واستنفِضوا واستشِفّوا أنظاركم إلى كل جهة كمال وتَحسَّسوا منه في قَيْض العالم ومُحِّه، كما يتحسس الحريص أمانيه بشُحّه، فإذا وجدتم كماله التام وريّاه، فإذا هو إيّاه، وهذا سرّ لا يبدو إلا على المسترشدين. Maka, bangkitlah! Semoga Allah memaafkanmu. Segeralah membaca (mencari-cari) sifat-sifat Tuhan Dzul Jalaal (Pemilik Keagungan) dan renungkanlah dalam-dalam sebagaimana para ahli pikir melakukannya. (Renungkanlah itu. Dengan mengetahui sifat al-Hamiid, maka akan mengetahui sifat-sifat-Nya yang lain.) Carilah dengan sebaik-baiknya (teliti) dan pandanglah setiap segi kesempurnaannya. Carilah baik yang lahir maupun yang batin di alam semesta ini seperti seorang yang penuh hasrat memburu sesuatu yang diinginkannya. Maka, manakala engkau telah memahami kesempurnaan-Nya dan mulai mencium wangi kesturi Ilahi seolah-olah itulah tanda engkau telah menemukan-Nya dan inilah rahasia sedemikian rupa yang hanya terlihat oleh para pencahari hidayat (petunjuk Ilahi).”
فذلكم ربكم ومولاكم الكامل المستجمِع لجميع الصفات الكاملة، والمحامد التامة الشاملة، ولا يعرفه إلا من تدبر في الفاتحة، واستعان بقلب حزين. وإن الذين يُخلصون مع الله نيّةَ العقد، ويعطونه صفقة العهد، ويُطهّرون أنفسهم من الضغن والحقد، تُفتح عليهم أبوابها فإذا هم من المبصرين.” “Jadi, inilah Dia Rabb (Tuhan) kalian dan Junjungan kalian, Yang Maha Sempurna, Pemilik kumpulan segala sifat dan pujian yang sempurna. Seseorang yang dapat mengenal-Nya yaitu yang mempelajari dalam-dalam Surah Al-Fatihah dan yang memohon pertolongan Tuhan dengan hati yang pedih dan resah. Mereka yang saat mengikat perjanjian kepada Allah disertai dengan niat yang penuh keikhlasan dan berjanji baiat kepada-Nya; membersihkan jiwa (pikiran)nya dari segala macam kebencian dan dendam (pengaruh dan pikiran buruk), akan dibukakan baginya pintu gerbang Surah ini dan seketika pula ia akan menjadi shahibi bashirah (pemilik pandangan yang melihat dengan cahaya rohaniah).”
Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia adalah ‘al-Majiid’, yaitu Pemilik Kemuliaan dan Keperkasaan. Pengertian kemuliaan ini bukan seperti yang dalam bahasa kita (Urdu) sifatkan kepada orang saleh atau orang yang berusia lanjut. Melainkan, makna dari kemuliaan Allah ialah Dia yang layak dipuji ialah yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Tidak ada satu pun yang melangkahi Keagungan-Nya. Faidh-faidh (aliran berkah dan karunia) dari-Nya tidak ada batasnya. Dia Yang tidak berhenti memberi karunia, tidak berlebihan dan tidak kurang. Saat membaca ayat ini, kita harus merenungi makna al-Hamiid dan al-Majiid.
Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia adalah ‘al-Aziiz’, Yang Maha Perkasa. Dengan kata lain, Dia memiliki kekuatan dan lebih kuat dari pada semua yang hebat. Tidak mungkin mengalahkan Dia. Setiap kehormatan adalah miliknya. Kebesaran-Nya tak terukur. Dia dominan atas semua hal dan tidak ada yang bisa menjadi seperti Dia. Inilah arti ‘Aziz’, Yang Maha Perkasa.
Setelah ini, Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia adalah ‘al-Aliim, Yang Maha Mengetahui. Dia memiliki pengetahuan tentang segala hal; yang telah terjadi dan yang belum terjadi di masa depan. Tidak ada yang tersembunyi dari Dia dan pengetahuan-Nya benar-benar mencakup segalanya dengan cakupan yang sempurna. Inilah Dia Tuhan yang menuruhkan Kitab ini, yaitu Al-Qur’an yang mulia, Syariat terakhir. Di dalamnya, Dia menyediakan setiap keperluan setiap zaman; dan sekarang setiap jenis perlindungan dan keunggulan terjadi pada hakikatnya sebagai hasil pengamalan terhadap kitab itu.
Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia adalah Ghaafirudz dzanb, Pemberi ampunan terhadap dosa yaitu Dia mengampuni dosa. Oleh karena itu, seseorang harus dengan tunduk kepada Dia, meminta pengampunan atas dosa-dosanya. Hadhrat Masih Mau’ud as banyak menjelaskan tema ini. Istighfar harus dilakukan terus-menerus. Beliau menguraikan: “Cahaya, yang dianugerahkan kepada seseorang, bersifat sementara. (cahaya keagamaan atau cahaya keruhanian yang diperoleh oleh seseorang itu terbatas waktu, sementara.) Untuk menjaga dan mempertahankan cahaya itu selamanya, Istighfar, diperlukan. Penyebab para Nabi senantiasa beristighfar ialah mereka selalu memahami hal-hal ini dan takut bila jubah nur yang dianugerahkan kepada mereka diambil (dicabut).”
Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Makna istighfar adalah seseorang menjaga keberadaan cahaya yang telah ia peroleh dari Allah Ta’ala, bahkan membuatnya bertambah bercahaya. Wasilah-wasilah (sarana-sarana) mencapai hal itu ialah shalat lima waktu, (shalat lima waktu ialah juga sarana meraih maghfirat dan nuur [cahaya] karena seseorang beristighfar dalam shalatnya juga.) supaya orang yang shalat meminta cahaya itu dari Allah setiap hari sembari membukakan hatinya di hadapan Allah. Siapa yang mempunyai bashirah akan paham bahwa shalat ialah mi’raaj. Shalat ialah doa yang penuh tadharru’ dan ibtihaal yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Artinya, ia memerlukan doa-doa demi keselamatan dari setiap jenis penyakit ruhiyah dan jasadiyah. Diantara doa-doa ialah jenis istighfar. Shalat juga mengandung bagian istighfar di dalamnya. Ketika Nabi mewasiyatkan supaya membaca ayat-ayat ini maka itu bukanlah artinya hanya membaca saja sudah cukup tanpa beramal melainkan suatu keharusan bagi mereka untuk memperbaiki keadaan perbuatan dan perhatian akan istighfar serta menjaga shalat-shalat sehingga mereka terjaga.
Makna istighfar ialah supaya seseorang tidak melakukan sesuatu yang jelas-jelas dosa dan supaya kekuatan dosa tidak tampak. (artinya, kesempatan dan kekuatan yang memungkinkan seseorang melakukan dosa tidak muncul.)
Inilah hakikat istighfar para Nabi yang membuat mereka benar-benar ma’shuum (terlindungi dari berbuat dosa) namun mereka beristighfar supaya kekuatan-kekuatan itu tidak muncul di masa mendatang. Ada pun bagi umumnya manusia, makna lainnya ialah mereka meminta diselamatkan dari akibat dosa, yaitu semoga Allah Ta’ala berkenan menyelamatkannya dari dampak-dampak keburukan kejahatan dan dosa yang dilakukan sebelumnya, mengampuninya dan menyelamatkannya dari melakukan dosa di masa mendatang.
Ringkasnya, setiap orang harus terus beristighfar. Bala bencana dalam berbagai jenis yang datang di dunia seperti kelaparan, kecemasan dan lain sebagainya menjadi maksud darinya supaya manusia selalu perhatian untuk beristighfar. (Ketika seseorang ditimpa musibah, atau ketika para Ahmadi mengalami musibah, hendaknya mereka menaruh perhatian pada doa-doa dan istighfar.) Namun, maksudnya bukanlah sekedar secara lisan merapalkan, ‘astaghfiruLlah! astaghfiruLlah!” saja, melainkan yang benar ialah hakikat istighfar masih tersembunyi bagi orang-orang karena itu berasal dari bahasa asing. Orang-orang Arab memahami sekali hal-hal ini. Namun, di negeri kita masih banyak yang masih tidak mereka pahami karena mereka tidak memahami bahasa Arab. Ada banyak orang yang berkata, ‘Kami beristighfar sejumlah sekian kali.’ Atau ‘Kami bertasbih 100 kali atau 1000 kali.’ Tapi, jika Anda tanyai mereka soal makna istighfar, niscaya mereka akan keheranan (tidak paham). Seseorang hendaknya terus beristighfar di dalam hatinya secara hakiki supaya ia tidak menghadapi dampak-dampak perbuatan yang mengarahkannya melakukan maksiat dan kejahatan; dan dalam rangka meminta naungan perlindungan dari Allah senantiasa, supaya Dia memberinya taufik mengamalkan kebaikan-kebaikan di masa mendatang dan menyelamatkannya dari berbuat maksiat.
Ingatlah bahwa hanya kata-kata saja itu tidak ada manfaatnya. Anda sekalian boleh beristighfar dalam bahasa sendiri juga supaya Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu, menyelamatkannya dari melakukan dosa-dosa di masa mendatang dan memberikan taufiq berbuat kebaikan-kebaikan. Inilah istighfar sejati. Seseorang tidak perlu hanya merapalkan ‘astaghfiruLlah! astaghfiruLlah!” saja secara ucapan mulut, sementara hati tetap lalai. (Jika seseorang telah beristighfar secara lisan tapi tidak timbul kelembutan, keprihatinan, semangat dan takut terhadap Allah Ta’ala serta gentar dengan-Nya; maka itu tidak berfaedah. Ia harus menimbulkan sesuatu semangat keharuan di dalam hatinya.)
Ingatlah senantiasa bahwa yang sampai kepada Allah ialah yang diucapkan dari hati. Maka dari itu, banyak-banyaklah berdoa dalam bahasa sendiri karena hal itu amat berpengaruh dan berkesan di hati. Ucapan ialah saksi terhadap hati saja. Namun, bila semangat timbul di hati dan diiringi dengan ucapan secara lisan juga berkaitan dengan itu. Jika tidak, maka doa-doa dengan lisan saja tanpa diiringi hati yang mendukungnya maka itu akan sia-sia. Sebab, doa hakiki ialah yang asli berasal dari hati. Jika seseorang terus menerus berdoa sebelum datangnya musibah-musibah (cobaan-cobaan) dan beristighfar, niscaya ia akan mendapati Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Mulia dan Dia serta Dia akan melepaskan kesengsaraannya itu.”
(Bukanlah berdoa saat datangnya musibah lalu bala musibah disingkirkan melainkan sebelum menghadapi musibah seseorang harus terus berdoa dan beristighfar. Jika ia melakukannya, Allah Ta’ala melindungi dia pada saat pencobaan dengan kasih sayang dan kemurahan-Nya.) “Jika bala musibah sudah tengah datang maka tidak dapat disingkirkan. Maka dari itu, ada keharusan bagi seseorang untuk terus berdoa dan banyak-banyak beristighfar sebelum datangnya musibah dan penyingkirannya. Dengan demikian, Allah Ta’ala melindunginya saat terjadi bala musibah.”
Suatu keharusan bagi Jemaat kami untuk berpijak secara istimewa dibanding orang-orang selain mereka. Jika seseorang telah berbaiat dan belum berbuat yang lebih istimewa dibandingkan sebelumnya seperti memperlakukan istrinya sama dengan saat sebelum baiat; memperlakukan keluarganya dan anak-anaknya sama saja seperti sebelumnya maka hal ini bukanlah suatu keistimewaan. Jika akhlak buruk dan kelakuan buruk masih tetap saja berlangsung setelah seseorang baiat, apa manfaat baiat?
Seorang yang berbaiat harus menjadi teladan bagi orang-orang non Ahmadi, karib kerabatnya dan para tetangganya sampai-sampai mereka berkata, ‘Ia tidak sama seperti sebelumnya yang dulu.’ Ingatlah baik-baik! Jika kalian berperilaku demikian dari kedalaman lubuk hati dan niat maka ru’ub (kewibawaan yang menggentarkan hati orang lain) dalam diri kalian akan berpengaruh pada orang-orang selain kalian (non Jemaat). Sebagaimana ru’ub Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam amat agung. Suatu ketika orang-orang kafir menyangka beliau saw akan berdoa buruk bagi mereka. Mereka pun datang kepada beliau, mengerumuni beliau dan memegangi beliau memohon agar jangan berdoa buruk terhadap mereka. Tidak diragukan lagi bahwa seorang yang benar mempunyai ru’ub. Seseorang hendaknya beramal dengan kejernihan, kesucian dan demi ridha Allah Ta’ala semata sehingga akan berpengaruh kesan dan ru’ub kalian terhadap orang-orang selain kalian.”
Suatu keperluan untuk melakukan istighfar dan memahami inti pokoknya. Dzikr Ilahi dan doa-doa bermanfaat bagi seseorang jika ia mengiringinya dengan perbaikan keadaan amal perbuatannya. Sebagian kalangan meminta agar doa-doa kecil yang biasa ia wiridkan dia beritahukan kepada orang-orang. Maka, ketahuilah doa-doa kecil juga tidak akan bermanfaat selama fardhu-fardhu tidak ia tunaikan. Lakukanlah shalat-shalat pada waktunya secara disiplin, perhatian dan penuh kecintaan; hal mana itu akan membuat dzikr-dzikr Anda sekalian bermanfaat bagi Anda.
Dalam ayat tersebut juga disebutkan sifat Allah ‘Qaabilit taub’, Yang menerima pertobatan. Taubah arti seseorang kembali kepada Allah sembari memohon pengampunan atas dosa-dosanya. Pada saat itu seseorang menghadirkan dirinya di hadapan Allah sembari berjanji untuk tidak pernah berbuat dosa lagi dan selalu berusaha untuk melindungi diri dari melakukan perbuatan jahat. Dengan melakukan demikian, Allah menerima pertobatan orang seperti itu yang menghadap kepada-Nya dengan perasaan dan niat yang seperti ini.
“Tahukah Anda sekalian hari apakah itu, yang kedudukannya jauh lebih baik dan lebih penuh berkah dibanding hari Jumat dan kedua Hari Id juga? Sekarang saya beritahu itu ialah hari bertaubat manusia yang mana hari itu lebih baik dari hari-hari dan dari setiap hari Id. Mengapa? Sebab, pada hari itu, dicuci bersih sampai terhapus, catatan semua perbuatan dosa yang dapat menjerumuskan manusia kedalam Jahannam selangkah demi selangkah dan membawa manusia kedalam kancah kemurkaan Ilahi; dan semua dosa-dosanya dimaafkan. Hari apakah yang akan menjadi lebih membahagiakan dan menjadi hari raya bagi manusia selain hari yang pada hari itu memberinya keselamatan dari Neraka Jahannam dan dari kemurkaan Allah Ta’ala yang kekal-abadi?
Orang berlumuran dosa yang kemudian bertaubat dan sebelumnya ia jauh dari Allah Ta’ala dan telah menjadi sasaran Kemurkaan-Nya, sekarang dengan karunia-Nya ia menjadi dekat kepada-Nya setahap demi setahap dan ia telah dijauhkan dari neraka dan azab sebagaimana firman Allah Ta’ala, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Sesungguhnya Allah mencintai (menjadi sahabat) mereka yang banyak bertaubat dan Dia mencintai orang-orang yang menjaga kebersihan dirinya (orang-orang yang bersih dari pada dosa-dosa).” (Al Baqarah ayat 223). Dengan jelas dalam ayat ini tidak hanya dikatakan, ‘Allah Ta’ala menyintai orang-orang yang bertaubat’, melainkan Dia menegaskan juga bahwa penyucian diri dan kesucian hakiki ialah syarat yang mengiringi taubat sejati.” (Taubat hakiki mengharuskan kesucian hakiki. Seseorang yang bertaubat bertekad tidak akan melakukan dosa di masa mendatang. Jika tidak demikian, taubatnya tidak akan diterima tanpa penyucian dan kesucian diri.)
“Pembersihan diri dari setiap jenis kekotoran dan ketidaksucian juga termasuk syarat. Jika tidak demikian, hanya sekedar berkomat-kamit mengucapkan kalimat taubat tidak akan bermanfaat apa-apa. Pada hari yang menjadi berkat dengan bertaubatnya seseorang di dalamnya dari segala keburukan-keburukan dan mengadakan sebuah perjanjian dengan Allah Ta’ala untuk shulh (damai) yang benar, menundukkan kepada pada perintah-perintah-Nya; maka tidak syak lagi bahwa ia akan diselamatkan dari adzab yang menakutkannya sebagai hasil perbuatan buruknya. Dengan begitu, ia meraih setiap hal yang belum ia alami.
Anda dapat memperkirakan betapa bahagianya seseorang yang memperoleh apa-apa yang ia cari-cari setelah bersusah payah mendapatkannya. Hatinya akan memperoleh kehidupan baru karena hal itu. Hadits-Hadits menyebutkan hal ini. Dari Hadits-Hadits dan Kitab-Kitab kuno menyebutkan bahwa ketika seseorang keluar dari kematian dosa dan memperoleh kehidupan baru melalui taubat, Allah Ta’ala akan bergembira dengan kehidupan orang itu. Hal ini menjadi penyebab kebahagian secara hakiki bahwa seseorang kembali kepada Allah Ta’ala pada suatu waktu dengan bertaubat dari dosa-dosa dan kemungkaran-kemungkaran semuanya yang menjadi penyebab jauhnya ia dari Allah Ta’ala. Sebelumnya ia telah bergelimang dalam dosa. Kehancuran dan kematiannya mendekat dari segala arah dan adzab Ilahi telah siap memakannya.”
“Pada hari [pertaubatan sang hamba] itu, Allah Ta’ala berbahagia dan para malaikat juga berbahagia karena Allah Ta’ala tidak menghendaki hamba-hamba-Nya hancur dan binasa melainkan Dia menginginkan hamba-hamba-Nya untuk masuk ke dalam kedamaian dengan bertobat jika telah timbul dosa dan kelemahan darinya.
Ketahuilah! Hari yang mana manusia bertobat dari dosa-dosanya adalah hari yang amat penuh keberkahan. Hari itu lebih baik dari semua hari karena pada hari itu ia memperoleh kehidupan baru dan kedekatan dengan Allah. Dari segi ini, hari ini, yaitu hari pembaiatan, (pada hari baiat, setiap orang yang berbaiat berikrar, ‘astaghfiruLlaha Rabbii min kulli dzanbin wa atuubu ilaihi – hamba memohon ampunan dari Tuhan hamba dan bertaubat kepada-Nya.’ Itu artinya, mereka berjanji, ‘Saya akan menjauh semua dosa di masa mendatang sesuatu kemampuan dan pemahaman saya.) “..ialah hari bertaubat. Saya meyakini berdasarkan janji Allah Ta’ala bahwa setiap orang yang bertaubat dengan hati yang jujur maka ia akan diampuni dosa-dosanya dan itu sesuai dengan itu sabda Hadhrat Rasulullah saw, التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ ، كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ ‘At taa-ibu minadz dzanbi kaman laa dzanba laHu’ – “Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa apapun.” Artinya, semua dosa yang telah dia lakukan sebelumnya dimaafkan. Sekarang ia telah tidak punya dosa lagi.
Namun, saya katakan dan saya ulangi berkali-kali bahwa syarat-syarat untuk itu ialah seseorang mengalami kemajuan dalam kesucian hakiki dan benar; dan itu tidak menjadi taubat yang terbatas hanya kata-kata saja melainkan wajib mengiringinya dengan amal perbuatan. Memaafkan dosa seseorang bukanlah perkara mudah, melainkan itu perkara berat.
Anda lihat jika seseorang melakukan kesalahan atau kekurangan kecil terhadap hak orang lain, kebencian dan dendam terhadapnya terus saja berlanjut terkadang hingga beberapa keturunan. Di beberapa kesempatan pihak kedua, keturunannya bahkan keturunan dari keturunannya membalaskan dendamnya. Namun, Allah Ta’ala Maha Penyayang dan Maha Mulia. Dia bukanlah seperti manusia pendendam yang tidak melupakan balas dendam terhadap orang yang bersalah kepadanya hingga sampai generasi demi generasi ingin menghancurkannya. Tapi, Yang Maha Penyayang dan Maha Mulia.
Setiap yang baiat berjanji untuk menjauhi dosa-dosa. Orang yang benar-benar bertobat maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni. Namun syaratnya adalah kesucian hakiki dan itu benar-benar ditunjukkan dengan amal, bukan sekedar di mulut saja. Ketika manusia tidak memperdulikan hukum Allah maka dia akan diazab. Allah Ta’ala adalah Zat yang ihsan-Nya tidak terbatas, Dia selalu menginginkan yang terbaik untuk hamba-Nya. Ketika manusia menyadari bahwa pada akhirnya akan kembali kepada Allah Ta’ala maka tentu manusia akan beramal saleh
Jadi, inilah pertobatan sejati yang kemudian mengatur perlindungan dan kedamaian bagi seseorang. Jika seseorang bertobat tidak dalam keadaan demikian, maka Allah berfirman supaya kita juga harus ingat Dia adalah Syadiidul ‘iqaab, keras dalam memberikan hukuman. Dengan kata lain, ketika manusia tetap tidak mematuhi perintah-perintah Allah, Dia juga dapat menghukumnya.
Kemudian, dikatakan bahwa Allah itu adalah Dzith Thaul (penganugerah karunia-karunia), artinya Dia itu Banyak memberi dan banyak hal-hal bermanfaat serta tidak berakhir pemberian dari-Nya. Demikian pula tidak ada batas yang membatasi pemberian-Nya sebab Dia mempunyai kekuasaan semuanya dan dapat berikan apapun yang Dia suka karena serta khazanah-Nya tidak terbatas.
Allah Ta’ala berfirman, “Jika kalian merenungi senantiasa sifat-Ku, hal ini akan bermanfaat bagi kalian.” Dia adalah Tuhan Yang tiada sesembahan lain selain-Nya. Dia memiliki kekuatan dan kekuasaan semuanya. Kita harus kembali kepada-Nya di dunia ini dan juga setelah kematian. Jadi ketika ada kesadaran bahwa pada akhirnya kita harus kembali kepada Tuhan maka akan ada lebih banyak perhatian yang dilakukan untuk melakukan perbuatan baik dan bertindak berdasarkan perintah-perintah-Nya. Lebih jauh lagi, ketika keadaan seseorang demikian, pastilah Tuhan Yang Maha Kuasa akan menjaganya dalam perlindunganNya.
Ayat kedua ialah ayatul Kursi yang mana Nabi Muhammad saw mengarahkan perhatian atasnya pada suatu kali sebagaimana Hadhrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, لِكُلِّ شَيْءٍ سِنَامٌ وَسِنَامُ الْقُرْآنِ سُورَةُ البقرة وفيها آية هي سيدة آي القرآن: آيَةُ الْكُرْسِيِّ “Segala sesuatu itu mempunyai puncaknya, dan puncak Al-Qur’an ialah surat Al-Baqarah; di dalamnya terdapat sebuah ayat, penghulu semua ayat Al-Qur’an, yaitu ayat Kursi.”
Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan ayat ini, “Artinya, Dia-lah satu-satunya Sesembahan dan tiada sesembahan selain Dia. Dia menghidupkan setiap jiwa dan ruhnya; dan Dia-lah sandaran bagi semuanya. Terjemahan harfiyah dari ayat ini ialah “Dia Sesembahan yang Maha Hidup dengan Sendirinya dan juga Maha Tegak dengan Sendirinya. Dikarenakan Dia-lah satu-satunya Yang Maha Hidup dan Maha Tegak dengan Dzat-Nya sendiri, menjadi jelas sekali bahwa setiap hal yang kita lihat hidup selain Dia, pada hakikatnya meraih kehidupannya dari Ilahi yang Maha Hidup ini. Setiap hal yang kita lihat kokoh di bumi dan di langit ialah kokoh karena pemberian dari Ilahi Yang Maha Mengokohkan ini.”
Selanjutnya, beliau as menjelaskan, “Ketahuilah! Al-Qur’an telah menyebutkan dua nama Allah Ta’ala itu, yaitu Al-Hayyu dan Al-Qayyum. Al-Hayyu artinya Maha Hidup dan memberi kehidupan kepada selainnya. Al-Qayyum maknanya Yang Tegak dengan sendirinya dan menjadi sebab tegaknya yang selain-Nya. Kekekalan setiap hal baik secara lahiriah dan batiniah serta kehidupannya ialah berkat kedua nama ini. Sifat al-Hayyu menuntut untuk disembah hanya Allah saja (hal ini patut diperhatikan dan itu ialah lafaz al-Hayyu menuntut Tuhan inilah yang disembah) dan ilustrasinya di Surah Fatihah adalah iyyaka na’budu – ‘Hanya Engkau sendiri yang kami sembah’, sedangkan sifat al-Qayyum menuntut agar bersandar kepada-Nya. Pemahaman ini disebut dengan kalimat ‘iyyaka nasta’iin’ – ‘Hanya kepada Engkau, kami mohon pertolongan’. (Jika kita ingin kehidupan secara ruhani dan mengambil manfaat dari sifat Allah, al-Hayyu, maka kita harus menyembah Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dalam beribadah kepada-Nya sehingga Dia mengaruniai taufik kepada kita agar menjadi hamba yang beribadah secara sempurna.)
Beliau bersabda, “Kalimat ‘al-Hayyu’ menuntut ibadah karena Dia-lah Pencipta segala sesuatu. Sesuatu pun dari ciptaan-Nya tidak pernah ada yang meninggalkan-Nya dan keagungan-Nya setelah penciptaan. Contohnya, bila seorang pembangun membangun sebuah bangunan, lalu si pembangun meninggal, akan rusaklah sebagian dari bangunannya. (Jiwa pembuat bangunan meninggal, akan ada kerusakan pada bangunannya sedikit demi sedikit dan juga ada perubahan disebabkan kematiannya.) namun, manusia senantiasa memerlukan kepada Allah Ta’ala. Maka dari itu, secara terus-menerus mintalah kekuatan dan pertolongan kepada Allah Ta’ala. Dan inilah istighfar yang sebenarnya.”
Saya telah mengungkapkan tema istighfar sebelum ini dan itu mau tak mau demi mendapatkan manfaat dari cahaya karunia-karunia Ilahi. Istighfar seperti ini merupakan ibadah dan dengan itu Dia mengaruniai manusia kekuatan. Ayatul Kursi mengandung tema syafa’at dan beliau as menyajikan penjelasan poin ini dan bersabda bahwa ketika manusia berdoa untuk orang lain maka ini juga semacam syafaat. Hal ini harus menjadi sifat seorang insan. Tidak mungkin terjadi syafa’at tanpa izin Allah. Makna syafa’at sesuai Al-Qur’an yang mulia ialah seseorang berdoa untuk saudaranya supaya tercapai cita-citanya dan terhapus bala musibahnya. (Artinya, keinginan yang untuk itu seseorang meminta didoakan dari orang lain, dan jika itu musibah atau bencana, agar itu dihilangkan.)
Al-Qur’an memerintahkan bahwa siapa yang lebih banyak tunduk kepada Allah dan berdoa bagi saudaranya yang lebih lemah supaya orang itu meraih martabat seperti dirinya, maka inilah hakikat syafa’at. Tidak diragukan lagi bahwa bila kita mendoakan saudara-saudara kita supaya Allah memberi mereka kekuatan dan menyingkirkan masalah mereka; dan ini juga merupakan aspek simpati kepada mereka.”
Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan: “Karena semua umat manusia adalah seperti satu tubuh, Tuhan Yang Mahakuasa telah mengajari kita berulang kali bahwa pengabulan Syafa’at itu berada di tangan-Nya. Namun, kalian juga harus menyibukkan diri kita untuk memberi syafaat bagi saudara-saudara kalian, yaitu terus berdoa untuk mereka. Janganlah berhenti bersyafa’at, yaitu doa yang disinari dengan simpati (belas kasih) sebab kalian semua memiliki hak satu terhadap yang lain.” (Artinya, doa sebagian kalian terhadap sebagian lain ialah hak (kewajiban) kalian.)
Kata ‘syafa’at’ diambil dari kata ‘syafa’a’ yang artinya pasangan. Kebalikan dari witr, ganjil. Seorang manusia baru dapat disebut seorang yang syafi’ (yang memperoleh syafaat) ketika dia menjadi pasangan bagi orang selainnya dengan memiliki sifat simpati dan empati yang tinggi. Ia fana dalam hal itu. Dia berdoa untuk ampunan dan kesejahteraan orang lain seperti dia berdoa untuk dirinya sendiri. Perlu diingat bahwa iman seseorang takkan sempurna selama ia tidak menciptakan sikap simpati dengan jalan syafa’at. Bahkan, hal yang benar bahwa agama memiliki dua cabang yang sempurna. Yang satu adalah cinta kasih kepada Allah dan yang lainnya adalah mengasihi umat manusia sedemikian rupa sehingga seseorang mulai merasakan bahwa kedukaan orang lain merupakan kedukaannya. Dia mendoakannya. Dalam kata lain, inilah yang disebut syafa’at.
Jika kita mengingat hal ini saat kita mengucapkan Ayatul Kursi maka perasaan simpati kita terhadap umat manusia akan semakin berkembang. Ketika Nabi Muhammad saw mendorong kita untuk membaca ayat ini, maka seakan-akan beliau mewasiyatkan kita untuk membangun hubungan yang simpatik diantara orang-orang percaya (beriman) dan juga secara khas mewasiyatkan untuk mengembangkan simpati di dalam hati kita terhadap umat manusia pada umumnya. Artinya, hendaknya terjadi di dalam hati kita perasaan belas kasih terhadap semua orang. Namun, amat disayangkan bahwa umat Muslim pada hari ini memusuhi sesama umat Muslim lainnya padahal mereka menyatakan diri mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Ringkasnya, hendaknya diingat bahwa Allah Ta’ala memberikan hak syafa’at hakiki kepada Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Kita telah melihat pemandangan syafa’at ini di dalam kehidupan beliau saw. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyampaikan nasehatnya, “Tidak terbuki seseorang yang mendapatkan syafaat di akhirat kecuali orang yang di dunia juga menunjukkan keteladanan syafaat yakni empati yang tinggi. Jika kita perhatikan Musa dari segi ini adalah seorang yang syafi. Sebab, beliau as melalui doa-doanya menghilangkan lebih dari sekali adzab-adzab yang menghancurkan kaumnya. Inilah yang Taurat saksikan. Demikian pula, bila kita perhatikan, junjungan kita, Muhammad al-mushthafa – shallaLlahu ‘alaihi wa sallam – adalah syafi yang paling mulia dipandang dari sudut ini secara terang benderang. (hal itu terlihat amat jelas.) Sebab, pengaruh syafa’at beliau saw-lah, para Shahabat beliau yang miskin terangkat ke singgasana.
Karena syafaat beliau saw-lah orang-orang yang tadinya hidup dalam penyembahan berhala dan kemusyrikan telah menjadi para Muwahhid (yang mengesakan Allah Ta’ala) yang tidak ada bandingannya di zaman mana pun. Demikian pula, termasuk pengaruh syafa’at beliau saw saja-lah sehingga para pengikut beliau terus saja menerima wahyu yang benar-benar dari Allah Ta’ala bahkan hingga hari ini. Namun, bagaimanakah dan dari manakah terjadi hal-hal ini pada diri Al-Masih putra Maryam. Tidak ada kesaksian yang lebih besar dari syafaat Junjungan kita dan Majikan kita, Muhammad al-Mushthafa (saw) selain bahwa kita – dengan melalui beliau saw – memperoleh apa-apa yang tidak didapat oleh mereka yang memusuhi kita. Jika mereka yang memusuhi kita ingin meneliti hal itu, tentu akan terpecah menjadi beberapa tema dan memerlukan waktu berhari-hari.”
Di bagian terakhir Ayatul Kursi disebutkan dua sifat Allah Ta’ala yaitu الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ Al-‘Aliyyul ‘Azhiim. Itu artinya, tidak ada sembarang eksistensi yang lebih tinggi dari-Nya. Dia Pemilik bumi dan langit. Dia-lah الْعَظِيمُ ‘Al-‘Azhiim’ (Yang Maha Besar). Kebesaran-Nya mencapai suatu tingkatan yang tidak mungkin dicapai siapa pun. Demikian pula, kebesarannya mencakup setiap sesuatu. Setiap sesuatu tidak mungkin keluar dari cakupan-Nya. Inilah makna الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ Al-‘Aliyyul ‘Azhiim.
Menguraikan bagian terakhir dari Ayatul Kursi ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan: “Ada satu ayat mengenai Kursi Allah ialah, وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ yang artinya, Allah Ta’ala tidak lelah menanggung beban berat langit dan bumi yang mana keduanya dicakup oleh Kursi-Nya. [Kedaulatan Allah meliputi semua yang ada di langit dan di bumi, Dia membawa mereka semua dan ini tidak membebani Dia.] Dia الْعَلِيُّ ‘al-‘Aliyy’ Yang Maha Tinggi. Tidak ada akal seseorang yang dapat mencapai kedalaman pengetahuan-Nya, Dia adalah الْعَظِيمُ ‘Al-‘Azhiim’ (yang Terbesar) sehingga semuanya inferior di hadapan kebesaran-Nya. Inilah penyebutan Kursi (takhta)-Nya yang telah digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan langit dan bumi berada dalam kendali Allah dan Dia. Dia lebih unggul dari mereka semua dan kebesaran-Nya tidak terbatas.”
Jadi, inilah Tuhan yang agung yang tak terbatas keagungannya. Dia mencakup segalanya dan tidak memiliki batas, Dia mencakup segalanya. Ketika seseorang mengembangkan pemahaman tentang masalah ini saat membaca ayat ini, maka ia dapat mendekati Tuhan dan menerima perlindungan-Nya. Ketika seseorang berusaha untuk mencari perlindungan dari Tuhan maka ia akan, dan seharusnya, juga memenuhi hak-hak Tuhan dan ciptaan-Nya. Bila hak-hak ini dia tunaikan maka Tuhan Yang Maha Kuasa juga akan memberikan perlindungan-Nya secara terus menerus.
Hadhrat Rasulullah saw telah memberikan petunjuknya kepada kita untuk membaca ayat-ayat ini sembari berpedoman terhadap hal-hal yang telah disebutkan. Seseorang yang membaca ayat-ayat ini akan tetap berada dalam perlindungan Allah. Namun, tidak cukup hanya membaca ayat-ayat ini, sebenarnya kita juga harus merenungkan tema-tema ayatnya dan mengamalkannya. Seseorang juga harus memahami lebih dalam tentang ayat-ayat ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad (saw) dan disebutkan di banyak tempat dalam Alquran dan juga telah diuraikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as). Jika seseorang bertindak sesuai dengan tema-tema ayat-ayat ini maka orang itu akan tetap berada dalam perlindungan Allah melalui karunia dan rahmat-Nya. Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk menjalani hidup kita sesuai dengan ini.
Setelah shalat, saya akan mengimami shalat jenazah ghaib Almarhumah Abidah Begum Sahiba, seorang penduduk Nawabshah dan merupakan istri Profesor Abdul Qadir Darhi Sahib. Beliau wafat pada tanggal 22 Januari pada usia tujuh puluh lima (75) tahun. Kita mililk Allah dan kepadaNya akan kembali. Nama ayahnya, Niyaz Muhammad Khan, seorang pegawai pemerintah. Awalnya bertugas di Pakistan Timur lalu berpindah ke Karachi. Ayah beliau bukan Ahmadi, namun ibunya Ahmadi. Almarhumah baiat sendiri pada tahun 1963. Beliau lalu bergabung menjadi Musiah dengan karunia Allah. Setelah lulus sarjana, Hadhrat Khalifatul Masih III rha menikahkan Almarhumah dengan Profesor Abdul Qadir Dahri. Beliau dikaruniai 5 anak perempuan dan 1 anak laki-laki.
Beliau berkhidmat dengan menjadi Sadr Lajnah Imaillah di kota Nawabshah lalu di tingkat daerah Nawabshah dalam waktu lama. Dalam masa kepemimpinannya, beliau senantiasa terus mengunjungi para anggota LI, menyelenggarakan Ijtima-Ijtima, mengunjungi cabang-cabang LI di wilayahnya secara teratur. Meski beliau berasal dari keluarga kaya, namun beliau mempunyai sifat sederhana. Beliau orang yang suka membantu orang yang membutuhkan dan miskin. Beliau senantiasa datang ke rumah-rumah Ahmadi miskin. Beliau senang bertabligh. Sekitar 90 orang ibu-ibu baiat di tangan beliau di wilayah Nawabshah tersebut. Suami beliau menterjemahkan Al-Quran dalam bahasa Sind. Suami beliau juga Amir di kota Nawabshah lalu menjadi Amir se-wilayah Nawabshah. Pada hari-hari ini salah seorang putra beliau juga menjadi ketua di sebuah Jemaat di Nawabshah.
Putra Almarhumah menceritakan, “Almarhumah memiliki hubungan yang kuat dengan Khilafat sehingga selalu meminta saran Khalifah dalam masalah kecil maupun masalah penting.. Dua tahun lalu ketika kaki beliau akan diamputasi karena dampak penyakit gula, beliau minta izin terlebih dulu kepada Khalifah. Selama belum ada balasan izin, beliau tidak mau amputasi kakinya. Ketika ada balasan izin tersebut, maka barulah beliau setuju untuk diamputasi. meski beliau seorang perempuan, namun beliau keras dalam pandangannya. Ketika ibunya meninggal, saudara perempuan Almarhumah menguburkannya di pekuburan non Ahmadi. Tahu bahwa ibunya adalah Ahmadi dan juga Mushiah, Almarhumah mengatur pemindahan jenazahnya ke Bahisyti Maqbarah, di Rabwah. Meski itu ditentang oleh saudari-saudarinya.”
Beliau melakukan pekerjaan dengan hikmah. Beliau teratur mengikuti Jalsah di Inggris dan di Qadian. Suatu ketika, Hadhrat Khalifah ke-4 rha bersabda kepada putra beliau, “Tahukah engkau, ibu engkau itu pedang terhunus yang membela Ahmadiyah?”
Pada 1985 di Pakistan marak penentangan terhadap Jemaat dan para penentang menghapus kalimat Syahadat dari Masjid-Masjid Jemaat setelah kekuasaan negara dipegang Jenderal Zhia-ul-Haq. Almarhumah menampakkan kecintaannya kepada Syahadat dengan memerintahkan anak-anaknya menulis Kalimah Syahadat di rumah masing-masing. Almarhumah sendiri yang naik ke tempat yang paling tinggi dari rumahnya dan menulis kalimat Syahadat di sana. Demikianlah beliau, meski beliau seorang perempuan dan berasal dari keluarga yang amat terikat tradisi yang kuat.
Putranya menulis, “Di hari-hari terakhirnya, Almarhumah merasa sulit bernafas. Namun dalam keadaan ini masih perhatian pada pembayaran candah. Beliau memberikan uang kepada saya sebelum wafat dan meminta saya membayarkan candah Tahrik Jadid dan Waqf Jadid. Di kebun rumahnya, dipasang Televisi dan Parabola untuk memirsa MTA. Pemasangan MTA juga bergilir di kalangan kaum ibu. Mereka mengumpulkan uang lalu sesuai urutan memberikannya kepada salah satunya lalu di lain waktu kepada yang lain lagi.”
Tn. Mirza Ahsan Imran, Sekretaris Umum Jemaat Australia, menantu Almarhumah mengatakan, “Almarhumah seorang wanita pemberani dan siap selalu memberikan jenis pengorbanan bagi Jemaat. Beliau rajin membaca Al-Qur’an dan menyimak khotbah Jumat secara teratur tanpa putus. Almarhumah tidak hanya tahu bahasa Sindhi tapi juga Urdu dengan baik. Sebab, beliau putri seorang Pejabat Pemerintah yang sering berpindah. Awalnya beliau tinggal di Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) lalu di berbagai tempat berbeda. Beliau belajar di sekolah dan menguasai bahasa Inggris dengan baik. Beliau senantiasa bertabligh dengan keluarga yang masih ghair Ahmadi. Mereka berbahasa Sindhi, sehingga beliau mempelajari bahasa itu demi bertabligh kepada mereka. Semoga Allah meninggikan statusnya dan memungkinkan anak-anaknya melanjutkan perbuatan bajiknya. Aamin
Penerjemah: Dildaar Ahmad Dartono
Referensi : alislam.org, islamahmadiyya.net; dan terjemahan bebas dan langsung dari Mln. Saefulllah MA [bagian ringkasan.]
______________________________
[1] Sunan at-Tirmidzi (سنن الترمذي), Kitab al-Fadhailul Qur’aan/keutamaan Al-Qur’an (كتاب فضائل القرآن), Bab keutamaan Surah al-Baqarah dan Ayatul Kursi ( باب ما جاء في فضل سورة البقرة وآية الكرسي)
[2] I’jaazul Masih, Ruhani Khazain jilid (volume) 18, bab ar-raabi’ (bab cehaaram/IV) halaman 129.
[3] Karaamatush Shaadiqiin, Ruhani Khazaain jilid 7, halaman 64.
[4] Karaamatush Shaadiqiin (Karomah Orang-Orang Benar), Ruhani Khazaain jilid 7, halaman 65-66 (107-108).
[5] Malfuzhat.
[6] Sunan Ibni Maajah, Kitab az-Zuhd, bab dzikrit Taubah, no. 4250.
[7] Sunan at-Tirmidzi (سنن الترمذي), Kitab al-Fadhailul Qur’aan/keutamaan Al-Qur’an (كتاب فضائل القرآن), Bab keutamaan Surah al-Baqarah dan Ayatul Kursi ( باب ما جاء في فضل سورة البقرة وآية الكرسي)
[8] Al-Hakam, 17 Maret 1902.